Post on 01-Feb-2018
PROSEDNG SEM NAF NAS ONAL
TRADISI DALAM PERUBAHAN:ARSITEKTUR LOKAL DAN RANCANGAN
LINGKUNGAN TERBANGUNAULA GEDUNG PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA3 NOVEMBER 2O16
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
iii
ISBN: 978-602-294-145-3
E d i t o r
Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., Ph.D
Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., Ph.D
Ni Made Swanendri, ST., MT.
Desain halaman sampul
I Putu Zenit Arimbhawa
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
v
ISBN: 978-602-294-145-3
KATA PENGANTAR
Publikasi ini merupakan salah satu wujud dokumentasi yang dihasilkan dari pelaksanaan Seminar Nasional yang mengambil tema Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Ranganan Lingkungan Terbangun. Proseding ini mendokumentasikan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi di dalam kegiatan ini, yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Kemis, tanggal 2 November 2016.
Seminar ini dihadiri oleh para akademik; arsitek profesional - anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan para arsitek rancang bangun, para perancang kota maupun perencana; pemerintah - Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), Tata Ruang; Team Tata Aturan Bangunan dan Gedung, Perijinan; serta masyarakat pemakai hasil desain. Sedangan para pemakalah berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa datang. Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah.
Partisipan dan presenter berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa yang akan datang. Besar harapan kami, jika Seminar Nasional ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide terkait tradisi, perubahannya, adaptasinya serta akomodasinya dalam rancangan keruangan mikro maupun makro. Semoga kegiatan ini bisa dijadikan bagian aktivitas rutin di Program Magister Arsitektur Universitas Udayana, yang secara berkelanjutan bisa dijadwal serta didukung penyelenggaraannya, tidak hanya oleh kami sebagai civitas akademika, tetapi juga oleh asosiasi profesi, pemerintah, dan masyarakat tentunya.
Kami sangat bersyukur karena penyelenggaraan Seminar ini merupakan sebuah kolaborasi antara Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana, Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali, Program Studi Arsitektur Universitas Udayana, Program Studi Arsitektur Universitas Warmadewa, Program Studi Universitas Dwijendra, dan Program Studi Arsitektur Universitas Ngurah Rai. Terima kasih kami ucapkan kepada keempat lembaga untuk kerjasma serta kordinasinya selama ini.
Kepada Bapak Profesor Gunawan Tjahjono serta Bapak Ir Popo Danes - sebagai pembicara kunci dalam Seminar ini -, kami ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi melalui pertemuan akademik ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada ibu dan bapak panitia pelaksana seminar dan juga para moderator, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk, waktu dan energi yang direfleksikan melalui kerja keras dan kerjasamanya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan baik.
Sebagai penutup, mohon maaf dan permaklumannya jika ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyelenggaraan Seminar ini.
Terima kasih
Gusti Ayu Made Suartika
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
vii
ISBN: 978-602-294-145-3
R I N G K A S A N
"Forum Arsitektur - Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Desain
Lingkungan Terbangun" diselenggarakan untuk merumuskan ide serta pemikiran kritis terkait
akomodasi elemen-elemen arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan terbangun
kekinian dan yang akan datang. Beberapa pertanyaan mendasar yang akan didiskusikan disini
adalah: (1) Manakah yang disebut sebagai arsitekur tradisional/lokal/vernakular, sebelum
kita berbicara mengenai akomodasinya ke dalam desain?; (2) Haruskah kita memperpanjang
keberadaan arsitektur tradisional, ketika lingkungan dimana kita berada telah mengalami
perubahan, baik dari segi fisik, sosial-budaya, dan politikal-ekonominya?; (3) Apakah ide
pelestarian arsitektur tradisional/lokal hanya dimaksudkan sebagai usaha pembangunan
identitas dan image, dua kualitas yang lambat laun menghilang bersama era globalisasi?; (4)
Apakah usaha untuk mengakomodasi elemen-elemen desain lokal merupakan tindakan yang
melalaikan esensi arsitektur sebagai ranah profesi yang diwarnai kreativitas, tumbuh serta
berkembang mengkuti budaya, peradaban dan pembangunan sosial yang ada; dan (5) Dalam
mekanisme yang bagaimana wujud serta tata nilai budaya lokal bisa direfleksikan ke dalam
rancangan lingkungan terbangun kita?
Pencarian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini membawa makna penting, khususnya
bagi satuan kedaerahan yang menjadikan pelestarian budaya lokal sebagai jiwa dan arah
pembangunannya, seprti misalnya apa yang terjadi di Pulau Bali. Dengan mengambil konteks
perkembangan dunia rancang bangun yang telah terjadi di Provinsi ini, pelaksanaan Forum
Arsitektur ini diinspirasi oleh munculnya beragam produk rancangan, yang tidak berjalan
beriringan dengan nafas pelestarian budaya lokal. Kondisi ini mengundang perhatian serius,
khususnya bagi para akademisi maupun budayawan, mengingat telah dicanangkannya arah
pembangunan Pulau Dewata sebagai proses yang mengusung kaidah-kaidah tradisi lokal.
