Post on 15-Jan-2020
iii
Copyright©, 2018
Diterbitkan oleh Perkumpulan PRAKARSA
Jl. Rawa Bambu I Blok A No. 8E
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
12520
Referencing:
Ramdlaningrum, Herni & Fatimah, D. (2019) Rapid Care Analisis: Kabupaten Lombok Tengah
dan Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Perkumpulan PRAKARSA.
Tim Penulis:
Herni Ramdlaningrum
Dati Fatimah
Tim Peneliti:
Herni Ramdlaningrum
Dati Fatimah
Design dan Layout: Bambang Nurjaman
Disclaimer:
Tulisan ini berdasarkan Rapid Care Analisis yang dilaksanakan di Kabupaten Lombok Tengah dan
Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang didukung oleh OXFAM di Indonesia. Isi laporan
penelitian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Perkumpulan PRAKARSA dan Tim Penyusun dan
tidak mencerminkan pandangan OXFAM di Indonesia
iv
Kata Sambutan
Bekerja di sektor produksi dan distribusi pengetahuan, ada hal yang harus dimiliki oleh pelakunya
yakni kepekaan menangkap persoalan-persoalan penting yang acap kali kurang diperhatikan oleh
publik. Salah satu persoalan penting yang kurang diperhatikan publik itu adalah unpaid care work,
pekerjaan perawatan tidak dibayar. Mulai dari merawat anak, merawat manula, memasak,
mencuci, menyeterika, membersihkan rumah sampai melakukan kerja sosial di lingkungannya.
Pekerjaan perawatan tidak dibayar ini bahkan belum menjadi bagian dalam kalkulasi ekonomi
nasional di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pendek kata, pekerjaan perawatan tidak
dibayar ini masih invisible although indispensable in our economies.
Siapakah yang bekerja pada pekerjaan perawatan tidak dibayar? Perempuan! Baik istri, ibu,
saudara perempuan maupun anak perempuan. Estimasi McKinsey menunjukkan bahwa sebesar
75% perempuanlah yang bekerja pada pekerjaan tidak dibayar. Pekerjaan perawatan tidak
dibayar yang dilakukan perempuan setara dengan 13% dari GDP secara global. Jika
dikombinasikan antara unpaid work dan paid work, maka peran perempuan dalam
perekonomian nasional dan global sangat besar kontribusinya.
Namun, besarnya peran dan kontribusi perempuan belum dilihat, diakui dan ditanggung-renteng
oleh laki-laki secara optimal. Dampaknya, secara sosial-ekonomi dan sosial-politik, belum ada
langkah-langkah yang memadai agar perempuan tidak terlalu terbebani dengan unpaid care
work. Semua jenis pekerjaan perawatan tidak dibayar seakan-akan adalah kewajiban penuh
perempuan yang kodrati dan tidak bisa diutak-atik lagi. Sementara, tugasnya laki-laki hanya
mencari nafkah dan berperan dalam ranah sosial.
Dampak dari kondisi tersebut adalah sulitnya perempuan mengembangkan diri secara politik,
ekonomi dan sosial. Lebih jauh, dampak lanjutannya adalah upaya-upaya perlindungan dan
pemberdayaan perempuan tidak berjalan optimal. Padahal, sebagian besar kalangan sudah
memiliki pandangan bahwa salah satu kunci pembangunan kesejahteraan adalah partisipasi
perempuan dalam kegiatan politik-sosial-ekonomi. Partisipasi perempuan akan menempatkan
perempuan sebagai aktor pembangunan sekaligus sebagai penerima manfaat dari kegiatan
pembangunan.
Dengan kondisi tersebut, maka Perkumpulan PRAKARSA dengan dukungan dari Oxfam di
Indonesia dan Oxfam Australia melakukan riset analisis cepat tentang pekerjaan perawaatan di
Lombok Tengah dan Lombok Timur. Riset analisis cepat ini untuk mendapatkan gambaran
mendalam atas pekerjaan perawatan tidak dibayar dan untuk mengetengahkan isu unpaid care
work di hadapan publik. Harapannya, hasil analisa cepat ini dapat memantik perhatian para pihak
dan dapat menjadi bahan dalam advokasi pengakuan, pembagian peran, pemberdayaan dan
v
perlindungan perempuan, khususnya dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan gol nomor 5, gender equality.
Terima kasih kepada tim riset Perkumpulan PRAKARSA (Herni Ramdlaningrum, Dati Fatimah dan
lain-lain), nara sumber di Lombok Timur dan Lombok Tengah, Bambang Nurjaman (lay-outer dan
designer laporan), Maria Lauranti dan tim Oxfam di Indonesia, Oxfam Australia dan seluruh pihak
yang membantu pelaksanaan riset ini yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Semoga laporan ini berguna dan selamat membaca!
Jakarta Selatan, Juni 2019
Ah Maftuchan
Direktur Eksekutif Perkumpulan PRAKARSA
vi
Daftar Isi
Kata Sambutan ............................................................................................................................................. iv
Daftar Isi ....................................................................................................................................................... vi
Daftar Tabel ................................................................................................................................................ vii
Daftar Gambar ........................................................................................................................................... viii
Ringkasan Eksekutif...................................................................................................................................... ix
BAB I PENGANTAR ......................................................................................................................................... 2
I.I LITERATUR REVIEW ..................................................................................................................... 3
I.II METHODOLOGY RCA .................................................................................................................. 8
I.III PEMILIHAN RESPONDEN .......................................................................................................... 12
BAB II RAPID CARE ANALISIS DI LOMBOK TIMUR ....................................................................................... 16
BAB III RAPID CARE ANALYSIS DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH .............................................................. 48
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................................................................. 74
LITERATURE REVIEW ................................................................................................................................... 83
LAMPIRAN ................................................................................................................................................... 84
vii
Daftar Tabel
Tabel 1. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Umur .............................................................. 16
Tabel 2. Data jumlah perempuan melek huruf ........................................................................................... 17
Tabel 3. Proporsi Perempuan menurut Aktivitas ........................................................................................ 18
Tabel 4. Persentase Perempuan Menurut Usia Kawin Pertama ................................................................. 18
Tabel 5. Pembagian Kerja: Hasil FGD Laki-laki dusun Beririjarak ................................................................ 20
Tabel 6. Pembagian Kerja: Hasil FGD Perempuan di dusun Lauq ............................................................... 23
Tabel 7. Norma Sosial dalam Pembagian Kerja Berbasis Gender di Lombok Timur ................................... 25
Tabel 8. Hasil Survei Kecil Pembagian Kerja di Dusun Beririjarak ............................................................... 27
Tabel 9. Siklus Harian Perempuan dan Anak Remaja Perempuan .............................................................. 31
Tabel 10. Siklus Harian Perempuan Kepala Keluarga.................................................................................. 34
Tabel 11. Siklus Harian Laki-Laki dusun Beririjarak ..................................................................................... 36
Tabel 12. Perbandingan Aktivitas Harian Laki-laki Ketika Darurat Bencana ............................................... 39
Tabel 13. Siklus Harian Laki-laki yang Istrinya Menjadi Buruh Migran ....................................................... 40
Tabel 14. Aktivitas Harian Laki-laki dengan Disabilitas ............................................................................... 41
Tabel 15. Pekerjaan Perempuan dan Laki-laki: FGD Perempuan desa Sukarara ........................................ 54
Tabel 16. Norma Sosial tentang Pembagian Kerja: FGD di Desa Sukarara dalam Perspektif Laki-laki ....... 55
Tabel 17. Alasan Pembagian Kerja Berdasarkan Gender ............................................................................ 56
Tabel 18. Praktek Pembagian Kerja di desa Sukarara: Perspektif Laki-laki ................................................ 57
Tabel 19. Survei Pembagian Kerja: Laki-laki di desa Sukarara .................................................................... 60
Tabel 20. Survei Pembagian Kerja: Perempuan di desa Sukarara .............................................................. 60
Tabel 21. Siklus Harian laki-laki Desa Sukarara ........................................................................................... 62
Tabel 22. Siklus Harian Laki-Laki Desa Batutulis ......................................................................................... 63
Tabel 23. Siklus Harian Perempuan Desa Sukarara .................................................................................... 64
Tabel 24. Siklus Harian Perempuan desa Nyerot ........................................................................................ 65
Tabel 25. Siklus harian perempuan kepala keluarga .................................................................................. 66
Tabel 26. Dinamika Pembagian Kerja di dusun Sangkawati ....................................................................... 71
Tabel 27. Tabulasi curah waktu harian perempuan ................................................................................... 75
Tabel 28. Tabulasi curah waktu harian laki-laki .......................................................................................... 76
viii
Daftar Gambar
Gambar 1. Waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan yang tidak dibayar di negara berkembang dan OECD
terpilih ........................................................................................................................................................... 6
Gambar 2. Siklus Harian Perempuan dan Laki-laki ....................................................................................... 7
ix
Ringkasan Eksekutif
Pekerjaan pengasuhan dan perawatan yang tak berbayar merupakan pilar penting dalam menjaga
keberlangsungan kehidupan. Sebagian pekerjaan ini, sering tidak dihitung sebagai kerja yang produktif,
sebagaimana kerja-kerja yang menghasilkan produk dan jasa yang dinilai dengan uang. Secara sosial,
pekerjaan pengasuhan dan perawatan tak berbayar (unpaid care works) diajarkan, dilekatkan dan
dipraktekkan sebagai kerja feminine, dan karenanya dianggap sebagai peran dan tanggung-jawab
perempuan. Hal ini sejalan dengan studi berdasarkan data Susenas 2012, dimana 30% penduduk
Indonesia mengerjakan kerja pengasuhan/ perawatan tak berbayar setiap harinya, dimana 80%
diantaranya dilakukan oleh perempuan. Temuan ini juga dikonfirmasi oleh studi OECD (2014) yang
menunjukkan bahwa di kawasan Asia Timur dan Pasifik, perempuan menghabiskan sekitar 5 jam per hari
untuk unpaid care works, sementara laki-laki menghabiskan kurang dari 2 jam per hari untuk aktivitas
seperti mengasuh anak, memasak atau membersihkan rumah. Secara global, perempuan menghabiskan
2 hingga 10x waktu lebih banyak untuk unpaid care works daripada laki-laki.
Di dua kabupaten yang menjadi wilayah studi –Lombok Timur dan Lombok Tengah, ditemukan bahwa
norma sosial mengatur dan sekaligus mengajarkan tentang apa yang disebut sebagai kerja perempuan
dan kerja laki-laki. Norma-norma ini diproduksi dan direproduksi melalui institusi sosial dan politik yang
ada, mulai dari keluarga, lingkungan terdekat, organisasi keagamaan, pasar, hingga institusi negara di
berbagai tingkatan. Laki-laki bertanggung-jawab untuk pekerjaan seperti mencari nafkah, mencari kayu
bakar, menjaga keamanan, hingga membangun rumah. Perempuan bertanggung-jawab terhadap
pekerjaan seperti memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah, membersihkan pakaian, hingga
menjaga anggota keluarga yang sakit. Norma sosial ini kemudian menjadi rujukan dalam praktek
keseharian, sebagaimana yang ditemukan dalam curah waktu harian laki-laki dan perempuan.
Hasil studi menunjukkan, terdapat variasi dalam curah waktu untuk masing-masing kategori aktivitas di
desa yang berbeda. Namun demikian, terdapat pola yang muncul di hampir semua desa, dimana
perempuan mencurahkan waktu yang banyak, untuk aktivitas unpaid care works. Namun demikian, studi
juga menemukan bahwa perempuan juga memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam aktivitas produktif.
Sebagian perempuan menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja dalam durasi waktu yang cukup
panjang. Sebagian perempuan bahkan menjadi kepala keluarga termasuk menjadi pencari nafkah utama
bagi keluarganya. Sebagian diantara mereka, melakukan aktivitas produktif dan sekaligus unpaid care
works. Dalam analisis gender, ini menjadi catatan karena menggambarkan beban ganda, ketika pada saat
yang sama, laki-laki tidak dilekatkan secara sosial dari tanggung-jawab untuk unpaid care works
Sementara, laki-laki relative jarang terlibat dalam aktivitas unpaid care. Kalaupun ada yang terlibat, dari
segi curah waktunya, sangat terbatas (1-2 jam) dalam sehari. Laki-laki menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk aktivitas produktif, serta untuk aktivitas individu/ istirahat. Bahkan, di salah satu desa,
waktu kerja produktif laki-laki sangat sedikit (hanya 5 jam dalam sehari), yang kemudian membuat mereka
menghabiskan 16 jam dalam seharinya untuk aktivitas individu/ istirahat, dan hanya 2 jam untuk unpaid
care works
x
Sayangnya, kerja pengasuhan dan perawatan ini, sering tidak dilihat dan karenanya, sering tidak dianggap
penting. Padahal, nilai dan kontribusinya sangatlah penting untuk menjaga keberlangsungan hidup.
Bayangkan gangguan terhadap kenyaman dan keamanan setiap anggota keluarga bilamana tidak ada yang
memasak, mencuci baju atau membersihkan rumah. Bayangkan berapa nilai dari care economy semacam
ini. Secara global, nilai dari care economy diperkirakan mencapai 25-30% dari nilai GDP secara global.
World Development Report 2012 menyebut, curah waktu perempuan yang tersedot untuk unpaid care
works, menjadi salah satu yang membatasi akses perempuan untuk berpartisipasi secara bermakna dalam
pembangunan ekonomi. Karena menyerap waktu dan energy yang besar, kesempatan perempuan
menjadi lebih terbatas untuk berpartisipasi dalam kegiatan produktif, maupun juga dalam kegiatan
komunitas. Dalam kaitan dengan aktivitas produktif, hal ini tidak berarti bahwa perempuan lebih tidak
produktif dibandingkan laki-laki, karena kesempatan perempuan melakukan kerja produktif dibatasi
dengan tanggung-jawab untuk melakukan unpaid care works. Perempuan mensubsidi laki-laki dengan
mengerjakan banyak sekali pekerjaan unpaid care/ Subsidi ini terjadi karena walaupun apa yang dilakukan
merupakan hal penting untuk menjaga keberlangsungan hidup, namun terjadi pembagian kerja yang tidak
berimbang.
Sayangnya, peran dan kontribusi ini seringkali tersembunyi. Penyebabnya bisa terjadi karena kebanyakan,
peran ini tersembunti (karena terjadi di lingkup rumah tangga), dianggap sudah seharusnya dilakukan
sebagai pekerjaan dan tanggung-jawab perempuan, dan memang tidak pernah direkognisi dan
dimonetisasi. Upaya untuk mengukur, membangun pengakuan dengan mendiseminasi dan
mengkampanyekan pengakuan akan unpaid care works penting untuk terus dilakukan. Di sisi yang lain,
upaya mendorong kesetaraan gender, sebetulnya juga tidak hanya benar secara moral, namun juga benar
secara ekonomi, sebagaimana studi McKinsey tentang manfaat ekonomi dari kesetaraan gender terhadap
peningkatan GDP. Namun kesetaraan gender tak akan punya makna ketika perempuan didorong masuk
ke angkatan kerja atau bisa mengakses pendidikan tinggi, namun tetap harus menjadi yang utama (atau
bahkan satu-satunya) dan bertanggung-jawab dalam segala urusan tak kelihatan yang menjadi pilar
penting hidup kita: care economy. Dalam banyak hal, curah waktu untuk care works bisa menjadi cermin
norma sosial dan bagaimana upaya kita menegosiasikannya, terutama negosiasi tentang kerja-kerja baik
yang berbayar maupun yang tidak, yang dianggap sebagai kerja maupun tidak, mana yang dianggap
sebagai kerja laki-laki dan kerja perempuan.
Karenanya, kita layak berharap ketika studi ini juga menemukan bahwa pembagian kerja terutama dalam
kaitan dengan unpaid care works, juga bukan merupakan sesuatu yang ajeg. Terdapat proses negosiasi
dan kontestasi di berbagai level dalam menemukan pola dan keseimbangan tentang bagaimana
pengerjaan dari aktivitas tersebut. Sebagian dinamika terjadi di tingkat rumah tangga dan komunitas, dan
sebagian lagi juga negara mulai memberi ruang tentang konstruksi gender yang lebih setara antara laki-
laki dan perempuan. Beberapa faktor dan kondisi yang mendorong negosiasi dan dinamika relasi gender
dalam kaitan dengan unpaid care works antara lain adalah ekonomi dan pasar (sebagaimana digambarkan
dengan penawaran untuk masuk ke pasar tenaga kerja global dengan menjadi buruh migran), teknologi
yang membuat banyak unpaid care works menjadi lebih mudah, pendidikan yang membuat perempuan
bisa punya mobilitas sosial yang lebih lebar, hingga negara dan organsiasi masyarakat sipil yang
mendorong kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan. Yang tak kalah penting, kemunculan tafsir
xi
agama yang tak hanya tekstual namun juga kontekstual dan mengedepankan kesalingan, menjadi harapan
untuk pembagian kerja yang lebih adil. Begitu juga norma dan praktek adat, walaupun terlihat lambat,
juga mulai membuka terhadap tafsir dan praktek yang lebih berkeadilan. Upaya untuk menyemai harapan
awal ini sehingga bisa menjadi gerakan yang lebih luas dan punya dampak sosial perlu dilakukan dengan
mengedepankan 3 strategi, yaitu mendorong rekognisi akan unpaid care works, mendorong reduksi
terutama pengurangan beban yang tidak adil, melalui redistribusi sumber daya untuk memungkinkan
unpaid care works menjadi tanggung-jawab bersama, laki-laki dan perempuan. Dengan ini, kita layak
berharap pada kehidupan yang adil dan bermartabat untuk semua.
2
BAB I
PENGANTAR
ndonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat ketimpangan gender yang tinggi. Pada tahun
2018, ketimpangan gender di Indonesia berada pada index 0.70 atau tercatat pada urutan 85 dunia.
Salah satu penyebabnya adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pasar kerja. Hal ini ditunjukan
dengan data BPS dari hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2018 yang mencatat jumlah
partisipasi usia produktif perempuan bekerja hanya mencapai setengah dari total usia produktif laki-laki
yang bekerja. Dalam data tersebut, 35 juta perempuan dari total populasi perempuan usia produktif tidak
masuk dalam pasar kerja melainkan masuk dalam kategori sebagai bukan angkatan kerja yaitu mengurus
rumah tangga (BPS, 2018).
Mengurus rumah tangga merupakan peran yang menuntut perempuan untuk mencurahkan waktu,
pikiran dan energi yang besar sehingga membatasi peran ekonomi sosial perempuan. Mengurus rumah
tangga merupakan peran untuk merawat keluarga dan komunitas seperti mengasuh anak, merawat
lansia, orang sakit dan orang difabel, menyediakan makanan untuk keluarga, mencuci baju dan
membersihkan rumah dan yang lainnya. Selama ini, peran perawatan dinilai sebagai pekerjaan non-
produktif karena tidak menghasilkan uang sehingga tidak mendapatkan pengharagaan secara ekonomi
(Elson 2017). Meskipun demikian, ILO (2018) menyatakan pekerjaan perawatan adalah jantung
kemanusiaan di mana masyarakat dan ekonomi bergantung pada pekerjaan perawatan sehingga keluarga
dan masyarakat dapat bertahan hidup dan berkembang. Mengenali perawatan yang tidak dibayar berarti
memahami bagaimana pekerjaan ini menopang semua ekonomi sehingga nilai kontribusinya dapat diukur
dengan jelas. Di seluruh dunia, perempuan dan anak perempuan melakukan lebih dari tiga perempat dari
jumlah total pekerjaan perawatan yang tidak dibayar.
Dalam agenda global SDGs, negara-negara di dunia secara bersama berupaya untuk mengakhiri
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan diharapkan dapat dirasakan oleh semua orang tanpa
terkecuali termasuk perempuan. Ini berarti, perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai penerima
manfaat dari dampak pembangunan berkelanjutan tetapi juga sebagai aktor pembangunan sehingga
memerlukan partisipasi mereka dalam prosesnya. Namun, karena panjangnya curah waktu yang diberikan
untuk mengurus rumah tangga, partisipasi perempuan menjadi terbatas bahkan seringkali ‘menghilang’
dari proses pembangunan partisipatif. Di seluruh dunia, perempuan menghabiskan 2 hingga 10x waktu
lebih banyak untuk pekerjaan tidak dibayar atau unpaid care works daripada laki-laki (Ferrant et.al, 2014).
Konsekuensinya, kepentingan mereka dalam proses pembangunan seringkali terabaikan.
Untuk mendorong partisipasi perempuan dalam proses pembangunan, diperlukan dekonstruksi
pembagian peran yang selama ini terbentuk dalam keluarga dan masyarakat. Kelompok feminis sosialis
berpendapat bahwa untuk mencapai kesetaraan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak dan
I
3
mendapatkan pendidikan makan perempuan juga perlu mencapai kesetaraan dalam pekerjaan yang tidak
dibayar. Strategi ini disebut sebagai 3R; sebagai kepanjangan dari Recognition = Pengakuan, Reduce =
Reduksi, dan Redistribution = Redistribusi.
3R merupakan konsep agar tanggung jawab peran perawatan dapat terbagi menjadi lebih adil sehingga
perempuan mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam pemberdayaan politik, sosial, dan ekonomi
dan merasakan manfaatnya secara langsung. Dengan demikian, untuk mendorong hal tersebut,
Perkumpulan PRAKARSA bersama Oxfam di Indonesia berinisiatif melakukan analisis cepat terhadap
kelompok perempuan yang berperan dalam pekerjaan perawatan tidak berbayar dengan menggunakan
sebuah alat yang disebut dengan Rapid Care Analysis Tool (RCA) atau Alat Analisis Cepat Peran Perawatan.
Analisis cepat dengan menggunakan metode RCA dilakukan sebagai kajian awal untuk mengetahui peran
perawatan tidak dibayar yang dilakukan oleh perempuan di area intervensi di mana Oxfam bekerja.
Sebagai tahap awal, RCA dilakukan PRAKARSA di Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya di Kabupaten
Lombok Tengah dan Lombok Timur.
I.I LITERATUR REVIEW
Pekerjaan perawatan atau rumah tangga yang tidak dibayar selama ini dinilai sebagai kewajiban yang tidak
memiliki nilai ekonomi atau pekerjaan yang dinilai sebagai pekerjaan tidak produktif atau non-productive
work. Dalam modul RCA yang dikembangkan OXFAM, pembagian peran atau pekerjaan terbagi menjadi
tiga kategori yaitu pekerjaan perawatan atau rumah tangga yang tidak dibayar (unpaid care work),
pekerjaan produktif dan yang lainnya. Secara rinci, ke tiga peran tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Bekerja untuk menghasilkan produk yang dijual. Ini termasuk tanaman pertanian untuk pasar (tanaman komersial) dan kegiatan bisnis lainnya (termasuk bisnis berbasis rumah seperti membuat keju, beedies, bisnis informal seperti warung makan kaki lima, dll.).
2. Tenaga kerja dibayar dan layanan berbayar. Ini termasuk pekerjaan berupah di pertanian, dan pekerjaan berupah lainnya. Di daerah perkotaan ini dapat berupa pembersihan, perbaikan, pembangunan, pencucian, atau pengangkutan barang untuk dijual atau diangkut ke tempat kerja atau pasar.2
3. Hewan, membuat pakaian atau furnitur, melestarikan buah, dan pertanian subsisten. Pekerjaan perawatan yang tidak dibayar. Ini termasuk perawatan langsung orang, dan pekerjaan rumah tangga yang memfasilitasi perawatan orang (dalam rumah tangga sendiri atau rumah tangga lain), dan pengumpulan air atau kayu bakar, atau di daerah perkotaan, belanja makanan; mengawasi anak atau orang dewasa yang bergantung adalah pekerjaan perawatan yang tidak dibayar.
4. Pekerjaan yang tidak dibayar menghasilkan produk untuk konsumsi rumah atau untuk keluarga. Ini termasuk berkebun, memelihara
4
5. Pekerjaan masyarakat yang tidak dibayar. Ini termasuk kehadiran di komite, dan pekerjaan masyarakat yang terkait dengan kesehatan, pendidikan, sumber daya alam, dan acara keagamaan atau budaya.
6. Waktu tidak bekerja. Ini termasuk perawatan pribadi (mandi, istirahat), tidur, pendidikan dan pelatihan, bersosialisasi, hiburan dan rekreasi
Sedangkan, ide 'peran ganda' diperkenalkan untuk menjelaskan peran perempuan dalam tiga kategori
yaitu peran produksi (pekerjaan pertanian), peran reproduksi (pekerjaan rumah tangga dan perawatan
anak), dan peran komunitas (Mosser 1993, Ludgate 2016). Peran reproduksi diterjemahkan sebagai peran
yang terdiri dari persalinan dan merawat serta tugas-tugas rumah tangga yang mendukung kesejahteraan
rumah tangga, seperti memasak, membersihkan, mengambil air, mencuci, dan merawat anggota yang
sakit dan lanjut usia. Tanggung jawab ini jarang dianggap 'pekerjaan nyata,' jarang dibayar dan dilakukan
terutama oleh perempuan dan anak perempuan. Peran produktif adalah peran yang terkait dengan
kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa untuk konsumsi atau perdagangan (menanam tanaman
untuk dijual atau konsumsi rumah tangga). Baik pria maupun wanita dapat terlibat dalam kegiatan ini.
Namun, perempuan sering melakukan peran ini di samping peran reproduksinya di pertanian rumah
tangga atau kebun rumah, yang membuat kontribusi mereka kurang terlihat dan kurang dihargai daripada
pekerjaan produktif pria. Sedangkan peran komunitas adalah peran yang meliputi kerja masyarakat,
seperti mengadakan acara sosial, kegiatan untuk meningkatkan atau merawat sumber daya masyarakat
(tanah atau saluran irigasi), dan / atau berpartisipasi dalam kelompok atau organisasi petani. Kegiatan-
kegiatan ini seringkali bersifat sukarela. Laki-laki cenderung lebih sering berpartisipasi dalam urusan
politik masyarakat (mis., Melayani sebagai ketua asosiasi petani), sedangkan perempuan
menyumbangkan waktu mereka secara gratis untuk barang sosial (membersihkan halaman belakang
sekolah).
International Labour Organization (Antonopoulos 2008) medefinisikan pekerjaan berbayar dan tidak
dibayar sebagai berikut; pekerjaan berbayar mengacu hak penerimaan upah pekerja yang tertera dalam
kontrak sesuai jumlah jam atau kurun waktu yang disepakati. Sedangkan “Pekerjaan yang tidak dibayar”
mencakup semua kegiatan kerja yang tidak dibayar dan dinilai tidak memiliki pengakuan sosial.
Pembagian keseluruhan waktu antara pekerjaan yang dibayar dan yang tidak dibayar tergantung pada
banyak faktor termasuk usia, jenis kelamin, jenis struktur rumah tangga, kelas sosial, lokasi geografis dan
keberadaan anak-anak. Mereka yang sangat muda, mereka yang dapat membeli pengganti di pasar,
mereka yang memiliki sedikit atau tanpa anak dan kepala rumah tangga utuh (ada suami dan istri), secara
keseluruhan lebih sedikit menghabiskan waktu mereka untuk tugas-tugas yang tidak dibayar.
