Post on 02-Mar-2019
2
PERSEPSI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PADA
KARYAWAN YANG BERESIKO TINGGI MENGALAMI KECELAKAAN
KERJA DI PERTAMINA UP V BALIKPAPAN
Rilia Maya Wangi Muh. Bachtiar
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menggali persepsi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada karyawan yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja. Secara umum, K3 yang dilaksanakan di Indonesia bisa dikatakan belum maksimal. Pertamina UP V Balikpapan merupakan bagian dari PT. Pertamina yang merupakan unit pengolahan, sehingga memiliki tingkat bahaya yang cukup tinggi bagi para karyawan yang bekerja di lapangan. Bagaimanakah persepsi karyawan yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja? Bagaimanakah persepsi mereka mengenai peraturan yang berlaku, fasilitas yang ada dan pelaksanaannya? Bagaimanakah kesediaan para karyawan untuk melaksanakan peraturan yang berlaku? Apabila terjadi pelanggaran, mengapa hal tersebut terjadi? Hal-hal tersebut menjadi pertanyaan-pertanyaan yang ingin digali dalam penelitian ini. Subjek penelitian ini adalah karyawan-karyawan Pertamina UP V Balikpapan yang bekerja di bagian produksi. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah wawancara. Responden wawancara berjumlah delapan orang. Dari wawancara tersebut didapatkan gambaran mengenai persepsi karyawan terhadap K3, antara lain: 1) Peraturan yang berlaku sudah bagus bagi karyawan, 2) Fasilitas yang tersedia memadai bagi karyawan, 3) Karyawan sudah memahami arti penting K3 bagi keselamatan mereka, 4) Sebagian besar karyawan bersedia menjalankan peraturan yang berlaku, 4) Pelaksanaan K3 di lapangan banyak tergantung pada situasi dan penilaian karyawan atas situasi tersebut. Rincian mengenai hasil penelitian dideskripsikan dalam laporan penelitian ini. Kata kunci: Persepsi, kesehatan dan keselamatan kerja, karyawan yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja
3
Pengantar
Latar Belakang Masalah
Penerapan K3 dalam perusahaan menjadi sangat penting karena K3 erat
kaitannya dengan persoalan yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, yaitu
kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja merupakan fenomena yang cukup sering
terjadi dalam dunia kerja, dan dapat terjadi baik pada pekerjaan di lapangan
maupun di kantor. Kematian, cacat, cedera, penyakit, dan lain-lain yang terjadi
akibat kecelakaan kerja bertentangan dengan dasar kemanusiaan. Oleh karena itu,
atas dasar landasan UUD 1945, lahir undang-undang tentang kesehatan dan
keselamatan kerja (Suma'mur, 1987). Perusahaan sebagai komponen kedua
melakukan penerapan dan praktik keselamatan kerja (Suma'mur, 1987).
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan di Indonesia
belum bisa dikatakan maksimal. Standar keselamatan kerja di Indonesia sampai
dengan tahun 2001 ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negara-
negara Asia Tenggara lainnya. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang
belum dilaksanakan secara maksimal di Indonesia juga terlihat dari masih
banyaknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Indonesia dan masih belum
maksimalnya penanganan yang diberikan atas kasus-kasus kecelakaan kerja yang
terjadi. Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang masih rendah di
Indonesia dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan, mulai dari biaya, dasar
hukum, alasan kepraktisan sampai pada tingkat kesadaran untuk melaksanakan K3
itu sendiri. Keselamatan kerja sendiri memiliki latar belakang sosio-ekonomis
dan kultural yang sangat luas. Tingkat pendidikan, latar belakang kehidupan yang
4
luas, seperti kebiasaan-kebiasaan, kepercayaan-kepercayaan, dan lain-lain erat
kaitannya dengan pelaksanaan keselamatan kerja (Suma'mur, 1987).
PT. Pertamina merupakan perusahaan negara yang bergerak di bidang
perminyakan dan pertambangan. Pertamina UP V Balikpapan merupakan salah
satu cabang unit pengolahan PT. Pertamina yang terletak di kota Balikpapan,
Kalimantan Timur. Sebagai salah satu cabang dari PT. Pertamina, Pertamina UP
V Balikpapan juga berkewajiban untuk menerapkan peraturan kesehatan dan
keselamatan kerja yang berlaku di Pertamina, yang dikenal dengan nama
Kebijakan Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan (K3LL).
Potensi bahaya terkandung dalam kegiatan yang dijalankan oleh Pertamina UP V
Balikpapan. Hal ini dikarenakan bahan-bahan yang digunakan, diproduksi, diolah,
diangkut, dan dipasarkan oleh Pertamina UP V Balikpapan sebagai unit
pengolahan, umumnya berbahaya dan beracun. Kesalahan pengendalian operasi
dapat menimbulkan insiden dalam bentuk kecelakaan, kebakaran, peledakan,
penyakit akibat kerja, pencemaran lingkungan maupun gangguan operasi. Insiden
ini, selain dapat mengakibatkan korban jiwa, kerusakan harta dan lingkungan
hidup, juga dapat menurunkan daya saing maupun citra perusahaan (Kebijakan
Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan PT. Pertamina
(PERSERO), 2004).
Kecelakaan kerja kategori ringan tercatat masih terjadi di Pertamina UP V
Balikpapa, dalam waktu lima tahun terakhir ini. Dalam penelitian ini, penulis
ingin menggali bagaimana persepsi karyawan Pertamina UP V Balikpapan, yang
beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan kerja terhadap kebijakan
5
keselamatan dan kesehatan yang berlaku di Pertamina UP V Balikpapan dan
sejauh mana persepsi tersebut kemudian membentuk perilaku karyawan dalam
menyikapi kebijakan tersebut.
Persepsi memiliki peran penting dalam studi mengenai perilaku organisasi.