Dunia rancang bangun sebagai elemen penentu kualitas lingkungan binaan, dimana kita
bernaung, memiliki andil penting dalam pencapaian misi tersebut. Peran ini bukanlah posisi
yang mudah untuk dilakoni, baik oleh pihak yang menggeluti profesi perancang, maupun bagi
pemerintah yang mengemban fungsi kontrol dan pengendalian. Ini merupakan sebuah
tantangan yang mana jika dilakoni dengan sesungguhnya akan membutuhkan niat untuk
mengembannya, kemampuan interprestasi serta kreativitas.
Forum Arsitektur - Seminar Nasional ini mencoba menjembatani proses pencarian jawaban
untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah dipaparkan di atas. Adapun sub tema yang diangkat
dalam Forum Arsitektur - Seminar ini adalah:
Mempertanyakan arsitektur tradisional, lokal, dan vernakular.
Rancang bangun, karya arsitektur, dan perjalanannya.
Arsitektur tradisional dan rancangan lingkungan terbangun.
Mekanisme serta alternatif metode dalam mengakomodasi arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan binaan.
Mekanisme pengaturan serta pengendalian - akomodasi arsitektur tradisional dalam
desain kekinian dan masa depan.
viii
ISBN: 978-602-294-145-3
Kegiatan ini tidak hanya merangkum ide-ide yang didokumentasikan ke dalam karya tulis
(seminar), tetapi juga dengan mencoba memperoleh masukan melalui diskusi interkatif.
Keduanya melibatkan para akademisi sebagai pemerhati, perancang profesional, pemerintah
sebagai pengontrol dan pengendali pembangunan, serta masyarakat sebagai pemakai hasil
rancangan. Diharapkan, dengan mensinergikan kedua kegiatan ini ke dalam satu forum, akan
diperoleh masukan yang inklusif, bagaimana kita memahami arsitektur sebagai produk budaya
yang memiliki dinamikanya sendiri, bersanding dengan keinginan untuk melestarikan tradisi
rancang bangun, yang memiliki tatanan wujud fisik serta tatanan tata nilai yang memandu
keberadaannya.
Terima kasih
Gusti Ayu Made Suartika
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
ix
ISBN: 978-602-294-145-3
DAFTAR ISI
Halaman muka ……………………………………………………………………………………………………..…………. i
Editor ……………………………………………………………………………………………………..………………………. iii
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………………………….……………. v
Ringkasan ………………………………………………………………………………………………………………….…….. vii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………………………………. ix
Daftar Pemakalah
Sub Tema 1. Konsepsi: Arsitektur Tradisional, Lokal, dan Vernakular
Kajian Semiotika Ornamen dan Dekorasi Interior Kelenteng sebagai Wujud Inkulturasi Budaya di Kota Denpasar …………………………………………..................…………… 1 Ni Made Emmi Nutrisia Dewi, Freddy Hendrawan
Dialog pada Arsitektur Bali: Sarana Komunikasi Identitas Lokal …………………………...………… 15 I Dewa Gede Agung Diasana Putra
Membongkar Stagnansi Perkembangan Arsitektur Bali ……………….................................................. 25 Syamsul Alam Paturusi
Arsitektur di Bali Antara Norma dengan Fakta ...………………............................………………………… 33 Putu Rumawan Salain
Reinterpretasi Latar Belakang Filosofis Konsepsi Desa Kala Patra dan Wujud Penerapannya dalam Seni Arsitektur Bali ...………………............................…………… 41 I Nyoman Widya Paramadhyaksa, I Gusti Agung Bagus Suryada, Ida Ayu Armeli
Sub Tema 2. Transformasi Rancang Bangun Tradisional dan Karya Arsitektur
Transformasi Rumah Adat Bali Aga Kasus: Desa Adat Bayung Gede, Desa Adat Penglipuran, Desa Adat Tenganan ……………….. 51 Nimas Sekarlangit
Transformasi Arsitektur Tradisional dalam Perancangan Bandar Udara ………………………... 61 Basauli Umar Lubis
Bale: Objek Pembentuk Ruang yang Berkelanjutan pada Arsitektur Bali Aga ………………… 67 Himasari Hanan
Transformasi Bentuk Fasad dan Pola Arsitektur Tradisional Bali …………………………………… 81 Ni Putu Atik Pradnya Dewi
x
ISBN: 978-602-294-145-3
Penyesuaian Fungsi Ruang pada Bangunan Domestik di Desa Penglipuran, Bangli ………… 91 Sri Indah Retno Kusumawati
Struktur Konstruksi Bangunan Tradisional di Desa Pengotan, Bangli: Pelestarian Arsitektur Bali Aga ………………………………………………………………………………………… 105 Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.
Transformasi Rancang Bangun Tradisional Bali (Jineng) dalam Fisik Bangunan Fungsi Pariwisata (Hotel) di Badung ………………………...……………………………. 117 Dwi Meisa Putri
Transformasi Arsitektur Bale Delod Banjar Gamongan, Desa Kaba-Kaba, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali ………………………...……..................………………………. 125 Ni Putu Suda Nurjani
Perubahan Wujud dan Fungsi Ruang pada Rumah Tinggal Tradisional Desa Bali Aga Studi Kasus: Desa Pedawa, Buleleng-Bali ………..………………...…………........................…………………. 137 Tri Anggraini Prajnawrdhi
Adaptasi Bentuk dan Pola Bangunan Tradisional terhadap Fungsi Modern di Desa Tradisional Penglipuran ………………...................………...…………........................…………………. 153 Widiastuti
Perubahan Setting Hunian Tradisional di Desa Tengkudak, Tabanan-Bali ………………………. 167 Ni Luh Putu Eka Pebriyanti
Perubahan Orientasi dan Metode Penamaan Ruang dalam Rumah Tinggal Orang Bali di Denpasar ………………................................................................………...…………........................…………………. 179 I Nyoman Widya Paramadhyaksa
Arsitektur Bale Banjar dan Perannya di Desa Pakraman Perasi, Karangasem ……...………….. 189 I Nyoman Susanta
Sub Tema 3. Strategi dan Metode dalam Mengakomodasi Arsitektur Tradisional ke dalam Desain Lingkungan Binaan
Koeksistensi Makna Simbolik Rumah Tradisional Buton (Rumah Kaum Walaka) dan Bangunan Kantor DPRD di Kota Baubau ………………………….......................................................... 203 Muhammad Zakaria Umar
Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende …… 213 Fabiola T A Kerong
Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Bungaya ….......................................................…............. 227 Ni Luh Jaya Anggreni
Karakteristik Permukiman Tradisional Bali: Desa Julah, Buleleng ….............................................. 241 Made Chryselia Dwiantari
Permukiman Tradisional Desa Pengotan Bangli …................................................................................... 249 Sayu Putu Peny Purnama
Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Adat Trunyan, Kintamani, Bangli …................... 255 A A Gede Trisna Gamana
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
xi
ISBN: 978-602-294-145-3
Karakteristik Desa Bali Aga: Desa Tengkudak, Kabupaten Tabanan …........................................... 265 Ni Putu Helsi Pratiwiningsih
Eksistensi Permukiman Tradisional di Desa Bugbug Karangasem terhadap Perkembangan Pembangunan Masa Kini ….............................................................................. 275 Putu Pradnya Lestari Ratmayanti
Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Tenganan ….................................................................... 283 I Made Raditya Wahyu
Tatanan Spasial Permukiman Tradisional Desa Bali Aga, Timbrah ….............................................. 291 Gordon Ardinata
Kawasan Suci Pura Khayangan Tiga Sebagai Bentuk Pelestarian Arsitektur Tradisional Bali di Desa Adat Kesiman …......................................................................................................... 305 Putu Ayu Niasitha Prabandhari
Karakteristik Permukiman Tradisional Penglipuran, Bangli …........................................................... 317 I Nyoman Jatiguna
Arsitektur Lingkungan Binaan pada Permukiman Tradisional (Studi Kasus: Desa Tenganan, Bali) …................................................................................................................ 325 Dona Sri Lestari Poskiparta
Karakteristik Desa Adat Tradisional Sidatapa sebagai Desa Bali Aga di Bali Utara …............. 339 Luh Ketut Yulitrisna Dewi
Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Arsitektur Lokal di Kawasan Budaya Kotabaru …................................................................................................................................ 345 Vinsensius R. Edo
Eksistensi Permukiman Tradisional (Bali) di Kelurahan Ubud ......................................................... 355 Ni Nyoman Ratna Diantari
Arsitektur Umah Bali Aga di Desa Wongaya Gede, Kabupaten Tabanan-Bali …......................... 365 Anak Agung Ayu Oka Saraswati
Implementasi Nilai-Nilai Arsitektur Arsitektur Tradisional Bali pada Bangunan di Lahan Sempit ……...…………............................................................................................... 375 I Made Juniastra
Tektonika Arsitektur Bali ….................................................................................................................................... 383 Ni Ketut Ayu Siwalatri
Karakteristik Arsitektur Pertamanan (Lanskap) Bali: Potensi dan Tantangan dalam Perkembangan Arsitektur ….............................................................................................................. 395 Ni Made Yudantini
xii
ISBN: 978-602-294-145-3
Sub Tema 4. Mekanisme Pengaturan serta Pengendalian Akomodasi Arsitektur Tradisional dalam Desain Kekinian dan Masa Depan
Desa Wisata Brayut dalam Konteks Pertemuan Aspek Tradisional dan Mordern ……....…… 407 Amos Setiadi
Optimalisasi Fungsi Ruang Terbuka Hijau sebagai “Natah” dalam Setting Aktivitas dan Interaksi Sosial Masyarakat Perkotaan di Kota Denpasar …………………...........................…… 419 I Gusti Agung Adi Wiraguna
Komodifikasi Arsitektur Lokal pada Perkembangan Akomodasi Wisatawan di Pulau Bali …………………………............................................................................................................................ 427 Sylvia Agustine Maharani
Kajian Dinamika Ekonomi, Politik, dan Sosial Budaya: Penghilangan Karakteristik Lokal Arsitektur Kota di Bali ……………………………....................…… 437 I Ketut Mudra, I Wayan Yuda Manik
Kunci Keberlangsungan Arsitektur Lokal ………………………...........................…...................................... 447 Antonius Karel Muktiwibowo
Implementasi Tata Aturan Tradisional dalam Tata Ruang Publik Pesisir Pantai Sanur …… 455 Kadek Edi Saputra
Memaknai Kembali Kearifan Lokal dalam Konteks Kekinian ...……...........................……….………. 461 Ni Ketut Agusintadewi
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
153
ADAPTASI BENTUK DAN POLA BANGUNAN TRADISIONAL TERHADAP FUNGSI MODERN DI DESA TRADISIONAL PENGLIPURAN
Widiastuti
Program Studi Arsitektur Universitas Udayana
Email: wiwiedwidiastuti@yahoo.fr
Abstract
Desa Tradisional Penglipuran sangat terkenal berkat tata lingkungan dan bangunan yang unik yang dikembangkan berdasarkan konsepsi arsitektur tradisional setempat. Karena keunikannya tersebut desa ini dikonservasi untuk menjaga kelestariannya. Bangunan tidak boleh diubah. Namun perkembangan pendidikan dan cara hidup generasi baru terus berubah. Kebutuhan ekonomi membuat beberapa penghuni membuka warung yang berakibat pada perubahan spasial dan arsitektural rumah mereka. Selain itu penyesuaian dengan gaya hidup modern juga turut mengubah bentuk dan pola bangunan. Usaha pengendalian terus dilakukan dengan tetap mengakomodasi perkembangan sosial masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana fungsi-fungsi modern diakomodasi dalam unit-unit hunian dan mengelaborasi perubahan-perubahan arsitekturnya serta bentuk pengendalian apa yang dibuat agar masuknya fungsi modern tersebut tetap serasi dengan lingkungan desa secara keseluruhan.
Kata Kunci: perubahan, adaptasi, arsitektur tradisional, fungsi modern
PENDAHULUAN
Kebudayaan adalah sebuah sistem yang sangat kompleks dan luas yang memberikan ruang
untuk interpretasi yang berbeda (Geertz, 1973). Kebudayaan memiliki dimensi-dimensi
relegiusitas, etika, estetika, logika dan praktika yang berkembang secara dinamis. Kebudayaan
merupakan konfigurasi sistem nilai, pemaknaan kualitatif, dan pembangunan wawasan dalam
kehidupan. Untuk itu pembangunan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan dimensi-
dimensi tersebut sehingga antar sistem nilai yang dianut dengan tuntutan kehidupan masa
kini bisa harmonis seperti yang diungkapkan Wilkes (dalam Li, 2005):
The field of architecture concerned with continuing a Building or structure in service by means of creating a new use for it, or with reconfiguration of a building so its original use can continue in a new form that meets new requirements.
Arsitektur adalah produk budaya. Di dalamnya terdapat dimensi-dimensi yang tangibel seperti
seni, teknologi dan pengetahuan serta dimensi yang intagibel seperti nilai budaya.
Perkembangan arsitektur mengikuti perkembangan budaya masyarakat penggunanya. Itu
sebabnya konsep konservasi dalam arsitektur akan selalu bersinggungan dengan nilai budaya
yang sedang dianut generasi terakhir. Nilai budaya yang terkadung dalam benda yang akan
dikonservasi berbeda dengan nilai budaya yang dianut generasi terakhir. Perlu pendekatan
tertentu sehingga nilai budaya dapat terpelihara sementara generasi penerusnya bisa
menikmati manfaat dari nilai budaya yang terkandung dalam benda konservasi.
Desa Penglipuran adalah salah satu peninggalan budaya yang dikonservasi karena memiliki
nilai signifikansi sebagai benda cagar budaya. Di dalam bentukan fisiknya terdapat nilai
budaya yang merupakan perpaduan budaya Bali Aga dan Bali Hindu. Bentuk pola desa
Penglipuran adalah linear. Bentuk ini merupakan implementasi dari kearifan masyarakat
terhadap pandangan mereka terhadap macro cosmos yaitu gunung – laut, kaje – kelod, hulu –
154
Uta
ma
Ma
nd
ala
M
ad
ya
Ma
nd
ala
N
ista
M
an
da
la
teben sungai, ataupun terhadap analogi microcosmos mereka seperti kepala – laki, hidup mati,
ataupun terhadap nilai – nilai seperti baik – buruk, tinggi – rendah, dan lain sebagainya. Nilai
tersebut kemudian ditarnsformasikan pada bentuk yang lebih kecil seperti pekarangan,
bangunan bahkan sampai pada detil bangunan.