Namun demikian, Elson (2017) menawarkan satu pendekatan baru yang mengkuantifikasi pekerjaan
perawatan tidak berbayar ke dalam nominal sehingga kontribusi ekonomi yang dihasilkan oleh pekerjaan
ini dapat dilihat secara nyata. Lebih lanjut Elson (2017) menjelaskan bahwa dengan menanyakan berapa
biaya yang dibutuhkan untuk memperkerjakan seseorang untuk melakukan pekerjaan tersebut, nilai uang
pada pekerjaan perawatan atau rumah tangga yang tidak dibayar sangatlah mungkin untuk dihitung.
Bahkan hal ini telah dilakukan oleh 27 negara OECD yang menghitung estimasi nilai moneter pada
pekerjaan yang tidak dibayar dan membandingkannya dengan nilai produk domestik bruto (PDB) masing-
5
masing negara. Hasilnya antara lain untuk Amerika Serikat, ditemukan bahwa nilai moneter dari pekerjaan
yang tidak dibayar adalah 18 persen dari PDB AS, sedangkan untuk Denmark 31 persen dari PDB Denmark
dan untuk Swedia 25 persen dari PDB Swedia.
Hasil yang berbeda-beda dapat dilihat di antara negara-negara yang dihitung dalam hal pekerjaan yang
tidak dibayar dan dalam upah yang digunakan untuk menilai pekerjaan tersebut. Jika upah untuk pekerja
rumah tangga dan perawatan yang dibayar sangat rendah, seperti di Amerika Serikat, maka nilai moneter
dari pekerjaan yang tidak dibayar akan rendah. Nilai moneternya, tentu saja, tidak sama dengan nilai sosial
dari pekerjaan itu, tetapi jika pekerjaan tersebut dihitung, dapat diketahui berapa biaya moneter jika
pekerjaan itu tidak dilakukan secara gratis
Pada tahun 2017, Perkumpulan PRAKARSA melakukan studi mengenai Kebutuhan Anak Muda dan
Perempuan Terhadap Kerja Layak yang dilakukan di Kabupaten Malang, Kabupaten Bojonegoro,
Kabupaten Wonosobo, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Kulonprogro. Salah satu temuan penting adalah
Pendapatan sebagai tenaga kerja upah masih tidak sebanding dengan “upah” pekerjaan dalam rumah
tangga. hal ini secara langsung dapat menggambarkan bagaimana pekerjaan perawatan/rumah tangga
tidak dibayar berkontribusi secara nyata dalam perekonomian keluarga. Di lima daerah yang menjadi area
study, terdapat rentang UMK dari yang terendah Rp. 1.373.600 (Kabupaten Kulonprogo) sampai yang
tertinggi Rp. 2.368.510 (Kabupaten Malang). UMK tersebut setelah dibandingkan dengan nilai nominal
tidak dibayar ternyata tidak sebanding dengan biaya rata-rata yang dikeluarkan jika harus membayar
pekerjaan perawatan/rumah tangga yaitu Rp. 3.750.000.
Nominal “upah” pekerjaan perawatan/rumah tangga tidak dibayar didapatkan dengan cara mengajak
kelompok perempuan untuk menghitung biaya yang dikeluarkan jika pekerjaan rumah tangga dilakukan
oleh orang lain secara berbayar. Total “upah” yang didapatkan perempuan, secara rinci didapatkan dari:
• Antar jemput anak : Rp.510.016
• Membersihkan rumah : Rp.410.016
• Memasak : Rp.1.220.016
• Mencuci dan setrika pakaian : Rp.920.016
• Mengasuh anak : Rp.690.039
Dengan melihat biaya moneter pada pekerjaan yang selama ini tidak dibayar, maka asumsi bahwa
perempuan dianggap tidak berpenghasilan dan tidak berkontribusi pada ekonomi keluarga menjadi tidak
relevan. Hal lain yang perlu diperhatihan dalam pekerjaan perawatan/rumah tangga tidak dibayar adalah
waktu yang tercurah yang selama ini digunakan. Dengan mencari tahu berapa banyak waktu yang
dihabiskan untuk pekerjaan tersebut melalui survei penggunaan waktu dan kemudian menetapkan harga
pada output yang dihasilkan atau upah pada waktu yang dihabiskan maka akan dapat dilihat bagaimana
perempuan dan laki-laki menggunakan waktu untuk pekerjaan yang dibayar dan pekerjaan
perawatan/rumah tangga tidak dibayar.
Pada tahun 1966 sampai 2015, setidaknya delapan puluh lima negara di semua wilayah di dunia telah
melakukan survei penggunaan waktu untuk mengetahui bagaimana orang menghabiskan waktu mereka
6
selama dua puluh empat jam sehari atau dalam tujuh hari. Di Amerika Serikat, survei penggunaan waktu
dilakukan setiap tahun dengan sampel yang mewakili orang di atas usia lima belas tahun yang tercatat
pada Biro Statistik Tenaga Kerja dan Biro Sensus. Pada tahun 2014 menunjukkan bahwa rata-rata waktu
yang dihabiskan setiap hari dalam pekerjaan yang dibayar adalah 4,28 jam untuk laki-laki dan 2,93 jam
untuk perempuan, sementara waktu rata-rata yang dihabiskan untuk pekerjaan yang tidak dibayar adalah
2,33 jam untuk laik-laki dan 3,72 jam untuk perempuan (Elson 2017).
Dalam gambar berikut, alokasi penggunaan waktu antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan
yang jelas. Hal ini kemudian mendorong pada dukungan pemerintah mengenai bagaimana alokasi
anggaran diperuntukan bagi mereka yang melakukan pekerjaan tidak berbayar misalnya akses pada
layanan universal gratis ke layanan kesehatan, perawatan anak dan manula, dan pengiriman air ke satu
pintu mengurangi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam merawat anggota keluarga / rumah tangga di
rumah dan dalam mengumpulkan dan mengangkut air (Antonopoulos 2008).
Gambar 1. Waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan yang tidak dibayar di negara berkembang dan OECD terpilih
Sumber: Antonopoulos (2018)
Tak terkecuali di Indonesia, penggunaan waktu yang digunakan oleh kelompok perempuan dan laki-laki
berbeda-beda berdasarkan peran yang selama ini telah terkonstruk secara budaya dan sosial. Dalam
sebuah study yang dilakukan di tiga desa di provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Sumatera Selatan,
perempuan tercatat mengerjakan semua peran baik produktif, reprodukti, dan sosial secara bersamaan
dengan proporsi yang lebih besar daripada laki-laki (Fatimah et.al 2018).
7
Lebih jauh Fatimah dkk (2018) menemukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat menjadi
penanggung jawab utama dalam memastikan ketersediaan pangan bagi anggota keluarga. Melalui kerja
reproduktif yang sering tidak terlihat namun tiada habisnya, perempuan memastikan keamanan suplai
pangan tak hanya bagi dirinya namun juga bagi keluarganya. Karena peran inilah, laki-laki bisa memiliki
keluangan waktu untuk melakukan kerja-kerja produktif dan komunitas.
Sebagai contoh dari temuan studi tersebut, dibawah ini menggambarkan bagaimana pembedaan peran
yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan pada salah satu desa yang diteliti.
Gambar 2. Siklus Harian Perempuan dan Laki-laki
Sumber: Fatimah dkk (2018), Ketangguhan yang tersembunyi.
Relasi dan peran gender juga dapat dipengaruhi oleh situasi khusus, misalnya becana alam atau
perubahan iklim, meskipun hal tersebut tidaklah menjadi penyebab tunggal. Studi menemukan bukti-
bukti bahwa perubahan iklim membawa dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Yang
terutama, dampak ini menunjukkan bagaimana perbedaan peran, akses dan kendali sumber daya yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan juga dipengaruhi oleh segregasi usia, tingkat
kesejahteraan dan posisi sosial-politik (Fatimah et.al 2018).
Selain perubahan yang disebabkan oleh iklim dan becana alam, peran dan relasi gender di Indonesia juga
dipengaruhi oleh hal lain seperti perkembangan revolusi industry 4.0 dan bonus demografi. Kedua hal ini
dinilai sebagai peluang sekaligus ancaman bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan gender yang lebih
baik. Peran pekerjaan perawatan/rumah tangga yang tidak tereduksi dan tidak terdistribusi dengan adil
dapat menghambat perempuan untuk mendapatkan peluang yang muncul. Revolusi industry
menciptakan peluang melalui pemanfaatan digitalisasi; perempuan dengan beban peran reproduktif, bisa
8
berpartisipasi dalam dalam peluang ekonomi melalui platform digitalisasi sehingga pekerjaan berbayar
berbasis rumah tangga dapat dilakukan. Namun demikian, peningkatan pengetahuan, kesadaran dan
keterampilah dalam memanfaatkan teknologi perlu dilakukan baik kepda laki-laki ataupun perempuan
secara setara.
Sedangkan bonus demografi memberikan peluang kepada perempuan jika kebutuhan pekerjaan
perawatan tidak berbayar dapat diformalisasi dan di geser pada pekerjaan professional. Dalam kondisi
perubahan demorafi, terdapat proses di mana kebutuhan perawatan anak dan lansia tercipta. Pekerjaan
ini dapat dilakukan oleh perempuan mengingat pengalaman yang dibawa oleh perempuan atas perannya
selama ini.
I.II METHODOLOGY RCA
RCA merupakan penilaian partisipatif cepat atas pekerjaan perawatan yang tidak dibayar dalam keluarga
dan masyarakat yang dapat menunjukkan bagaimana tanggung jawab perawatan tidak berbayar yang
dilakukan perempuan berdampak pada partisipasi mereka dalam mengambil kebijakan. RCA juga
digunakan untuk mengukur apakan perempuan mendapat manfaat dari program-program pembangunan
yang dijalankan. Selajutnya RCA dapat meningkatkan pemahaman pola pekerjaan perawatan yang tidak
dibayar di masyarakat sehingga masyarakat dapat mengidentifikasi masalah serta mendiskusikan solusi
yang efektif. Metode RCA dimaksudkan untuk menjadi alat yang sederhana, murah, cepat digunakan, dan
mudah diintegrasikan ke dalam latihan yang ada untuk perancangan atau pemantauan program.
RCA memiliki 4 tujuan utama yaitu:
1. Mempelajari hubungan perawatan di masyarakat.
2. Mengidentifikasi kegiatan kerja yang tidak dibayar dan dibayar yang dilakukan oleh perempuan dan
laki-laki, dan buat perkiraan kasar rata-rata waktu mingguan yang dihabiskan untuk setiap kategori
pekerjaan oleh laki-laki dan perempuan.
3. Mendokumentasikan kegiatan perawatan untuk perempuan, laki-laki, anak perempuan, dan anak
laki-laki di tingkat rumah tangga, perubahan dalam tugas perawatan karena faktor eksternal
(migrasi, kebijakan, bencana, dll.), mengeksplorasi norma-norma sosial yang berdampak pada
pekerjaan perawatan, dan mengidentifikasi yang paling bermasalah kegiatan perawatan untuk
wanita dan masyarakat.
4. Memetakan layanan dan infrastruktur pendukung perawatan, mengidentifikasi dan
memprioritaskan opsi untuk mengurangi dan / atau mendistribusikan kembali pekerjaan
perawatan.
Kajian cepat peran perawatan tidak dibayar dengan menggunakan alat RCA dilakukan dengan dua strategi
yaitu:
9
1. Diskusi kelompok terarah (FGD)
2. Wawancara mendalam terhadap responden dengan kondisi khusus
RCA dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyan kunci yang terdapat dalam lembar latihan modul panduan RCA yang diterbitkan oleh OXFAM yang telah dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan konteks yang ada di NTB. Pada pelatihan Pekerjaan Tidak Dibayar, lembar-lembar latihan tersebut diujicobakan. Setelah ujicoba, fasilitator dan tim peneliti melihat perlunya adaptasi dari panduan tersebut.
FGD dilakukan dalam bentuk partisipatif dengan mengajak peserta FGD mendiskusikan beberapa hal dengan menggunakan lembar pertanyaan. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan secara langsung antara 1 orang peneliti dengan 1 responden yang memiliki situasi khusus. Adapun pertanyaan-pertanyaan kunci FGD dan wawancara yang ajukan sama, antara lain:
1. Siklus kalender harian
2. Analisis gender pekerjaan rumah tangga
3. Pembagian pekerjaan rumah tangga dalam anggota keluarga
4. Pengecualian pekerjaan rumah tangga perempuan dan laki-laki tidak memenuhi peran yang
diharapkan
5. Perubahan dalam faktor yang memengaruhi perawatan sebelum, selama/saat peristiwa, dan
setelah sebuah situasi
10
Lembar pertanyaan dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pertanyaan Siklus kalender harian
2. Pertanyaan Analisis gender pekerjaan rumah tangga
11
3. Pembagian pekerjaan rumah tangga dalam anggota keluarga
4. Pengecualian pekerjaan rumah tangga perempuan dan laki-laki tidak memenuhi peran yang diharapkan
12
5. Perubahan dalam faktor yang memengaruhi perawatan sebelum, selama/saat peristiwa, dan setelah sebuah situasi
Pemilihan Area RCA
Kajian cepat dilakukan oleh Perkumpulan PRAKARSA bersama konsorsium ADARA NTB dengan total 22 orang peneliti. Sebelum kajian cepat dilakukan, Perkumpulan PRAKARSA menyelenggarakan Pelatihan Pekerjaan Tidak Dibayar kepada anggota konsorsium ADARA yang akan menjadi tim kajian Pekerjaan Tidak Dibayar dengan fasilitator Dati Fatimah dan Herni Ramdlaningrum.
Pemilihan area RCA adalah di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur dengan penentuan desa berdasarkan desa dampingan anggota konsorsium ADARA. Pelaksanaan RCA serta area spesifik yang dipilih adalah sebagai berikut:
Kabupaten Lombok Timur Tanggal Pelaksanaan RCA Tim Peneliti
Kabupaten Lombok Timur
1. Desa Beririjarak 2. Desa Pringgasela Selatan 3. Desa Otak Kebon
FGD dan wawancara: 10 February 2019 Konsinyering hasil FGD & wawancara: 11 February 2019
10 orang
Kabupaten Lombok Tengah
1. Desa Sukarara 2. Desa Ubung 3. Desa Nyerot 4. Desa Pagutan 5. Desa Batu Tulis
FGD dan wawancara: 12 February 2019 Konsinyering hasil FGD & wawancara: 13 February 2019
12 orang
I.III PEMILIHAN RESPONDEN
Total jumlah responden baik yang terlibat dalam FGD atau di wawancara adalah sebanyak 130 orang (65 di masing-masing Kabupaten). Kriteria responden yang terlibat dalam FGD adalah usia remaja, usia produktif, dan usia lansia dengan latar belakang yang heterogen.
13
Kriteria responden yang di wawancarai adalah responden yang memiliki kasus khusus atau sumber kunci. Pemilihannya wawancara dilakukan berdasarkan judgemen peneliti berdasarkan kekhususan kondisi yang dialami oleh responden misalnya difabel, kemiskinan ekstim, atau yang kondisi lainnya.
Proses FGD difasilitasi oleh 2 orang peneliti dengan membagi FGD khusus untuk kelompok perempuan dan FGD khusus untuk kelompok laki-laki. Pemilahan ini berdasarkan tujuan untuk melihat kesamaan atau pola pekerjaan perawatan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.
Pengelolaan Kajian
Pelaksanaan RCA dilakukan bersama konsorsium ADARA NTB yang diawali dengan ToT Unpaid Care Work
sebagai upaya peningkatan kapasitas anggota konsorsium yang terdiri dari berbagai organisasi lokal di
NTB. Untuk membangun rasa kepemilikan, pemilihan area penelitian serta target responden disepakati
bersama anggota konsorsium berdasarkan wilayah dimana organisasi anggota konsorsium bekerja selama
ini. Hal ini juga bertujuan agar anggota konsorsium memiliki gambaran mengenai karakteristik komunitas
dampingannya dalam hal peran dan relasi perempuan dan laki-laki khususnya dalam konteks pekerjaan
berbayaran dan tidak dibayar.
Proses RCA dilakukan secara tandem oleh peserta ToT Unpaid Care Work yang mewakili organisasinya
masing-masing. Setelah masing-masing kelompok peneliti melakukan FGD dan wawancara mendalam,
seluruh tim yang dibagi berdasarkan kabupaten (Lombok Timur dan Lombok Tengah) bertemu dalam
proses konsinyering tim peneliti untuk menyampaikan temuan penting dalam RCA. Temuan-temuan ini
didiskusikan secara bersama untuk melihat pola atau kesamaan serta kekhususan yang terjadi dalam
keluarga dan masyarakat. Proses konsinyering di catat oleh tim supervisi Dati Fatimah dan Herni
Ramdlaningrum sebagai catatan penting dari hasil pengumpulan data yang dilakukan.
Langkah selanjutnya dalam lingkup pengelolaan kajian adalah tim peneliti mengumpulkan secara tertulis
hasil penelitian kepada tim supervisi untuk kemudian di analisis dan ditulis dalam sebuah laporan utuh.
Sebagai bentuk pertisipasi secara komperhensif, laporan ini kemudian didiskusikan kembali bersama
perwakilan tim peneliti untuk mendapatkan input sebelum pada akhirnya dilakukan peer review.
Secara ringkas, proses pengelolaan kajian dilakukan sebagai berikut:
Sistematika Pelaporan
ToT Unpaid Care Work
Menyusun Rencana RCA
RCA
(FGD and Wawancara)
Konsinyering hasil RCA
Pengumpulan hasil lapangan
Analisis dan Penulisan Laporan
Peer Review
16
BAB II
RAPID CARE ANALISIS DI LOMBOK TIMUR
Konteks Sosial Lombok Timur
abupaten Lombok Timur merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk sebanyak 1.183.204
jiwa, merupakan daerah dengan jumlah penduduk terbanyak dari 10 kabupaten/ kota di NTB.
Rinciannya adalah sebanyak 550.958 penduduk laki-laki dan 632.246 jiwa penduduk perempuan.
Rincian data penduduk terpilah jenis kelamin dan umur adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Umur
Data Lombok Timur dari tahun ke tahun juga menunjukkan kecenderungan penurunan tingkat
kemiskinan. Pada tahun 2014, jumlah penduduk miskin adalah sebanyak 19%, kemudian naik menjadi
19.14% pada tahun 2015, kemudian turun menjadi 18.46% pada tahun 2016 dan menurun menjadi
18.28% pada tahun 2017 (BPS Kabupaten Lombok Timur, 2017).
K
17
Dari data Statistik Ibu dan Anak kabupaten Lombok Timur, sebanyak 12.57% keluarga di Lombok timur
dipimpin oleh perempuan, sementara 87.43% keluarga dikepalai oleh laki-laki. Pendidikan tertinggi yang
ditamatkan kepala keluarga laki-laki lebih tinggi dibandingkan pendidikan perempuan kepala keluarga.
Sebanyak 32.83% laki-laki kepala keluarga menamatkan pendidikan SMP, sementara perempuan kepala
keluarga sebanyak 26.49%. Juga lebih banyak perempuan kepala keluarga yang hanya menyelesaikan
pendidikan SD ke bawah (73.51%) dibandingkan laki-laki sebanyak 67.17%. Pada penduduk usia 15 tahun
ke atas, lebih banyak penduduk perempuan yang buta huruf (17.23%) dibandingkan laki-laki yang buta
huruf (sebanyak 10.77%). Komposisi perempuan yang melek huruf bila dilihat dari kelompok umur
menunjukkan, pada kelompok perempuan berusia lebih dari 50 tahun, persentase perempuan yang melek
huruf lebih rendah dibandingkan dari kelompok umur perempuan yang lebih muda. Bila dibandingkan,
pada penduduk usia 40 tahun ke atas, jumlah perempuan melek huruf di pedesaan lebih rendah
dibandingkan di perkotaan.
Tabel 2. Data jumlah perempuan melek huruf
Dalam kaitan dengan pekerjaan, terlihat bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang
menunjukkan jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja laki-laki, jauh lebih tinggi dibandingkan
peempuan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, TPAK laki-laki adalah sebanyak 82.91% sementara TPAK
perempuan hanya sebanyak 55.55%. Jumlah laki-laki pada penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja
(79.81%) jauh lebih banyak dibandingkan perempuan (sebanyak 53.59%). Dari segi status pekerjaan untuk
penduduk berusia 15 tahun ke atas, laki-laki lebih banyak yang punya usaha sendiri (48.99%), menjadi
buruh/ karyawan (19.09%) dan pekerja bebas (26.40%), dibandingkan perempuan yang punya usaha
sendiri (38.25%), menjadi buruh/ karyawan (16.55%) dan pekerja bebas (23.99%). Sementara, lebih
banyak perempuan yang menjadi pekerja keluarga (sebanyak 21.21%) dibandingkan laki-laki (sebanyak
7.51%) (Data Sakernas, 2017). Dari segi sector pekerjaan, lebih banyak laki-laki yang bekerja di sector
formal (25.1%) dibandingkan perempuan sebanyak 16.78%. Sebaliknya, lebih banyak perempuan yang
bekerja di sector informal (sebanyak 83.22%) bila dibandingkan dengan laki-laki di sector informal yang
sebanyak 74.9%. Dari segi jumlah jam kerja (produktif), jumlah jam kerja laki-laki dalam seminggu lebih
panjang (41.04 jam) dibandingkan jam kerja perempuan yang sebanyak 32.27 jam. Hal ini sangat mungkin
disebabkan waktu perempuan yang tersita untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Untuk perempuan
18
yang bekerja, data Sakernas Agustus 2017 menunjukkan, proporsi perempuan berusia 15 tahun ke atas
yang bekerja cukup banyak sebagaimana terlihat dalam table berikut ini.
Tabel 3. Proporsi Perempuan menurut Aktivitas
Persoalan perkawinan anak juga menjadi hal yang biasa ditemukan di wilayah Lombok Timur. Hal ini
tergambar dari cukup banyaknya persentase perempuan yang menikah pada usia <15 tahun, atau antara
15-17 tahun. Menurut data Susenas 2017 ini, sebanyak 7.6% perempuan telah menikah pertama kali
sebelum berusia 15 tahun, dan sebanyak 22.68% lainnya, menikah pada usia 15-17 tahun. Bila dipilah
antara pedesaan dan perkotaan, anak perempuan (kurang dari 18 tahun) di pedesaan yang menikah lebih
banyak daripada di perkotaan sebagaimana tergambar dalam table berikut ini.
Tabel 4. Persentase Perempuan Menurut Usia Kawin Pertama
Di desa Beririjarak misalnya, memang tidak terdapat data resmi tentang jumlah kasus perkawinan anak.
Namun demikian, beberapa peserta FGD telah menikah sebelum mereka berusia 18 tahun. Dua dari 5
peserta FGD menikah pada usia 15 tahun dan 17 tahun. KOndisi ini juga dibernarkan oleh peserta FGD,
bahwa pernikahan anak adalah hal yang biasa, terlebih karena banyak perkawinan tidak tercatat oleh
negara.
Pembagian kerja berbasis gender
19
Gambaran soal beban pengasuhan dan perawatan anak yang melekat pada perempuan bisa dilihat dari
suasana ketika FGD dilakukan. Di desa Beririjarak, ketika dilakukan FGD perempuan, terdapat 3 balita dan
1 bayi usia 3 bulan yang ikut dalam proses diskusi. Peran berbasis gender tergambar dari bagaimana
secara sosial, pekerjaan-pekerjaan didefinisikan sebagai kerja maskulin (kerja laki-laki) dan kerja feminine
(kerja perempuan). Hal ini nampak dari hasil FGD dengan laki-laki tentang pembagian kerja berikut ini:
20
Tabel 5. Pembagian Kerja: Hasil FGD Laki-laki dusun Beririjarak
Kegiatan Rincian Anak P Anak L P produktif L produktif Lansia P Lansia L
Menyiapkan
makanan
Mencuci beras V V V V
Memasak nasi V V V
Memasak lauk dan sayur V V V
Menyajikan makanan V V V V
Menjaga
keluarga
yang sakit
Mencari obat (apotek) V
Antar ke Puskesmas V V V V V V
Urus adm obat (BPJS, resep, dll) V V
Menjaga orang sakit v v V v v v
Merawat orang sakit V V
Mengurus
rumah
Menyapu rumah / bersih-bersih V v V V
Merapikan tempat tidur v v V V
Beres-beres perabotan RT v V
Menjemur Kasur (sekali sebulan/ setahun) V V
Membersihkan kamar mandi + dapur V
Menyiapkan
pakaian
Membeli pakaian V V V
Mencuci pakaian V (mulai
kelas 3-4 SD) V v V
Setrika dan pewangi V V V
Merapikan v V V
Perbaikan
dan
perawatan
rumah
Genteng bocor v V
Mengecat rumah v V
Pembakaran sampah V V
Pembersihan total V V V V V V
Mencari nafkah v V V
21
Keuangan
keluarga
Mengatur keuangan V
Belanja V V V V V V
Menyimpan uang V V
Keterangan: V adalah yang utama/ bertanggung-jawab terhadap aktivitas tersebut
22
Beberapa catatan yang muncul dalam proses FGD tersebut mengkonfirmasi tentang pembagian kerja
berbasis gender yang terjadi, diintrodusir dalam nilai-nilai social komunitas, diajarkan dan dipraktekkan
dalam kehidupan keseharian. Sebagai contoh, laki-laki dewasa/ usia produktif jarang terlibat dalam
pekerjaan menyiapkan makanan, seperti menanak nasi atau memasak sayur. Bila ada anak laki-laki yang
membantu pekerjaan seperti mencuci beras, terutama terjadi bila anak laki-laki sudah beranjak besar dan
anak perempuan masih kecil –sebagaimana diutarakan oleh seorang peserta FGD. Namun demikian, ada
peserta yang mengaku melakukan pekerjaan menyiapkan makanan, karena istrinya pergi bekerja sebagai
buruh migran sejak 2 tahun yang lalu. Seorang peserta lainnya yang merupakan duda, mengaku ia lebih
sering makan di warung daripada memasak sendiri.
Untuk mengurusi anggota keluarga yang sakit, biasanya seluruh anggota keluarga akan mengantarkan
sebagai bentuk dukungan dan ekspresi kasih sayang. Sementara untuk mengurusi administrasi pasien di
rumah sakit, lebih banyak dilakukan laki-laki karena akan memudahkan bila prosedurnya Panjang dan
harus berkomunikasi dengan petugas (laki-laki dianggap lebih berani dan bisa berkomunikasi dengan
petugas dibandingkan perempuan). Juga karena alasan mobilitas, ketika harus pindah-pindah tempat
dalam mengurus administrasi. Namun bilamana laki-laki tidak bisa mengurus, maka akan dilakukan oleh
perempuan. Ketika di rumah sakit menunggui pasien, yang utama menjaga pasien adalah perempuan
dewasa, termasuk menyiapkan dan menyuapi makanan hingga menyiapkan obat dan menunggui,
sementara yang lain, sifatnya hanya membantu saja.
