Post on 30-Dec-2014
description
1
PEREMPUAN SINGLE PARENTOleh: Syamsidah
Dosen PKK FT UNM
Abstrak
Single parent adalah perempuan yang berperan ganda, ia sering disepelekan bahkan dimarjinalkan oleh masyarakat, terutama mereka yang berpisah karena bercerai. Oleh sebab itu perlu perhatian dari pemerintah dan masyarakat agar konstruk sosial yang destruktif bisa dihilangkan, perhatian tersebut tentu saja sebagai bagian dari upaya untuk mengangkat harkat dan martabat mereka karena bagaimanapun mereka adalah subjek sekaligus sebagai objek pembangunan, membiarkan mereka berjuang sendiri tanpa perhatian, sama halnya menelantarkan sebagian keluarga dan masyarakat, khusunya generasi muda. Single parent adalah sebuah keniscayaan, tentu saja tak ada yang menginginkan, namun karena sebuah realitas maka tidak ada jalan lain kecuali harus dihadapi. Memadukan dua peran dalam satu tujuan tentu memerlukan kemampuan dan keterampilan, karena itulah seorang ibu dituntut untuk senantiasa membekali diri sejak dini, agar dapat lebih cepat beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan, termasuk menyandang predikat sebagai single parent.
Kata Kunci: Perempuan, Single parent.
Pendahuluan
Single parent adalah suatu fakta sosial untuk menyebut perempuan yang
berperan ganda, sebagai ibu dan sekaligus sebagai ayah. Fakta ini sebagai akibat
dari sebuah konsekwensi atas meninggalnya sang suami, atau disebakan oleh
perceraian, atau berpisah karena suami merantau lama untuk mencari nafkah dan
tak kunjung kembali.
Single parent menjadi perhatian banyak orang disebabkan oleh konstruk
sosial yang menempatkan mereka pada sudut marginal, meskipun tidak sedikit
diatara mereka yang sukses melebihi keluarga yang utuh. Data Badan Pusat Statistik
(BPS, 2001) memperlihatkan bahwa 44,20 persen kepemilikan usaha mikro berada di
tangan perempuan sedangkan di sektor usaha skala besar mencapai 10,28 persen.
2
Sebagai bagian dari perempuan yang juga memerlukan perhatian, single
parent menjadi kajian dan program pembangunan dibanyak negara, perhatian
tersebut sebagai bagian dari upaya untuk mengangkat harkat dan martabat mereka
karena bagaimanapun juga mereka adalah subjek sekaligus sebagai objek
pembangunan. Membiarkan mereka berjuang sendiri tanpa perhatian dari berbagai
pihak, sama halnya menelantarkan sebagian keluarga dan masyarakat, khusunya
generasi muda. Oleh sebab itu perlu keinginan kuat (political will), baik dalam
bentuk regulasi maupun kebijakan pemerintah yang menempatkan mereka pada
posisi setara dengan keluarga-keluarga lainnya.
Single parent adalah sebuah keniscayaan, tentu saja tak ada yang
menginginkan, namun karena sebuah realitas maka tidak ada jalan lain kecuali
harus dihadapi, oleh sebab itu bagi mereka yang mengalaminya diharapkan untuk
optimis bahwa masa depan tetap menjanjikan harapan yang lebih baik. Khusus
kepada masyarakat tentu diharapkan akan memberi ruang yang lebih besar, dan
konstruk sosial yang selama ini melekat bahwa single parent adalah status yang
destruktif perlu dirubah, oleh sebab itu perlu rekonstruksi agar mindset masyarakat
mengarah kepada pengembangan, bukan menyudutkan apalagi memarjinalkan
sebagaimana terjadi di beberapa negara Afrika dan Asia.
Realitas Single Parent
Konstruk masyarakat tentang single parent sudah berlangsung sejak dulu,
mereka menganggapnya sebagai status yang kurang baik, bahkan terutama mereka
yang mengalaminya dengan perceraian sangat dibenci oleh keluarga dan
masyarakat. Demikian pula halnya status janda dan wanita bercerai yang masih
3
muda, seringkali dicurigai dengan berbagai kemungkinan, apakah akan merebut
suami orang ataukah mengganggu ketentraman rumah tangga orang lain. Hal inilah
yang juga seringkali dialami oleh perempuan single parent yang membuatnya tidak
leluasa bergaul, bepergian, atau berinteraksi dengan banyak orang. Sebagian
masyarakat kita, janda dianggap sebagai orang sial, apalagi ditinggal mati oleh
suaminya secara berulang, bahkan diberi lebel negative terutama janda yang
bercerai dengan berbagai sebab.
Dalam sejarah banyak kisah-kisah dimana single parent mendapat
perlakuan yang kurang baik. Dalam tradisi Bibel disebutkan bahwa imam tidak bisa
menikah dengan janda, atau seorang wanita yang diceraikan, atau seorang pelacur.
Demikian halnya di Arab sebelum Islam bahwa seorang janda dianggap sebagai
bagian dari property, artinya bahwa janda bisa saja diperlakukan sebagai benda
milik layaknya harta tak bergerak yang dapat dijual atau dipertukarkan atau
diserahkan kepada orang lain. Bahkan dapat diwariskan kepada orang lain.
Di seluruh dunia, menurut Gottman, J dan DeClaire, ( 1998) janda menderita
akibat perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Dalam banyak kasus, mereka
terdesak ke masyarakat marjinal, terjebak dalam kemiskinan, dan rentan menerima
tindak kekerasan dan eksploitasi, mereka dijauhkan dari aset dan properti suami
serta diusir dari rumah keluarga. Karena tidak memiliki uang, janda-janda malang
itu tidak bisa membiayai anak-anak mereka.
Fenomena single parent beberapa dekade terakhir ini menjadi marak terjadi
diberbagai Negara di seluruh dunia. Sejalan dengan berubahnya gaya hidup dan
datangnya modernisasi angka perceraian di seluruh dunia mengalami peningkatan. Di
4
Amerika Serikat angka perceraian meningkat dengan tajam sejak tahun 1960-an. Pada
awal tahun 1970-an satu dari setiap tiga perkawinan di Amerika berakhir dengan
perceraian, di Jerman Barat perbandingannya satu dari tujuh perkawinan, di Jepang
satu dari sepuluh. Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun juga
menunjukkan peningkatan yaitu satu dari lima perkawinan (Gunadi, 2006).
Pada tahun 2003 di Australia terdapat 14 % keluarga dari keseluruhan
jumlah keluarga masuk dalam kategori single parent ,sedangkan di Inggris pada
tahun 2005 terdapat 1,9 juta single parent dan 91 % dari angka tersebut dalah
wanita dari single parent (Yuni, 2008).
Menurut Susilo Wibowo (2002) perbandingan jumlah janda di Indonesia
adalah 469:100, artinya jumlah duda atau pria tidak menikah berusia 60 tahun ke
atas jumlahnya hanya seperlima dari jumlah janda, sementara di Jepang rasionya
364:100, Pakistan (357:100), Jerman (305:100), Filipina (258:100), Amerika
Serikat (218:100), Cina (193:100) dan India (295:100). Menurut Dian (2009), hal
ini disebabkan karena wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang, umumnya
wanita menikah dengan pria yang lebih tua usianya dan lebih banyak duda yang
menikah kembali sehingga lebih banyak jumlah janda dibanding duda.
Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Biro Pusat
Statistik tahun 1994 (dalam Hapsari S. rini, 1999) menunjukan bahwa jumlah
wanita di Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga karena bercerai sebanyak
778.156 orang dan karena kematian suami berjumlah 3.681.568 orang (total
4.459.724). Sedangkan pada tahun 2004, berdasarkan data Program Pemberdayaan
Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia
5
yang kepala keluargan yang berstatus janda. Ini berarti terjadi kenaikan jumlah
orang tua tunggal wanita hampir sepuluh kali lipat selama rentang waktu sepuluh
tahun.
Single parent yang mengalami destruktif dan dimarjinalkan oleh masyarakat
mendorong para pemerhati untuk melakukan tindakan agar mereka keluar dari
kemelut dan masalah yang dihadapi, pemerhati itu ada yang berasal dari kalangan
internal dan adapula dari kalangan eksternal dan masyarakat luas. Dari internal
tercatat pada perempuan yang berstatus janda yang kemudian membentuk
organisasi seperti di India yang menamakan diri Trust Loomba. Organisasi ini yang
didirikan oleh Raj Loomba dan istrinya, Veena, pada 1997 ini dimaksudkan untuk
mendidik anak-anak janda miskin di India sehingga mereka dapat memiliki masa
depan yang lebih baik.
Perhatian masyarakat internasional tentang nasib single perent juga
diperlihatkan oleh istri perdana menteri Tony Blair . Di sebuah acara makan siang
pada 26 Mei 2005 yang dilaksanakan oleh Trust Loomba (sebuah yayasan amal)
istri perdana menteri Inggris Tony Blair, Cherie Blair mengusulkan agar ada hari
janda Interrnasional yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni. Usul tersebut diterima
dan secara resmi diumumkan di PBB pada 21 Oktober 2005, di hadapan Kofi
Annan (Sekjen PBB saat itu), ditetapkan tanggal 23 Juni setiap tahun dijadikan
sebagai Hari Janda Sedunia atau International Widow Day (Susilo .W. 2004).
Di Indonesia, bebeapa daerah telah dibentuk wadah/organisasi yang
menghimpun janda seperti; “Forum Ikatan Janda Garut" (FIJAG), mereka menamai
gerakan ini. Apa yang mereka perjuangkan, yakni sebagai upaya perlindungan
6
hukum terhadap kaum perempuan yang berstatus janda. Forum ini juga sebagai
wahana mengubah citra kaum janda, yang selama ini kerap dikonotasikan negatif.
Pendirian institusi ini merupakan sarana memperjuangkan dan mengangkat harkat
martabat para janda. kata ketua FIJAG, Tia Herawati. Selain di Garut juga telah
terbentuk organisasi yang sama di Yogyakarta yaitu Persaudaraan Janda-Janda
Indonesia (PJJI) yang didirikan sejak tahun 1991, kini sudah memiliki anggota
hingga 1.000 orang, ketuanya Hj.Farilina H.Siswono Oetoyo, bernaung dibawah
Yayasan Armalah. Visinya "Ingin melahirkan janda-janda yang mandiri, terhormat
dan bermartabat,".
Kedudukan Single parent
Single parent atau wanita yang berperan sebagai orang tua tunggal
menduduki dua peran sekaligus, sebagai ibu yang secara kodrati merupakan peran
alamiah dan sebagai ayah sebagai tugas tambahan. Untuk peran itu wanita dituntut
untuk melakukan dua pendekatan , pertama pendekatan persuasif yang ditandai
dengan kelemahlembutan dalam melakukan interaksi sosial dengan anak-anaknya,
dan yang kedua pendekatan coertion yang ditandai dengan sikap tegas dalam
membuat dan melaksanakan aturan tata tertib dalam keluarga. Indikator
keberhasilan seorang wanita dalam membina dan mendidik anak-anaknya terletak
pada kemampuannya dalam menggabungkan kedua peran tersebut di atas.
Memadukan dua sikap dalam satu tujuan tentu memerlukan kemampuan
dan keterampilan, karena itulah seorang ibu dituntut untuk senantiasa membekali
diri sejak dini, agar dapat lebih cepat beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan
berbagai keadaan, termasuk menyandang predikat sebagai single parent. Kesiapan
7
ini penting sebab sangat berhubungan dengan masa depan anak-anak dan keluarga
secara keseluruhan, Seperti dikatahui bahwa anak-anak yang kehilangan ayah yang
dicintai, adalah anak-anak yang rentan dengan berbagai masalah terutama
disebabkan oleh tekanan psikologis, mereka mudah mengalami defresi yang kalau
tidak dikendalikan dengan baik akan menimbulkan potensi konflik dan tentu
menjadi resistensi berkepanjangan dalam keluarga.
Anggota keluarga single parent adalah anggota keluarga yang tidak utuh, dan
seringkali memiliki pengaruh negatif bagi perkembangan anak. Dalam masa
perkembangan seorang anak membutuhkan suasana keluarga yang hangat dan penuh
kasih sayang. Di dalam keluarga yang tidak utuh kebutuhan ini tidak didapatkan secara
memuaskan. Anak yang diasuh oleh ibu tunggal kehilangan figur ayah dalam keluarga.
Hilangnya figur ayah akibat perceraian mengakibatkan anak kehilangan tokoh
identifikasi. Tokoh tempat anak belajar bertingkah laku menjadi berkurang. Figur ayah
memberikan perlindungan, rasa aman dan kebanggaan pada diri anak. Ketegasan
seorang ayah memberikan pengaruh kuat dalam menanamkan disiplin dan
kepercayaan diri anak. Menurut Gottman dan DeClaire (1998) keterlibatan ayah
dalam pengasuhan anak penting karena mempengaruhi perkembangan sosial anak.
Anak-anak yang mendapatkan kehangatan dari ayah sewaktu kanak-kanak
cenderung mempunyai hubungan sosial yang lebih baik. Konsep perkembangan
sosial mengacu pada perilaku anak dalam hubungannya dengan lingkungan social
untuk mandiri dan dapat berinteraksi atau menjadi manusia sosial. Kemandirian
adalah salah satu komponen dari kecerdasan emosional. Para ahli pendidikan dan
psikolog berpendapat bahwa kemandirian menentukan keberhasilan dalam
8
kehidupan seseorang. Sikap mandiri yang berakar kuat dalam diri seorang anak
akan membuat anak tangguh, tidak mudah diombang-ambingkan keadaan dan
mampu memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Hal ini akan memberikan
pengaruh yang berarti dalam kehidupan seorang anak di masa mendatang. Anak yang
memiliki sikap Secara kodrati perempuan sering disebut peribadi yang lemah
lembut disamping karena sturuktur tubuhnya, juga karena konstruk sosial yang
menyebutnya demikian. Sementara itu laki-laki diposisikan sebagai mahluk yang
kuat dan tegas. Kodrat yang demikain inilah yang seringkali melahirkan sikap
mendua, satu sisi sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik dengan lemah
lembut, dan dalam waktu bersamaan bersikap tegas layaknya sebagai seorang
ayah. Single parent menduduki dua peran, sebagai ibu yang secara kodrati
merupakan peran alamiah dan sebagai ayah sebagai tugas tambahan. Memadukan
dua peran dalam satu tujuan tentu memerlukan kemampuan dan keterampilan,
karena itulah seorang ibu dituntut untuk senantiasa membekali diri sejak dini, agar
dapat lebih cepat beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan,
termasuk menyandang predikat sebagai single parent.
Kesimpulan
1. Single parent adalah perempuan yang berperan ganda, sebagai ibu dan
sekaligus sebagai ayah. Status ini sebagai akibat meninggalnya sang suami,
atau disebakan oleh perceraian, atau berpisah karena suami merantau lama
untuk mencari nafkah dan tak kunjung kembali.
2. Single parent perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat
disebabkan oleh konstruk sosial yang menempatkan mereka pada sudut
9
marginal, perhatian tersebut sebagai bagian dari upaya untuk mengangkat
harkat dan martabat mereka karena bagaimanapun mereka adalah subjek
sekaligus sebagai objek pembangunan. Membiarkan mereka berjuang
sendiri tanpa perhatian, sama halnya menelantarkan sebagian keluarga dan
masyarakat, khusunya generasi muda.
3. Single parent menduduki dua peran, sebagai ibu yang secara kodrati
merupakan peran alamiah dan sebagai ayah sebagai tugas tambahan.
Memadukan dua peran dalam satu tujuan tentu memerlukan kemampuan
dan keterampilan, karena itulah seorang ibu dituntut untuk senantiasa
membekali diri sejak dini, agar dapat lebih cepat beradaptasi atau
menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan, termasuk menyandang
predikat sebagai single parent.
DAFTAR PUSTAKA
Back, Kurt.W. 2004. Social Psychology. New York: John Willey and Sons. Inc.Datson, F (1991), Mendisiplinkan Anak dengan Kasih Sayang, di Indonesiakan
oleh Hadisubrata, Gunung Agung, Jakarta
Devito, Joseph A, 1996. Komunikasi Antar Manusia Edisi Kelima, Profesional Books, Jakarta.
Dian. 2009. Menjalani Hidup Sepeninggal Suami.Di akses 12 Oktober 2011.http://eprints.undip.ac.id.
Elizabeth B. Hurlock .1997, Perkembangan Anak/Child Development, Terj. Meitasari Tjandrasa, Erlangga, Jakarta
Gunadi,Paul.2009.Yang Tak Tergantikan.Online: diakses 10 Februari 2009. http://www.telaga.org/artikel.php.
Gottman, J dan DeClaire, J. 1998. Kiatkiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Terjemahan T. Hermaya. Jakarta :Gramedia Pustaka
10
Utama.
J, Goode, William, 1985. Sosiologi Keluarga, PT. Bina Aksara, Jakarta
Kartono, Kartini, 2006. Patologi Sosial Jilid I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Littlejohn, Stephen W, 1994. Theories Of Human Communication, Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung
Saxon, Lloyd, 1985. The Individual, Marriage. And the Family. California, Wadswoth Publishing Campany.
Sangarimbun, Masri, dkk. 1973. Masalah Perkawinan dan Perceraian di Mojolama. Lembaga Kependudukan UGM.
Susilo .W. 2004. Keluarga dengan Orang Tua Tunggal . Kompas 19 Juli 2004.
Yuni Retnowati.2008. Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak. Jurnal Ilmu Komunikasi. Diakses Tanggal 12 September 2011. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin.
Frankl, V.E. 1972. Man’s Search For Meaning : An Introduction to Logotherapy.Boston: Beacon Press.