Hal ini dikarenakan perilaku seseorang didasarkan pada persepsi mereka
mengenai apa realitas itu, bukan mengenai realitas itu sendiri (Robbins, 2001).
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu
proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Stimulus tersebut
kemudian diinterpretasikan dan diorganisasikan oleh individu, sehingga individu
tersebut menyadari dan mengerti mengenai apa yang diindera tersebut, dan proses
ini disebut dengan persepsi (Walgito, 2002). Persepsi terhadap satu stimulus yang
sama, dapat berbeda-beda pada setiap orang yang menerimanya. Persepsi dari
karyawan itu yang akan menjadi dasar perilakunya, yang dalam hal ini ia mungkin
akan mengindahkan peraturan yang berlaku dan tidak mengenakan alat pengaman.
Persepsi
Persepsi merupakan reaksi seseorang terhadap stimulus yang bersifat khas.
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu
proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Stimulus tersebut
kemudian diinterpretasikan dan diorganisasikan oleh individu, sehingga individu
tersebut menyadari dan mengerti mengenai apa yang diindera tersebut, dan proses
ini disebut dengan persepsi (Walgito, 2002). Robbins (2001) menyatakan bahwa
persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu-individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
6
kepada lingkungan mereka. Davidoff (Walgito, 2002) menyatakan bahwa dengan
persepsi, individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan
diri sendiri. Persepsi, berdasarkan berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan
sebagai tanggapan atau reaksi seseorang terhadap stimulus tertentu, diperoleh
dengan bantuan penginderaan untuk kemudian diinterpretasi dan diorganisir oleh
individu, sehingga memberikan makna. Persepsi kesehatan dan keselamatan kerja
dalam penelitian ini diartikan sebagai pemahaman, pandangan, dan reaksi
(tanggapan, sikap) individu terhadap stimulus-stimulus (fisik maupun non fisik)
yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, baik sebagai ilmu
pengetahuan maupun penerapannya.
Matlin (1983), berdasarkan berbagai pendekatan di atas menyimpulkan
bahwa ada empat tema yang terlibat dalam proses persepsi, yaitu alat indra yang
berbagi kesamaan antara satu dengan yang lainnya, stimuli yang kaya akan
informasi, sistem sensori manusia yang berada dalam keadaan baik dalam
mengumpulkan semua informasi mengenai stimuli, serta pengetahuan terdahulu,
hubungan dan pengharapan yang membantu dalam pembentukan persepsi.
Walgito (1994) menyatakan bahwa persepsi merupakan aktivitas yang menyatu
dalam diri individu, oleh karena itu seluruh apa yang ada dalam diri individu
seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan aspek-
aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut mempengaruhi persepsi.
Walgito (1994) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi individu
mengadakan persepsi berasal dari dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
Kedua faktor ini akan saling berinteraksi dalam individu mengadakan persepsi.
7
Faktor internal berupa keadaan dalam diri individu tersebut, baik yang
berhubungan dengan segi jasmaniah maupun yang berhubungan dengan segi
psikologis (pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan
motivasi), sedangkan faktor eksternal berupa faktor stimulus itu sendiri dan
faktor lingkungan di mana persepsi itu berlangsung. Berkaitan dengan persepsi
terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, faktor-faktor eksternal tersebut dapat
berupa peralatan teknis, lingkungan kerja, sistem manajemen dan pekerjaan itu
sendiri (Anoraga, 2002).
Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Istilah kesehatan merujuk pada kondisi fisik, mental, dan stabilitas emosi
secara umum dan istilah keselamatan merujuk pada perlindungan terhadap
kesejahteraan fisik seseorang (Mathis dan Jackson, 2002). Leon C. Megginson
(dalam Mangkunegara, 2002) menyatakan bahwa istilah keselamatan kerja
mengacu pada kondisi yang aman dari resiko mengalami sakit, cedera, atau
kehilangan/kerugian di tempat kerja, dan istilah kesehatan kerja mengacu pada
kondisi bebas dari gangguan fisik, emosi, mental atau rasa sakit yang disebabkan
oleh lingkungan kerja. Ditinjau dari segi keilmuan, kesehatan dan keselamatan
kerja dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha
mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(Manulang, 1995).
Aspek-aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), berdasarkan
pengertian dan penjelasan dalam Anoraga (2002), dapat meliputi hal-hal berikut
ini:
8
a. lingkungan dan sarana kerja yang aman
b. peraturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang berlaku
c. kesediaan pekerja dalam menjalankan peraturan K3
d. motivasi kerja
e. aspek psikologis (kecocokan atau ketidaksukaan pada pekerjaan)
f. sistem manajemen K3
Kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian bagi karyawan sendiri,
pengusaha dan masyarakat (Batubara, 1988). Silalahi & Silalahi (1991)
menyatakan bahwa akibat kecelakaan kerja dapat dibagi atas dua kategori besar
yaitu kerugian yang bersifat ekonomis dan kerugian yang bersifat non-ekonomis.
Kerugian-kerugian akibat kecelakaan kerja menurut Koeshartono & Junaedi
(2005) adalah kerusakan, kekacauan organisasi, keluhan dan kesedihan, kelainan
dan cacat serta kematian.
Individu berperilaku dengan suatu cara tertentu yang didasarkan tidak pada
cara lingkungan luar yang sebenarnya tetapi lebih pada apa yang mereka lihat atau
yakini (Robbins, 2001). Suatu perusahaan mencanangkan peraturan kesehatan dan
keselamatan kerja yang ketat demi keamanan karyawan-karyawannya dan
mempertahankan efektivitas produksi perusahaannya. Namun, meskipun ada
usaha seperti itu dari pihak perusahaan, jika seorang karyawan meyakini bahwa
peraturan tersebut hanya menganggu pekerjaannya, maka ia akan berperilaku
sesuai dengan keyakinannya.
9
Karyawan yang Beresiko Tinggi Mengalami Kecelakaan Kerja
Karyawan diartikan sebagai pekerja, pegawai. Employee, menurut
Sungguh (1992) dapat diartikan sebagai orang yang bekerja secara kontinyu untuk
mendapatkan upah atau gaji. Resiko dalam Oxford (1980) diartikan sebagai
kemungkinan akan terjadinya bahaya atau menderita cedera atau kehilangan.
Karyawan yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja dapat diartikan
sebagai orang yang bekerja untuk suatu perusahaan demi mendapatkan imbalan
berupa gaji, yang dalam pekerjaannya memiliki kemungkinan tinggi mengalami
kecelakaan kerja. Silalahi & Silalahi (1991) yang menyebutkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi kecelakaan kerja ada dua, yaitu unsafe behavior
(perilaku tidak aman) dan unsafe condition (lingkungan/kondisi tidak aman).
Berkaitan dengan perilaku tidak aman, ada tiga penyebab terjadinya kecelakaan
kerja yaitu: karyawan tidak mengetahui tata cara yang aman atau perbuatan-
perbuatan yang berbahaya; karyawan tidak mampu memenuhi persyaratan kerja
sehingga terjadi tindakan di bawah standar; dan karyawan mengetahui seluruh
peraturan dan persyaratan kerja namun tidak mematuhinya. Selain itu
ditambahkan pula sikap-sikap yang tidak memenuhi syarat keamanan sebagai
berikut: karyawan segan/tidak memakai alat pelindung yang disediakan;
melanggar peraturan K3 dengan sengaja; tergesa-gesa dan kurang berhati-hati
dalam pekerjaan; bersikap kasar, bergurau atau bercanda sambil bekerja; tidak
memahami arti kerugian bagi perusahaan maupun dirinya (Silalahi & Silalahi,
1991).
10
Kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian bagi karyawan sendiri,
pengusaha dan masyarakat (Batubara, 1988). Pertambangan dan pengolahan
minyak bumi adalah satu kekhususan yang kompleks meliputi eksplorasi dan
produksi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan (Suma'mur,
1986). Dalam proses tersebut, terdapat berbagai hal seperti rawannya minyak
terhadap bahaya kebakaran, pengotoran lingkungan kerja dan umum oleh bahan-
bahan minyak, penggunaan berbagai bahan kimia dan keluarnya gas-gas dan uap-
uap ke udara pada proses pemurnian dan pengolahan, serta pencemaran udara oleh
pembakaran gasolin (Suma'mur, 1986). Kilang sebagai lingkungan kerja memiliki
sumber potensi bahaya yang dapat menimbulkan resiko kecelakaan, kebakaran
dan pencemaran (Petunjuk Umum Keselamatan Kerja Kontraktor, 2006). Dalam
sektor pertambangan, mesin dan alat mekanik banyak digunakan, terutama
produksi minyak yang menggunakan peralatan yang modern (Suma'mur, 1986).
Dalam operasinya, tidak jarang alat-alat produksi ini mengeluarkan kebisingan,
serta memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi. Bahaya-bahaya yang ada di
lingkungan kilang sendiri dapat berupa bahaya kebakaran, tumpahan minyak,
bocoran gas atau bocoran gas beracun (Pedoman Penanggulangan Keadaan
Darurat PT. Pertamina (PERSERO) UP V, 2003). Berdasarkan penjelasan di atas,
karyawan yang bersiko tinggi mengalami kecelakaan kerja dalam penelitian ini
adalah karyawan yang dalam lingkungan kerjanya menghadapi bahaya kebakaran,
peledakan, tumpahan minyak, kebocoran gas, kebocoran gas beracun, kebisingan
serta temperatur yang tinggi.
11
12
Dinamika psikologis persepsi karyawan terhadap Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) pada bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
garis penghubung 1 menjelaskan hubungan antara aspek K3 dengan persepsi
dimana aspek-aspek tersebut merupakan hal-hal yang dipersepsi dan membentuk
persepsi terhadap K3. Persepsi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
sebagaimana yang ditunjukkan oleh garis penghubung 2 dan 3. Faktor internal
dapat berupa keadaan dalam diri individu tersebut, baik yang berhubungan dengan
segi jasmaniah maupun yang berhubungan dengan segi psikologis (pengalaman,
perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi), sedangkan faktor
eksternal berupa faktor stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan di mana
persepsi itu berlangsung.
Garis penghubung 4 menjelaskan bahwa persepsi terhadap K3 membentuk
pelaksanaan di lapangan, yang terbagi menjadi dua yaitu pelaksanaan sesuai
dengan peraturan (garis penghubung 6) dan pelaksanaan yang menemui kendala
(garis penghubung 5). Pengaruh kendala terhadap pelaksanaan di lapangan
ditunjukkan oleh garis penghubung 7, sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan sesuai dengan peraturan ditunjukkan oleh garis
penghubung 8.
Garis penghubung 9 menunjukkan bahwa pelaksanaan di lapangan yang
menemui kendala mendorong terjadinya pelanggaran. Pelanggaran yang terjadi
berupa karyawan yang tidak mengenakan alat keselamatan. Pelanggaran dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja ditunjukkan oleh garis penghubung 10.
Kecelakaan kerja sendiri berkaitan erat dengan aspek-aspek K3, di mana
13
keduanya menunjukkan hubungan timbal balik sebagaimana yang ditunjukkan
oleh garis penghubung 11. Hubungan timbal balik atau keterkaitan di sini dapat
diartikan bahwa aspek-aspek K3 yang tidak sempurna dapat mempengaruhi atau
menyebabkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, terjadinya
kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja sendiri memiliki pengaruh terhadap aspek-
aspek K3, dimana kecelakaan kerja dapat menjadi umpan balik bagi aspek-aspek
K3 untuk lebih dioptimalkan.
