Post on 28-Nov-2015
POSITIVISTIK
BAB I
PENDAHULUAN
Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern, khususnya abad ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis ini, maka dalam filsafat abad ke-17 munculah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban yang berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut adalah rasionalisme dan empirisme.Empirisme itu sendiri pada abad ke-19 dan 20 berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme. Dalam makalah ini akan dibahas tetntang seluk beluk positivisme dan penilaian atas implikasinya. Positivisme berkaitan langsung dengan perkembangan pola fikir manusia dan ilmu pengetahuan yang lebih kita kenal dengan istilah epistemologi positivistik.
Rumusan Masalah
1. Apa saja ciri-ciri positivistik?2. Apa saja kelebihan dari epistemologi positivistik?3. Kritik-kritik tehadap epistemologi positivistik?
BAB IIPEMBAHASAN
I. POSITIVISTIK
Positivistik merupakan aliran filsafat yaitu positivisme berasal dari kata “positif”, ata positif disini
dapat diartikan dengan factual yaitu sesuatu yang berdasarkan fakta. Positivisme mengutamakan
pengalaman, hanya saja berbeda dengan Empirisme Inggris yang menerima pengalaman
batiniah/subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerima sumber pengetahuan
melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanya mengandalkan fakta-fakta belaka.
Jadi epistemologi positivistik adalah teori pengetahuan yang didasarkan pada penglaman
berdasarkan fakta.
A. Ciri-ciri Positivistik.
Epistemologi positivistik mempunyai ciri-ciri yang bertitik beratkan pada kata positivistik yang
berasal dari salah satu aliran filsafat yaitu positivisme, adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1. Penekanan pada metode ilmiah. Metode ilmiah adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar
tentang realitas. Telah ada upaya-upaya untuk membangun sebuah sistem yang menyatukan seluruh
sains di bawah satu metodologi logis, matematis dan eksperiensial.
2. Positivisme mendasarkan sesuatu pengetahuan atas prinsip verifikasi, sebuah kriteria untuk
menentukan bahwa sebuah pernyataan memiliki makna kognitif. Sebuah pernyataan dikatakan
bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris. Segala pengetahuan haruslah sampai pada tingkat
positif, barulah ia dapat memiliki makna kognitif.
3. Filsafat pada pandangan positivisme hanyalah sebagai analisis dan penjelasan makna dengan
menggunakan logika dan metode ilmiah. Karena matematika dan logika sangat diperlukan untuk
menganalisa pernyataan-pernyataan yang bermakna.
4. Bahasa filsafat mereka bangun dalam sebuah bahasa yang artifisial dan sempurna secara formal
untuk filsafat, sehingga memperoleh efesiensi, ketelitian, kelengkapan seperti yang dimiliki sains-
sains fisika.
5. Ciri positivisme yang cukup radikal adalah penolakan terhadap metafisika. Mereka menolak
metafisika disebabkan hal-hal yang metafisika tersebut tidak dapat diverifikasi secara empiris dan
bukan merupakan tautologi yang bermanfaat. Sesungguhnya tidak ada cara untuk menentukan
kebenaran atau kesalahannya dengan merujuk pada pengalaman.
6. Penolakan positivisme yang sedemikian rupa terhadap metafisika ini juga mempengaruhi pandangan
mereka terhadap agama dan etika. Bentuk agama yang tertinggi adalah evolusinya adalah agama
kemanusiaan (religion of humanity) agama yang tiada merujuk pada Tuhan. Sedangkan etika bagi
mereka adalah bentuk dari pernyataan emosi manusia yang mendiskripsikan sikap penolakan atau
penerimaan terhadap sesuatu, yang semuanya tidak ada standarnya dan hubungannya dengan suatu
yang transenden.
B. Kelebihan dari Positivistik
Adapun kelebihan daripadanya antara lain:
1. Dengan pandangan positivisme maka manusia akan terdorong dengan semangat optimisme untuk
bertindak aktif dan kreatif.
2. Positivisme telah mendorong laju kemajuan di bidang fisik dan teknologi. Karena positivisme
menganggap bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang
mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan
segala kekuatan atau subyek dibelakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang
digunakan untuk menelaah fakta.
3. Dengan munculnya pandangan tersebut, maka lahirlah model-model ilmu pengetahuan yang positif
yang lepas dari muatan spekulatif, beserta hukum-hukumnya yang umum dan dinyatakan berlaku
untuk segala-galanya.
4. Filsafat positivisme sangat berharga dalam usaha untuk lebih memahami implikasi penggunaan ilmu
pengetahuan modern beserta teknologinya yang sangat menentukan hidup dalam kehidupan
manusia dewasa ini.
C. Kritik Terhadap Positivistik
Beberapa kelemahan dari paham positivisme terutama di bidang penelitian yang pada akhirnya
menimbulkan kritik adalah sebagai berikut:
1. Paham positivisme dalam usaha memecahkan suatu masalah di masyarakat bertitik tolak dari konsep,
teori, dan hukum yang sudah mapan yang mungkin tidak relevan untuk situasi sosial yang khas dari
masyarakat yang diteliti dan kurang mementingkan kepentingan praktis.
2. Penelitan lebih bersifat verifikasi terhadap teori-teori yang sudah ada, sehingga manfaat terapan untuk
perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat dirasa sangat terbatas. Menurut Singarimbun (1989)
teori baru tidak akan muncul dan berkembang karena bertitik tolak dari penalaran deduktif. Penalaran
induktif baru digunakan untuk menguji hipotesis kerja dengan data empiris.
3. Kaum positivis mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala sosial di masyarakat tanpa
memperhatikan keadaan individu secara utuh.
4. Metode positivisme biasanya menggunakan pendekatan cross sectional studies dan bukan
longitudinal studies. Penelitian cross sectional adalah penelitian dilaksanakan pada waktu tertentu.
Contoh penelitian cross sectional adalah pelaksanaan sensus penduduk.
5. Responden dibagi ke dalam kategori-kategori tertentu atau klas-klas tertentu berdasarkan klasifikasi
yang sudah ditentukan sebelumnya. Keutuhan responden sebagai individu diabaikan. Jadi
pengelompokan responden tanpa melihat latar belakang mereka.
6. Dalam pengumpulan data dan informasi sering melibatkan banyak peneliti sehingga kurang efisien
dalam pembiayaan atau segi finansial.
7. Analisis dilakukan setelah data dikumpulkan pada akhir penelitian. Umumnya menggunakan analisis
kuantitatif. Analisis kuantitatif terus berkembang sejalan dengan berkembangnya program-program
komputer.
BAB IIKESIMPULAN
1. Secara garis besar epistemologi positivistik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut yaitu: (1) penekanan pada metode ilmiah, (2) mendasarkan sesuatu pengetahuan atas prinsip verifikasi, (3) penolakan terhadap metafisika, dan sebagainya.2. Dengan adanya epistemologi positivistik maka mempunyai kelebihan diantaranya dan yang paling terpenting adalah kemajuan di bidang sains dan teknologi.3. Walaupun terdapat kelemahan-kelemahan ataupun kritik terhadapnya namun penggunaannya di masyarakat sangat luas terutama untuk penelitian sosial. Metode penelitian di masyarakat leebih dikenal dengan “metode survei"
DAFTAR PUSTAKA
Bagoes Mantra, Ida, Prof., Ph.D., Filsafat Penelitian & Metode Penelitian Sosial, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2004.Muhajir, Noeng, Prof., Dr., H., Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Rake Sarasin: Yogyakarta. 1998.Munir, Misnal, Drs., M.Hum., dkk, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2006.S. Praja, Juhaya, Prof., Dr., Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Prenada Media: Jakarta. 2003.Salam, Burhanudin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta: Jakarta. 1997.