Untuk menyapu rumah, walaupun laki-laki mengaku ikut menyapu dan membersihkan rumah, namun
seorang perempuan yang ikut secara tidak diundang dalam FGD laki-laki menyebut, itu hanya dilakukan
sedikit laki-laki. “Itu hanya dilakukan oleh 1 diantara 1000 laki-laki”, katanya. Sebagian keluarga telah
mengajarkan anak-anak untuk membereskan tempat tidurnya sendiri, namun ini lebih sering dilatihkan
untuk anak perempuan, kecuali bila anak perempuannya masih kecil. Begitu juga membersihkan tempat
tidur jarang sekali dilakukan laki-laki, kecuali untuk yang duda atau istrinya bekerja sebagai buruh migran.
Laki-laki terlibat dalam pekerjaan membereskan rumah untuk aktivitas yang tergolong berat, seperti
menjemur kasur yang dilakukan sesekali bila diperlukan. Begitu juga untuk pekerjaan mencuci dan
merapikan pakaian, sebagian besar dilakukan perempuan, kecuali untuk laki-laki yang duda atau ditinggal
istri pergi bekerja sebagai buruh migran.
Di dusun Lauq, hasil FGD perempuan juga menunjukkan perempuan sebagai tulang punggung dalam
banyak pekerjaan pengasuhan dan perawatan bagi seluruh anggota keluarganya. Perempuan menjadi
yang utama dalam melakukan pekerjaan membeli bahan makanan, memasak, menjaga siapapun anggota
keluarga yang sakit, menyapu, mengepel, membersihkan kaca, menyiram dan membersihkan lingkungan
rumah. Begitupun dengan pekerjan mencuci, menjemur, menyeterika, melipat dan memasukkan baju ke
lemari, mayoritas dilakukan oleh perempuan dewasa. Hanya pada pekerjaan membeli gas sajalah,
mayoritas dilakukan oleh laki-laki dewasa. Sebagian kecil laki-laki dewasa juga ikut menyiapkan makanan
dan memasak serta menjaga orang sakit. Beberapa pekerjaan domestic juga dibagi dengan anak-anak,
dan utamanya adalah anak perempuan –seperti pekerjaan mencuci, menjemur, menyeterika, melipat dan
memasukkan baju ke lemari. Anak perempuan juga ikut dalam kegiatan memasak dan menyapu rumah.
23
Sedangkan anak laki-laki, ikut terlibat dalam aktivitas yang lebih sedikit, yaitu menjaga orang sakit,
membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Selengkapnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 6. Pembagian Kerja: Hasil FGD Perempuan di dusun Lauq
Pekerjaan RT Sub katagori
pekerjaan RT
Anak
perempau
n
Anak
laki-laki
Usia
produktif
pr
Usia
produkt
if laki
Lansia
pr
Lansia
Laki
Menyiapkan
makanan
Beli bahan makan 1 org 3 org 1 org
Memasak 1 org 3 org 1 org
Beli gas 5 orang
Menjaga keluarga
yang sakit
Orang tua 1 org 1 org 2 org 1 org
Anak 2 org
Ipar 2 org
Mertua 2 org
Saudara kandung 5 org
Membersihkan
rumah
Nyapu 1 org 1 org 3 org
Ngepel 4 org
Membersihkan
kaca
4 org
Membersihkan
lingkungan rumah
4 org
Menyiram 4 org
Menyiapkan
pakaian
Mencuci 1 org 1 org 3 org
Menjemur 1 org 4 org
Menyeterika 1 org 4 org
Melipat baju 1 org 4 org
Memasukan ke
lemari
1 org 4 org
Begitu juga di dusun Beririjarak. Dari FGD perempuan di desa Beririjarak, perempuan menjadi yang utama
dalam melakukan banyak aktivitas terkait dengan menyiapkan makanan, merawat orang sakit,
membersihkan rumah hingga menyiapkan pakaian. Memang ada sebagian pekerjaan yang dibagi dengan
laki-laki seperti sebagian keluarga yang berbagi dalam aktivitas menyiapkan makanan, merawat orang
sakit (terutama ketika membawa ke dokter atau Puskesmas), membersihkan rumah (seperti untuk
mengepel atau menjemur kasur) dan juga menyiapkan pakaian. Yang berbeda dengan peserta FGD secara
umum adalah adalah pengalaman ibu Hariri, dimana suaminya suka dan lebih sering memasak. Seorang
peserta juga menyebutkan, ia berbagi pekerjaan dimana ketika ia memasak, suaminya menyeterika
pakaian.
Catatan lain, bila dibandingkan, rincian aktivitas untuk keempat aktivitas utama di atas, lebih detail
diuraikan oleh perempuan dibandingkan dengan uraian aktivitas oleh laki-laki. Sama-sama untuk kegiatan
24
memasak, uraian aktivitas dalam menyiapkan dan menghidangkan makanan yang dibuat oleh perempuan,
lebih banyak tahapan prosesnya. Ini terutama terjadi dalam proses FGD di desa Beririjarak.
Di desa Beririjarak, pembagian kerja juga Nampak dalam kaitan dengan pengeloalan keuangan. Ketika
menyimpan di bank, rekening biasanya atas nama suami, walau ada juga yang dipegang istri. Kalau
menyimpan di rumah, biasanya dipegang oleh istri karena biasanya diperuntukkan untuk kebutuhan
harian atau merupakan penghasilan sendiri. Perempuan di FGD memandang, peran sebagai pencari
nafkah bisa dilakukan baik oleh perempuan maupun oleh laki-laki. Walau demikian, secara rerata, laki-
lakilah yang dianggap sebagai pencari nafkah yang utama. Kalau ada perempuan yang menjadi buruh
migran, sudah dianggap sebagai pencari nafkah utama (karena suaminya di rumah). Ada banyak
perempuan di kampung ini yang menjadi buruh migran. Kasus-kasus perselingkuhan dan perpecahan
keluarga pada keluarga migran ditemukan, dimana ada suami yang justru main perempuan ketika
ditinggal istrinya bekerja, atau sebaliknya, dimana ditemukan juga ketika suami kerja, istrinya justru main
mata dengan laki-laki lain.
Dalam pandangan budaya, perempuan melihat bahwa tugas suami adalah mencari nafkah, menjadi
pelindung keluarga, sedangkan tugas istri adalah mengurus rumah tangga. Namun dalam kenyataannya,
peserta juga melihat, banyak perempuan memiliki peran penting dalam mencari nafkah, seperti juga
pengalaman Sahnun. Ia mengatakan, dulu ketika suaminya masih bersamanya, ketika ia bekerja sebagai
buruh di sawah, maka suaminya akan menungguinya pulang untuk makan, dan suaminya sama sekali tidak
memiliki inisiatif atau mau berbagi mengambil alih pekerjaan domestic ketika ia sedang bekerja. Risna
juga mengakui, ia akan memasak terlebih dulu sebelum pergi bekerja. Kalau perginya agak lama, maka ia
akan bangun lebih pagi supaya bisa memasak dan selesai sebelum pergi. Kalau ia kerja, ia memasak pagi
untuk makan siang. Untuk makan malam, akan memasak sepulang dari kerja.
Potret Pembagian Kerja di tingkat Keluarga
Sahnun adalah seorang perempuan yang sekarang menjadi kepala keluarga. Ia masih bersuami namun
saat ini, suaminya yang tadinya bekerja di Bali sudah tidak lagi memberi kabar ataupun mengirimi
nafkah bulanan. Ia mengakui, sejak sebelum suaminya tak ada kabar, ia lah yang mengerjakan semua
pekerjaan domestic. Ia tidak pernah dibantu oleh suaminya karena anggapan bahwa pekerjaan
perempuan mencakup mulai dari mencuci, memasak, bersih-bersih rumah, mengurus anak dan
mengurus/ melayani suami. Ia menganggap ini sebagai kodrat dan sekaligus juga budaya, dan secara
budaya, perempuan dianggap lemah. Namun demikian, ia juga mengakui bahwa pada kenyataannya,
perempuan bukan orang yang lemah karena pekerjaan perempuan banyak sekali. Ibu sahnun bilang, ia
mengerjakan sendiri semua tugas rumah tangga, sambil tetap bekerja merawat ayah kandungnya yang
sakit keras dan tidak bisa berdiri serta sudah berusia 70 tahun.
Sementara itu, Rini adalah seorang perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai staf di Puskesmas.
Sebagaimana kebanyakan perempuan di desanya, ia memiliki tanggung-jawab untuk menyiapkan
makanan untuk seluruh anggota keluarganya. Ia juga menceritakan bagaimana ia bekerja untuk untuk
25
memenuhi peran tersebut. “Suami saya maunya saya yang memasakkan. Makanan juga harus baru dan
bukan makanan yang dihangatkan. Ia juga tidak mau makan nasi dari mesin penanak nasi. Ia juga tidak
mau makan dari membeli makanan matang di luar. Jadi, saya memasak 3x dalam sehari untuk suami,
termasuk memasak nasi dengan dandang masing-masing sebanyak 1 gelas. Makanan ini berbeda
dengan makanan untuk anak saya (yang lebih sering makan di tempat neneknya), karena suami saya
suka pedas”. Ia mengaku, waktu dan tenaga untuk memasak tiga kali sehari ini cukup banyak. Suaminya
terkadang membantunya dengan ikut mencuci sayuran yang akan dimasak. Tuntutan ini, baginya, tidak
dianggap sebagai masalah, karena sudah dianggap sebagai kewajiban seorang istri. Rini juga mengaku,
sebagai staf bagian gizi, kesibukan harian di tempat kerja tidak terlalu tinggi. Namun ketika ada kondisi
khusus seperti ketika terjadi gempa dan staf Puskesmas dimobilisasi untuk menjadi relawan dalam
penyediaan makanan untuk para pengungsi, ia merasa bahwa ia sangat sibuk karenanya
Konstruksi dan Sosialisasi Peran Berbasis Gender
Bagaimanakah proses sosialisasi tentang pembagian kerja berbasis gender ini dilakukan? Dalam proses
FGD, peserta mengatakan bahwa peran ini diajarkan melalui tradisi/budaya, nyanyian-nyanyian
tradisional, hingga pembagian peran saat menyiapkan pesta pernikahan. Lontaran seperti “tak ada guna
perempuan bila tidak bisa merawat rumah dan melayani suami”, menjadi lontaran yang biasa diucapkan
dan menjadi norma sosial yang membentuk proses pembagian kerja ini. Peran ini juga dikuatkan dengan
interpretasi teks agama yang kemudian menjadi rujukan, diajarkan melalui melalui khotbah dan pengajian
serta dicontohkan oleh perilaku para pemimpin dan tokoh masyarakat. Secara sosial, ada anggapan yang
diajarkan bahwa secara fisik, laki-laki lebih kuat, sehingga tugas laki-laki mencakup pekerjaan yang
membutuhkan ketrampilan, atau menuntut pergi jauh. Hal ini antara lain terlihat dari pekerjaan menjaga
ternak ataupun pekerjaan-pekerjaan berbayar. Sementara, dalam pekerjaan menyiapkan makanan,
dianggap sebagai tanggung-jawab dan peran perempuan. Peran ini juga dirawat dan dipraktekkan, seperti
tugas perempuan yang dianggap bisa mengerjakan dengan lebih baik pekerjaan seperti memasak, atau
lebih bisa mendengarkan (dalam kasus pengasuhan orang sakit). Berikut adalah gambaran tentang norma
sosial yang membentuk pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan.
Tabel 7. Norma Sosial dalam Pembagian Kerja Berbasis Gender di Lombok Timur
Pekerjaan Norma Sosial tentang Perempuan Norma Sosial tentang Laki-laki
Menyiapkan
Makanan
• Perempuan lebih mengetahui harga
bahan baku
• Perempuan lebih bisa memasak
dibandingkan laki-laki
• Perempuan memiliki kemampuan
alami untuk mengerjakan tugas
seperti bersih-bersih atau memasak
• Laki-laki akan memasak jika istri
sedang sakit, atau tidak ada di rumah
•
26
Mencuci piring,
membersihkan
rumah
• Karena laki-laki kurang teliti atau
malas
Merawat
Orang sakit
• Perempuan lebih telaten merawat
(orang sakit)
• Laki-laki lebih bertanggung jawab
• Laki-laki lebih gesit
• Laki-laki lebih kuat fisiknya
Mengumpulkan
bahan bakar
• Semua peserta di Lauq menggunakan
gas dan yang biasa pergi membeli
adalah laki-laki karena istri sedang
memasak, juga laki-laki lebih gesit ke
luar rumah untuk mencari gas
Mengumpulkan
atau
mengambil air
• Peserta di Lauq rata-rata
menggunakan kran dari PAMDES.
Untuk pergi membayar iuaran
biasanya suami, istri atau anak (
siapa yang sempat).
• Jika air PAMDes macet,
menggunakan air sumur dan yang
pergi melapor ke PAMDES biasanya
laki-laki ( karena itu kerja laki-laki)
Merawat anak • Laki-laki tidak bisa menjaga anak
• Pekerjaan perawatan adalah
pekerjaan kecil, dan dibawah standar
laki-laki- jadi laki-laki tidak
seharusnya mengerjakan hal tersebut
Pekerjaan
Berbayar
• Perempuan zaman sekarang
berfikir untuk mencari uang, tapi
perempuan tidak bisa jadi ibu yang
baik jika mereka bekerja
• Perempuan bekerja jika hidup
sendiri/tidak ada yang
menanggung’
• Pekerjaan (berbayar) ini sulit, berat
dan membutuhkan tenaga laki-laki.
Kewajiban laki-laki menafkasi
keluarga
Pandangan-pandangan semacam ini menjadi norma sosial yang menjadi konteks dan kemudian
mempengaruhi geliat hidup perempuan. Sebagian perempuan dan laki-laki melakukan negosiasi terhadap
norma sosial ini, dengan mencari celah dan kesempatan sehingga dalam praktek, norma ini berjalan
dengan berbagai proses menawar, melawan dan kemudian membentuk praktek baru dalam kehidupan
laki-laki dan perempuan.
Survei pembagian kerja
Dalam proses FGD, dilakukan survei kecil untuk melihat pandangan perempuan dan laki-laki tentang
pembagian kerja berbasis gender. Proses ini dilakukan juga untuk mengkonfirmasi pertanyaan
27
sebelumnya, tentang bagaimana proses pembagian kerja yang diintrodusir, dirawat dan menjadi praktek
keseharian warga.
Tabel 8. Hasil Survei Kecil Pembagian Kerja di Dusun Beririjarak
Pernyataan
Ya Kadang-kadang Tidak
P L P L P L
1. Saya terbiasa melakukan pekerjaan seperti
menyapu lantai atau mencuci baju sendiri
3 4 2 3 - -
2. Di keluarga saya, anak laki-laki terbiasa
mencuci piring sehabis makan
1 1 1 1 3 5
3. Saya dan suami, sama-sama terampil
memandikan anak
3 6 1 - 1 -
4. Saya akan merasa bersalah pergi ke luar rumah,
kalau pekerjaan rumah belum beres
5 1 - 6 -
5. Di keluarga saya, pendidikan anak perempuan
dianggap sama pentingnya dengan pendidikan
anak laki-laki
2 7 3 - - -
6. Di keluarga saya, laki-laki lebih didorong untuk
bekerja dibandingkan perempuan
3 7 2 - - -
Peserta FGD perempuan di dusun yang sama mengatakan, ada keluarga yang lebih mendahulukan laki-
laki untuk sekolah, terutama bila kondisi keuangan terbatas. Namun, peserta FGD laki-laki menyebutkan,
terkadang perempuan akan diberi kesempatan sekolah, karena laki-laki akan didorong untuk merantau
dan bekerja (daripada bersekolah), karena nantinya, laki-laki akan menjadi pencari nafkah utama bagi
keluarga. Dari hasil survei kecil di dusun Beririjarak, terlihat bahwa sebagian peran domestic memang
telah dibagikan kepada laki-laki dan perempuan. Namun demiikian, terkecuali pada keluarga dimana
perempuan bekerja sebagai buruh migran, laki-laki jarang terlibat dalam pekerjaan seperti memasak dan
bersih-bersih rumah. Karenanya, laki-laki tidak merasa bersalah pergi keluar rumah bahkan walaupun
pekerjaan rumah belum beres atau rumah masih berantakan. Laki-laki melihat, pekerjaan domestic yang
mereka bias banyak terlibat dalam untuk pengasuhan anak, dan menurut mereka, pekerjaan inii terasa
menyenangkan karena mendekatkan ayah dan anak. Di dusun ini, sebagian laki-laki memberikan jawaban
kadang-kadang terhadap beberapa pertanyaan survei di atas. Sebagai contoh, sebanyak 3 dari 7 peserta
FGD menyebutkan mereka kadang-kadang melakukan pekerjaan seperti menyapu lantai atau mencuci
baju sendiri, sebagaimana 6 dari 7 peserta mengatakan, mereka kadang-kadang merasa bersalah
bilamana pergi keluar dan pekerjaan rumah belum beres. Seorang lelaki peserta FGD juga mengatakan, di
28
keluarganya, anak laki-laki terkadang mencuci piring sendiri sehabis makan. Untuk prioritas soal
kesempatan kerja, mereka menyebutkan, laki-laki lebih berpikir bekerja daripada sekolah tinggi karena
nantinya, mereka juga harus memenuhi tuntutan sosial sebagai pencari nafkah utama keluarga.
Hasil survei di dusun Ambengan juga menguatkan pembagian kerja berbasis gender. Tugas-tugas seperti
menyapu dan mencuci baju, dilakukan oleh perempuan karena dianggap sudah menjadi tugas
perempuan. Begitu juga dengan pekerjaan seperti mencuci mencuci piring dianggap dan diajarkan sebagai
pekerjaan (anak) perempuan sehingga mereka akan dilatih melakukannya sejak kecil. Seperti di dusun
Beririjarak, pekerjaan memandikan anak di dusun Ambengan dilakukan dengan pembagian kerja yang
lebih fleksibel, karena bisa dilakukan juga oleh laki-laki. Perempuan menyebutkan, suami kadang kasihan
dengan istri yang pekerjannya tidak ada habisnya seperti sibuk memasak di pagi hari. Sebagian yang lain
menjawab suami tidak terampil memandikan anak karena sibuk bekerja mencari nafkah atau suaminya
pergi bekerja sebagai buruh migran. Tentang perasaan bersalah bilamana meninggalkan rumah dan
pekerjaan domestic belum beres dan rumah masih kotor, seorang peserta FGD menyebutkan kalau hal ini
karena, rumah yang berantaka bisa memicu kemarahan suami. Begitu juga, rumah kotor akan menjadi
obrolan tetangga, terlebih bilamana ada tamu datang berkunjung.
Tentang pendidikan, terdapat pernyataan menarik dari perempuan di dusun Ambegan, dimana semua
perempuan peserta FGD menyetujui bahwa pendidikan perempuan penting untuk didukung. “Supaya
anak perempuan dan laki laki sama-sama sukses, supaya tidak sama serperti ibunya yang tidak
disekolahkan. Jadi supaya biar bisa bekerja di luar”. Namun demikian, di dusun Lauq, peserta FGD
perempuan mengatakan, “Siapapun berhak jika
keluarga mampu. Namun jika keluarga tidak mampu,
maka lebih baik diberikan kesempatan kepada lak-laki”.
Begitu juga tentang dorongan untuk perempuan
bekerja, perempuan melihat hal ini merupakan salah
satu kesempatan untuk menguatkan posisi perempuan
sehingga bisa menjadi perempuan mandiri. Perempuan
di dusun Ambengan mengatakan, “Biar bisa bantu
ekonomi keluarga. Supaya sama-sama bisa mandiri
karena semua pekerjaan bisa dilakukan oleh laki laki dan
perempuan”. Jawaban ini menarik, karena
menunjukkan bahwa kemandirian dan posisi yang
setara menjadi idealita yang diharapkan oleh
perempuan, dan pendidikan serta kesempatan kerja
akan menjadi strategi penting mendorong kemandirian
perempuan.
29
Laki-laki Baru dan Pembagian Peran Kerja Domestik
Di dusun Lauq, Pringgasela Selatan, laki-laki mengaku terlibat dalam pekerjaan domestic seperti
menyapu di mana 4 dari 5 laki0laki menjawab iya. Semua laki-laki juga mengaku, di keluarganya, anak
laki-laki terbiasa mencuci piring sendiri setelah makan. Mereka mengatakan, ini adalah bentuk rasa
tanggung-jawab terhadap istri, dan juga mereka tahu dan merasakan lelahnya istri mengerjakan
pekerjaan domestic. Sebagian juga menyebutkan bahwa hal ini akan membuat mereka dianggap baik
di mata keluarga dan masyarakat.
Sebanyak 3 dari 5 laki-laki juga terampil memandikan anak, sama baiknya dengan istrinya. Menurut
mereka, hal ini dilakukan supaya anak menyayangi baik ibu dan bapaknya, dan bukan hanya salah
satunya saja. Kerja sama ini juga menunjukkan bahwa keluarga mereka memang keluarga yang
harmonis. Sebanyak 3 dari 5 orang lelaki juga mengaku, mereka merasa bersalah bilamana pergi keluar
rumah dan rumah masih berantakan. Sebagian mengatakan, mereka suka pusing melihat tempat kotor
dan hal ini juga diajarkan oleh orang tua. Semua laki-laki peserta FGD juga menyatakan, pendidikan
anak perempuan di keluarganya dianggap sama pentingnya dengan pendidikan anak laki-laki. Hal ini
karena perempuan dan laki-laki itu setara, serta jika perempuan berpendidikan, maka akan
mendapatkan kesempatan kerja yang lebih besar. Namun demikian, 4 dari 5 laki-laki mengakui, laki-laki
lebih didorong untuk bekerja dibandingkan perempuan. Alasannya adalah karena walaupun bekerja,
perempuan jika sudah menikah tidak bertanggung jawab ke keluarga lagi (untuk tetap bekerja), dan hal
karena tanggung-jawab ini kemudian melekat kepada laki-laki.
Beberapa lontaran menarik tersebut perlu dipahami dalam konteks upaya edukasi dan
pengorganisasian masyarakat yang sudah dilakukan sebelumnya oleh Gema Alam. Mereka sudah
melakukan upaya edukasi tentang konsep dan praktek laki-laki baru
Setelah melakukan survei dan identifikasi pembagian kerja berbasis gender, terdapat komentar menarik
dari peserta. Melalui menjawab pertanyaan soal pembagian peran dan menjawab pertanyaan survei,
peserta laki-laki di dusun Beririjarak menjadi menyadari, betapa besar peran perempuan. Menurut
mereka, bilamana kerja dan kontribusi perempuan dinominalkan (misal dengan mencucukan pakaian
kotor ke laundry dan membeli makanan jadi daripada memasak), maka nilai dari pekerjaan perempuan
ini akan lebih besar dari penghasilan laki-laki. Seorang peserta lain berujar, bahwa pekerjaan perempuan
ini luar biasa. Bahkan seorang peserta lain menyebut, “Macet hidup kita bila istri sakit”. Secara umum,
mereka menjadi menyadari akan peran dan kontribusi perempuan yang penting namun sering diabaikan
dan tidak kelihatan.
30
Kerja dan Pendidkan
Mukmin Azani, seorang anak remaja laki-laki warga dusun Ambengan Beririjarak. Saat ini, ia bersekolah
di kelas 2 SMP. Keluarganya bukan orang yang mampu, terlebih setelah sekitar 4 tahun lalu, ayahnya
mengalami kebutaan. Kakak lelakinya yang bernama Zen, sudah tidak lagi bersekolah, karena harus
bekerja. Mukmin sendiri, juga sering membolos sekolah, karena harus bekerja membantu ibunya di
sawah dan mencari rumput. Menurutnya, sekolah tidaklah sulit, namun yang menurut Mukmin lebih
penting adalah bagaimana caranya bisa bekerja, termasuk nantinya menjadi buruh migran ke Malaysia
daripada sekolah lama dan menghabiskan uang.
Setelah ayahnya mengalami kebutaan, ibunya berbagi peran dengan Zen dalam urusan mencari uang.
Terlebih karena ibunya juga saat ini mengurus adiknya yang baru berusia 8 bulan. Pada saat yang
bersamaan, ibunya juga harus mengurus neneknya yang sakit-sakitan. Jadi praktis, ibunya merawat 3
orang yang sangat tergantung kepadanya: anaknya yang berusia 8 bulan, suaminya yan buta dan ibunya
yang sudah tua dan sakit-sakitan. Karena itu pula, menurut Mukmin, ibunya tidak pintar mencari ruang.
Ini bisa dipahami karena tanggung-jawab dan beban pengasuhannya memang sangat besar. Ibunya
terkadang bekerja sebagai buruh lepas bilamana ada pekerjaan seperti mengangkut barang dan
kemudian akan mendapatkan imbalan upah. Pekerjaan seperti ini tentu saja bukan pekerjaan tetap,
dan ketidakpastian pendapatan menjadi persoalan.
Karena kondisi seperti itu, Mukmin terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring atau
mencuci baju. Namun demikian, Mukmin merasa, ia melakukan pekerjaan ini karena terpaksa oleh
kondisi dan tidak ada pilihan. Peran mengerjakan pekerjaan rumah juga dilakukan oleh adik
perempuannya, yang saat ini masih kelas 2 SD. Adik perempuannya ini, sudah mendapatkan tugas
untuk sesekali menjaga adiknya yang masih bayi.
Siklus harian terpilah
a. Siklus harian perempuan
Dengan konsep pembagian kerja berbasis gender yang dilekatkan, diajarkan dan disosialisasikan baik di
tingkat keluarga, komunitas dan juga negara, siklus harian perempuan merupakan cermin dari bagaimana
konstruksi gender tersebut bekerja.
Salah satunya bisa dilihat dalam siklus harian perempuan di dusun Beririjarak (??) berikut ini. Siklus ini
menggambarkan aktivitas dan curah waktu perempuan sebelum bencana. Sebagai catatan, desa ini
merupakan salah satu wilayah terdampak bencana gempa tahun 2018.
31
Tabel 9. Siklus Harian Perempuan dan Anak Remaja Perempuan
Waktu Aktivitas
05:00 – 06:00 Mandi, sholat subuh, menanak nasi, merapikan tempat tidur, menyapu lantai,
menyapu halaman, membersihkan rumah, memasak masak lauk pauk
06:00 – 07:00 Menyiapkan makanan untuk aktivitas (buruh tani), memandikan anak, sarapan,
menyiapkan pakaian sekolah anak, membuat kopi untuk suami, menganter anak ke
sekolah
07:00 – 08:00 Mencuci piring, mencuci pakaian, bekerja (menjahit, atau menyabit rumput,
memberikan makan ternak), menyiapkan makanan untuk lansia dan anggota
keluarga yang sakit). Anak-anak termasuk remaja perempuan akan berangkat ke
sekolah
08:00 – 09:00 Berangkat kesawah, menjadi buruh tani/harian
Anak remaja perempuan sedang bersekolah
09:00 – 10:00 Bekerja di sawah, menjadi buruh tani/harian
10:00 – 11:00 Masih aktivitas sebagai buruh tani/harian, kemudian selingi menyabit rumput
untuk ternak sapi
11:00 – 12:00 Istirahat, sholat zuhur, makan siang (untuk buruh tani).