Metode Penelitian
Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah persepsi karyawan terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja, baik itu peraturan, maupun penerapannya.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Pertamina UP
V Balikpapan yang memiliki kriteria sebagai berikut: merupakan karyawan
lapangan, dan berusia 30-50 tahun. Subjek untuk wawancara berjumlah delapan
orang.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara. Esterberg (Sugiyono, 2005) mendifinisikan wawancara sebagai
pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,
sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Sugiyono
(2005) menyatakan bahwa wawancara dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal
14
dari responden yang lebih mendalam. Stainback (Sugiyono (2005) menyatakan
bahwa dengan wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam
tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi,
dimana hal tersebut tidak dapat ditemukan melalui observasi.
Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
semi terstruktur. Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-dept
interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan
wawancara terstruktur (Sugiyono, 2005). Peneliti tetap menggunakan interview
guide dalam pelaksanaan wawancara, namun bersifat umum dan terbuka
kemungkinan untuk perkembangan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama
wawancara berlangsung.
Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis kualitatif dengan menggunakan model langkah analisis dari Miles dan
Huberman dan Poerwandari (2001). Menurut model dari Miles dan Huberman
(Sugiyono, 2005), analisis data selama di lapangan dapat dibagi menjadi tiga
tahap, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta
verifikasi (conclusion drawing). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-
hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan pola.
Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan
antar kategori, dan sejenisnya.
Poerwandari (2001) memberikan tahapan-tahapan dalam menganalisis
data kualitatif sebagai berikut, yaitu: data ? kata kunci ? tema ? kategori ?
15
hubungan antar kategori-kategori (pola). Hal yang harus dilakukan menurut
Poerwandari (2001) adalah mengorganisasikan data, membuat koding dan
analisis, kemudian menguji dugaan. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan sintesa dari teknik-teknik di atas, yaitu:
1. Mengorganisasikan data
2. Mereduksi data dengan membuat koding, mencari kata kunci, tema,
kategori serta pola
3. Penyajian data
4. Penarikan kesimpulan
Hasil Penelitian
Subjek dari wawancara yang dilakukan peneliti adalah karyawan
Pertamina. Pekerjaan dari subjek yang diwawancara antara lain operator dan
pengawas dan karyawan lapangan. Karyawan yang menjadi responden di sini
memiliki kantor yang berada di dalam area kilang, sehingga memahami dan
mengetahui seluk-beluk daerah operasi tempat dia bekerja, serta resiko bahaya
yang menyertainya.
Peneliti mendapatkan gambaran dan bentuk persepsi karyawan terhadap
kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dari proses wawancara. Penggalian persepsi
itu sendiri terbagi ke dalam beberapa aspek, yaitu persepsi terhadap peraturan K3
yang berlaku, sistem manajemen (sosialisasi, pengawasan), persepsi terhadap
ketersediaan fasilitas, serta persepsi terhadap lingkungan kerja.
Pemahaman/pengetahuan mengenai K3 serta kesediaan untuk menjalankan
16
peraturan dalam hubungan dengan persepsi terhadap pelaksanaan juga digali
dalam penelitian ini. Dari proses wawancara juga didapatkan gambaran mengenai
beban kerja serta komitmen manajemen terhadap pelaksanaan K3. Masing-masing
subjek memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai hal-hal di atas.
Dari hasil wawancara, terungkap bahwa sebagian besar responden
berpendapat bahwa peraturan K3 yang berlaku sudah bagus. Fasilitas memiliki
kaitan erat dengan ergonomi kerja dan keselamatan kerja. Persepsi sebagian besar
karyawan terhadap fasilitas yang tersedia adalah bahwa fasilitas tersebut sudah
cukup memadai. Di Pertamina, fasilitas K3 sudah tersedia, baik fasilitas yang
bersifat melindungi keselamatan pemakai dan lingkungannya (seperti peralatan
keselamatan pada diri, alat pemadam kebakaran, shower, dll), maupun fasilitas
yang mendukung kenyamanan dalam bekerja (seperti AC dalam ruangan, dapur,
kamar mandi, televisi, dll). Dari salah satu wawancara terungkap bahwa ada
fasilitas yang dirasa kurang yaitu alat komunikasi yang kurang optimal baik dari
jenis maupun jumlahnya. Ada juga yang menyatakan bahwa hendaknya layar
monitor diberi pelindung untuk mengurangi efek ke mata. Seorang responden
pernah mengalami kerugian akibat peralatan yang kurang baik. Ergonomi kerja
karyawan yang bekerja di area dalam kilang dan merupakan daerah bising juga
digali dalam penelitian ini. Responden yang bekerja dalam lingkungan kerja
tersebut menyatakan bahwa lingkungannya sudah cukup nyaman karena
kebutuhan dan fasilitas terpenuhi. Kebisingan yang terjadi memang dirasa
menganggu namun masih dalam batas toleransi responden.
17
Dari segi sosialisasi, tanggapan responden dalam proses wawancara adalah
sudah cukup baik. Bentuk-bentuk sosialisasi yang dipahami oleh responden antara
lain adalah safety talk, safety induction dan memorandum. Responden juga
memahami dan mengerti seperti apa bentuk sosialisasi-sosialisasi tersebut,
walaupun persepsi mereka terhadap bentuk itu sendiri berbeda-beda. Sosialiasi
terhadap perubahan sistem juga dilakukan perusahaan untuk menghindari efek
stress bagi karyawan.