Tatanan tersebut terus digunakan oleh generasi penerusnya yang secara perlahan memiliki
nilai sendiri yang terbentuk dari pengalaman, pendidikan, dan informasi. Secara perlahan
terjadi perubahan fisik, adaptasi dari sistem baru yang dianut generasi penerusnya. Bentuk-
bentuk adaptasi serta faktor-faktor yang mendorong terjadinya adaptasi tersebut menarik
dikupas untuk memahami bagaimana “The Hidden Dimension”nya Edward T Hall (1966) juga
berlaku di Bali.
GAMBARAN UMUM DESA PENGLIPURAN
Kata Penglipuran berasal dari kata Pengeling Pura yang menunjuk pada asal usul mereka yaitu
Desa Bayung Gede. Leluhur masyarakat Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede. Penduduk
Desa Kubu yang mondok bercampur dengan Penduduk Bayung Gede, membentuk suatu pola
menetap kecil yang diberi nama Penglipuran. Desa adat Penglipuran terletak di Kelurahan
Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa ini terletak 3 km di sebelah utara pusat kota
Bangli. Keunikan budaya dan tata ruang serta bentuk arsitekturnya menjadikan desa ini
Daerah Tujuan Wisata sesuai dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bangli
Nomor 116 tahun 1993 tentang penunjukan Desa Pakraman Pengelipuran Sebagai petugas
pungut Retribusi Pariwisata. Luas lahan desa ini adalah 112 Ha dimana 13,8 ha digunakan
untuk permukiman dan sisanya berupa hutan bambu dan perkebunan lainnya.
Pola desa Penglipuran merupakan transformasi dari konsep Tri Mandala dimana wilayahnya
dibagi menjadi 3 bagian menurut tingkat kesuciannya yaitu: Utama Mandala sebagai tempat
yang paling tinggi diperuntukan antuk bangunan pura (tempat suci), Madya Mandala sebagai
tempat yang agak rendah ke selatan untuk tempat pemukiman warga desa yang di belah oleh
jalan utama menjadi bagian barat dan bagian timur serta Nista Mandala sebagai tempat yang
paling rendah untuk kuburan yang dilengkapi dengan Pura Dalem Pelapuan dan Pura Dalem
Pingit, Tugu Pahlawan serta tegalan.
Gambar 1. Pola Desa Adat Penglipuran
Sumber: Dwijendra A,2010 dan Google Earth, 2016
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
155
POLA DAN BENTUK AWAL BANGUNAN RUMAH DI PENGLIPURAN
Dalam satu pekarangan rumah di Desa Penglipuran terdiri dari bangunan-bangunan Merajan,
Paon Meten, Loji (ruang tidur), Lumbung, dan Bale Adat. Dibelakang pekarangan adalah teba
yang dimanfaatkan sebagai kebun di halaman belakang. Bangunan-bangunan tersebut disusun
dalam tatanan ruang rumah Adat Penglipuran sebagai berikut :
Di sebelah timur laut : Sanggah (tempat sembahyang)
Di sebelah Utara (daja) : dapur (pawon) yang dibuat dengan sebagian besar bahan bambu
meliputi atap dan dinding. Selain untuk memasak, dapur juga digunakan sebagai tempat
tidur oleh orang tua. Hal ini bertujuan untuk efektifitas kerja dan menghindari dinginnya
cuaca.
Di sebelah selatan agak ketimur ada Bale saka enem yang atapnya dibuat dari bahan
bambu yang berfungsi sebagai tempat upacara adat/agama seperti manusia yadnya, pitra
yadnya dan upacara lainnya. Bangunan ini berbentuk Bale panggung dengan setengah
terbuka.
Di sebelah barat ada bangunan tempat tidur bagi keluarga yang bentuk bangunannya boleh
mengikuti perkembangan jaman dan sesuai dengan kemampuan
Di setiap karang kertu (pekarangan rumah) ada angkul-angkul (pintu gerbang) dari atap
bambu yang bentuknya sama dengan yang lain. Bambu sebagai bahan angkul-angkul
menjadi tanggung jawab Desa Pakraman yang pengerjaannya secara gotong royong oleh
masyarakat.
Gambar 2 Pola dan Bentuk Awal Rumah Tradisional Penglipuran Sumber: Dwijendra A,2010
Pola massa di atas bisa bervariasi namun jenis massa pada umumnya sama. Perbedaannya
biasanya pada tata letak masing-masing bangunan yang bisa bergeser dari posisi di atas. Salah
Zone Hulu utk bang.
suci
Angkul-
Rurung Gede
Sanggah Paon Loji
Jineng Bale Saka Enam
Angkul-Angkul
TEB
A
156
satu yang unik dari pola tersebut adalah terdapat bukaan sekitar 1m sampai dengan 1,5 m
yang memungkinkan orang bersirkulasi ke rumah tetangganya. Dengan demikian jika ingin
berkunjung ketetangga tidak perlu keluar melalui angkul-angkul (pintu gerbang depan). Hal
ini menunjukan persatuan dan kekeluargaan masyarakat Desa Pakraman Penglipuran.
Gambar 3. Salah satu variasi tata letak rumah di Penglipuran Sumber: Ahmadi A., 2006
Bangunan tradisional Penglipuran dibuat dari bambu (gambar 4) baik atap maupun
dindingnya. Bentuk bangunan tertutup sesuai dengan karakter bangunan di tempat dingin.
Pada umumnya bangunan ini menggunakan bahan dari desa sendiri. Bambu dari Penglipuran
terkenal berkualitas baik sehingga sangat baik untuk bahan bangunan.
Gambar 4. Tampak bangunan tradisional yang masih asli Sumber: Dwijendra A,2010
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
157
FUNGSI DAN TEKNOLOGI BARU YANG BERKEMBANG
Seiring dengan perkembangan teknologi dan tingkat pendidikan warganya, perubahan-
perubahan fisik banyak terjadi di Desa Penglipuran. Keinginan untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih efisien, praktis, dan cepat membuat penduduk desa ini menyesuaikan bangunan
rumahnya dengan teknologi modern. Beberapa bentuk teknologi yang digunakan dalam
kehidupan seharri-hari antara lain: kendaraan bermotor, mesin cuci, peralatan dapur modern,
televisi, peralatan sanitair, dan peralatan dapur lainnya. Perilaku yang berubah dalam sistem
sanitasi juga merupakan faktor yang mendorong perubahan bentuk rumah. Secara tradisional
penduduk melakukan aktifitas sanitasi di bagian Teba. Namun berkat pendidikan dan
pengetahuan yang meningkat saat ini semua rumah memiliki toilet untuk kepentingan
tersebut. Dalam skala rumah, kebutuhan anak-anak akan ruang tidur pribadi juga menambah
dimensi rumah. Dengan demikian bale-bale tradisional tidak memadai lagi untuk
dipertahankan untuk memenuhi tuntutan kehidupan modern.
Gambar 5. Beberapa teknologi modern yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari Sumber: Survei Lapang, September 2016
Selain peralatan rumah modern yang digunakan serta tutuntan privasi di atas,, perubahan fisik
yang terjadi disebabkan adanya perubahan fungsi yang dikembangkan dalam unit pekarangan
rumah. Fungsi baru yang paling menonjol yang mengakibatkan perubahan bangunan adalah
fungsi komersial. Masuknya pariwisata yang mengundang kehadiran wisatawan di Desa
Penglipuran dimanfaatkan oleh penduduk untuk membuat warung dalam pekarangannya.
Masuknya fungsi komersial ini merubah seluruh tatanan spasial dan arsitektural pekarangan
di Desa Penglipuran ini.
158
Gambar 6 Beberapa bentuk warung yang dikembangkan dalam pekarangan rumah Sumber: Survei Lapang, September 2016
Salah satu fungsi lain yang dikembangkan di desa ini adalah home stay atau penginapan.
Walaupun belum banyak dikembangkan namun dengan semakin banyaknya wisatawan yang
mengunjungi desa ini memungkinkan fungsi ini untuk terus berkembang dalam pekarangan
lainnya.
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
159
Gambar 7. Salah satu bentuk pekarangan yang berubah menjadi “home stay” Sumber: Survei Lapang, September 2016
Fungsi dalam pekarangan di atas dirubah seluruhnya menjadi penginapan dengan
menyesuaikan bentuk bangunan lama dengan fungsi baru. Tampak dari luar bangunan home
stay ini menggunakan bentuk bangunan lama. Dinding menggunakan bambu demikian juga
atapnya. Namun dinding bata tersebut hanyalah “ornamen” belaka karena dinding yang
sesungguhnya adalah dinding batu.
POLA DAN BENTUK BANGUNAN SAAT INI
Masuknya fungsi-fungsi baru di Desa Penglipuran menyebabkan perubahan tata ruang dan
tata bangunan dalam pekarangan. Selain fungi baru bertambahnya jumlah anggota keluarga
juga merubah pola dan tata ruang pekarangan. Teba yang tadinya berfungsi untuk kebun
sebagian besar sudah menjadi perumahan anggota keluarga. Pada pekarangan di sisi timur
jalan bangunan-bangunan baru dikembangkan di sebelah bangunan Paon sedangkan di
pekarangan bagian barat jalan rumah baru dibangun di sebelah bangunan Merajan.
160
Gambar 8 Perubahan pola dan bentuk bangunan dalam salah satu pekarangan di sisi barat jalan Sumber: Survei Lapang, September 2016
Paon L
Zona
komersial
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
161
Gambar 9. Berbagai variasi perubahan bangunan pada pekarangan di sisi timur jalan Sumber: Survei Lapang, September 2016
Perubahan yang terjadi dalam pekarangan-pekarangan di Desa Penglipuran bukan hanya
menyebabkan tingkat kepadatan yang tinggi namun juga sebagian menyebabkan kekumuhan
dalam pekarangan. Bukan hanya wujud saja yang berubah, namun dimensi, warna, tekstur,
posisi, orientasi yang berubah Ching (1979:50). Bila di jalan utama (core) permukiman
suasana desa tampak rapi, bersih, dan indah maka tidak semua bagian dalam pekarangan
162
memiliki wajah yang sama. Pengaturan lingkungan sebaiknya juga memperhatikan dinamika
perubahan di dalam pekarangan.
PEMBAHASAN
Konservasi Vs Dinamika perubahan Budaya
Seperti pepatah terkenal bahwa yang paling abadi di dunia ini adalah perubahan. Perubahan
yang terjadi di Desa Penglipuran menunjukkan hal itu. Cepat atau lambat perubahan budaya
telah dan akan terus terjadi. Perubahan pola dan bentuk bangunan merupakan hasil dari
perubahan sosial maupun teknologi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kingley Davis dan
William F Ogburn (dalam Soekanto, 2006), bahwa perubahan kebudayaan mencakup
perubahan unsur-unsur kebudayaan seperti teknologi, ilmu pengetahuan, filsafat, kesenian
dan sebagainya sedangkan perubahan sosial mencakup system nilai sosial, stratifikasi sosial,
pola perilaku maupun perubahan nilai/norma di masyarakat.
Perubahan yang terjadi di Desa Penglipuran juga tidak sekaligus terjadi. Pernah ada masanya
pengendalian dilakukan sangat ketat sehingga warga tidak boleh merubah bangunan dalam
pekarangannya. Kemudian perubahan boleh dilakukan sehingga wajah koridor jalan sudah
tidak seragam lagi. Warga menjebol dinding pagarnya untuk membuka warung. Angkul-angkul
juga mulai banyak yang dirubah. Kondisi ini memprihatinkan banyak pihak sehingga desa adat
Penglipuran membuat aturan yang memungkinkan 2 hal terjadi: konservasi dan
pengembangan. Konservasi dilakukan terhadap pagar, angkul-angkul, merajan, dan dapur inti.
Ketiganya tidak boleh berubah. Bangunan lain boleh berubah asal tetap berada di dalam pagar
yang dikonservasi. Dengan kompromi tersebut wajah koridor menjadi lebih indah seperti yang
dapat dilihat saat ini.
Gambar 10. Bangunan Dapur inti yang dikonservasi Sumber: Survei Lapang, September 2016
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
163
Gillin dan Giliin (dalam Soerjono Soekanto, 2006) menyatakan bahwa perubahan sosial budaya
merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima, yang disebabkan oleh perubahan
kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi serta adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Proses perubahan yang terjadi di Desa
Penglipuran berasal dari beberapa sumber yaitu masyarakat Desa Penglipuran, Desa Adat
Penglipuran, Pemerintah Kabupaten Bangli dan Provinsi Bali, serta masyarakat pecinta
arsitektur Desa Penglipuran. Masyarakat Desa Penglipuran yang sekalipun cinta pada warisan
budaya nenek moyangnya mereka membutuhkan kehidupan yang lebih efisien, cepat, dan
mudah. Selain itu tuntutan privasi dalam menjalankan kehidupan pribadi mereka tidak bisa
diakomodasi dalam bangunan lama. Sehingga merubah bangunan rumah tinggal adalah
penting. Komposisi bangunan yang telah dirubah memperkuat argumen tersebut. Semua
bangunan yang mewadahi kehidupan keluarga telah berubah. Bangunan yang relatif tetap
adalah bangunan untuk kepentingan ritual dan upacara adat. Antara konservasi dan dinamika
perubahan budaya mampu diwadahi dalam pekarangan rumah di Desa Penglipuran sehingga
menghasilkan harmoni antara bentuk dan pola ruang desa dengan sistem sosial budaya
masyarakat masa kini. Sesuai dengan pendapat Ranjabar (2008) perubahan yang terjadi
tersebut merupakan cermin ciri-ciri terjadinya perubahan sosial.
Adaptive re-use, genius loci dan kearifan lokal
Perubahan memang tidak dapat dihindari. Manusia memiliki dinamika kehidupan yang tidak
bisa dikonservasi seperti mengembangkan sebuah kebun binatang. Namun perubahan bisa
dikendalikan untuk memenuhi tujuan pembangunan. Perubahan yang terjadi dalam
pekarangan di Desa Penglipuran sebagian besar tidak mengikuti model bangunan tradisional
setempat. Banyak faktor yang menghambat masyarakat untuk menggunakan model arsitektur
lokal untuk hunian mereka. Material bambu yang tidak seawet material batu, pemeliharaan
yang mahal, serta selera masyarakat yang beragam. Semua faktor tersebut memicu perubahan
pola dan bentuk bangunan seperti yang telah diuraikan di atas. Namun satu faktor yang
semestinya bisa menjadi motivasi masyarakat lokal untuk mengembangkan arsitektur lokal
adalah kecintaan secara total terhadap kearifan lokal. Bila hal ini ditanamkan terus menerus
dan dikembangkan maka keuntungan ekonomi akan semakin meningkat. Daya tarik Desa
Penglipuran akan semakin meningkat.
