Post on 17-Mar-2019
Pesta para mayat
Pagi ini nampak seperti biasanya. Para petani
pada berangkat bersawah dan anak-anak SD pergi
kesekolahnya. Arie dan Habib masih saja tertidur di sofa
mereka, Andi dan Baihaqi tengah asyik menonton acara
berita olah raga pagi. Sedang Edi entah kemana, pagi-
pagi sekali sudah keluyuran entah kemana. Tapi,
entahlah kenapa pagi ini terasa begitu berbeda, padahal
sejak hari pertama juga aku sering meringkuk dan
bersandar di tiang teras seperti ini, mungkin karena
kangen keluarga kali.
Pagi semakin tinggi, cahayanya mulai terasa
panas. Jendela dan korden ruang tamu aku buka hingga
cahayanya menyilaukan Arie dan Habib. Hadeh!
Pekerjaan membuka dan menutup jendela nampaknya
jadi piket setiap pagi dan sore hariku.
Mereka berdua sepertinya terganggu oleh ku
yang membuka tabir jendela. Sinarnya memang terik
pagi ini, tapi apa iya sampai jam segini belum bangun.
Apa mereka tak malu sama bapak dan ibuk yang sedari
pagi buta sudah bangun dan bergegas ke pasar. Hah, pagi
ini memang sungguh indah.
Ku tinggalkan mereka berdua saja, biar sinar
matahari saja yang cukup mengganggu mereka. Dapur
adalah tujuan utamaku, biar ku tebak, pasti mie keriting
yang sudah dingin dan sedikit masam pasti tersedia.
Haduh! Sejak hari pertama, mie seperti ini pasti ada,
sempat terlintas di pikiranku apa mungkin mie seperti ini
adalah makanan khas desa ini. Tapi, apa yang telah
disediakan ibu sikat ajalah. Bersama piring penuh mie
masam dan segelas teh hangat aku menyusul Andi dan
Baihaqi, menonton berita pagi.
“sarapan dulu bro... biar ganteng”. Sapaku
menggoda mereka berdua. Sapaan seperti itu tengah
menjadi tren dikalangan markas tim delapan ini. Semua
ini adalah ulah si Edi yang sering mengucapkannya
saatnya sarapan. Untungnya dia masih tidur, kalau pun
bangun tetap akan ku gunakan sapaan itu untuk
menggoda Edi.
Edi adalah seorang aktifis tua yang satu fakultas
dengan ku. Wajahnya yang kotak dengan kulit dan bibir
tebal hitamnya seolah menandakan bahwa ia adalah
aktifis yang kolot dengan idealisnya yang naif, cara
bicaranya yang ngebass seakan ia sering teriak-teriak tak
jelas di pinggir jalan adalah kesan pertama yang nampak
dari wajahnya, namun setelah beberapa hari tinggal satu
rumah ternyata ia orangnya humoris dan cukup konyol,
ia sering sekali menggoda anggota tim cewek, terutama
si Dian, ya kerena memang dialah yang paling cantik di
tim ini.
Ku duduk di samping Andi yang memasang
wajah lesu karena belum mandi. Ku tawari saja untuk
sarapan biar ganteng, tapi Bai menimpaliku bahwa ia
sudah sarapan pagi-pagi sekali tadi, sebelum subuh.
Gokil, sarapan apa sahur. Tak lama berselang Bai pun
berkunjung ke dapur dan menyusulku sarapan, sarapan
yang damai dan penuh aura kegantengan.
Jujur saja hari ini aku bingung mau ngapain,
mana ketuanya masih tidur lagi, seolah tak ada beban
sama sekali sebagai ketua untuk mengkoordinir anak
buahnya. Divisi pendidikan yang aku pegang untuk hari
ini memang belum ada kegiatan karena memang SD juga
lagi mengadakan ujian tengah semester, jadi devisi
pendidikan akan bergerak saat ujian tengah semester itu
berkahir. Tapi, ya sudahlah nonton tivi lagi, nonton
Spongebob.
Sebenarnya aku merasa mual kalau harus setiap
sarapan pasti dengan mie masam ini, lendir-lendirnya
bikin geli di tenggorokan. Tapi anehnya baik Andi
maupun Bai merasa oke-oke saja menyantapnya meski
mereka juga merasakan kalau mienya memang masam,
apa mereka makan hanya sekedar makan, entahlah.
Setelah sarapan selesai pun aku enggan untuk
lekas mandi, walaupun sedari tadi para cewek yang
berseliweran1 untuk mandi mengingatkan untuk segera
mandi, mungkin karena tak tahan melihat wajah lusuh
1 Lalu lalang/lewat-lewat terus
kami yang selepas sarapan masih saja terpaku di depan
tivi. Tapi itulah nikmatnya hidup di desa yang damai ini.
Jam tujuh lebih, Bai meninggalkan kami berdua
dan bergegas mandi, dan aku berencana menyusulnya
setelah ia selesai mandi. Arie bangun dari tidurnya,
seperti biasanya saat ia bangun, pasti ngolet2 dengan
kencang. Hadeh! Menurutnya ia masih tertidur di
kostnya mungkin, apa perlu ia ngolet sambil teriak
begitu, sungguh tak etis.
“sarapan! sarapan!”.
Teriak Arie yang sambil jalan menuju ke dapur
dengan telanjang dada dan sarung lusuhnya, tulang-
tulang rusuknya yang timbul simbol kesengsaraan hidup.
“sarapan pak! Sarapan dulu biar guanteng!”
Sapa Arie pada ku dan Andi. Tak ku hiraukan
karena memang aku tau itu hanya sekedar basa-basi ala
2 Merenggangkan tubuh setelah bangun dari tidur
orang jawa yang benar-benar basi. Andi pun tak
menghiraukannya dan tetap terpaku pada layar tivi yang
menampikan acara musik yang berisik dengan penonton
bayarannya.
“pak, dah mandi belum?”. Tanya Arie pada ku.
“belum”. Jawabku santai.
“habis ini ikut aku ya ke kantor kelurahan”
“hah! Aku? En, kau ikut juga ya”. Pintaku pada
Andi.
“ogah! Habis ini aku mau keluar ma mas Habib”
Jam sembilan kurang lima belas, aku bergegas
mandi guna mempersiapkan diri berkunjung ke kantor
kelurahan. Tapi pagi-pagi ke kelurahan pasti bisa ku
tebak nanti hasilnya. Jam sembilan kurang satu menit
telah ku selesaikan mandiku, Arie telah siap dengan
leher yang terlilit handuk kuningnya. Sambil menunggu
rambut keritingku kering, nongkrong di depan tivi adalah
wajib.
~~~
Jaket biru dan topi biru mirip topi anak SMP ku
pakai, sebenarnya aku tak ingin mengenakannya karena
warnanya yang memang mirip dengan topi SMP, cukup
jaketnya saja yang ingin ku pakai, tapi Arie tetap
menyuruhku memakainya itung-itung menghormati
warga desa.
Kami berjalan berdampingan laksana karib, pagi
itu banyak sekali santri laki-laki dari dusun Kedung Lue
yang berkerumun di lapangan depan kantor kelurahan.
Aku dan Arie berhenti sejenak di halaman balai desa
melihat-lihat kerumunan yang dibuat oleh para santri.
Seperti dugaanku, jam segini pasti kantor kelurahan
masih tertutup rapat. Hadeh! Apa saja yang mereka
lakukan sampai jam segini masih belum buka.
Aku dan Arie masih menunggu perangkat desa
atau pak kadesnya untuk membuka kantornya. Masa iya
sudah siang gini masih belum buka.
“yo...! mas-mas KKN!”. Sapaan keras dan sok
akrab dilempar ke kami, Arie dengan gaya sok akrabnya
juga membalas sapaan itu, sementara aku hanya
tersenyum menanggapi sapaan para santri tadi. Ternyata
para santri tersebut adalah santri dari pak Rokhim yang
kami temui saat pertama kami berkunjung ke rumah para
tetua desa. Mereka tengah membangun Ka’bah di
lapangan guna melakukan latihan haji.
Tak lama kemudian melintaslah pak Rokhim
yang mengendarai Satria FUnya dengan santai menuju
ke lapangan dan mengamati kegiatan para santrinya. Aku
dan Arie masih menunggu perangkat desa yang bertugas
di kantor. Sampai jam sepuluh lebih belum ada tanda-
tanda akan adanya perangkat desa yang hadir. Arie dan
aku lantas duduk di teras balai desa sembari ngobrol-
ngobrol dan memandangi kegiatan para santri di
lapangan.
Gila, lama amat nungguin para perangkat desa.
Kalau seperti ini terus mending pulang aja kalau
perangkat desa aja kayak gini. Aku mengeluh, Arie pun
ikut mengeluh. Apa iya kantornya harus selalu buka
siang, hadeh!
Sekitar jam setengah sebelas salah seorang
perangkat desa tiba, dengan baju batik khas biru yang
dikenakannya. Apa ia tak merasa malu ya dengan
bajunya yang khas itu. Perangkat desa tertua yang ada di
sini dan merupakan tangan kanan pak kades. Ia
tersenyum ramah ketika melihat kami, menunduk-
nundukkan kepala seolah meminta maaf karena datang
terlambat, bukan, tapi sangat terlambat.
Dari bangku di teras kami berpindah ke bangku
ruang tamu, itupun masih harus menunggu lagi karena
pak kadesnya belum tiba, tapi setidaknya ada segelas air
mineral dalam kemasan yang tersaji. Ruang tamu kantor
desa yang lusuh, tembok-tembok yang dulu putih
kelihatan kusam nan coklat. Papan-papan administrasi
terbiar termakan waktu, penuh debu dan jaring laba-laba.
Bahkan data-datanya pun masih utuh dari tahun 1956
meski tinta yang menempel di white board-nya samar-
samar. Ini pasti kades-kadesnya cinta dengan nuansa
nostalgia, atau mungkin.
Tak lama kemudian perangkat desa yang lainnya
menyusul secara bergantian. Capek juga kalau setiap
perangkat desa yang datang harus kami senyumi dan
salami satu persatu, duduk sebentar lalu bangkit lagi,
serasa dihukum oleh hukum adat.
Akhirnya, yang tunggu datang juga. Pak kades
dengan motor Scorpio-nya terlihat dari jendela ruang
tamu. Arie yang sedari tadi ngerokok langsung
membunuh rokoknya dan berdiri menyalami pak kades.
Kami pun ikut ke ruang khususnya guna membicarakan
program kerja lagi.
Di dalam ruang pak kades kami saling
berhadapan, pak kades membaca proposal yang Arie
ajukan, ia membaca sejenak lantas meletaknya di atas
meja, ia mengangguk-ngangguk tanda setuju dengan
program kerja tim kami. Sebenarnya itu saja sudah
cukup jika kami ingin meninggalkan kantor balai desa,
tapi emang dasar pak kades ini orangnya supel atau
cerewet, ada saja bahan omongan yang ia bicarakan dan
si Arie pun orangnya juga gampang supel, sudahlah,
jadilah mereka itu saling jual beli obrolan, sementara aku
hanya mendengarkan omongan mereka dan sesekali
menanggapi obrolan mereka.
“jadi, nanti malam udah pada siap ronda malam
ya?”.
“siap pak!”.
“jadi nanti malam siapa yang ikut ronda?”.
“rencananya sih saya , Bilal dan Edi pak”.
“eh! Aku ikut?”.
Hadeh, males banget sebenarnya aku harus ikut
ngeronda, inginnya sih hari berikutnya biar bisa denger-
denger dulu cerita dari yang lainnya dulu. Tapi ya
sudahlah jalani saja.
~~~
Sore ini terjadi seperti biasanya, kami para
cowok selalu pergi ke masjid bersama-sama sekadar
menghormati tuan rumah, aku sih yakin kalau di kost-
kostan pasti pada gak pernah pada sholat berjamaah di
masjid, dan sekalian bersosialisasi dengan warga desa
bahwa kami ini ada di desa kalian. Lepas ashar kami pun
tak langsung balik ke markas, tapi ngobrol-ngobrol dulu
dengan beberapa warga yang masih di teras masjid.
Seperti biasa, hanya Arie, Bai yang lebih banyak bisa
mengajak orang lain mengobrol, sementara aku dan Andi
hanya mendengarkan mereka saling adu obrolan.
Sebenarnya sore di desa ini sangat menenangkan,
sering sekali akhir-akhir ini aku duduk di teras sembari
menyesap lagu-lagu mp3 yang ku sumbat di telinga,
memandangi pepadian yang masih muda bergoyang
tertiup angin senja, sungguh damai. Tak hanya aku, Tari
pun juga sering di teras main video call dengan pacarnya
yang kerja di Jepang. Alasannya simple, karena jika di
dalam rumah, operator apapun, operator secanggih
apapun, operator seluas apapun jaringannya pasti akan
kehilangan sinyalnya. Jika keluar dari pintu sinyal secara
perlahan akan datang, rumah yang aneh.
Mendengarkan musik di senja hari sampai
maghrib tiba mungkin harus ku masukkan ke dalam list
harianku selama di sini, karena ini sungguh nikmat,
jarang sekali aku bisa merasakan kedamaian seperti ini.
Sore adalah peristirahatan lamunan, waktu yang paling
nikmat untuk menikmati semilir angin, yang paling
mulia bagi para pelamun.
Langitku menguning, pepadian yang hijau mulai
menghitam tertutup bayangan bulan, malam ini adalah
purnama pertama kami di sini. Dan gema-gema adzan
magrib mulai sahut menyahut, kami para cowok
bergegas pergi ke masjid lagi. Aku ingin segera
menyelesaikan magrib ini karena ada tugas dari Arie
yang dipasrahkan kepada ku, sungguh merepotkan.
Seperti malam-malam yang lalu, malam di desa
Pesaren sungguh sunyi dan remang. Selepas isya’ aku
memang sengaja tidur lebih awal karena harus jaga
malam kali ini. Jam sebelas, Andi dan Habib masih
betah nongkrong di depan tivi, sementara Arie dan Edi
masih tertidur di sofa.
Dengan setengah sadar aku berjalan
menghampiri Andi dan Habib untuk sekedar
mengumpukan nyawa agar melek saat jaga malam nanti.
Mereka berdua ternyata lagi nonton acara yang gak
penting, sedari tadi gonta-ganti channeli terus.
“gimana Lal? Jaga malam ya?”. Ucap Habib
menggodaku.
“hah...! males banget! Gantian gih, kau yang jaga
aja dari pada nonton-nonton gak jelas gitu”
“sorry Lal, udah punya jatah sendiri. Hehehe...”
Benar sih sudah punya jatah sendiri-sendiri, tapi
lebih enak kayaknya seperti Baihaqi yang tengah tertidur
lelap di depan tivi beralaskan tikar, damai. Untuk desa
sesunyi ini dan sedamai ini kenapa harus ada ronda
malam, memang apa yang menarik para pencuri untuk
beraksi di desa ini. Pikirku melayang sembari menatap
layar tivi yang gonta-ganti channel terus.
Pukul setengah dua belas malam, Arie dan Edi
masih tertidur juga. Ya ampun, mereka itu niat gak sih
jaga malam? Apa aku juga yang harus membangunkan
mereka. Kaki, badan ku tendang-tendang saja bermaksud
membangunkan Arie, males banget bersuara ditengah
keheningan ini. Tak lama kemudian ku tendang-tendang
Edi supaya bangun, mereka bangun dengan nyawa yang
mengepul-ngepul tak karuan, raut mukanya seperti
orang-orangan sawah.
Jam dua belas lebih, kami bertiga keluar rumah.
Hawa dingin yang turun dari puncak gunung mencabik-
cabik jaket biru kami, jaket kami tak bisa melindungi
kami dari hawa dingin. Arie dan Edi membawa sarung
motif kotak-kotak yang diselempangkan, hadeh, apa
mereka tak tau mode.