Komitmen perusahaan terhadap pelaksanaan K3 tidak terbatas pada
tersedianya peraturan, fasilitas serta sosialisasi saja. Untuk menjaga dan mencegah
karyawannya dari penyakit akibat kerja, Pertamina melakukan pengukuran desibel
dan membuat peta untuk daerah-daerah bising, serta melakukan pelatihan
pemadaman kebakaran. Pertamina juga mewajibkan semua pekerja/kontraktor
baru untuk mengikuti pelatihan K3 sebelum bekerja di area kilang agar memiliki
bekal mengenai K3. Apabila terjadi kecelakaan kerja, Pertamina memberikan
kompensasi pada karyawan yang menjadi tanggungan perusahaan. Selain itu,
perusahaan juga memberikan sarana untuk menyalurkan aspirasi karyawan, yaitu
serikat pekerja
Para karyawan yang menjadi responden sudah memiliki pemahaman
terhadap K3. Para responden sangat mengenal lingkungan kerja mereka, baik
situasi, kondisi, maupun bahaya apa saja yang menyertai pekerjaan dan
lingkungan kerja mereka dan akibat yang ditimbulkannya. Pemahaman terhadap
K3 yang tergali dari proses wawancara tidak terbatas pada pengenalan akan
lingkungan kerja, bahaya/resiko yang menyertainya, serta cara mengatasinya
18
Wawasan mengenai K3 juga menjadi indikasi sejauh mana pemahaman
responden. Hal ini terlihat pada responden yang mengetahui dan memahami
mengenai ISO yang merupakan sistem manajemen lingkungan serta konsep near
miss yang termasuk dalam kecelakaan kerja.. Karyawan yang menjadi responden
telah menunjukkan kesediaannya dalam menjalankan peraturan K3 yang berlaku.
Hal ini tercermin dalam kesadaran responden akan K3 serta peran serta mereka
dalam pelaksanaan peraturan. Para responden menyadari bahwa peran lain dari
karyawan adalah mengingatkan sesamanya yang melanggar dan sebagai ujung
tombak pelaksana peraturan.
Peraturan yang baik tidak selalu menjamin pelaksanaan yang baik pula.
Seringkali terjadi perbedaan antara peraturan dan pelaksanaan. Pelaksanaan di
lapangan juga mencerminkan kesediaan karyawan dalam menjalankan peraturan.
Persepsi karyawan terhadap pelaksanaan K3, yang didapat dari proses wawancara
cukup bervariasi. Ada responden yang secara jelas menganggap dan
mengungkapkan bahwa pelaksanaan K3 masih kurang. Menurut responden,
kekurangan ini disebabkan karena masih ada individu-individu yang tidak
memakai peralatan keselamatan yang seharusnya. Kendati begitu, ada responden
yang menganggap bahwa peraturan dan pelaksanaan tidak selalu bisa bersesuaian,
karena kondisi di lapangan yang tidak mendukung. Dari hasil wawancara, juga
ditemukan bahwa bagi sebagian responden, pelaksanaan K3 di lapangan biasanya
melihat-lihat situasi. Bagi karyawan-karyawan yang sudah mengenal area serta
resiko yang menyertainya, penggunaan alat keselamatan melihat-lihat kondisi,
apabila mereka menilai situasi dan kondisinya aman, maka mereka tidak
19
menggunakan topi atau sarung tangan, dan begitu pula sebaliknya, apabila mereka
melihat situasinya berbahaya bagi dirinya, mereka akan mengenakan peralatan
keselamatan. Selain alasan kepraktisan, diakui juga oleh beberapa responden
bahwa faktor keengganan dan keterbatasan ruang gerak juga berpengaruh dalam
perilaku tersebut.
Terlepas dari kondisi di mana perilaku karyawan berdasarkan pada
penilaian mereka terhadap situasi, di sisi lain, ada kondisi yang justru memaksa
karyawan mengenakan peralatan keselamatan dengan lengkap. Para karyawan
yang bekerja di daerah panas dan bising terutama, memahami hal ini. Bagi
responden yang bekerja di area ini, peralatan keselamatan sudah bukan merupakan
kewajiban, melainkan kebutuhan, sehingga bila berada di daerah-daerah yang
bising atau berbahaya, mereka akan mengenakan peralatan keselamatan yang
sudah disediakan. Pemahaman mengenai keselamatan itu sendiri juga sudah
melekat dalam diri responden. Dari pernyataan responden terlihat bahwa
responden sudah menyadari dan memahami bahwa keselamatan pada dasarnya
adalah untuk diri sendiri, bukan orang lain. Responden-responden tersebut juga
mengetahui dan memahami bahwa dengan menggunakan peralatan keselamatan,
kemungkinan maupun dampak terjadinya kecelakaan dapat dikurangi. Kecelakaan
yang diakibatkan pelanggaran kecil seperti tidak mengenakan alat pengaman
bukannya tidak pernah terjadi. Responden mengakui bahwa pernah terjadi
kecelakaan karena kelalaian individu yang tidak mengenakan alat pengaman,
walaupun kecelakaan yang terjadi hanya kecelakaan kecil. Berdasarkan
pemaparan di atas terlihat bahwa budaya K3 di Pertamina bisa dikatakan fleksibel
20
dan banyak tergantung kondisi di lapangan. Berkaitan dengan pelaku pelanggar,
para keryawan merasa bahwa yang paling berhak menegur para pelanggar adalah
pihak LK3.
Deskripsi hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dalam penelitian
ini sudah mengetahui, memahami serta memiliki kesediaan untuk melaksanakan
peraturan K3 yang berlaku, walaupun pelaksanaan itu sendiri cukup tergantung
pada kondisi di lapangan juga. Persepsi yang banyak terlihat berbeda pada
responden adalah persepsi terhadap pelaksanaan di lapangan di mana ada
karyawan yang merasa peralatan keselamatan banyak membantu atau sebaliknya
justru menganggu kinerja.
Pihak manajemen, sebagaimana juga karyawan, memegang peranan
penting dalam pelaksanaan K3. Keterlibatan pihak manajemen dapat terlihat dari
komitmen perusahaan dalam menjalankan K3. Komitmen perusahaan sebagai
pembuat kebijakan sangat berpengaruh terhadap budaya yang terbentuk di
lapangan. Komitmen perusahaan terhadap K3 terlihat antara lain dengan
dibentuknya bagian khusus untuk menangani K3 dan lindungan lingkungan, sudah
adanya peraturan K3 serta usaha-usaha untuk mensosialisasikan serta mendukung
pelaksanaan K3 itu sendiri. Usaha-usaha yang mendukung pelaksanaan K3 antara
lain penyediaan fasilitas, serta usaha untuk menjaga kesehatan, keselamatan serta
mendukung kenyamanan karyawan.
Hal lain yang juga tergali dari proses wawancara adalah beban kerja
karyawan. Beban kerja dirasakan responden yang bekerja di bagian produksi yang
merupakan jantung kilang. Selain disebabkan karena berjalannya kilang
21
tergantung pada bagian ini, sumber daya manusianya juga terbatas. Kendati berat,
responden menyatakan bahwa pekerjaannya harus tetap dilaksanakan,
bagaimanapun keadaannya Dari proses wawancara juga terungkap bahwa sarana
refreshing yang dibutuhkan responden dirasa kurang, sementara refreshing
sendiri sangat penting bagi karyawan. Bentuk-bentuk refreshing itu bervariasi
menurut pemahaman responden, antara lain cuti tahunan, pelatihan-pelatihan,
serta dinas atau studi banding yang dilakukan ke luar daerah. Selama beberapa
tahun terakhir ini, sarana refreshing karyawan yang berupa dinas atau training
keluar kota ditiadakan.
Pembahasan
Persepsi dalam penelitian ini diartikan sebagai sebagai suatu proses yang
membentuk reaksi seseorang terhadap stimulus tertentu, diperoleh dengan bantuan
penginderaan untuk kemudian diinterpretasi dan diorganisir oleh individu,
sehingga memberikan makna. Persepsi kesehatan dan keselamatan kerja dalam
penelitian ini diartikan sebagai persepsi individu terhadap stimulus-stimulus (fisik
maupun non fisik) yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, baik
sebagai ilmu pengetahuan maupun penerapannya.
Keselamatan kerja menurut Koeshartono & Junaedi (2005) adalah
keselamatan yang berkaitan dengan mesin, alat kerja, bahan dan proses
pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara-cara
melakukan pekerjaan atau sarana utama untuk mencegah kecelakaan, cacat dan
kematian sebagai akibat kecelakaan kerja, sedangkan kesehatan kerja adalah
22
bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan supaya tenaga kerja memperoleh
keadaan kesehatan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial sehingga
memungkinkan untuk dapat bekerja secara optimal.
Dari hasil wawancara, terungkap bahwa sebagian besar responden
berpendapat bahwa peraturan K3 yang berlaku sudah bagus. Fasilitas memiliki
kaitan erat dengan ergonomi kerja dan keselamatan kerja. Muchinsky (1997)
menyatakan bahwa mendesain lingkungan kerja menjadi aman adalah salah satu
tujuan tertua dari ergonomi. Beberapa kondisi lingkungan dapat dikontrol dengan
menambah/meningkatkan perlengkapan, namun terkadang hal ini sulit atau
bahkan tidak mungkin dilakukan, sehingga apabila hal ini terjadi, yang dapat
dilakukan adalah melindungi pekerjanya (Berry&Houston, 1993). Peralatan
keselamatan ditujukan untuk melindungi pekerja dari bahaya. Di Pertamina,
fasilitas ini sudah tersedia, baik fasilitas yang bersifat melindungi keselamatan
pemakai dan lingkungannya, maupun fasilitas yang mendukung kenyamanan
dalam bekerja. Persepsi sebagian besar karyawan terhadap fasilitas yang tersedia
adalah bahwa fasilitas tersebut sudah cukup memadai. Berkaitan dengan ergonomi
kerja, responden yang bekerja di area dalam kilang dan merupakan daerah bising
menyatakan bahwa lingkungannya sudah cukup nyaman karena kebutuhan dan
fasilitas terpenuhi. Kebisingan merupakan salah satu stressor fisik di tempat kerja,
namun kebisingan juga memberikan efek yang berbeda-beda pada setiap orangnya
(Muchinsky, 1997). Bagi responden, kebisingan yang terjadi memang dirasa
menganggu namun masih dalam batas toleransi responden.
23
Dari segi sosialisasi, tanggapan responden dalam proses wawancara adalah
sudah cukup baik. Berry & Houston (1993) menyatakan bahwa tidak ada diskusi
mengenai pengurangan angka kecelakaan yang lengkap tanpa menyebut poster
dan kampanye keselamatan. Poster merupakan salah satu bentuk sosialiasi yang
dikenal karyawan. Bentuk-bentuk sosialisasi yang dipahami oleh responden antara
lain adalah safety talk, safety induction dan memorandum.
Persepsi karyawan terhadap pelaksanaan K3 cukup bervariasi. Ada
responden yang secara jelas menganggap dan mengungkapkan bahwa pelaksanaan
K3 masih kurang karena masih ada individu-individu yang tidak memakai
peralatan keselamatan yang seharusnya. Kendati begitu, ada responden yang
menganggap bahwa peraturan dan pelaksanaan tidak selalu bisa bersesuaian,
karena kondisi di lapangan yang tidak mendukung. Dalam hal ini, apabila
mengenakan peralatan keselamatan yang seharusnya (sepatu), kinerja karyawan
justru terganggu. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Berry & Houston (1993),
yang menyatakan bahwa peralatan keselamatan dapat ditolak oleh pekerja apabila
mereka merasa tidak nyaman atau mengganggu fungsi normal. Ini merupakan hal
yang biasa dan beberapa dari masalah ini disebabkan oleh desain peralatan yang
miskin (Berry& Houston, 1993). Bagi sebagian responden, pelaksanaan K3 di
lapangan biasanya melihat-lihat situasi, dalam arti tidak setiap waktu mereka
mengenakan alat keselamatan seperti topi atau sarung tangan. Bagi karyawan-
karyawan yang sudah mengenal area serta resiko yang menyertainya, penggunaan
alat keselamatan melihat-lihat kondisi. Fenomena ini biasanya terjadi karena
alasan kepraktisan. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Geller (2001) yang
24
menyatakan bahwa, pada saat pekerja mengambil resiko yang sudah
diperhitungkan, mereka akan memilih untuk mengabaikan alasan-alasan
keselamatan atau mengambil jalan pintas untuk meningkatkan efsiensi dan
kenyamanan. Selain alasan kepraktisan, diakui juga oleh beberapa responden
bahwa faktor keengganan dan keterbatasan ruang gerak juga berpengaruh dalam
perilaku tersebut.
Fenomena yang terjadi di atas serta alasan yang melatarbelakanginya
bersesuaian dengan teori yang dikemukakan oleh Frank E. Bird (dalam Reamer,
1980), dimana kebutuhan fisik dan psikologis bertentangan dengan kebutuhan
keselamatan, sebagai berikut:
1. Safety vs saving time (keselamatan vs penghematan waktu)
Apabila cara-cara yang aman memakan lebih banyak waktu daripada cara-cara
tidak aman, beberapa orang akan lebih memilih cara-cara tidak aman.
2. Safety vs saving effort (keselamatan vs penghematan tenaga)
Apabila cara-cara aman memerlukan usaha lebih banyak daripada cara-cara
tidak aman, beberapa orang akan memilih cara-cara tidak aman.
3. Safety vs comfort (keselamatan vs kenyamanan)
Apabila cara aman lebih terasa tidak nyaman daripada cara tidak aman,
beberapa orang akan memilih cara tidak aman untuk menghindari
ketidaknyamanan tersebut.
4. Safety vs getting attention (keselamatan vs usaha mencari perhatian)
Apabila cara tidak aman menarik lebih banyak perhatian dari cara aman, maka
beberapa orang akan memilih cara yang tidak aman.
25
5. Safety vs independence (keselamatan vs kebebasan)
Apabila cara tidak aman memberikan perasaan akan kebebasan/otoritas lebih
bebas dari pada cara-cara aman, beberapa orang akan lebih memilih cara tidak
aman, sekedar untuk menunjukkan kebebasan mereka.
6. Safety vs group acceptance (keselamatan vs penerimaan kelompok)
Apabila cara-cara yang tidak aman meraih penghargaan yang lebih besar dari
kelompok, maka beberapa orang akan memilih cara-cara tersebut untuk
mendapatkan atau mempertahankan penerimaan kelompok.
Di sisi lain, ada kondisi yang justru memaksa karyawan mengenakan
peralatan keselamatan dengan lengkap. Bagi para karyawan yang bekerja di area
panas dan bising, peralatan keselamatan sudah bukan merupakan kewajiban,
melainkan kebutuhan. Pemahaman mengenai keselamatan itu sendiri juga sudah
melekat dalam diri responden. Responden-responden tersebut juga mengetahui
dan memahami bahwa dengan menggunakan peralatan keselamatan, kemungkinan
maupun dampak terjadinya kecelakaan dapat dikurangi. Responden mengakui
bahwa pernah terjadi kecelakaan karena kelalaian individu yang tidak
mengenakan alat pengaman, walaupun kecelakaan yang terjadi hanya kecelakaan
kecil. Batubara (1988) menyatakan bahwa penyebab kecelakaan paling besar
adalah manusianya, yaitu karena kurangnya kesadaran pengusaha dan karyawan
sendiri untuk melaksanakan K3.
Geller (2001) menyatakan bahwa pada saat perilaku dilakukan secara
berulang-ulang dan konsisten dalam jangka waktu tertentu, perilaku tersebut akan
bersifat otomatis, dan pada saat itu kebiasaan terbentuk. Kebiasaan dapat menjadi
26
budaya. Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa budaya K3 di Pertamina
bisa dikatakan fleksibel dan banyak tergantung kondisi di lapangan. Pihak
manajemen, sebagaimana juga karyawan, memegang peranan penting dalam
pelaksanaan K3. Menurut Koeshartono dan Junaedi (2005), pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan kerja dalam suatu perusahaan harus dilakukan secara
bersama-sama baik oleh pimpinan maupun pengurus perusahaan dan seluruh
karyawan agar program-program yang telah disusun dengan baik dapat terlaksana
dengan baik pula.
Responden memiliki beban dalam menjalankan pekerjaannya. Beban kerja
yang mungkin dihadapi pekerja dapat berupa beban fisik, mental, dan sosial yang
masing-masing mempunyai dampak yang berbeda pula (Anoraga, 2005). Beban
kerja yang dialami responden sendiri lebih bersifat mental karena lingkungan
kerja responden yang memegang posisi penting dalam unit pengolahan. Beban
kerja memiliki keterkaitan dengan kesehatan kerja. Suma'mur (1986) menyatakan
bahwa agar seorang tenaga kerja dalam keserasian yang sebaik-baiknya, yang
berarti dapat terjamin keadaan kesehatan dan produktivitas kerja setinggi-
tingginya, maka perlu ada keseimbangan dari faktor beban kerja.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran mengenai persepsi
karyawan terhadap K3. Persepsi sebagian besar karyawan terhadap peraturan,
fasilitas dan sosialisasi adalah sudah cukup bagus. Para karyawan sendiri sudah
memahami arti pentingnya K3, bahwa pada dasarnya peraturan K3 ditujukan
27
untuk diri mereka sendiri dan pentingnya menggunakan alat keselamatan,
sehingga mereka bersedia melaksanakan peraturan yang berlaku. Namun pada
pelaksanaannya, banyak karyawan yang melihat-lihat situasi dan kondisi,
mempertimbangkan kenyamanan dan batasan dalam ruang gerak, sehingga masih
terjadi perilaku-perilaku yang tidak mengenakan alat pengaman yang seharusnya.
Dari hal ini terlihat bahwa sebagian karyawan mempersepsikan bahwa
pelaksanaan peraturan juga perlu melihat-lihat kondisi juga.
Persepsi karyawan terhadap ergonomi lingkungan kerja adalah sudah
cukup nyaman, sejauh kebutuhan terpenuhi. Komitmen perusahaan dalam
menjalankan peraturan sudah terlihat dengan dibuatnya peraturan, dibentuknya
bagian khusus untuk menangani K3, sosialisasi, penyediaan fasilitas, serta usaha
menjaga kesehatan karyawan. Hal yang dirasa kurang bagi karyawan yang
menjadi responden adalah kurangnya refreshing, yang berbentuk dinas atau
pelatihan ke luar daerah. Kurangnya refreshing ini terutama dirasakan oleh
responden yang memiliki beban kerja yang berat.
Saran
1. Bagi perusahaan
Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa ada fasilitas yang bagi responden
masih kurang, seperti kurangnya alat komunikasi. Perusahaan diharapkan
dapat lebih memaksimalkan kebutuhan karyawan akan fasilitas yang tersedia.
Refreshing bagi karyawan juga dirasakan kurang, sehingga perusahaan
diharapkan dapat mencari cara-cara untuk memenuhi kebutuhan refreshing
28
karyawan. Hal ini juga berkaitan dengan pengembangan sistem manajemen
K3. Beberapa lingkungan kerja karyawan juga tidak mendukung pelaksanaan
K3 dengan maksimal. Perusahaan diharapkan dapat mengusahakan agar
lingkungan kerja menjadi lebih kondusif bagi pelaksanaan kerja karyawan.
Aspek-aspek yang diharapkan dapat dikembangkan oleh perusahaan yaitu
fasilitas, sistem manajemen K3 dan lingkungan kerja.
2. Bagi karyawan
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa karyawan sudah memahami
akan pentingnya peraturan dan pelaksanaan K3. Namun pada realisasinya,
tidak sepenuhnya maksimal, dan banyak melihat-lihat situasi. Diharapkan para
karyawan dapat merubah persepsinya menjadi berorientasi profesional,
sehingga pelaksanaan K3 dapat terealisasi dengan maksimal.
3. Bagi penelitian selanjutnya
Dalam penelitian ini banyak sekali kekurangan. Penelitian ini bersifat
kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa wawancara.
Dalam pelaksanaan wawancara banyak terjadi kekurangan seperti kurang
mendalam dan kurang terfokus, sehingga data-data yang didapat kurang
mendalam. Peneliti menyarankan pada penelitian selanjutnya jika
menggunakan metode wawancara sebagai metode penelitiannya hendaknya
diusahakan wawancara dilakukan dengan lebih mendalam. Dan sebelum
melakukan wawancara, sebaiknya peneliti sudah memahami mengenai teknik-
teknik wawancara agar dapat mengembangkan proses wawancara dengan
29
baik, terarah dan mendalam. Peneliti juga sebaiknya sudah memahami
mengenai topik yang akan diangkat.
30
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., Bem, D.J. Pengantar Psikologi. Edisi kesebelas: Jilid 1. Batam Center: Interaksara
Batubara, C. 1988. Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja R.I.
Berry, L.M., Houston, J.P. 1993. Psychology at Work. Dubuque, Iowa: Brown&Brenchmark
DeReamer, R. 1980. Modern Safety and Health Technology. Canada: John Wiley&Sons, Inc.
Ehrlich, E., Flexner, S. B., Carruth, G., Hawkins, J. M. 1980. Oxford American Dictionary. New York: Avon
Koeshartono, D., Junaedi, M., F., S. 2005. Hubungan Industrial: Kajian Konsep dan Permasalahan. Jogjakarta: Universitas Atma Jaya Jogjakarta
LK&KK Unit Pengolahan V. 2006. Petunjuk Umum Keselamatan Kerja
Kontraktor. Booklet (Tidak Diterbitkan untuk Umum). Balikpapan: PT. Pertamina UP V
Manulang, S. 1995. Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Mathis, R.L., Jackson, J.H. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Buku 2. Jakarta: Penerbit Salemba 4
Matlin, M. W. 1983. Sensation and Perception. Second Edition. New York: Allynond Bacon. Inc
Muchinsky, P.M. 1997. Psychology Applied to Work. Fifth Edition. California: Brooks/Cole Publishing Company
Poerwandari. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
31
PT. Pertamina (Persero), 2004. Kebijakan Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan PT. Pertamina (Persero). Booklet (Tidak Diterbitkan untuk umum). Jakarta: PT. Pertamina (Persero)
PT. Pertamina (Persero) Unit Pengolahan V. 2003). Pedoman Penanggulangan Keadaan Darurat. Pedoman (Tidak Diterbitkan untuk Umum). Balikpapan: PT. Pertamina (Persero) Unit Pengolahan V
Robbins, S. P. 2001. Perilaku Organisasi. Jilid I, Edisi ke-8. Jakarta: PT.
Prehallindo Silalahi, B. N., Silalahi, R. B. 1991. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV. Alfabeta
Sungguh, A. 1992. Kamus Ekonomi Perdagangan. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama
Suma'mur. 1987. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV Haji Masagung
Walgito, B. 1994. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset
Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi