Post on 05-Aug-2015
PERANAN ANTIOKSIDAN PADA KESEHATAN TELINGA, HIDUNG,
TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER
I. PendahuluanTubuh kita secara terus-menerus mengalami pembentukan
radikal bebas (free radikal) melalui proses metabolisme sel normal,
stress, kelelahan, depresi dan cemas, malnutrisi, respon terhadap sinar
gamma, ultra violet, asap rokok, alkohol, polusi, obat-obatan, radang
dan luka, olahraga berlebihan, kemoterapi/rontgen, peptisida,
herbisida, bahan-bahan pengawet dan lain-lainnya. Radikal bebas
dapat mengganggu integritas sel dan dapat bereaksi dengan komponen-
komponen sel baik komponen struktural (molekul-molekul penyusun
membran) maupun komponen fungsional (protein, enzim-enzim dan
DNA dll). (1,2)
Pada umumnya sel bereaksi terhadap stres oksidasi ini dengan
meningkatkan sistem pertahanan antioksidan serta sistem pertahanan
lain, namun stres yang berat dapat merusak secara permanen DNA,
protein serta lemak. Dengan demikian, pembentukan radikal bebas
(stres oksidasi) merupakan kondisi fisiologis yang memegang
peranan penting dalam proses terjadinya suatu penyakit sehingga
menjaga keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan merupakan
hal yang sangat penting dalam menjaga kesehatan. (1,2,3)
Kemampuan beberapa jenis makanan untuk memodulasi sistem
imun disebut sebagai imunonutrisi. Antioksidan saat ini dianggap
sebagai salah satu imunonutrisi. Pada umumnya, yang menjadi target
dari imunonutrisi adalah pertahanan mukosa, pertahanan seluler, serta
pencegahan terhadap proses radang lokal maupun sistemik. Defisiensi
makronutrien serta beberapa mikronutrien seperti seng, selenium, zat
besi, serta vitamin antioksidan akan menyebabkan penurunan
pertahanan imunologis secara bermakna. Pada keadaan demikian
1
angka kesakitan dan kematian meningkat, sebagai akibat menurunnya
daya toleransi, daya pengendalian infeksi serta menurunnya respon
terhadap mukosa flora yang normal. (1)
II. Radikal bebas (Free radical)
Radikal bebas didefinisikan sebagai atom atau molekul yang
memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit
luarnya. Ini merupakan elektron yang tidak seimbang dan cenderung
untuk bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk pasangan
elektron (s) untuk menghasilkan spesies yang lebih stabil. Adanya
elektron yang tidak berpasangan di orbit luar dinyatakan dengan
tanda sebuah titik di atas, R●. Nitric oxide (NO●) dan nitrogen
dioksida (NO2) merupakan contoh umum dari radikal bebas ini dan
radikal bebas yang paling penting dalam sistem biologis adalah
turunan dari oksigen. .(2) Dengan demikian, oksigen dalam peranan
biologisnya dapat berperan sebagai pedang bermata dua. Di satu
pihak sangat dibutuhkan sebagai zat dalam proses kehidupan oleh
karena sebagian besar kehidupan yang kompleks di bumi
membutuhkan oksigen untuk keberadaannya, tetapi di lain pihak dapat
menjadi bahan perusak sel tubuh kita. (1)
II.1. Pembentukan Radikal Bebas
Radikal bebas dihasilkan dari produk metabolisme sel aerobik,
paparan polutan sinar matahari, ozon, lingkungan dll. Salah satu radikal
bebas yang paling sering terbentuk dalam tubuh adalah anion superoksida
(O2●-) yang dihasilkan dari penambahan sebuah elektron pada molekul
oksigen . Spesies radikal ini terbentuk secara in vivo melalui aktivitas
transpor elektron pada mitokondria dan rantai transport elektron
mikrosomal. Fagosit yang diaktifkan (misalnya, neutrofil, eosinofil,
monosit, dan makrofag) juga dapat menghasilkan anion superoksida
sebagai bagian dari proses pembunuhan organisme asing. Logam berat
2
juga dapat menerima elektron dari radikal bebas dan mentransfer ke
molekul oksigen membentuk radikal anion superoksida . Lengkapnya,
Pembentukan radikal bebas ini dapat melalui proses: (2)
a) O2 + (e-) O2●- (superoksida radikal)
b) Fe+2 + O2 Fe+3 + O2●- (superoksida radikal)
c) O2●- + (e-) + 2H + H2O2
d) O2●- + O2
●- + 2H + H2O2 + O2
e) H2O2 + (e-) + 2H + H2O + ●OH (hidroksil radikal)
f) Fe+2 + H2O2 Fe+3 + OH-
+ OH
g) O2●- + H2O2 O2 + OH
- + OH
Keterangan:
a) Penambahan sebuah elektron pada oksigen membentuk anion
superoksida radikal.