Sebagian akan pulang dari sawah, kemudian menyiapkan makanan, dan mandi
serta istirahat siang
Untuk anak remaja perempuan: sholat zuhur, kemudian melanjutkan belajar di
sekolah
Menyiapkan makanan untuk orang tua lansia dan si sakit
12:00 – 13:00 Istirahat
Melanjutkan pekerjaan harian sebagai buruh tani
Anak remaja perempuan yang sekolah, masih beraktivitas di sekolah
13:00 – 14:00 Mencuci piring, menemani anak bermain, menyiapkan kopi untuk suami,
Anak pulang dari sekolah
14:00 – 15:00 Untuk buruh tani, masih bekerja di sawah. Sholat ashar, kemudian dilanjutkan
dengan mencari sayur-mayur untuk makan malam nanti.
Anak remaja perempuan: sepulang sekolah, istirahat, makan cuci piring, bantu-
bantu ibu di dapur
32
15:00 - 16:00 Memandikan anak, memasak untuk persiapan makan malam, menyiapakan
pakaian anak untuk mengaji, menyiapkan makan malam, menyapu halaman,
mandi.
Anak remaja perempuan: bermain, belajar dan nonton TV
16:00 – 17:00 Menganter anak mengaji, sholat magrib, ngaji, makan malam,
Anak remaja perempuan: belajar dan nonton TV
17:00 – 18:00 Sholat isya, menjemput anak ngaji, menemeni anak belajar
18:00 – 19:00 Nonton TV, belajar (untuk remaja perempuan), istirahat
19:00 – 20:00 Nonton TV
20:00 – 21:00 Tidur
Dalam aktivitas dan curah waktu perempuan di atas, terlihat bahwa perempuan disibukkan dengan
berbagai aktivitas baik aktivitas domestic maupun juga aktivitas produktif. Sebagaimana diuraikan dalam
ilustrasi di atas, beberapa yang menarik adalah:
• Perempuan melakukan banyak pekerjaan pada saat yang bersamaan. Waktu-waktu sibuk perempuan
misalnya tergambar di di pagi hari, ketika perempuan melakukan banyak sekali kegiatan. Di pagi hari,
dalam kurun wakru 3 jam, perempuan bisa melakukan lebih dari 10 aktivitas mulai dari aktivitas
pribadi (mandi, ibadah), menyiapkan makanan (menanak nasi, memasak lauk-pauk, menyiapkan
bekal makanan untuk aktivitas buruh tani), bersih-bersih (menyapu lantai, menyapu halaman,
mencuci piring, mencuci pakaian, memandikan anak), merawat orang lain (menyiapkan kopi untuk
suami, menyiapkan makanan untuk lansia dan anggota keluarga yang sakit, mengantarkan anak
sekolah), hingga memberi makanan ternak di pagi hari.
• Selain pagi hari, waktu dimana perempuan sibuk juga terlihat pada sore hari. Pada sore hari,
perempuan melakukan aktivitas seperti aktivitas pengasuhan (memandikan anak, menyiapkan
pakaian anak untuk mengaji, mengantar anak mengaji, menemani anak belajar), aktivitas menyiapan
makann (memasak untuk makan malam, menyajikan makan malam), hingga acara pribadi (mandi,
ibadah) dan bersih-bersih (menyapu).
• Selain menjadi tumpuan dan mengerjakan hampir semua pekerjaan domestic, perempuan juga
menjadi tumpuan ekonomi keluarga karena mereka juga mengerjakan aktivitas produktif. Hal ini
terutama dilakukan perempuan setelah urusan domestic beres. Beberapa perempuan lagi, melakukan
aktivitas produktif setelah urusan domestic beres, akan istirahat dan melakukan aktivitas domestic,
dan kemudian akan kembali dengan aktivitas produktif
• Dari gambaran di atas, terlihat bahwa perempuan tidaklah cocok dibilang tidak produktif, karena
sebetulnya, mereka melakukan banyak sekali aktivitas sehari-harinya, baik untuk aktivitas ‘produktif’
maupun yang juga menyita waktu dan energinya, adalah aktivitas pengasuhan dan perawatan.
Di dusun Pringgasela Selatan, siklus harian perempuan yang terungkap dalam FGD juga menunjukkan
banyaknya aktivitas keseharian yang dilakukan oleh perempuan. Gambarannya adalah sebagai berikut:
33
Waktu Kegiatan Keterangan
04.00-06.00 Bangun tidur, sholat, memasak, bersih-bersih, pergi ke pasar
untuk belanja barang yang akan didagang, menenun.
Menyiapkan buku pelajaran, mandi Bagi remaja
06.00-08.00 Mencuci baju, menyiapkan sarapan.
Menyuapi orang tua yang sakit struk.
Mandi, sarapan dan berangkat sekolah Remaja
08,00-10.00 Menyiapkan makan siang, bekerja, menenun, beres-beres rumah,
sekolah
10.00-12.00 Menyipakan makan siang, bekerja, menenun, beres-beres rumah,
sekolah
12.00-14.00 Istirahat, sholat, makan, ngopi, menyiapkan kopi untuk bapak,
membersihkan bekas memasak, sekolah
14.00-16.00 Menenun, berjualan.
Istirahat
Guru dan remaja
16.00-18.00 Sholat, mandi, menenun, olah raga, jalan-jalan, ngerumpi, bersih-
bersih rumah, berdagang, menyiapkan makan malam
18.00-20.00 Sholat, makan, nonton tivi, istirahat, belajar, ngaji
21.00 Menyiapkan barang dagangan yang akan dititip (memasak telur
dan membuat kue)
Guru honorer
Seperti juga perempuan di dusun Otak Kebon, aktivitas harian perempuan di dusun Lauk Pringgasela
Selatan juga dipenuhi dengan aktivitas pengasuhan dan perawatan seperti menyiapkan makanan
(memasak, menyajikan makanan), mengasuh dan merawat anak atau orang tua yang sakit, bekerja
(menenun), hingga melayani suami (membuatkan kopi). Namun demikian, di kampong ini perempuan
masih memiliki waktu untuk olahraga jalan-jalan dan juga aktivitas sosial melalui ngerumpi. Terlihat juga,
perempuan ada yang mengerjakan beberapa jenis aktivitas produktif, seperti guru honorer yang juga
membuat kue untuk dijual dengan dititipkan di warung-warung. Di saat perempuan juga melakukan
aktivitas produktif, tetap saja, perempuan menghabiskan waktu yang banyak untuk aktivitas pengasuhan
dan perawatan bagi seluruh anggota keluarga.
Bagaimanakah siklus harian untuk perempuan kepala keluarga? Ilustrasinya terlihat dari pengalaman Inaq
Rupaiyah atau yang biasa dipanggil sebagai Inaq Rosi. Ia merupakan kepala keluarga perempuan, setelah
bercerai dengan suaminya sejak anak pertama mereka dalam kandungan. Saat ini, Inaq Rosi berusia 46
tahun, dan memiliki sorang anak laki-laki berusia 26 tahun yang sudah menikah. Pekerjaan inaq Rosi
adalah menjadi buruh tembakau dan penenun, dimana ia merupakan salah satu anggota Kelompok Nine
Penenun yang diorganisir dan didampingi oleh Gema Alam sejak tahun 2016. Setelah anaknya menikah
awal tahun 2018, anggota keluarga dalam rumahnya bertambah, yakni menjadi dia sendiri, serta anak dan
menantu perempuannya, serta orang tua perempuan dan laki-lakinya yang sudah sebelumnya menjadi
bagian dari keluarga ini.
34
Tabel 10. Siklus Harian Perempuan Kepala Keluarga
Waktu Aktifitas Keterangan
03.00-05.00 Bangun tidur, mandi, masak untuk
sarapan untuk ortu, anak dan
menantu, menyiapakan bekal
sarapan untuk di bawa bekerja
Orang tua (ayah dan ibu), anak dan menantu
perempuan tinggal bersama inaq Rupaiyah.
Ortu berusia 70 tahun
05.00-07.00 Sholat, membantu membuka
warung kecil milik bibi. Mencuci
piring, bersih rumah.
Karena bibi pergi kepasar dan tidak diupah.
Tetapi kalau ada sisa sayur dagangan diberikan ke
ortu inaq Rupaiyah
07.00-17.00 Bekerja di UD Yeni Jaya sebagai
karyawan tembakau
(membungkus tembakau yang
sudah dirajang ke dalam plastik,
sholat duhur
Bekal sarapan, makan siang bawa sendiri
Borongan : 50.00-40.000 sehari
UD Yeni berada di Pringgasela induk.
Bekerja di tembakau 1 minggu dalam sebulan.
Sisanya digunakan untuk menenun
17.00-18.00 Mandi, cuci baju bekas kerja, cuci
piring, istirahat ( leyeh2), makan
malam
18.00-19.00 Sholat, nonton tivi, ngobrol dengan
menantu
Menantu bekerja di apotik sebagai asisten
dokter. Jam kerja menantu ( 16.00-21.00), pulang
kerja biasa dijemput suami kadang pulang jika
membawa motor. Anak inaq Rosi bekerja di
tembakau, memelihara bebek
20.00 Tidur
Dari siklus harian Inaq Rosi, terlihat bahwa ia menjadi tumpuan karena selain bekerja, ia juga menjadi
system pendukung bagi keluarga terdekatnya, seperti dicontohkan dengan ia membantu menjaga warung
bibinya tanpa diupah. Inaq Rosi juga mengerjakan pekerjaan pengasuhan dan perawatan, termasuk
merawat orang tuanya yang sudah berusia 70 tahun, sekaligus menyiapkan makanan dan bekal makanan
untuk dibawa kerja bagi anak dna menantunya. Hal ini menunjukkan peran berarti Inaq Rosi dalam
menjaga keberlangsungan hidup dengan memerankan sebagai support system bagi anggota keluarga
besarnya.
Bencana dan Perempuan Kepala Keluarga
Baiq Atiana, adalah seorang perempuan berumur 26 tahun yang memiliki dua orang anak. Ia hanya
berpendidikan SMP. Mantan suaminya bekerja sebagai buruh migran di Malaysia, namun sudah tidak
pernah mengiriminya uang belanja untuk anak-anak mereka. Ia bahkan diceraikan suaminya ketika ia
sedang hamil. Mantan suaminya menceraikannya karena ia berselingkuh di rantau dan ia akan dimadu
namun Atiana menolak. Bila dirunut, mantan suaminya ini merupakan saudara misannya. Walaupun ia
sangat ingin bekerja, namun ia tidak punya banyak pilihan karena harus mengurus anak-anaknya yang
35
masih kecil-kecil. Sebelum gempa, ia ia bertumpu kepada kedua orang tuanya untuk menyambung
hidup, walaupun ia mengaku tidak sebebas ketika remaja bila sedang membutuhkan uang.
Gempa menghancurkan rumah keluarganya, sehingga ia dan kedua orang tuanya kemudian tinggal di
tenda. Ia sudah mendapatkan Huntara yang terpisah dari huntara orang tuanya. Saat ini, ia juga tidak
memiliki penghasilan tetap. Terkadang, mantan mertuanya memberinya pekerjaan untuk membuat
jajanan dengan upah antara Rp 15.000 – Rp 20.000/ hari. Namun ini tidak berlangsung setiap hari,
karena hanya bila ada pesanan saja. Menurut Atiana, pekerjaan seperti mencuci, memasak dan
melakukan tugas domestic lainnya merupakan kewajiban perempuan, yang harus dilakukan dalam
kondisi apapun. Ia bahkan memandang bahwa ini merupakan kodrat. Pemahaman ini mempengaruhi
sikapnya terhadap orang lain. Jika dia melihat suami tetangganya mencuci atau memasak, dalam
hatinya dia berfikir bahwa orang tersebut telah kalah oleh istrinya. Baginya, sangat tidak pantas bila
laki-laki terlihat mengerjakan pekerjaan domestic.
Gambaran kehidupan dan siklus harian perempuan dengan anggota keluarga yang sakit/ difabel
tergambar dari narasi dalam kotak berikut ini. Kasus ini menunjukkan, bahkan walaupun menghadapi
berbagai keterbatasan, orang dengan disabilitas termasuk perempuan dengan disabilitas, sebetulnya juga
memiliki potensi dan kontribusi berarti dalam merawat kehidupan. Tak hanya bagi dirinya sendiri, namun
juga bagi keluarga dan lingkungan terdekatnya.
Daya Hidup Perempuan dengan Disabilitas
Baiq Zohratul Aini adalah seorang disabilitas warga Beririjarak. Ia berpendidikan SMP, dan pernah
bekerja di bagian laundry sebuah hotel di Kawasan Senggigi. Setelah gempa, ia berhenti bekerja, seiring
dengan menyusutnya pariwisata di kawasan Senggigi. Sejak gempa, ia pulang kampung dan tinggal
bersama kedua orang tuanya. Mereka mengandalkan hasil kebun untuk bertahan hidup.
Aini melihat, tugas terutama perempuan adalah di rumah, sehingga secara sosial, dianggap tidak pantas
bila bekerja di luar rumah. Ia mengalami ketika bekerja di hotel, sering mendapatkan pertanyaan
mengapa ia bekerja di luar, walaupun menurutnya, keluarganya sendiri tidak mempemasalahkan hal
tersebut. Ia sendiri, sebetulnya lebih senang bekerja, karena memiliki penghasilan sendiri. Selama tiga
bulan berada di pengungsian, masalah yang paling dihadapi adalah antrian mandi dan buang air dan
mencuci di fasilitas umum di pengungsian. Hal ini menyita waktunya cukup banyak, karena panjangnya
antrian.
b. Siklus harian laki-laki
Kehidupan keseharian laki-laki secara umum di wilayah studi, menunjukkan gambaran yang secara singkat
menunjukkan profil yang berbeda dengan aktivitas harian perempuan. Di dusun Beririjarak sebagaimana
digambarkan dalam tabel berikut ini, siklus harian laki-laki dipenuhi oleh aktivitas bekerja, istirahat (selain
tidur, juga yang banyak adalah acara bersantai seperti minum kopi yang durasinya bisa sangat lama),
36
aktivitas kerja produktif (dikantor, di sawah, menjadi tukang atau sopir, dll), serta acara sosialisasi (ngobrol
dengan teman atau anggota keluarga). Seorang responden yang bekerja sebagai staf administrasi di
sebuah sekolah mengatakan, setelah aktivitas ngopi, sarapan dan bersih-bersih, ia akan berangkat kerja
ke sekolah hingga jam 2 siang. Setelah pulang dan istirahat, ia akan pergi ke sawah untuk mengerjakan
pekerjaan sebagai petani.
Tabel 11. Siklus Harian Laki-Laki dusun Beririjarak
Jam Sebelum gempa
05.00 – 06.00 Sholat shubuh Ngopi, sarapan Mandi
06.00 – 08.00 Ngopi (durasinya lama), sambil ngobrol, persiapan kerja (untuk yang kerja)
08.00 Berangkat kerja
14.15 Pulang dari kantor
14.00- 17.00 Aktivitas sambilan: pembuatan jamur tiram
17.00 Santai dengan keluarga
19.00 – 22.00 Mengurus jamur Kadang silaturrahmi dengan teman
22.00 Tidur
Dalam siklus harian ini, walaupun laki-laki menyebut mereka terkadang ikut ambil bagian dalam aktivitas
pengasuhan dan perawatan, namun hal ini tidak Nampak dalam siklus harian ini. Terdapat beberapa
kemungkinan penjelas atas kondisi ini, yaitu:
• Keterlibatan laki-laki dalam kerja pengasuhan, sifatnya hanya membantu. Dalam FGD di dusun ini,
terungkap bahwa yang utama melakukan dan memikul tanggung-jawab dalam kerja pengasuhan dan
perawatan adalah perempuan. Karena sifatnya hanya membantu, mungkin saja aktivitas ini tidak
setiap hari dilakukan oleh laki-laki
• Karena sifatnya hanya membantu, bilamana kerja pengasuhan dan perawatan yang dilakukan oleh
laki-laki setiap ahrinya, mungkin hanya menyita sangat sedikit waktu laki-laki. Karenanya, mereka
tidak memasukkannya dalam aktivitas dalam siklus harian tersebut.
• Kemungkinan lain, ilustrasi ini juga bisa menjadi informasi yang justru menyanggah pernyataan
sebelumnya bahwa laki-laki terlibat dalam aktivitas pengasuhan dan perawatan sebagaimana
diuraikan dalam tabel 11.
Kondisi yang agak berbeda dalam siklus harian laki-laki tampak dari ilustrasi siklus harian laki-laki di dusun
Kedondong, Pringgasela Selatan. Dalam siklus harian ini, aktivitas laki-laki lebih banyak dan lebih beragam.
37
Jam Aktivitas
05.00-06.00 Bangun tidur, solat subuh, tidur lagi, mandi, bersih-bersih rumah, olahraga, nyapu,
nelpon, masak
06.00-07.00 Siap-siap berangkat kerja, sarapan, merenung sambil ngopi, tidur, berangkat kerja
07.00-08.00 Ada yang masih tidur, kerja, berangkat kerja, ngurusin burung, nganter anak sekolah,
nongkrong sambil ngopi, terutama untuk yang tidak ada pekerjaan tetap
08.00-09.00 Masih kerja, mancing ikan, mikat (cari burung), ada yang yang masih tidur, bantu orang
tua masak dan beres-rumah
09.00-10.00 Ke sawah, sarapan, sekalian makan siang, kerja, nongkrong, mikat
10.00-11.00 Kerja, tidur, mikat, main krambol, nongkrong bareng temen
11.00-12.00 Mandi, makan, pulang kerja, tidur siang, smsan sambil tidur, nelpon pacar (untuk
remaja), mancing, ngopi
12.00-13.00 Solat, tidur siang, makan, merenung sambil lagi, kerja, bangun tidur, mandi meroko
lagi
13.00-14.00 Tidur, pergi jualan, main sosmed, mikat lagi, ada yang masih kerja
14.00-15.00 Masih tidur siang, jalan-jalan, ada yang masih kerja
15.00-16.00 Bangun tidur, mandi solat, masih tidur, pulang kerja masih mikat, main bareng teman
16.00-17.00 Main kerumah keluarga sama anak, ada yang baru bangu, ada yang masih main,
olahraga, pergi urusan bisnis
17.00-18.00 Jalan-jalan, mandi, pulang kerumah, nyapu, smsan nelpon, denger musik sambil tidur,
lap mobil
18.00-19.00 Makan, solat, mandi, ngaji, mandiin burung, nongkrong, smsn dan nelpon
19.00-20.00 Makan, solat, ngaji, zikir, ngapel, main sosmed, main krambol
20.00-21.00 Nongkrong, main, diskusi tentang kerjaan dan politik, dan main game
21.00-22.00 Nongkrong, main sosmed, ngapel, main, main game dan main krambol
22.00-23.00 Istirahat, main karambol, main sosmed
23.00-24.00 Istirahat, belajar, main sosmed
00.00-05.00 Tidur
Sementara di dusun Lauq, Pringgasela Selatan, aktivitas laki-laki secara umum juga mirip, dimana mereka
dipenuhi aktivitas bekerja, bersantai, dan bersosialisasi. Untuk mereka yang menganggur, mereka
memiliki waktu luang yang sangat banyak. Namun berbeda dengan perempuan yang menganggur, mereka
tidak banyak melakukan aktivitas pengasuh dan perawatan. Karenanya, mereka banyak menghabiskan
waktu dengan ngopi dan tidur di siang hari, serta cara santai seperti main karambol atau kartu di malam
hari. Secara umum, laki-laki juga menghabiskan waktu cukup banyak untuk kegiatan sosialisasi, antara lain
dengan ngobrol soal politik, atau main kartu dan karambol.
Yang menarik, seperti juga di dusun Kedondong, beberapa laki-laki terlibat dalam pengerjaan aktivitas
pengasuhan dan perawatan, yaitu:
38
• Seorang peserta FGD yang merupakan duda, akan melakukan aktivitas seperti mencuci piring,
mencuci baju, dan memasak di pagi hari
• Dua peserta FGD, mengaku bahwa pada pagi hari, setelah ibadah dan ngopi, mereka juga ikut andil
dalam pengasuhan anak seperti menggendong dan memandikan anak serta mengantar anak mengaji
Perubahan dalam aktivitas laki salah satunya bisa dilihat dalam kaitannya dengan kejadian khusus
bencana. Terutama dalam periode darurat, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah atau di
tenda. Alasan utamanya adalah karena masih diliputi oleh rasa trauma. Saat terjadi bencana, laki-laki di
Beririjarak mengaku bahwa beberapa aktivitas tetap dilakukan seperti biasa, namun beberapa aktivitas
lain mengalami perubahan. Laki-laki menyebut, mereka tetap minum kopi seperti sebelum gempa, dan
bahkan kadang bertambah baik frekuensi maupun durasinya. Beberapa kadang menghabiskan pagi
sampai adzan dhuhur dengan ngopi. Hal ini karena ngopi juga diselingi dengan ngobrol, dan menurut
mereka, ngobrol itu membantu untuk mngurangi rasa trauma dan takut, serta karena aktivitas Bertani
belum mulai kembali dilakukan karena khawatir untuk pergi jauh. Pada saat bencana, laki-laki menyebut,
mereka mengeluarkan waktu yang lebih lama untuk aktivitas pribadi seperti mandi karena harus antri,
mengingat jumlah toilet juga terbatas, dan memprioritaskan anak-anak yang mau sekolah dan perempuan
untuk mencuci piring dan memasak untuk seluruh anggota keluarga. Bahkan menurut beberapa orang,
mereka terkadang tidak mandi. Pada masa bencana, aktivitas yang banyak dilakukan adalah kumpul-
kumpul. Beberapa responden yang ditemui mengatakan, mereka juga bekerja sebagai relawan desa untuk
memobilisasi dan mendistribusikan bantuan. Ada 17 orang relawan, dan semuanya laki-laki. Distribusi
dilakukan baik dari ke desa ke dusun, maupun meneruskannya hingga ke tingkat RT -yang akan diteruskan
oleh ketua RT ke warganya masing-masing.
Gambaran aktivitas harian ketika terjadi bencana tergambar dalam siklus harian dua laki-laki (satu orang
duda, dan satu orang laki-laki single yang bekerja sebagai relawan) dalam tabel berikut di bawah ini.
39
Terlihat bahwa untuk dua kategori ini, mereka memiliki banyak waktu luang karena belum bekerja, dan
lebih mengisi hari dengan aktivitas duduk-duduk atau menjadi relawan. Aktivitas domestic tidak
diceritakan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki pada masa darurat bencana.
Tabel 12. Perbandingan Aktivitas Harian Laki-laki Ketika Darurat Bencana
Jam Laki-laki, duda Laki-laki, single, relawan, bekerja sebagai sopir paruh waktu
05.00 – 06.00 Sholat ngopi Bangun, ngopi
07.00 – 10.00 Ngopi, ngobrol Mandi
Nongkrong
10.00 – 12.00 Santai-santai di depan tenda Nongkrong
12.00 – 13.00 Sholat, ngopi, ngobrol Kerja kalau ada yang minta, karena bisa
nyetir (sopir tembak)
13.00 – 18.00 Santai, duduk-duduk Nongkrong
19.00 – 02.00 Duduk, ngopi, sholat, ngobrol, ronda
Ngobrol dilakukan di depan tenda (ada
tempat di depan tenda)
Malam ronda dan keliling
(Tidur jam 03.00 – 06.00)
Apa yang paling berubah setelah bencana? Sebagian melihat bencana sebagai berkah, terutama untuk
laki-laki yang bekerja sebagai tukang. Hal ini karena rezeki menjadi lancar karena banyak perbaikan untuk
pembangunan kembali atau rehabilitasi rumah pasca gempa. Hal ini berlaku baik untuk tukang batu
maupun tukang kayu, 6 hari dalam seminggu dengan hari libur di hari Jumat (sebagai hari ibadah).
Upahnya memang sama dengan sebelum bencana, baik diorder secara langsung atau terlibat dalal proyek
pengerjaan pembangunan pasca gempa. Perbedaannya, bila order personal, akan mendapatkan makanan
dan kopi, sementara bila ikut protek, tidak diberikan makanan dan kopi. Hal lain, gempa masih menyisakan
trauma, dimana sebagian belum berani tidur di dalam rumah, ataupun rumah tidak pernah dikunci supaya
memudahkan bila akan menyelamatkan diri. Padahal di sisi lain, kondisi keamanan menjadi lebih riskan
sekarang, karena kejadian criminal meningkat, seperti kemalingan terutama untuk ponsel, motor dan
ternak sapi. Sayangnya, Siskamling sudah tidak begitu jalan karena terjadi pergantian pengurus kelompok
pemuda. Kondisi saat ini dianggap belum sepenuhnya kembali ke kondisi normal sebelum gempa.
Gambaran siklus harian laki-laki yang berbeda juga bisa dilihat dari pengalaman laki-laki yang istrinya
bekerja sebagai buruh migran. Bapak / Awak wawar sendiri sebelumnya pernah jadi TKI juga, sehingga
terbiasa hidup di rantau dan terampil memasak. Tetapi pekerjaan seperti memasak dan mencuci baju,
sering dikerjakan anak perempuannya yang masih sekolah di SMP. Ia sendiri sering dan terampil
membersihkan rumah. Namun ia mengaku, anaknya tidak selalu mau memasak dan mencuci, sehingga ia
harus mengerjakannya sendiri. Anaknya yang laki-laki (kelas 5 dan 4 SD) tidak pernah ikut membantu
pekerjaan rumah. Saat ini, istrinya sudah 2 tahun bekerja sebagai buruh migran di Saudi Arabia.
40
Tabel 13. Siklus Harian Laki-laki yang Istrinya Menjadi Buruh Migran
Jam Aktivitas
05.00 – 06.00 Ngopi
Mengerjakan bersih-bersih rumah, memasak
Orang lain
05.00 – 06.00 Ngopi, sholat
06.00 – 17.00 Kerja di sawah
12.00 – 13.00 Istirahat
13.00 – 17.00 Kembali ke sawah
Catatan: tidak selalu ke sawah setiap hari, tergantung pekerjaan sawah. Ketika
tidak pergi ke sawah, akan mengerjakan pekerjaan bersih-bersih rumah
17.00 – 22 Kumpul dg keluarga, menemani anak belajar
22.00 Istirahat
Seorang responden bernama Adi, juga mengatakan bahwa istrinya juga bekerja menjadi TKI, dan sudah
berangkat sekitar 1 tahun lebih. Walaupun keluarga yang istrinya jadi TKI menjadi terbiasa mengerjakan
pekerjaan rumah, namun hal ini tidak berlaku pada Adi. Ia masih ikut makan di rumah orang tua, sehingga
tidak memasak sendiri. Bahkan kondisi menumpang makan di rumah orang tua ini masih berlanjuta hingga
sekarang, setelah 9 bulan pasca gempa ketika ia sudah berpindah ke rumah sendiri. Mungkin karena ia
juga belum memiliki anak.
Selain laki-laki yang istrinya menjadi buruh migran, adalah juga menarik untuk melihat pengalaman harian
laki-laki dengan disabilitas. Salah satunya adalah Marsoan, seorang laki-laki berusia 55 tahun. Dulunya ia
bekerja sebagai buruh tani dan sejak 13 tahun lalu mengalami gangguan pada syarafnya karena jatuh pada
saat lomba panjat pinang untuk mengambil hadiah. Setelah kejadian itu, ia tidak bisa lagi bekerja. Dia
memiliki 3 orang anak, 2 laki dan 1 perempuan, 1 orang sudah menikah dan menjadi TKI yang sering
mengirimkan uang ke bapaknya. Biasanya anaknya akan mengirimi uang 3 bulan sekali, dengan kisaran
uang sebanyak Rp 2-3 juta. Dia hidup bersama anak laki-laki dan perempuan. Istrinya meninggal saat anak
terakhir berusia 1,5 tahun. Sejak 1,5 yang lalu dia tidak mendapatkan PKH lagi dengan alasan dia harus
diganti dengan nama yang lain. Aktivitas hariannya adalah sebagai berikut:
41
Tabel 14. Aktivitas Harian Laki-laki dengan Disabilitas
Waktu Aktifitas Keterangan
05.00 – 06.00 Shalat, zikir, duduk sementara
menunggu pagi,menunggu untuk di
siapkan sararapan
Karena kondisi, tidak memungkinkan
untuk bekerja.
06.00 – 08.00 Duduk-duduk mengerjakan apa yang
bisa dikerjakan.
Karena kemampuan untuk
mengerjakan yang lain sudah tidak
memungkinkan
08.00 – 10.00 Istirahat sambil tidur-tiduran Karena sudah tidak bisa lagi bekerja,
yang bisa dilakukan hanya tidur,
makan dan tidur lagi
10.00 - 12.00 Bangun tidur, mandi, sholat, makan
12.00 - 14.00 Duduk-duduk sambil minum air gula
dan makan snack - kalau ada.
14.00 - 16.00 Shalat dan istirahat sambil duduk-
duduk.
16.00 - 18.00 Mandi, shalat, makan malam
18.00 - 22.00 Shalat, istirahat, tidur
Walaupun tidak terinformasikan dengan detail, dengan kondisinya yang tidak bisa banyak
melakukan aktivitas fisik, maka peran care-giver untuk aktivitas harian dari pak Marsoan menjadi sangat
penting. Secara umum, dalam masyarakat di Lombok Timur, aktivitas pengasuhan untuk anggota keluarga
yang sakit, biasanya melekat dan menjadi tanggung-jawab perempuan dewasa atau anak perempuan yang
sudah beranjak besar.
Dinamika pembagian kerja berbasis gender
Beban untuk pekerjaan pengasuhan dan perawatan yang dilakukan oleh perempuan juga dipengaruhi
oleh musim dan kondisi khusus. Perempuan di Otak Kebon menyebutkan, pekerjaan mengambil air adalah
salah satu contoh pekerjaan yang sangat dipengaruhi oleh musim. Pada musim hujan, pekerjaan ini tidak
dianggap menjadi beban, karena distribusi hingga ke tingkat rumah tangga juga berlangsung lancar.
Masalah mulai muncul ketika datang musim kemarau, karena debit air akan menurun dan distribusi air
menjadi kurang lancar. Begitu juga ketika terjadi bencana, mereka mengaku kesulitan karena banyak mata
air yang rusak ataupun sumber air yang menghilang ketika terjadi bencana. Dalam masa bencana,
terutama yang tinggal di tenda pengungsian, mereka juga harus antri lama untuk mandi atau antri di
sarana mencuci dengan banyak pengungsi lainnya. Hal ini ini menjadikan, waktu untuk mengerjakannya
juga menjadi lebih lama.
Sedangkan untuk pekerjaan mengumpulkan kayu bakar, akan sebaliknya, karena menjadi lebih mudah
ketika musim kemarau. Hal lain juga terjadi dengan pekerjaan pengasuhan anak. Pada musim kemarau,
perempuan di Otak Kebon mengatakan, hal ini lebih mudah dilakukan karena anak-anak tidak terkurung
42
di dalam rumah. Ketika musim panen, anak-anak sering dibawa ikut bekerja di sawah atau dititipka ke
nenek. Mengasuh anak pada masa bencana juga dihadapkan pada besarnya ketakutan karena masih
trauma, namun hal baiknya, pengasuhan anak dilakukan bersama oleh kedua orang tua. Untuk
menyiapkan makanan, saat dirasa sulit adalah ketika musim penghujan (karena jalanan licin, sehingga
menyulitkan ketika membeli bahan makanan), dan ketika terjadi bencana (karena masih trauma, juga
karena sarana dan prasarana untuk memasak banyak yang rusak terkena bencana). Hal yang sama juga
terjadi dengan pekerjaan membersihkan rumah dan merawat orang sakit: dalam situasi bencana, hal ini
menjadi lebih sulit untuk dilakukan.
Dinamika pembagian kerja ini tergambar dari hasil FGD di dusun Lauq, baik di FGD laki-laki ataupun
perempuan. Terdapat beberapa variasi informasi diantara hasil kedua FGD sebagaimana terlihat dalam
uraian di table berikut ini:
Pekerjaan Musim Hujan Musim Kemarau
Mengambil air Air dari kran, karena rumah tangga
peserta menggunakan PAMDES untuk
kebutuhan air bersih ( perempuan)
Jika air PAMDES macet,
menggunakan sumur dan yang
menimba laki-laki dan perempuan.
Atau ke sungai ( laki-laki dan
perempuan)
Mengumpulkan
bahan bakar
Menyetok gas dan menggunakan saat
butuh oleh laki-laki
Perempuan mengatakan, mereka
membuat stock kayu bakar untuk
antisipasi bila tidak ada gas
Membeli setiap butuh dan yang
melakukan laki-laki
Pengasuhan anak Laki-laki mengatakan, pengasuhan dilakukan bersama oleh suami dan istri.
Namun perempuan mengatakan, perempuanlah yang mengasuh anak
Menyiapkan atau
membeli makanan
Laki-laki mengatakan, perempuan
menyiapkan cadangan bahan mentah
dan memasak. Sementara perempuan
menguraikan, kerja memasak
mencakup:
• Menyiapkan makanan yang hangat.
• Menyiapkan stok bahan baku oleh perempuan
• Membuatkan keluarga gorengan
Laki-laki menyebut, perempuan
memasak dan membeli makanan
yang sudah matang. Sementara
perempuan menguraikan pekerjaan
perempuan adalah:
• Perempuan memasak atau terkadang membeli yang sudah matang
• Membuatkan keluarga jus dan makanan yang segar-segar
43
Bersih-bersih Membersihkan drainase, membersihkan
tempat penampungan air, membuang
sampah di sungai oleh laki-laki
Membakar sampah, menyiram
halaman, mengelap debu, oleh
perempuan
Merawat orang
sakit/manula
Memperhatikan kesehatannya oleh laki-laki dan perempuan. Perempuan
mengatakan, pekerjaan merawat orang sakit termasuk membersihkan pasien,
dengan menggunakan air hangat serta menyiapkan makanan yang sehat
(mengandung serat dan buah-buahan)
Pengecualian pembagian kerja berbasis gender
Pembagian kerja berbasis gender, dalam beberapa kondisi, bisa berubah atau menjadi longgar
dengan beberapa alasan. Laki-laki menyebutkan beberapa alasan yang menurut mereka bisa diterima
untuk perubahan pembagian kerja tersebut, seperti:
a. Ibu Hamil. Alasan utamanya adalah karena kondisi ibu hamil yang lemah, tidak boleh bekerja berat,
atau sebagian juga sensitive terhadap aroma. Di Beririjarak, hal ini mereka pelajari dari pengalaman
pribadi, ataupun diajarkan oleh keluarga/ orang tua dari praktek sehari-hari.
b. Perempuan dengan disabilitas. Apabila dengan keterbatasannya mereka bisa mengerjakan kerja
pengasuhan dan perawatan, akan disyukuri dan diapresiasi. Tetapi kalau tidak bisa karena kondisi fisik
dan mentalnya tidak memungkinkan, hal ini cukup dimaklumi dan dianggap sebagai hal yang lumrah
dan menjadi konsekuensi
c. Perempuan bekerja. Kondisi ini menimbulkan reaksi yang beragam. Di desa Beirrijarak, respon
terhadap tugas kerja pengasuhan dan perawatan untuk perempuan bekerja adalah sebagai berikut:
• Bila bekerja dan tidak memasak, tidak apa-apa. Dimaklumi, dan kemudian memilih membeli
makanan jadi atau mie instan yang mudah dibuat. Namun permakluman ini hanya berlaku apabila
kondisi ini terjadi sesekali saja. Sedangkan kalau ini terjadi setiap hari, maka perempuan harus
bangun lebih pagi supaya bisa memasak, sehingga bisa sampai masak untuk sore. Kebanyakan
perempuan di kampung ini, sudah menyiapkan makanan sebelum berangkat kerja. Laki-laki
merasa, ini merupakan kebiasaan yang sudah berjalan lama.
• Kebanyakan laki-laki akan marah bila tidak menemukan makanan di rumah (karena perempuan
bekerja)
• Komentar yang sering terdengar: perempuan tidak ada bisanya/ tidak ada gunanya, bila tidak bisa
memasak, karena ini merupakan tanggung-jawabnya. Dianggap bahwa perempuan yang
bersangkutan tidak memenuhi kewajiban.
• Sikap dan permakluman terhadap peran dan tanggung-jawab perempuan juga akan berbeda
untuk pekerjaan yang berbeda. Menurut laki-laki peserta FGD, masyarakat lebih bisa menerima
pengecualian ini untuk perempuan yang bekerja sebagai guru/ aparat sipil negara (ASN),
sedangkan masyarakat akan lebih susah menerima pengecualian bila hal ini dilakukan oleh buruh
petani dan dilakukan secara terus menerus. Permakluman terhadap guru dan ASN, juga berlaku
untuk perempuan yang bekerja sebagai pengusaha, dimana permaklumannya lebih tinggi bila
dibandingkan level permakluman pada buruh tani. Namun demikian, sikap ini masih perlu
44
diperiksa, karena peran sebagai pengusaha (dalam skala menengah) relative tidak dijumpai di
desa ini.
• Permakluman terhadap pengecualian peran perempuan ini juga berlaku untuk perempuan yang
bekerja sebagai buruh migran. Hal ini dimaklumi karena factor ekonomi, sehingga mereka harus
bekerja jauh untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, merubah nasib menjadi lebih baik.
Terdapat permakluman terhaadap perempuan yang bekerja sebagai buruh migran, dan sebagai
konsekuensinya, pekerjaan domestic akan berpindah ke suami atau anak (perempuan).
d. Perempuan tidak disukai jika tidak menuruti/ mendengar nasihat suami, tidak beribadah/ sholat, dan
sibuk main bola volley sampai adzan Maghrib dan kemudian dilanjutkan dengan menggosip.
e. Karena tidak cukup banyak pekerjaan domestic yang dikerjakan laki-laki, atau bukan dianggap sebagai
tanggung-jawab laki-laki, maka tidak diidentifikasi pengecualian apabila laki-laki tidak mengerjakan
pekerjaan domestik.
Lantas, bagaimanakah pandangan perempuan terhadap pengecualian/ kondisi khusus dimana pembagian
kerja berbasis gender bisa menjadi lebih fleksibel?
f. Menurut perempuan di Beririjarak, mereka memaklumi kondisi-kondisi pada:
• Ibu Hamil. Hal ini karena perempuan hamil dianggap dalam kondisi lemah, sedang ngidam, atau
karena takut akan menyebabkan keguguran. Kondisi ini menurut perempuan tetap dihargai secara
positif. Perempuan juga menyebut, ada perubahan sikap suami dibandingkan dengan masa
sebelumnya. Hal ini karena pengetahuan baru dan arus informasi tentang pentingnya perlindungan
bagi perempuan hamil.
• Walaupun perempuan dengan disabilitas dimaklumi bilamana tidak bisa sepenuhnya memenuhi
peran gender terkait dengan pengasuhan dan perawatan, namun peserta FGD menuturkan, ada 1
perempuan disabilitas/ daksa di desa tersebut yang sangat rajin dan bahkan lebih rajin dari
perempuan pada umumnya. Ia merupakan seorang janda dan tidak punya anak, dan ia juga cukup
percaya diri
g. Menurut perempuan di dusun Otak Kebon, perempuan yang tidak melakukan kerja pengasuhan dan
perawatan tidak akan dihargai bila:
• Perempuan berpendidikan. Akan dianggap terlalu acuh, sombong, egois dan tidak menghargai
diri sendiri
• Perempuan bekerja, karena dalam budaya setempat, bila perempuan bekerja mencari nafkah,
maka suaminya akan dianggap tidak bertanggung-jawab
• Sedangkan bila laki-laki melakukan pekerjaan pengasuhan dan perawatan, maka menurut
perempuan hal ini menunjukkan bahwa ia melakukannya karena terpaksa. Dalam Bahasa lain, ia
dianggap kalah dari istrinya.
h. Di desa Otak Kebon, catatanya adalah sebagai berikut:
45
• perempuan hamil dimaklumi bilamana tidak bisa melakukan kerja domestic, karena beberapa
pekerjaan ini memang terlalu berat sehingga berbahaya, mengingat secara fisik, kondisi
perempuan hamil juga relative lemah.
• Untuk perempuan dengan disabilitas, bisa dimaklumi karena secara fisik memang tidak mampu
bekerja, minder atau tidak bisa berpikir keras (seperti pada kasus down syndrome).
• Untuk perempuan yang menjadi anggota legislatif, bisa dimaklumi bilamana tidak bisa
sepenuhnya mengerjakan pekerjaan domestic, karena ada pandangan bahwa mereka memiliki
martabat dan derajat yang tinggi.
• Bilamana laki-laki mengerjakan pekerjaan domestic, maka akan dihargai sebagai laki-laki yang
baik dan sopan. Bilamana laki-laki mengasuh anak, maka hal ini dianggap sebagai contoh laki-laki
yang bertanggung-jawab terhadap keluarga.
i. Di dusun Kedondong, desa Pringgasela Selatan:
• Laki-laki memandang, tidak masalah bilamana perempuan hamil tidak mengerjakan pekerjaan
domestic, karena beberapa pekerjaan ini dianggap terlalu berat.
• Laki-laki juga memiliki permakluman terhadap perempuan dengan disabilitas, karena alasan
agama dan nilai kemanusiaan.
• Begitu juga dengan perempuan yang menjadi anggota legislative dan perempuan pemimpin serta
pebisnis, karena hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang luar biasa, pintar
serta pekerja keras
• Namun demikian, laki-laki tidak memberikan penilaian yang baik bilamana ada perempuan yang
berpendidikan dan kemudian tidak mau melakukan pekerjaan domestic. Hal ini karena dianggap
bahwa mereka melawan apa yang menjadi tanggung-jawabnya, dan dicap sombong.
48
BAB III
RAPID CARE ANALYSIS DI KABUPATEN
LOMBOK TENGAH
ada tahun 2017, jumlah penduduk di kabupaten Lombok Tengah adalah sebanyak 930.797 jiwa,
dengan perimbangan laki-laki sebanyak 440.292 jiwa dan perempuan sebanyak 490.505 jiwa atau
memiliki rasio jenis kelamin sebanyak 89,76. Dari segi perimbangan jenis kelamin dan kelompok
umur, data penduduk Lombok Tengah adalah sebagai berikut:
Dari jumlah penduduk sebanyak 930 ribu jiwa pada Agustus 2017, terdapat penduduk usia kerja (15 tahun
ke atas) sebanyak 661.000 jiwa. Dari jumlah ini, sebanyak 69.3% merupakan angkatan kerja dan sisanya
sebanyak 30.7% bukan merupakan angkatan kerja (meliputi kegiatan bersekolah, mengurus rumah
tangga, serta kegiatan lain seperti penerima pendapatan atau tidak mampu melakukan kegiatan apapun).
P
49
Jumlah penduduk yang bekerja pada Agustus 2017 sebanyak 446.000 jiwa (97.1% dari seluruh angkatan
kerja), sedangkan sisanya sebanyak 2.9% merupakan penganggur atau sedang mencari kerja.
Kabupaten Lombok Tengah sendiri, merupakan wilayah dengan sector pertanian sebagai sector utama
dalam hal penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan sakernas 2017, sekitar 42.04% penduduk bekerja di
sector pertanian, sedangkan sisanya tersebar di sector perdagangan (18.99%), industry (15.64%), jasa
(12.14%), dan sector lainnya (11.19%). Menurut lapangan usaha utama menurut hasil Sakernas Agustus
2017, terdapat sebanyak 40.50% dari laki-laki berusia 15 tahun ke atas, bekerja di sector pertanian. Sektor
kerja berikutnya berturut-turut adalah sector lainnya (19.95), sector jasa (15.43%), sector perdagangan
(12.53%0 dan sector industry (11.58%). Dibandingkan dengan data tahun 2014 dan 2015, penyerapan di
sector pertanian cenderung menurun dari sebelumnya sebanyak 48.06% (2014) dan 41.19% (2015). Sector
yang mengalami peningkatan serapan tenaga kerja adalah sector industry dan perdagangan, sedangkan
sector jasa dan lainnya cenderung menurun1.
1 Sakernas, Agustus 2014, 2015 dan 2017. Dikutip dari Statistik Ketenagakerjaan kabupaten Lombok Tengah 2017, BPS Lombok Tengah
50
Bagaimana dengan perempuan? Pada tahun 2017, sector utama yang menyerap tenaga kerja perempuan
adalah sector pertanian (43.7%), diikuti dengan sector perdagangan (25.94%), sektoe industry (20.01%),
kemudian jasa (8.61%) dan lainnya (1.75%). Apabila dibandingkan dengan kondisi tahun-tahun
sebelumnya, sector yang mengalami penurunan signifikan dalam hal penyerapan tenaga kerja adalah
sector pertanian (dari 60.59% pada tahun 2014 dan 45.42% pada tahun 2015). Penyerapan tenaga kerja
perempuan di sector industry, perdagangan dan jasa mengalami peningkatan yang signifikan dari kondisi
tahun 2014, ke 2015 dan kemudian 2017. Hal ini diuraikan dalam tabel berikut ini:
Dilihat dari tingkat pendidikannya, penyerapan tenaga kerja didominasi oleh penduduk dengan
pendidikan rendah (SD ke bawah) yaitu sekitar 54.0%. Hanya terdapat sebanyak 7.3% saja penduduk
bekerja yang memiliki pendidikan tinggi (diploma dan sarjana). Penduduk yang memiliki gelar sarjana, baik
laki-laki maupun perempuan, terkonsentrasi di sector jasa.
51
Dalam hal status pekerjaan, laki-laki terutama bekerja sebagai wirausaha (43.24% pada tahun 2017),
diikuti dengan pekerja bebas (30.17%) dan bekerja sebagai buruh/ karyawan sebanyak 20.77%. Sedangkan
untuk perempuan, pada tahun 2017, terutama bekerja sebagai wirasausaha (39.83%), diikuti dengan
pekerja keluarga (27.08%), dan 21.75% lainnya bekerja sebagai pekerja bebas. Berbeda dengan
perempuan, hanya terdapat 5.82% laki-laki yang bekerja sebagai pekerja keluarga.
Dari segi sector formal dan informal, mayoritas laki-laki bekerja di sector informal, yaitu sebanyak 77.69%
pada tahun 2017, 75.73% pada tahun 2015 dan 78.4% pada tahun 2014. Untuk di sector formal, terdapat
sebanyak 22.31% laki-laki pada tahun 2017, 24.27% pada tahun 2015 dan 21.6% pada tahun 2014.
Bagaimana dengan perempuan. Sektor informal juga menyerap mayoritas perempuan, dan bahkan
dengan persentase yang lebih besar daripada laki-laki. Pada tahun 2017, perempuan di sector informal
adalah sebanyak 88.17%, sementara pada tahun 2015 adalah sebanyak 88.49% dan bahkan 92.86%
perempuan bekerja di sector informal pada tahun 2014. Data ini menunjukkan, terjadi kecenderungan
penurunan penyerapan perempuan di sector informal dan berpindah ke sektor formal. Hal ini ditunjukkan
dengan sebanyak 7.14% perempuan di sector formal pada tahun 2014, 11.51% pada tahun 2015 dan
11.83% pada tahun 2017. Sector formal yang banyak dimasuki laki-laki adalah berturut-turut sector jasa,
perdagangan dan industry, sedangkan sector informal berutur-turut dari yang terbesar adalah pertanian,
industri dan sektor lainnya. Untuk perempuan, sector informal yang utama berturut-turut dari yang
terbesar adalah pertanian, industry dan lainnya, sedangkan untuk sector formal dimulai dari jasa,
perdagangan dan lainnya.
Dari segi jumlah jam kerja, sebanyak 40.54% laki-laki bekerja lebih dari 45 jam dalam seminggu, kemudian
22.43% bekerja selama 35-44 jam, dan 25-34 jam dicurahkan dalam seminggu oleh sebanyak 15.64% laki-
laki. Dari segi jumlah jam kerja yang dicurahkan perempuan dalam seminggu, pada tahun 2017, terbanyak
bekerja lebih dari 45 jam dalam seminggu (32.79%), kemudian 10-24 jam (20.27%), dan 35-33 jam
(18.37%). Bila dibandingkan antara keduanya, lebih banyak laki-laki yang bekerja lebih lama dibandingkan
perempuan. Hal ini bisa dimungkinkan karena perempuan juga melakukan banyak pekerjaan domestic
yang secara sosial dilekatkan dan dipraktekkan sebagai peran dan tanggung-jawab perempuan.
Beberapa persoalan gender yang dimiliki oleh Lombok Tengah, sebagaimana wilayah lain di provinsi NTB
adalah persoalan perkawinan anak. Pada tahun 2017, sebanyak 28,67% dari penduduk perempuan
berusia 15 tahun ke atas telah menikah pada usia anak-anak (kurang dari 18 tahun. Rinciannya adalah
sebanyak 5.24% menikah sebelum berusia 15 tahun, dan sebanyak 23,43% menikah pada usia 15-17
tahun. Untuk pernikahan sebelum berusia 15 tahun, jumlah kejadian di pedesaan lebih tinggi daripada di
perkotaan, walaupun untuk usia 15-17 tahun, persentase di perkotaan lebih tinggi. Datanya bisa dilihat
dalam tabel berikut ini.
52
Gambaran persoalan perkawinan anak juga bisa dilihat di wilayah-wilayah yang menjadi sample dari studi
ini. Dari peserta FGD perempuan di desa Sukarara sebanyak 5 orang misalnya, 3 diantaranya menikah
sebelum berusia 18 tahun. Dua diantaranya menikah pada umur 17 tahun, dan seorang lagi bahkan
menikah pada usia 15 tahun dan saat ini, dalam usia 35 tahun, memiliki 4 anak dan sudah 2x menikah.
Dari segi jumlah anak pada ibu berusia 15-49 tahun, secara rerata, perempuan usia 15-49 tahun memiliki
anak sebanyak 1,92 orang Jumlah anak tertinggi dimiliki kelompok umur 45-49 tahun dengan rerata
sebanyak 2,76 orang. Sebaran antara perkotaan dan pedesaan tidak terlihat polanya dengan jelas, karena
pada beberapa kelompok umur, jumlah rata-rata anak perempuan di perkotaan lebih tinggi (seperti pada
kelompok umur 20-24 tahun, 25-29 tahun, dan 35-39 tahun. Namun pada kelompok umur 15-19 tahun,
30-34 tahun, 40-44 tahun dan 45-49 tahun, jumlah rerata anak dari perempuan di pedesaan lebih tinggi
dibandingkan perkotaan.
Persoalan lain adalah angka melek huruf pada perempuan berusia 10 tahun ke atas. Untuk beberapa
kelompok umum, seperti perempuan berusia lebih dari 50 tahun, angka melek hurus sangat rendah yaitu
secara umum hanya sebanyak 32.97%, dengan komposisi 42.32% di perkotaan dan 28,66% di pedesaan.
Angka melek huruf pada perempuan usia 40-49 tahun juga masih perlu ditingkatkan terlebih di pedesaan
yang baru mencapai 78.08%. Datanya diuraikan dalam tabel berikut ini:
53
Sosialisasi Peran Gender
Konstruksi dan peran gender tidaklah berlangsung dalam ruang hampa. Apa yang dilekatkan, apa yang
diajarkan dan kemudian apa yang dipraktekkan oleh perempuan dan laki-laki, adalah hasil dari proses
sosialisasi yang berlangsung bergenerasi. Peserta FGD perempuan maupun laki-laki menyebutkan,
mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap cocok secara sosial untuk dikerjakan oleh jenis
kelamin yang berbeda. Pembagian kerja berbasis gender, merupakan salah satu proses sosialisasi yang
berjalan.
Laki-laki yang dianggap baik, adalah laki-laki yang bekerja mencari nafkah, mencari dan mengurusi ternak,
mencarikan kayu bakar dan membuatkan rumah untuk keluarganya. Hal ini karena secara sosial, laki-laki
dikonstruksi sebagai mahluk yang kuat dan berani. Sebaliknya, perempuan yang dianggap baik adalah
perempuan yang bisa memasak, mengurus anak, membersihkan rumah, melayani suami dan lebih banyak
tinggal di dalam rumah. Dalam konstruksi sosial, perempuan yang baik adalah perempuan yang penurut,
teliti, cermat, dan tidak banyak protes, serta terampil mengurus suami. Pekerjaan domestic dilakukan oleh
perempuan karena suami sudah lelah bekerja. Ketidakterlibatan laki-laki dalam pekerjaan rumah
dianggap hal yang biasa. Bahkan di Nyerot, ditemukan seorang peserta laki-laki yang selalu mengandalkan
istrinya untuk pekerjaan rumah. Ia tidak mau terlibat dalam kegiatan rumah, karena katanya ia sudah tua
–berumur sekitar 60an dan istrinya berusia 30 tahun lebih muda. Bahkan untuk mengambil rumput, juga
dilakukan oleh istrinya. Namun demikian, ia mengaku bahwa untuk urusan seksual, ia masih aktif.
Seorang peserta FGD perempuan mengatakan, martabat laki-laki lebih tinggi, namun pekerjaan
perempuan jauh lebih banyak. Peserta FGD yang lain menyebut, perempuan adalah ratu kerja, karena
pekerjaannya tidak ada hentinya. Hal ini bisa dilihat dari ilustrasi, apabila musim kerja sawah, perempuan
akan sangat sibuk karena harus menyiapkan makanan untuk suami atau orang yang diupah untuk kerja di
sawah. Dalam sehari, mereka bisa sampai 3-4 kali menyiapkan makanan dan mengantar bolak-balik
dengan jalan kaki dari rumah ke sawah. Saking sibuknya perempuan bekerja menyiapkan makanan,
perempuan bahkan sering terlupa untuk makan.
Laki-laki, secara sosial juga memiliki privilege (perlakuan istimewa), seperti diceritakan tentang perlakuan
istimewa dalam suasana pesta/ begawe (Bahasa Lombok) di desa Sukarara. Peserta menceritakan, dalam
begawe aka nada pemisahan tempat duduk, dan laki-laki akan ditempatkan di kursi bagian depan. Lauk
yang disajikan juga akan berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Laki-laki akan mendapatkan lauk yang
lebih beragam, seperti sate yang tidak disajikan untuk perempuan. Laki-laki juga akan dipersilakan makan
terlebih dahulu. Cara menyajikan makanan juga berbeda. Kalau untuk laki-laki, sayur dan lauk akan
disajikan dalam piring yang terpisah-pisah, sedangkan untuk untuk perempuan, sayurnya disatukan
dengan piring nasi sementara hanya daging saja yang disajikan terpisah.
Konstruksi tentang menjadi laki-laki dan menjadi perempuan yang baik ini diajarkan dalam proses
sosialisasi di keluarga, lingkungan terdekat, organisasi sosial dan politik, dan juga melalui kebijakan dan
instrumen negara. Pembiasaan berlangsung dari dulu, turun-temurun dan kemudian menjadi rujukan bagi
warga masyarakat, laki-laki dan perempuan. Di desa Sukarara, pembagian kerja terjadi sebagai proses
54
sosialisasi yang diajarkan secara turun temurun. Ada peran dan kerja yang dilekatkan dan diajarkan
sebagai kerja perempuan, dan ada peran dan kerja yang dilekatkan dan diajarkan sebagai kerja laki-laki.
Hal ini Nampak dalam tabel yang menunjukkan bagaimana pandangan perempuan terhadap pekerjaan
yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan dan pekerjaan perempuan. Tabel ini merupakan hasil FGD
perempuan di desa Sukarara.
Tabel 15. Pekerjaan Perempuan dan Laki-laki: FGD Perempuan desa Sukarara
PEREMPUAN LAKI-LAKI
Menyiapkan makanan
Suami sibuk, dianggap sebagai kewajiban perempuan/ istri, dianggap suami takut istri, laki-laki dianggap remeh oleh perempuan
Menjaga ternak
Kebanyakan laki-laki, walau perempuan juga ikut mengurus. Perempuan ikut memberi makan, menyabit rumput. Perempuan ada juga yang bangun jam 2 malam, untuk beri makan dan mengecek keamanan sapi
Mengumpulkan kayu bakar
Karena berat sehingga perempuan dianggap tidak mampu. Takut terjadi kecelakaaan pada perempuan.
untuk mengambil kayu diprioritaskan untuk laki-laki
Mencari nafkah
Pekerjaan suami (secara konsep).
Mengumpulkan air bersih
Memikul karena tidak ada pematang sehingga tidak bisa naik motor.
Dilakukan kerja sama sehingga lebih cepat terkumpul airnya.
Menjaga orang sakit
Peremuan lebih telaten, lebih disiplin, telaten menyuapi makan dan meminumkan obat.
Sebagai pembanding, adalah pandangan laki-laki tentang pembagian kerja berbasis gender, sebagaimana
dihasilkan dari FGD laki-laki di desa yang sama.
55
Tabel 16. Norma Sosial tentang Pembagian Kerja: FGD di Desa Sukarara dalam Perspektif Laki-laki
PEKERJAAN SIAPA KETERANGAN
Memasak Lebih banyak perempuan
Dianggap tugas
Lebih paham
Lebih kompeten
Kalau dilakukan laki-laki
Ada anggapan sebagai laki-laki yang kalah sama istri
Tokoh agama: sebetulnya, memasak ini tugas suami karena istri menyusui. Namun ikhlas bila dikerjakan bersama
Membantu memasak kalau istri sibuk (sopir)
Mengumpulkan kayu bakar
Peran laki-laki Kayunya Panjang, tempatnya di sawah sehingga berat. Dianggap sebagai kewajiban laki-laki
Mengumpulkan air bersih
Peran laki-laki Karena pekerjaan berat dan jauh
Menjaga yang sakit
Peran perempuan Dianggap lebih telaten dan rajin
Menjaga ternak Peran laki-laki Bahaya untuk perempuan
Menurut laki-laki di dusun Nyerot, perempuan memiliki peran dan tanggung-jawab untuk menyiapkan
makanan, mengumpulkan air bersih dan menjaga anggota keluarga yang sakit (bersama laki-laki).
Sedangkan peran yang dilekatkan dan diajarkan sebagai kewajiban laki-laki antara lain adalah
mengumpulkan kayu bakar, menjaga ternak, membangun rumah dan menjaga anggota keluarga yang
sakit (bersama perempuan). Laki-laki juga bisa mengerjakan aktivitas menyiapkan makanan. Sebagian
dari peran ini diajarkan secara sosial sebagai praktek turun temurun, walaupun sebagian juga mengalami
perubahan karena pergeseran lingkungan (seperti pada tugas mengumpulkan air bersih), dan juga faktor
pendidikan (seperti untuk menyiapkan makanan). Sementara menurut perempuan di desa yang sama,
tanggung-jawab perempuan adalah untuk menyiapkan makanan dan berbagi dengan suami untuk tugas
mengumpulkan air bersih. Sementara tugas laki-laki adalah menjaga ternak dan membangun rumah. Hal
ini dipelajari sebagai konsep dan praktek yang sudah berlangsung secara turun temurun atau menjadi
tradisi yang berjalan dan dijaga oleh warga komunitas.
Ilustrasi tentang laki-laki yang enggan untuk mengerjakan pekerjaan domestic bisa ditemukan juga dalam
apa yang akan dilakukan laki-laki bilamana mereka diminta mengambil alih pekerjaan tersebut? Di desa
Ubung, laki-laki menyatakan, mereka lebih memilih untuk membelikan istrinya mesin penanak nasi ketika
istrinya mengeluh karena capek, daripada harus memasak nasi sendiri. Begitu pula, laki-laki akan lebih
memilih untuk membelikan mesin cuci daripada harus mencuci sendiri. Membelikan mesin penanak nasi
atau mesin cuci, diasosiasikan dengan aktivitas yang akan bisa dilakukan bilamana laki-laki bekerja (yang
sejalan dengan konsep gender tentang peran laki-laki), tanpa harus ada pertukaran peran gender dimana
laki-laki harus melakukan pekerjaan yang secara sosial dilekatkan sebagai kerja perempuan.
56
Tabel 17. Alasan Pembagian Kerja Berdasarkan Gender
PEREMPUAN LAKI - LAKI
Pekerjaan Kenapa Bagaimana hal ini diajarkan turun temurun
Pekerjaan Kenapa Bagaimana hal ini diajarkan turun temurun
Menyiapkan makanan
Karena perempuan lebih ahli, lebih lembut, lebih telaten, nilai keibuan muncul.
Tradisi atau budaya
Menjaga ternak
Fisik aki-laki lebih kuat, menghargai perempuan, membutuhkan keahlian, karena jarak yang jauh sehingga tidak melibatkan perempuan
Tradisi atau budaya
Mengumpulkan kayu bakar
Lingkungan Peran bahaya lingkungan
Mengumpulkan air
Menjaga yang sakit
Pelajaran sekolah (guru-guru, perempuan) keterampilan
Membangun rumah
Pelajaran sekolah (guru-guru, perempuan mengajar keterampilan)
Dukungan moral
Turun temurun dari orang tua
Kayu bakar Turun temurun dari orang tua
Praktek Pembagian Kerja
Bagaimanakah praktek pembagian kerja di tingkat rumah tangga? Praktek pembagian kerja
menggambarkan bekerjanya konsep dan nilai tentang apa yang dianggap sebagai kerja laki-laki dan kerja
perempuan. Hal ini tergambar dalam tabel hasil FGD laki-laki di desa Sukarara berikut ini.
57
Tabel 18. Praktek Pembagian Kerja di desa Sukarara: Perspektif Laki-laki
PEKERJAAN AKTIVITAS Anak P Anak L P Pro L Pro P
lansia L
lansia
MENYIAPKAN MAKANAN
Mencari kayu bakar
Memasak I I 2 1
Mencuci piring dan peralatan memasak
5 2
MENJAGA KELUARGA YANG SAKIT
Menjaga rumah I I 3 I
Membeli obat I 3
Memasak makanan khusus
4 I
MEMBERSIHKAN RUMAH
Membuang sampah 1 3 3
Mengepel/ menyapu rumah
4 2
Menyapu halaman 3 3
MENYIAPKAN PAKAIAN
Mengumpulkan air 1 1 2 1
Mencuci baju 1 1 3 1 1
Menjemur menyetrika pakaian
1 1 2 2 1
Tentang pekerjaan laki-laki yang mengurusi ternak, juga diceritakan oleh Lalu Murtawan yang merupakan
warga di dusun Bunsambang, Sukarara. Sehari-hari, ia bekerja sebagai kepala dusun. Ia menceritakan,
setiap pagi ketika bangun dan setelah sholat Shubuh, ia akan segera mengurusi ternak. Ia akan memberi
makan ternak yang mereka miliki, yaitu sapid an kambing. Ia juga akan membersihkan kandang dan
membuang kotoran ternak. Pekerjaan mengurusi ternak juga akan dilakukan sore hari, dengan
mencarikan pakan ternak, dimana ia biasanya akan mencari keturi untuk pakan ternak. Namun demikian,
istrinya juga menceritakan, pekerjaan mengurusi ternak dilakukan bersama. Ia mengatakan, sering
bangun malam-malam untuk memberi makan dan minum ternak di kandang, termasuk untuk mengecek
keamanan ternak. Selain mengurusi ternak, Lalu Murtawan juga mengatakan, ia terbiasa membantu
istrinya mengasuh anak mereka yang masih kecil.
Menurut perempuan di desa Nyerot, aktivitas perempuan lebih banyak dibandingkan dengan aktivitas
laki-laki. Aktivitas seperti menyiapkan kayu dibagi antara perempuan dan laki-laki, namun lebih banyak
dilakukan oleh perempuan. Terlebih aktivitas memasak, hingga mencuci piring/ peralatan memasak.
Sedangkan untuk menjaga orang sakit, apabila dirawat di rumah, biasanya bersama, baik antara laki-laki
dewasa, lansia perempuan, lansia laki-laki dan anak perempuan. Perempuan dewasa akan berbagi peran
dengan laki-laki dewasa serta anak perempuan untuk aktivitas membelikan obat. Menyiapkan makanan
khusus untuk pasien menjadi tanggung-jawab perempuan dewasa, dan sesekali dibantu oleh perempuan
lansia. Untuk membersihkan rumah, perempuan menjadi yang utama dalam aktivitas menyapu dan
mengepel lantai. Perempuan dewasa akan berbagi peran dengan laki-laki dewasa dalam aktivitas
membuang sampah dan menyapu halaman, termasuk juga berbagi dengan anak perempuan dan lansia
(perempuan dan lansia laki-laki untuk urusan menyapu halaman). Sedangkan untuk menyiapkan pakaian,
perempuan dewasa berbagi peran dengan lak-laki dewasa terutama untuk mencuci dan menyeterika.
58
Namun perempuan menjadi yang paling bekerja dalam mengumpulkan air bersih untuk mencuci pakaian.
Pekerjaan menyiapkan pakaian ini juga sedikit dibantu oleh anak perempuan serta lansia (laki-laki dan
perempuan).
Menurut laki-laki di Batutulis, perempuan dan laki-laki berbagi peran untuk mengumpulkan kayu bakar.
Namun perempuanlah yang memasak, sebagian kecil dibantu anak perempuan. Untuk mencuci piring dan
peralatan memasak, dilakukan oleh perempuan dewasa dan sebagian dibantu anak perempuan. Untuk
menjaga anggota keluarga yang sakit, dilakukan utamanya oleh perempuan dewasa dan dibantu oleh laki-
laki dewasa bila dirawat di rumah. Membeli obat bisa dilakukan oleh siapapun, tetapi lebih diutamakan
oleh anak laki-laki atau laki—laki dewasa. Perempuan dewasalah yang akan menyiapkan dan memasak
makanan untuk orang yang sedang sakit. Membuang sampah, menyapu dan mengepel rumah serta
menyapu halaman dilakukan bersama oleh perempuan dan laki-laki dewasa, namun dengan porsi lebih
besar untuk perempuan dewasa. Untuk pakaian, mengumpulkan air untuk mencuci lebih banyak
dilakukan oleh laki-laki dewasa. Namun perempuan dewasalah yang mencuci dan menyeterika pakaian.
Khairul, seorang remaja laki-laki di Batutuis mengatakan, ia ikut mengerjakan sebagian pekerjaan rumah.
Dalam siklus hariannya, ia menyebutkan bahwa ia bertugas memberi makan ternak dan membersihkan
kadang di pagi hari sebelum mandi dan kemudian berangkat ke sekolah. Ia mengatakan, “mengurus ternak
dikerjakan oleh laki-laki. Hal ini karena laki-itu laki lebih berani, lebih kuat dan punya keahlian, sehingga
tidak melibatkan perempuan”. Ia juga menceritakan, ia membantu memasak, membeli obat, membuang
sampah dan mengepel, serta mengumpulkan air, mencuci dan menjemur baju. Namun demikian,
aktivitas-aktivitas ini tidak ia tuliskan dalam siklus harian. Bisa jadi karena tidak rutin, sehingga hanya
dilakukan sekali-kali atau hanya bersifat membantu saja.
Dalam pembagian kerja, sebagian laki-laki di desa Nyerot mengaku terlibat dalam aktivitas domestic
seperti memasak, mencuci piring, membelikan obat, membersihkan halaman, menyapu halaman dan
mencuci baju. Bahkan, peserta FGD laki-laki di desa Nyerot menyebutkan, lebih banyak laki-laki
dibandingkan perempuan yang melakukan aktivitas mengumpulkan kayu bakar, membeli obat untuk
keluarga yang sakit dan mengumpulkan air bersih. Namun demikian, untuk pekerjaan seperti menjemur,
mengepel rumah, menyeterika baju, lebih dominan dilakukan perempuan. Walau demikian, peran dan
kontribusi laki-laki dalam aktivitas caring di level rumah tangga ini tidak terefleksikan dalam siklus harian
yang disusun oleh laki-laki peserta FGD.
Di dusun Sangkawati – desa Pagutan, pembagian kerja berbasis gender juga ditemukan. Laki-laki akan
bekerja di sawah dan mengurus ternak. Sebagian menyebutkan, mereka terkadang memasak air untuk
membuat kopi, serta ikut merawat anak. Untuk memasak air, akan dilakukan bilamana istri sedang sibuk.
Laki-laki juga memiliki banyak aktivitas komunal, seperti ronda, mengikuti acara pengajian di majelis
taklim, yasinan ataupun sekedar nongkrong. Apakah norma dan peran berbasis gender yang diajarkan
kepada anak-anak? Hal ini bisa dilihat dari aktivitas apakah yang sering dikerjakan anak perempuan.
Mereka menyebutkan aktivitas memasak, mencuci piring, menyapu dan mengepel rumah, menyapu
halaman, mengumpulkan air, mencuci baju, serta menjemur dan menyeterika pakaian adalah pekerjaan-
pekerjaan yang sering dilakukan oleh anak perempuan di dusun Sangakawati. Sementara anak laki-laki,
terkadang mencuci piring, menjaga anggota keluarga yang sakit, membersihkan rumah dan mencuci
59
pakaian. Sebagian anak laki-laki mengaku tidak pernah ikut mengumpulkan kayu bakar, memasak, atau
aktivitas membersihkan rumah.
Menurut perempuan di Batutulis, mereka berbagi pekerjaan domestic dengan anggota keluarga yang lain, antara lain:
• Berbagi dengan laki-laki dewasa untuk pekerjaan nmengumpulkan kayu bakar, membuang sampah
dan mengumpulkan air
• Berbagi dengan anak perempuan untuk pekerjaan memasak, mencuci piring dan peralatan
memasak, membeli obat bilamana ada keluarga yang sakit, membuang sampah, menyapu dan
mengepel rumah, menyapu halaman, mencuci baju, dan menyeterika pakaian
• Walaupun demikian, perempuan tetap menjadi yang utama dalam pekerjaan-pekerjaan di atas.
• Bahkan, beberapa pekerjaan domestic juga hanya dikerjakan sendirian oleh perempuan, seperti
menjaga anggota keluarga yang sakit di rumah atau memasak makanan khusus untuk yang sakit
• Pada perempuan kepala keluarga di Batutulis yang hidup dengan anak yang dua-duanya laki-laki,
pembagian kerja juga menunjukkan perempuan tetap menjadi yang utama dalam semua pekerjaan
perawatan dan pengasuhan di rumah. Anak laki-lakinya yang sudah SMA terkadang membantu
mengumpulkan kayu bakar, membelikan obat bilamana ada yang sakit dan menjemur serta
menyeterika pakaian.
Pembiasaan sejak dini supaya (anak) perempuan bertanggung-jawab pada pekerjaan pengasuhan dan
perawatan terlihat dari banyaknya anak perempuan yang sering atau terkadang melakukan pekerjaan-
pekerjaan ini. Sebanyak 6 dari 7 anak perempuan di Ubung mengatakan, mereka sering mencuci piring
dan peralatan masak, semuanya sering menjaga apabila ada yang sakit, termasuk memasak makanan
khusus untuknya. Semua anak perempuan juga sering melakukan pekerjaan membuang sampah,
menyapu dan mengepel rumah, menyapu halaman dan mengumpulkan air. Sebanyak 5 orang mengaku
seri mencuci baju, sementara 2 lainnya terkadang melakukannya. Begitu juga untuk menjemur dan
menyetrika baju, 4 mengatakan sering dan 3 menyebut terkadang melakukannya. Untuk anak laki-laki,
terdapat peserta FGD yang terbiasa mengumpulkan kayu bakar, membelikan obat, membuang sampah
dan mengumpulkan air. Sebagian kecil yang lain, terbiasa menyapu halaman, mencuci baju dan menjemur
pakaian. Sedangkan untuk laki-laki dewasa, pekerjaan domestic yang sering mereka lakukan antara lain
adalah membelikan obat, menyapu dan membuang sampah (sebagian orang) dan mengumpulkan air
bersih. Apa yang tidak pernah dilakukan oleh anak laki-laki? Dari 7 remaja/ anak laki-laki, 4 diantaranya
mengaku tidak pernah melakukan pekerjaan mengumpulkan kayu bakar, dan 1 orang menjawab tidak
pernah mencuci piring/ peralatan masak, mencuci dan menjemur serta menyeterika pakaian. Sedangkan
untuk anak perempuan, 3 dari 7 orang menyatakan tidak pernah mengumpulkan kayu bakar, dan 1 orang
menyebut tidak pernah memasak.
60
Survei Pembagian Kerja
Bagian berikut menguraikan pandangan laki-laki dan perempuan terhadap beberapa pernyataan terkait
dengan pembagian kerja di dalam rumah tangga.
Tabel 19. Survei Pembagian Kerja: Laki-laki di desa Sukarara
PERNYATAAN YA TIDAK
Saya terbiasa melakukan pekerjaan seperti menyapu lantai atau mencuci baju sendiri II I
Di keluarga saya, anak laki-laki terbiasa mencuci piring sendiri setelah makan II III
Saya dan istri, sama-sama terampil memandikan anak IIII
Saya merasa bersalah bila keluar rumah dan pekerjaan domestic belum beres IIII
Di keluarga saya, pendidikan anak perempuan dianggap sama pentingnya dengan pendidikan anak laki-laki
II III
Di keluarga saya, anak laki-laki lebih didorong untuk bekerja dibandingkan perempuan III II
Sementara tabulasi dari hasil survei perempuan di desa yang sama digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 20. Survei Pembagian Kerja: Perempuan di desa Sukarara
PERNYATAAN YA TIDAK
Saya terbiasa melakukan pekerjaan seperti menyapu lantai atau mencuci baju sendiri 5 -
Di keluarga saya, anak laki-laki terbiasa mencuci piring sendiri setelah makan 1 4
Saya dan istri, sama-sama terampil memandikan anak 1 4
Saya merasa bersalah bila keluar rumah dan pekerjaan domestic belum beres 4 1
Di keluarga saya, pendidikan anak perempuan dianggap sama pentingnya dengan pendidikan anak laki-laki
4 1
Di keluarga saya, anak laki-laki lebih didorong untuk bekerja dibandingkan perempuan 1 4
Beberapa catatan dari survei adalah sebagai berikut:
• Survei tentang peran gender menunjukkan bahwa dalam situasi ekonomi yang terbatas, maka siapa
yang akan lebih didahulukan untuk mendapatkan pendidikan mendapatkan jawaban yang beragam.
Ada yang menjawab akan mendahulukan siapa yang berprestasi, ada yang menjawab anak laki-laki,
dan ada juga yang akan mendahulukan siapa yang lebih mau dan semangat bersekolah.
• Laki-laki menyebutkan, mereka terbiasa mencuci baju sendiri dan menyapu lantai, serta juga
seterampil perempuan dalam memandikan anak. Namun semuanya mengatakan, di keluarganya,
anak laki-laki tidak terbiasa mencuci piring sehabis makan. Namun, hanya 2 dari 5 orang yang merasa
bersalah bila pergi dan rumah masih berantakan. Laki-laki menganggap pendidikan perempuan sama
pentingnya dengan pendidikan laki-laki. Untuk pekerjaan, 2 dari 5 laki-laki menyetujui bahwa anak
laki-laki lebih didorong untuk bekerja dibandingkan anak perempuan.
• Di desa Nyerot, kerja sama dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan antara lain
terkonfirmasi oleh jawaban perempuan bahwa mereka dan suaminya sama-sama terampil
memandikan anak (yang dijawab oleh 4 dari 5 perempuan peserta FGD). Walaupun mengaku
61
perempuan berbagi dengan laki-laki untuk pekerjaan domestic seperti mencuci piring, namun
menurut peserta FGD perempuan, anak laki-laki tidak terbiasa mencuci piring sendiri setelah makan.
• Di dusun Nyerot, 3 dari 5 laki-laki mengaku terbiasa melakukan pekerjaan seperti menyapu lantai atau
mencuci baju sendiri. Namun, seluruh peserta FGD menyebutkan, di keluarganya, anak laki-laki tidak
terbiasa mencuci piring sehabis makan. Untuk urusan memandikan anak, 3 dari 5 peserta
menyebutkan tidak terbiasa melakukan. Namun demikian, mereka mengaku merasa bersalah
bilamana pergi dan rumah masih berantakan. Sebanyak 5 dari 6 peserta FGD menyebutkan bahwa di
keluarganya, pendidikan anak perempuan dianggap sama pentingnya dengan pendidikan anak laki-
laki. Namun demikian, untuk kesempatan kerja, 4 dari 5 menyebutkan, dorongan lebih dilekatkan
kepada anak laki-laki.
• Pada perempuan kepala keluarga di batutulis, mereka terbiasa melakukan pekerjaan domestic sendiri,
dan merasa bersalah bilamana pergi ke luar rumah dan pekerjaan domestic belum beres. Namun
demikian, hanya separuh diantaranya yang menjawab bahwa anak laki-laki terbiasa mencuci piring
sendiri sehabis makan. Pendidikan bagi anak perempuan telah dianggap sama pentingnya dengan
pendidikan anak laki-laki, namun mayoritas menyebut bahwa anak laki-laki lebih didorong untuk
bekerja dibandingkan dengan anak perempuan.
• Semua laki-laki di desa Ubung mengaku, mereka tidak merasa bersalah bilamana pergi keluar rumah
dan rumah masih berantakan. Namun, mereka terkadang ikut mengerjakan pekerjaan seperti
mencuci piring, dan sebagian juga menyapu lantai atau mencuci baju sendiri. Untuk aspek pendidikan,
semua laki-laki mengatakan bahwa pendidikan anak perempuan dianggap sama pentingnya dengan
pendidikan anak laki-laki . Begitu juga, semuanya menolak pernyataan bahwa anak laki-laki lebih
didorong untuk bekerja dibandingkan anak perempuan
• Perempuan di desa Ubung mengatakan bahwa perasaan bersalan bila pergi dan rumah masih
berantakan dirasakan oleh semua perempuan. Sebanyak 4 dari 7 perempuan juga mengkonfirmasi,
anak laki-laki terkadang ikut mencuci piring sehabis makan, dan suami juga seterampil istri dalam
memandikan anak. Untuk pendidikan, semuanya menyebutkan bahwa pendidikan perempuan dan
laki-laki sama-sama penting, dan menolak bahwa anak laki-laki lebih didorong untuk bekerja
dibandingkan perempuan.
Siklus Harian
Dengan konteks dan sosialisasi peran gender yang sudah diuraikan di muka, cerminannya adalah aktivitas
harian laki-laki dan perempuan. Proses sosialisasi tentang apa yang dilekatkan dan apa yang diajarkan,
menjadi pijakan untuk kemudian menentukan apa yang dipraktekkan dalam aktivitas keseharian. Bagian
berikut akan menguraikan siklus harian laki-laki dan perempuan di Lombok Tengah, sebagaimana
dituturkan dalam proses FGD maupun interview yang dilakukan terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Siklus Harian Laki-laki
Gambaran aktivitas harian laki-laki telihat dari aktivitas harian di desa Sukarara. Hal ini ditunjukkan dalam
tabel berikut ini.
62
Tabel 21. Siklus Harian laki-laki Desa Sukarara
Jam Aktivitas Keterangan
05.00 – 05.15 Mandi + sholat shubuh Sopir mengaku bangun pada pukul 06.00 (terkadang, ia menerima order mobil malam hari)
Remaja Laki-laki mengaku bangun pukul 06.30
05.15 – 07.00 Ngopi, sarapan, kasih makanan ternak, Lansia laki-laki akan memberikan makan ternak
07.00 – 11.00 Di sawah
Cari rumput (laki-laki lansia dan toga)
Pengajian
Berangkat kerja
Melakukan pekerjaan di perusahaan (sekuriti)
Toga juga petani
Sopir jam 07-13
11.00 – 14.00 Istirahat, ishoma Di perusahaan dan sopir, jam 12-14
14.00 – 17.00 Berangkat ke sawah
Cari rumput (lansia L)
Sopir: cari rumput tidak tentu, kalau ada muatan keluar, kalau tidak jualan di rumah
17.00 – 22.00 Mandi, sholat maghrib dan isya
Makan malam bersama istri dan anak
Bertamu kunjungi tetangga di sekitaran (ngayo)
Lansia L: 3x cari rumput/ hari
22.00 Istirahat Remaja L kadang tidur jam 12 malam kalau malam minggu (diatas jam 22)
Di dusun Nyerot, laki-laki akan bangun sekitar jam 5 pagi. Namun seorang laki-laki yang menjadi sopir,
mengaku bahwa ia terbiasa bangun jam 4 pagi karena harus menyiapkan kendaraan dan berangkat kerja
lebih awal. Kegiatan laki-laki diisi dengan aktivitas kerja, aktivitas pribadi (ibadah, mandi, makan) serta
beristirahat (tidur, minum kopi). Dalam daftar kegiatan yang diuraikan oleh laki-laki, tidak terlihat aktivitas
seperti memasak, menyapu rumah atau mengasuh anak. Sementara aktivitas laki-laki di desa Batutulis
adalah sebagai berikut:
63
Tabel 22. Siklus Harian Laki-Laki Desa Batutulis
Jam Aktivitas Keterangan
04.30 - 05.00 Bangun tidur
05.00 - 05.15 Shalat
04.30 - 05.30 Mandi Persiapan shalat Shalat
05.30 - 07.00 Ngopi dan merokok, sambil menunggu sarapan Sarapan Membantu istri untuk persiapan jualan Untuk supir batu bata, sarapan dan ngopi akan dilakukan di tempat kerja
07.00 - 11.00 Berangkat kerja diluar: Guru Tukang Usaha batu bata Mencari rumput
11.00 - 12.00 Pulang kerumah
12.00 - 13.00 Makan siang Mandi Shalat zuhur
13.00 - 15.00 Istirahat
15.00 - 16.00 Persiapan shalat ashar
16.00 - 18.00 Kesawah / ke kebun
18.00 - 19.00 Mandi Persiapan shalat magrib Shalat magrib
19.30 - 19.55 Makam malam
19.55 - 20.30 Shalat isya’
20.30 - 21.30 Persiapan pekerjaan besok pagi (untuk guru menyiapkan pelajaran esok harinya)
21.30 - 23.00 Kegiatan ekstra diluar
23.00 - 04.30 Tidur istirahat. Kecuali malam minggu mulai istirahat bisa di atas jam 24.00
Sebagai catatan, untuk usaha batu bata, pekerjaan di luar akan dilakukan dari jam 05.30 sampai dengan
jam 19.00. Sedangkan untuk guru, akan pulang kerja jam 14.00. Untuk tukang kayu dan tukang batu, akan
bekerja mulai jam 07.00 sampai dengan jam 17.00.
Siklus Harian Perempuan
Bagaimanakah siklus harian perempuan? Dari hasil FGD dan juga interview, didapatkan profil kehidupan
harian sebagaimana terlihat dalam tabel siklus harian perempuan desa Sukarara berikut ini.
64
Tabel 23. Siklus Harian Perempuan Desa Sukarara
Jam Aktivitas Keterangan
04.00 Bangun (untuk ibu pedagang sayur) Ibu pedagang sayur-sembako bangun jam 4, karena harus masak dan urus anak yang masih kecil-kecil
05.00 – 05.30 Bangun, mandi, sholat Cuci piring, nyapu, masak
05.30 – 07.00 Masak air, nasi
Ngurus anak sekolah
Menyapu rumah
Mencuci perabot
Pergi ke pasar (untuk pedagang bakulan) jam 05.30
07.00 - Menyapu halaman
Ngopi (bikinin kopi)
Menyiapkan sarapan
Sarapan
Masih makan itik dan ayam
Menyiapkan barang jualan
Jualan sayuran sampai jam 09.
Remaja: membantu ibu mengasuh adik, mencuci baju,
09.00 – 12.00 Setelahnya menyapu halaman, memberi makan ayam (pedagang)
Menenun
Memasak dan menyiapkan makan siang (jam 10): kadang 1x, kadang 2x memasak dalam sehari
Jarang beli makanan matang karena tidak ada yang menjual dan jauh
11.00 – 13.00 Istirahat
Mandi, sholat,nonton tivi
Pedagang bakulan jarang nonton tivi siang-siang
13.00 Kerja tambahan: menenun sampai sholat ‘Asyar/ Pedagang keliling jualan lagi (sembako), sampai sholat
Mengantar anak ngaji
16.00 – 18.00 Menyapu halaman
Kasih makan sapi, ayam, itik
Masak
Mandi, memandikan anak, sholat Maghrib
18.00 – 22.00 Makan bersama keluarga
65
Sholat ‘Isya
Lipat baju
Nonton tivi, sinetron, dangdut, proliga
22.00 Tidur
02.00 Kasih makan sapi (1 ibu), sekalian mengecek keamanan sapi
Catatan tambahannya, untuk memasak ada yang memakai kayu, dan ada juga yang memakai bahan bakar
gas. Untuk menanak nasi, ada yang menggunakan panic dan ada juga yang memakai penanak nasi/ rice
cooker.
Sementara di desa Nyerot, siklus harian perempuan yang dituturkan oleh perempuan sendiri, tergambar
dalam tabel berikut ini. Siklus ini menggambarkan aktivitas perempuan ibu rumah tangga, perempuan
petani, perempuan buruh dan juga perempuan lansia.
Tabel 24. Siklus Harian Perempuan desa Nyerot
Jam Aktivitas
04:30-07:00 • Bangun pagi
• Shalat subuh
• Masak
• Menyiapkan sarapan
• Menyiapkan keperluan anak
07:00-10:00 • Bersih-bersih
• Mencuci pakaian
• Menyapu halaman
• Berangkat ke sawah
10:00-12:00 • Istirahat
12:00-13:00 • Memasak (siang)
• Shalat dzuhur
13:00-16:00 • Kembali bekerja ke sawah
•
16:00-17:00 • Shalat asar
• Mengerjakan pekerjaan di rumah
17:00-18:30 • Silaturrahmi ke rumah tetangga
18:30-22:00 • Shalat magrib
• Membimbing anak belajar dan mengaji
• Bercanda gurau dengan keluarga
• Menonton TV
22:00-04:30 • Tidur
66
Sedikit berbeda adalah siklus harian perempuan di Nyerot yang bekerja sebagai penjual ikan. Karena harus mengejar berjualan di pasar pada pagi hari, maka mereka biasanya akan bangun lebih awal, yaitu jam 03.30. Segera setelah bangun, mereka akan menyiapkan peralatan yang akan dibawa ke pasar, bersih-bersih badan dan rumah, melakukan ibadah sholat Shubuh dan kemudian berangkat ke pasar. Hal ini dilakukan hingga jam 5 mereka sudah akan sampai di Pasar.
Gambaran siklus harian juga bisa dilihat dari status perkawinan yang berbeda. Berikut adalah siklus harian seorang perempuan kepala keluarga yang bernama Sukini. Sehari-hari, Sukini tinggal bersama 2 orang anaknya. Pekerjaan utama yang menjadi sumber penghidupannya adalah menenun dan menjahit. Dari pekerjaan ini, ia mengaku mendapatkan penghasilan bulanan sekitar Rp 500.000 per bulan dari hasil menenun, dan sekitar Rp 300.000 dari pekerjaan menjahit.
Tabel 25. Siklus harian perempuan kepala keluarga
Jam Aktivitas Keterangan
05.00 – 06.30
06.30 – 07.30
10.00 – 12.00
12.00 – 13.00
13.00 – 16.00
16.00 – 19.00
19.00 – 20.00
20.00 – 22.00
• Mandi, sholat
• Masak, menyapu rumah
• Menyapu halaman, sarapan
• Memberi makan ayam
• Memberi makan itik
• Memandikan anak
• Mengantar anak sekolah
• Menenun, menjahit
• Istirahat, sholat
• Menenun.
• Mandi, sholat, menyapu rumah, makan malam
• Member makan itik, ayam
• Sholat isya
• Menenun lagi
• Nonton tv
• Menyetrika pakaian
• Tidur/istirahat
• Mengantarkan anak sekolah 10.00
• Menenun pekerjaan sehari-hari
Sementara untuk anak remaja perempuan yang diwawancarai di Batutulis mengaku, bahwa dalam
aktivitas keseharian mereka, membantu pekerjaan rumah merupakan hal yang sering dilakukan. Mereka
terbiasa membantu ibu membereskan rumah ataupun mengasuh adik. Mereka secara sukarela juga akan
67
membantu saudara untuk mengasuh anak, sebagian dilakukan sambil bersantai seperti sambil menonton
acara televisi.
Permakluman dan Perkecualian dalam Pembagian Kerja
Terdapat beberapa permakluman dan perkecualian dalam pembagian kerja untuk beberapa kondisi.
Terutama untuk perempuan, sikap permakluman ini diuraikan sebagai berikut:
1. Perempuan Hamil. Permakluman yang utama diterapkan pada perempuan hamil. Dalam pandangan
laki-laki di Nyerot, perempuan hamil juga memiliki keterbatasan kondisi sehingga dibebaskan dari
memenuhi kewajiban untuk melakukan kegiatan perawatan dan pengasuhan. Alasan utamanya
adalah kesehatan sehingga kandungan bisa dijaga. Di desa Sukarara, hal ini juga terkait dengan
banyaknya mitos dan larangan yang perlu dipatuhi oleh perempuan hamil, sebagaimana Nampak
dalam box berikrut ini.
Pantangan Ibu Hamil
Ada banyak hal yang secara budaya, tidak boleh dilakukan oleh perempuan hamil. Di desa Sukarara, hal ini disampaikan oleh peserta FGD dan juga hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Larangan-larangan untuk perempuan hamil antara lain adalah:
a. Tidak boleh angkat berat, karena bahaya untuk kandungan b. Tidak boleh teriak sore hari c. Tidak boleh makan di pintu d. Tidak boleh menjahit (karena jalan lahir akan mengalami penyempitan) e. Tidak boleh memakai selendang karena khawatir leher bayinya dililit tali pusar f. Tidak boleh potong rambut (suami), karena dihawatirkan akan berpengaruh pada
perkembangan otak janin dan rawan sakit g. Tidak boleh berhubungan seksual h. Makanan tidak diberi udang, karena takut anaknya bungkuk. Tidak boleh cumi karena
berisiko pada anaknya (batuk dan sesak nafas) dan tidak boleh makan gurita karena terlalu banyak kaki dan khawatir bayinya akan dililit oleh tali pusar
i. Pas hamil, tidak boleh makan jantung pisang, karena dikhawatirkan akan membuat janin tidak bisa berkembang, dan kulitnya seperti jantung pisang
j. Tidak boleh masuk kandang sapi (takut tidak bisa melahirkan dalam 9 bulan, karena akan menjadi 11 bulan dalam kandungan seperti anak sapi)
k. Tidak boleh dikelitikin, karena takut anaknya akan berbibir sumbing
Dalam praktek, perempuan juga mengatakan tidak semua larangan tersebut di patuhi. Peserta FGD di desa Sukarara menyebut, perempuan hamil tetap ikut mengambil air, kecuali mereka yang masih hamil muda. Hal ini akan tergantung kepada suaminya, apakah cukup perhatian dan sayang sama istrinya atau tidak.
Larangan-larangan tersebut, memiliki pengaruh pada kesehatan dan beban kerja perempuan hamil. Di satu sisi, ada pandangan yang melindungi seperti tidak boleh mengangkat yang berat. Namun di lain sisi, juga bisa dikhawatirkan mempengaruhi kecukupan gizi, karena ada banyak makanan bergizi yang tidak boleh dikonsumsi perempuan hamil seperti udang.
68
2. Permakluman kedua adalah bagi perempuan dengan disabilitas. Laki-laki di Nyerot menyebut
alasan bahwa mereka perlu diperharhatikan, termasuk soal fasilitas yang perlu menyesuaikan
dengan kebutuhan. Namun di lain sisi, mereka juga menekankan bahwa dari aspek hak,
perempuan dengan disabilitas memiliki hak yang sama dengan yang non disabilitas seperti untuk
mendapatkan pendidikan.
Namun, pandangan yang negative dialamatkan untuk beberapa kategori perempuan berikut ini yang
tidak menjalankan peran pengasuhan dan perawatan, antara lain adalah:
1. Perempuan yang bekerja. Alasan utamanya adalah tidak menghargai budaya yang sudah turun
temurun, dan tidak menjaga keseimbangan antara tanggung-jawab dan pekerjaan.
2. Bila perempuan tidak mau masak, maka dianggap sebagai perempuan yang pemalas, manja dan
siap diganti dengan istri yang baru. Yang terakhir ini, memang ada kejadian dimana laki-laki
menikah lagi karena alasannya, istrinya tidak mau memasak untuk suaminya.
Pandangan dan Alasan Keterlibatan Laki-laki dalam Pekerjaan Domestik
Bagaimanakah pandangan terhadap laki-laki yang mengerjakan pekerjaan domestic? Bagaimana bila menemukan laki-laki yang ikut memasak, atau mencuci dan menjemur pakaian?
Terhadap pertanyaan ini, jawabannya cukup beragam. Sebagian laki-laki peserta FGD di desa Sukarara menyebutkan, secara sosial, hal ini tidak dianggap baik dan tidak dinilai secara positif. Hal ini karena mereka melakukan apa yang menjadi tugas perempuan. Namun demikian, sebagian yang lagi mengatakan, hal ini bisa dimaklumi karena keadaan.
Apa yang menurut laki-laki dianggap sebagai keadaan yang ‘membenarkan’ laki-laki terlibat dalam kerja domestic? Yang pertama adalah alasan supaya pekerjaan segera selesai. Alasan kedua adalah karena sayang sama istri, karena bila dibantu maka istri tidak akan terlalu capek. Alasan ketiga adalah, supaya pada malam harinya istri bisa lembur (Bahasa yang diperhalus dari bisa berhubungan seks dengan suaminya). Bila siangnya terlalu capek, maka malam hari istri tidak akan bisa berhubungan seks.
Dinamika Pembagian Kerja Berbasis Gender
Studi ini ini menarik karena menemukan narasi pembagian kerja berbasis gender di lapangan, tidaklah
hitam dan putih. Beberapa kondisi menjadi faktor yang mendorong terjadinya pergeseran dalam
pembagian kerja berbasis gender. Salah satunya, adalah soal interpretasi agama. Seorang laki-laki peserta
FGD di desa Sukarara, yang didesanya merupakan tokoh agama dan terbiasa melakukan pekerjaan
pengasuhan dan perawatan mengatakan, dalam pemahamannya, agama Islam menganjurkan laki-laki
untuk mengerjakan pekerjaan domestic karena ini juga merupakan pekerjaan domestic. Hal ini juga
dicontohkan dalam berbagai hadits yang meriwayatkan nabi Muhammad yang juga sering dan senang hati
mengerjakan pekerjaan seperti menumbuk gandum atau menjahit sendiri pakaiannya yang robek.
69
Agama dan Pembagian Peran di tingkat Rumah Tangga
Lale Sapariah adalah seorang perempuan warga dusun Bunsambang, Sukarara. Ia yang bertubuh ramping, saat ini telah berumur 58 tahun. Ia menikah dulu ketika berusia 17 tahun, sebagaimana kebanyakan perempuan di desanya karena dianggap sudah cukup dewasa. Waktu kecil, ia hanya sempat bersekolah SD selama sebulan. Kemudian karena sakit lama, ia menjadi malu untuk kembali bersekolah dan akhirnya drop-out dari sekolah. Namun demikian, ia merupakan perempuan yang mau belajar dengan giat. Hal ini bisa dibuktikan dari kemauan kerasnya untuk belajar membaca dan menulis serta berbahasa Indonesia. Ia sangat lancer berbahasa Indonesia, dan bisa menulis dan membaca.
Sehari-harinya, ia menjadi petani dan sekaligus penenun, sebagaimana kebanyakan perempuan di desanya. Namun yang membuat ia berbeda, ia juga merupakan pembuat mesin tenun. Mesin tenun akan dibuat dari kayu. Lale sabariah terampil mengasah dan menggergaji kayu menjadi alat tenun bukan mesin. Ia juga terampil merakitnya sehingga bisa dipakai sebagai alat tenun. Seperangkat alat mesin tenun bisa dijual dengan harga Rp 1 juta. Namun ia juga membuat alat tenun sebagai hadiah untuk para keponakan perempuan yang beranjak dewasa.
Suaminya, laki-laki bertubuh kecil yang memakai kacamata, adalah seorang tokoh agama di desanya. Suaminya memang tidak mengambil air di mata air ketika musim kemarau, karena mereka memiliki mesin pompa air di sumur. Namun, suaminya mau mengerjakan pekerjaan domestic karena ingin memberi contoh pada anak. Suaminya pernah bersekolah hingga kelas 2 SMP. Ia menyukai pekerjaan bersih-bersih dan merasa senang serta terbiasa bila rumah rapi dan enak dipandang. Ia terbiasa berbagi peran dengan istrinya semenjak anak pertama mereka lahir. Hal ini ini karena ia melihat, istrinya sudah sibuk memasak. Ia juga tidak merasa terpaksa bila harus memandikan anak.
Sebagai tokoh agama, ia juga memandang bahwa Islam sudah mengajarkan pentingnya kerja sama dalam keluarga. Ia melihat bahwa agama mengajarkan kebersihan sebagai bagian dari iman. Bahkan, dalam pemahamannya, Islam juga mendorong laki-laki untuk melakukan pekerjaan rumah, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah.
Negosiasi peran juga tergambar dalam hasil FGD perempuan di desa Sukarara. Walaupun secara sosial
diajarkan bahwa bekerja mencari nafkah merupakan tugas suami, mereka menyebutkan bahwa dalam
prakteknya, hal ini juga diakukan oleh perempuan. Mereka menyebutkan bahwa dalam keseharian
kehidupan di Sukarara, perempuan juga bekerja mencari nafkah. Di desa ini, mayoritas perempuan
bekerja sebagai penenun, sambil mereka tetap bertanggung-jawab dalam pekerjaan domestic. Di desa ini
pula cukup banyak perempuan yang bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Hal ini karena kondisi
ekonomi, dimana kemiskinan dan ketiadaan lapangan kerja dianggap sebagai kondisi yang menjelaskan
dan diterima sebagai penyebab perempuan bekerja jauh dan terpisah dari keluarganya dalam waktu yang
lama. Bilamana perempuan bekerja dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestic, perempuan peserta
FGD menyampaikan pendapat yang beragam: ada yang menganggap negative karena bagaimanapun
perempuan tetap harus mengerjakan pekerjaan domestic walaupun ia bekerja mencari nafkah. Sebagian
peserta menyebutkan hal ini tidak dianggap negative seperti bisa dilihat dari perempuan yang bekerja
sebagai buruh migran.
70
Di desa Sukarara sendiri, memang cukup banyak warganya yang bekerja sebagai buruh migran. Menurut
laki-laki peserta FGD, jumlah laki-laki yang bekerja sebagai buruh migran (atau lebih dikenal sebagai TKI
dalam Bahasa warga), lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini diperkuat dengan anggapan adat
bahwa perempuan tidak boleh keluyuran/ pergi jauh. Juga karena ada anggapan bahwa penghasilan laki-
laki lebih besar karena dianggap lebih kuat daripada perempuan. Namun demikian, juga terdapat cukup
banyak perempuan yang menjadi buruh migran. Beberapa alasan utamanya adalah modal perempuan
bekerja sebagai buruh migran lebih murah dibandingkan laki-laki. Untuk laki-laki, mereka harus membayar
di muka untuk biaya transport dan pengurusan visa. Untuk bekerja di Malaysia, mereka harus
mengeluarkan modal hingga Rp 5 juta di depan. Hal ini berbeda bilamana yang berangkat bekerja adalah
perempuan, karena tiket dan visa akan dibayar didepan oleh PJTKI. Bahkan, untuk buruh migran yang ke
Arab Saudi, akan diberi insentif di depan sebesar Rp 3-4 juta sebagai bagian dari paket layanan untuk
buruh migran perempuan. Nantinya, biaya tiket dan visa akan dibayarkan oleh buruh migran perempuan
dengan pemotongan gaji bulanan oleh PJTKI. Argumen yang mendasari mengapa laki-laki harus
membayar sendiri adalah karena laki-laki cenderung tidak penurut, sehingga bisa dikhawatirkan mereka
berhenti kerja sebelum lunas biaya tiket dan berpindah ke tempat kerja yang lain. Hal ini berbeda dengan
anggapan arus utama bahwa buruh migran cenderung penurut dan tidak suka gonta-ganti kerja, sehingga
aman-aman saja bilamana tiket dibayarkan di depan dan akan dipotong dari gaji bulanan. Argumen
tentang karakter berbasis gender ini menjadi penjelas perbedaan kondisi yang dihadapi calon buruh
migran perempuan dan laki-laki. Karena kondisi di atas pula dimana calon buruh migran laki-laki harus
membayar tiket di depan, maka mayoritas buruh migran laki-laki memilih bekerja di Malaysia atau Brunei,
sedangkan buruh migran perempuan kebanyakan bekerja di Arab Saudi.
Tentang menjadi buruh migran sendiri, laki-laki melihatnya dengan pandangan yang bragam. Secara
umum, sebetulnya kondisi ini tidak dianggap sebagai kondisi yang bagus atau dianggap kurang pantas.
Namun demikian, seringkali tidak ada pilihan dimana lapangan kerja tidak tersedia di dalam negeri
sehingga perempuan harus bekerja sebagai buruh migran. Jadi karenanya, kemudian ada permakluman
terhadap buruh migran perempuan.
Profil Harian Laki-laki Suami Buruh Migran
Bagi laki-laki yang ditinggal istrinya pergi bekerja sebagai buruh migran, pekerjaan domestic biasanya
akan berpindah ke suami atau anak perempuan. Pak … adalah peserta FGD di desa Sukarara yang
istrinya bekerja sebagai buruh migran di Arab saudi. Sebelumnya, ia sudah bertahun-tahun menjadi
buruh migran di Malaysia sehingga relative terbiasa mengerjakan pekerjaan domestic ini sendiri.
Walaupun ketika anaknya baru lahir ia tidak berani memegang dan memandikan bayi, namun kini ia
mengasuh sendiri anaknya, seorang anak laki-laki yang bersuai 4 tahun. Ia juga menyebut, pergeseran
pembagian kerja akan berubah bilamana mereka berdua ada di rumah. Bila demikian situasinya,
istrinya akan kembali bertugas memasak, walaupun terkadang ia juga ikut membantu. Untuk mencuci
piring, akan dilakukan oleh istrinya kembali.
71
Namun demikian, ada beberapa pekerjaan yang dirasakan berat, khususnya adalah mengurus anak. Ia
yang bekerja sebagai sopir dan juga menjual jajanan anak di rumah terbiasa mengajak anaknya ketika
bekerja, dengan menaruh anaknya di jok belakang mobil dari pagi sampai sore. Bila capek, anaknya
akan tertidur di jok belakang sementara ayahya akan tetap melanjutkan bekerja mencari penumpang
keluar masuk desa. Terkadang, anaknya juga diajak kerja malam bilamana ada order mobil malam hari.
Bahkan ketika mengikuti FGD, ia juga mengajak anaknya yang tampak dekat dengan ayahnya. Anaknya
adalah laki-laki berumur sekitar 4 tahun. Pak … juga menyebut, kebutuhan harian tidaklah sedikit, dan
ini dianggap cukup berat. Namun demikian, karena tidak ada pilihan pekerjaan dan pembagian kerja
yang lain, ia menjalaninya dengan ikhlas. Walaupun dirasakan berat, namun ia merasa ikhlas karena
tidak ada pilihan pekerjaan dan opsi pembagian peran yang lain.
Dari hasil bekerja sebagai buruh migran yang ia jalani dan kemudian sekarang digantikan oleh istrinya,
dipakai terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bila ada sisa, akan dipakai untuk
memperbaiki rumah, atau membeli sawah. Namun, ia juga mengatakan, uang hasil kerja jadi TKI, juga
akan dipakai untuk merarik atau menikah lagi. Ia mengatakan bagian ini dengan ringan dan tidak
tampak ekspresi bercanda di wajahnya.
Pergeseran peran juga ditemukan dalam kaitan dengan dinamika musim. Hal ini ditemukan di dusun
Sangkawati sebagaimana nampak dalam tabel berikut ini.
Tabel 26. Dinamika Pembagian Kerja di dusun Sangkawati
Kategori Kerja Musim Hujan Musim Kemarau Musim Panen Musim begawe
Mengambil air P P P L
Mengumpulkan bahan bakar
L/P L/ P L/ P L/ P
Pengasuhan anak L & P L/ P L/ P P/ L
Menyiapkan/membeli makan
P P P P
Bersih-bersih P & L P P P/ L
Merawat orang sakit/manula
P P P P/ L
Secara umum, pekerjaan laki-laki seperti mengumpulkan kayu bakar. Sementara pekerjaan perempuan
adalah mengambil air, menyiapkan makanan, bersih-bersih dan merawat orang sakit. Pekerjaan yang
dilakukan bersama adalah mengasuh anak. Namun demikian, dalam musim-musim tertentu, terdapat
perbedaan seperti bersih-bersih pada musim penghujan dan begawe, dimana laki-laki juga terlibat di
dalamnya. Begitu juga merawat orang sakit atau lansia, juga ada keterlibatan laki-laki pada musim
begawe. Untuk pengambilan air, laki-laki melakukan pekerjaan ini untuk keperluan begawe.
Sementara di desa Sukarara, pada masa sulit air, laki-laki menyebut, merekalah yang mengambil air bersih
karena harus mengambil air di mata air yang berjarak sekitar 500 meter. Laki-laki akan memikul air
72
melewati pematang sawang. Begitu juga, laki-laki akan membantu menimba air untuk mencuci pakaian
pada musim kemarau, dan akan membantu istrinya mencuci baju bilamana banyak dan hal ini tidak
membuat mereka malu. Laki-laki menyebut, mereka juga harus antri dengan warga yang lain ketika
mengambil air di mata air. Dalam sehari, bisa sampai 3-4x untuk mengambil air bersih terutama pada
puncak musim kemarau. Untuk sekali mengambil air bersih, butuh waktu 15-20 menit untuk berjalan kaki
dan 30-60 menit untuk mengantri air bersih. Musim kemarau ini, bisa berlangsung cukup lama, sampai
sekitar 8 bulan dalam setiap tahunnya. Pada saat musim hujan, bisa mengandalkan air sumur ataupun
menampung air hujan dari atap. Namun, perempuan di desa yang sama mengatakan, perempuan juga
ikut ambil bagian dalam pekerjaan mengumpulkan air bersih. Kalau musim kemarau bersamaan dengan
musim panen, perempuan yang akan mengambil air termasuk untuk mandi suami, karena suami sibuk
bekerja di sawah. Perempuan akan menaruh air di wadah dan kemudian disunggi di atas kepala.
Sedangkan untuk musim begawe, hanya laki-laki saja yang mengambil air pada malam hari.
Untuk mengumpulkan kayu bakar, biasanya akan mengumpulkan sebanyak mungkin kayu pada musim
kemarau. Kayu akan ditumpuk dan disimpan sebagai persediaan pada musim penghujan. Simpanan kayu
ini juga akan dipakai nanti bilamana ada hajatan. Untuk keperluan begawe, juga akan dilakukan kerja
gotong-royong satu dusun termasuk untuk menyiapkan kayu bakar untuk keperluan memasak. Kerja
pengasuhan anak kebanyakan dilakukan oleh perempuan. Hal ini berbeda dengan pengakuan laki-laki
yang menyebut mereka berbagi peran secara seimbang dengan perempuan untuk mengasuh anak.
Perempuan mengatakan, anak-anak akan ikut ibunya, bahkan ketika masa begawe. Kalau anak-anak ikut
bapaknya ketika kerja begawe, akan dimarahi. Sedangkan pekerjaan bersih-bersih, perempuan punya
suara yang sama dengan laki-laki bahwa pekerjaan ini secara umum dikerjakan oleh perempuan. Dalam
begawe, bersih-bersih dilakukan bersama oleh laki-laki dan perempuan karena berat dan banyak
pekerjaan yang dilakukan.
Di desa Batutulis, pergeseran peran juga terjadi dalam kaitannya dengan pergantian musim. Bilamana di
musim penghujan dan musim panen, perempuan lebih banyak yang melakukan pekerjaan mencari air,
maka peran akan bergeser ke laki-laki ketika musim kemarau. Sedangkan bila musim begawe, pekerjaan
ini akan dilakukan oleh keduanya. Untuk mengumpulkan kayu bakar, tidak banyak pergeseran dengan
perubahan musim. Pekerjaan ini dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
74
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
ebagaimana sudah diuraikan di bab I, dalam modul RCA yang dikembangkan OXFAM, pembagian
peran atau pekerjaan terbagi menjadi tiga kategori yaitu (1) pekerjaan perawatan atau rumah
tangga yang tidak dibayar (unpaid care work), (2) pekerjaan produktif dan yang lainnya. Secara rinci,
ketiga peran tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Bekerja untuk menghasilkan produk yang dijual seperti berjualan atau membuat makanan untuk dijual, menjual jasa jahit baju
2. Tenaga kerja dibayar dan layanan berbayar. Ini termasuk pekerjaan berupah di pertanian, dan pekerjaan berupah lainnya, seperti jasa laundry, jasa pertukangan atau pengangkutan barang
3. Pekerjaan perawatan yang tidak dibayar, seperti merawat anak dan lansia, mengumpulkan kayu bakar untuk memasak atau membersihkan rumah
4. Pekerjaan yang tidak dibayar menghasilkan produk untuk konsumsi rumah atau untuk keluarga. Ini termasuk berkebun, atau memelihara ternak untuk dikonsumsi sendiri
5. Pekerjaan masyarakat yang tidak dibayar, seperti pekerjaan masyarakat yang terkait dengan kesehatan, atau acara keagamaan atau budaya.Waktu tidak bekerja, termasuk diantaranya adalah perawatan pribadi (mandi, istirahat), tidur, pendidikan dan pelatihan, bersosialisasi, beribadah, hiburan dan rekreasi
Untuk kepentingan analisis, kajian ini menggunakan kategorisasi yang diuraikan dalam point di atas, yang
dikombinasikan dengan kategori peran gender yang dikembangkan Moser (produktif, reproduktif dan
komunitas). Hasilnya, adalah 4 kategori untuk memudahkan perhitungan dan analisis, yaitu:
1. Unpaid care works, yang mencakup kategori pekerjaan pekerjaan perawatan atau rumah tangga yang tidak dibayar. Pekerjaan ini, mencakup no 3 dan 4 dari kategori Modul RCA Oxfam, atau bila meminjam kategori Moser, masuk dalam kategori reproduktif
2. Productive works, yang mencakup pekerjaan untuk menghasilkan produk yang bisa dijual atau jasa layanan yang berbayar. Bila mengacu kepada kategorisasi Modul RCA Oxfam, adalah pekerjaan untuk kategori 1 dan 2, atau bila menggunakan kategori Moser adalah pekerjaan produktif
3. Komunitas, yang mencakup kerja-kerja sebagai bagian dari menjaga ruang hidup kolektif. Dalam kategori modul RCA Oxfam, adalah pekerjaan dengan kategori 5, atau bila mengacu kepada kategori Moser, adalah pekerjaan komunitas
4. Individu & Istirahat / waktu tidak bekerja. Pekerjaan ini merujuk pada kategori nomer 6 dari modul RCA Oxfam
S
75
Kategori inilah yang dipakai untuk melacak, bagaimanakah pembagian kerja dan pengelolaan unpaid care
works yang terjadi di dua wilayah studi ini.
Membaca Curah Waktu Harian Perempuan dan Laki-laki di Lombok
Bagian ini merangkum analisis curah waktu yang sudah diuraikan di bab II dan Bab III, untuk melihat
bagaimanakah pola curah waktu harian perempuan dan laki-laki di wilayah studi. Namun sebelumnya,
analisis ini perlu dibaca dengan beberapa limitasi berikut ini:
• Sebagian data bersumber dari data FGD, dan ada juga yang bersumber dari interview dengan
narasumber. Kedua pendekatan ini memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, seperti data
di FGD cenderung merupakan agregasi namun mungkin tidak cukup bisa menampung kedalaman
untuk kasus-kasus yang spesifik. Sebaliknya, data interview adalah valid untuk kasus spesifik, namun
mungkin tidak cukup mewakili pola yang umum
• Dalam menghitung curah waktu untuk kategori aktivitas harian, ada proses judgement dari peneliti.
Hal ini karena terutama untuk perempuan, banyak ditemukan dimana pada saat yang sama,
perempuan melakukan aktivitas yang tidak hanya satu dan masuk dalam kategori aktivitas yang
berbeda. Misalnya, sambil memasak (unpaid care), juga membuat kue untuk dijual (produktif) dan
setelahnya beribadah (individu). Peneliti melakukan judgment dengan mempertimbangkan kebiasaan
dan asumsi dalam membagi alokasi waktu antar kategori aktivitas yang berbeda-beda tersebut
• Data rekapitulasi tidak bisa dibuat untuk semua desa/ dusun yang dikaji, karena keterbatasan data
awal yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti lapangan
Tabel 27. Tabulasi curah waktu harian perempuan
Dusun Kategori Kerja
Unpaid Care Works Produktif Komunitas Individu
Nyerot 9 5 1 9
Beriri 3 8 0 13
Batutulis 12 0 1 11
Ubung 8 0 2 13
Sukarara 8 5 1 11
Dari tabulasi di atas, terlihat beberapa hal yang menarik:
• Terdapat variasi dalam curah waktu untuk masing-masing kategori aktivitas di desa yang berbeda.
Namun demikian, terdapat pola yang muncul di hampir semua desa, dimana perempuan
mencurahkan waktu yang banyak, untuk aktivitas unpaid care works. Sedikit perkecualian mungkin
muncul di desa Beririjarak, dimana perempuan relative mencurahkan waktu yang relative sedikit
untuk unpaid care works, dibandingkan dengan aktivitas produktif dan individu/ istirahat. Hal ini bisa
jadi karena contoh yang dijadikan sampel adalah perempuan yang bekerja sebagai pedagang di pasar,
76
sehingga curah waktu untuk unpaid care worksnya tidak terlalu banyak. Sangat dimungkinkan, seperti
pada perempuan yang bekerja sebagai pedagang, sebagian pekerjaan ditukar dengan membeli
produk dan jasa, seperti tidak memasak namun membeli makanan matang.
• Di Nyerot sebagai contoh, komposisi pekerjaan unpaid care menyita porsi yang cukup besar dalam
aktivitas harian perempuan. Jumlah jam untuk pekerjaan unpaid care ini, sama dengan jumlah jam
untuk istirahat dan individu. Jumlah jam ini, membuat perempuan hanya memiliki waktu yang lebih
terbatas (dibandingkan laki-laki) untuk melakukan pekerjaan produktif. Hal ini bisa dilihat dalam
diagram berikut ini:
• Apabila kontribusi dari unpaid care works yang dilakukan mayoritas oleh perempuan dinominalkan,
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sayangnya, peran dan kontribusi ini seringkali tersembunyi.
Penyebabnya bisa terjadi karena kebanyakan, peran ini terjadi di lingkup rumah tangga, dianggap
sudah seharusnya dilakukan sebagai pekerjaan dan tanggung-jawab perempuan, dan memang tidak
pernah direkognisi dan dimonetisasi. Upaya untuk mengukur, membangun pengakuan dengan
mendiseminasi dan mengkampanyekan pengakuan akan unpaid care works penting untuk terus
dilakukan
Bagaimana dengan curah hidup laki-laki di wilayah yang sama? Tabel berikut menggambarkan rekapitulasi
curah waktu pekerjaan laki-laki untuk kategori aktivitas yang sama dengan yang dilakukan oleh
perempuan.
Tabel 28. Tabulasi curah waktu harian laki-laki
Dusun Kategori Kerja
Unpaid care works
Produktif Komunitas Individu/ Istirahat
Nyerot 1 8 1 14
Beriri 0 10 0 14
Ubung 2 5 1 16
Sukarara 0 10 3 11
Unpaid Care Works37%
Produktif21%
Komunitas4%
Individu/ istirahat38%
Nyerot (Perempuan)
77
Beberapa catatan menarik dari tabulasi aktivitas harian laki-laki adalah sebagai berikut:
• Laki-laki relative jarang terlibat dalam aktivitas unpaid care. Kalaupun ada yang terlibat, dari segi curah
waktunya, sangat terbatas (1-2 jam) dalam sehari
• Laki-laki menghabiskan sebagian besar waktunya untuk aktivitas produktif (sebagaimana terlihat
dalam curah waktu untuk desa Nyerot, Beririjarak, dan Sukarara), serta untuk aktivitas individu/
istirahat (terjadi di semua desa). Bahkan, di salah satu desa yaitu Ubung, waktu kerja produktif laki-
laki sangat sedikit (hanya 5 jam dalam sehari), yang kemudian membuat mereka menghabiskan 16
jam dalam seharinya untuk aktivitas individu/ istirahat, dan hanya 2 jam untuk unpaid care works
• Gambaran tentang curah waktu dan persentasi waktu harian laki-laki tergambar dalam grafik berikut
untuk laki-laki di desa Nyerot
Pembagian Kerja Berbasis Gender dan Unpaid Care Works
Dengan melihat rekapitulasi curah waktu harian perempuan dan laki-laki sebagaimana diuraikan
sebelumnya, beberapa hal yang bisa dilihat dalam kaitan dengan pembagian kerja berbasis gender dan
unpaid care works adalah sebagai berikut:
• Pembagian kerja berbasis gender menjadi pola yang menjelaskan, apa sajakah aktivitas yang
dilakukan oleh perempuan dan apa sajakah aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki. Hal ini merujuk
kepada norma dan praktek sosial tentang apa yang dianggap pantas dan tidak pantas, apa yang
dianggap boleh dan tidak boleh untuk dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Secara umum,
perempuan menjadi yang bertanggung-jawab dalam aktivitas unpaid care works, yang bisa dilihat dari
curah waktu yang panjang yang dihabiskan perempuan untuk pekerjaan ini. Sebaliknya, laki-laki
dianggap memiliki tanggung-jawab dalam aktivitas produktif, sebagai penerjemahan peran pencari
nafkah utama
Unpaid care works4%
Produktif 33%
Komunitas4%
Individu/ istirahat59%
Nyerot (Laki-laki)
78
• Namun demikian, studi juga menemukan bahwa perempuan juga memiliki kontribusi yang tidak
sedikit dalam aktivitas produktif. Sebagian perempuan menjadi tulang punggung keluarga dengan
bekerja dalam durasi waktu yang cukup panjang. Sebagian perempuan bahkan menjadi kepala
keluarga termasuk menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya. Sebagian diantara mereka,
melakukan aktivitas produktif dan sekaligus unpaid care works. Dalam analisis gender, ini menjadi
catatan karena menggambarkan beban ganda, ketika pada saat yang sama, laki-laki tidak dilekatkan
secara sosial dari tanggung-jawab untuk unpaid care works.
• Curah waktu perempuan untuk pekerjaan unpaid care yang besar, berpotensi membatasi perempuan
untuk mengakses kesempatan-kesempatan lain untuk pengembangan potensi dan kapabilitasnya.
Karena menyerap waktu dan energy yang besar, kesempatan perempuan menjadi lebih terbatas
untuk berpartisipasi dalam kegiatan produktif, maupun juga dalam kegiatan komunitas. Dalam kaitan
dengan aktivitas produktif, hal ini tidak berarti bahwa perempuan lebih tidak produktif dibandingkan
laki-laki, karena kesempatan perempuan melakukan kerja produktif dibatasi dengan tanggung-jawab
untuk melakukan unpaid care works.
• Perempuan mensubsidi laki-laki dengan mengerjakan banyak sekali pekerjaan unpaid care/ Subsidi ini
terjadi karena walaupun apa yang dilakukan merupakan hal penting untuk menjaga keberlangsungan
hidup, namun terjadi pembagian kerja yang tidak berimbang. Perempuan mencurahkan waktu yang
jauh lebih panjang utuk unpaid care works dibandingkan dengan laki-laki. Segregasi peran dan kerja
berbasis gender terjadi melalui proses sosialisasi yang terus menerus, tentang apa yang dilekatkan,
apa yang diajarkan dan apa yang dipraktekkan sebagai menjadi dan cocok dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan. Proses sosialisasi berlangsung di banyak level: mulai keluarga, komunitas terkecil,
organisasi sosial hingga juga masuk ke level negara.
Dinamika Peran Gender dalam Unpaid Care Works
Sosialisasi tentang pembagian kerja terjadi secara terstruktur dan berlangsung dalam proses yang lama
dan berkelanjutan. Sosialisasi terjadi di tingkat rumah tangga (seperti ajaran dari ibu kepada anak
perempuan, dari ayah kepada anak laki-laki) tentang bagaimana menjadi perempuan dan bagaimana
menjadi laki-laki. Sosialisasi juga terjadi di lingkungan sosial, seperti bagaimana ajaran agama dan teladan
diberikan oleh tokoh agama dan tokoh adat tentang pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Selain
itu, negara melalui kebijakan dan programnya juga mengintrodusir nilai dan norma gender, yang
membentuk cara pandang tentang apa yang dilekatkan, apa yang diajarkan dana pa yang kemudian
dipraktekkan untuk menjadi laki-laki dan perempuan.
Namun dari ilustrasi di bab 2 dan bab 3, yang juga menarik adalah bahwa studi ini menemukan bahwa
pembagian kerja terutama dalam kaitan dengan unpaid care works, juga bukan merupakan sesuatu yang
ajeg. Terdapat proses negosiasi dan kontestasi di berbagai level dalam menemukan pola dan
keseimbangan tentang bagaimana pengerjaan dari aktivitas tersebut. Sebagian dinamika terjadi di tingkat
rumah tangga dan komunitas, dan sebagian lagi juga negara mulai memberi ruang tentang konstruksi
gender yang lebih setara antara laki-laki dan perempuan.
79
Beberapa faktor dan kondisi yang mendorong negosiasi dan dinamika relasi peran gender dalam kaitan
dengan unpaid care works antara lain adalah:
• Ekonomi dan kekuatan pasar. Migrasi dengan menjadi buruh migran menjadi pilihan yang banyak
diambil oleh keluarga-keluarga di kedua wilayah studi. Kemiskinan, iklim kering yang panjang dan
tuntutan ekonomi menjadikan pekerjaan di luar negeri menjadi pilihan satu-satunya. Bila melihat
faktor demand dari banyak negara seperti Timur Tengah, Asia Tenggara dan Asia Timur, pekerja
domestic (pekerja rumah tangga) adalah salah satu jenis pekerjaan yang peminatnya tidak pernah
sepi. Hal ini menjadi magnet yang menarik banyak perempuan yang meninggalkan keluarganya untuk
bekerja dalam waktu yang lama. Kepergian perempuan menjadikan terjadinya pergeseran dimana
unpaid care works berganti peran. Sebagian peran berpindah ke suami, sebagian ke nenek, dan
sebagian ke anak (bisa anak perempuan dan bisa anak laki-laki, tetapi lebih banyak ke anak
perempuan).
• Teknologi. Penemuan teknologi memungkinkan banyak unpaid care works yang bisa dilakukan dengan
lebih mudah dan lebih efisien dari aspek waktu.
• Pendidikan. Pendidikan telah memampukan banyak perempuan untuk bisa mengakses pendidikan,
memiliki mobilitas sosial, masuk ke lapangan kerja formal dan mengambil peran dalam ranah public.
Pendidikan juga memungkinkan perempuan menjadi lebih terbuka dan mengadopsi relasi yang lebih
adil gender, yang bisa dipelajari dari berbagai sumber. Memang ada tantangan terhadap perbaikan
pendidikan perempuan, seperti persoalan perkawinan anak yang membatasi banyak anak perempuan
dari kesempatan mengenyam pendidikan formal yang lebih baik.
• Negara dan organisasi masyarakat sipil yang mendorong kesetaraan gender dan kepemimpinan
perempuan. Adopsi ide kesetaraan gender telah menjadi norma baru yang diintegrasikan dalam
kebijakan, kelembagaan dan program negara hingga level terkecil seperti desa. Kesempatan ini, telah
berhasil dimanfaatkan oleh organisasi masyarakat sipil yang mendorong pemberdayaan perempuan
dan kesetaraan gender. Ditemukan kader-kader perempuan di tingkat desa, yang muali berbicara
tentang hak perempuan dan bagaimana pentingnya unpaid care works dibagi bersama antara
perempuan dan laki-laki. Upaya melibatkan laki-laki dalam inisiatif ini juga memberi sumbangsih
penting bagi relasi yang lebih adil gender.
• Tafsir agama yang tekstual yang menempatkan laki-laki sebagai pusat dan maskulinitas sebagai
standar, mulai mendapatkan alternative (baca: gugatan) dari tafsir agama yang meyakini bahwa
kesalingan antara laki-laki dan perempuan merupakan pesan keilahian. Studi menemukan tokoh
agama yang berpikiran progresif, atau upaya edukasi kritis oleh NGO yang juga melihat aspek agama
untuk mendorong kesetaraan gender dengan menggali interpretasi agama yang lebih berkeadilan.
• Norma dan praktek budaya dan adat. Pandangan dan praktek budaya dan adat, memang realtif belum
mengalami banyak pergeseran di tingkat formal, seperti terlihat dari praktek perkawinan anak
ataupun praktek merarik. Namun demikian, tantangan terhadap nilai budaya dan adat bukannya tidak
terjadi. Contoh yang paling kentara terlihat dari tantangan dari faktor ekonomi, seperti dalam kasus
banyaknya perempuan yang menjadi buruh migran. Hal ini menjadi tantangan untuk norma dan
institusi adat, sebagaimana norma dan institusi agama untuk menjawab pergeseran peran gender
dalam kaitan dengan unpaid care works.
80
Rekomendasi untuk Mendorong Unpaid Care Works yang Lebih Setara
Bagaimanakah mendorong unpaid care works yang lebih setara untuk konteks Lombok? Bagian ini
dirumuskan dengan merujuk kepada kerangka 3R –rekognisi, reduksi dan redistribusi. Bagian ini
merupakan rumusan partisipatoris yang dilakukan dengan melibatkan 3 organisasi perempuan/ organisasi
masyarakat sipil yang terlibat dalam kajian ini. Mereka merumuskan usulan dengan merefleksikan
pengalaman bekerja mendorong kesetaraan gender di konteks Lombok.
Sebagai catatan, pembelajaran aktivis dan organisasi di atas telah mengerucut pada beberapa point
penting berikut ini:
• Keberhasilan dan Kemenangan Kecil. Pengalaman bekerja mendorong pemenuhan hak perempuan,
pemberdayaan dan kepemimpinan perempuan serta mendorong kesetaraan gender telah
menghasilan beberapa capaian dan kemenangan kecil. Beberapa capaian dan kemenangan kecil
tersebut antara lain adalah:
- Transformasi dari perempuan sebagai korban menjadi perempuan sebagai penggerak perubahan.
Hal ini merupakan pembelajaran penting dari berbagai organisasi, dimana proses perubahan ini
menjadikan kemunculan kader-kader perempuan di berbagai level yang bekerja untuk
mendorong pemenuhan tak hanya haknya sebagai individu, namun juga mendorong pemenuhan
hak perempuan lainnya.
- Upaya pendidikan kritis dan pengorganisasian perempuan telah menghasilan banyak capaian.
Perempuan yang memahami konsep gender tentu akan lebih berani mengambil keputusan dan
tentu akan mempertanggungjawabkan keputusan. Perempuan juga sudah mulai terlibat dalam
pertemuan-pertemuan di kantor desa, ada yang menjadi anggota BPD dan terlibat dalam
penyusunan Peraturan Desa. Hal ini tidak lepas dari pengorganisasian komunitas perempuan
sehingga mereka menjadi berdaya dan melakukan aksi kolektif untuk mendorong perubahan
- Kerja sama dimana perempuan dan laki-laki telah berhasil banyak capaian. Ada capaian berupa
regulasi desa yang berperspektif gender, atau juga laki-laki menjadi bagian dari upaya perjuangan
mendorong kesetaraan gender.
• Tantangan yang dihadapi baik di tingkat eksternal maupun tantangan yang dihadapi oleh perempuan,
yaitu:
- Pemahaman budaya yang dibungkus dengan politisasi agama, sehingga menguatkan legitimasi
yang membatasi peran perempuan dan menjadikan unpaid care works sebagai tanggung-jawab
perempuan semata. Budaya patriarkhi yang masih kuat berujud dalam bentuk pelabelan
(termasuk pelabelan untuk perempuan yang aktif), perempuan dianggap tidak bisa menjadi
pemimpin yang baik, hingga segregasi ruang dan pembagian kerja berbasis gender yang kaku
- Tantangan yang dihadapi perempuan pendorong perubahan juga perlu diperhitungkan.
Perempuan yang tampil diranah public justru banyak yang dieksploitasi dan juga sering
mengalami persoalan berbasis gender. Perempuan diposisikan sebagai seksi konsumsi dalam
rapat-rapat komunitas, sehingga hak perempuan untuk mendapatkan informasi dan
81
mempengaruhi keputusan menjadi terbatas. Saat perempuan sibuk diluar, sering menghadapi
cibiran bahkan dari perempuan bahwa ia lebih mementingkan kegiatan diluar dibanding keluarga.
Juga ada tantangan bagaimana mengikut sertakan semua tokoh-tokoh perempuan dalam setiap
kegiatan organisasi karena selama ini perempuan-perempuan sangat terbatas, hanya beberapa
yang mau ikut organisasi
Upaya-upaya mendorong perubahan bisa dilakukan dengan mendasarkan pada pengorganisasian
komunitas (perempuan dan laki-laki), mendorong penerimaan dan penerapakan konsep laki-laki baru,
peningkatan kapasitas dan penyadaran kritis akan hak, interpretasi agama yang berkeadilan, dan
mengkampanyekan isu care economy dengan memanfaatkan momentum penting yang efektif. Dengan
pembelajaran tersebut, 3R dalam menjawab unpaid care works dirumuskan sebagai berikut:
1. Rekognisi
a. Pada tingkat individu atau rumah tangga, perlu mendorong perubahan cara pandang laki-
laki/ pasangan, mendorong komunikasi dengan suami/ pasangan yang lebih baik, hingga
membangun komitmen bersama tentang pentingnya berbagi urusan unpaid care works.
b. Pada tingkat komunitas atau lingkungan terdekat, perlu membuka ruang diskusi di
komunitas, menjadi dan mendorong role model tentang relasi yang setara, serta melibatkan
tokoh masyarakat dan tokoh agama.
c. Pada tingkat negara, institusi yang penting untuk dipengaruhi adalah pemerintah di level
desa dan daerah. Hal ini bisa didorong melalui kampanye dan advokasi untuk mendorong
kebijakan dan kelembagaan yang efektif untuk mempromosikan kesetaraan gender, dengan
melibatkan berbagai stakeholder kunci, termasuk untuk mendorong keberadaan data pilah.
Selain itu, juga perlu mendorong dilakukannya kajian dan diseminasi hasilnya yang
mengangkat pengalaman pemberdayaan perempuan
2. Reduksi
a. Di tingkat individu dan rumah tangga: perlu memberikan pengetahuan tentang pembagian
peran dalam rumah tangga, membuat kesepakatan bersama tentang pembagian peran,
membagi unpaid care works dengan pemanfaatan tekhnologi
b. Di tingkat komunitas, perempuan memberikan pemahaman ke laki-laki dan perempuan
tentang konsep gender, kepemimpinan perempuan, memunculkan role model dan
membangun kesadaran komunitas tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan
dalam kelembagaan komunitas
c. Untuk Pemerintah, perlu advokasi untuk menjawab kebutuhan perempuan seperti dalam
program infrastuktur, serta mendorong adanya kebijakan hingga aturan level pelaksana yang
responsive gender. Perbaikan pelayanan public juga berpotensi menjawab perbedaan
kebutuhan berbasis gender dna mendorong unpaid care works yang lebih mudah dna
mengurangi beban kerja perempuan. Karenanya, perempuan perlu masuk dalam proses
pengambilan keputusan seperti Musrenbang untuk memperjuangan kepentingan ini, serta
menduduki posisi strategis dan menjadi pemimpin di berbagai level.
82
3. Redistribusi
Beberapa agenda penting yang perlu diperjuangkan adalah: mendorong kepemilikan dan kontrol
perempuan terhadap asset, membangun rujukan agama yang responsive gender, pentingnya
perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan, dan pentingnya pendidikan kritis tentang hak-
hak perempuan.
a. Individu/ rumah tangga, perlu dilakukan upaya mendorong perubahan perilaku laki-laki dan anak laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan domestic, dan mendorong laki-laki untuk mengambil peran pengasuhan anak ketika perempuan mengambil peran publik.
b. Komunitas/lingkungan terdekat, dengan membuat kebijakan desa/kampong tentang penyediaan Tempat Penitipan Anak (TPA), mengoptimalkan peran PAUD dan posyandu sebagai TPA,
c. Di tingkat pemerintah, dengan stimulus dari desa untuk mengoptimalkan peran PAUD, PKK dan karang taruna, serta masuknya isu unpaid care works di tingkat OPD.
83
LITERATURE REVIEW
Afrina et.al. 2017. Need Assessment: Kerja Layak untuk Anak Muda dan Perempuan di 5
Kabupaten/Kota di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan PRAKARSA.
Antonopoulos, R., 2008. The unpaid care work-paid work connection. Levy Economics Institute,
Working Papers Series.
Badan Pusat Statistik. 2017. Survey angkatan kerja nasioanal 2017. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Tengah 2017. Statistik ibu dan anak kabupaten Lombok
Tengah 2017. Lombok Tengah
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Tengah 2017. Statistik kesejahteraan rakyat kabupaten
Lombok Tengah 2017. Lombok Tengah.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Tengah 2017. Survey angkatan kerja kabupaten Lombok
Tengah 2017. Lombok Tengah.
Elson, D., 2017, May. Recognize, reduce, and redistribute unpaid care work: How to close the
gender gap. In New labor forum (Vol. 26, No. 2, pp. 52-61). Sage CA: Los Angeles, CA: SAGE
Publications.
Fatimah et.al. 2017. Ketangguhan yang tersembunyi: Narasi perempuan pada strategi bertahan dari
dampak perubahan iklim. Fredrich Elbert Stiftung Indonesia.
Ferrant, G., Pesando, L.M. and Nowacka, K., 2014. Unpaid Care Work: The missing link in the
analysis of gender gaps in labour outcomes. Issues paper.
International Labour Organization. 2018. Care work and care jobs for the future of decent work.
Ludgate, N. 2016. Moser Gender Analisis Framework. Feed the Future. University of Florida.
Moser, C.O., 2012. Gender planning and development: Theory, practice and training. Routledge.