Post on 01-Feb-2018
PERANAN OEANG REPUBLIK INDONESIA (ORI) DALAM PERIODE
REVOLUSI KEMERDEKAAN 1946-1950
Nani Maesaroh
ORI merupakan uang pertama yang dicetak dan diterbitkan oleh pemerintah
Republik Indonesia. ORI mempunyai sejarah yang panjang, walaupun sudah sejak
tahun 1945 ORI sudah direncanakan diterbitkan akan tetapi karena kondisi dan
situasi yang tidak mendukung karena adanya pergolakan membuat penerbitan ORI
ditunda. Bulan Oktober 1946 ORI akhirnya diterbitkan dan menjadi uang resmi
Republik Indonesia dengan dasar hukum Undang-undang No. 17 Tahun 1946 dan
Undang-undang No.19 Tahun 1946. ORI yang terbit pada masa revolusi
kemerdekaan mempunyai peranan penting selain peranan utamanya sebagai uang
yaitu sebagai alat tukar dalam pembelian, satuan hitung, unit perhitungan dan fungsi
ekonomi lainnya. Peranan ORI tidak hanya di bidang ekonomi akan tetapi di bidang
lain seperti politik dan perjuangan mempertahankan kedaultan Republik Indonesia.
Key Words: Sejarah, Oeang Republik Indonesia, Peranan, Revolusi Kemerdekaan
1. PENDAHULUAN
Uang telah digunakan selama berabad-abad yang lalu dan merupakan salah
satu penemuan manusia yang paling menakjubkan. Uang juga mempunyai sejarah
yang panjang dan telah mengalami perubahan yang sangat besar sejak dikenal
manusia. Tidak ada manusia modern yang tidak mengenal uang, dari anak kecil
hingga manula, dari orang miskin hingga orang kaya, semuanya tidak bisa
melepaskan diri dari benda yang bernama uang. Pengertian uang sendiri adalah suatu
benda yang pada dasarnya dapat berfungsi sebagai: (1) alat tukar (medium of
exchange), (2) alat penyimpan nilai (store of value), (3) satuan hitung (unit of
account), dan (4) ukuran pembayaran yang tertunda (standard for deffered payment).
Uang selain mempunyai fungsi ekonomi, juga memiliki fungsi dalam politik dan
perjuangan. Uang dapat dijadikan sebagai alat perjuangan serta menunjukkan
kedaulatan sebuah negara. Uang juga dapat menjadi komoditi dalam perdagangan
valuta asing.
Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Indonesia menghadapi
tiga masalah utama, yaitu dengan datangnya tentara Sekutu untuk menerima
penyerahan kekuasaan dari Jepang, timbulnya perbedaan yang makin tajam antara
pemimpin-peminpin bangsa, dan perundingan-perundingan dengan Belanda. Pasukan
Sekutu mulai mendarat di Jawa pada akhir September 1945. Belanda datang
membonceng pasukan Sekutu dengan keinginan untuk menduduki kembali negara
jajahannya. Dengan makin gencarnya serbuan tentara Belanda ke Jakarta, Pemerintah
Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Akibatnya
Indonesia terpecah menjadi dua wilayah, yaitu wilayah yang dikuasai oleh
Pemerintah Republik Indonesia dan wilayah yang diduduki oleh Belanda di bawah
administrasi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian
membentuk Negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst Voor Federal
Overleg (BFO) ( Sigalingging dkk, 2005: 8).
Kondisi politik Indonesia mengalami banyak permasalahan baik intern
maupun ekstern. Dalam pemerintahan Republik Indonesia sendiri perbedaan pendapat
di antara pemimpin bangsa terus terjadi dan mengakibatkan perubahan-perubahan
kabinet yang silih berganti dalam waktu yang sangat singkat. Selain kondisi politik
tersebut, terbaginya wilayah Indonesia secara de facto menjadi dua menyulitkan
pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai satu kesatuan pemerintahan dan
moneter melalui pengedaran uang rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia (Khastiti, 2011: 20).
Kondisi ekonomi pada awal kemerdekaan juga buruk baik secara makro
maupun secara mikro sebagai peninggalan penjajah. Tantangan di bidang ekonomi
sangat berat baik dari segi produksi, distribusi, maupun perdagangan. Perekonomian
sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan, seperti karet, kopi,
tembakau, teh dan gula. Merosotnya produksi pertanian dalam berbagai komoditi
yang berakibat pada menurunnya ekspor dan cadangan devisa berkurang. Selain itu
juga terjadi inflasi yang tinggi akibat beredarnya tiga mata uang yang digunakan di
Indonesia. Tiga mata uang tersebut adalah mata uang NICA yang biasa disebut
dengan uang merah, mata uang Jepang dan uang kertas De Javasche Bank (DJB)
yang disebut dengan uang federal. Inflasi itu terjadi juga karena adanya blokade dari
Belanda. Di mana Belanda melarang adanya aktifitas ekspor dan impor. Belanda
melarang hasil bumi atau komoditas barang dagangan Indonesia di ekspor, dan
melarang negara lain untuk melakukan impor ke Indonesia. Sehingga terjadi
penumpukkan barang dagangan di dalam negeri dan adanya kelangkaan barang
kebutuhan yang seharusnya di dapat dengan impor. Hal itulah yang menyebabkan
adanya inflasi, karena ada ketidaseimbangan antara uang yang beredar dengan barang
kebutuhan yang tersedia (Parera, 2005: 5-6).
Setelah Indonesia merdeka hingga pertengahan tahun 1946, kegiatan ekonomi
dalam keadaan stagnan, inflasi tinggi, dan cadangan devisa sangat rendah. Keadaan
tersebut menjadi lebih buruk dengan kerusakan yang disebabkan oleh pendudukan
Belanda di berbagai wilayah Indonesia dan berlangsungnya perang yang
berkelanjutan. Usaha-usaha untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia tidak hanya
dilakukan dengan perlawanan fisik tapi juga melalui jalur diplomasi. Tahun 1945-
1949 Indonesia melakukan perundingan-perundingan dengan Belanda.
Perundingan –perundingan tersebut antara lain Perjanjian Linggarjati,
Perjanjian Renville, Perjanjian Roem Royen dan KMB. Di mana ada beberapa
perjanjian yang dilanggar oleh Belanda, yaitu perjanjian Linggarjati yang dilanggar
oleh Belanda dengan melancarkan Agresi Militer Belanda 1, kemudian Perjanjian
Renville dengan melancarkan Agresi Militer Belanda 2. Perjuangan fisik dan
perjuangan diplomasi adalah usaha bangsa Indonesia dalam mendapatkan pengakuan
kedaulatan dan mewujudkan cita-cita revolusi. ORI juga menjadi salah satu
perjuangan Indonesia melalui jalur diplomasi. ORI menjadi simbol kedaulatan
Republik Indonesia, karena jika sebuah negara dapat mengeluarkan uang sendiri,
maka negara tersebut sudah memiliki kedaulatan.
ORI merupakan mata uang pertama bagi Republik Indonesia sekaligus
menjadi sarana untuk perjuangan. Uang yang sebenarnya mempunyai nilai ekonomis
yang digunakan sebagai alat tukar, alat penyimpan nilai, satuan hitung, dan ukuran
pembayaran yang tertunda pada masa ini mempunyai fungsi yang lain. Pada masa
revolusi, uang juga mempunyai fungsi sebagai alat pemersatu, penggugah rasa
nasionalisme serta menunjukkan adanya Indonesia yang berdaulat di mata dunia.
