Post on 23-Oct-2015
description
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 1
RESUME MASALAH PERNAFASAN ATAS NON – INFEKSI
Dwi Puji Putranti || 20120320071
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
1. EPISTAKSIS
a. Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring yang merupakan gejala dari suatu kelainan yang dapat
berhenti sendiri. Biasanya disebut mimisan.[1]
b. Klasifikasi Epistaksis
Berdasarkan letak anatomis, epistaksis dapat dibagi menjadi :
- Epistaksis Anterior
Gambar 1. Epistaksis Anterior.[2]
Perdarahan yang bersumber dari pleksus Kiesselbach yang
diakibatkan dari anastomosis beberapa pembuluh darah septum
anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi, selain itu
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 2
bersumber juga dari bagian depan konka inferior yang terbuka
terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma yang
sebabkan ulkus, ruptur, dan perdarahan.[1]
- Epistaksis Posterior
Gambar 2. Epistaksis Posterior.[2]
Perdarahan bersumber dari arteri sfenopalatina atau arteri
etmoid posterior. Sering ditemukan pada pasien hipertensi,
arteriosklerosis, atau pasien dengan penyaki kardiovaskuler.[1]
c. Patofisiologi
Epistaksis disebabkan rupturnya pembuluh darah kecil yang
mengalami distensi dalam membran mukosa pada area hidung.[3]
Epistaksis dapat terjadi karena trauma ringan (mengeluarkan ingus,
bersin kuat, mengorek hidung, trauma kecelakaan) juga dapat disebabkan
trauma gas, pembedahan, dan benda asing. Kelainan patologis seperti
infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis.
Tumor (karsinoma) dapat menyebabkan epistaksis berat. [1]
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 3
Pada usia lanjut, terjadi perubahan progresif otot pembuluh darah
tunika media menjadi jaringan kolagen yang menyebabkan fibrosis
intertisial sampai menjadi jaringan parut. Perubahan ini menyebabkan
gagalnya kontraksi pembuluh darah dan menjadikan epistaksis lebih lama.[1]
Pada usia muda dan dewasa, epistaksis disebabkan tipis dan
lemahnya pembuluh darah yang dapat disebabkan iskemia lokal atau
trauma. [1]
d. Intervensi Keperawatan
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi
duduk, jika sudah parah dibaringkan dengan diberikan bantal pada
punggung, kecuali dalam keadaan syok.[1]
Memantau TTV dan membantu mengontrol perdarahan.
Menyiapkan tisu dan basin emesis (bengkok) untuk kemungkinan
perdarahan yang berlebihan. Penyuluhan pasien saat pulang untuk tidak
bersin yang amat kuat, mengejan, hindari tempat tekanan tinggi (terlalu
bawah / tinggi), trauma nasal, melembabkan jalan udara nasal.[3]
2. FRAKTUR HIDUNG
a. Definisi
Fraktur hidung adalah perubahan anatomis dan fisiologis akibat
adanya trauma pada hidung dan area sekitar hidung.[4]
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 4
b. Patofisiologi
Fraktur hidung biasanya disebabkan oleh trauma seperti
kecelakaan lalu lintas, kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan
olahraga. Letak hidung sebagai bagian yang paling menonjol dari wajah
juga menjadi penyebab hidung sering mengalami trauma. Deformitas
tulang hidung pada fraktur hidung memungkinkan timbulnya obstruksi
jalan napas akibat tulang hidung yang patah menghalangi masuknya udara
ke saluran napas.[3],[5]
Faktor resiko fraktur hidung antara lain struktur hidung anterior
yang rapuh karena tersusun atas tulang rawan, posisi dan susunan tulang
yang rapuh membuat hidung tidak tahan terhadap hantaman keras. [5]
c. Klasifikasi Fraktur Hidung
- Klasifikasi Stranc & Robertson
Klasifikasi yang mempertimbangkan dampak dan
kerusakan hidung yang terkait tanpa memperhatikan
pertimbangan radiologi. Klasifikasi tersebut adalah :
1. Luka tipe I
Fraktur pada tulang hidung bagian depan dan bawah
lebih rendah daripada rongga hidung yang menyebabkan
tulang hidung mengalami avulsi dari kartilago lateralis atas
dan terkadang terjadi dislokasi septum bagian superior dan
kartilago. [5]
2. Luka tipe II
Jenis cedera pada tulang hidung eksternal, septum
nasal, dan tulang belakang hidung anterior yang
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 5
menyebabkan pelebaran / penyimpangan bentuk hidung
dan hilangnya pusat kedudukan posisi hidung. [5]
3. Luka tipe III
Jenis cedera yang melibatkan struktur tulang hidung
yang lebih dalam dan juga melibatkan sebagian kecil
tengkorak kepala. [5]
- Klasifikasi Harisson
Fraktur yang melibatkan tulang hidung dibagi menjadi 3
kategori tergantung pada derajat kerusakan, dan pengelolaannya.
- Luka kelas I
Kerusakan (fraktur) nasal yang sangat kecil. Garis
fraktur parallel ke dorsum dan sendi pada poin tulang nasal
menebal. Luka kelas 1 tidak menyebabkan perpindahan
tulang nasal yang begitu besar walaupun pasti masih
terlihat adanya displacement. Pemeriksaan radiologi
tentang gambaran adanya fraktur bisa muncul, bisa juga
tidak.
Secara klinis, tanda dan gejala yang muncul adalah
kemerahan dan krepitus pada area nasal yang terkena.
- Luka kelas II
Patah tulang pada kelas 2 mempengaruhi perubahan
kosmetik karena area fraktur juga mengenai prosesus
frontal pada hidung (pembentuk maxilla). Fraktur juga
mengenai septum nasal. fraktur yang terjadi menyebabkan
fraktur komunitiva,sehingga deviasi semakin jelas.
Khasnya pada fraktur ini akan tampak gambaran seperti
huruf C.
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 6
- Luka kelas III
Gambar 3. Kompleks NOE.[6]
Merupakan fraktur hidung paling parah. Fraktur di
kelas ini dikenal dengan nama naso orbito etmoidalis
(NOE). The naso-orbito-ethmoid kompleks terdiri dari
pertemuan beberapa tulang: (1) tulang frontal, (2) tulang
hidung, (3) tulang rahang, (4) tulang lakrimal, (5) tulang
ethmoid, dan (6) tulang sphenoid.[5],[6]
d. Jenis – jenis Fraktur
1. Fraktur Lateral
Fraktur terjadi pada salah satu sisi hidung saja.
Gambar 4. Fraktur Lateral. [7]
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 7
2. Fraktur Bilateral
Fraktur lateral yang disertai dislokasi septum nasal
(tulang nasal dan maksilaris terputus)
Gambar 5. Fraktur Bilateral.[7]
3. Fraktur Direct Frontal
fraktur os nasal dan os frontal sehingga
menyebabkan desakan dan pelebaran pada dorsum nasalis.
Pada fraktur jenis ini pasien akan terganggu suaranya.
Gambar 6. Fraktur Direct Frontal.[7]
4. Fraktur Comminuted
Fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa
fragmen. Fraktur ini akan menimbulkan deformitas dari
hidung yang tampak jelas.
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 8
Gambar 7. Fraktur Comminuted.[7]
e. Tanda & Gejala
- Laserasi hidung
- Epistaksis (membrane mukosa rupture)
- Jaringan lunak hidung ekimosis dan udem yang menyebar ke
kelopak mata atas dan bawah
- Deformitas hidung.[5],[7]
f. Intervensi Keperawatan
Instruksikan pasien untuk memasang kantung es pada hidung
selama 20 menit sehari sampai pembengkakan
menghilang.Ketidakmampuan untuk bernapas melalui hidung akibat
obstruksi yang disebabkan oleh fraktur, membuat pasien bernapas melalui
mulut yang akhirnya mulut menjadi kering. Bilaskan mulut untuk
melembabkan merman mukosa dan mengurangi rasa darah yang
mongering.[3]
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 9
3. POLIP NASAL
a. Definisi
Polip nasal merupakan adanya masa edematous pada sinus
paranasales pada mukosa hidung akibat inflamasi (Erbek et.al, 2007).
Polip nasal terdiri dari jar. Ikat longgar, edema, sel – sel inflamasi, dan
beberapa kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis epitel,
terutama epitel pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet
(Fokkens et al,2007).
b. Patofisiologi
Gambar 8. Polip Nasal (massif).[8]
Polip hidung berasal dari reaksi alergik yang terjadi pada mukosa
hidung. Polip berasal dari pembengkakan lapisan mukosa hidung atau
sinus yang akhirnya menonjol dan turun ke rongga hidung akibat gaya
berat.[8]
Cairan edema polip mengandung cairan interseluler dan sel radang
(netrofil, eosinophil). Rhinitis, sinusitis, iritasi, dan sumbatan hidung
akibat kelainan anatomic merupakan faktor predisposisi polip.[9]
Proses peradangan yang lama dari reaksi alergik menyebabkan
munculnya edema mukosa di meatus medius yang kemudian akan terisi
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 10
oleh cairan interseluler. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang terbentuk
akan semakin membesar dan turun kedalam rongga hidung yang akhirnya
membentuk polipoid.[10]
Selain itu, vasodilatasi pembuluh darah yang lama pada sub
mukosa menyebabkan edema mukosa yang selanjutnya terdorong ke sinus
(biasanya sinus maksilla lalu sinus ethmoid). Polip bisa terdorong karena
adanya gaya dorong dari bersin dan pengeluaran secret berulang yang
biasanya diderita orang dengan rhinitis alergik.[11]
c. Tanda dan Gejala
Gejala utama pada polip hidung adalah rasa tersumbat yang tidak
menghilang yang dapat menyebabkan hiposmia dan anosmia. Bila polip
menyumbat paranasal akan menyebabkan sinusitis. Pada tampilan luar,
hidung penderita tampak lebih mekar dari ukuran normal.[8]
Pada penderita polip dengan asma, gejalanya dapat berupa batuk
kronik dan suara mengi (wheezing).[8]
Jika penyebabnya alergi, maka tanda dan gejalanya :
1. Gejala Primer
- Bersin
- Iritasi hidung
- Postnasal drip
- Rinhorea purulent
2. Gejala sekunder
- Bernapas melalui mulut
- Suara sengau
- Halitosis
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 11
- Gangguan tidur
- Penurunan kualitas hidup.[8]
d. Stadium Polip (Mackay dan Lundt, 1997)
1. Stadium I : Polip masih terbatas di meatus media
2. Stadium II : Polip sudah melewati meatus media tapi
belum memebuhi rongga hidung.
3. Stadium III : Polip sudah memenuhi rongga hidung
4. TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL) [17]
a. Definisi
Fraktur yang terjadi pada tulang wajah yakni tulang frontal,
temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila, dan mandibula.
b. Etiologi
1. Pada Orang Dewasa
- Kecelakaan lalu – lintas (40% - 45 %)
- Penganiayaan / perkelahian (10% - 15%)
- Olahraga (5% - 10%)
- Jatuh (5 %)
- Lain – lain (5% - 10%).[12]
2. Pada Anak – Anak
- Kecelakaan lalu lintas (10% - 15%)
- Penganiayaan / perkelahian (5% - 10%)
- Olahraga (50% - 65%)
- Jatuh (5% - 10%).[12]
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 12
c. Klasifikasi
1. Fraktur Kompleks Nasal
Fraktur pada daerah hidung yang biasanya
melibatkan septum nasal dan kribiform ethmoid. Fraktur
dapat meluas ke prosesus frontal maksila serta posterior
dinding medial orbital. Displacement terjadi bergantung
pada arah gaya trauma yang didapatkan. Biasanya trauma
dialami tulang hidung yang berlekatan dengan maksila.
2. Fraktur Komplek Zigomatik
Fraktur zigomatik mempengaruhi tulang frontal,
temporal, dan maksila karena saling berkaitan satu sama
lain. Etiologi paling umum pada fraktur jenis ini adalah
pukulan pada daerah inferolateral pada tulang pipi.
Arkus zigomatik merupakan bentuk fraktur yang
berlainan dari fraktur tulang sutura zigomatikus
sebelumnya. Fraktur arkus zigomatikus terjadi karena
takikan pada arkus yang hanya bisa dilihat dalam
pandangan submentokonverteks.
Gambar 9. PandanganFrontal Fraktur ZigomatikKompleks.
Gambar 10. PandanganSubmentokonverteks FrontalFrakturZigomatik Kompleks.
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 13
3. Fraktur dento – alveolar
Fraktur wajah yang terjadi pada pelepasan gigi atau
displacement mahkota gigi dengan atau tanpa terbukanya
saluran pulpa.
Gambar 10. Injuri Dento – Alveolar.
Etiologi fraktur jenis ini adalah trauma pada
jaringan lunak bibir atas pada gigi incisor yang
menyebabkan pecahnya satu atau lebih gigi.
Fraktur pada alveolus dapat berhubungan atau tidak
berhubungan dengan injuri gigi.
Gambar 11. Cedera Tulang Alveolar
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 14
4. Fraktur Maksila
- Le Fort I
Gambar 12. Fraktur Le Fort I
Garis frakturnya transversal pada eahang
atas melalui lubang piriform diatas alveolar ridge, di
lantai atas sinus maksilaris, dan meluas ke posterior
yang melibatkan pterygoid plate.
- Le Fort II
Gambar 13. Fraktur Le Fort II
Fraktur jenis ini melibatkan fraktur pada
nasal. Fraktur horizontal berkaitan dengan dinding
sinus, fraktur pyramidal berkaitan dengan sutura –
sutura, dan pada zigomatikus, daerah nasofrontalis
yang sering terkena.
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 15
- Le Fort III
Gambar 14. Fraktur Le Fort III
Disebut juga fraktur kraniofasial karena
bagian tengah wajah (basis kranial) benar – benar
terpisah. Tanda – tanda klinis yang dapat diamati
adalah cedera kranioserebral dan trauma
intracranial.
5. Fraktur Mandibula
Pasien dengan fraktur mandibular biasanya tidak
menyadari adanya fraktur, namun mereka menyadari
setelah adanya rasa nyeri saat mengunyah dan termasuk
juga mati rasa pada daerah saraf trigeminal. Temuan kunci
diagnosis fraktur mandibular adalah temuan mobilitas
tulang mandibular saat dipalpasi
- Fraktur Mandibula Simpisis
Gambar 16. Fraktur Mandibula Simpisis
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 16
Fraktur terbuka yang terjadi di area medial
mandibular. Pada saat dipalpasi, tulang mandibular
dapat bergerak (mobilitas).
- Fraktur Angulus Mandibula
Gambar 17. Fraktur Angulus Mandibula
Fraktur terbuka yang terjadi pada daerah
lekukan mandibular (pada area gigi graham). Saat
dipalpasi tulang yang fraktur ini juga dapat
bergerak.
- Fraktur Ramus Mandibula
Gambar 18. Fraktur Ramus Mandibula
Fraktur yang terjadi pada bagian atas
lekukan mandibular yang secara anatomis melekat
pada membrane mukosa pipi.
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 17
- Fraktur Kondilar Mandibula
Gambar 19. Fraktur Kondilar Mandibula
Fraktur yang mengenai perlekatan antara
mandibular dan maksila. Dapat berupa fraktur
tunggal kondilar atau bergabung dengan
subkondilar. Kedua posisi anatomis ini saling
berhubungan.
5. TRAUMA LEHER
a. Definisi
Trauma leher adalah benturan yang mengenai bagian leher akibat
trauma benda tajam dan benda tumpul. Pada kejadian yang sangat parah
dapat terjadi trauma tembus leher.[14]
b. Etiologi
- Luka tembak
- Luka sayatan
- Luka kecelakaan berburu
- Luka kecelakaan lalu lintas (luka benda tumpul)
Berdasarkan objek penyebab :
- Alat penusuk / pembacok
- Alat penembak cedera lebih berat.[13]
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 18
c. Klasifikasi
Gambar 20. Zona Horizontal Leher.[15]
- Zona I
Trauma yang mengenai daerah trakea, esophagus, a. karotis
komunis, v. jugularis interna, a. subklavia, a. innominate, a.
vertebralis, fleksus brakhialis, tiroid dan medulla spinalis.
- Zona II
Trauma pada daerah antara bagian bawah kartilago krikoid
sampai angulus mandibular yang didalamnya ada laring, trakea,
esofagus, a.karotis, v. kugularis interna, a. vertebralis, medula
spinalis, n.laringeus rekuren dan saraf kranial. [15]
- Zona III
Trauma yang terletak antara angulus mandibula sampai
dasar tengkorak yang didalamnya terdapat a. Karotis interna
bagian distal, v. Jugularis interna, a. vertebralis, cabang-cabang
a. karotis eksterna, faring, kelenjar parotis, medula spinalis dan
saraf kranial IX – XII. [15]
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 19
d. Manifestasi Klinis[16]
Berdasarkan struktur yang terlibat dengan trauma , tanda dan
gejala yang muncul adalah :
Struktur yang terlibat Tanda & Gejala
Pembuluh darah
(Pada zona I tanpa gejala)
SyokHematomaPerdarahanNadi lemah atau menghilangBruit atau thrill di leher
Laringotrakeal Emfisema subkutis
Sumbatan jalan nafas
Sucking wound
Hemoptisis
Dyspnea
Faringoesofagus
(cedera esophagus zona I jarangmenimbulkan gejala)(Cedera esophagus zona II gejala
muncul beberapa jam
Emfisema subkutis
HematemesisDisfagia
odinofagia
Tabel 1. Gejala dan tanda trauma tembusleher berdasarkan struktur yang terlibat.
Berdasarkan beratnya trauma :
1. Trauma tidak stabil
Tanda dan gejalanya antara lain deficit neurologi
(penurunan kesadaran, paralise), gangguan respirasi
(hemothorax, pneumothorax), syok, perdarahan yang massif,
dan hematom yang luas.[13]
2. Trauma stabil
Gejala dapat berupa nyeri, disartria, suara serak, disfagia,
odinofagia, hemoptisis, drooling dan demam. Kadang-kadang
pasien juga mengeluhkan hilangnya sensasi daerah
wajah.[13]
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 20
DAFTAR PUSTAKA
1. Munir, Delfitri., Haryono, Yuritna, Rambe, Andrina Y.M. Epistaksis. Majalah
Kedokteran Nusantara ; 39 : 274 – 278.
2. Google Image Result :
http://www.google.com/imgres?newwindow=1&biw=1366&bih=623&tbm=isch&tbnid=fYdr6Tu
SBX0pgM:&imgrefurl=http://chirpstory.com/li/42345&docid=a0XP4nzN5GU9DM&imgurl=http:
//pbs.twimg.com/media/A_H7ySCCAAAJ0AX.jpg&w=600&h=450&ei=pHO0Uuu2K8epyAGVt
4GgCQ&zoom=1&ved=1t:3588,r:6,s:0,i:99&iact=rc&page=1&tbnh=173&tbnw=231&start=0&n
dsp=18&tx=181&ty=36
3. Smeltzer, Suzanne .C., Bare Brenda .G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Edisi 8 Volume 1. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran.
4. Arsyad, Soepardi., Efiaty., Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung
– Tenggorok – Kepala – Leher. FK – Universitas Indonesia, Jakarta 2001 : 161 –
164.
5. Thiagarajan, Balasubramanian., Ulaganathan, Venkatesan. Fracture Nasal Bones.
Otolaryngology Journal. 2013 ; 3 : 1-16.
6. Image Result : http://emedicine.medscape.com/article/1283798-overview#a04
7. Rubinstein B, Strong B. Management of nasal fracture. Arch Fam Med. 2000; 9 :
738-742.
8. Mangunkusumo,Endang dan Retno S. Wardani. 2007. Polip Hidung. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VI. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. Hal. 123-5.
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 21
9. Adams, George, Lawrence Boies and Peter Hiegler. 1997. Rhinosinusitis
Alergika. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok ed.VI. Philadelphia:
W.B. Saunders. Hal.210-217.
10. Mansjoer,Arif., Kuspuji, Triyanti., Rakhmi, Savitri, dkk. 2001. Polip Hidung.
Kapita Selekta Kedikteran ed.III jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal:
113-4.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007.
Polip Hidung dan Sinus Paranasal (Dewasa) Penatalaksanaan. Guideline
Penyakit THT di Indonesia. Hal.58.
12. Pedersen GW. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih bahasa, Purwanto,
Basoeseno, Jakarta: 1987 : 222.
13. McQuone S, Eisele DW. Penetrating trauma of the neck. In : Eisele DW,
McQuone S, eds. Emergencies of the head and neck. St. Louis; Mosby 2000.p.
183-94.
14. H. Nurbaiti Iskandar. Prof, Buku Ajar Telinga Hidung dan Tenggorokan, Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia, Hlm 366 dan hlm 411
15. Stewart MG. Penetrating Face and Neck Trauma. In : Bailey BJ, Johnson JT, eds.
Head and Neck SurgeryOtolaryngology. 4th ed. Philadelphia; Lippincott
Williams&Wilkins Publisers; 2006.p.1017-26.
16. Ruckenstein MJ. Comprehensive review of Otolaryngology, 1st ed.Philadelphia;
Saunders. 2004.
17. Anonim. Insidensi Fraktur Maksilofasial Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada
Pengendara Sepeda Motor yang dirawat di RSUP .H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara