Post on 01-Dec-2015
description
BAB 1
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat
yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi
lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori
tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the
Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan
atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.3,4 Berdasarkan definisi
tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik
nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).3
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang
menjadi manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensif,
dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah
merupakan derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena
menimbulkan perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ. Bila tidak teratasi
dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita.
Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan
tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.9
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang
tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan
ringan.3 Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh
penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan
hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya
nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita.
Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu
dapat berkembang menjadi nyeri kronik.2
Nyeri bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan
jaringan saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses
penghantaran impuls saraf. Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas,
mortilitas, dan mutu kehidupan.
1
BAB 2
NYERI
2.1 Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.1,4 Berdasarkan definisi tersebut
nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan
komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).1
Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit
atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stress
neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas
saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. 1,5
2.2 Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
1. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa.
Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi
2. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada
otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
3. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura
parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral
terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
2
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:7
a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator
inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem
saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel
kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan
adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya
allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).
SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan
respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi.
Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan
adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan
midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat
berupa:
1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
3
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom
kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan
sesudahpenyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu
menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri onkologik
b. Nyeri non onkologik
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan gbila
penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan
dering terjaga akibat nyeri.
4
2.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri.
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang
ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen :6
Gambar 2.1 Lintasan Impuls Nyeri
a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan
menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.
c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal
eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2)
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)
5
Gambar 2.2 Lintasan sensibitlitas10
f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris
(termasuk withdrawl respon).
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
6
2.4 Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan
menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat
algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan
beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain,
seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat
menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.2,3
Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri3
Zat Sumber Menimbulkan nyeri Efek pada aferen primer
Kalium SerotoninBradikininHistraminProstaglandinLekotrienSubstansi P
Sel-sel rusakTrombosisKininogen plasmaSel-sel mastAsam arakidonat dan sel rusakAsam arakidonat dan sel rusakAferen primer
++++++++±±±
MengaktifkanMengaktifkanMengaktifkanMengaktifkanSensitisasiSensitisasiSensitisasi
Gambar 2.3 Fisiologi nyeri6
7
2.5 Jalur Nyeri
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses
nosisepsi yaitu:
Gambar 2.4 Proses perjalanan nyeri10
1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung
saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien,
substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung
bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan
kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A
delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik
nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
8
PERCEPTION
MODULATION
TRANSMISSION
TRANSDUCTION
2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul proses
tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke
medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi
meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai
diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih
cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla
spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron
nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C
diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi
ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di
kornua antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis
dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua
anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera
dengan segala akibatnya.
Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan
saraf pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk ”nyeri cepat – spontan” dan traktus
paleospinothalamic untuk ”nyeri lambat”.
Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A-δ dan
kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan kemudian bersinapsis dengan
dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini
menuju ke otak dan menyebrang ke sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas
dengan columna anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada
kompleks ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks
somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu
stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores.
Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III
dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh
serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis, bersinaps dengan
neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via
commisura alba anterior dan naik ke aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian
berakhir dalam batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang
lainnya pada medulla, pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum mesencephalon.
9
Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan jaringan dibawa ke
berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif
sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic, spinolimbic,
spinocervical, dan spinothalamic.
Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan viscerosensorik yang
berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak. Traktus spinomesencephalik
mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda dalam nukleus
diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian spinohipotalamik yang mencapai
kedua bagian lateral dan medial dari hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala
yang memanjang ke nukleus sentralis dari amygdala. Traktus spinoservikal, seperti
spinothalamik membawa sinyal ke thalamus.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta
dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara
impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem
inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi
yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri. Fase ini
merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan
adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan
individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi. (8)
Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio
reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini
kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa mengatur emosi.
Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung
sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi.
10
Gambar 2.5 Jalur Nyeri
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat
A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk).
Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan,
baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior.
Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal,
sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan
kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors.
Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam
glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P
(neurokinin) yang merupakan polipeptida.
11
Gambar 2.6 Ascending Pain Pathways
Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam
sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan
limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia
yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
terjadi ekstravasasi protein plasma.1,3,5,6
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion kalium,
hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk siklooksigenase dan
lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator
kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari
sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri.
Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan meningkatnya respon
terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi
perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak
maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka
dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar
penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim
siklooksigenase.
12
Sensitisasi Sentral.
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan
mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis
akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan
sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu
dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan
second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah
yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus
noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni
pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls
dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR)
yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang
menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga
terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis
menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi
sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi
lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini
menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang
kaku tetapi seperti plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan
atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah
diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut
aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis
yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit
disembuhkan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral
adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon
terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi
peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang.
Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal
tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini
penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri
13
kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah
nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu
dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen
yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti
bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang
superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan
hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious
dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk
suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi
pada kerusakan saraf.
Gambar 2.7 Skema sensitasi sentral11
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-
reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari
reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru.
Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui
bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun
bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti
pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi,
14
sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis
NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas
dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat
penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa
dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses
biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi
NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan
bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi
enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan
NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel. Namun,
dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu
sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA
yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO
akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan
analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin,
analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya
“wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil
penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan
difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat
spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian
ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia
pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam
mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma adalah
terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan
nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian
obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya
sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika
diberikan secara sentral.
15
2.6. Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri
Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi karena
ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan karena ada
sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti :2
1. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.
Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron
inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha atau menggunakan
alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
2. Serat inhibisi desendens.
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :
a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus
c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal
Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron
nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan
melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya
dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan ketiga
lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara
endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh
nyeri dan stres.
3. Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini dibawa
ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis
juga kaya dengan reseptor opioid.
Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor
opioid di substansia gelatinosa.
16
2.7. Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri.
Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri oleh serat
afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis, juga
akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis.1
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang sesuai
dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf
afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan
juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis
memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan
penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi
abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon
suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang
menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti
interpretasi nyeri, marah dan takut.3,8
Gambar 2.8 Respon tubuh terhadap nyeri6
17
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan
sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan
teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh
seperti :
a. Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan
hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan
oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan
ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan
peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru.
Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu
fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting,
hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.3,8
b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia
jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan produksi
katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi
hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh
darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada
pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal
ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia
myocardial.3,8
c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan motilitas
saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan
ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien
mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi
abdomen memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction. 3,8
d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.
e. Sistem metabolisme dan endokrin
18
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme otot
jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap
nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon
dan menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan
kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas
insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah
meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses
glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan
negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan
hormon kortisol bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan
hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder
dari ruangan ekstraseluler.3,8
f. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan
hiperkoagulopati.3
g. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi
sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi
mudah terinfeksi.3
h. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety), ketakutan,
agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat
menyebabkan depresi.8
i. Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa
retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan
penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya
kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.8
19
2.9 Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang
relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri,
antara lain :1,7
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.
Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri
yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui
intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini
menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
- tidak nyeri (none)
- nyeri ringan (mild)
- nyeri sedang (moderate)
- nyeri berat (severe)
- nyeri sangat berat (very severe)
2. Numerical Rating Scale (NRSs)
Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri.
Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10.
”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.
Gambar 2.9 Numeric pain intensity scale7
3. Visual Analogue Scale (VASs)
Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini
menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai
nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
20
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif
untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat
digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada
anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada
dalam nyeri hebat.
Gambar 2.10 Visual Analog scale7
4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri yang dirasakan.
Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan
kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.
5. The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas
nyeri pada anak-anak.
Gambar 2.11 Faces Pain Scale7
21
BAB 3PENATALAKSANAAN NYERI
3.1. Terapi Multimodal
Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol
nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana, yaitu nilai nyeri, atasi dengan obat dan
teknik yang sudah ada, nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi
pengobatan jika perlu. Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca bedah seperti
infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.
Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya
biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju proses
penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri
akut ini. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan
usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi. Intinya, diagnosa
penyebab ditegakkan, usaha mengatasi nyeri sejalan dengan usaha mengatasi
penyebabnya.1,2,3
Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu
berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai
berikut13 :
a. Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan
posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
b. Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan spiritual.
c. Modalitas Invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
d. Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi merreka yang
mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri
e. Modalitas Farmakoterapi
Mengikuti ”WHO Three-Step Analgesic Ladder”
22
3.2. Farmakoterapi Nyeri
Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi nyeri akut.
Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan dengan laju proses
penyembuhan jaringan yang sakit.
Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan
nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut:
Bisakan pasien minum analgesik oral?
Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?
Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi dengan
analgesik sistemik?
Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan
bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti ”WHO
Three Step Analgesic Ladder” yaitu :1
1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2
spesific inhibitors.
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat
seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.
Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi dapat
diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi inpuls saraf
dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi
anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum,
narkotik, atau parasetamol
Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat
digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.
1. Obat analgetika nonnarkotika.
Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)
Banyak jenis obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum
memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik
tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa
prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.
23
Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang. Obat
ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul, sirup), dalam
kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler, dan intravena.
Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia dalam kemasan
yang dapat diberikan secara supositoria
Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah
mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah
mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua
obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah.
Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral lebih
disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa menimbulkan
abses steril pada tempat suntikan.
Kontraindikasi AINS
Riwayat tukak peptik
Insufisiensi ginjal atau oliguria
Hiperkalemia
Transplantasi ginjal
Antikoagulasi atau koagulopati lain
Disfungsi hati berat
Dehidrasi atau hipovolemia
Terapi dengan frusemide
Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS
Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada :
Pasien > 65 tahun
Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh darah
ginjal
Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta,
cyclosporin, atau metoreksat.
24
Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau
gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.
Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung memiliki
efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal
meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX
gastrointestinal dan ginjal.
Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada
pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan
bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.
.
2. Obat analgetika narkotik
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat didaerah
susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut dengan intensitas
berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma, Delta dan Epsilon.
Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat alkaloidnya atau preparat
sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek depresi pusat nafas bila dosis
yang diberikan relatif tinggi.
Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai
muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh efek
toleransi dan ketergantungan.
Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik intra
muskuler maupun intravena.
Pemberian intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural
atau intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid
Fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau
dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga
tersedia dalam kemasan supositoria.
Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan ketat,
serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke instansi
pengawas penggunaan obat-obat narkotika.
Dengan ditemukannya reseptor opioid didaerah kornua dorsalis medulla spinalis di
tahun 1970 an, obat ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang epidural atau kedalam
ruang intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang digunakan menjadi sangat kecil,
25
menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan durasi analgesia yang sangat
lama/panjang.
Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau intratekal, dapat
dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase atau adrenalin.
Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang sangat adekuat serta durasi
yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan menjadi sangat kecil.
3. Kelompok obat anestesia lokal.
Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada saraf tepi
tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang
melayani dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang
epidural atau interatekal.
Obat Maksimum untuk filtrasi lokal
Maksimum untuk anestesi pleksus
Lidocaine (lignocaine) 3mg/kg 4mg/kg
Lidocaine dengan Adrenalin 5mg/kg 7mg/kg
Bupivacaine 1,5mg/kg 2mg/kg
Bupivacaine dengan adrenalin
2mg/kg 3,5mg/kg
Prilocaine 5mg/kg 7mg/kg
Prilocaine dengan adrenalin 5mg/kg 8mg/kgTabel 3.2. Dosis maksimum aman dari anestesi lokal
Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat dikombinasikan
dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia yang dihasilkan lebih
adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal hanyalah obat yang
direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia lokal tidak boleh
langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan analgesia tambahan untuk
semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik
sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan
analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau
regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam atau hari jika digunakan teknik
kateter.
26
Komplikasi bisa terjadi:
Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada
anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok
saraf besar.
Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian aksidental
dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari kebingungan
ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung.
Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal.
Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.
3.3. Analgesia Balans
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas ringan
sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri dengan
intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan.2 Tidak jarang,
untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini
dapat diikuti oleh timbulnya efek samping.
Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa macam obat
analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih
jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing
individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia
yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang.
Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat
dihindari.
Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan pendekatan
multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan AINS, proses
transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat. Pendekatan ini,
memberikan penderita obat analgetika dengan titik tangkap kerja yang berbeda seperti obat
obat analgetika non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal secara
kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi.
3.4. Analgesia Preemptif.
27
Diatas sudah dijelaskan bahwa bila seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan
menderita nyeri (berat) dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh
perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis)
terhadap stimulus yang masuk.
Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf.
Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat
analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia
merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk
melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena awitan
dari sensari nyeri diketahui.
BAB 3
28
PENUTUP
Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai saat
ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari suatu
proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang
mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan
dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Beberapa prinsip dalam
diagnosis dan penatalaksanaan nyeri sebagai berikut :
Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu
didengarkan dan dipercaya.
Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan
bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.
Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi
pada berbagai pasien.
Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.
Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.
Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa
diatasi, tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda
bedah.
Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’
Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan
kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan
anestesi lokal)
Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan
usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi.Pengobatan yang
direncanakan untuk menangulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit yang
mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Pemahaman tentang patofisiologi
terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh
penderita. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini.
DAFTAR PUSTAKA
29
1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford: Appleton
and Lange, 1996, 274-316.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.
3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK UI, Jakarta, 2001.
4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain Management,
New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25
5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s
Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65
6. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain Management
and Intensive Care, London, 2003, 78-102
7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional
Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005
8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.
9. Mellattii,, Endang..,, Pediiattriic Paiin Managementt In Trauma,, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang, 2003.
10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.
11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makasar, 2002.
12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.
13. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.
14. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003, 33-37.
15. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420
30