Sehingga selain uang mempunyai nilai ekonomis, uang juga berfungsi sebagai sarana
politik dan perjuangan. ORI yang sebagian besar bahkan keseluruhan gambarnya
memuat gambar Presiden Soekarno juga mempunyai makna tersendiri. Baik bagi
Soekarno pribadi maupun bagi pihak lainnya. Pemilihan periode 1946-1950 juga
mempunyai alasan sendiri. Karena ORI diterbitkan pada tahun 1946, pada saat itu
juga merupakan periode revolusi. Tahun 1950 sendiri, selain merupakan akhir dari
ORI itu sendiri. Karena pada tahun 1950, ORI ditarik dari peredaran, dan digantikan
dengan uang yang baru yaitu uang resmi yang dikeluarkan oleh DJB yang kemudian
berganti nama menjadi Bank Indonesia (Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber,
2003:6).
ORI beredar dan menjadi mata uang resmi Republik Indonesia tidak
mempunyai umur yang panjang. Pada tahun 1950, ORI ditarik dari peredaran karena
adanya alasan politik. Selain itu berdasarkan keputusan KMB, Indonesia mulai tahun
1949 berbentuk Republik Indonesia Serikat sehingga ORI ditarik dari peredaran dan
digantikan dengan uang federal atau uang DJB. Akan tetapi, ORI mempunyai peran
dan andil yang sangat besar terhadap pejuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
ORI tidak hanya berfungsi sebagai uang, tapi juga mempunyai fungsi lainnya yaitu
sebagai salah satu alat untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dan mengembalikan
kondisi ekonomi di Indonesia. ORI menjadi salah satu alat untuk menunjukkan
kedaulatan Republik Indonesia dan menjadi alat dalam perjuangan menegakkan
kemerdekaan selain melalui perjuangan fisik dan diplomasi. Untuk itu penulis
mengambil judul “PERANAN OEANG REPUBLIK INDONESIA (ORI) DALAM
PERIODE REVOLUSI KEMERDEKAAN 1946-1950”.
2. METODE
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian sejarah.
Metode ini biasanya disebut dengan metode sejarah, metode sejarah sendiri
mempunyai pengertian penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan
jalan pemecahannya dari perspektif historis (Abdurrahman, 2007: 53). Metode
penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan
mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis (Garraghan,
1963: 34). Sedangkan menurut Louis Gottschalk dalam Abdurrahman (2007: 53),
menjelaskan metode sejarah sebagai “proses menguji dan menganalisis kesaksian
sejarah guna menemukan data yang autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis
atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Langkah-langkah
dalam melakukan penelitian sejarah yaitu (1) Pemilihan Topik, (2) Pengumpulan
Sumber (Heuristik), (3) Kritik yang terdiri dari kritik internal dan eksternal, (4)
Interpretasi, (5) Historiografi atau penulisan.
3. KONDISI EKONOMI REPUBLIK INDONESIA 1946-1950
Bulan September 1945 hingga Oktober 1946 tercatat beberapa masalah
ekonomi yang harus dihadapai oleh pemerintah RI. Pada masa awal kemerdekaan
terjadi kesulitan bahan makanan, hal ini dikarenakan dalam keadaan revolusi banyak
produsen bahan makanan meninggalkan lapangan pekerjaannya dan lebih memilih
untuk bekerja dimana mereka hanya menjadi konsumen saja. Sehingga produsen
bahan makanan berkurang sedangkan konsumennya semakin bertambah. Selain itu
para pemuda terutama buruh tani banyak yang meninggalkan pekerjaannya untuk ikut
dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya pemuda yang berjuang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan RI
di berbagai tempat. Pada masa ini faktor hati para pemuda di masa revolusi tergerak,
rasa patriotis dan cinta tanah air membawa mereka ke garis depan untuk
mempertahankan kemerdekaan, sehingga pekerjaan sehari-hari seperti pekerjaan
mereka sebagai petani tidak mendapat perhatian yang semestinya (Majalah Merdeka,
8 Desember 1945 hal 12).
Demi menjaga keadaan perekonomian di seluruh Indonesia, maka dikeluarkan
Maklumat No. 3 tertanggal 4 Oktober 1945 tentang pengiriman barang dagangan ke
luar tanah Jawa dan Madura, tidak diperbolehkan kecuali dengan izin Menteri
Kemakmuran. Hal ini dilakukan untuk mengawasi peredaran barang-barang dagangan
yang memang pada saat itu sudah sulit untuk didapatkan dan diupayakan agar tidak
mengganggu kepentingan umum. Aturan ini sama dengan aturan pada masa Jepang,
yaitu dalam Osamu Seirei No. 4 tanggal 24-1-2604, Osamu Kanrei No. 2 tanggal 24-
1-2604, Maklumat Gunseikan No. 3 tanggal 21-1-2604 dan aturan-aturan lain yang
memang pada saat itu masih digunakan oleh pemerintah RI sebelum diadakan
peraturan yang baru. Karena keadaan yang berubah aturan-aturan tersebut tidak
dilakukan sepenuhnya. Peraturan itu diberlakukan untuk menjaga agar pertukaran-
pertukaran barang-barang dagangan tidak terganggu sehingga perekonomian tanah
Jawa dan Madura dapat terjamin meskipun pertukaran barang dagangan dengan
kepulauan di Indonesia tetap berjalan (Surat edaran No. 926/D. P. P. tanggal 8
November 1945).
Jenis-jenis barang yang dibatasi lalu lintas peredarannya antara lain macam
barang yang berasal dari padi, singkong, kacang-kacangan dan segala macam barang
yang berasal dari kacang-kacangan, jagung, gula jawa, gula pasir, gula batu, kembang
gula. Selain itu barang-barang kerajinan juga dibatasi, antara lain keperluan
pertenunan misalnya kapas, sisal, corchorus, rami, benang, cat, obat-obatan tenun,
kain tenun, dan barang lainnya yang dibuat dari kain tenun dan benang. Sedangkan
barang-barang lainnya seperti ban dan bagian-bagian lain dari kendaraan (Surat
edaran No.945/D. P. P, 8 November 1945).
Tahun 1947 juga mulai pembatasan mengenai barang-barang yang penting,
kemudian ada kebijakan mengenai harga maksimum dalam perdagangan. Hal ini
dilakukan untuk membatasi agar harga-harga tidak membumbung tinggi. Akan tetapi
justru pembatasan harga maksimum ini semakin membuat rakyat menderita. Hal ini
disebabkan karena pedagang-pedagang tidak ingin mendapatkan kerugian, mereka
masih ingin mendapatkan untung sehingga pedagang-pedagang yang sebagian besar
adalah orang Tionghoa melakukan penimbunan-penimbunan walaupun hal tersebut
sudah dilarang. Di Ciomas yang ditimbun tersebut kemudian dijual di pasar gelap
atau pasar malam yang hanya beroperasi dari jam 6 sampai jam 11 malam. Dalam
pasar gelap atau pasar malam tersebut, pedagang dapat mencari untung sebesar-
besarnya. Selain itu, pedagang juga melakukan kecurangan dengan tidak menjual
beras, akan tetapi menjual nasi dan ketupat. Sehingga jika pembeli ingin membeli
beras, para pedagang mengatakan tidak ada beras tapi nasi dan ketupat yang ada
(Majalah Merdeka, 27 November 1948). Para pedagang melakukan hal itu untuk
mendapatkan untung sebanyak-banyaknya, karena adanya pembatasan harga, maka
pedagang beras tidak bisa menjual dengan harga tinggi, akan tetapi jika mereka
menjual nasi dan ketupat mereka bisa menjual dengan harga semau mereka.
