Post on 30-Jan-2016
description
REDUKSI-OKSIDASI (REDOKS)Aldilla Putra Trisna;Devri Windi Sari;Fahima Ariani;Nurul Sakinah
15KIMIA ANALISIS
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah swt karena dengan izin-Nya kita masih di beri kesempatan
dalam menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “REDOKS”. Dan tak lupa pula
penulis haturkan salawat dan salam atas junjungan Rasulullah Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat serta para pengikutnya sampai akhir zaman, amin.
Adapun maksud penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Kimia
Analisis Penyusun telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan makalah ini
dengan memberikan gambaran secara deskriptif agar mudah di pahami.
Namun penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
dari pada itu penyusun memohon saran dan arahan yang sifatnya membangun guna
kesempurnaan makalah ini di masa akan datang dan penyusun berharap makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Tulungagung, 23 November 2015
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Tujuan..................................................................................................................1
BAB II ISI
2.1 Teori Reaksi Redoks............................................................................................2
2.2 Jenis – Jenis Reaksi Redoks.................................................................................3
2.3 Prinsip Reaksi Redoks..........................................................................................12
2.4 Indikator Redoks..................................................................................................13
2.5 Aplikasi Analisis Reaksi Redoks Dalam Analisis Obat Dan Bahan Obat
Beserta Beberapa Contohnya..............................................................................18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................19
3.2 Saran.....................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Redoks (singkatan dari reaksi reduksi/oksidasi) adalah istilah yang
menjelaskan berubahnya bilangan oksidasi (keadaan oksidasi) atom-atom
dalam sebuah reaksi kimia. Hal ini dapat berupa proses redoks yang
sederhana seperti oksidasi karbon yang menghasilkan karbon dioksida, atau
reduksi karbon oleh hidrogen menghasilkan metana(CH4), ataupun ia dapat
berupa proses yang kompleks seperti oksidasi gula pada tubuh manusia
melalui rentetan transfer elektron yang rumit. Istilah redoks berasal dari dua
konsep, yaitu reduksi dan oksidasi.
Titrasi redoks melibatkan reaksi oksidasi dan reduksi antara titran dan
analit. Titrasi redoks banyak dipergunakan untuk penentuan kadar logam
atau senyawa yang bersifat sebagai oksidator atau reduktor. Aplikasi dalam
bidang industri misalnya penentuan sulfite dalam minuman anggur dengan
menggunakan iodine, atau penentuan kadar alkohol dengan menggunakan
kalium dikromat. Beberapa contoh yang lain adalah penentuan asam oksalat
dengan menggunakan permanganate, penentuan besi(II) dengan serium(IV),
dan sebagainya.
Karena melibatkan reaksi redoks maka pengetahuan tentang
penyetaraan reaksi redoks memegang peran penting, selain itu pengetahuan
tentang perhitungan sel volta, sifat oksidator dan reduktor juga sangat
berperan. Dengan pengetahuan yang cukup baik mengenai semua itu maka
perhitungan stoikiometri titrasi redoks menjadi jauh lebih mudah.
1.2 Tujuan
Mengetahui prinsip dasar titrasi redoks
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori reaksi redoks
Pengetahuan manusia mengenai reaksi redoks senantiasa berkembang.
Perkembangan konsep reaksi redoks menghasilkan dua konsep, klasik dan
modern. Awalnya, reaksi redoks dipandang sebagai hasil dari perpindahan atom
oksigen dan hidrogen. Oksidasi merupakan proses terjadinya penangkapan
oksigen oleh suatu zat. Sementara itu reduksi adalah proses terjadinya pelepasan
oksigen oleh suatu zat. Oksidasi juga diartikan sebagai suatu proses terjadinya
pelepasan hidrogen oleh suatu zat dan reduksi adalah suatu proses terjadinya
penangkap hidrogen. Oleh karena itu, teori klasik mengatakan bahwa oksidasi
adalah proses penangkapan oksigen dan kehilangan hidrogen. Di sisi lain, reduksi
adalah proses kehilangan oksigen dan penangkapan hidrogen. Seiring
dilakukannya berbagai percobaan, konsep redoks juga mengalami perkembangan.
Munculah teori yang lebih modern yang hingga saat ini masih dipakai. Dalam
teori ini disebutkan bahwa:
a. Oksidasi adalah proses yang menyebabkan hilangnya satu atau lebih elektron
dari dalam zat. Zat yang mengalami oksidasi menjadi lebih positif.
b. Reduksi adalah proses yang menyebabkan diperolehnya satu atau lebih
elektron oleh suatu zat. Zat yang mengalami reduksi akan menjadi lebih
negatif.
Teori ini masih dipakai hingga saat ini. Jadi proses oksidasi dan reduksi
tidak hanya dilihat dari penangkapan oksigen dan hidrogen, melainkan dipandang
sebagai proses perpindahan elektron dari zat yang satu ke zat yang lain.
Walaupun cukup tepat untuk digunakan dalam berbagai tujuan, penjelasan
diatas tidaklah persis benar. Oksidasi dan reduksi tepatnya merujuk pada
perubahan bilangan oksidasi karena transfer elektron yang sebenarnya tidak akan
selalu terjadi. Sehingga oksidasi lebih baik didefinisikan sebagai peningkatan
bilangan oksidasi, dan reduksi sebagai penurunan bilangan oksidasi. Dalam
prakteknya, transfer elektron akan selalu mengubah bilangan oksidasi, namun
terdapat banyak reaksi yang diklasifikasikan sebagai "redoks" walaupun tidak ada
2
transfer elektron dalam reaksi tersebut (misalnya yang melibatkan ikatan
kovalen). Reaksi non-redoks yang tidak melibatkan perubahan muatan formal
(formal charge) dikenal sebagai reaksi metatesis.
2.2 Jenis-Jenis reaksi redoks
2.2.1 Titrasi yang melibatkan Iodium
Titrasi yang melibatkan iodium dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu titrasi
langsung (iodimetri) dan titrasi tidak langsung (iodometri)
a. Titrasi Langsung
Iodium merupakan oksidator yang relatif kuat dengan nilai potensial
oksidasi sebesar +0,535 V. Pada saat reaksi oksidasi, iodium akan
direduksi menjadi iodida sesuai dengan reaksi :
I2 + 2 e- → 2 I-
Iodium akan mengoksidasi senyawa-senyawa yang mempunyai
potensial reduksi yang lebih kecil dibanding iodium. Vitamin C
mempunyai potensial reduksi yang lebih kecil daripada iodium sehingga
dapat dilakukan titrasi langsung dengan iodium. Reaksi yang terjadi
dituliskan dalam gambar 7. 10
Larutan baku iodium yang telah dibakukan dapat digunakan untuk
membakukan larutan natrium tiosulfat. Deteksi titik akhir pada iodimetri
ini dilakukan dengan menggunakan indikator amilum yang akan
memberikan warna biru pada saat tercapainya titik akhir.
3
b. Titrasi tidak langsung (iodometri)
Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk
menetapkan senyawa-senyawa yang mempuyai potensial oksidasi yang
lebih besar dari pada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang
bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O. pada iodometri, sampel yang
bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan
menghasilkan iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku
natrium tiosulfat. Banyak volume natrium tiosulfat yang digunakan
sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan dan setara dengan
banyaknya sampel.
Sebagai contoh adalah penentuan kandungan klorin (Cl2) dalam agen
pemutih. Klorin akan mengoksidasi iodida untuk menghasilkan iodium.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Cl2 + 2 I- → 2 Cl- + I2
Selanjutnya iodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan baku
natrium tiosulfat menurut reaksi:
2S2O32- + I2 → S4O6
2- + 2I-
c. Penyerapan Iodium Oleh Senyawa-Senyawa Penisilin
Masalah stabilitas yang utama dalam senyawa-senyawa penicilin
adalah hidrolisis cincicn β-laktam sebagaimana ditunjukkan oleh gambar
7.11
Jika cincin β-laktam terbuka maka akan mengkonsumsi iodium. Tiap
1 mol cincin β-laktam yang terbuka akan bereaksi dengan 8 ekivalen
iodium, sementara cincin β-laktam yang utuh tidak akan bereaksi dengan
iodium. Dalam jenis titrasi ini, iodium berlebihan ditambahkan pada
sampel pencilin dan iodium sisa (yang tidak bereaksi) dititrasi kembali
dengan larutan baku natrium tiosulfat.
4
2.2.2 Permanganometri
Permanganometri adalah titrasi redoks yang menggunakan KMnO4
(oksidator kuat) sebagai titran. Dalam permanganometri tidak diperlukan
indikator, karena titran bertindak sebagai indikator (auto indikator).
Kalium permanganat bukan larutan baku primer, maka larutan KMnO4
harus distandarisasi, antara lain dengan arsen(III) oksida (As2O3) dan
Natrium oksalat (Na2C2O4). Permanganometri dapat digunakan untuk
penentuan kadar besi, kalsium dan hidrogen peroksida. Pada penentuan
besi, pada bijih besi mula-mula dilarutkan dalam asam klorida, kemudian
semua besi direduksi menjadi Fe2+, baru dititrasi secara permanganometri.
Sedangkan pada penetapan kalsium, mula-mula kalsium diendapkan
sebagai kalsium oksalat kemudian endapan dilarutkan dan oksalatnya
dititrasi dengan permanganat.
Permanganometri merupakan metode titrasi dengan menggunakan
kalium permanganat, yang merupakan oksidator kuat sebagai titran. Titrasi
ini didasarkan atas titrasi reduksi dan oksidasi atau redoks. Kalium
permanganat telah digunakan sebagai pengoksida secara meluas lebih dari
100 tahun. Reagensia ini mudah diperoleh, murah dan tidak memerlukan
5
indikator kecuali bila digunakan larutan yang sangat encer. Permanganat
bereaksi secara beraneka, karena mangan dapat memiliki keadaan oksidasi
+2, +3, +4, +6, dan +7 . Larutan permanganat berwarna ungu, jika titrasi
dilakukan untuk larutan yang tidak berwarna, indikator tidak diperlukan.
Namun jika larutan permangant yang kita pergunakan encer, maka
penambahan indikator dapat dilakukan. Beberapa indikator yang dapat
dipergunakan seperti feroin, asam N-fenil antranilat.
Dalam suasana asam atau [H+] ≥ 0,1 N, ion permanganat mengalami
reduksi menjadi ion mangan (II) sesuai reaksi :
MnO4- + 8H+ + 5e- ↔ Mn2+ + 4H2O Eo = 1,51 Volt
Dalam suasana netral, ion permanganat mengalami reduksi menjadi
mangan dioksida seperti reaksi berikut :
MnO4- + 4H+ + 3e- MnO2 + 2H2O Eo = 1,70 Volt
Dan dalam suasana basa atau [OH-] ≥ 0,1 N, ion permanganat akan
mengalami reduksi sebagai berikut:
MnO4- + e- ↔ MnO4
2-
2.2.3 Serimetri
Larutan serium (IV) sulfat dalam asam sulfat encer merupakan zat
pengoksidasi yang kuat dan lebih stabil daripada larutan kalium
permanganate, dengan suatu syarat bahwa asam sulfat cukup mampu
menghindari hidrolisis dan pengendapan garam basanya. Kalau larutan
kalium permanganat dapat direduksi menjadi beberapa macam keadaan
hasil reduksi , maka reduksi larutan serium (IV) sulfat selalu menghasilkan
ion serium (III), menurut reaksi : Ce4+ + e- → Ce3+
Jika dibandingkan dengan kalium permanganate dan kalium bikromat,
maka penggunaan larutan baku serium (IV) sulfat mempunyai beberapa
keuntungan yaitu :
1. Larutan serium (IV) sulfat sangat stabil pada penyimpanan yang
lama dan tidak perlu terlindung dari cahaya seperti larutan kalium
6
permanganate, bahkan pada pendidihan yang terlalu lama tidak
mengalami perubahan konsentrasi. Asam sulfat yang diperlukan
untuk pengasaman sekitar 10 sampai 40 ml asam sulfat tiap liter
larutan. Dengan demikian terbukti bahwa larutan serium (IV) sulfat
lebih stabil jika dibandingkan dengan larutan kalium permanganate.
2. Larutan serium (IV) sulfat dapat digunakan untuk menetapkan kadar
larutan yang mengandung klorida yang konsentrasinya tinggi.
3. Reaksi ion serium (IV) dengan reduktor dalam larutan asam
memberikan perubahan valensi yang sederhana(valensinya satu).
Ce4+ + e- → Ce3+
Sehingga berat ekivalennya adalah sama dengan berat molekulnya,
sedangkan pada permanganate karena hasil reduksinya bermacam-
macam, maka berat ekivalennya tergantung pada kondisi
percobaannya.
3. Larutan serium (IV) sulfat merupakan pengoksidasi (oksidator) yang
baik sehinnga semua senyawa yang dapat ditetapkan dengan kalium
permanganate dapat ditetapkan dengan serium (IV) sulfat bahkan
dengan reduktor lain.
4. Larutan serium (IV) sulfat kurang berwarna sehingga tidak
mengkaburkan pengamatan titik akhir dengan indicator. Penggunaan
indicator ion fero-fenantrolin (ferroin) sangat memuaskan pada
titrasi denagn larutan baku serium (IV) sulfat.
Larutan serium (IV) sulfat dalam asam klorida pada suhu didih tidak
stabil karena terjadi reduksi oleh asam dan terjadi pelepasan klorin
menurut reaksi berikut :
2Ce4+ + 2 Cl- 2Ce3+ + Cl2
Reaksi ini pada pendidihan berjalan cepat, oleh karena itu jika
diperlukan pendidihan maka digunakan asam sulfat. Jika pada suhu kamar,
maka dapat digunakan asam klorida encer. Penggunaan asam fluoride
tidak dapat dilakukan karena akan membentuk kompleks dengan larutan
7
serium(IV) sulfat yang sangat stabil dan warna kuning dari larutan serium
(IV) sulfat akan hilang.
Beberapa senyawa yang ditetapkan kadarnya secara serimetri dalam
Farmakope Indonesia Edisi IV adalah : besi (II) fumarat, besi (II)
glukonat, besi (II) sulfat, hidroquinon, vitamin K (menadion), vitamin E
(tokoferol) bebas.
2.2.4 Titrasi yang melibatkan Brom (Br2)
Brom dapat digunakan seagai oksidator seperti iodium. Brom akan
direduksi oleh zat-zat organic dengan terbentuknya senyawa hasil substitisi
yang tidak larut dalam air misalnya tribrimofenol, tribromoanilin, dsb yang
reaksinya berlangsung secara kuantitatif. Brom juga dapat digunakan
untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa organic yang mampu bereaksi
secara adisi atau substitisi dengan brom.
Selain bromnya sendiri , brom dapat juga diperoleh dari hasil
pencampuran kalium bromat dan kalium bromide dalam lingkungan asam
kuat sesuai dengan reaksi berikut :
KBrO3 + 5KBr + 6HCl → 3Br2 + 6KCl + 3H2O
Brom yang dibebaskan ini kemudian mengoksidasi iodide yang setara
dengan jumlah iodium yang dihasilkan menurut reaksi :
Br2 + 2KI → I2 + 2KBr
Iodium ini selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat
menurut reaksi :
I2 + 2Na2S2O3 → 2NaI + Na2S2O6
Adanya brom tidak langsung dititrasi dengan natrium tiosulfat
dikarenakan perbedaan potensial yang sangat besar, akibatnya jika brom
langsung dititrasi dengan natrium tiosulfat maka yang dihasilkan tidak
hanya tetrationat (S4O62-) tetapi juga sulfat (SO4
2) bahkan mungkin sulfide
yang berupa endapan kuning.
8
Larutan baku brom dapat digunakan untuk menetapkan kadar fenol
dengan cara sebagai berikut : timbang secara seksama kurang lebih 2 gram
, masukkan dalam labu takar 1000 ml, dan encerkan dengan air sampai
tanda batas. Pipet 20,0 ml larutan ini dan masukkan dalam labu iodium.
Tambahkan 30,0 ml larutan bromo 0,1 N secara tepat dan 5 ml HCl pekat,
dan dengan segera labu ditutup untuk menghindari menguapnya brom.
Goyang-goyangkan selama 30 menit dan diamkan selama 15 menit.
Tambahkan 5 ml larutan KI 20 %, hati-hati terhadap uap brom yang
dilepaskan, segera tutup dan gojok baik-baik supaya kelebihan brom
bereaksi dengan KI menghasilkan iodium yang setara dengan brom sisa.
Tambahkan 5 ml kloroform. Iodium yang terbentuk dititrasi dengan
larutan baku natrium tiosulfat 0,1 N dengan menggunakan 3 ml larutan
kanji 0,5 % sebelum titik akhir sebagai indicator. Lakukan titrasi blanko.
Tiap ml brom 0,1 N setara dengan 1,569 mg fenol.
Ketika asam klorida pekat ditambahkan mak brom akan dibebaskan ,
dan brom ini akan bereaksi dengan fenol untuk menghasilkan endapan
putih tribromofenol dan asam bromide menrut reaksi :
KBrO3 + 5KBr + 6HCl 3Br + 6KCl + 3H2O
Labu yang digunakan harus tertutup rapat untuk menghindari
menguapnya brom, sedangkan penggojokan selama 30 menit bertujuan
supaya reaksi fenol dengan brom berlangsung secara sempurna.
9
Penambahan KI bertujuan untuk mengubah brom menjadi iodium sesuai
dengan reaksi : Br2 + 2KI → I2 + 2KBr
Sedangkan penambahan 5 ml kloroform bertujuan untuk melarutkan
endapan tribromofenol. Iodium yang terbentuk selanjutnya dititrasi dengan
larutan baku natrium tiosulfat
Beberapa senyawa yang ditetapkan kadarnya dengan larutan baku
brom dalam Farmakope Indonesia Edisi IV : klorokresol, fenol, fenol cair,
fenileprin HCl, resorsinol, dan timol.
2.2.5 Titrasi yang melibatkan iodat
larutan kalium iodat dibuat dengan melarutkan sejumlah tertentu
kalium iodat dalam air secukupnya. Kalium iodat dapat diperoleh dalam
keadaan murni dan bersifat stabil sehingga larutan ini tidak perlu
dibakukan kembali. Larutan baku kalium iodat tidak menggunakan
normalitas akan tetapi molaritas karena normalitasnya dapat bermacam-
macam, tergantung reaksinya. Dalam hal ini maka reduksi kalium iodat
menjadi iodide tidak bisa seragam sebagaimana kalium bromat. Pada
reaksi berikut :
IO3- + 6H+ + 6e ↔ I- + 3H2O (I)
Maka 1 mol kalium iodat setara dengan 6 elektron akibatnya
valensinya adalah 6 sehingga 0,05M sama dengan 0,3 N, akan tetapi jika
digunakan kelebihan kalium iodat maka yang terjadi pada reaksi (I) akan
terbentuk iodium, sehingga kelebihan iodat dan iodium dapat ditetapkan
secara iodometri. Reduksi iodat menjadi iodium dapat ditulis denagnreaksi
berikut :
2IO3 + 12H+ + 10e → I2 + 6H2O (II)
Pada reaksi (II) ini maka 2 mol iodat setara dengan 10 elektron
sehingga valensinya 5 akibatnya larutan 0,05 N setara dengan 0,25 N.
reaksi ini tidak digunakan untuk penetapan yang resmi.
10
Dengan beberapa persyaratan , maka hasil reduksi iodat menjadi
iodide dan iodium (reaksi I dan II ) dapat diubah menjadi I+ secara
kuantitatif. Pada penggunaanya dalam titrasi, pengubahan menjadi I+
dilakukan dengan memberikan konsentrasi HCl yang lebih tinggi. Iodium
yang mula – mula terbentuk dari kalium iodat mengalami solvalisis dalam
pelarut polar menurut reaksi berikut :
I2 ↔ I+ + I-
Dengan adanya konsentrasi HCl yang cukup maka kation iodium
membentuk iodomonoklorida yang kemudian terjadi stabilisasi dengan
membentuk ion kompleks menurut reaksi :
I+ + HCl ↔ ICl+ + H+
Cl + HCl ↔ ICl2- + H+
I+ + 2HCl ↔ICl2- + 2H+
Pembentukan iodo monoklorida inilah yang digunakan dalam
penetapan kadar beberapa zat reduktor. Pada cara ini maka reaksi
reduksinya berjalan sabagai berikut :
IO3- + 6H+ + 4e ↔ I+ + 3H2O
Pada reaksi ini maka 1 mol iodat setara dengan 4 elektron sehingga
valensinya adalah 4, akibatnya 0,05 M sama dengan 0,2 N.
Pada penetapan kadar dengan kalium iodat digunakan kloroform atau
karbon tetraklorida untuk menetapkan titik akhirnya. Pada permulaan
titrasi ketika terbentuk iodium maka permukaan kloroform meenjadi
berwarna, setelah semua zat pereduksi sudah dioksidasi maka iodat dan
iodidanya bereaksi dengan I+ sehingga warna dari lapisan kloroform akan
hilang. Disisni tidak digunakan larutan kanji , karena pada keasaman yang
tinggi tidak terbentuk warna biru dari kompleks kanji-iodium. Selain
pelarut organic dapat juga digunakan zat warna tertentu seperti amaranth,
brilianth ponceau, dsb.
11
2.2.6 Titrasi dengan Kalium Bromat
Kalium bromat merupakan oksidator kuat dalam lingkungan asam dan
reaksinya dengan zat-zat pereduksi akan diubah menjadi bromida menurut
reaksi :
BrO3- + 6H+ + 6e ↔ Br - + 3H2O
Yang selanjutnya pada titik akhir titrasi akan terbentuk brom menurut
reaksi :
KBrO3 + 5KBr +6 HCl →3Br2 + 6KCl + 3H2O
Karena 1 mol KBrO3 setara dengan 6 elektron maka 1 gram ekivalen
KBrO3 sama dengan 1/6 gram mol.
Dengan terbentuknya brom, titik akhir titrasi dapat ditentukan
dengan terbentuknya warna kuning dari brom, akan tetapi supaya warna
ini menjadi jelas maka perlu ditambah indikator seperti jingga metil,
merah fushin, dll.
Dalam suasana asam, indikator-indikator ini mempunyai warna
yang biasa muncul dalam suasana asam sebagaimana dalam indikator
asam-basa, tetapi pada saat titik akhir titrasi indikator ini akan dirusak
dengan adanya kelebihan brom sehingga warnanya berubah dan tidak akan
kembali lagi jika misalnya ditambah dengan reduktor.jadi indikator ini
bersifat irriversibe. Titrasi langsung dengan larutan kalium bromat yang
menggunakan indikator irriversibel, biasanya dilakukan dalam lingkungan
HCl 1,5-2 N.
Pada akhir titrasi terbentuk brom dan klor, yang dengan segera
memucatkan warna indiktor menurut reaksi :
6 Cl- + 2BrO3- +12H- → Br2 + 5 Cl2 + 6 H2O
2.3 Prinsip reaksi redoks
Titrasi Reduksi oksidasi (redoks) adalah suatu penetapan
kadar reduktor atau oksidator berdasarkan atas reaksi
oksidasi dan reduksi antara analit dengan titran, dimana
reduktor akan teroksidasi dan oksidator akan tereduksi.
Analit yang mengandung spesi reduktor di titrasi dengan
12
titran yang berupa larutan standar dari oksidator atau
sebaliknya.
Zat yang bersifat oksidator seperti KMnO4, K2CrO4, I2, dan zat yang
bersifat reduktor seperti H2C2O4, Fe2+, Sn2+ dapat ditentukan dengan metode
titrasi redoks ini. Reaksi redoks terlibat saat titran dan analit bereaksi.
Beberapa metode titrasi redoks tidak membutuhkan indicator untuk melihat
titik akhir titrasi seperti titrasi antara KMnO4 dan H2C2O4 disebabkan KMnO4
itu sendiri sudah berwarna. Sedangkan Amylum biasanya dipakai untuk titrasi
yang melibatkan senyawa I2 (Khairun, 2009).
Indikator titrasi redok merupakan senyawa berwarna yang akan berubah
warna jika teroksidasi atau tereduksi. Indikator akan bereaksi secara redoks
dengan penitrasi setelah semua larutan yang dititrasi habis bereaksi dengan
penitrasi, karena indicator ditambahkan dalam jumlah kecil. Pemilihan
indikator titrasi redoks yaitu indikator yang mempunyai harga kisaran
potensial yang berada disekitar harga potensial titik ekivalen titrasi. Indikator
harus bereaksi secara cepat dengan penitrasi. Bila indikator bereaksi lambat
maka titik akhir titrasi akan datang terlambat, sehingga akan lebih banyak
volume penitrasi yang diperlukan dari yang seharusnya (Wiryawan et al.,
2008).
Titik akhir titrasi redoks dapat ditetapkan dengan beberapa cara yaitu
mengikuti titrasi secara potensiometri, titran bertindak sebagai indikator atau
auto indikator, contoh: KMnO4, menggunakan indikator spesifik contoh:
kanji, dan menggunakan indikator redoks contoh kompleks besi (II) 1,10-
fenantrolin (feroin) dan difenilamin. Indikator redoks adalah zat warna yang
dapat berubah warnanya bila direduksi atau dioksidasi. Setiap indikator
redoks berubah warna pada trayek potensial tertentu. Indikator yang dipilih
harus mempunyai perubahan potensial yang dekat dengan potensial titik
ekivalen (Etnarufiati, 2009).
2.4 Indikator
Titrasi redoks melibatkan reaksi oksidasi dan reduksi antara titran dan
analit. Jenis titrasi ini biasanya menggunakan potensiometri untuk mendeteksi
13
titik akhir, meskipun demikian penggunaan indikator yang dapat berubah
warnanya dengan kelebihan titran juga sering digunakan.
Dalam titrasi redoks ada 3 jenis indikator :
a. Indikator Redoks Reversibel
Indikator oksidasi - reduksi yang sebenarnya yang tidak tergantung dari
salah satu zat, tetapi hanya pada perubahan potensial larutan selama titrasi.
Indikator ini dapat dioksidasi dan direduksi secara reversibel (bolak-balik).
Untuk titrasi dengan Ce4+ dapat dipakai Ferroin; sedangkan untuk titrasi
dengan Cr2O7 = Ferroin tidak cocok karena potensial perubahan ferroin terlalu
tinggi dibandingkan dengan potensial TE. Maka dipakai difenilamin atau
difenilamin sulfonat. Sebenarnya kedua indikator ini kebalikan dari ferroin
dalam arti potensial peralihannya terlalu rendah. Namun dengan asam fosfat 3
M kesulitan ini teratasi karena potensial TE diturunkan sehingga sesuai untuk
penggunaan difenilamin atau garam sulfonatnya. Penurunan potensial terjadi
karena asam fosfat (H3PO4) mengkompleks Fe3+ tetapi tidak mengkompleks
Fe2+, sehingga konsentrasi Fe3+ bebas selalu rendah. Berikut Beberapa
Contoh – contoh Indikator Redoks yang sering digunakan :
1. Kompleks Fe ( II ) – ortofenentrolin
Suatu golongan senyawa organik yang dikenal dengan nama 1,10
fenantrolin ( Ortofenantrolin ) yang membentuk kompleks yang stabil
dengan Fe ( II ) dan ion-ion lain melalui kedua atom N pada struktur
induknya. Sebuah ion Fe2+ berikatan dengan tiga buah molekul
fenantrolin dan membentuk kelat dengan struktur. Kompleks ini terkadang
disebut FERROIN dan ditulis (Ph)3Fe2+ agar sederhana. Besi yang terikat
dalam ferroin itu mengalami oksidasi reduksi secara reversible.
Walaupun kompleks (Ph)3 Fe2+ berwarna biru muda, dalam
kenyataannya, warna dalam titrasi berubah dari hampir tak berwarna
menjadi merah. Karena kedua warna berbeda intensitas, maka titik akhir
dianggap tercapai pada saat baru 10 % dari indikator berbentuk (Ph)3Fe2+.
Oleh sebab itu maka potensial peralihannya kira – kira 1,11 Volt dalam
larutan H2SO4 1 M.
14
Diantara semua indikator redoks, Ferroin paling mendekati bahan
yang ideal. Perubahan warnanya sangat tajam, larutannya mudah dibuat
dan sangat stabil. Bentuk teroksidasinya amat tahan terhadap oksidator
kuat. Reaksinya cepat dan reversibel. Diatas 60 oC, Ferroin terurai.
2. Difenilamin dan turunannya
Ditemukan pertama kali dan penggunaannya dianjurkan oleh Knop
pada tahun 1924 untuk titrasi Fe2+ dengan kalium bikhromat. Reaksi
pertama membentuk difenilbenzidine yang tak berwarna; reaksi ini tidak
reversibel. Yang kedua membentuk violet difenilbenzidine, reversibel dan
merupakan reaksi indikator yang sebenarnya.
Potensial reduksi reaksi kedua kira – kira 0.76 volt. Walaupun ion H+
tampak terlibat, ternyata perubahan keasaman hanya berpengaruh kecil
atas potensial ini, mungkin karena asosiasi ion tersebut denga hasil yang
berwarna itu.
Kekurangan difenilamain antara lain ialah indikator ini harus
dilarutkan dalam asam sulfat pekat karena sulit larut dalam air. Hasil
oksidasi ini membentuk endapan dengan ion Wolfram sehingga dalam
Analisa, ion tersebut tidak dapat dipakai. Akhirnya ion merkuri
memperlambat reaksi indikator ini.
Derivat difenilamin yaitu Asam Difenilamin Sulfonat, tidak
mempunyai kelemahan – kelemahan diatas :
Garam Barium atau Natrium dari asam ini dapat digunakan untuk
membuat larutan indikator dalam air dan sifatnya serupa dengan induknya.
Perubahan warna sedikit lebih tajam, dari tak berwarna , melalui hijau
menjadi violet. Potensial peralihannya 0.8 volt dan juga tak tergantung dari
konsentrasi asam. Asam sulfonat derivat ini sekarang banyak digunakan
dalam titrasi redoks.
b. Indikator Redoks Irreversibel
Indikator yang berubah warnanya karena oksidasi dari oksidator dan
sifatnya tidak dapat berubah kembali seperti semula. Indikator ini digunakan
15
pada titrasi Bromatometri. Contoh yang sering digunakan adalah Methyl Red
(MR) dan Methyl Orange (MO).
Reaksi yang terjadi berupa oksidasi dari indikator MR atau MO menjadi
senyawa yang tidak berwarna oleh Brom bebas (Br2). Brom ini berasal dari :
KBrO3 + HCl ------> KCl + HBr + 3 O
2 HBr + O ------> H2O + Br2
Br2 + MO / MR ------> Teroksidasi (Tidak berwarna)
c. Indikator Redoks Khusus (Tidak terpengaruh Potensial redoks)
Indikator khusus yang bereaksi dengan salah satu komponen yang bereaksi,
Contoh indikator Amilum, yang membentuk kompleks biru tua dengan ion
triIodida. Indikator yang sebenarnya jauh lebih luas penerapannya karena
hanya tergantung dari perubahan potensial larutan . Sudah dikemukakan bahwa
indikator tersebut sebenarnya juga dapat dioksidasi – reduksi dan mempunyai
warna yang berbeda dalam bentuk tereduksi.
Indikator ini dipakai pada Iodometri dan Iodimetri, indikator yang biasa
digunakan adanya Amylum dan Chloroform. Pemakaian indikator ini tidak
terpengaruh oleh naik turunnya bilangan oksidasi atau potensial larutan,
melainkan berdasarkan pembentukan kompleks dengan iodium.
1. Amylum
Penggunaan Indikator ini berdasarkan pembentukan kompleks Iod-
Amylum yang larut dengan Iodium (I2) yang berwarna biru cerah.
Mekanisme pewarnaan biru ini karena terbentuknya suatu senyawa dala
dari amilum dan atom iod. Fraksi Amilosa-amilum mempunyai bentuk
helikal dan dengan itu membentuk celah berbentuk saluran. Dalam saluran
itu terdapat suatu rantai iod linear, Warna biru disebabkan oleh ketujuh
elektron luar atom Iod yang mudah bergerak.
I2 + Amylum -------> Iod-Amylum (biru)
Iod-Amylum + S2O32- -------> Warna Hilang
Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka kompleks ini dipecah
dan bila konsentrasi Iod habis maka warna biru tadi akan hilang.
Penambahan indikator amylum sebaiknya menjelang titik akhir titrasi
16
karena kompleks iod-amilum yang terbentuk sukar dipecah pada titik akhir
titrasi sehingga penggunaan Tiosulfat kelebihan berakibat terjadi
kesalahan titrasi. Bila Iod masih banyak sekali bahkan dapat menguraikan
amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada titik
akhir titrasi.
2. Chloroform
Penggunaan indikator ini untuk titrasi Iodometri, berdasarkan
fungsi Chloroform sebagai pelarut organik yang melarutkan iodium dalam
fase organik (fase nonpolar). Melarutnya Iodium dalam Chloroform
memberi warna violet. Hal ini patut dipahami karena Iodium sukar larut
dalam air, larut hanya sekitar 0,0013 mol perliter pada suhu 25O C. Tetapi
sangat mudah larut dalam larutan KI karena membentuk Ion TriIodida
(I3-)dan dalam Chloroform. Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka
Iodium akan diubah menjadi Iodida dan bila konsentrasi iod habis maka
warna violet tadi akan hilang.
2.4.2 Tipe – tipe Indikator Redoks
Ada beberapa tipe dari indikator yang dapat dipergunakan dalam titrasi-
titrasi redoks (Day and Underwood, 2002):
1. Suatu substansi berwarna dapat bertindak sebagai indikatornya sendiri.
Sebagai contoh, larutan kalium permanganate mewakili warna yang
begitu gelap sehingga sedikit saja kelebihan dari reagen ini dalam
sebuah titrasi dapat secara mudah terdeteksi.
2. Suatu indikator yang spesifik adalah substansi yang bereaksi dengan
cara yang spesifik dengan salah satu dari reagen-reagennya dalam suatu
titrasi untuk menghasilkan sebuah warna. Contoh-contohnya adalah
kanji, yang menghasilkan warna biru gelap dengan iodin, dan ion
tiosianat, yang menghasilkan warna merah dengan ion besi (III).
3. Indikator-indikator luar, atau spot test, dulu pernah dipergunakan ketika
indikator internal belum tersedia. Ion ferrisianida dipergunakan untuk
mendeteksi ion besi (II) melalui pembentukan besi (II) ferrisianida (biru
Turnbull) pada sebuah piringan di luar bejana titrasi.
17
4. Potensial redoks dapat diikuti selama titrasi, dan titik ekivalen yang
dideteksi dari perubahan potensial yang besar dalam kurva titrasi.
Prosedur semacam ini desebut titrasi potensiometrik, dan kurva titrasi
dapat diplot secara manual ataupun dicatat secara otomatis.
5. Akhirnya, sebuah indikator yang menjalani sendiri oksidasi-reduksi
dapat dipergunakan.
2.5 Aplikasi analisis reaksi redoks dalam analisis obat dan bahan obat
beserta beberapa contohnya
a. Titrasi iodimetri digunakan untuk menetapkan kadar: asam askorbat;
natrium askorbat; metampiron (antalgin); serta natrium tiosulfat dan sediaan
ineksinya.
b. Larutan baku kalium permanganat hanya digunakan untuk menetapkan
kadar hidrogen peroksida
c. Serimetri digunakan untuk penetapan kadar : Besi(II) fumarat, Besi(II)
glukonat, Besi(II) sulfat, Hidrokuinon, Vitamin K(menadion), Vitamin E
(Tokoferol) bebas.
d. Penetapan kadar senyawa dengan larutan baku brom : klorokresol, fenol,
fenol cair, fenileprin HCl, resorsinol, dan timol.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Titrasi Reduksi oksidasi (redoks) adalah suatu penetapan
kadar reduktor atau oksidator berdasarkan atas reaksi
oksidasi dan reduksi antara analit dengan titran, dimana
reduktor akan teroksidasi dan oksidator akan tereduksi.
Analit yang mengandung spesi reduktor di titrasi dengan
titran yang berupa larutan standar dari oksidator atau
sebaliknya.
Zat yang bersifat oksidator seperti KMnO4, K2CrO4, I2, dan zat yang
bersifat reduktor seperti H2C2O4, Fe2+, Sn2+ dapat ditentukan dengan metode
titrasi redoks ini. Reaksi redoks terlibat saat titran dan analit bereaksi.
Beberapa metode titrasi redoks tidak membutuhkan indicator untuk melihat
titik akhir titrasi seperti titrasi antara KMnO4 dan H2C2O4 disebabkan
KMnO4 itu sendiri sudah berwarna. Sedangkan Amylum biasanya dipakai
untuk titrasi yang melibatkan senyawa I2.
19
DAFTAR PUSTAKA
Day, R.A dan Underwood, A.L.2001. Analisis Kimia Kuantitas. Jakarta :
Erlangga.
Gandjar Ibnu Ghalib dan Rahman Abdul.2007. Kimia Farmasi Analisis.Pustaka
Pelajar.
Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Erlangga. Jakarta.
Khopkar. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerbit Universitas Indonesia.
Jakarta.
Rivai, Haeeizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. UIP: Jakarta
Svehla, G. 1995. Vogel Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan
Semimakro. Kalman Media Pustaka. Jakarta.
Wiryawan, Adam., Rurini Retnowati dan Akhmad Sabarudin. 2008. Kimia
Analitik. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Perguruan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
20