Kami harus berjalan ke rumah pak kades karena
kami memang janjian di sana. Berjalan bertiga
menembus kegelapan malam ini sebenarnya
menyenangkan. Kapan lagi bisa bernostalgia seperti
waktu pramuka dulu, yang harus menyesuri jejak tengah
malam karena perintah kakak pembina yang merepotkan.
Jarak rumah pak kades dari markas sekitar dua
makam. Kami terus berjalan sampai di makam pertama,
jalanan petang karena hanya ada bolam 5 watt yang
susah payah berpendar. Nisan-nisan yang rame saat
siang tertelan gelap. Iseng-iseng ku sorotkan lampu
senterku ke arah pemakaman senbari terus berjalan, tak
ada apa-apa, hanya nisan dan nisan. Dalam hatiku
sebenarnya berharap bisa melihat salah sebiji sosok
hingga bisa membuat dua temanku ini tercengang.
Salam-salam kepada orang mati terus Arie umbar
sedari tadi, ku anggap itu hanya sebagai penguat
psikologinya yang mungkin lagi ketakutan. Sedangkan
Edi orangnya dari tadi juga santai saja, seperti ia tak
terlalu takut dengan suasana ini seperti aku. Kami
berbelok, tak lama lagi makam kedua akan kami lewati.
Salam-salam semakin kencang Arie lontarkan hingga
membuat Edi tertarik perhatiannya.
“ngapain tho Des3? Kayak cewek aja”. Timpali
Edi.
“santai aja ngapa des”. Imbuhku.
“ya nggak ngapa-ngapa. Kitakan musti salam
kalau masuk ke kuburan”. Jawab Arie.
“ya tapi gak perlu sekencang itu. Malah jadi lucu
dan gak sopan Des. Ntar para penghuni makam malah
tertawa”. Timpal Edi.
Sejenak mereka berdua terdiam dan terus
berjalan di belakangku. Kabut yang turun terasa semakin
tebal dan dingin. Makam kedua ini pun sama, petang dan
remang-remang. Ku percepat langkahku karena ternyata
lama-lama aku merinding juga, mungkin karena hawa
dingin. Arie dan Edi pun ikut menyusul langkah kakiku
yang cepat dengan meneriaki dulu sebelum ikut berlari-
lari kecil. Kami sampai dengan nafas yang cukup
3 Des, panggilan karena Arie seorang Kordes (Koordinasi Desa)/ketua tim
terengah-engah karena berlari-lari kecil, rumah pak
kades dan sekitarnya sangat sepi, aku merasa seperti
alien yang tengah terjatuh di suatu belantara sunyi
dengan kabut tipis yang menepis garis iris, sepanjang
mata memandang hanya kabut-kabut tipis.
Kami bertiga berdiri di depan pintu gerbang
rumah pak kades. Kami dilanda kebingungan, mau
berteriak takut mengganggu tetangga, mau menggedor-
gedor pintu gerbang takut mengganggu tetangga dan
dikira pencuri. Akhirnya Arie me-miss call pak kades
supaya cepat keluar. Cukup lama Arie mengotak-atik
hpnya, hadeh!, apakah pak kades lupa dengan janjinya
untuk jaga malam atau ia sengaja berniat mengerjai kami
ini yang belum lama tinggal di desa supaya tidak betah.
Arie dan Edi jonggok, entah karena kedinginan
atau kesal dengan ulah pak kades yang tidak muncul-
muncul, asal jangan ia muncul secara tiba-tiba di depan
kami saja. Kabut di jalanan masih sama, melayang-
layang menghibur kami.
“hadeh! Pak kades niat gak sih?”. Gerutuku
kesal.
“sabar ae pak, paling lagi ... sama istrinya,
hehehe...!”. balas Arie.
“haha... raine! Coba telpon lagi Des. Kalo gak
muncul-muncul mending pulang aja”. Jawabku tak
sabar.
“iyo Des, coba telpon lagi”. Tambah Edi.
Dengan gaya jongkoknya Arie mencoba
menelpon lagi pak kades, tapi masih saja tak ada respon,
hadeh!. Pukul satu kurang lima menit, hadeh, sudah dini
hari gini kami bertiga masih di depan rumah pak kades
menunggunya, payah!.
“YO MAS!!!”
Sinar kemuning menyoroti kami hingga buta
sejenak. Ternyata itu adalah orang yang sedari tadi kami
cari, si pak kades.
“maaf mas, sudah lama ya nunggu saya? hehe...”
“iya pak lama nunggunya dari tadi”. Jawab Arie.
“saya sudah keliling-keliling dari tadi. Barusan
ingat kalau mas-masnya ini mau ikut jaga malam jadi
pasti kalian ke rumah dulu, ya jadi saya putusan kemari”.
Waktu menunggu kami berakhir dengan
munculnya pak kades, dan kami pun mulai berkeliling.
Kami berempat berjalan meninggalkan haluan
rumah pak kades. Kami berjalan menembus gelap malam
dipandu pak kades, jalanan setapak kami lewati, padang
sawah. Ya, kali ini kami membelah gelap persawahan.
Suara desir angin malam dan suara-suara binatang
malam mengiringi. Hawanya semakin dingin karena
hembusan angin malam, aku menggigil sampai gigiku
bergemeretak dan tiap nafasku mengeluarkan asap bag
orang ngerokok. Dalam masa dingin ini, sempat terlintas
di benakku bahwa ini pasti bercanda, masa jaga malam
hanya pak kades sendiri, tanpa ada warga lain yang
menemaninya.
Tanpa sadar areal persawahan telah kami lampaui
dan kini mulai memasuki areal pemakaman dan
perumahan penduduk. Seperti biasa, gelap dan sunyi
menghiasi pemandangan, kami beristirahat sejenak di
teras rumah salah satu warga, menghadap pemakaman
sembari mengobrol. Arie sepertinya tak seperti saat
berangkat, ia nampak lebih berani dan tak sering
melempar salam-salam saat melewati makam, malah ia
terasa sangat cerewet bagiku saat tengah mengobrol
dengan pak kades, sungguh membosankan.
GEDEBUUK!!!
Suara seperti benda jatuh mengagetkan ku,
hingga membuat Arie menjadi latah. Aku yang
penasaran langsung menyoroti arah asal suara tersebut
yang berada di sebelah rumah tempat kami beristirahat.
Kaki ku langkahkan untuk memeriksanya, tapi tak ku
dapati apapun. Aneh, suara apa ya tadi? Entahlah.
Ku putuskan saja untuk kembali ke teras tempat
kami beristirahat tadi, namun yang ada hanya pak kades
dan si Arie yang tampak kebingungan dengan kepala
yang menoleh-noleh kekanan dan kekiri, seperti
kepanikan telah menyandera isi kepala mereka.
“lho... Edi kemana Des?”.
“mbuh4! Tiba-tiba saja Edi gak ada pas
5 ada
suara tadi”.
“loh! Kok bisa”.
Arie nampak semakin panik karena sebelumnya
Edi duduk di sebelahnya dan hilang begitu saja. Padahal
sisi sebelah Edi adalah tembok, tak mungkin rasanya jika
ia ditelan bulat-bulat oleh si tembok, kalaupun ia lewat
di depan Arie saat terdengar suara seperti benda jatuh itu
pasti ia juga akan menyadarinya walaupun ia tadi
terlatah-latah.
Suasana menjadi canggung dan sedikit
mencekam, aku dan Arie hanya terjonggok sembari
4 entahlah
5 saat
sekali-kali berteriak memanggi Edi, sementara pak kades
hanya terdiam duduk dibangku teras, kemana juga warga
sekitar dan orang pemilik teras rumah, kok gak keluar-
keluar padahal kami dari tadi juga berteriak-teriak.
####
PENASARAN? SILAHKAN BELI BUKUNYA
HANYA DI NULISBUKU.COM