Selain kondisi-kondisi tersebut, perekonomian Republik Indonesia semakin
terpuruk dengan adanya blokade dari Belanda yang mulai dilakukan pada bulan
November 1945. Akibatnya barang-barang dagangan milik pemerintah RI tidak dapat
di ekspor. Adapaun alasan Belanda melakukan blokade itu adalah untuk mencegah
masuknya senjata dan peralatan militer ke Indonesia, karena pada saat itu Republik
Indonesia melakukan perlawanan-perlawanan mempertahankan kedaulatan dan
kemerdekaan dimana Belanda dan sekutunnya ingin mengambil kembali kekuasaan
di Indonesia. Alasan lain yaitu mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan
milik Belanda dan milik asing lainnya serta melindungi bangsa Indonesia dari
tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bukan bangsa
Indonesia (Poesponegoro & Notosusanto, 1984: 173).
Blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda terus berlanjut hingga tahun
1948. Politik perdagangan yang diterapkan Belanda mengharuskan semua barang
yang masuk atau keluar Indonesia harus memakai lisensi Belanda dan harus diperiksa
oleh Belanda pada tempat-tempat tertentu. Semua perdagangan Republik harus
berdasarkan barter, tukar menukar dan pedagang-pedagang Indonesia tidak boleh
melalui peraturan genjatan senjata yang telah ditetapkan. Semua kredit luar negeri
yang didapat dari eksport harus diserahkan pada Belanda (Majalah Merdeka, 31 Juli
1948). Belanda dengan melakukan hal ini telah melanggar persetujuan gencatan
senjata yang telah disepakati.
Pada akhir pendudukan Jepang dan masa awal Republik Indonesia, keadaan
ekonomi sangat kacau. Hiper inflasi menimpa negara Republik Indonesia yang baru
berumur beberapa bulan. Sumber inflasi adalah beredarnya mata uang Jepang secara
tak terkendali. Peredaran mata uang Jepang di masyarakat diperkirakan sejumlah 4
milyar. Sampai pada bulan Agustus 1945 mata uang Jepang yang beredar di Jawa
saja, berjumlah 1,6 milyar. Jumlah ini bertambah ketika pasukan Serikat berhasil
menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan mengausai bank-bank. Dari bank-
bank itu diedarkan uang cadangan sebesar 2,3 milyar untuk tujuan operasi dan
membiayai pembantu-pembantunya seperti menggaji pegawai dalam rangka
mengembalikan pemerintahan kolonial Belanda.
Kesulitan keuangan Pemerintah RI ditambah dengan pernyataan Letnan
Jenderal Sir Montagu Stopford, Panglima AFNEI yang baru, yang menyatakan
berlakunya uang baru di wilayah yang diduduki serikat pada 6 Maret 1946. Uang
baru itu dikenal sebagai uang NICA. Uang NICA ini dimaksudkan untuk
menggantikan mata uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Kurs ditentukan
3% yaitu setiap fl. 1,- uang Jepang dinilai sama dengan 3 sen uang NICA. Maklumat
penggantian diumumkan sejak tanggal 6 Maret 1946. (Poeponegoro & Notosusanto,
1984: 174).
Untuk mengatasi kondisi-kondisi ekonomi yang buruk maka pemerintah
menetapkan beberapa kebijakan moneter. Dengan dasar hukum Undang-undang No.
4 tahun 1946, Pinjaman nasional dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang sedang
dalam pergolakan dan ditujukan untuk menegakkan negara. Melalui undang-undang
tersebut pemerintah memberikan kuasa kepada Menteri Keuangan untuk menjual
surat-surat pengakuan utang atas tanggungan negara untuk mendapatkan sejumlah
dana. Surat-surat pengakuan utang tersebut hanya bisa dimiliki oleh warga negara RI.
Surat-surat pengakuan utang tidak bisa dijual, digadaikan, diwariskan kepada warga
negara lain atau kepada badan hukum lain (Undang-undang No. 4 Tahun 1946
tentang Pinjaman Nasional).
Pinjaman nasional ini sangat penting artinya bagi usaha pembangunan dan
pertahanan negara, yang berarti pula adanya keinginan untuk mengurangi inflasi yang
disebabkan perbuatan NICA yang telah menyebarkan uang Jepang ratusan ribu dalam
masyarakat. Tujuan lainnya pinjaman nasional menarik sebagian uang Jepang yang
beredar di masyarakat serta mengukur sampai dimana kesanggupan dan keyakinan
rakyat Indonesia terhadap pemerintahannya. Dengan kata lain untuk mengetahui
seberapa besar rasa nasionalisme rakyat. Pinjaman nasional ini juga digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara seperti menggaji pegawai pemerintahan.
Pada tanggal 30 Oktober 1946, Pemerintah Republik akhirnya mengeluarkan
mata uang resmi yang digunakan di wilayah Republik yaitu Oeang Republik
Indonesia (ORI). Dikeluarkannya ORI bertujuan untuk mengatasi inflasi karena
banyaknya mata uang yang beredar di masyarakat. Selain mengatasi inflasi, ORI
dikeluarkan dengan tujuan untuk legitimasi kedaulatan RI. Dikeluarkannya ORI tidak
serta merta membuat kondisi keuangan Republik membaik. Belanda yang berusaha
mengambil kembali kekuasaan di Indonesia tidak tinggal diam, dengan berbagai cara
Belanda berusaha agar kondisi ekonomi Republik semakin terpuruk. Usaha Belanda
yang lainnya untuk melemahkan perekonomian Indonesia adalah dengan
mengeluarkan ORI palsu.
Selama tahun 1945-1949, baik pemerintah Republik Indonesia maupun
pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menyusun anggaran belanja dengan baik.
Dalam masa dimana ketegangan politis antara kedua pemerintah dan bentrokan,
bahkan peperangan antara kedua kekuatan militer meningkat sehingga administrasi
keuangan negara terlantar. Dalam rentang waktu tersebut pemerintah Hindia Belanda
telah melakukan deficit financing untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya
dengan jalan mengadakan pinjaman dari De Javasche Bank disamping menciptakan
uang kertas pemerintah. Kurun waktu 1945-1949 hutang pemerintah Hindia Belanda
semakin besar, yaitu meningkat dari 347 gulden pada tahun 1945 menjadi 2.859
gulden pada tahun 1949. Hutang ini yang dialihkan juga dari pemerintah Hindia
Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar
(KMB). Besarnya kontribusi DJB dalam hutang lancar pemerintah Hindia Belanda
yang dialihkan kepada RIS maka DJB ditetapkan sebagai bank sirkulasi sesuai
persetujuan KMB (Kusumo, 2008: 45).
Kebijakan di bidang keuangan di wilayah yang dikuasai Republik Indonesia
pada tahun 1945-1949 tidak banyak berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Republik Indonesia juga melakukan deficit financing dengan mencetak
ORI. Seiring dengan meningkatnya pengeluaran perang, pencetakan ORI juga terus
meningkat. Pada tahun 1949 jumlah ORI dan ORIDA yang dikeluarkan oleh
pemerintah sebesar 6 miliar (Majalah Sikap, 12 Maret 1949). Dengan demikian
deficit financing sebagai cara termudah untuk membiayai perang telah dilakukan oleh
kedua belah pihak. Kebijakan demikian telah menyebabkan volume uang beredar
meluap sampai tingkat tinggi. Keadaan moneter semakin lama menunjukkan
kemerosotan.
Kondisi demikian memperburuk kondisi ekonomi dan menyebabkan
meningkatnya inflasi, volume uang yang semakin meningkatkan permintaan barang
tanpa diimbangi dengan perluasan secara proposional pada sisi penawaran sehingga
mendorong inflasi semakin deras. Harga barang di pasar naik, rakyat semakin
disulitkan dengan turunnya nilai ORI. Surplus saldo perdagangan yang secara
konsisten terjadi sebelum perang telah digantikan oleh deficit yang terjadi terus
menerus. Hal ini disebabkan karena produksi barang-barang ekspor sangat rendah
akibat kondisi perang dan revolusi. Perencanaan peningkatan produksi yang
dilakukan pada tahun 1946 tidak banyak mempengaruhi volume produksi. Rintangan
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan lebih besar dan menghambat
peningkatan produksi. Akibatnya impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
barang, harga barang impor lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi sendiri.
Dengan adanya devaluasi ORI, maka harga semakin tinggi harga barang impor
tersebut. Kondisi ekonomi semakin merosot dan rakyat semakin menderita.
Untuk mengatasi kelebihan uang yang ada di tangan masyarakat, dilakukan
Gunting Sjafrudin yang merupakan pembersihan moneter pada 19 Maret 1950
berdasarkan surat keputusan Menteri Keuagan No. P.U.1. Tujuan dari pengguntingan
ini adalah mensejajarkan tingkat harga internal dan tingkat harga eksternal sesuai
nilai tukar yang berlaku. Tingkat harga internal yaitu harga dalam negeri sedangkan
tingkat harga eksternal yaitu harga barang dalam perdagangan internasional.
Pembersihan moneter berbentuk pinjaman yang diwajibkan oleh pemerintah kepada
seluruh masyarakat.
Pembersihan moneter dilakukan dengan cara semua mata uang merah atau
NICA dan uang De Javasche Bank yang beredar dengan nilai lebih tinggi dari R. 2,50
digunting menjadi dua bagian. Bagian sebelah kanan diharuskan untuk ditukarkan
dengan Surat Jaminan Pemerintah (bonds) Republik Indonesia Serikat senilai 3% dan
bagian sebelah kiri dipakai sebagai alat pembayaran resmi dengan nilai separuh dari
nilai yang tertera pada uang tersebut hingga 9 April 1950. Bagian sebelah kiri harus
ditukarkan dengan uang De Javasche Bank yang baru mulai tanggal 22 Maret hingga
16 April 1950. Pecahan uang kecil dan koin dengan nilai R. 2,50 atau lebih kecil
tidak diikutsertakan. Tetapi uang yang dimiliki oleh bank dan lembaga-lembaga yang
dianggap sebagai bank dapat ditukarkan dengan rupiah. Separuh dari semua deposito
berjangka dan giro atas R.400 harus ditukarkan dengan Surat Jaminan Pemerintah
senilai 3% dan dapat ditukarkan kembali secara bertahap dalam jangka waktu 40
tahun. Obligasi atau surat berharga yang dimiliki perorangan atau non bank harus
diserahkan kepada DJB untuk di depresiasi dengan nilai yang lebih rendah hingga
separuh dari nilai nominalnya (Surat keputusan Menteri Keuangan No. P.U.1 tentang
Kondolidasi Hutang Jangka Pendek untuk Mengatur Peredaran Uang).
4. SEJARAH OEANG REPUBLIK INDONESIA (ORI) DALAM REVOLUSI
KEMERDEKAAN 1946-1950
Rencana percetakan uang semakin didesak dengan adanya mosi untuk
mengeluarkan uang kertas kepada pemerintah dikeluarkan oleh Perserikatan Ahli-ahli
Penilik dan Pengarang Buku Indonesia di Bandung. Mosi ini bertujuan agar
pemerintah dengan segera mengeluarkan uang kertas sendiri. Akan tetapi pemerintah
menjawab mosi tersebut bahwa pemerintah Indonesia belum bisa mengeluarkan uang
kertas sendiri karena pada saat itu Indonesia belum mempunyai wewenang untuk
mengeluarkan uang kertas sehingga Indonesia masih menetapkan uang Jepang
sebagai alat pembayaran. Wewenang untuk mencetak uang kertas dipegang oleh
NICA yang terus mencetak uang. Selain Perserikatan Ahli-ahli Penilik dan Pengarang
Buku Indonesia, Komite Nasional Indonesia Garut juga mendesak untuk segera
mengeluarkan uang kertas sendiri agar perekonomian rakyat tidak terganggu.
(Kusumo, 2008: 2). Karena pada saat itu pemerintah Indonesia tidak mempunyai
uang yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, sehingga rakyat menggunakan
uang Jepang, NICA, dan Belanda. Dengan banyaknya uang yang beredar di
masyarakat menyebabkan adanya inflasi dan harga-harga barang kebutuhan menjadi
mahal, hal ini membuat rakyat lebih menderita.
Awal mula untuk menjajaki kemungkinan pelaksanaan pencetakan uang
terjadi pada tanggal 24 Oktober 1945 dalam pertemuan di Kementrian Keuangan
(Lapangan Banteng). Saat itu Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis membentuk dan
kemudian menugaskan sebuah tim yang terdiri atas anggota Serikat Buruh Percetakan
G. Kolff di Jakarta dan juga wakil buruh percetakan dari Surabaya untuk melakukan
peninjauan ke beberapa kota seperti Surabaya, Malang, Solo dan Yogyakarta untuk
menentukan percetakan mana yang sebaiknya dipercaya untuk melaksanakan
percetakan uang tersebut (Tim Penulis Naskah Sumber, 2003: 1).
Pada tanggal 7 November 1945, Menteri Keuangan membentuk suatu panitia
berdasarkan Surat Keputusan Menteri keuangan No. 3/RO tanggal 7 Nopember 1945
yang dinamakan “Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik
Indonesia” yang terdiri atas Ir. R. P. Soerachman sebagai pengawas, diketuai oleh
T.R.B (Direktur Bank Rakyat Indonesia), dengan anggota H. A. Pandelaki
(Kementrian Keaungan), M. Tabrani (Kementrian Penerangan), S. Sugiono (Bank
Rakyat Indonesia), E. Kusnadi (Kas Negara), R. Aboebakar Winangoen (Kementrian
Keuangan) serta Oesman dan Agoes (kedunya mewakili Serikat Buruh). Tugasnya
ialah menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pencetakan uang.
Anggota panitia lainnya terdiri atas para pegawai Kementrian Keuangan dan para
anggota Serikat Buruh Percetakan G. Kolff (To, 1956: 89).
Disamping itu dibentuk pula panitia untuk mempertimbangkan cara-cara
menerima, menyimpan, dan mengedarkan uang baru itu yang dipimpin oleh Enang
Kusnadi, Kepala Kas Negeri Jakarta. Menjelang pencetakan uang selesai ditetapkan
pula bagaimana seharusnya nilai uang baru itu terhadap uang yang berlaku,
bagaimana terhadap perlakuan uang lama dan bagaimana kedudukan utang piutang.
Berdasarkan penelitian yang pertama maka pencetakan uang tersebut akan
dilaksanakan di Surabaya. Pada awal bulan November 1945 panitia telah
mempersiapkan klise yang diperlukan. Menteri Keuangan sendiri pun telah
membubuhkan tanda tangannya pada bahan pencetak uang pada tanggal 17 Oktober
1945. Panitia yang menganani pencetakan uang telah berangkat ke Surabaya untuk
mengatur pelaksanaan pencetakan yang akan dilaksanakan di kota tersebut. Menurut
rencana uang baru itu akan dikeluarkan pada bulan Januari 1946. Tetapi rencana
tersebut tidak dapat dilaksanakan karena beberapa hari kemudian terjadi pertempuran
di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 ( To, 1956: 29).
Pertempuran yang terjadi menghambat proses pembuatan Oeang Republik
Indonesia. Pencetakan uang baru di Surabaya tidak memungkinkan lagi, segala
sesuatunya harus dimulai dari awal lagi karena bahan-bahan lama tidak dapat
dipergunakan lagi sebab harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan
percetakan yang baru. Maka dicari kota lain yang dapat melaksanakan pencetakan
uang walau tidak selengkap di Surabaya. Pilihan kota tersebut jatuh di Jakarta, akan
tetapi di Jakarta panitia menemui banyak kesulitan. Pertama kesukaran dalam
mendapatkan bahan baku yang diperlukan seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk
fotografi dan zinkografi, plat seng untuk klise dan alat-alat lainnnya seperti mesin
aduk untuk membuat tinta (Kusumo, 2008:15).
Kesukaran itu dapat teratasi berkat bantuan dari para karyawan yang dengan
sukarela membantu. Mereka adalah karyawan perusahaan percetakan dan perusahaan
asing lainnya, maka dengan surat tugas yang ditunjukkan dimulailah pembongkaran
beberapa gudang di Jakarta antara lain Geo Wehry dan Borsumy untuk mengambil
barang-barang yang diperlukan. Tetapi ada juga beberapa barang yang diperoleh
dengan mencuri antara lain yaitu mesin aduk untuk membuat tinta didapat dengan
mencuri pada malam hari di Pabrik Cat Pieter Schoen dan kertas diambil dari
percetakan Kolff & Co. Pengangkutan barang-barang tersebut ke Kementrian
Keuangan tidak dicurigai pihak serikat sebab umumnya para karyawan tersebut
mengantongi surat rekomendasi yang dikeluarkan tentara serikat (Tim Penyusun
Penerbitan Naskah Sumber, 2003:45).
Pembuatan desain dan bahan-bahan dasar berupa negative kaca dilakukan di
Percetakan Balai Pustaka, Jakarta dan Percetakan De Unie yang dikerjakan oleh
Bunjamin Suryohardjo. Di Percetakan De Unie pula dibuat gambar litografi. Pelukis
pertama ORI adalah Abdulsalam dan Soerono. Oleh karena Percetakan G. Kolff pada
saat itu masih dikuasai oleh Belanda, maka proses offsetnya untuk pertama kali
dilakukan oleh Percetakan RI Salemba, Jakarta yaitu percetakan yang berada di
bawah Menteri Penerangan (Merdeka, 30 Oktober 1946).
Setelah desain selesai dikerjakan kemudian hasil rancangan ditunjukkan
kepada Menteri Keuangan dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Uang yang
dipersiapkan untuk dicetak adalah dengan nilai 100 rupiah, 10 rupiah, 5 rupiah, 1
rupiah, ½ rupiah, 10 sen, 5 sen, dan 1 sen. Percetakan perdana dilakukan di
Percetakan Balai Pustaka dengan pecahan yang pertama dicetak adalah pecahan
bernilai 100 rupiah. Menjelang akhir Desember 1945 semua pekerjaan yang berkaitan
dengan pelaksanaan percetakan uang terpaksa dihentikan karena keadaan kota Jakarta
sudah semakin tidak aman. Oleh karena itu beberapa ratus rim lembaran uang seratus
rupiah yang belum diberi nomor seri dan segala bahan serta alat yang dianggap perlu,
dibawa bersama karyawan yang menanganinya beserta keluarganya dipindah ke
Yogyakarta karena pemerintah sudah pindah ke Yogyakarta. Percetakan ORI
diteruskan di Yogyakarta, Solo dan Malang. Produksi ORI dimulai Januari 1946 dan
ditangani oleh R. A. S. Winarno dan Joenoet Ramli (Fitrianti, 2008: 16).
Pencetakan ORI dilaksanakan dibeberapa tempat yaitu di Percetakan NIMEF
(Nederlands-Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken) di Kendalpayak,
Malang dan juga dipercetakan yang ada di Yogyakarta dan Solo. Pencetakan uang di
Malang mendapat bantuan kertas dari Serikat Buruh Kertas Padalarang yang
dipimpin oleh Amat Sumadisastra. Mereka berhasil membawa kertas Leces
Probolinggo, sebelum pabrik kertas Padalarang dikuasai tentara serikat. Kertas inilah
yang digunakan untuk mencetak uang pertama di Malang dan Yogyakarta. Untuk
memperoleh bahan-bahan kimia selain didatangkan dari Jakarta, bantuan diperoleh
dari dr. Mustafa Zakir yang bekerja sebagai dokter di Perusahaan Guladi Kediri dan
dari laboratorium-laboratorium pabrik gula yang tersebar di Jawa Timur, selain itu
juga dari para apoteker Departemen Kesehatan (Tim Penerbit Naskah Sumber,
2003:6).
Pelaksanaan pencetakan uang di Solo diatur dan diawasi oleh sebuah panitia
khusus yang dibentuk oleh Menteri Keuangan pada tanggal 16 September 1946. Pada
waktu itu bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan banyak yang harus didatangkan
dari daerah pendudukan Belanda dengan cara diselundupkan. Sebelum uang
diedarkan timbul permasalahan tentang jaminan uang yang akan diedarkan, tetapi
Wakil Presiden Mohammad Hatta pada waktu itu berpendapat bahwa uang baru yang
diedarkan tidak perlu dikeluarkan oleh suatu bank, tetapi oleh pemerintah sendiri
dengan dasar A-metalisme. Dalam hal ini dasar yang terpenting adalah kepercayaan
rakyat kepada pemerintahnya sendiri. Sehingga uang Republik yang diedarkan
merupakan uang kertas pemerintah bukan uang kertas bank, dan tidak berdasarkan
jaminan emas.
Tanggal 1 Oktober 1946, pemerintah melalui Undang-undang No. 17 Tahun
1946 mengeluarkan Oeang Republik Indonesia secara resmi. Dalam undang-undang
menyebutkan bahwa pemerintah masih perlu mengganti uang yang dikeluarkan oleh
pemerintah dengan Oeang Republik Indonesia sendiri. Sedangkan besarnya nilai ORI
akan ditentukan dalam undang-undang lain, macam warna, jenis harga ORI dan hal
lainnya yang berhubungan dengan pengeluaran ORI ditetapkan oleh Menteri
Keuangan (Undang-undang No. 17 Tahun 1946). Kemudian untuk mengatur agar
peredaran uang dalam masyarakat dan menarik uang yang beredar maka pada tanggal
10 Oktober dikeluarkan peraturan kewajiban menyimpan uang dalam bank. Peraturan
tersebut dikeluarkan berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 1946.
Keluarnya Oeang Republik Indonesia ini diharapkan dapat menghilangkan
adanya inflasi karena banyaknya mata uang yang beredar di masyarakat. Karena
sebelumnya pemerintah telah menetapkan beberapa mata uang yang secara resmi
dapat digunakan di wilayah Republik. Selain itu, uang yang dikeluarkan oleh pihak
Belanda untuk mengacaukan perekonomian Indonesia yaitu uang NICA atau uang
merah juga turut memperburuk inflasi. Karena uang tersebut juga dimasukkan ke
daerah kekuasaan Republik. Sehingga dengan adanya ORI dan kewajiban menyimpan
uang dalam bank akan menarik uang yang ada dalam perdaran. Hal inilah yang
diharapkan oleh masyarakat bahkan pemerintah Indonesia. Akan tetapi pada
kenyataannya dikeluarkannya ORI tidak melenyapkan adanya inflasi.
ORI tersebut tidak menghilangkan inflasi, akan tetapi hanya mengurangi
adanya inflasi. Karena usaha untuk menyehatkan keuangan Republik Indonesia tidak
hanya dilakukan dengan cara mengeluarkan ORI sebagai uang pertama yang dibuat
oleh pemerintah Republik Indonesia. Keluarnya ORI terutama berdasarkan keuletan
dan kesanggupan nasional dan kebanggaan untuk melalui kondisi sulit yang dihadapi.
Dalam keadaan ekonomi Republik Indonesia yang masih belum stabil ditambah
dengan adanya blokade ekonomi oleh Belanda hal ini hanya memperkecil kesukaran-
kesukaran yang ada di masyarakat.
Pada saat ORI dikeluarkan secara resmi pada tanggal 1 Oktober 1946 belum
ada aturan mengenai dasar nilai ORI, penukaran ORI dengan uang Jepang yang masih
berlaku maka dikeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1946. Ditentukan dasar nilai
bahwa sepuluh rupiah ORI sama dengan emas murni seberat 5 gram. Dasar
penukaran lima puluh rupiah uang Jepang disamakan dengan satu rupiah ORI di
daerah Jawa dan Madura. Di luar daerah Jawa dan Madura dasar penukaran seratus
rupiah uang Jepang sama dengan satu rupiah ORI. Penukaran uang Jepang dengan
ORI hanya dilakukan dengan perantaraan bank yang sudah ditunjuk seperti yang
tercantum dalam undang-undang kewajiban menyimpan uang di bank. Untuk
sementara uang Jepang yang ditukarkan adalah uang Jepang yang sudah disimpan di
bank. Sebagai pengganti uang tunai yang masih dipakai, maka setiap orang akan
diberikan satu rupiah. Aturan mengenai pembayaran hutang yang terjadi sebelum
ORI berlaku adalah satu rupiah uang sah yang berlaku sebelum ORI sama dengan
satu rupiah ORI jika terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1943. Dua puluh rupiah uang
yang berlaku sama dengan satu rupiah ORI jika terjadi tanggal 1 Januari 1943 sampai
sebelum 1 Januari 1946. Lima puluh rupiah uang yang berlaku sama dengan satu
rupiah ORI jika terjadi setelah tanggal 1 Januari 1946 sampai sebelum ORI berlaku.
Menteri Kemakmuran dapat menetapkan harga setinggi-tingginya dari barang-barang
yang dianggap penting misalnya komoditi perdagangan yang penting; beras, cengkeh,
lada, dan rempah-rempah lainnya. ORI mulai berlaku pada waktu yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, uang yang berlaku sebelum ada ORI tidak berlaku lagi
sebagai alat pembayaran yang sah (Undang-undang No. 19 Tahun 1946).
Tanggal 29 Oktober 1946, Wakil Presiden Mohammad Hatta melakukan
pidato di Radio Republik Yogyakarta. Isi pidato tersebut adalah mengumumkan
bahwa pada tanggal 30 Oktober 1946 merupakan hari yang bersejarah dan merupakan
penghidupan baru karena ORI sebagai alat pembayaran yang sah akan dibagikan
kepada rakyat. Mulai pukul 24.00 uang Jepang dan uang De Javasche Bank yang
selama ini berlaku sebagai alat pembayaran tidak berlaku lagi (Berita Indonesia, 31
Oktober 1946 ). Mulai tanggal 30 Oktober 1946 rakyat akan melakukan transaksi jual
beli dengan menggunakan ORI, uang Jepang dan De Javasche Bank yang ada di
masyarakat tidak berlaku lagi. Akan tetapi ini baru berlaku di daerah kekuasaan
Republik, sedangkan di daerah kekuasasan serikat belum terjadi, karena di daerah
yang dikuasai serikat masih beredar uang Jepang, uang De Javasche Bank dan uang
NICA yang digunakan sebagai alat pembayaran. Hal ini dilakukan oleh Belanda
untuk mengacaukan perekonomian Indonesia.
ORI diterbitkan lima emisi, ORI emisi pertama bertuliskan “Djakarta 17
Oktober 1945” ditandatangani oleh A.A. Maramis, dalam 8 pecahan yaitu 1 sen, 5
sen, ½ rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah. Emisi kedua bertuliskan
“Djokjakarta 1 Januari 1947” ditandatangani oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara
dalam 4 pecahan yaitu 5 rupiah, 10 rupiah, 25 rupiah, dan 100 rupiah. Emisi ketiga
bertuliskan “Djokjakarta 26 Djuli 1947” ditandatangi oleh A.A. Maramis dalam
pecahan ½ rupiah, 2 ½ rupiah, 25 rupiah, 50 rupiah, 100 rupiah, dan 250 rupiah. ORI
Emisi keempat diterbitkan dengan bertuliskan “Djogjakarta 23 Agustus 1948”
ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta dalam pecahan yang unik yaitu 40 rupiah, 75
rupiah,100 rupiah, dan 400 rupiah, sedangkan pecahan 600 rupiah yang disiapkan
belum sempat diedarkan. Emisi kelima bertuliskan “Djogjakarta 17 Agustus 1949”
ditandatangani oleh Mr. Loekman Hakim dan merupakan rupiah baru dalam pecahan
10 sen baru, ½ rupiah baru, dan 100 rupiah baru.
Karena keterbatasan dari jangkauan ORI di daerah luar Jawa maka pemerintah
daerah Sumatera mengeluarkan uang sendiri sebagai alat pembayaran.
Dikeluarkannya surat tanda penerimaan uang dan surat lainnya yang dapat digunakan
sebagai alat pembayaran berdasarkan PP No. 19 tahun 1947 tanggal 26 Agustus 1947
dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. UKB. 3-4-1 mengenai peraturan untuk
menjalankan peraturan pemerintah tentang surat tanda penerimaan uang yang
dikeluarkan oleh kepala daerah. Surat-surat tanda penerimaan uang, kupon dan
lainnya kemudian akan ditukarkan dengan uang sebenarnya ditempat yang ditunjuk
oleh pemerintah. Khusus daerah yang berada di luar Jawa dan Madura, Sumatera
yang dari awal direncanakan akan disebarkan ORI akan tetapi karena kesulitan yang
dialami oleh pemerintah sehingga ORI tidak bisa masuk ke Sumatera, sebagai alat
pembayaran maka dikeluarkan ORIDA (Oeang Republik Indonesia Daerah).Selain
alasan tersebut, kesulitan uang kecil juga mendorong pemerintah di daerah-daerah
untuk mengeluarkan bukti-bukti pembayaran sebagai ganti uang. Berbagai jenis dan
bentuk ORIDA sempat diterbitkan yang mencerminkan beragam kebutuhan akan alat
pembayaran di masing-masing daerah. Bahkan kertas dan teknik cetak yang
digunakan sangat sederhana, bahkan proses pencetakannya pun mengalami banyak
kendala sebagai dampak dari situasi keamanan yang buruk di daerah-daerah.
ORIDA pertama di Pulau Jawa adalah Uang Kertas Darurat untuk daerah
Banten (URIdab). Emisi pertama uang kertas ini (emisi Serang) tertanggal 15
Desember 1947, terdiri dari pecahan Rp. 1, Rp. 5, Rp. 10 dan Rp. 25 yang
ditandatangani oleh Residen Banten dan Panitia Keuangan. Dasar hukumnya yaitu
Instruksi Pemerintah Pusat RI kepada K. H. Achmad Chatib untuk mencetak dan
menerbitkan uang daerah yang berlaku sementara. Percetakannya dilakukan
dipercetakan Serang, Banten. Setelah itu terbit kembali emisi II yang ditandatangani
oleh Dewan Pertahanan Daerah dan Kepala Pejabatan Keuangan Dewan Pertahanan
Daerah (Iskandar, 1987: 23).
ORI ditarik dari peredaran dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah
mulai tanggal 1 Mei 1950. Penukaran ORI mulai dilakukan pada tanggal 27 Maret
1950, dan simpanan yang ada di bank akan dibekukan hingga ditetapkan peraturan-
peraturan selanjutnya (Surat Keputusan Menteri Keuangan No. P.U./1). Dan untuk
mempermudah maka pemerintah mengadakan pinjaman untuk mengkonsolidasi
hutang jangka pendek dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.
P.U./2. Uang kertas DJB yang digunting dikenal dengan Gunting Sjafrudin dengan
dikeluarkannya surat keputusan Menteri Keuangan tanggal 20 Maret 1950. Tanggal
20 Maret 1950 akan diterbitkan uang baru yang dikeluarkan oleh DJB.
5. PERANAN ORI DALAM REVOLUSI KEMERDEKAAN 1946-1950
Gambar-gambar pada ORI mempunyai makna-makna yang dapat dijadikan
sebagai sumber informasi yang disampaikan dari pemerintah atau pemimpin kepada
rakyatnya. Gambar-gambar yang ada pada ORI dijadikan sebagai sarana komunikasi,
legitimasi kekuasaan serta pencitraan pemimpin Republik Indonesia maupun
pencitraan terhadap Republik Indonesia sendiri. Gambar padi menggambarkan
kemakmuran dan Indonesia sebagai negara agraris. Gambar pada ORI sebagian besar
pada bagian muka memuat gambar Presiden Soekarno menggunakan peci dengan
ekspresi tersenyum. Gambar tersebut dapat memunculkan makna bahwa Presiden
Soekarno yang pada saat itu merupakan orang nomer satu di Republik Indonesia.
Gambar Soekarno pada ORI mengukuhkan kedudukan Soekarno sebagai presiden
pertama sekaligus proklamator.
Gambar bilah keris dengan latar belakang kombinasi garis yang memancar
dengan situasi sulur daun sebagai security feature. Konotasi dari bahasa rupa ORI
yang pertama keluar ini adalah bahwa uang kertas yang dikeluarkan oleh Indonesia
bukan uang yang dibuat oleh Kolonial Belanda atau penjajah Jepang. Keris atau
dikenal dengan istilah tosan aji adalah salah satu senjata tradisional asli Indonesia
yang memperkuat indentitas uang tersebut bahwa uang tersebut adalah uang yang
dikeluarkan oleh Indonesia. Gambar banteng menggambarkan bahwa rakyat
Indonesia suka bermusyawarah. Gambar tenun menggambarkan kebudayaan
Indonesia yaitu menenun. Gambar gunung berapi menunjukkan kesiapan rakyat
Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Peran ORI dalam perekonomian pada masa revolusi antara lain ORI dapat
mengurangi inflasi, dijadikan pengukur harga di pasar sehingga dapat membantu
menentukan kebijakan pemerintah. ORI berfungsi sebagaimana fungsi uang dalam
perekonomian. ORI sebagai mata uang pertama membuat pemerintah Indonesia
mampu membiayai berbagai macam kebutuhan dalam rangka perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Penerbitan ORI pada dasarnya merupakan salah satu cara pemerintah RI
dalam membiayai revolusinya pada saat sumber-sumber pembiayaan lainnya tidak
memadai. Dalam ekonomi moneter, kebijakan itu disebut sebagai cara inflatoir
berupa deficit financing yaitu menciptakan daya beli melalui pengeluaran mata uang.
Pemerintah telah menyadari bahwa kebijakan deficit financing mengakibatkan
perkembangan inflasi yang serius. Namun kebijakan itu merupakan cara termudah,
baik dan efisien untuk membiayai roda pemerintahan dan membiayai peperangan.
Sementara sumber lain seperti pajak, ekspor, dan pengumpulan dana pinjaman tidak
cukup memadai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ORI adalah alat
pembiayaan revolusi melawan Belanda seperti halnya continental money
(greenbacks) yang telah dikeluarkan oleh negara-negara koloni di Amerika Serikat
selama perang kemerdekaan Amerika melawan Inggris.
Peran ORI dalam politik dan perjuangan antara lain ORI dapat menumbuhkan
semangat nasionalisme dan persatuan antar rakyat Indonesia. Dengan adanya ORI
rakyat Indonesia bahu membahu untuk menjaga ORI menjadi uang satu-satunya du
Indonesia. Perjuangan untuk menerbitkan ORI mempersatukan bangsa Indonesia.
ORI juga menjadi alat bagi Republik Indonesia sebagai simbol kedaulatan. Indonesia
yang dapat mencetak uangnya sendiri menunjukkan bahwa Indonesia sudah merdeka
dan berdaulat. ORI juga dijadikan sebagai sarana politik oleh pemerintah sebagai
legitimasi kekuasaan serta pencitraan bagi pemimpinnya. Oleh Soekarno ORI
menjadi alat untuk menunjukkan bahwa ia adalah presiden pertama RI. Melalui ORI
Soekarno menyebarkan paham nasionalis yang ia anut.
6. KESIMPULAN
Kondisi bahan makanan yang tersedia untuk masyarakat tidak mencukupi,
perdagngan juga mengalami kemerosotan. Kondisi itu disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi
adalah kondisi Republik Indonesia yang pada saat itu dalam masa pergolakan,
sebagian besar tenaga kerja yang melakukan produksi tidak dapat melakukan
produksi kembali karena ikut serta dalam perang. Sehingga produksi berkurang yang
berakibat kekurangan bahan makanan dan perdagangan semakin merosot. Faktor
eksternal yang mempengaruhi adalah adanya blokade yang dilakukan oleh Belanda,
sehingga Republik tidak dapat mengekspor barang ataupun mengimpor barang. Hal
ini semakin mempersulit ketersediaan bahan makanan serta kondisi perdagangan
Republik Indonesia.
Kondisi keuangan Republik Indonesia pada masa revolusi mengalami kesulitan. Kas
negara yang mengalami kekosongan karena tidak adanya pemasukan dari
perdagangan akibat adanya blokade oleh Belanda. Selain itu sector-sektor
perekonomian yang penting seperti perkebunan belum bisa berjalan akibat
pendudukan Jepang yang mengalih fungsi perkebunan demi kepentingan militernya.
Kondisi keuangan juga diperparah dengan adanya inflasi karena banyaknya uang
yang beredar tidak sebanding dengan barang yang tersedia di pasar. Banyaknya uang
yang beredar juga menyebabkan devaluasi terhadap ORI, nilai tukar ORI yang
semakin merosot menyebabkan kondisi keuangan Republik semakin buruk.
Kebijakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk
memperbaiki kondisi ekonomi antara lain dengan melakukan pinjaman nasional pada
tahun 1946 dengan tujuan untuk mengisi kas negara yang kosong. Selain itu juga
bertujuan untuk menarik uang Jepang dan Belanda yang beredar sehingga
mengurangi inflasi, hal ini dilakukan sebagai salah satu persiapan Republik Indonesia
untuk mengerluarkan ORI. Pinjaman nasional menjadi salah satu cara pemerintah
dalam mengatasi kesulitan keuangan, pada tahun 1950 pemerintah kembali
melakukan pinjaman nasional dengan mengeluarkan obligasi.
Uang sudah digunakan oleh masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Awal mula
masyarakat Indonesia mengenal uang adalah pada saat pedagang-pedagang dari India,
Gujarat berdagang di Indonesia. Uang menjadi alat pembayaran yang mempermudah
perdagangan. Penggunaan uang terus berlanjut karena dianggap lebih efisien dari
barter. Macam uang yang beredar berkembang seiring dengan banyaknya pedagang
yang dating dan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat.
Pada awal kemerdekaan Indonesia belum memilik uang sendiri, sehingga pemerintah
menetapkan kebijakan untuk menetapkan uang Jepang dan Belanda yang telah
beredar sebagai alat pembayaran yang resmi.
ORI yang diterbitkan pada tanggal 30 Oktober 1946 membuat Republik Indonesia
memiliki uang yang dicetak dan diterbitkan sendiri. Dikeluarkannya ORI tidak serta
melenyapkan inflasi, akan tetapi sedikit memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia.
Perjuangan panjang menerbitkan ORI membuat ORI diterima dengan baik oleh
rakyat. ORI terbit melalui lima emisi, tahun emisi yaitu 1945, 1946, 1947, 1948 dan
1949. Perjalanan ORI berakhir pada Maret 1950 karena adanya perubahan sistem
pemerintahan dan kondisi ekonomi yang buruk dengan dilakukan Gunting Sjafrudin.
Emisi yang pertama bertahunkan 1945 karena ORI sudah dicetak sejak tahun 1945,
akan tetapi karena mengalami kendala akibat kondisi Indonesia sehingga tertunda
percetakannya dan baru dapat diterbitkan pada bulan Oktober 1946. Klise ORI emisi I
sudah dicetak pada tahun 1945. Selain itu tahun 1945 adalah tahun Indonesia
merdeka, sehingga ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah memiliki kedaulatan
sejak tahun 1945.
Gambar-gambar pada ORI mempunyai makna-makna yang dapat dijadikan sebagai
sumber informasi yang disampaikan dari pemerintah atau pemimpin kepada
rakyatnya. Gambar-gambar yang ada pada ORI dijadikan sebagai sarana komunikasi,
legitimasi kekuasaan serta pencitraan pemimpin Republik Indonesia maupun
pencitraan terhadap Republik Indonesia sendiri.
Peran ORI dalam perekonomian pada masa revolusi antara lain ORI dapat
mengurangi inflasi, dijadikan pengukur harga di pasar sehingga dapat membantu
menentukan kebijakan pemerintah. ORI berfungsi sebagaimana fungsi uang dalam
perekonomian.
Peran ORI dalam politik dan perjuangan antara lain ORI dapat menumbuhkan
semangat nasionalisme dan persatuan antar rakyat Indonesia. ORI juga menjadi alat
bagi Republik Indonesia sebagai simbol kedaulatan. ORI juga dijadikan sebagai
sarana politik oleh pemerintah sebagai legitimasi kekuasaan serta pencitraan bagi
pemimpinnya.
Daftar Rujukan
Arsip
Surat Edaran No. 926/D. P. P. Tentang Pengiriman Barang-barang Dagangan Keluar
Tanah Jawa dan Madura
Surat Edaran No. 945/D. P. P. Tentang Pengiriman Barang-barang Dagangan keluar
Tanah Jawa dan Madura
Surat Keputusan Menteri Keuangan No. P.U./I Tentang Kondolidasi Hutang Jangka
Pendek untuk Mengatur Peredaran Uang
Undang-undang No. 4 Tahun 1946 Tentang Pinjaman Nasional
Undang-undang No. 19 Tahun 1946 Tentang Pengeluaran Oeang Republik Indonesia
Buku
Abdurahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: AR-RUZZ
MEDIA.
Fitrianti, Rahmawati. 2008. Perjalanan Panjang ORI; Oeang Republik Indonesia,
Mata Uang yang Lahir Sebagai Alat Revolusi. Bandung: Rosdakarya
Iskandar, Mohammad. 1987. Jurnal Sejarah; Oeang Republik dalam Kancah
Revolusi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Khastiti, Yemima Lintang. 2011. Seri Lawasan Uang Kuno. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG).
Kristaniarsi. 2008. Usaha pemerintah Republik Indonesia mengatasi masalah
moneter pada masa awal kemerdekaan (1945-1946). Skripsi tidak
Diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia
Kusumo, Erwin. 2008. Kronik Penerbitan Oeang Republik Indonesia. Jakarta: Kekal
Press
Parera, J.D (Ed). 2005. Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959; Bank
Indonesia Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Bank
Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional
Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka
Sigalingging, Hotbin, dkk. 2005. Kebijakan Pengedaran Uang di Indonesia. Jakarta:
Bank Indonesia.
Tim Penyusun Laporan Bank Negara Indonesia. 1950. Pelaporan 1946-1949.
Djakarta. Bank Negara Indonesia
Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber. 2003. Penerbitan Naskah Sumber; Oeang
Republik Indonesia (ORI). Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI).
To, Oey Beng. 1991. Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958).
Jakarta: LPPI
Majalah dan Koran
Majalah Merdeka, 8 Desember 1945 hal 12. Soal Makanan Rakyat
Majalah Sikap, 12 Maret 1949. Pemerintah Repoeblik Mencetak ORI Kembali
Merdeka, 27 November 1945. Sekitar Kesoekaran Beras
Majalah Merdeka, 24 Juli 1948. Lapar, Djoega Alat Politik
Merdeka, 30 Oktober 1946. Pidato Wakil Presiden Moh. Hatta menyambut
Keluarnya ORI