Post on 14-Apr-2016
description
PRESENTASI KASUS
GENERAL TONIC CLONIC SEIZURE
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian
Stase Ilmu Penyakit Syarafdi Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang
Diajukan Kepada :
dr. TH Suryono, Sp. S
Disusun Oleh :
Aida Yulia Amany
(20100310091)
SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
1
PRESENTASI KASUS
a. IDENTITAS
Nama : Tn. I S
Usia : 68 tahun
Alamat : Bayanan, Mertoyudan, Magelang
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Status : Menikah
b. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien kontrol epilepsi dan post SNH
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Syaraf RSUD Tidar Magelang pada tanggal 22 Oktober 2015
untuk kontrol epilepsi dan post SNH. keluhan kejang ataupun penurunan kesadaran
selama 1 bulan ini di sangkal. Keluhan kelemahan anggota gerak disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hospitalisasi (+) pada tahun 2010 dan 2012. Pada tahun 2010 pasien
pernah tiba tiba kehilangan kesadaran saat sedang menyupir mobil, menurut
keluarga pasien sempat kejang saat kejadian. Setelah kejadian pasien tidak sadar
dan dirawat di RSUD Tidar selama 10 hari. Pasien mengatakan bahwa diberi tahu
dokter pasien mengalami stroke. Dan rutin kontrol ke poli syaraf sejak kejadian
tersebut. Post kejadian tidak ada kelemahan anggota gerak maupun kesulitan
berkomunikasi. Pada tahun 2012 pasien masuk ke RS karena KLL, pasien
menabrak mobil yang sedang berhenti. Pasien mengaku tidak ingat persis saat
kejadian dan ketika sadar sudah berada di RS.
Riwayat trauma kepala (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat penyakit DM (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
2
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa. Riwayat stroke (+), riwayat
hipertensi, diabetes dan penyakit jantung disangkal.
c. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Napas : 20x/menit
Suhu : 36,6oC
Status gizi : sedang
Status Internus
KEPALA
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tak ditemukan kelainan
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Leher : KGB tak teraba
PARU
Inspeksi : gerakan simetris kiri=kanan
Palpasi : fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler N, ronkhi(-), wheezing(-)
JANTUNG
Inspeksi : ictus tidak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LCMS RIC V
Perkusi : Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
Kanan : linea sternalis dextra
Atas : RIC II
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)
ABDOMEN
Inspeksi : tak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani
3
Auskultasi : bising usus (+) Normal
Corpus vertebrae : tidak ada kelainan
Genitalia : tidak diperiksa
Status Neurologis
1.Kesadaran
Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
2.Tanda Rangsangan selaput otak
Kaku kuduk : - Kernig :-
Brudzunsky I :- Brudzunsky II:-
Laseque :-
3.Tanda Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Muntah proyektil :-
Sakit kepala progresif :-
4.Nervus Kranialis :
Nervus I : penciuman baik
Nervus II : visus 6/6 ODS,pupil isokhor, diameter 3mm/3 mm,
reflek cahaya +/+
Nervus III,IV,VI : ptosis (-),gerakan bola mata bebas ke segala arah,
Nervus V : buka mulut (+), mengigit (+), menguyah (+),
menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan (+),
refleks kornea(+)
Nervus VII : raut muka simetris kiri dan kanan, menutup mata
+/+, mengerutkan dahi (+),plica nasolabialis ki=ka
Nervus VIII : fungsi pendengaran baik, Nistagmus (-)
Nervus IX&X : Refleks muntah (+), ,uvula ditengah
Nervus XI : dapat menoleh dan mengangkat bahu kiri dan kanan
Nervus XII : deviasi lidah (-), tremor (-),atrofi papil lidah (-),
fasikulasi (-)
5 .Koordinasi :
Cara berjalan : dalam batas normal
Romberg test :-
Rebound phenomen: -
4
Tes tumit lutut :-
Tes supinasi pronasi:-
Disartria :-
6 .Motorik : ekstermitas superior dan inferior
Dekstra Sinistra
Pergerakan : aktif aktif
Kekuatan : 555 555
555 555
Tonus : eutonus eutonus
7 .Sensorik :Sensibilitas halus dan kasar baik kiri dan kanan
8 .Fungsi otonom
Miksi : neurogenik bladder (-)
Defekasi : baik
Sekresi keringat:baik
9.Reflek fisiologis
Biseps :++/++
Triseps :++/++
Patella : ++/++
Achiles :++/++
10 .Reflek Patologis
Babinski :-/- Gordon :-/-
Chaddock:-/- schaffer:-/-
Oppeinheim:-/- hoffmen trommer -/-
1 1 .Fungsi luhur : reaksi emosi baik, fungsi bicara:bicara lancar
d. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tak dilakukan
e. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Kejang tonik klonik, post SNH
5
Diagnosis topik : Serebral
Diagnosis etiologi : Idiopatik
f. TATA LAKSANA
- Depakote ER 1 x 500mg
- Vit B6 2 x 1
- Miniaspi 1 x 80mg
- Neurodex 1 x 1
TINJAUAN PUSTAKA
6
1. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat
lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan
berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa
dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut (“unprovoked”).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut
sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan
sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom
(vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari
letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga
dikenal bermacam jenis epilepsi.
2. Etiologi Epilepsi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik
dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West
syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan
4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat
mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid
(hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi,
sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat
menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap
wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen
7
dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.
Epilepsi mungkin disebabkan oleh:
– aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
– gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
otak pada saat lahir atau cedera lain
– pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital
pada otak, atau infeksi
– pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsy idiopatik, sedangkan
pada anak umur 5-6 tahun disebabkan karena febris
– pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala
maupun tumor
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1. kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi,
minum alkohol, atau mengalami cidera.
2. kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4. tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.
5. penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6. radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
7. penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang diturunkan
pada anak
Faktor pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
8
a. kurang tidur
b. stress emosional
c. infeksi
d. obat-obat tertentu
e. alkohol
f. perubahan hormonal
g. terlalu lelah
h. fotosensitif
3. Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi menurut Etiologi
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada
masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,
uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Klasifikasi Umum
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun
1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun
1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan
epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
9
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absens
b. Absens (Lena)
c. Mioklonik
d. Klonik
e. Tonik
f. Atonik (Astatik)
g. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi
karena hanya ada dua kategori utama, yaitu
- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir
di otak.
- Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada
kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro tem
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
b. Simptomatik
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
2. Umum
10
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b. Simptomatik
- Sindroma West (spasmus infantil)
- Sindroma Lennox Gastaut
3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)
- Serangan neonatal
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung
terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh
dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan
alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat juga sulit didapatkan,
karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan
sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali
bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman
elektroensefalografi (EEG).
3. Patofisiologi
11
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik
dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam
keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan
lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi
kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron
akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam
mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s
inhibitory neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan
asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya
dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic
seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut
sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok
kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi
seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.
Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang
optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata
memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik.
- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron
penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat.
Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak.
12
Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai
tempat di otak.
- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.Sehingga dapat disimpulkan
bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling
terkait:
• Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel
untuk menimbulkan bangkitan.
• Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
• Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,
bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus
epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari
sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan
serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan
akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia,
hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama
dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah
meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus
dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike
menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti.
Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron.
(karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata
serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan
tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls
dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang
berkepanjangan disebut status epileptikus.
13
4. Manifestasi Klinis
Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a. Primer
b. Sekunder
Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan
bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal
tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu
atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik
selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus
epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat
sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.
Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga
aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang
klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si
sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit.
Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatip seperti berkeringat,
midriasis pupil, refleks cahaya negatip, mulut berbuih dan sianosis. Kejang
berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai
koma. Kira-kira 4 - 5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak
diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai
setahun sekali.
2.Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada
anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang
berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih
14
dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata.
Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan
dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak
ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi
pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :
1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3
per detik.
b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan
yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar
diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka
terhadap rangsang sensorik.
c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus
dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-
Gastaut.
d. spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul
pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti
belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas
seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
15
Epilepsi parsial (20% dari seluruh kasus epilepsi).
a) Bangkitan motorik.
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu
atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita
seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari
tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi
klinik ini disebut Jacksonian marche
b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks
sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi
abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada
bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks
motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
c) Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan
psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme.
Manifestasi klinik ialah sebagai berikut:
1. Kesadaran hilang sejenak.
2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran antara
sadar dan mimpi(twilight state).
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi
dan automatisme yang mungkin timbul :
a.Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b.Halusinasi dengan automatisme membaca.
4. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
16
5. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
17
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran
EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak
3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara
serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang
kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi
parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri
18
6. Tata Laksana
Obat-obat anti epilepsi
Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.
Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan
terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat
terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun
demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan
pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya
kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi).
Tentang OAE yang akan dipilih, didasarkan atas aspek farmakologiknya,
sudah ada standar tertentu sebagai pedoman umum untuk diterapkan di klinik.
Dalam praktek tidak jarang dijumpai penyimpangan yang telah diperoleh perlu
dikombinasikan dengan sebaik-baiknya. Akhirnya semuanya tadi akan membentuk
kearifak kita dalam menghadapi setiap kasus epilepsy.
Di Indonesia telah telah tersedia berbagai jenis OAE dengan berbagai merk
dagang dengan harga yang cukup lebar. Fenitoin dalam bentuk bahan baky
mempunyai harga yang paling murah, kemudian disusul harga fenobarbital. Obat-
obat jadi dengan merk dagang tertentu pada umumnya cukup mahal.
Bagaimanapun factor harga perlu dipertimbangkan. Program jangka panjang, dosis
obat terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan
factor penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal
penting untuk serangan.
Harga obat murah dikaitkan dengan obat generik. Obat generik terdapat
masalah yang perlu diperhatikan. Khususnya fenitoin, maka harus
dipertimbangkan:
a. Resiko terjadinya perubahan konsentrasi obat dalam serum
b. Bila terjadi perubahan konsentrasi obat dalam serum dapat menimbulkan
efek samping dan hilangnya kemanjuran obat.
c. Perbandingan obat generic dengan obat jadi yang memakai merk dagang
tertentu
d. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk memantau konsentrasi obat
e. Resiko untuk memperoleh obat yang berbeda sediaannya, antara resep yang
pertama, kedua, dan seterusnya
f. Efek obat generic yang mempengaruhi kepatuhan penderita
19
g. Motivasi penderita untuk menerima obat generic
Konsekuensi dari pemilihan OAE adalah
a. Paham sepenuhnya tentang aspek farmakologik OAE yang dipilih
b. Mampu member penjelasan kepada penderita ataupun keluarganya tentang
OAE tadi secara sederhana, program yang akan dijalani, dan berbagai
kemungkinan yang dapat timbul sehubungan dengan obat yang akan
diminum. Disamping itu efek OAE terhadap kondisi tertentu perlu
dimengerti, contoh pada anak-anak, wanita yang sedang atau merencanakan
hamil.
Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :
1. Menentukan diagnosis yang tepat
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan
meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada
kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.
Penderita juga dinilai oleh masyarakat sebagai penderita epilepsi yang
menurut penilaian masyarakat penyakit tersebut adalah penyakit kutukan.
Sangat disayangkan apabila penderita sinkop yang berulang, diterapi
dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang
baik bagi seorang dokter untuk mendiagnosis epilepsi. Jangan pernah coba-
coba dalam terapi epilepsi.
2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi
Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien
dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan.
Keputusan ini seharusnya dibuat setelah mendiskusikan dan mengevaluasi
keadaan pasien, menimbang manfaat dan kerugian pengobatan.
Setelah kejang pertama
Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko
terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non
epileptik, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab yang
mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi dengan
glukosa, bangkitan karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik
20
dengan perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah
psikogenik dapat diatasi dengan konseling yang tepat. Terapi bangkitan
epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal, risiko pengobatan dan manfaat
pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita epilepsi benigna dengan
“spikes” di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan obat
karena penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami hanya
sedikit serangan nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika
terdapat lesi struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk tumor
otak, displasia kortikal dan malformasi arteriovenosa).
Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan
ragu-ragu untuk memberikan terapi untuk memulai terapi farmakologi dan
mempertimbangkan dilakukannya tindakan bedah.
Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab
spesifik seringkali gagal. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan
setelah kejang pertama, menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga
kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly
treat dan probably treat.
A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
21
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todd’s postical paresis
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan “spikes” sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan
pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat putusnya
alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi,
dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang tunggal dengan segera setelah
pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi
benigna dengan “spikes” sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang
22
pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya.
Kejang akibat hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang
mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka
kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir
tahun kedua setelah kejang yang pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil dengan
pertimbangan risk and benefit setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien.
Sebagai contoh terapi diindikasikan untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika
terjadi kekambuhan sewaktu-waktu maka akan membahayakan pasien bahkan mengancam
nyawa pasien. Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan
tidak mempunyai risiko terjadinya kejang kedua biasanya hanya terapi jangka pendek.
Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama.
Seandainya pasien diputuskan untuk diobati, maka penghentian pengobatan dilakukan
setelah tahun kedua dari kejang yang pertama.
3. Memilih obat yang paling sesuai
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien
a) Tipe serangan
Tabel modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)
Tipe serangan First-line Second-line/
add on
Third line/
add on
Parsial simple &
kompleks dengan
atau tanpa
general sekunder
Karbamazepine
Fenitoin
Fenobarbital
Okskarbazepin
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Asam valproat
Levetiracetam
Zonisamid
Pregabalin
Tiagabin
Vigabatrin
Felbamat
Pirimidon
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat
23
Karbamazepine
Fenitoin
Fenobarbital
Okskarbazepin Levetiracetam
Zonisamid
Pirimidon
Mioklonik Asam valproat Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Lamotrigin
Clobazam
Clonazepam
Fenobarbital
Absence (tipikal
dan atipikal)
Asam valproat
Lamotrigin
Etosuksimid Levetiracetam
Zonisamid
Atonik Asam valproat Lamotrigin
Topiramat
Felbamat
Tonik Asam valproat
Fenitoin
Fenobarbital
Clonazepam
Clobazam
Epilepsy absence
juvenil
Asam valproat
Etosuksimid
Clonazepam
Epilepsy
mioklonik
juvenil
Asam valproat
Fenobarbital
Clonazepam
Etosuksimid
b) karakteristik pasien
Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus
dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk
obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin
efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak
24
bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat
pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia subur.
4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling
rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang
terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).
Perlu dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan
dengan melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian
memutuskan apakah selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah
evaluasi dilakukan, baru kemudian dipertimbangkan adanya penambahan dosis.
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi
untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya
terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini
cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi.
Beberapa cara pemberian dosis awal :
˗ Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik
Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan
dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin,
pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada
penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek
samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai
dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu
tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi
selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat
ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali
dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.
˗ Pemberian obat mulai dari dosis terapetik
25
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga
terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan.
Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)
Obat Dosis awal
(mg/hari)
Dosis yang
paling
umum
(mg/hari)
Dosis
maintenance
(mg/hari)
Frekuensi
pemberian
(kali/hari)
Efek samping
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi gusi,
distres lambung, penglihatan
kabur, vertigo, hiperglikemia,
anemia makrositik
Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang, distress
lambung, sedasi, penglihatan
kabur, konstipasi, ruam kulit
Okskarbazepin 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi, diplopia,
hiponatremia, ruam kulit
Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik, ruam, sindrom
steven-johnson, nyeri kepala,
pusing, penglihatan kabur
Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia, kelelahan,
anoreksia, pusing, batu ginjal,
leukopenia
Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB ↓, konstipasi,
diare, gangguan tidur
Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB ↓ , anoreksia, nyeri
kepala, insomnia, hepatotoksik
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB ↓,
konstipasi, mulut kering, sedasi,
anoreksia
26
Clobazam 10 20 10-40 1-2
Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk, kebingungan, nyeri
kepala, vertigo, sinkop
Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2
Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering, pusing, sedasi,
langkah terhuyung, nyeri kepala,
eksaserbasi kejang generalisata
Vigabatrin 500-
1000
3000 2000-4000 1-2
Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia,mulut kering,
penglihatan kabur, mialgia,
penambahan berat, kelelahan
Pregabalin 150 300 150-600 2-3
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik
Levetiracetam 1000 2000-3000 1000-4000 2
5. Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah
diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range
dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara
bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis
obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau
dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai
monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut
dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.
c) Monoterapi
27
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan
epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah
dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat
dalam darah, (3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80%
pasien) (Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa
ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai
dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe
epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama.
Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi
dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan
tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995).
Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di
antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi menurut International League
Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep
monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang
jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya
mekanisme terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai
perangkat untuk menentukan letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE
dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang penting dalam
manajemen epilepsi di kemudain hari.tc "Sekitar 75% kasus yang mendapat
obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping
minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan
memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995). Berbagai faktor yang
mendorong kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah\: (1)
klasifikasi epilepsi menurut International League Againts Epilepsy, (2)
pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4)
ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas, (5) pandangan
baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme terjadinya
bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan
letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi
merupakan unsur yang penting dalam manajemen epilepsi di kemudain
hari."
28
Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi.
Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target mungkin
merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target. Pada suatu
kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target
(Gram, 1995).tc "Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran
penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan
satu target mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai
target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu
OAE untuk tiap target (Gram, 1995)."
d) Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt (1995)
mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan
sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan
vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-
pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat.
Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.
Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam
farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode
of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena
efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan,
misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter.
Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang
berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai
kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional, memerlukan
pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar terapetik dan
kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal dicapai dengan
menggunakan obat-obat yang:
(1) mempunyai mekanisme aksi berbeda;
(2) efek samping relatif ringan;
(3) indeks terapi lebar, dan
29
(4) interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek
samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali
6. Pemantauan terapi
Manajemen umum epilepsi :
a. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat
b. Menentukan dan mengobati penyebab
c. Mengobati serangan :
- Menilai perlunya terapi obat :
- Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang
reversible
- Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui
dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)
- Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah
banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan risiko
tinggi.
- Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai
- Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alcohol, kurang tidur, stress
emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
- Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi
stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan obat
antiepilepsi.
d. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :
- Hentikan kejang
- Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
- Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter
makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus
temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami
30
operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE.
Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi,
dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.
Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan
memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya
menanyakan : berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk
memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat
dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi
memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya)
dan prognosis epilepsy.
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat
kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah
adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi
tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer,
parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan
epilepsy Jackson.
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada
umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan
secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian
jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada
penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Longman. Willkinson. Epilepsy : Diagnosis and Mangement. Oxford Handbook Of Clinical Medicine ed 8. 2010
2. Henry, Thomas MD. 2015. Epilepsy Board Review Manual for Hospital Physician. Diunduh dari: http://www.turner-white.com/brm/burol.htm
3. Richardson, Mark. Classification of Epilepsy. Diunduh dari: https://www.epilepsydiagnosis.org/index.html.
4. David, Ko MD. Medscape, 2015. Epilepsy and Seizure. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1184846-clinical
5. Arifputra, Andy. Epilepsi. Kapita Selekta Kedoktean. Edisi ke-4. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
6. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6.EGC, Jakarta. 2006
32