b) Dengan adanya oksigen, besi ferro dioksidasi menjadi besi ferri dan
oksigen diubah menjadi superoksida.
c) Superoksida, dengan adanya sebuah elektron dan ion hidrogen,
membentuk hidrogen peroksida nonenzymatically.
d) superoksida dapat bereaksi dengan ion hidrogen (dikatalisis oleh SOD)
dan membentuk hidrogen peroksida.
e) Hidrogen peroksida, dengan adanya sebuah ion elektron dan hidrogen
membentuk air dan hidroksil radikal.
f) Hidrogen peroksida, dengan adanya ion besi, membentuk hidroksil
radikal.
3
Fe salt
catalyst
g) Superoksida dan hidrogen peroksida, dengan adanya garam besi
menghasilkan hidroksil radikal.
Nitric oxide (NO●) merupakan radikal bebas yang berperan dalam
sinyal biologis pada berbagai proses fisiologis yang penting termasuk
relaksasi otot polos, neurotransmisi, dan pengaturan sistem immune.
Nitric oxide terbentuk dari berbagai aksi jenis sel melalui nitric oxide
synthase (NOS). Jika nitric oxide dan superoxide overproduksi,
mereka dapat bereaksi bersama-sama membentuk spesies sitotoksik
yang sangat aktif yang disebut peroxynitrite. ketika terjadi reaksi
oksidatif yang berlebihan yang dipicu oleh proses inflamasi, sel-sel
sistem immune memproduksi anion superoksida (O2●-
) dan nitric
oxide (NO●) menghasilkan anion peroxynitrite (ONOO-) yang
merupakan agen aksidasi potent yang dapat menyebabkan fragmentasi
pada DNA dan oksidasi lipid (2,3,4)
II.2. Radikal Bebas Dalam sistem Biologis
Anion superoksida radikal tidak sereaktif hidroksil radikal.
Hidroksil radikal dapat merusak protein, menyebabkan kerusakan
pada untaian DNA, dan menginisiasi peroksidasi lipid. Sebuah
hidroksil radikal tunggal dan molekul oksigen dapat bereaksi dengan
asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid) dan
mengubah struktur atau integritas fungsionalnya. Asam lemak radikal
bebas ini pada gilirannya dapat menyerang asam lemak lain dan dalam
proses, akan berubah menjadi lipid hidroperoksida. penyebarluasan
reaksi ini diprakarsai oleh radikal bebas tunggal tunggal dan hasilnya
akan merusak ribuan molekul asam lemak dan memproduksi beberapa
asam lemak peroksil radikal. Peroksil Radikal dapat bereaksi dengan
lipid lainnya, protein, dan asam nukleat dan dengan demikian
menyebarkan sebuah reaksi berantai yang melibatkan transfer elektron.
Molekul asam lemak peroksida pecah dan membentuk dialdehydes
4
(misalnya, malonaldehid), yang dapat menyebabkan cross-linking
antara berbagai jenis molekul yang menyebabkan
sitotoksisitas,Mutagenisitas, kerusakan membran, dan modifikasi
enzim. Malonaldehyde juga berpolimerisasi dengan dirinya sendiri dan
produk pecahan jaringan lainnya membentuk pigmen yang tidak larut
(Lipofuscin), yang terakumulasi pada penuaan jaringan. Ketika dua
radikal bebas bereaksi dengan masing-masing lainnya, terbentuk
molekul yang stabil dan ini mengakhiri reaksi berantai.(2)
Pada kondisi fisiologis produksi radikal bebas merupakan bagian
dari suatu rangkaian yang normal, dan secara ketat dikontrol oleh
antioksidan; Namun, peningkatan produksi radikal ini dapat
mengganggu pertahanan antioksidan dan dapat berkontribusi pada
perkembangan banyak penyakit. Keadaan yang meningkatkan paparan
oksidan seperti radiasi, polusi lingkungan metabolisme dan beberapa
obat-obatan, dll yang dapat membahayakan kemampuan antioksidan
disebut sebagai stres oksidatif. Istilah stres nitrosative untuk
menggambarkan konsekuensi selular kelebihan NO. Penentuan radikal
bebas sebenarnya seara in vivo adalah sulit karena sangat reaktif,
berumur pendek, dan biasanya terdapat dalam konsentrasi rendah.
reaksi radikal bebas disimpulkan dengan mengidentifikasi produk-
produk peroksidasi lipid, khususnya malonaldehid, yang bereaksi
dengan asam thiobarbituric memberikan suatu senyawa berwarna;
Namun, tes ini tidak spesifik karena malonaldehid dapat lebih lanjut
dimetabolisme oleh jaringan. Radikal bebas bereaksi dengan hampir
semua sel dan jika target mereka adalah DNA, kemungkinan kanker
meningkat, jika target mereka adalah low-density lipoprotein (LDL)
dalam darah, dapat terjadi arteriosklerosis. Radikal bebas generasi
oksigen mengarah pada berbagai kondisi seperti penuaan, kanker,
arteriosklerosis, gangguan neurologis, katarak, penyakit inflamasi
kronis seperti arthritis, dan sebagainya.(2)
5
III. Antioksidan
Antioksidan merupakan vitamin, mineral dan enzim-enzim yang
melindungi sel tubuh dan jaringan dari kerusakan yang diakibatkan
oleh radikal bebas.
III.1 Jenis-Jenis Antioksidan
Telah dikenal beratus-ratus macam antioksidan, dan pembagian
yang umum dikenal antara lain: . (1,3,)
1. Antioksidan Endogen (Endogenous antioxidants)
a) Bilirubin
b) Thiols; seperti glutathione, lipoic acid, N-Acetyl
cysteine
c) NADPH dan NADH
d) Ubiquinone (coenzyme Q10)
e) Uric acid
f) Enzim-enzim:
- Copper/zinc dan manganese dependent superoxide
dismutase (SOD)
- Iron-dependent catalase
- Selenium – dependent glutathione peroxidase
2. Antioxidant dari makanan (Dietary Antioxidants)
a) Vitamin C
b) Vitamin E
c) Beta karotene dan karotenoid lainnya serta
oksikarotenoid;
contoh : likopen dan lutein
d) Polyphenols; contoh flavonoid, flavone, flavonols dan
proanthocyanidin
6
3. Protein yang mengikat logam (Metal binding proteins)
a) Albumin (copper)
b) Ceruloplasmin (copper)
c) Metallothionein (copper)
d) Ferritin (iron)
e) Myoglobin (iron)
f) Transferrin (iron)
Antioksidan secara umum juga diklasifikasikan berdasarkan pada :
A. Larut dalam air (hidrofilik); antioksidan ini bereaksi dengan
oksidan di dalam sitosol sel dan plasma darah
Contoh: Asam askorbat (vitamin C), asam urat, Glutathione, lipoic acid
B. larut dalam lemak (hidrofobik); Antioksidan ini melindungi
membran sel dari peroksidasi lipid.
Contoh : karoten dan α-tokoperol (vitamin E)
Secara fungsional antioksidan dikelompokkan sebagai berikut:
A. Antioksidan primer (mencegah pembentukan radikal bebas)
a) Superokside dismutase (SOD)
b) Glutatione peroksidase (GPx)
B. Antioksidan sekunder (menangkap dan menetralisir radikal
bebas)
a) Vitamin E,C, β Carotene
b) Asam urat, bilirubin
C. Antioksidan tertier (melakukan perbaikan)
a) Enzim yang memperbaiki DNA
b. Methionin Suphoxide Reduktase
III.2. Perlindungan Antioksidan dari Radikal Bebas
7
Radikal bebas diproduksi di hampir setiap sel tubuh manusia pada
tingkat yang mencengangkan tetapi biasanya tidak menyebabkan
kerusakan pada sel dan jaringan oleh karena tubuh kita memiliki berbagai
mekanisme pertahanan antioksidan yang akan menangkal serangan dari
radikal bebas tersebut. Tubuh kita mempunyai beberapa mekanisme
pertahanan endogen seperti superoxide dismutase (SOD),Glutation
Peroksidase, dan katalase dimana enzim-enzim antioksidan ini
memerlukan kofaktor mikronutrien seperti selenium, besi, tembaga, seng,
dan mangan untuk aktivitas katalitik yang optimal. (3,4)
Enzim superoxide dismutase (SOD) merupakan baris pertama
pertahanan terhadap toksisitas oksigen. Enzim ini mengkatalisis konversi
superoksida menjadi hidrogen peroksida yang kurang toksik. Karena
superoksida tidak permeabel terhadap membran, maka dapat
terakumulasi dalam fraksi selular ditempat diproduksi. Dismutase
superoksida terdapat dalam tiga bentuk untuk mencegah akumulasi ini:
SOD-1 yang mengandung copper /zinc di sitosol, SOD-2, yang
mengandung mangan di mitokondria dan SOD-3 yang mengandung
copper/zink di ekstrasellular.(2)
Glutation merupakan antioksidan yang penting yang larut dalam
air, disintesis dari asam amino glisin, glutamat, dan sistein. Glutatione
peroksidase (GP),merupakan suatu enzim yang mengandung selenium
yang terdapat dalam sitosol dan mitokondria. Glutatione berperan penting
dalam metabolisme xenobiotic. Ketika seseorang terkena xenobiotik
tingkat tinggi, glutatione lebih banyak digunakan untuk konjugasi
(langkah kunci dalam proses detoksifikasi tubuh) sehingga peranan
sebagai antioksidan berkurang. Glutatione dan vitamin C bekerja secara
interaktif untuk menetralkan radikal bebas dan masing-masing saling
memiliki sparing effect. (2)
8
Katalase, enzim yang mengandung heme, terletak di organel
Peroksisom, juga memecah hidrogen peroksida menjadi air. Selenium dan
zink umumnya disebut sebagai antioxidant nutrients dimana unsur-unsur
tersebut tidak dapat berperan sebagai antioksidan secara sendiri melainkan
dibutuhkan oleh beberapa antioksidan enzim untuk aktivitasnya. (2)
Fungsi enzim-enzim antioksidan sangat efisien dalam menjaga
radikal bebas pada kadar minimal di dalam sel, namun pertahanan
enzimatik antioksidan terhadap beberapa jenis spesies oksigen reaktif
(misalnya, singlet oksigen dan hidroksil radikal) kurang efektif atau tidak
cukup. Tubuh juga bergantung pada makanan yang mengandung zat
dengan sifat antioksidan untuk dapat menetralisir spesies dengan efektif
yang menangkap berbagai spesies oksigen reaktif secara langsung.(2)
Vitamin E mengacu pada sekelompok senyawa terkait (tokoferol)
merupakan molekul yang sangat lipofilik dan hampir keseluruhan berada
pada membran sel dan lipoprotein. dianggap sebagai salah satu
antioksidan yang paling penting yang ditemukan pada membran lipid yang
dapat bereaksi secara langsung dengan berbagai radikal termasuk peroksil,
hidroksil, dan superoksida radikal. Vitamin E melindungi asam lemak tak
jenuh ganda pada membran terhadap serangan peroksidasi dengan
menangkap peroksil radikal . Tokoferol secara luas didistribusikan di alam
dan sumber terbanyak adalah minyak nabati.(2,4)
Karoten merupakan bagian dari beberapa ratus pigmen yang larut
dalam lemak yang terdapat pada buah-buahan dan sayuran warna kuning
dan hijau . Selain menjadi prekursor vitamin A, pigmen ini juga bersifat
antioksidan dengan menangkap radikal bebas terutama untuk peroksil dan
hidroksil radikal. Flavonoid merupakan kelompok besar senyawa
polifenol yang terjadi secara alami dalam buah-buahan dan sayuran serta
minuman seperti teh dan anggur. Flavonoid yang paling penting adalah
anthocyanin, flavonol,dan flavon. Flavonoid larut dalam air dan
9
menangkap oksigen singlet dan superoksida, peroksil, dan radikal peroksil
lipid.(2)
Genistein merupakan salah satu jenis isoflavon yang ditemukan
pada beberapa tanaman yang menjadi sumber makanan utama seperti
kacang kedelai. Aktivitas utama genistein yang dikenal adalah tirosin
kinase inhibitor, terbanyak ditemukan pada epidermal growth factor
receptor (EGFR). Tirosin kinase terlibat dalam hampir semua
pertumbuhan dan proliferasi sel. Genistein dan isoflavon lainnya
diidentifikasi sebagai inhibitor angiogenesis, dan ditemukan dapat
menghambat pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali, kemungkinan
besar dengan menghambat aktivitas growth factors, yang mengatur
pembelahan dan kelangsungan hidup sel.
walaupun suplemen fitonutrisi sekarang banyak tersedia, cara
terbaik untuk memastikan asupan fitonutrien adalah dengan memakan
berbagai macam buah-buahan dan sayuran segar.
III.3. Peranan Antioksidan Pada Kesehatan Telinga,
Hidung,Tenggorok, Kepala dan Leher
a.Tonsilitis Kronik dan Hipertropi Adenoid
Taner Yilmaz dkk melakukan penelitian secara acak, prospektif
dan terkontrol terhadap 38 orang anak usia 2-14 tahun (14 orang
perempuan dan 24 orang laki-laki) yang menderita tonsillitis kronik dan
hipertropi adenoid yang menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi. Kadar
antioksidan darah (retinol, β-karoten, α-tokoferol, likopen, asam askorbat,
superokside dismutase, glutation peroksidase, GSH) dan produk-produk
peroksidasi (malondialdehid) diukur sebelum dan 1 bulan setelah operasi.
Taner menemukan bahwa kadar antioksidan darah meningkat dan kadar
oksidan menurun signifikan setelah operasi (P <0,05). Tonsilektomi dan
10
adenoidektomi secara signifikan menurunkan stres oksidatif pada pasien,
walaupun tidak dapat menormalkan sepenuhnya. Taner menyimpulkan
bahwa antioksidan dan oksidan memainkan peranan yang signifikan
dalam patogenesis tonsilitis kronis dan hipertrofi adenoid pada anak-anak. (5)
b. Otitis Media dengan Efusi
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Taner Yilmaz dkk
terhadap 24 orang anak-anak (8 orang perempuan dan 16 orang laki-laki)
penderita otitis media dengan efusi yang menjalani bilateral ventilation
tube insertion dan adenoidektomi. Kadar antioksidan (retinol, β-karoten,
α- Tokoferol, likopen, asam askorbat, superoksida dismutase, glutation
peroksidase, GSH) dan produk oksidasi (malondialdehid) diukur dalam
darah, jaringan adenoid dan cairan telinga tengah sebelum dan 1 bulan
setelah operasi. Penelitian ini menemukan kadar antioksidan darah
meningkat dan kadar oksidan darah menurun secara signifikan setelah
operasi (P <0,05). penyisipan tabung ventilasi dan adenoidektomi secara
signifikan menurunkan stres oksidatif pada pasien, walaupun tidak
menormalkan sepenuhnya. (6)
Husnu Ozek dkk meneliti secara prospektif peranan
perlindungan antioksidan pada otitis media dengan efusi (OME) dan
hubungannya dengan kehilangan pendengaran pada 26 orang anak yang
menderita otitis media yang serius. Perlindungan Antioksidan dinilai
dengan mengukur konsentrasi superoxide dismutase (SOD) dan
glutathione (GSH) pada efusi telinga tengah dan eritrosit. Kesimpulan
penelitian ini adalah terdapat korelasi positif antara aktivitas SOD dan
konsentrasi GSH pada middle ear effusion (MEE) dengan kehilangan
pendengaran yang mempresentasikan potensi mekanisme pertahanan lokal
sejalan dengan kerusakan jaringan oksidatif. Korelasi positif antara efusi
11
dan kadar GSH dalam darah mendukung bahwa supplementasi GSH
sistemik mungkin bermanfaat untuk mempotensiasi status GSH lokal. (7)
Pemberian Suplementasi zink sulfat oral bersama dengan
coamoxiclav memberikan tingkat respon perbaikan klinis yang lebih baik
pada penderita otitis media dengan efusi (OME) dibandingkan dengan
coamoxiclav saja. Hal ini dikemukakan oleh Poopak Izadi dkk yang
meneliti secara acak, double blind, terhadap 29 orang anak-anak berumur
4 sampai 14 tahun yang menderita OME. Keefektifan obat dinilai setelah
pemberian 3 sampai 6 minggu dimana pada akhir pengobatan pertama (3
minggu), 62,1% anak-anak pada kelompok zink mengalami perbaikan
sedangkan anak-anak pada kelompok plasebo 43,5% walaupun pada
akhir pengobatan kedua (6 minggu) tidak ada perbedaan signifikan antara
kedua kelompok (8)
C. Karsinoma Nasopharing
Anita Jayasurya dkk dari bagian anatomi, farmakologi, dan
patologi National University of Singapore, menyelidiki pentingnya
ekspresi glutathione S-transferase-π (GST-π) pada karsinoma nasofaring
dengan melakukan evaluasi terhadap expresi GST- π pada specimen
jaringan KNF dan menilai hubungannya dengan besi jaringan sebagai pro-
oksidan. Ekspresi imunohistokimia GST- π diamati pada 55 bagian
jaringan KNF dan 4 nasofaring yang normal. sebelas spesimen biopsi
nasofaring (4 normal dan 7 KNF) dianalisis untuk menentukan kadar zat
besi jaringan. Hasil penelitian didapatkan, GST- π immunoreactivity
yang diamati pada semua bagian KNF, persentase immunopositive sel
mulai dari 1,0% sampai 72,0%. Kadar besi jaringan secara signifikan
lebih tinggi pada jaringan KNF dibandingkan dengan jaringan normal (P
=. 001). Kesimpulan penelitian ini adalah sel-sel tumor nasofaring
dapat merespon pro-oksidan dengan memodulasi pertahanan antioksidan
intraseluler atau endogen dan ekspresi Glutathione S-transferase- π
12
tampaknya terkait dengan metastasis lymphogenous pada karsinoma
nasofaring. (9)
Penurunan konsentrasi selenium serum merupakan salah satu
karakteristik pada pasien kanker kepala dan leher. Hubungan antara kadar
selenium endogen dengan volume tumor diteliti oleh Jens Buntzel dkk
terhadap 100 orang pasien kanker kepala dan leher yang tidak diobati,
dengan menggunakan spektrometri serapan atom. Hasil penelitian tersebut
didapatkan bahwa konsentrasi selenium serum secara signifikan
berhubungan dengan tumor resectability pada pasien kanker kepala dan
leher. Analisis statistik pada penelitian ini menunjukkan konsentrasi
selenium cenderung lebih rendah pada kelompok pasien dengan tumor
yang lebih besar. (10)
Kandungan selenium di dalam serum dan rambut penderita KNF
juga lebih rendah dibandingkan dengan orang sehat seperti yang
ditemukan oleh Huang Jia-Chen dkk di daerah Sihui county, dan
perbedaan ini bermakna secara signifikan.(11)
L Kiremidjian-Schumacher dkk melakukan penelitian secara
randomized double-blind placebo-controlled untuk menentukan apakah
asupan sodium selenite 200 microg per hari secara oral (dosis harian
yang direkomendasikan oleh U.S Food and Nutrition Board yang cukup
dan aman = 50-200 microg per hari) pada pasien karsinoma sel skuamosa
kepala dan leher yang mendapat terapi, dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh ke tingkat yang normal. Subjek diberi satu tablet
selenium per hari selama 8 minggu, dimulai pada hari perawatan pertama
(misalnya pembedahan, radiasi atau pembedahan dan radiasi) dan fungsi
kekebalan tubuh diamati. Hasil penelitian ditemukan bahwa suplementasi
dengan selenium (Se) selama terapi meningkatkan respon immune yang
dimediasi sel (cell-mediated immunue) secara signifikan, yang tercermin
pada kemampuan limfosit pasien untuk merespon rangsangan dengan
13
mitogen untuk menghancurkan sel tumor dan menghasilkan limfosit
sitotoksik. (12)
Hongyu Han dkk meneliti efek penghambatan genistein pada sel-
sel KNF dan kemungkinan mekanisme yang mendasarinya, yang
memberikan wawasan baru dalam intervensi KNF dengan menggunakan
genistein. Hongyu Han menemukan bahwa genistein (dose-dependently)
menghambat prolifersi human NPC cell line CNE2 cells. Analisis DNA
flow cytometric menunjukkan bahwa 30-120 microM genistein
menginduksi phase arrest G2/M dalam sel-sel KNF. Kadar ekspresi
protein pada regulator siklus sel p21(Cip1) dan ATR (Ataxia
telangiectasia and Rad3 related) meningkat mengikuti treatment
genistein. (13)
d. Rinitis Alergi
Studi kohort yang dilakukan oleh Kristin Marmsjo dkk terhadap
2423 orang anak-anak swedia berusia 8 tahun untuk mengetahui
hubungan antara suplementasi multivitamin yang mengandung antioksidan
dengan penyakit alergi termasuk rinitis alergi menemukan bahwa secara
umum tidak ada hubungan yang kuat dan konsisten yang diamati antara
penggunaan multivitamin saat ini dengan rinitis alergi, namun anak-anak
yang memulai konsumsi multivitamin sebelum atau pada usia 4 tahun
cenderung mempunyai hubungan terbalik dengan penyakit alergi
termasuk rinitis alergi. Tidak ada hubungan antara penggunaan
multivitamin yang mengandung antioksidan yang dikonsumsi saat itu
dengan risiko penyakit alergi termasuk rinitis alergi , tetapi suplementasi
multivitamin selama tahun-tahun pertama kehidupan dapat mengurangi
risiko penyakit alergi termasuk rinitis alergi pada usia sekolah. (14)
14
IV. Kesimpulan
Antioksidan sangat berperan pada kesehatan telinga, hidung,
tenggorok kepala dan leher, baik dalam proses peradangan maupun
dalam memodulasi aktivitas mukosiliar dan imunitas, sehingga
pemberian antioksidan baik dari suplemen ataupun makanan mungkin
saja akan sangat bermanfaat dalam membantu proses penyembuhan
dan mempertahankan kondisi kesehatan yang optimum.
15