Model yang dikembangkan dengan metode adaptive re-use berupa penginapan merupakan
contoh yang sangat baik untuk ditiru oleh hunian lain. Penggunaan dinding bambu sekalipun
hanya “tempelan” saja mampu menciptakan wajah asli Desa Penglipuran tanpa mengurangi
kebutuhan masyarakat akan privasi dan penggunaan peralatan modern.
164
Gambar 11. Model adaptive re-use bangunan asli Desa Penglipuran Sumber: Survei Lapang, September 2016
Model adaptive re-use ini sangat sesuai untuk mempertahankan genius loci yang bersumber
dari kearifan lokal. Adaptive re-use yang dimengerti sebagai modifikasi sebuah tempat untuk
disesuaikan dengan fungsi yang ada atau fungsi yang diusulkan (ICOMOS,1999). Jogja Heritage
Society (2009) merumuskan adaptive reuse sebagai aktifitas menggunakan struktur lama
untuk fungsi baru. Pada umumnya dilakukan rehabilitasi eksterior atau interior. Melalui
pendekatan model ini bukan hanya secara fisik kearifan lokal dipertahankan, namun secara
spirit modernitas yang berupa dinamika budaya manusia bisa dicapai.
“Cloning” sebagai pemecahan masalah kepadatan
Kepadatan yang terjadi di dalam pekarangan rumah di Desa Penglipuran yang mengakibatkan
“ke kumuhan”bila tidak dicarikan solusinya di masa depan akan menjadi masalah besar dalam
menciptakan tata ruang. Model yang dilakukan “saudara tua”nya yaitu Desa Bayung Gede bisa
ditiru. Di Desa Bayung Gede hanya 1 anak yang bisa tinggal di perumahan tersebut sehingga
kepadatan bisa dikendalikan. Model ini lahir dari permasalahan yang sama dengan Desa
Penglipuran yaitu kepadatan.
Model lain yang bisa dikembangkan adalah membuat “Desa Penglipuan” di tanah milik desa
bagi anak-anak desa yang tidak mendapatkan tempat di desa lama. Dengan meng”cloning” pola
dan bentuk yang sama, kesempatan bagi warga “Desa Penglipuran Baru” untuk memperoleh
manfaat ekonomi yang sama dengan saudara mereka dapat dirasakan. Pengaturan organisasi
dan administrasi tentu akan menjadi bagian dari model ini sehingga akan tercapai keadilan
bagi seluruh warga Desa Penglipuran.
SIMPULAN DAN SARAN
Pola dan bentuk bangunan dalam pekarangan di lingkungan Desa Penglipuran menunjukkan
perubahan yang cukup signifikan. Perubahan tersebut utamanya terjadi karena tuntutan
kehidupan modern dan penggunaan teknologi baru. Faktor lain yang memicu perubahan
adalah pertambahan jumlah anggota keluarga. Perubahan menjadi bagian yang mayoritas
dalam pekarangan karena yang dikonservasi adalah pagar dengan angkul-angkulnya, merajan,
dan dapur inti. Bila dibiarkan terus maka keunikan desa ini akan berkurang. Perlu dilakukan
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
165
pengendalian terhadap perubahan yang tetap mengakomodasi nilai budaya dan tuntutan
hidup masa kini.
Model adaptive re-use yang digunakan dalam pengembangan penginapan sangat tepat
dikembangkan di desa ini. Bila semua bangunan bisa mengadaptasi model ini suasana
lingkungan secara menyeluruh akan bisa dikembalikan. Permasalahan keawetan material
bambu bisa diatasi dengan teknologi material terkini. Kerjasama dengan institusi pendidikan
untk mengembangkan dan mensosialisasikan teknik pengawetan bambu akan sangat baik
demi mendukung model ini.
REFERENSI
Ahmadi, A. 2006. Masa lalu dalam Masa Kini: Arsitektur Indonesia. Jakarta: Gramedia
Ching, FDK. 2000. Arsitektur: Bentuk Ruang Dan Susunannya. (Paulus Hanoto Adjie, Pentj). Jakarta: Erlangga
Dwijendra, A. 2010. Arsitektur Kebudayaan Bali Kuno, Denpasar: Udayana University Press
Hall, ET. 1966. The Hidden Dimension. New York: Double Day
International Charter for The Conservation And Restoration Of Monuments And Sites. 1999. Burra Charter. Australia.
Jogja Heritage Society. 2009. Pedoman Pelestarian Pasca Bencana Kawasan Pusaka Kotagede Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta: GONG Grafis
Li, X. 2005. “Adaptive Reuse in Beijing’s Traditional Neighborhoods”, Thesis. Cottbus: Brandenburg University of Technology.
Ranjabar, J. 2008. Perubahan Sosial dalam Teori Makro: Pendekatan Realitas Sosial. Bandung: Alfabeta
Soekanto, S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada