Post on 29-Oct-2021
i
PERAN PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN TERHADAP
PENEGAKAN KODE ETIK JAKSA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Gita Cheryl Barizqi
NIM: 11140480000007
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/ 2018 M
v
ABSTRAK
Gita Cheryl Barizqi11140480000007Peran Pengawasan Komisi Kejaksaan
Terhadap Penegakan Kode Etik Jaksa. Skripsi Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun
2018 M/1439H.
Komisi Kejaksaan merupakan lembaga non struktural yang dibentuk
melalui Peraturan Presiden nomor 18 Tahun 2011. Tugas Komisi Kejaksaan
adalah melakukan pengawasan, pemantauan, penilaian kinerja, sikap dan perilaku
jaksa dan pegawai Kejaksaan didalam dan diluar kedinasan, memberikan
rekomendasi mengenai organisasi, SDM, sarana prasarana Kejaksaan. Di dalam
penelitian ini Peneliti bermaksud untuk memaparkan bagaimana pengawasan
Komisi Kejaksaan terhadap penegakan kode etik Jaksa.
Jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif empiris,
dimana pada dasarnya metode ini merupakan penggabungan antara pendekatan
hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode
penelitian normatif-empiris dalam penelitian ini berupaya menggambarkan fakta
mengenai penerapan fungsi pengawasan Komisi Kejaksaan dalam menegakan
Kode etik Jaksa.
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa Komisi Kejaksaan dalam
melakukan peran pengawasannya dalam mengawasi Jaksa hanya sebatas
menerima laporan pengaduan dari masyarakat saja. Hambatan yang dialami
Komisi Kejaksaan dalam menegakkan Kode etik Jaksa adalah kurangnya SDM
yang ada di Komisi Kejaksaan, ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi kepada
Komisi Kejaksaan untuk mengeksekusi pelanggaran yang di lakukan oleh para
Jaksa padahal Komisi Kejaksaan tidak mempunyai kewenangan itu. Mekanisme
penanganan pelanggaran Kode etik seharusnya tidak berhenti sebatas memberikan
rekomendasi saja, tetapi seharusnya Komisi Kejaksaan juga harus memantau dan
memastikan sejauh mana sanksi yang diterima oleh Jaksa di taati dengan benar.
Kata Kunci : Pengawasan, Komisi Kejaksaan, Kejaksaan, Kejaksaan Negeri
Tangerang
Dosen Pembimbing : Mara Sutan Rambe, SH.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1995 sampai Tahun 2015
vi
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan masa
kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam selalu dicurahkan kepada Baginda
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabatnya serta kaum
muslimin yang tetap berpegang teguh kepada risalahnya hingga akhir zaman dan
membawa manusia keluar dari kubangan lumpur jahiliyah menuju jalan yang di
ridhoi oleh Allah SWT.
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu
persyaratan untuk mendapatkan gelar S1 Sarjana Hukum (S.H.). Peneliti berharap
semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi Peneliti dan bagi pembaca.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, Peneliti sangat menyadari adanya
rintangan dan ujian, namun selalu ada jalan dan kemudahan, tentunya tidak
terlepas dari berbagai pihak yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak
membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada
Peneliti guna menyempurnakan skripsi ini.Oleh karena itu, penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada yang terhomat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berperan
aktif mengarahkan dalam menyelesaikan skripsi ini
4. Mara Sutan Rambe S.HI., M.H. dosen pembimbing yang selalu memberikan
arahan, bimbingan dan motivasi ke peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini
vii
5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
mengizinkan Peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku referensi
dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.
6. Orangtua tercinta Toni Hidayat dan Siti Mariyam yang telah mencurahkan
kasih sayangnya kepada Peneliti, memberikan semangat, motivasi, doa,
dukungan baik moril dan juga materil yang terhingga juga memberikan
nasehat yang tidak henti-hentinya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan
studi S1 ini.
7. Adik tercinta Regina Desinta Azhara, yang selalu mendukung dan
mendoakan Peneliti dalam menyelesaikan studi S1 ini.
8. Keluarga besar alm. H. Saobih – Hj Rogaya dan keluarga besar H. Husein –
Hj. Suhana, yang telah memberikan semangat, dukungan, doa serta motivasi
kepada Peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Muchamad Ridho Herdiansyah, S.E. yang selalu membantu, memberikan
semangat, memberikan keceriaan, doa, nasehat juga motivasi sehingga
Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Sarah Alzagladi, Meti Indah Sari, Anggit Handoyo, Ahmad Husein, dan
teman-teman Prodi Ilmu Hukum angkatan 2014 lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang selalu memberikan bantuan, semangat, doa,
motivasi dan nasehat sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Dina Amalia, Ikbal Kurnia, dan Restu Wardhana, yang selalu memberikan
semangat, doa, nasehat dan motivasi sehingga Peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini.
12. Novia Ulfi, Ridha Zulfa, dan Diah Andesi, yang selalu memberikan
semangat, doa, nasehat dan motivasi sehingga Peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini.
13. Qothrunada QQA, S.Sos dan Tri Yunita Indah Lestari, S.H yang selalu
memberikan semangat, doa, nasehat dan motivasi sehingga Peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
viii
14. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada Peneliti dalam
menyelesaikan karya tulis ini sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi
dan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian ucapan terimakasih Peneliti, semoga Allah SWT memberikan
pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa yang mereka berikan
kepada Peneliti. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun diharapkan demi
penyempurnaan skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi peneliti dan bagi para pembaca pada umumnya.
Tangerang, 18 Agustus 2018
Gita Cheryl Barizqi
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ........................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...............4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................6
D. Metode Penelitian................................................................ 6
E. Sistematika Penulisan ...........................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual......................................................... 10
B. Kerangka Teori................................................................... 11
C. Profesi Hukum dan Etika Profesi Hukum ............................13
A.1. Pengertian Etika Profesi Hukum ..................................13
A.2. Etika Sebagai Sebuah Norma .......................................18
A.3. Profesi Jaksa .................................................................19
D. Check and Balances System .................................................23
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ....................................27
BAB III KOMISI KEJAKSAAN
A. Kedudukan dan Tugas Komisi Kejaksaan ............................29
B. Kewenangan Jaksa Menurut Peraturan
Perundang-undangan ............................................................30
C. Eksistensi Peran Jaksa dalam StrukturHukum .....................40
x
BAB IV PERAN PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN
TERHADAP PENEGAKAN KODE ETIK JAKSA
A. Peran Komisi Kejaksaan dalam Melakukan
Pengawasan Terhadap Kinerja Jaksa ...................................47
B. Hambatan dan Upaya Komisi Kejaksaan dalam
Melakukan Penegakan KodeEtik Jaksa ................................52
C. Mekanisme Pelaksanaan Penegakan Kode Etik Jaksa .........55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................62
B. Rekomendasi ........................................................................63
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................65
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu lembaga tertua dalam sistem penegakan hukum atau salah satu
komponen dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah Kejaksaan
atau adhyaksa atau jaxa. Sejarah panjang tentang Kejaksaan di Indonesia sudah
dimulai sejak masa nusantara. Kejaksaan sejak era nusantara memegang
peranan penting dalam sistem peradilan pidana, bahkan urusan keagamaan
menjadi wilayah kewenangan Kejaksaan pada era nusantara. Sampai sekarang,
Kejaksaan memegang peranan tidak hanya dalam lingkup peradilan pidana,
melainkan juga dalam perkara perdata, tata usaha negara dan juga ketertiban
umum dan masyarakat.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan Undang-undang. Peran yang demikian menuntut seorang jaksa
tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin hukum
perdata dan tata usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum
positif yang bersifat umum (lex generalis) tetapi juga yang bersifat khusus (lex
specialis) yang banyak lahir akhir-akhir ini.1
Kejaksaan adalah institusi terdepan dalam pemberantasan kejahatan,
karena ditubuh Kejaksaan terdapat urat nadi hukum. Kejaksaan pada
hakekatnya adalah hukum yang hidup ditangan Jaksa hukum mengalami
perwujudannya. Melalui Kejaksaan undang-undang dan tujuan hukum, seperti
tegaknya keadilan, kebenaran dan kesamaan didepan hukum dapat
diwujudkan.2
1Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat
Hukum,(Jakarta : Pustaka Yustisia, 2010), h.39
2 Agus Riewanto, Reprofesionalisasi Kinerja Kejaksaan (Jakarta : Suara Pembaharuan,
2006) h.4
2
Tugas dan kewenangan Jaksa adalah sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksanaan menjadi juru sita dan
panitera dipimpin oleh ketua pengadilan. Dalam perkara perdata, Jaksa dapat
berperan apabila negara atau pemerintah menjadi salah satu pihaknya dan Jaksa
diberikan kuasa untuk mewakili. Jadi, peran Jaksa berbeda dalam ranah pidana
dan perdata. Dalam perkara pidana, Jaksa berperan sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Sedangkan dalam
perkara perdata, Jaksa berperan sebagai kuasa dari Negara atau pemerintah
baik didalam maupun diluar pengadilan.
Kedudukan Hakim tidak lebih tinggi dari Jaksa, begitupun sebaliknya.
Karena Jaksa merupakan lembaga satu-satunya yang bisa melakukan
wewenang penuntutan. Kalau tidak ada Jaksa tidak akan ada pengadilan.
Karena jantung dari pengadilan adalah Jaksa dan Hakim. Apabila Jaksa tidak
melakukan penuntutan entunya hakim juga tidak akan bisa memutuskan sebuah
perkara.
Dalam proses peradilan di Indonesia, Jaksa memiliki kedudukan yang
sangat vital. Karena vitalnya maka etik seorang Jaksa harus diantisipasi.
Karena fenomena yang ada, masih banyak Jaksa yang melanggar Kode etiknya.
Contohnya adalah mantan Jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap karena telah
menerima suap sebesar USD 660.000 atau sekitar Rp. 6,1 Miliar dari Artalyta
suryani yang merupakan orang dekat Sjamsul Nursalim. Sjamsul Nursalim
adalan pemilik Bank BDNI yang telah menyalahgunakan dana BLBI.
Seorang Jaksa yang paham betul tentang aturan dan norma hukum justru
memperkosa hukum itu sendiri. Ironis, kejadian tersebut menunjukkan
sebagian aparat Kejaksaan telah mengalami demoralisasi, bermental buruk dan
bermoral rendah. Secara tegas dapat di kritik segala perilaku aparat penegak
hukum yang menyimpang dari koridor hukum.3 Pebuatan oknum Kejaksaan itu
bisa menjadi pandangan umum yang mengadili bahwa semua aparat penegak
hukum memang buruk. Padahal masih banyak atau sebagian besar diantara
3 Nandan Iskandar, “Kejaksaan dimata Masyarakat”, Bina Adhyaksa Vol. iii, No.1 (Juli 2011), h.32
3
mereka yang masih bermental dan bermoral bagus. Disadari atau tidak,
banyaknya aparat kejaksaan yang menyimpang dari norma hukum dapat
memperburuk citra baik Kejaksaan.
Melihat fenomena tersebut maka kehadiran Komisi Kejaksaan dianggap
penting untuk mengendalikan kinerja seorang Jaksa. Jaksa sebagai objek
pengawasan merupakan salah satu penegak hukum di Indonesia, untuk itu
perlu adanya pembinaan organisasi untuk meningkatkan pengawasan
terhadapnya. Disinilah akuntabilitas Komisi Kejaksaan dipertaruhkan untuk
mengantisipasi penyalahgunaan kewenanganan yang dilakukan atau juga
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Jaksa.
Sasaran pengawasan terdapat pada pelaksanaan tugas baik rutin maupun
pembangunan oleh setiap satuan kerja apakah telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, rencana stratejik serta kebijakan yang ditetapkan oleh
Jaksa Agung Republik Indonesia; Penggunaan, pemeliharaan serta kebutuhan
atas sarana prasarana serta biaya yang diperlukan dalam mendukung kegiatan
organisasi; Sikap, perilaku dan tutur kata pegawai Kejaksaan.4
Persoalan yang diajukan dari masyarakat ke Komisi Kejaksaan cukup
beragam mulai dari indispliner, tercela, tidak profesional, juga pelayanan
kemasyarakat yang kurang baik. Laporan ini mencakup semua tingkat
kejaksaan mulai dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan
Negeri yang ada di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Lawrence Friedman ada tiga komponen teori sistem yang
pertama adalah struktur hukum, subtansti hukum dan budaya hukum.
Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti
pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa
yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan budaya adalah apa saja
atau siapa saja yang memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Namun tiga
unsur yang dikatakan oleh Friedman tersebut belum dapat terlaksana dengan
baik. Karena masih banyak para negak hukum yang tidak menegakkan hukum
4 Kejaksaan RI, Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jakarta, Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, 2015) h. 5
4
dengan baik dan berkeadilan. Maka dari itu dibutuhkannya check and balances
system untuk pengawasan dan perimbangan suatu lembaga negara agar tidak
tumpang tindih dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya juga sesuai
dengan koridor peraturan perundang-undangannya.5
Oleh sebab itu, penulis ingin meneliti apa yang sebenarnya terjadi, antara
seharusnya (das sollen) dengan senyatanya (das sein), atau permasalahan
lainnya yang belum diketahui. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka
peneliti tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian dan hasilnya dituangkan
dalam karya ilmiah berupa skripsi berjudul “Peran Pengawasan Komisi
Kejaksaan Terhadap Penegakan Kode Etik Jaksa”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah dalam penelitian ini, di antaranya :
a. Pengawasan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu struktur
lembaga. Agar suatu lembaga dapat berjalan dengan baik, melakukan
tugas pokok dan fungsinya sesuai dan tida bertentangan dengan Undang-
undang maka dari itu perlu lah seuatu pengawasan. Apabila tidak ada
pengawasan maka lembaga tersebut tidak akan berjalan dengan baik,
cenderung semena-mena dalam menjlankan tugas pokok dan fungsinya.
b. Banyak Jaksa-jaksa yang melanggar Kode Etik Jaksa, hal tersebut
menggambarkan pengawasan internal masih kurang baik dalam
melakukan pengawasan kepada Jaksa, maka dari itu diperlukan adanya
pengawas eksternal sebagai pengawas tambahan untuk mengawasi Jaksa
dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya agar tidak lagi melanggar
Kode Etiknya.
5 Leonarda sambas, Teori-teori hukum klasik dan Kontemporer, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
2016) h. 39
5
c. Peningkatan laporan pengaduan yang diterima oleh Komisi Kejaksaan
terhadap dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Jaksa.
d. Masyarakat masih banyak yang tidak mengerti bgaimana cara
melaporkan atau mengadukan apabila mereka mengalami dan menduga
adanya pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Jaksa.
2. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan luasnya dan banyaknya penelitian yang terkait
dengan topik pembahasan, maka diperlukan adanya pembatasan masalah
agar penelitian dapat dilakukan secara mendalam, fokus, tuntas dan dapat
mencapai sasaran yang diharapkan. Oleh karena itu, penelitian ini lebih
memfokuskan kepada analisa Peran Pengawasan yang dilakukan oleh
Komisi Kejaksaan dalam melakukan penegakan Kode etik Jaksa. Analisis
ini diharapkan peneliti dapat menemukan gambaran tentang bagaimana
penerapan peran pengawasan komisi kejaksaan serta kendala-kendala yang
dialami oleh Komisi Kejaksaan dalam menjalankan peran pengawasan
tersebut.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah utama yang
menjadi fokus permasalahan yakni peran pengawasan Komisi Kejaksaan
terhadap penegakan kode etik Jaksa.
Untuk mempertegas perumusan masalah, dibuat pertanyaan riset
sebagai berikut:
a. Bagaimana peran pengawasan Komisi Kejaksaan dalam melakukan
pengawasan terhadap penegakan kode etik Jaksa?
b. Apa hambatan-hambatan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Komisi
Kejaksaan dalam melakukan pengawasan penegakan kode etik Jaksa?
c. Bagaimana mekanisme penegakan Kode etik yang dilakukan oleh
Komisi Kejaksaan?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui peran pengawasan yang dilakukan Komisi
Kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap penegakan kode etik
Jaksa.
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan upaya-upaya yang
dilakukan oleh Komisi Kejaksaan dalam melakukan penegakan kode
etik Jaksa.
c. Untuk mengetahui mekanisme penegakan Kode etik yang dilakukan
oleh Komisi Kejaksaan
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah
wawasan dan pengetahuan dalam memahami peran pengawasan Komisi
Kejaksaan terhadap penegakan kode etik Jaksa serta menambah literatur
literatur perpustakaan khususnya dalam bidang Ilmu Hukum.
b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan
masukan yang berguna dan bisa menjelaskan kepada masyarakat
tentang peran pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap penegakan kode
etik Jaksa.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam rangka menghadirkan dan menciptakan karya tulis ilmiah
yang kritis dan konstektual maka dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan :
a. Secara normatif, yaitu teknis penulisan melalui hukum doktriner yang
dilakukan dalam penelitian untuk mendapat dasar pemikiran, dalam
perumusan konsep yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang
bersumber dari buku hukum, buku-buku teori penemuan hukum,
7
artikel-artikel dan jurnal yang ada hubungannya dengan pembahasan
skripsi ini.
b. Secara empiris, yaitu teknik penulisan melalui usaha mendekati
masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan
kenyataan yang hidup dimasyarakat.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif empiris,
dimana pada dasarnya metode ini merupakan penggabungan antara
pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur
empiris. Metode penelitian normatif-empiris dalam penelitian ini berupaya
menggambarkan fakta mengenai penerapan fungsi pengawasan Komisi
Kejaksaan dalam menegakan Kode etik Jaksa.
3. Sumber dan Data Penelitian
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui
wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen.6 Serta
bahan pustaka berisikan pengertian ilmiah tentangfakta yang diketahui
maupun suatu gagasan, mencakup buku-buku, seminar dan majalah.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk
laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan
maupun kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan keputusan
hakim.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
(hukum), ensiklopedia.
6 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h.106
8
4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian :
a. Library Research yaitu pengumpulan data melalui penelitian
kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dokumen resmi dan hasil penelitian.
b. Field research yaitu pengumpulan data melalui studi lapangan (diluar
kepustakaan) berupa survey, wawancara, observasi dan kuesioner
(angket) secara struktur untuk data kuantitatif.
5. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang dilakukan yaitu :
a. melalui seleksi data yaitu setelah memperoleh data dan bahan bahan dari
library research, data diperika kembali guna mencegah kekeliruan.
b. Klasifikasi data yaitu setelah data diperiksa laliu diklasifikasikan dalam
bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil suatu kesimpulan.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi
ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan kaya ilmiah dan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”
E. Sistematika Penulisan
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka penulis merumuskan
sistematika penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut:
BAB I: Pada bab ini Peneliti memaparkan latar belakang penelitian,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian dalam penelitian, serta sistematika penulisan
sebagai rancangan penelitian.
9
BAB II: Merupakan kajian pustaka yang akan membahas tentang
kerangka teori, profesi hukum dan etika profesi hukum, Check
and balances system dan tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III: Bab ini membahas tentang Komisi Kejaksaan dan sejarahnya
juga tentang dalam melakukan pengawasan yang terdiri dari
profil, kedudukan, keanggotaan dan struktur organisasi, juga
tugas dan wewenangnya.
BAB IV: Bab ini peneliti akan menganalisis terhadap data penelitian yang
ada guna menjawab permasalahan yang melatarbelakangi
penelitian yaitu tentang peran komisi kejaksaan dalam
melakukan pengawasan, faktor-faktor penghambat Komisi
Kejaksan dalam Melakukan Penegakan Kode Etik Jaksa.
BAB V : Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan serta
rekomendasi. Dalam bab penutup ini peneliti menyimpulkan
semua yang telah di bahas dalam skripsi ini.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
a. Peran
Istilah peran dalam Kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti
pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, dan
perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat. Peran Menurut Soerjono Soekanto yaitu
aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan
suatu peran.1 Hakekatnya Peran juga dapat dirumuskan sebagai suatu
rangkaian perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh suatu jabatan tertentu.
b. Pengawasan
Menurut Schermerhorn dalam Ernie dan Saefullah, mendefinisikan
pengawasan merupakan sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja
dalam pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil
yang diharapkan sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkan tersebut.
Sedangkan menurut Mathis dan Jackson, menyatakan bahwa pengawasan
merupakan sebagai proses pemantauan kinerja karyawan berdasarkan
standar untuk mengukur kinerja, memastikan kualitas atas penilaian
kinerja dan pengambilan informasi yang dapat dijadikan umpan balik
pencapaian hasil yang dikomunikasikan ke para karyawan.
c. Komisi Kejaksaan
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga non
struktural yang bertugas melakukan pengawasan, pemantauan dan
penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan atau pegawai
Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan dan kode etik baik di dalam
1 Soerjono Soekanto, Teori Peranan, (Jakarta: Bumi Aksara. 2002) h. 243
11
maupun di luar tugas kedinasan. Komisi Kejaksaan merupakan lembaga
non struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat mandiri. Komisi Kejaksaan berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
d. Kode Etik Jaksa
Kode Etik Jaksa atau Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian
norma sebagai pedoman untuk mengatur perilaku jaksa dalam
menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat
profesinya serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum
lainnya.
B. Kerangka Teori
a. Teori Pengawasan
Pengawasan berasal dari kata “awas” yaitu dapat melihat baik-
baik, mempertahankan dengan baik, waspada dan hati-hati, sementara
pengawasan sendiri merupakan penjagaan. Menurut Terry dalam
bukunya John Salindeho pengawasan yaitu mengevaluasi prestasi kerja
atau menerapkan tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan
sesuai dengan rencana. Guna menemukan dan mengoreksi penyimpangan
yang terjadi.
Menurut Lawrence M. Friedman, Pengawasan atau pengendalian
sosial pada dasarnya memaksa warga masyarakat agar berperilaku sesuai
dengan hukum. Dengan kata lain pengendalian sosai dari pada hukum
dapat bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu
usaha untuk mencegah perilaku yang menyimpang, sedangkan represif
bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.
Sedangkan dalam Tata Pemerintahan Negara, terdapat empat jalur
yang berkaitan pengawasan yaitu :2
a. Pengawasan rutin yang dilakukan Inspektorat Jendral
2 O.C. Kaligis, Pengawasan terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus
dalam Pemberantasan Korupsi, (Bandung: Alumni, 2006) h. 51
12
b. Pengawasan oleh pimpinan
c. Pengawasan khusus atau pemeriksaan terhadap suatu kasus yang
dilaporkan
d. Pengawasan yang bersifat mendadak atau yang dikenal dengan
istilah sidak
b. Check and balances
Check and Balances merupakan sistem aturan yang menegaskan
adanya mekanisme saling kontrol diantara cabang kekuasaan negara
yang di desain untuk mencegah terkonsenterasinya kekuasaan dalam
satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan yang lain. Secara
konseptual prinsip check and balances dimaksudkan agar tidak terjadi
tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga kekuasaan
dalam negara haruslah diatur dengan seksama.
Menurut Jimly Asshiddiqie adanya sistem Check and balances
mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan di
kontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan
oleh aparat penyelenggaraan negara yang menduduki jabatan dalam
lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-
baiknya.3
Sistem Check and Balances mulai diterapkan dalam setiap cabang
kekuasaan untuk saling mengawasi dan mengimbangi pemerintahan
lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar tiap
cabang pemerintahan dapat saling membatasi kekuasaan pemerintahan
lainnya. Sehingga kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala
cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara
yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR
menjadi sejajar dengan lembaga tinggi lainnya.
3Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta :
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006) h.74
13
Tujuan dari pembagian kekuasaan (Distribution of power) adalah
untuk menghindari menumpuknya kekuasaan negara pada satu organ
yang dapat meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Agar
menjadi suatu keseimbangan kekuasaan dan pengontrolan dari satu
lembaga dengan lembaga yang lain. Hal tersebut dilakukan agar
masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat
sehingga menimbulkan sistem tirani dan juga agar pemegang kekuasaan
tidak berbuat sebebas-bebasnya yang nantinya akan menimbulkan
kesewenang-wenangan kekuasaan.4
C. Profesi Hukum dan Etika Profesi Hukum
1. Pengertian Etika Profesi Hukum
Pada dasarnya setiap orang mempunyai kebebasan untuk berucap,
bertindak, berperilaku atau untuk mengerjakan pekerjaan yang menjadi
kesenangan sesuai dengan keahliannya dalam rangka mencapai tujuan
hidupnya. Namun setiap orang untuk mencapai tujuan hidup itu, agar
dia dapat hidup tentram, tertib, teratur aman, dan damai serta tidak
diganggu oleh orang lain, ia dituntut untuk mentaati batasan-batasan
atau etika dalam pergaulan hidupnya dengan orang lain yang ada
disekitarnya. Setiap orang juga dituntut untuk tidak merugikan orang
lain dan harus mempertanggungjawabkan terhadap apa yang dilakukan.
Masalah etika dan moral perlu mendapat perhatian yang seksama
untuk memberikan jiwa pada hukum dan penegaknya. Dalam rangka
revitalisasi hukum untuk mendukung demokratisasi, maka masalah
moral dan etika mendesak untuk ditingkatkan fungsi dan keberadaanya,
karena saat ini aspek moral dan etika telah menghilang dari system
hukum di Indonesia. Oleh karena itu perlu pengaturan yang
komprehensif mengenai etika profesi di kalangan penegak hukum,
4 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), (Bandung : PT Refika
Aditama, 2009) h. 124
14
menciptakan kemandirian kelembagaan, berfungsinya dewan/majelis
kehormatan, yang kesemuanya ini untuk membangun profesionalisme.5
Batasan-batasan bagi mereka yang berprofesi hukum dalam
melaksanakan profesinya adalah kode etik profesi hukum yang berisi
kewajiban-kewajiban, larangan-larangan dan keharusan untuk
mempertanggungjawabkan dalam melaksanakan profesinya serta sangsi
bagi yang tidak melaksanakan kewajiban atau melanggar larangan
tersebut.
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani
kuno Ethos yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap.
Aristoteles adalah filsuf pertama yang berbicara tentang etika secara
kritis, reflektif, dan komprehensif. aristoles pula filsuf pertama yang
menempatkan etika sebagai cabang filsafat tersendiri. Aristoteles dalam
konteks ini lebih menyoal tentang hidup yang baik dan bagaimana pula
mencapai hidup yang baik itu. yakni hidup yang bermutu/bermakna
ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya.
menurut Aristoteles denaih apa yang mencapai tujuan hidupnya berarti
manusia itu mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. manusia ingin meraih
apa yang apa yang disebut nilai (value), dan yang menjadi tujuan akhir
hidup manusia adalah kebahagiaan, eudaimoni.6
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak). Moral merupakan landasan dan patokan
bertindak bagi setiap orang dalam kehidupan sehari-hari ditengah-
tengah kehidupan sosial kemasyarakatan maupun dalam lingkungan
keluarga dan yang terpenting moral berada pada batin dan atau pikiran
5Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h. 38 6Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2006), h. 13
15
setiap insan sebagai fungsi kontrol untuk penyeimbang bagi pikiran
negatif yang akan direalisasikan.7
Di sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika
khusus. Etika khusus selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika
individual dan etika sosial. Pembedaan etika menjadi etika umum dan
etika khusus ini dipopulerkan oleh Magnis Suseno dengan istilah etika
deskriptif. Lebih lanjut Magnis Suseno menjelaskan bahwa etika umum
membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang
pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan
peranan suara hati. Di lain pihak, etika khusus menerapkan prinsip-
prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan
manusia. Adapun etika khusus yang individual memuat kewajiban
manusia terhadap diri sendiri sedangkan etika sosial membicarakan
tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia.8
Profesi hukum merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan
masalah hukum yang berkaitan untuk mewujudkan dan memelihara
ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan masyarakat. Profesi
hukum merupakan sebuah profesi untuk mewujudkan ketertiban
berkeadilan yang memungkinkan manusia dapat menjalani
kehidupannya secara wajar (tidak perlu tergantung pada kekuatan fisik
maupun finansial). Hal ini dikarenakan Ketertiban berkeadilan adalah
kebutuhan dasar manusia; dan Keadilan merupakan Nilai dan
keutamaan yang paling luhur serta merupakan unsur esensial dan
martabat manusia.9
Pengemban profesi hukum itu mencakup 4 (empat) bidang karya
hukum, yaitu:
7A. Purwa hadiwardoyo, Moral dan masalahnya, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), h.
13 8K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 7
9 Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Pustaka setia, 2011) h. 129
16
a. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan yang melibatkan
profesi hakim, Advokat, dan Jaksa);
b. Pencegahan konflik (perancangan hukum);
c. Penyelesaian konflik secara informal (mediasi, negoisasi); dan
d. Penerapan hukum di luar konflik.
Profesi hukum di Indonesia meliputi semua fungsionaris utama
hukum seperti Hakim, Jaksa, Advokad, Notaris, Kepolisian dan
Jabatan lain. Apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik,
maka mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai
dengan tuntukan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi ada
dewan kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.
Untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum
merupakan sarana yang mewujud dalam berbagai kaidah perilaku
kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum. Keseluruhan kaidah
hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam
suatu sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata
hukum dengan kaidah-kaidah hukumnya serta penegakannya
merupakan produk dari perjuangan manusia dalam upaya mengatasi
masalah-masalah kehidupan. Dalam dinamika kesejahteraan manusia,
hukum dan tata hukumnya tercatat sebagai salah satu faktor yang
sangat penting dalam proses pengadaban dan penghalusan dari budi
manusia.10
Pengemban profesi hukum memiliki dan menjalankan otoritas
profesional yang bertumpu pada kompetensi teknikal yang lebih
superior. Sedangkan masyarakat yang tersandung masalah hukum dan
bersinggungan dengan profesi tersebut tidak memiliki kompetensi
teknikal atau tidak berada dalam posisi untuk menilai secara obyektif
pelaksanaan kompetensi tekhnikal pengemban profesi yang diminta
10 Suhrawardi. K lubis, ETIKA PROFESI HUKUM, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994) h. 48
17
pelayanan profesionalnya. Karena itu, masyarakat yang tersandung
masalah hukum dan bersinggungan dengan profesi tersebut berada
dalam posisi tidak ada pilihan lain kecuali untuk mempercayai
pengemban profesi terkait.
Mereka harus mempercayai bahwa pengemban profesi akan
memberi pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat
serta tidak akan menyalahgunakan situasinya, melainkan secara
bermartabat. Dan, secara bermartabat akan mengarahkan seluruh
pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan jasa
profesionalnya. Maka dari itu Kode etik profesi merupakan norma
yang di tetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi yang
mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana
membuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu di mata masyarakat.
Fokus perhatian ditujukan pada kode etik polisi, kode etik jaksa, kode
etik hakim, kode etik advokad, dan kode etik notaris.
Dalam setiap profesi harus ada kode etik, karena kode etik profesi
dapat menjadi penyeimbang segi-segi negatif dari suatu profesi
sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi
suatu profesi, sekaligus menjamin mutu moral profesi itu
dimasyarakat.11
Kode etik menjadi penting bagi profesi hukum karena profesi
hukum merupakan suatu moral community yang memiliki cita-cita dan
nilai-nilai bersama, serta memiliki izin untuk menjalankan profesi
hukum. Untuk itu, kode etik perlu diumumkan dan disebarluaskan agar
masyarakat dapat mengetahui dan memahaminya. Masyarakatpun
diminta untuk berpartisipasi dalam mengawasi para profesional hukum.
Dengan mengetahui dan memahami kode etik tersebut, maka
11
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Pustaka Setia, 2011) h. 123
18
masyarakat diharapkan untuk melapor manakala profesional hukum
ketahuan melanggar kode etik profesinya.
2. Etika Sebagai Sebuah Norma
Etika adalah salah satu bagian dari filsafat yang mengadakan studi
tentang kehendak manusia. Secara lebih sederhana, dapat dikatakan
bahwa etika adalah filsafat tingkah laku manusia, yang mencari
pedoman tentang cara manusia bertindak atau berbuat. Etika lebih
mengandalkan itikad baik dan kesadaran moral pada pelakunya. Oleh
karena itu etika menuntut moralitas, yang berarti bahwa yang dituntut
adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib dan tanggung jawab.
Etika menjadi penting karena di Indonesia memiliki norma-norma
yang berlaku dimasyarakat. Norma merupakan sesuatu yang dipakai
untuk mengukur sesuatu yang lainnya, atau sebuah ukuran. Norma tidak
hanya merupakan ukuran untuk mempertimbangkan, tetapi juga
merupakan haluan untuk membuat atau melakukan sesuatu. Norma-
norma tersebut adalah norma agama, norma kesusilaan, dan norma
hukum.
Norma Agama adalah macam-macam aturan dan hukum yang
terdapat pada suatu agama dan berlaku dalam lingkungan agama
tersebut. Setiap agama dan memiliki norma-norma yang mengikat dan
wajib dipatuhi oleh para pemeluknya. Norma tersebut didasarkan pada
firman tuhan dalam kitab suci sehingga diyakini sebagai perintah
Tuhan.
Norma kesusilaan memuat ketentuan tentang tingkah laku yang
baik dan yang jahat, atau mengenai baik-buruk suatu perbuatan
manusisa sebagai manusia. Norma ini tertuju pada hati nurani manusia
sebagai kesadaran moral yang otonom, menyangkut martabatnya
sebagai manusia.12
12 S.P. Lili Ijahjadi, Hukum Moral : Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan
Imperatif Kategoris, (Yogyakarta : Kanisius, 1991) h.74
19
Norma hukum mencakup hukum yang tertulis dan yang tidak
tertulis. Hukum ini baru ada, baru dipersoalkan apabila terjadi sebuah
konflik.pada kondisi seperti itu orang akan mempertanyakan apa
hukumnya, siapa yang berhak, siapa yang bersalah dan sebagainya.
Hukum merupakan kenyataan yang kompleks sehingga agak sulit
memberikan suatu definisi yang memuaskan. Oleh karena itu ada
banyak pengertian tentang hukum.13
Acuan untuk etik adalah sesuatu yang pantas dilakukan seseorang
sebagai monodualis dan zoon politicon. Dikatakan sebagai monodualis
karena manusia memiliki dua sisi yang berbeda, yang pertama adalah
sebagai makhluk sosial dimana untuk berinteraksi dan membutuhkan
perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Yang kedua manusia sisi selfish
dimana manusia mementingkan keperluannya sendiri terlebih dahulu
baru akan memenuhi kebutuhan orang lain. Maka dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan pribadinya seringkali manusia mengabaikan
orang sekitarnya. Hal ini lah yang kemudian didalam norma dibatasi
oleh Etika, sesuatu yang pantas dan tidak pantas dilakukan sebagai
seorang manusia.
3. Profesi Jaksa
Profesi Jaksa termasuk sub item dari profesi hukum yang ada di
indonesia. Profesi Jaksa ini juga mempunyai kode etik yang mengikat
seperti profesi-profesi lainnya. Kode etik Jaksa mengandung nilai-
nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam suatu profesi
Jaksa. Apabila kode etik ini dijalankan sesuai dengan tujuannya, maka
akan lahir Jaksa-jaksa yang mempunyai kualitas moral yang baik
dalam melaksanakan tugasnya sehingga kehidupan peradilan dinegara
kita akan mengarah pada keberhasilan.
Dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh
Jaksa bukah hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung
13
Alex Seran, Moral Politik Hukum, (Jakarta : Obor, 1999) h. 127
20
dalam ketentuan hukum, melainkan mendengar dan memperjuangkan
sesuatu yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan
langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan, inilah
yang dinamakan pendekatan sosiologis. Profesionalisme seorang
Jaksa sungguh sangat penting dan mendasar sebab ditangannyalah
hukum menjadi hidup.
Dalam rangka mewujudkan Jaksa yang memiliki integritas
kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan
hukum dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka
dikeluarkanlah Kode Perilaku Jaksa sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor PER-
014/A/JA/11/2011 tentang Kode Perilaku Jaksa.
Menurut Pasal 5 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor Per–014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa,
Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa adalah :
a. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas,
profesional, mandiri, jujur dan adil;
b. mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai
kepentingan pribadi atau keluarga;
c. mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan
kedinasan;
d. meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta
mengikuti perkembangan hukum yang relevan dalam lingkup
nasional dan internasional;
e. menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan
petunjuk kepada Penyidik;
f. menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap
tersangka/terdakwa yang masih anak-anak dan korban tindak
pidana kesusilaan kecuali penyampaian informasi kepada media,
21
tersangka/keluarga, korban/keluarga, dan penasihat hukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
g. memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi
dan jaminan atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan
h. memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan
hukum, penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara
profesional, adil, efektif, efisien, konsisten, transparan dan
menghindari terjadinya benturan kepentingan dengan tugas bidang
lain.
Menurut Pasal 7 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor
Per–014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa, dalam melaksanakan
tugas Profesi Jaksa dilarang:
a. memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan
keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung bagi
diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau
cara apapun;
b. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam
bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik
langsung maupun tidak langsung;
c. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau
keluarga, atau finansial secara langsung maupun tidak langsung;
d. melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para
pihak yang terkait dalam penanganan perkara;
e. memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukumyang
berlaku;
f. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
g. menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan secara
fisik dan/atau psikis; dan
22
h. menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga telah
direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan melalui
cara-cara yang melanggar hukum;
i. Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau
menerimahadiah atau keuntungan dalam bentuk apapun dari
siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung dalam pelaksanaan tugas Profesi Jaksa.
Menurut Pasal 9 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor Per–014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa, dalam
melaksanakan tugas profesi Jaksa dilarang:
a. bertindak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, jender,
golongan sosial dan politik dalam pelaksanaan tugas profesinya;
b. merangkap menjadi pengusaha, pengurus/karyawan Badan Usaha
Milik Negara/daerah, badan usaha swasta, pengurus/anggota partai
politik, advokat; dan/atau
c. memberikan dukungan kepada Calon Presiden/Wakil Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam kegiatan pemilihan.
Menurut Pasal 11 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor Per–014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa,Jaksa
dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa berhak:
a. melaksanakan fungsi Jaksa tanpa intimidasi, gangguan dan
pelecehan;
b. mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak dipersalahkan
sebagai akibat dari pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa yang
dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c. mendapatkan perlindungan secara fisik, termasuk keluarganya, oleh
pihak yang berwenang jika keamanan pribadi terancam sebagai
23
akibat dari pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa yang dilakukan
sesuai dengan peraturan yang berlaku;
d. mendapatkan pendidikan dan pelatihan baik teknis
maupunnonteknis;
e. mendapatkan sarana yang layak dalam menjalankan tugas,
remunerasi, gaji serta penghasilan lain sesuai dengan peraturan
yang berlaku;
f. mendapatkan kenaikan pangkat, jabatan dan/atau
promosiberdasarkan parameter obyektif, kualifikasi profesional,
kemampuan,integritas, kinerja dan pengalaman, serta diputuskan
sesuai denganprosedur yang adil dan tidak memihak;
g. memiliki kebebasan berpendapat dan berekspresi, kecuali dengan
tujuan membentuk opini publik yang dapat merugikan penegakan
hukum; dan
h. mendapatkan proses pemeriksaan yang cepat, adil dan evaluasi
sertakeputusan yang obyektif berdasarkan peraturan yang berlaku
dalamhal Jaksa melakukan tindakan indisipliner.
D. Check and Balances System
Lawrence M. Friedman mengemukakan ada tiga komponen teori sistem.14
1. Substansi hukum
Substansi hukum bisa dikatakan sebagai norma, aturan dan
perilaku nyata manusia yang berada pada sistem itu. Didalam
substansi hukum ada istilah “produk” yaitu suatu keputusan yang baru
disusun dan baru dibuat oleh orang yang ada didalam sistem tersebut.
Substansi juga mencakup hukum yang hidup (Living law), bukan
hanya aturan yang ada di kitab Undang-undang (Law books).
14 Leonarda sambas, Teori-teori hukum klasik dan Kontemporer, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2016) h. 39
24
2. Struktur hukum
Sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum itu meliputi mulai dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan. Lembaga penegak hukum tersebut
kewenangannya dijamin oleh Undang-undang, sehingga dalam
melakukan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Hukum tidak
dapat berjalan atau tegak apabila tidak ada aparat penegak hukum
yang kredibilitas, kompeten dan independen.
Seberapa bagusnya suatu Peraturan perundang-undangan bila tidak
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan
hanya angan-angan saja. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum
mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Jika peraturannya sudah baik tapi kualitas penegak
hukumnya rendah maka akan timbul masalah. Demikian juga apabila
peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukumknya baik,
kemungkinan muncul masalah masih terbuka. Jadi semuanya memiliki
kesinambungan yang kuat untuk menegakkan hukum yang adil dan
benar.
3. Budaya Hukum
Menurut Friedman, budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-
nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum. Oleh
karena itu apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum
memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum. Dengan kata lain budaya hukum adalah
keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada
dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya
hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
25
Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tidak
berdaya, seperti pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti
mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh
mesin, sedangkan budaya adalah apa saja atau siapa saja yang
memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Namun tiga unsur yang
dikatakan oleh Friedman tersebut belum dapat terlaksana dengan baik.
Karena masih banyak para negak hukum yang tidak menegakkan
hukum dengan baik dan berkeadilan. Maka dari itu dibutuhkannya
check and balances system untuk pengawasan dan perimbangan suatu
lembaga negara agar tidak tumpang tindih dalam menjalankan tugas
pokok dan fungsinya juga sesuai dengan koridor peraturan perundang-
undangannya.
Check and Balances system, Menurut Black Law Dictionary,
checks and balances is arrangement of governmental power whereby
powers of one governmental branch check or balance those of other
branches. See also separation of power. Tujuan checks and balances
adalah memaksimalkan fungsi masing-masing lembaga negara dan
membatasi kesewenang-wenangan lembaga negara.
Dalam hal menata kekuasaan lain di luar tiga kekuasaan menurut
Montesquieu, Crince le Roy menyimpulkan membangun sistem
checks and balances. Menurut Crince le Roy negara merupakan
lembaga penertib.15
Negara merupakan organisasi kekuasaan dengan
obyek kegiatan penertiban terhadap suatu masyarakat tertentu secara
menyeluruh dengan mempergunakan kekuasaannya. Bertitik tolakdari
kegiatan penertiban tersebut, disusunlah fungsi negara yang
dilaksanakan oleh badan-badan negara yang bebas dan terpisah satu
dengan yang lainnya yang ditambah suatu sistem pengawasan untuk
menghindarkan salah satu alat kekuasaan akan menarik seluruh
15 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
h. 14.
26
kekuasaan ke dalam dirinya yang disebut dengan sistem checks and
balances.
Checks and balances ini, yang mengakibatkan satu cabang
kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam
tindakan cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar
efisiensi kerja (seperti yang dilihat di Inggris dalamfungsi dari
kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan
dari setiap cabang kekuasaan secara efektif.
Hal ini berarti sistem checks and balances dalam penyelenggaraan
kekuasaan memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang
kekuasaan yang ada dan menghindari tindakan-tindakan hegemonik,
tiranik dan sentralisasi kekuasaan.16
Sistem ini mencegah terjadinya
overlapping antar kewenangan yang ada. Begitu pula dengan pendapat
Jimly Asshiddiqie adanya sistem checks and balances mengakibatkan
kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan
sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat
penyelenggaraan negara yang menduduki jabatan dalam lembaga
negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.17
Penyebab dari terkikisnya tujuan dari checks and balances di
Indonesia sehingga terciptanya ketegangan antar lembaga negara
adalah ketidakpahaman daripara aparatur negara dari tujuan check and
balances yang menekankan pentingnya hubungan saling mengawasi
dan mengendalikan antar berbagai lembaga negara agar pelaksanaan
fungsi lembaga negara menjadi maksimal. Namun, dewasa ini terlihat
dalam pelaksanaan checks and balances yang dilakukan oleh lembaga
negara yang satukepada lembaga negara lain dianggap suatu ancaman
16
A. Fickar Hadjar ed. al, Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003) h. 4
17Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 74.
27
untuk menjatuhkan eksistensi lembaga negara, dan menciptakan ego
sektoral.
E. Tijauan (review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan
penelitian delik korupsi lainnya, maka penulis melakukan penelusuran
terhadap beberapa penelitian terlebih dahulu. Diantara penelitian-
penelitian tersebut adalah:
1. Skripsi oleh Galuh Hayu Nastiti dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Pengawasan Komisi
Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun
2013-2014. Dalam skripsi ini peneliti menjelaskan bagaimana pengawasan
Komisi Kejaksaan terhadap kinerja jaksa yang lebih khusus kepada
pengadilan tinggi jakarta tahun 2013-2014. Berbeda dengan penelitian ini
yang akan menganalisis bagaimana peran pengawasan yang dilakukan oleh
Komisi Kejaksaan dan bagaimana mekanisme pelaksanaan penegakan
Kode Etik Jaksa.
2. Buku berjudul “Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif
Hukum” oleh Marwan Effendy. Buku ini membahas tentang bagaimana
posisi dan fungsi yang dijalankan oleh Kejaksaan RI dalam perspektif
hukum. Berbeda dengan penelitian ini yang akan menganalisis wewenang
yang dimiliki oleh Komisi Kejaksaan dalam melakukan peran pengawasan
untuk mengawasi dan mengawal penegakan kode etik jaksa yang harus di
taati oleh Jaksa dan seluruh Pegawai dilingkungan Kejaksaan.
3. Jurnal Teropong yang diterbitkkan oleh MaPPIFHUI volume 1 november
2013 edisi Komisi Kejaksaan, dalam jurnal ini menjelaskan apa saja
kedudukan, dan kewenangan komisi kejaksaan dan strategi penguatan
komisi kejaksaan dalam mendorong pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Berbeda dengan penelitian ini yang akan menganalisis bagaimana
peran pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Kejaksaan di Kejaksaan
28
Negeri Tangerang, serta apa kendala dan upaya yang dilakukan oleh
Komisi Kejaksaan.
Berdasarkan kajian terdahulu diatas, belum ditemukan karya ilmiah yang
secara khusus membahas tentang peran pengawasan komisi kejaksaan terhadap
penegakan kode etik jaksa. Oleh karena itu peneliti bermaksud mengisi
kekosongan penelitian tentang peran pengawasan komisi kejaksaan terhadap
penegakan kode etik jaksa yang selama ini banyak dilanggar oleh jaksa dan
seluruh pegawai yang ada dilingkungan kejaksaan.
29
BAB III
KOMISI KEJAKSAAN
A. Kedudukan dan Tugas Komisi Kejaksaan
Menurut Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
Komisi Kejaksaan, tugas Komisi Kejaksaan terdiri dari :
a) Melakukan pengawasan, pemantauandan penilaian terhadap Kinerja
dan perilaku Jaksa dan atau pegawai Kejaksaan dalam melakukan
tugas dan wewenangnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan dan kode etik
b) Melakukan pengawasan, pemantauandan penilaian terhadap Kinerja
dan perilaku Jaksa dan atau pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun
di luar tugas kedinasan
c) Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, tata
kerja, kelengkapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia
dilingkungan kejaksaan.
Menurut Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
Komisi Kejaksaan, wewenang Komisi Kejaksaan terdiri dari :
a) menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat
tentang kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya;
b) meneruskan laporan atau pengaduan masyarakat kepada Jaksa Agung
untuk ditindaklanjuti oleh aparat pengawas internal Kejaksaan;
c) meminta tindak lanjut pemeriksaan dari Jaksa Agung terkait laporan
masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai
Kejaksaan;
d) melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas
pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat pengawas internal
Kejaksaan;
e) mengambil alih pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat
pengawas internal Kejaksaan; dan
30
f) mengusulkan pembentukan Majelis Kode Perilaku Jaksa
B. Kewenangan Jaksa menurut Peraturan Perundang-undangan
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
Undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Peran yang demikian
menuntut seorang jaksa tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana,
tetapi juga disiplin hukum perdata dan tata usaha negara. Jaksa tidak hanya
dituntut menguasai hukum positif yang bersifat umum (lex generalis)
tetapi juga yang bersifat khusus (lex specialis) yang banyak lahir akhir-
akhir ini.1
Kejaksaan di dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh undang-undang
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, yang dilaksanakan secara merdeka,
artinya sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan dalam hukum pidana bertindak sebagai lembaga
fungsional yang diberi wewenang oleh Undangundang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan
Undang-undang. Peran yang demikian menuntut seorang jaksa tidak hanya
menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin hukum perdata dan
tata usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum positif
yang bersifat umum (lex generalis) tetapi juga yang bersifat khusus (lex
specialis) yang banyak lahir akhir-akhir ini.
Tugas dan kewenangan Kejaksaan berdasarkan undang-undang
sebagai berikut:
1 Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat
Hukum,(Jakarta : Pustaka Yustisia, 2010), h.39
31
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
tugas dan wewenang Kejaksaan adalah menerima dan memeriksa berkas
perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu. Apabila ada
kekurangan pada penyelidikan, Jaksa berwenang untuk mengadakan pra
penuntutan dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik. Selain itu, Jaksa juga dapat memberikan
perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik.
Tugas dan wewenang yang tidak bisa terlepas dari seorang Jaksa
tentunya adalah membuat surat dakwaan dan juga melakukan penuntutan.
Apabila penyidikan sudah pada tahap P21, maka Jaksa harus melimpahkan
perkara ke Pengadilan. Apabila sidang telah ditentukan Jaksa juga
bertugas menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada
sidang tersebut. Lalu jaksa juga berwenang menutup perkara demi
kepentingan hukum dan harus melaksanakan penetapan hakim.
Menurut Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Repubik Indonesia menjelaskan tugas dan
wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana adalah melakukan penuntutan,
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat, melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang dan juga melengkapi berkas perkara
tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
Sedangkan Pasal 30 Ayat (2) menjelaskan tugas dan wewenang
Kejaksaan dibidang Perdata dan dan Tata Usaha Negara yaitu Kejaksaan
32
dengan kuasa Khusus dapat bertindak baik di dalam maupun diluar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Pada Pasal 30 Ayat (3) tugas dan wewenang Kejaksaan dalam
bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat,
pengamanan kebijakan penegakan hukum, mengawasi peredaran barang
cetakan dan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara, mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan juga
melakukan penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Pada Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Repubik Indonesia, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim
untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan
jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu
berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan
orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Disamping tugas dan
wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi
tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan
membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kejaksaan dapat
memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya.
Kejaksaan juga berwenang menangani perkara pidana yang diatur
dalam Qanun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sesuai dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa harus mampu
mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran
berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan,
kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan,
33
hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jaksa juga harus
mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut
menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan
pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila serta berkewajiban untuk turut menjaga
dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi
kepentingan rakyat melalui penegakan hukum.
Kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
banyak mengalami perubahan baik secara kelembagaan maupun
pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan. Sistem seperti
Kejaksaan sudah ada sejak zaman dahulu yaitu pada zaman Kerajaan
Majapahit. Pada saat zaman Majapahit terdapat beberapa jabatan yang
dinamakan Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadhyaksa.2 Dhyaksa dikatakan
sebagai pejabat negara yang diberi tugas untuk menangani masalah-
masalah peradilan dibawah kekuasaan majapahit. Gajah Mada selaku
pejabat Adhyaksa, sedangkan Dharmadhyaksa berperan sebagai pengawas
tertinggi dari urusan kepercayaan dan menjabat sebagai ketua pengadilan.
Kata Dhyaksa inilah yang kemudian diserap menjadi Jaksa.3
Tugas Gajah Mada saat itu bisa disimpulkan sebagai alat negara atau
wakil dari raja dalam hal pelaporan perkara-perkara ke pengadilan,
sehingga bisa dikatakan bahwa kedudukan Kejaksaan sejak zaman dahulu
sebagai alat negara dan pertanggungjawabannya kepada kepala negara
yang saat itu adalah raja Hayam Wuruk. Kejaksaan adalah badan negara
yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka, demikian pula aturan-
aturannya. Sehingga pada dasarnya Kejaksaan Republik Indonesia adalah
meneruskan apa yang telah diatur di dalam Indische Staatsregeling, yang
2 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama: 2005), h. 56
3 C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum (Bagi Mahasiswa dan Subyek Hukum:
Hakim, Penasihat Hukum, Notaris, Jaksa, Polisi) Cetakan Kedua, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
2003) h. 108
34
dalam kedudukannya menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan
dengan Mahkamah Agung.4
Ketentuan-ketentuan di dalam Indische Staatsregeling yang
mengatur kedudukan Kejaksaan, pada dasarnya adalah sama dengan
ketentuan di dalam UUD negeri Belanda. Sejak awal berdiri, kedudukan
Kejaksaan RI mengalami perkembangan dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia. Pada awal masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya
pada tanggal 19 Agustus 1945, Rapat PPKI memutuskan mengenai
kedudukan Kejaksaan berada di dalam lingkungan Departemen
Kehakiman.
Perubahan besar terjadi ketika Presiden Soekarno membacakan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensi dari perubahan politik yang
terjadi adalah Presiden menata ulang lembaga-lembaga dan institusi
pemerintahan dengan keadaan yang baru. Setahun setelah dikeluarkannya
Dekrit Presiden, pemerintah dan DPR mensahkan Undang-undang
Kejaksaan yang pertama dalam sejarah negara kita, yakni Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Pokok-Pokok Kejaksaan RI. Di dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Pokok-Pokok Kejaksaan
RI disebutkan bahwa Kejaksaan merupakan alat negara penegak hukum
dan alat revolusi yang tugasnya sebagai Penuntut Umum.
Perubahan besar berikutnya yang terjadi setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Kejaksaan ini adalah Kejaksaan disebut juga sebagai
Departemen Kejaksaan yang dijalankan oleh menteri. Berdasarkan hal
tersebut maka pengangkatan Jaksa Agung tidak lagi melalui Menteri
Kehakiman melainkan langsung diangkat oleh Presiden, karena hal
tersebut kedudukan Jaksa Agung disini adalah sebagai anggota kabinet
yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.5
4 Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan Hukum Islam,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 4
5 Dio Ashar Wicaksana, “Kedudukan Kejaksaan RI dalam Sistem Hukum Tata Negara
Indonesia”, Fiat justiti,Vol.1, No.1 (Maret 2013), h. 5
35
Perubahan pada Kejaksaan juga terjadi pada masa peralihan
kekuasaan, yaitu dari kekuasaan Presiden Soekarno kepada Presiden
Soeharto. Walaupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 berlaku
hingga tahun 1991, namun dalam praktiknya Kejaksaan Agung tidak lagi
disebut sebagai Departemen Kejaksaan dan Jaksa Agung tidak lagi disebut
sebagai Menteri Jaksa Agung. Institusi ini disebut sebagai Kejaksaan
Agung yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dan kewenangan untuk
pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tetap ada di tangan
Presiden. Walaupun Jaksa Agung tidak lagi disebut menteri namun
kedudukannya tetap sejajar dengan menteri negara dan di periode ini mulai
muncul suatu konvensi ketatanegaraan, yakni Jaksa Agung selalu diangkat
di awal kabinet dan berakhir masa jabatannya dengan berakhir masa bakti
kabinet tersebut.
Perubahan berikutnya terjadi setelah adanya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1991 menyebut bahwa Kejaksaan sebagai “lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan
keadilan”. Dari konsideran ini terdapat perubahan penting dimana terdapat
penegasan terhadap pandangan kedudukan institusi Kejaksaan yang
sebelumnya dikatakan sebagai alat negara namun setelah berlakunya
undang-undang ini berubah menjadi lembaga pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 ini terus berlaku hingga
negara Indonesia memasuki era reformasi. Menurut Yusril Ihza Mahendra,
saat terjadinya proses pembentukan Undang-Undang Kejaksaan yang baru,
banyak dari kalangan akademisi, aktivis LSM berkeinginan agar lembaga-
lembaga penegak hukum menjadi independen, sehingga banyak wacana
yang berkembang untuk memisahkan institusi Kejaksaan keluar dari ranah
eksekutif. Mereka berpendapat sudah seharusnya institusi Kejaksaan
ditempatkan ke dalam ranah yudikatif dengan dasar Pasal 24 ayat (3) UUD
1945. DPR dalam proses pembuatan undang-undang ini juga
36
menginginkan Kejaksaan bisa bekerja secara independen. Namun,
Pemerintah sebaliknya berkeinginan mempertahankan kedudukan
Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan.6
Kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan secara
independen dalam tata susunan kekuasaan badan penegak hukum dan
keadilan. Setelah proses tarik-ulur terjadi di dalam pembahasan RUU
tersebut akhirnya DPR menarik usulan mereka tentang Jaksa Agung yang
independen dan akhirnya disepakati Jaksa Agung tetaplah pejabat negara
yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, karena dalam sistem
presidensial, Kejaksaan Agung memang berada di bawah ranah eksekutif,
maka menjadi kewenangan Presidenlah untuk mengangkat dan
memberhentikan Jaksa Agung.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
menyatakan: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Dasar pertimbangan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum
yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 maka pengakuan hukum dan keadilan
merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional;
b. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
6 Dio Ashar Wicaksana, “Kedudukan Kejaksaan RI dalam Sistem Hukum Tata Negara
Indonesia”, Fiat justiti,Vol.1, No.1, h. 5
37
c. bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi degan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Melihat kedudukan Kejaksaan Agung yang berada di ranah eksekutif
menimbulkan banyak perdebatan, apakah Kejaksaan selaku institusi
penegak hukum yang seharusnya di ranah yudikatif namun secara
praktiknya ditempatkan di dalam ranah eksekutif ini sesuai dengan
perspektif hukum tata negara atau tidak. Melihat Pasal 24 Ayat (3) UUD
1945 disebutkan bahwa “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan pasal tersebut maka banyak pihak yang berpendapat bahwa
Kejaksaan merupakan salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman, sehingga banyak yang beranggapan bahwa
Kejaksaan seharusnya berada di ranah yudikatif dan kedudukan Kejaksaan
seharusnya lepas dari pengaruh eksekutif. Ketentuan pasal 24 Ayat (3)
UUD 1945 semakin diperkuat di dalam Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 bahwa yang dimaksud dengan “badan-badan lain”
antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Advokat dan Lembaga
Permasyarakatan.
Pada Dasarnya Kejaksaan memang terkait dengan kekuasaan
kehakiman, namun menempatkan Kejaksaan di bawah ranah peradilan
tidak sepenuhnya tepat. Apabila kita melihat dari filosofis hukum pidana
bahwa dalam hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang
38
persoalannya adalah benturan kepentingan antara pelanggar norma dengan
kepentingan masyarakat umum,7 dan masyarakat umum disini diwakili
oleh pemerintah selaku pihak yang menjalankan undang-undang. Sehingga
peran Jaksa disini adalah sebagai wakil pemerintah untuk menuntut
terhadap para pelaku pelanggar norma tersebut ditambah tugas-tugas
Kejaksaan selain penuntutan adalah juga sebagai penasehat negara apabila
ada permasalahan hukum di ranah hukum perdata ataupun TUN.
Selain itu, apabila kita melihat ketentuan dari Pasal 24 Ayat (3) UUD
1945 tidak menyebutkan bahwa “badan-badan lain” tersebut haruslah
dimasukkan kedalam ranah yudikatif melainkan hanya menyebutkan
bahwa ketentuan-ketentuan badan tersebut diatur di dalam Undang-
Undang. Sedangkan di dalam Undang-Undang yang mengatur Kejaksaan
ditegaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Hal yang bisa
ditegaskan dari pasal tersebut adalah Kejaksaan merupakan lembaga
pemerintahan, sehingga kedudukan Kejaksaan di ketatanegaraan Indonesia
merupakan bagian dari pemerintahan. Pendapat demikian juga diperkuat
oleh pernyataan Bagir Manan yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan
adalah badan pemerintahan, dengan demikian pimpinannya juga adalah
pimpinan dari suatu badan pemerintahan, dan ditafsirkan bahwa yang
dimaksud badan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif.”8
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, dapat dijelaskan
bahwa kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang
melakukan kekuasaan negara dibidang penuntutan, bila dilihat dari sudut
kedudukan, mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu
7 Jan Rammelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia), (PT Gramedia Pustaka, Jakarta: 2003), hlm. 5
8 Bambang Waluyo, “Menyoal Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia”, sebagaimana dimuat di dalam Jurnal Bina Adhyaksa
Vol. II No. 1 Maret 2011.
39
lembaga yang berada dibawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila
dilihat dari sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan
berarti kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Disinilah terjadinya
ambivalensi kedudukan kejaksaan RI dalam penegakan hukum di
Indonesia.
Selanjutnya, sehubungan dengan makna kekuasaan kejaksaan dalam
melakukan kekuasaan negara dibidang penuntutan secara merdeka,
penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
menjelaskan bahwa kejaksaaan dalam melakukan fungsi, tugas, dan
wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa
seperti yang digariskan dalam “Guidelines on the role of presecutors dan
insternational association of prosecutors”.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, antara lain
dinyatakan bahwa diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk
pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan dan peranannya sebagai
lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan
negara dibidang penuntutan yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak
manapun. Dalam pengertian lain, Kejaksaan dalam melakukan tugasnya,
hendaknya merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintahan dan
kekuasaan lainnya dalam upayanya mewujudkan kepastian hukum,
ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengindahkan norma-
norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan, serta wajib menggali nila-
nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.9
Kedudukan kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dikaitkan
dengan kewenangan kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara
dibidang penuntutan secara merdeka, disini terdapat kontradiksi dalam
pengaturannya (dual obligation). Dikatakan demikian, adalah mustahil
Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas
9Jan S. Marinka, Reformasi Kejaksaan Dalam Sistem Hukum Nasional. (Jakarta : Sinar
Grafika. 2007) h. 38
40
dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan mungkin juga pengaruh
kekuasaan lainnya, karena kedudukan kejaksaan berada dibawah
kekuasaan eksekutif. Kesimpulan ini, diperkuat dengan kedudukan Jaksa
Agung, sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan
yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang
kejaksaan, dan juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam
bidang penuntutan, adalah sebagai pejabat negara yang diangkat dan
diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Berdasarkan penjelasan diatas, dikatakan bahwa Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 menempatkan kejaksaan pada kedudukan yang
ambigu. Disatu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenangnya secara merdeka. Disisi lain, Kejaksaan dipasung karena
kedudukannya berada di bawah kekuasaan eksekutif. Disinilah antara lain
letak kelemahan pengaturan undang-undang ini. Apabila pemerintah
(Presiden) memiliki komitmen untuk menegakan supremasi hukum di
Indonesia, tidak menjadi masalah bila Kejaksaan tetap berada
dilingkungan Eksekutif, asalkan Kejaksaan diberdayakan dengan diberi
kewenangan dan tanggung jawab luas dan besar namun proporsional.
Apabila pemerintah tidak memiliki komitmen seperti itu, alangkah lebih
baik bila Kejaksaan, sebagai salah satuinstitusi penegak hukum
didudukkan sebagai “badan negara” yang mandiri dan independen, bukan
menjadi lembaga pemerintahan yang tidak ada dibawah kekuasaan
eksekutif, maupun kekuasaan lainnya, sehingga Kejaksaan bersifat
independen dan merdeka, dalam arti tidak terpengaruh dan atau
dipengaruhi dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia.
C. Eksistensi Peran Jaksa dalam Struktur Hukum
Kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
banyak mengalami perubahan baik secara kelembagaan maupun
pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan. Sistem seperti
Kejaksaan sudah ada sejak zaman dahulu yaitu pada zaman Kerajaan
41
Majapahit. Pada saat zaman Majapahit terdapat beberapa jabatan yang
dinamakan Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadhyaksa.10
Dhyaksa
dikatakan sebagai pejabat negara yang diberi tugas untuk menangani
masalah-masalah peradilan dibawah kekuasaan majapahit. Gajah Mada
selaku pejabat Adhyaksa, sedangkan Dharmadhyaksa berperan sebagai
pengawas tertinggi dari urusan kepercayaan dan menjabat sebagai ketua
pengadilan. Kata Dhyaksa inilah yang kemudian diserap menjadi Jaksa.11
Tugas Gajah Mada saat itu bisa disimpulkan sebagai alat negara atau
wakil dari raja dalam hal pelaporan perkara-perkara ke pengadilan,
sehingga bisa dikatakan bahwa kedudukan Kejaksaan sejak zaman dahulu
sebagai alat negara dan pertanggungjawabannya kepada kepala negara
yang saat itu adalah raja Hayam Wuruk. Kejaksaan adalah badan negara
yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka, demikian pula aturan-
aturannya. Sehingga pada dasarnya Kejaksaan Republik Indonesia adalah
meneruskan apa yang telah diatur di dalam Indische Staatsregeling, yang
dalam kedudukannya menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan
dengan Mahkamah Agung.12
Ketentuan-ketentuan di dalam Indische Staatsregeling yang
mengatur kedudukan Kejaksaan, pada dasarnya adalah sama dengan
ketentuan di dalam UUD negeri Belanda. Sejak awal berdiri, kedudukan
Kejaksaan RI mengalami perkembangan dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia. Pada awal masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya
pada tanggal 19 Agustus 1945, Rapat PPKI memutuskan mengenai
kedudukan Kejaksaan berada di dalam lingkungan Departemen
Kehakiman.
10
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama: 2005), h. 56
11 C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum (Bagi Mahasiswa dan Subyek Hukum:
Hakim, Penasihat Hukum, Notaris, Jaksa, Polisi) Cetakan Kedua, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
2003) h. 108
12 Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan
Hukum Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 4
42
Perubahan besar terjadi ketika Presiden Soekarno membacakan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensi dari perubahan politik yang
terjadi adalah Presiden menata ulang lembaga-lembaga dan institusi
pemerintahan dengan keadaan yang baru. Setahun setelah dikeluarkannya
Dekrit Presiden, pemerintah dan DPR mensahkan UU Kejaksaan yang
pertama dalam sejarah negara kita, yakni Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1961 Tentang Pokok-Pokok Kejaksaan RI. Di dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Pokok-Pokok Kejaksaan RI
disebutkan bahwa Kejaksaan merupakan alat negara penegak hukum dan
alat revolusi yang tugasnya sebagai Penuntut Umum.
Perubahan besar berikutnya yang terjadi setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Kejaksaan ini adalah Kejaksaan disebut juga sebagai
Departemen Kejaksaan yang dijalankan oleh menteri. Berdasarkan hal
tersebut maka pengangkatan Jaksa Agung tidak lagi melalui Menteri
Kehakiman melainkan langsung diangkat oleh Presiden, karena hal
tersebut kedudukan Jaksa Agung disini adalah sebagai anggota kabinet
yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.13
Perubahan pada Kejaksaan juga terjadi pada masa peralihan
kekuasaan, yaitu dari kekuasaan Presiden Soekarno kepada Presiden
Soeharto. Walaupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 terus
berlaku hingga Tahun 1991, namun dalam praktiknya Kejaksaan Agung
tidak lagi disebut sebagai Departemen Kejaksaan dan Jaksa Agung tidak
lagi disebut sebagai Menteri Jaksa Agung. Institusi ini disebut sebagai
Kejaksaan Agung yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dan
kewenangan untuk pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tetap
ada di tangan Presiden. Walaupun Jaksa Agung tidak lagi disebut menteri
namun kedudukannya tetap sejajar dengan menteri negara dan di periode
ini mulai muncul suatu konvensi ketatanegaraan, yakni Jaksa Agung
13
Dio Ashar Wicaksana, “Kedudukan Kejaksaan RI dalam Sistem Hukum Tata Negara
Indonesia”, Fiat justiti,Vol.1, No.1 (Maret 2013), h. 5
43
selalu diangkat di awal kabinet dan berakhir masa jabatannya dengan
berakhir masa bakti kabinet tersebut.14
Perubahan berikutnya terjadi setelah adanya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1991 menyebut bahwa Kejaksaan sebagai “lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan
keadilan”. Dari konsideran ini terdapat perubahan penting dimana
terdapat penegasan terhadap pandangan kedudukan institusi Kejaksaan
yang sebelumnya dikatakan sebagai alat negara namun setelah berlakunya
undang-undang ini berubah menjadi lembaga pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 ini terus berlaku hingga
negara Indonesia memasuki era reformasi. Menurut Yusril Ihza
Mahendra, saat terjadinya proses pembentukan Undang-Undang
Kejaksaan yang baru, banyak dari kalangan akademisi, aktivis LSM
berkeinginan agar lembaga-lembaga penegak hukum menjadi independen,
sehingga banyak wacana yang berkembang untuk memisahkan institusi
Kejaksaan keluar dari ranah eksekutif. Mereka berpendapat sudah
seharusnya institusi Kejaksaan ditempatkan ke dalam ranah yudikatif
dengan dasar Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945. DPR dalam proses pembuatan
undang-undang ini juga menginginkan Kejaksaan bisa bekerja secara
independen. Namun, Pemerintah sebaliknya berkeinginan
mempertahankan kedudukan Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.15
Kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan secara
independen dalam tata susunan kekuasaan badan penegak hukum dan
keadilan. Setelah proses tarik-ulur terjadi di dalam pembahasan RUU
14
Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan
Hukum Islam, h. 15
15 Dio Ashar Wicaksana, “Kedudukan Kejaksaan RI dalam Sistem Hukum Tata Negara
Indonesia”, Fiat justiti,Vol.1, No.1, h. 5
44
tersebut akhirnya DPR menarik usulan mereka tentang Jaksa Agung yang
independen dan akhirnya disepakati Jaksa Agung tetaplah pejabat negara
yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, karena dalam sistem
presidensial, Kejaksaan Agung memang berada di bawah ranah eksekutif,
maka menjadi kewenangan Presidenlah untuk mengangkat dan
memberhentikan Jaksa Agung.
Diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sebagaimana diatur
dalam Pasal 41 menyatakan: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Dasar pertimbangan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum
yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 maka pengakuan hukum dan
keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan
nasional;
b. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi degan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan
menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
45
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-
Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Keberadaan atau eksistensi Kejaksaan sebagai lembaga yang
memiliki tugas dan wewenang dalam penuntutan ternyata belum begitu
lama, sebelumnya baik di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, dan
lainlain)maupun pada masa-masa kerajaan, masa-masa sebagai jajahan di
Indonesia tidak mengenal adanya suatu lembaga penuntutan,
sebagaimana tugas kejaksaansaat ini yang secara khusus untuk atas nama
atau masyarakat yang mengadakan tuntutan pidana terhadap pelaku delik.
Pada masa itu tidak ada perbedaan antara perdata dan pidana. pihak yang
dirugikan yang melakukan tuntutan pidana kepada hakim. Di
Indonesiadahulu dikenal pejabat Negara yang disebut adhyaksa yang
diartikan sebagai jaksa, akantetapi dahulu fungsinya sama dengan hakim
karena dahulu tidak dikenal adanya lembagapenuntutan16
Ditinjau dari segi wewenang penuntutan, boleh dikatakan pada
pemeriksaan sidang inilah peran utama Jaksa sebagai penuntut umum,
dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa. Sementara Pengertian
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Beberapa
kebijakan yang dirumuskan di dalam KUHAP menjelaskan eksistensi
tugas dan wewenang Jaksa terutama dalam melaksanakan penuntutan
dalam kedudukannya sebagai Penuntut Umum. Wewenang penuntutan
secara limitative diatur dan dipegang oleh penuntut umum sebagai
monopoli, artinya tiada badan lain yang berhak melakukan itu. Hal ini
16
Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di dalam Proses Pidana,( Yogyakarta : Liberty 1988) h. 13
46
disebut asas „dominus litis‟. “Dominus berasal dari bahasa latin yang
artinya pemilik, sedangkan litis artinya perkara atau gugatan.17
Tugas Jaksa sebagai penuntut umum diatur dalam Pasal 14
KUHAP dan dipertegas kembali dalam Pasal 137 KUHAP. Penuntut
umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.
Kehadiran Jaksa merupakan hal yang sangat vital didalam sebuah
pengadilan, apabila tidak ada Jaksa tidak akan ada pengadilan, karena
wewenang penuntutan hanya dimiliki oleh Jaksa. Kedudukan Hakim dan
Jaksa tidak ada bedanya, Jaksa melakukan penuntutan atas perintah
undang-undang dan Hakim memutus suatu perkara juga berdasarkan
undang-undang. Kalau tidak ada Jaksa peradilan tidak akan berjalan
karena tidak ada yang menuntut tersangka dan juga hakim tidak akan
dapat menjalankan tugasnya karena tidak ada yang melakukan tugas
penututan.
17
Hari Sasongko, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya : Dharma Surya Berlian, 1996) h. 26
47
BAB IV
PERAN PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN TERHADAP
PENEGAKAN KODE ETIK JAKSA
A. Peran Komisi Kejaksaan dalam Melakukan Pengawasan Terhadap
Kinerja Jaksa
Kejaksaan memiliki peran penting dalam penegakan hukum di
Indonesia. Saat ini kewenangan penuntutan hampir sepenuhnya dipegang
oleh Kejaksaan. Untuk pidana khusus, penuntutan bisa dilakukan oleh
lembaga lain. Misalnya tindak pidana khusus korupsi dapat dilakukan
penuntutan oleh KPK. Tetapi pada prakteknya, wewenang dan tugas yang
diemban oleh Jaksa masih jauh dari harapan masyarakat mengenai
penegakan hukum yang adil dan tegas.1
Kejaksaan adalah salah satu subsistem dalam peradilan pidana,
tetapi juga mempunyai peranan lain dalam hukum perdata dan tata usaha
negara, bahkan dapat juga mewakili kepentingan umum. Karena peran
yang dimiliki itu sangat penting dalam sistem hukum Indonesia, maka
menuntut seorang Jaksa tidak hanyaharus menguasai disiplin hukum
pidana, tetapi juga disiplin ilmu hukum lainnya. Jaksa tidak hanya dituntut
menguasai hukum yang bersifat umum (lex generalis), tetapi juga yang
bersifat khusus (lex specialis).2
Proses reformasi di lembaga Kejaksaan sudah berlangsung sejak
tahun 2005. Ada beberapa program-program pembaruan yang telah
dilakukan oleh Kejaksaan namun tidak memecahkan persoalan-persoalan
yang ada. Konsistensi Jaksa dalam melakukan penuntutan yang bisa
dikatakan sebagai tugas pokoknya masih dipertanyakan. Buruknya
integritas Jaksa pun semakin menurun mulai dari KKN, Korupsi, suap,
1 RM Surachman, Peran Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia Pasifik,
(Jakarta : Sinar Grafika. 2015) h. 37
2 Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011) h.241
48
pemerasan dan perbuatan tercela lainnya semakin menggerogoti integritas
seorang Jaksa.
Kejaksaan sebagai salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas
dari tuntutan masyarakat agar dalam menjalankan tugasnya seorang Jaksa
harus lebih profesional dan berpihak pada kebenaran. Masalah-masalah
yang ada di Kejaksaan mungkin disebabkan merosotnya profesionalisme
dikalangan para Jaksa. Keahlian, rasa tanggung jawab dan kinerja yang
terpadu yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme tampaknya
mengendur.
Melihat Kondisi tersebut, masalah-masalah ataupun pelanggaran
yang ada di Kejaksaan dirasa cukup mustahil untuk diselesaikan dan pada
akhirnya lembaga Kejaksaan akan semakin kehilangan
kepercayaanmasyarakat sebagai lembaga penegak hukum. Padahal
didalam lembaga Kejaksaan itu sendiri sudah ada unit khusus untuk
mengawasi para Jaksa dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya yang
dipegang oleh Jaksa Muda bidang Pengawasan sebagai pengawasan
internal. Tetapi hal tersebut tidak membuat para Jaksa menjadi takut untuk
melakukan pelanggaran kode etik.
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Repubik Indonesia mengatakan “untuk meningkatkan kinerja
Kejaksaan Presiden dapat membentuk Komisi Kejaksaan...”. jadi
dibentuklah sebuah Komisi sebagai pengawasan tambahan atau
pengawasan eksternal yang dinamakan Komisi Kejaksaan. Lebih lanjut
dikatakan mengenai tugas organisasi kelembagaan dan seterusnya diatur
oleh Peraturan Presiden. Maka muncul lah Peraturan Presiden Nomor 18
tahun 2011 Tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.3
Pembentukan Komisi Kejaksaan pada dasarnya disebabkan oleh
semangat reformasi dan era keterbukaan, yang juga karena tidak efektifnya
3 Wawancara dengan Bpk. Barita Simanjuntak selaku Komisioner Komisi Kejaksaan
Wilayah Banten pada Tanggal 9 Agustus 2018
49
pengawasan internal yang ada di Kejaksaan sehingga menurunkan
kepercayaan masyarakat. Tidak sedikit laporan pengaduan masyarakat
yang tidak selesai setiap tahunnya. Selain itu, sistem pengawasan yang
tertutup di khawatirkan mengurangi kepercayaan publik atas pengawasan
yang dilakukan pihak internal tersebut
Komisi Kejaksaan mempunyai wewenang untuk mengawasi,
menilai, memantau sikap, perilaku sertakinerja para Jaksa dan pegawai
Kejaksaan baik didalam dinas maupun di luar dinas.4 Pengawasan yang
dimaksud disini adalah pengawasan kinerja Jaksa sesuai dengan Undang-
undang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyangkut tugas-tugasnya
sebagai seorang Jaksa. Sedangkan pada hal sikap dan perilaku hal tersebut
berkaitang dengan etika sebagai seorang Jaksa. Agar hubungan antar
pengawas dan yang diawasi bersinergi dengan baik, maka dari itu
pengawas itu tidak boleh ada diatas karena akan menimbulkan feodalistic
structural, tidak boleh juga dibawah. Pengawas dan yang diawasi harus
sejajar itulah yang dinamakan kemitraan strategis. Karena Komisi
Kejaksaan sebagai mitra dari Kejaksaan, Komisi Kejaksaan bisa
memahami apa masalahnya juga memberikan pandangan dan yang diawasi
juga tidak akan merasa digurui. Maka dari itu Komisi Kejaksaan harus
menjaga keseimbangan tersebut.Mengenai pengembangan organisasi,
sarana dan prasarana juga SDM itu juga tugas Komisi Kejaksaan. Hasilnya
adalah berbentuk rekomendasi-rekomendasi kepada Presiden dan Jaksa
Agung.
Komisi Kejaksaan merupakan lembaga pengawas eksternal yang
kedudukannya dibawah Presiden. Dipilih, diangkat dan bertanggungjawab
kepada Presiden. Dalam hal melakukan pengawasan, Komisi Kejaksaan
hanya sebatas menerima pengaduan masyarakat. Jadi tugas pengawasan
tersebut berkaitan dengan laporan pengaduan masyarakat yang masuk ke
4 Baharuddin Lopa, “Memperkuat Kejaksaan Kita”, Mappi FHUI, (Oktober 2015) h.11
50
Komisi Kejaksaan baik melalui Online, email ataupun yang datang
langsung ke Komisi Kejaksaan. 5
Semua laporan pengaduan yang masuk ke Komisi Kejaksaan
kemudian di telaah, ditindak lanjuti dan di verifikasi bagaimana
kebenarannya. Sebelumnya Komisi Kejaksaan akan memastikan
bagaimana pengawasan internal Kejaksaan. Apakah sudah ditangani atau
belum agar tidak tumpang tindih dalam melakukan pengawasan. Jika
sudah ditangani Komisi Kejaksaan akan memantau dan menunggu
perkembangan ataupun bagaimana hasilnyadan kemudian
menyampaikannya ke pelapor.
Keseluruhan dari hasil pemantauan akan disusun menjadi satu
dalam berkas pemantauan. Laporan tersebut akan kembali di telaah oleh
Komisioner untuk mengetahui apakah ada bukti atau infornasi baru yang
belum dan perlu di klarifikasi lebih lanjut. Hasil atas telaah pemantauan
digunakan untuk mengetahui apakah ada pemeriksaan yang tidak di
koordinasikan dengan Komisi Kejaksaan dan atau untuk mengetahui
apakah pengawas internal bersungguh-sungguh dalam melakukan
pemeriksaan.
Komisi Kejaksaan juga mempunyai wewenang untuk meminta
laporan, informasi dan data dari lembaga manapun yang berkaitan dengan
tugas pokok dan fungsinya, juga berhak meminta gelar perkara untuk
kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat. Komisi Kejaksaan juga
dapat ikut dalam Majelis Kehormatan Jaksa. Selain menerima laporan,
Komisi Kejaksaan harus memastikan bahwa laporan tersebut ditangani
dengan baik.
Pada intinya apabila ada laporan pengaduan masuk ke Komisi
Kejaksaan bahwa ditemukan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik yang
dilakukan oleh Jaksa, maka laporan tersebut akan di teruskan ke unit
5Wawancara dengan Bpk. Barita Simanjuntak selaku Komisioner Komisi Kejaksaan
Wilayah Banten pada Tanggal 9 Agustus 2018
51
pengawasan internal Kejaksaan. Apabila selama 3 bulan setelah laporan
tersebut diteruskan, unit pengawasan internal tidak menunjukan
kesungguhan atau menunjukan hasil dan laporan maka Komisi Kejaksaan
dapat mengambil alih pemeriksaan laporan tersebut.
Menurut peneliti kehadiran Komisi Kejaksaan sebagai lembaga
pengawas eksternal sebenarnya sangat membantu lembaga pengawas
internal Kejaksaan yang di pegang oleh Jaksa Muda Pengawasan atau
Jamwas. Hadirnya Komisi Kejaksaan merupakan angin segar juga untuk
para masyarakat yang semakin kritis dan teknologi yang semakin canggih.
Bentuk hukum yang menjadi payung Komisi Kejaksaan yang bentuknya
masih dalam Peraturan Presiden. Harusnya bentuk hukum yang
memayungi Komisi Kejaksaan adalah Undang-undang tersendiri tentang
Komisi Kejaksaan. Lalu mengenai kewenangan yang masih terbatas yang
hanya bersifat memberikan rekomendasi atau saran mengesankan lembaga
Komisi Kejaksaan tidak mempunyai taring dalam mengawasi para Jaksa
dan pegawai di lingkungan Kejaksaaan.
Sifat produk dari Komisi Kejaksaan hanya sebatas memberikan
rekomendasi kepada Jaksa Agung maupun Presiden. Menurut Peneliti
apabila kewenangan Komisi Kejaksaan di perkuat lagi maka eksistensi
dari Komisi Kejaksaan akan semakin dirasakan. Masyarakat akan semakin
kritis dan mengadukan apabila ada Jaksa yang melanggar Kode Etik.
Mereka semakin kritis dan berani melaporkan karena Komisi Kejaksaan
dianggap cepat, tanggap dan tepat sasaran dalam menindak Jaksa-jaksa
yang nakal.
Jadi peran pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Kejaksaan
menitikberatkan pada memproses laporan pengaduan masyarakat yang
masuk ke Komisi Kejaksaan. Tidak banyak terdapat perbedaan mengenai
tugas Komisi Kejaksaan pada Perpres Nomor18 tahun 2005 tentang
Komisi Kejaksaan yang diubah ke Perpres Nomor 18 tahun 2011.
52
Perbedaannya hanya terletak pada point menyampaikan kepada Jaksa
Agung atas hasil pengawasan, pemantauan dan penilaian untuk
ditindaklanjuti menjadi pasal tersendiri.
B. Hambatan-Hambatan dan Upaya-Upaya Komisi Kejaksaan dalam
Melakukan Penegakan Kode Etik Jaksa
Ada beberapa faktor penghambat yang menyebabkan Komisi
Kejaksaan belum berjalan secara maksimal dalam menegakkan kode etik
Jaksa :6
1. Hambatan Komisi Kejaksaan dalam menegakkan Kode etik Jaksa
a. Komisi Kejaksaan tidak mempunyai wewenang untuk
mengeksekusi layaknya KPK. Tugas dari Komisi Kejaksaan
hanya sebatas mengawasi, memantau dan menilai baik dari
perilaku, sikap, etika, SDM dan sarana dan prasarana saja.
Karena Komisi Kejaksaan bukan bertugas mengambil alih tugas
penanganan perkara melainkan hanya memastikan
penanganannya benar. Apabila penanganannya tidak benar hal
tersebut akan di serahkan ke Jaksa Agung. Karena sifat produk
dari Komisi Kejaksaan hanyalah sebuah rekomendasi baik ke
Jaksa Agung maupun ke Presiden.Kewenangan Komisi
Kejaksaan yang hanya sekedar memberikan rekomendasi
kepada Jaksa Agung ataupun ke Presiden membuat masyarakat
beranggapan bahwa Komisi Kejaksaan hanya seperti tukang pos
belaka. Masyarakat menganggap Komisi Kejaksaan hanya
sebagai macan tapi tak bertaring karena tidak mempunyai
kewenangan untuk mengeksekusi. Hal tersebut membuat
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Komisi
Kejaksaan.
6 Hasil wawancara dengan Bp. Barita LH Simanjuntak Sebagai komisioner Komisi
Kejaksaan wilayah Banten
53
b. Kurangnya SDM atau pegawai yang ada di Komisi Kejaksaan.
Membuat satu staf bahkan kepala bagian memegang beberapa
tugas yang seharusnya bukan tugasnya. Membuat pelaksanaan
kerja ataupun penyelesaian tugas kurang efektif.
c. Belum maksimalnya anggaran yang diberikan kepada Komisi
Kejaksaan.
d. Laporan pengaduan yang diadukan oleh masyarakat tidak
disertai dengan bukti-bukti yang aktual. Bahkan tidak sedikit
surat kaleng yang dikirim ke Komisi Kejaksaan. Misalnya
pengacara yang teknis penanganan perkaranya tidak dikabulkan
mengenai penangguhan penahanannya, mereka melaporkan
Jaksa nya karena mereka merasa tidak terima atau tidak sejalan
dengan kemauannya. Padahal komisi juga harus memastikan
kalau Jaksa tidak terganggu dalam melakukan tugasnya.
2. Upaya-Upaya Komisi Kejaksaan dalam menegakkan Kode etik
Jaksa
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Komisi
Kejaksaan sudah melakukan langkah-langkah yang dibutuhkan
untuk mengurangi masalah tersebut. Misalnya Jaksa mengalami
benturan terhadap lembaga penegak hukum yang lain dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya. Komisi Kejaksaan dapat
berperan membantu Kejaksaan untuk memperjungkan hak
Kejaksaan.
Komisi Kejaksaan juga telah berusaha terus mempunyai
hubungan baik dengan Kejaksaan sebagai mitra yang di awasinya.
Karena apabila Kejaksaan mampu menjelaskan kepada masyarakat
bahwa Komisi Kejaksaan tidak mempunyai kewenangan untuk
mengeksekusi maka Komisi Kejaksaan dapat kembali
mendapatkan kepercayaan masyarakat. Karena apabila pengawas
54
internal Kejaksaan sudah menangani laporan dengan baik, maka
Komisi Kejaksaan akan semakin ringan tugasnya. Komisi
Kejaksaan dapat dinilai baik apabila kinerja Kejaksaan semakin
meningkat dan mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai
lembaga penegak hukum yang lurus, bersih, jujur dan adil.
Untuk mengatasi kurangnya SDM yang ada di Komisi
Kejaksaan, Komisi Kejaksaan sudah memberitahu
Kemenkopolhukam untuk menambah SDM di Komisi Kejaksaan
ini. Karena status pegawai Komisi Kejaksaan adalah pegawai
Kemenkopolhukam.
Komisi Kejaksaan juga harus bekerja lebih independen,
kemitraan dengan Kejaksaan memang penting. Tetapi yang lebih
penting lagi bagaimana Komisi Kejaksaan bisa menjadi jembatan
aspirasi masyarakat terhadap lembaga Kejaksaan. Selain itu
Komisi Kejaksaan juga harus lebih dekat dengan media sebagai
wadah untuk memperkenalkan eksistensinya di lembaga penegakan
hukum di Indonesia. Karena melalui media masyarakat akan lebih
mengenal Komisi Kejaksaan, apa yang dilakukan dan sejauh mana
kinerjanya yang nantinya akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada lembaga Komisi Kejaksaan.
Kedepannya Peneliti berharap lembaga Komisi Kejaksaan ini
menjadi lembaga yang diperkuat payung hukum nya dengan
undang-undang yang juga akan diikuti diperkuatnya tugas dan
kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Kejaksaan. Karena Komisi
Kejaksaan merupakan jembatan masyarakat untuk membuat
lembaga Kejaksaan semakin meningkat kinerjanya dan membuat
Kejaksaan menjadi lembaga yang dipercaya oleh masyarakat untuk
menegakkan hukum yang adil dan benar.
55
C. Mekanisme Pelaksanaan Penegakan Kode Etik Jaksa
Dalam isi Peraturan Presiden 18 Tahun 2011 Tentang Komisi
Kejaksaan sebagian besar kewenangan Komisi Kejaksaan ialah menerima
laporan pengaduan dari masyarakat. Penerimaan laporan pengaduan
masyarakat merupakan salah satu kewenangan Komisi Kejaksaan yang
paling popoler.
Adapun tatacara pengaduan masyarakat ke Komisi Kejaksaan adalah
sebagai berikut :7
1. Laporan pengaduan melalui pos atau PO Box
Laporan pengaduan diajukan secara tertulis dalam bahasa
indonesia oleh pelapor atau kuasanya yang mendapat kuasa untuk
maksud tersebut dengan memuat perihal sebagai berikut :
a) identitas pelapor yang lengkap seperti nama, alamat, pekerjaan,
nomor telepon yang juga disertai fotocopy KTP Pelapor. Jika
pelapor bertindak selaku kuasa, disertai dengan surat kuasa.
b) Identitas terlapor (jaksa atau pegawai kejaksaan). Secara jelas
seperti nama, jabatan, NIP, alamat lengkap unit kerja terlapor
c) Uraian yang menjadi dasar laporan pengaduan. Alasan pengaduan
diuraikan secara jelas dan rinci disertai alat bukti yang diperlukan
berupa surat-surat bukti, saksi dan lain-lain.
d) Laporan pengaduan ditanda tangani oleh pelapor atau kuasanya dan
dikirimkan ke alamat Komisi kejaksaan
2. Laporan Pengaduan melalui surat elektronik (email)
Laporan pengaduan diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia oleh pelaporatau kuasanya yang mendapat kuasa untuk
maksud tersebut dengan memuat perihal sebagai berikut :
a) identitas pelapor yang lengkap seperti nama, alamat, pekerjaan,
nomor telepon yang juga disertai fotocopy KTP Pelapor. Jika
7 Dikutip dari https://komisi-kejaksaan.go.id/tata-cara-pengaduan/pada tanggal 24
juli 2018
56
pelapor bertindak selaku kuasa, disertai dengan surat kuasa.
Disertai dengan attach file scanner. Laporan yang tidak disertai
dengan file scanner tidak akan ditindak lanjuti
b) Identitas terlapor (jaksa atau pegawai kejaksaan). Secara jelas
seperti nama, jabatan, NIP, alamat lengkap unit kerja terlapor
c) Uraian yang menjadi dasar laporan pengaduan. Alasan pengaduan
diuraikan secara jelas dan rinci disertai alat bukti yang diperlukan
berupa surat-surat bukti, saksi dan lain-lain. Jika tidak
memungkinkan melalui email, alat bukti dapat dikirimkan melalui
pos.
d) Laporan pengaduan diketik dalam format “word document”
(*.doc,*.docx)
e) Masyarakat yang ingin melaporkan dapat mendownload file form
pengaduan, kemudian dikirim ke email pengaduan@komisi-
kejaksaan.go.id
3. Laporan Online
1. Buka Link Komisi Kejaksaan di www.komisi-kejaksaan.go.id
2. klik tulisan “Pengaduan” dan pilih “Pengaduan Online”
57
3. setelah di klik “Pengaduan Online” maka akan muncul seperti
yang dibawah ini
4. isi semua kotak informasi yang tertera tersebut lalu kalau sudah
klik “Submit” dan laporan pengaduan online telah terkirim ke
Komisi Kejaksaan.
Setelah berkas pengaduan Masyarakat diterima, maka selanjutnya
berkas akan diregistrasi pada bagian sekretariat Komisi Kejaksaan
yang kemudian akan diserahkan ke komisioner untuk di telaah terlebih
58
dahulu sebelum dibawa ke rapat pleno. Komisioner masing-masing
akan melakukan telaah administratif dan substantif atas laporan
pengaduan tersebut. Telaah yang dilakukan oleh masing-masing
komisioner dilakukan selama 5 hari sejak diterima dari sekretaris
berdasarkan disposisi ketua.
Apabila berkas laporan tersebut tidak memenuhi syarat
administratif maka Pelapor atau Kuasa Pelapor diminta untuk
melengkapi dan menyampaikan kembali ke komisi Kejaksaan. Maka
dari itu laporan pengaduan tersebut diregister sebagai kategori
informasi.
Hasil telaah yang sudah lengkap kemudian akan disampaikan
dalam rapat pleno. Didalam rapat pleno laporan tersebut akan dibahas
oleh seluruh komisioner. Hasil rapat pleno dapat berupa :
I. Rekomendasi tindak lanjut
II. Rekomendasi klarifikasi
III. Diteruskan kepada instansi data kepada pelapor
IV. Dimintakan kelengkapan data kepada pelapor
V. Diinformasikan kepada pelapor
VI. Diarsipkan
Kemudian rekomendasi akan diserahkan kepada pihak pengawas
internal, kemudian secara periodik akan dipantau oleh Komisi
Kejaksaan untuk mengetahui proses penanganan dan pemeriksaan,
serta bagaimana tindak lanjut pengaduan dan rekomendasi yang
diberikan.
Keseluruhan hasil pemantauan akan disusun dalam berkas laporan
pemantauan. Laporan tersebut akan ditelaah kembali untuk
mengetahui apakah ada bukti atau informasi baru yang belum
diklarifikasi lebih lanjut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
apabila masyarakat menduga ada pelanggaran Kode etik yang
59
dilakukan oleh Jaksa maka masyarakat bisa melaaporkan hal tersebut
ke Komisi Kejaksaan melalui Email, Pos, Online ataupun datang
langsung ke Kantor Komisi Kejaksaan. Setelah laporan pengaduan
diterima, berkas akan diregistrasi pada bagian sekretariat Komisi
Kejaksaan yang kemudian akan diserahkan ke Komisioner untuk
ditelaah terlebih dahulu sebelum dibawa ke rapat pleno.
Masing-masing Komisioner akan melakukan telaah administratif
dan substantif atas laporan dengan dukungan kelompok kerja paling
lambat lima hari sejak diterima dari sekretaris berdasarkan disposisi
ketua. Hasil telaah yang sudah lengkap akan disampaikan didalam
rapat pleno yang kemudian akan dibahas oleh semua Komisioner.
Hasil dari rapat pleno adalah sebuah rekomendasi, yang kemudian
akan dikirimkan ke pengawas internal. Setelah dikirim ke pengawas
internal, maka selama tiga bulan akan dipantau bagaimana
penanganan dan pemeriksaan serta tindak lanjut pengaduan dan
rekomendasi yang diberikan. Hasil pemantauan tersebut akan
dimasukkan ke berkas pemantauan. Hasil pemantauan tersebut akan
ditelaah kembali untuk mengetahui apakah ada bukti baru atau
informasi baru yang belum di koordinasikan dengan Komisi
Kejaksaan.
Komisi Kejaksaan juga berhak melakukan pemeriksaan ulang,
pemeriksaan tambahan dan pengambilalihan pemeriksaan. Untuk
pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan, hal tersebut bisa
dilakukan apabila ada bukti atau informasi baru pada pemeriksaan
sebelumnya belum di klarifikasi atau masih memerlukan klarifikasi
lebih lanjut dan apabila pemeriksaan oleh pengawas internal
Kejaksaan tidak di koordinasikan sebelumnya dengan Komisi
Kejaksaan. Untuk pengambilalihan pemeriksaan dapat dilakukan
apabila pengawas internal Kejaksaan tidak menunjukkan kesungguhan
60
dalam melakukan pemeriksaan atau belum menunjukan hasil
pemeriksaan yang nyata dalam kurun waktu 3 (bulan) sejak laporan
pengaduan masyarakat masuk atau sejak laporan pengaduan tersebut
diserahkan ke pengawas internal Kejaksaan. Hal tersebut sesuai
dengan pasal 4 huruf e Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011
tentang Komisi Kejaksaan. Dalam melakukan pemeriksaan tambahan,
pemeriksaan ulang maupun pengambilalihan pemeriksaan, Komisi
Kejaksaan memberitahukan hal tersebut kepada Jaksa Agung.
Menurut teori sistem, seharusnya mekanisme penanganan laporan
yang dilakukan oleh Komisi Kejaksaan tidak boleh berhenti hanya
sebatas memberikan rekomendasi saja, tetapi juga harus membentuk
atau ikut mengawasi, memantau dan memastikan sejauh mana sanksi
yang diberikan kepada Jaksa atau pegawai dilingkungan Kejaksaan
lainnya sudah ditaati dan dieksekusi dengan benar. Jadi mekanisme
yang dilakukan dari awal dalam memeriksa dan menangani laporan
yang prosesnya cukup panjang itu tidak menjadi sia-sia apabila sanksi
yang diberikan pada Jaksa atau pegawai Kejaksaan itu sudah di jalani
dengan benar.
Apabila sanksi yang diberikan tidak ditaati oleh Jaksa dan pegawai
dilingkungan Kejaksaan lainnya, maka Komisi Kejaksaan seakan
hanya mengantarkan sampai ke pintu gerbang saja dan seakan tidak
mau tau apa yang akan terjadi didalamnya. Karena kalau tidak di
awasi sampai selesai, di khawatirkan akan ada penyelewengan atau
kesewenangan atasan di badan Kejaksaan yang melindungi Jaksa yang
notabene adalah bawahannya tersebut. Maka dari itu perlu adanya
penambahanan substansi hukum atau payung hukum yang lebih kuat
untuk Komisi Kejaksaan, yang sebelumnya hanya sebatas Peraturan
Presiden, harus diperkuat dengan Undang-undang tersendiri mengenai
Komisi Kejaksaan. Dimana nantinya apabila payung hukum Komisi
Kejaksaan menjadi sebuah Undang-undang tersendiri maka
61
kewenangannya harus ditambah salah satunya adalah untuk
mengawasi memantau dan memastikan sejauh mana penegakan kode
etik tersebut dijalankan.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pertanyaan riset yang Peneliti kemukakan serta
pembahasannya baik yang berdasarkan teori maupun data-data yang
penulis dapatkan selama mengadakan penelitian, maka Peneliti mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Komisi Kejaksaan sebagai lembaga pengawas eksternal yang
mempunyai tugas melakukan pengawasan, pemantauan dan
penilaian terhadap kinerja, sikap, perilaku dan etika Jaksa dan
pegawai kejaksaan lainnya. Komisi Kejaksaan juga mempunyai
tugas melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi,
tata kerja, kelenfkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia di lingkungan kejaksaan. Mengenai peranan pengawasan
yang dilakukan oleh Komisi Kejaksaan hanya sebatas dengan
menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat. Maka dari itu
peran dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam kelangsungan
kinerja pengawasan yang dilakukan Komisi Kejaksaan. Apabila
masyarakat mengalami penyelewengan yang dilakukan oleh Jaksa,
masyarakat dapat melaporkan ke Komisi Kejaksaan. Setelah itu
Komisi Kejaksaan akan meneruskan laporan tersebut ke Kejaksaan
yang nanti akan terus dipantau oleh Komisi Kejaksaan dan akan
dilaporkan ke pelapor.
2. Upaya-upaya dan hambatan-hambatan yang dirasakan oleh Komisi
Kejaksaan paling banyak tentang ekspektasi masyarakat yang sangat
tinggi ke Komisi Kejaksaan. Masyarakat mengharapkan Komisi
Kejaksaan dapat langsung menindak dan mengeksekusi laporan yang
mereka adukan ke Komisi Kejaksaan, padahal Komisi Kejaksaan
63
tidak memilikikewenangan untuk mengeksekusi. Komisi Kejaksaan
hanya dapat memberikan rekomendasi dan memantau penanganan
laporan tersebut telah ditangani dengan benar. Hambatan yang lain
mengenai teknis pelaporan masyarakat yang masih kurangnya bukti
dalam mengadukan laporan ke Komisi Kejaksaan sehingga laporan-
laporan tersebut hanya di simpan sebagai arsip apabila tidak ada
bukti dalam bentuk nyata. Tetapi tidak sedikit juga surat kaleng yang
datang ke Komisi Kejaksaan. Laporan-laporan seperti itu tetap
ditelaah oleh Komisi Kejaksaan dengan lebih teliti lagi karena ada
juga yang mengandung petunjuk dari laporan sebelumnya tetapi
tidak sedikit juga yang hanya berisi fitnah belaka.
3. Mekanisme penegakan kode etik yang dilakukan oleh Komisi
Kejaksaan seharusnya tidak hanya sebatas memberikan rekomendasi
saja, tetapi juga harus memantau dan memastikan sejauh mana
sanksi yang telah dijatuhkan tersebut ditaati dan dieksekusi dengan
benar.
B. Rekomendasi
Berdasarkan simpulan tersebut maka Peneliti memberikan
rekomendasi :
1) Dibentuknya Undang-Undang Khusus Tentang Komisi Kejaksaan
sebagai payung hukum.
2) Memperkuat dan menambah tugas dan wewenangnya agar tidak hanya
sebagai rekomendasi belaka, tetapi juga melakukan pemantauan dan
memastikan sejauh mana sanksi yang telah dijatuhkan pada Jaksa
yang telah melanggar Kode etik ditaato dan dieksekusi dengan benar
sehingga eksistensi Komisi Kejaksaan akan semakin dirasakan oleh
masyarakat para pencari keadilan.
3) Menambah SDM yang berkompeten dilingkungan Komisi Kejaksaan
agar kinerjanya menjadi lebih efektif. (mampu mewujudkan cita-cita
64
awal pembentukan Komisi Kejaksaan yaitu dapat meningkatkan
Kinerja Kejaksaan sehingga kedepanya Kejaksaan menjadi lembaga
yang lebih dipercaya masyarakat karena telah menegakkan hukum
dengan lurus, bersih, jujur dan adil.
65
DAFAR PUSTAKA
Ashar Wicaksana Dio, “Kedudukan Kejaksaan RI dalam Sistem Hukum Tata
Negara Indonesia”, Fiat justiti,Vol.1, No.1 (Maret 2013)
Asshiddiqie Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta :
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006)
Azhary Tahir, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan Hukum
Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012)
Bertens K., Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011)
Effendy Marwan, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama: 2005)
Fuady Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), (Bandung : PT Refika
Aditama, 2009)
Hadjar, A. Fickar, dkk., Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003)
Hadiwardoyo A. Purwa, Moral dan masalahnya, (Yogyakarta : Kanisius, 1994),
Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
HR Ridwan. Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007).
Ijahjadi S.P. Lili, Hukum Moral : Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan
Imperatif Kategoris, (Yogyakarta : Kanisius , 1991)
Kaligis O.C., Pengawasan terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus
dalam Pemberantasan Korupsi, (Bandung: Alumni, 2006)
Kansil C.S.T, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum (Bagi Mahasiswa dan Subyek
Hukum: Hakim, Penasihat Hukum, Notaris, Jaksa, Polisi) Cetakan
Kedua, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2003)
Lopa Baharuddin, “Memperkuat Kejaksaan Kita”, Mappi FHUI, (Oktober 2015
Marinka Jan S., Reformasi Kejaksaan Dalam Sistem Hukum Nasional. (Jakarta :
Sinar Grafika. 2007)
Muhammad Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2006)
66
Nuh Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Pustaka Setia, 2011)
Pramudya Kelik dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum,
(Jakarta : Pustaka Yustisia, 2010)
Rammelink Jan, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), (PT
Gramedia Pustaka, Jakarta: 2003)
RM Surachman, Peran Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia
Pasifik, (Jakarta : Sinar Grafika. 2015)
Sambas, Leonarda. Teori-teori hukum klasik dan Kontemporer, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2016)
Sasongko Hari, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya :
Dharma Surya Berlian, 1996)
Soekanto Soerjono, Teori Peranan, (Jakarta: Bumi Aksara. 2002)
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2008)
Seran Alex, Moral Politik Hukum, (Jakarta : Obor, 1999)
Waluyo Bambang, “Menyoal Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia”, Jurnal Bina Adhyaksa Vol.
II No. 1 Maret 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
UU nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor : PER-022/A/JA/2011 tentang
Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia
67
INTERNET
https://komisi-kejaksaan.go.id/catatan-akhir-tahun-2015/
https://komisi-kejaksaan.go.id/laporan-kinerja-komisi-kejaksaan-ri-tahun-2016/
https://komisi-kejaksaan.go.id/visi-dan-misi/
https://komisi-kejaksaan.go.id/struktur-organisasi-periode-iii/
https://komisi-kejaksaan.go.id/tata-cara-pengaduan/
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2011
TENTANG
KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan peran Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan kembali
mengenai tugas, wewenang, dan kelembagaan Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia;
b. bahwa Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi
Kejaksaan Republik Indonesia dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan sehingga perlu disempurnakan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4401);
MEMUTUSKAN: …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG KOMISI KEJAKSAAN
REPUBLIK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Komisi Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
Komisi Kejaksaan adalah Komisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
2. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
3. Jaksa Agung adalah pimpinan Kejaksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
4. Jaksa adalah pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
BAB …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
BAB II
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG
Bagian Pertama
Kedudukan
Pasal 2
(1) Komisi Kejaksaan merupakan lembaga non struktural yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri.
(2) Komisi Kejaksaan berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
Bagian Kedua
Tugas
Pasal 3
Komisi Kejaksaan mempunyai tugas :
a. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap
kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan kode etik;
b. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap
perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun
di luar tugas kedinasan; dan
c. Melakukan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
c. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, tata
kerja, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia di lingkungan Kejaksaan.
Bagian Ketiga
Wewenang
Pasal 4
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Komisi Kejaksaan berwenang:
a. menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan
masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai
Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
b. meneruskan laporan atau pengaduan masyarakat kepada Jaksa
Agung untuk ditindaklanjuti oleh aparat pengawas internal
Kejaksaan;
c. meminta tindak lanjut pemeriksaan dari Jaksa Agung terkait
laporan masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau
pegawai Kejaksaan;
d. melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas
pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat pengawas internal
Kejaksaan;
e. mengambil alih pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat
pengawas internal Kejaksaan; dan
f. mengusulkan pembentukan Majelis Kode Perilaku Jaksa.
Pasal . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Pasal 5
(1) Pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dapat dilakukan apabila:
a. Ada bukti atau informasi baru yang dalam pemeriksaan
sebelumnya belum diklarifikasi dan/atau memerlukan
klarifikasi lebih lanjut;
b. Pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak
dikoordinasikan sebelumnya dengan Komisi Kejaksaan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini.
(2) Pengambilalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf e dapat dilakukan apabila:
a. Pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak
menunjukkan kesungguhan atau belum menunjukkan hasil
nyata dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak laporan masyarakat
atau laporan Komisi Kejaksaan diserahkan ke aparat pengawas
internal Kejaksaan;
b. Diduga terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat internal
Kejaksaan.
(3) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), Komisi Kejaksaan memberitahukan kepada Jaksa
Agung.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
Pasal 6
(1) Seluruh Jaksa dan pegawai Kejaksaan wajib memberikan keterangan
dan/atau data yang diminta Komisi Kejaksaan dalam rangka
melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atau
mengambil alih pemeriksaan.
(2) Dalam hal Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak memberikan keterangan dan/atau
data yang diminta, Komisi Kejaksaan mengajukan usul kepada
atasan yang bersangkutan agar menjatuhkan sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
(1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada Jaksa Agung
untuk ditindaklanjuti.
(2) Dalam hal rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditindaklanjuti atau pelaksanaannya tidak sesuai rekomendasi,
Komisi Kejaksaan melaporkannya kepada Presiden.
Pasal 8
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Komisi Kejaksaan berwenang meminta informasi dari badan
pemerintah, organisasi atau anggota masyarakat berkaitan dengan
kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 4, Komisi Kejaksaan dapat menyampaikan
rekomendasi berupa:
a. penyempurnaan organisasi dan tata kerja serta peningkatan kinerja
Kejaksaan;
b. pemberian penghargaan kepada Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan
yang berprestasi dalam melaksanakan tugas kedinasannya; dan/atau
c. pemberian sanksi terhadap Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, Kode Etik, dan/atau peraturan perundang-
undangan.
Pasal 10
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 4, Komisi Kejaksaan:
a. berhak mengikuti gelar perkara terhadap kasus-kasus yang
menarik perhatian publik yang dipimpin oleh Jaksa Agung;
b. berhak mengikuti gelar perkara terhadap kasus-kasus dan/atau
perkara yang dilaporkan masyarakat kepada Komisi Kejaksaaan;
c. dapat diangkat menjadi anggota dalam Majelis Kode Perilaku
Jaksa.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
Pasal 11
Komisi Kejaksaan wajib memberitahukan secara tertulis rencana
pengambilalihan pemeriksaan dan/atau pemeriksaan ulang dan atau
pemeriksaan tambahan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa
dan/atau pegawai Kejaksaan kepada aparat pengawasan internal
Kejaksaan.
Pasal 12
(1) Komisi Kejaksaan wajib melaporkan hasil pemeriksaannya
kepada:
a. Kepolisian dalam hal terdapat dugaan tindak pidana umum
yang dilakukan oleh Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan;
b. Jaksa Agung, Kepolisian dan/atau Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam hal terdapat dugaan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan.
(2) Komisi Kejaksaan memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada
Pelapor/Pengadu dalam hal dugaan pelanggaran Jaksa dan/atau
pegawai Kejaksaan berasal dari pengaduan masyarakat.
Pasal 13
Pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Kejaksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, tidak boleh mengganggu
kelancaran tugas kedinasan Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan atau
mempengaruhi kemandirian Jaksa dalam melakukan penuntutan.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
Pasal 14
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 4, Komisi Kejaksaan wajib:
a. menaati norma hukum dan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
b. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan
rahasia yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota
Komisi Kejaksaan.
BAB III
SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA
Bagian Kesatu
Susunan Keanggotaan
Pasal 15
(1) Keanggotaan Komisi Kejaksaan terdiri dari:
a. Unsur masyarakat sebanyak 6 (enam) orang, terdiri dari
praktisi/akademisi hukum, tokoh masyarakat, dan/atau pakar
tentang Kejaksaan
b. Yang mewakili Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang.
(2) Keanggotaan dari unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat berasal dari kalangan dalam maupun luar
aparatur pemerintah.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
Pasal 16
Susunan keanggotaan Komisi Kejaksaan terdiri atas :
a. Ketua merangkap anggota;
b. Wakil Ketua merangkap anggota;
c. Sekretaris merangkap anggota;
d. 6 (enam) orang Anggota.
Pasal 17
(1) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Kejaksaan dipilih dan ditetapkan
oleh Presiden.
(2) Jabatan Sekretaris dalam susunan keanggotaan Komisi Kejaksaan
dipilih dari dan oleh anggota melalui tata cara yang diatur oleh
Komisi Kejaksaan.
Bagian Kedua
Sekretariat Komisi Kejaksaan
Pasal 18
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Kejaksaan
dibantu Sekretariat Komisi Kejaksaan.
(2) Sekretariat Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), berada di lingkungan Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan.
(3) Sekretariat Komisi Kejaksaan mempunyai tugas memberikan
dukungan teknis dan administratif kepada Komisi Kejaksaan.
(4) Sekretariat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
(4) Sekretariat Komisi Kejaksaan secara fungsional berada dibawah
dan bertanggung jawab kepada Komisi Kejaksaan dan secara
administratif bertanggung jawab kepada Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Pasal 19
(1) Sekretariat Komisi Kejaksaan dipimpin oleh Kepala Sekretariat
Komisi Kejaksaan.
(2) Kepala Sekretariat Komisi Kejaksaan adalah jabatan struktural
Eselon IIa yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atas usul
Komisi Kejaksaan.
Pasal 20
(1) Sekretariat Komisi Kejaksaan terdiri dari beberapa Bagian dan
masing-masing Bagian terdiri dari beberapa Sub Bagian.
(2) Kepala Bagian adalah jabatan struktural Eselon IIIa.
(3) Kepala Sub Bagian adalah jabatan struktural Eselon IVa.
(4) Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Sekretariat Komisi
Kejaksaan diatur lebih lanjut oleh Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan berdasarkan usulan Komisi
Kejaksaan setelah mendapat persetujuan dari menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan
reformasi birokrasi.
Bagian …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Bagian Ketiga
Kelompok Kerja
Pasal 21
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi
Kejaksaan, Ketua Komisi Kejaksaan membentuk Kelompok Kerja
sesuai dengan kebutuhan.
(2) Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
tenaga ahli yang berasal dari instansi pemerintah, akademisi, dan
masyarakat.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat mengatasnamakan
dan/atau mewakili Komisi Kejaksaan.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikoordinasikan
oleh Sekretaris Komisi Kejaksaan.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) difasilitasi
oleh Sekretaris Komisi Kejaksaan.
(6) Ketentuan mengenai susunan keanggotaan, rincian tugas, dan tata
kerja Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Komisi
Kejaksaan.
Bagian …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 22
(1) Pengambilan keputusan Komisi Kejaksaan dilakukan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Apabila pengambilan keputusan secara musyawarah tidak tercapai,
pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima)
orang Anggota Komisi Kejaksaan.
Pasal 23
(1) Komisi Kejaksaan melakukan rapat sekurang-kurangnya 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
(2) Dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi
Kejaksaan dapat mengundang pimpinan instansi dan/atau pihak
terkait.
Pasal 24
(1) Komisi Kejaksaan menyampaikan laporan triwulan, laporan
tahunan, dan laporan akhir tugas kepada Presiden mengenai:
a. pelaksanaan tugas; dan
b. pertimbangan dan rekomendasi.
(2) Selain …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
(2) Selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi
Kejaksaan dapat menyampaikan laporan sewaktu-waktu kepada
Presiden.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan pula kepada Jaksa Agung.
Pasal 25
Ketentuan mengenai tata kerja Komisi Kejaksaan diatur lebih lanjut
oleh Komisi Kejaksaan.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 26
Anggota Komisi Kejaksaan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Pasal 27
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Komisi Kejaksaan harus
memenuhi syarat;
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;
d. Diutamakan mempunyai pengalaman di bidang hukum paling
singkat 15 (lima belas) tahun;
e. Memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela;
f. Sehat jasmani dan rohani;
g. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak kejahatan;
dan
h. Melaporkan harta kekayaan.
Pasal 28
(1) Calon anggota Komisi Kejaksaan yang mewakili Pemerintah
diajukan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan kepada Presiden.
(2) Calon anggota Komisi Kejaksaan dari unsur masyarakat dipilih
melalui proses seleksi oleh Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi
Kejaksaan.
(3) Panitia …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
(3) Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Presiden atas usul Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum
masa jabatan anggota Komisi Kejaksaan berakhir.
(4) Anggota Panitia Seleksi terdiri dari wakil pemerintah, pemerhati
hukum dan tokoh masyarakat.
Pasal 29
(1) Seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan dilaksanakan secara
transparan dan akuntabel.
(2) Ketentuan mengenai tata cara seleksi Calon Anggota Komisi
Kejaksaan diatur lebih lanjut oleh Ketua Panitia Seleksi Calon
Anggota Komisi Kejaksaan.
Pasal 30
(1) Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan menyampaikan
kepada Presiden nama-nama calon Anggota Komisi Kejaksaan
sebanyak 2 (dua) kali jumlah Anggota Komisi Kejaksaan yang
dibutuhkan untuk dipilih Presiden.
(2) Nama-nama calon Anggota Komisi Kejaksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota Komisi Kejaksaan.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
Pasal 31
(1) Anggota Komisi Kejaksaan diangkat untuk masa jabatan 4 (empat)
tahun.
(2) Anggota Komisi Kejaksaan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan berikutnya.
(3) Masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak
tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden mengenai pengangkatan
Anggota Komisi Kejaksaan.
(4) Anggota Komisi Kejaksaan yang telah berakhir masa jabatannya
secara otomatis tetap menjabat sebelum ditetapkannya anggota
Komisi Kejaksaan yang baru.
Pasal 32
Pegawai Negeri yang diangkat sebagai anggota Komisi Kejaksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 selama menjabat sebagai
anggota Komisi Kejaksaan tidak kehilangan statusnya sebagai Pegawai
Negeri.
Pasal 33
(1) Pegawai Negeri yang berhenti atau telah berakhir masa jabatannya
sebagai anggota Komisi Kejaksaan, kembali ke instansi induknya
apabila belum mencapai batas usia pensiun.
(2) Pegawai Negeri yang diangkat menjadi anggota Komisi Kejaksaan
diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri apabila
telah mencapai batas usia pensiun dan diberikan hak-hak
kepegawaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
Pasal 34
(1) Sebelum memangku jabatannya, Anggota Komisi Kejaksaan wajib
diambil sumpah atau janji secara bersama-sama menurut
agamanya oleh Presiden.
(2) Anggota Komisi Kejaksaan yang berhalangan diambil sumpah atau
janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diambil sumpah atau janji oleh Ketua Komisi Kejaksaan.
Pasal 35
Anggota Komisi Kejaksaan yang berasal dari unsur masyarakat
dilarang merangkap menjadi:
a. Pejabat negara menurut peraturan perundang-undangan;
b. Hakim atau Jaksa;
c. Advokat;
d. Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah;
e. Pengusaha, pengurus, atau karyawan badan usaha milik negara
atau badan usaha swasta; atau
f. Pengurus partai politik.
Bagian Kedua
Pemberhentian
Pasal 36
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Kejaksaan diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden apabila:
a. Meninggal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
a. Meninggal dunia;
b. Permintaan sendiri;
c. Sakit jasmani atau rohani terus menerus; atau
d. Berakhir masa jabatannya.
Pasal 37
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Kejaksaan
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden
apabila:
a. Melanggar sumpah jabatan;
b. Dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan perbuatan tercela;
d. Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya; atau
e. Melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Komisi Kejaksaan.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
Pasal 38
Anggota Komisi Kejaksaan dapat diberhentikan sementara dari
jabatannya oleh Presiden, apabila:
a. Terdapat perintah penangkapan yang diikuti penahanan;
b. Dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana.
Pasal 39
(1) Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Kejaksaan,
Presiden dapat memilih dan mengangkat Anggota Komisi
Kejaksaan Pengganti berdasarkan usulan Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
(2) Anggota Komisi Kejaksaan Pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berasal dari calon hasil Panitia Seleksi yang pernah
diajukan kepada Presiden dengan memperhatikan unsur
keterwakilan Anggota Komisi Kejaksaan.
(3) Masa jabatan Anggota Komisi Kejaksaan Pengganti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir bersamaan dengan masa jabatan
anggota yang digantikannya.
(4) Anggota Komisi Kejaksaan Pengganti diambil sumpah atau janji
oleh Ketua Komisi Kejaksaan.
BAB …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -
BAB V
PEMBIAYAAN DAN HAK KEUANGAN
Pasal 40
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan wewenang
Komisi Kejaksaan dibebankan kepada anggaran pendapatan dan
belanja negara cq. Anggaran Kementerian Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan.
Pasal 41
(1) Kepada anggota Komisi Kejaksaan diberikan hak keuangan dan
fasilitas lainnya yang diatur dengan Peraturan Presiden.
(2) Anggota Komisi Kejaksaan apabila berhenti atau telah berakhir
masa jabatannya, tidak diberikan pensiun dan/atau pesangon.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
Hasil seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan yang dilakukan oleh
Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Jaksa Agung sebelum
ditetapkannya Peraturan Presiden ini dipertimbangkan sebagai calon
anggota Komisi Kejaksaan dengan memperhatikan komposisi
keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
Pasal 43
Sekretariat Komisi Kejaksaan sebagaimana diatur dalam peraturan ini
sudah harus terbentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak
Peraturan Presiden ini ditetapkan.
Pasal 44
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, maka :
a. Sekretariat Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi
Kejaksaan Republik Indonesia tetap melaksanakan tugasnya
sampai dikeluarkannya ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan
Presiden ini;
b. Sekretariat Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi
Kejaksaan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun terhitung sejak ditetapkannya Peraturan Presiden ini
menyerahkan seluruh arsip, dokumen, barang inventaris dan
peralatan kantor lainnya yang berkaitan dengan tugasnya kepada
Sekretariat Komisi Kejaksaan;
c. Biaya …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -
c. Biaya pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan
dibebankan kepada anggaran belanja Kejaksaan Republik
Indonesia sampai dengan Komisi Kejaksaan dan Sekretariat
Komisi Kejaksaan memiliki anggaran sendiri yang merupakan
bagian anggaran Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 45
Peraturan pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005
tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia masih tetap berlaku
sepanjang belum diubah dan/atau diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Peraturan Presiden ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, maka Peraturan Presiden
Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 -
Pasal 47
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Maret 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Dr.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd.
Bistok Simbolon
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1230, 2012 JAKSA AGUNG. Perilaku. Kode Etik. Jaksa. Pencabutan.
PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER–014/A/JA/11/2012 TENTANG
KODE PERILAKU JAKSA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan Jaksa yang memiliki integritas, bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, serta mewujudkan birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel yang dilandasi doktrin Tri Krama Adhyaksa;
b. bahwa Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-067/ A/JA/07/2007 dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan profesi Jaksa;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b maka perlu membentuk Peraturan Jaksa Agung Tentang Kode Perilaku Jaksa.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 2
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4450);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara, serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa Yang Terkena Pemberhentian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4827);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
6. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
7. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-030/JA/1988 tanggal 23 Maret 1988 Tentang “Tri Krama Adhayaksa”;
8. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-066/A/JA/07/2007 tentang Standar Minimum Profesi Jaksa;
9. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-022/A/JA/03/2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan RI.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN JAKSA AGUNG TENTANG KODE PERILAKU JAKSA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Jaksa Agung ini, yang dimaksud dengan:
1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 3
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2. Profesi Jaksa adalah tugas dan wewenang yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan di bidang pidana, perdata dan tata usaha negara, di bidang ketertiban dan ketentraman umum dan tugas-tugas lain berdasarkan undang-undang.
3. Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma penjabaran dari Kode Etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.
4. Pelanggaran adalah setiap perbuatan Jaksa yang melanggar kewajiban dan/atau larangan dalam ketentuan Kode Perilaku Jaksa, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.
5. Kewajiban adalah sesuatu hal yang harus dilakukan oleh Jaksa sebagai pejabat fungsional dalam melaksanakan tugas profesinya baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja, dan apabila dilanggar akan dikenakan tindakan administratif.
6. Larangan adalah sesuatu hal yang tidak boleh dilakukan oleh Jaksa sebagai pejabat fungsional dalam melaksanakan tugas profesinya baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja, dan apabila dilanggar akan dikenakan tindakan admnistratif.
7. Norma hukum adalah kaidah yang merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk yang daya lakunya dipaksakan dari luar diri manusia untuk mewujudkan kepastian dan keadilan hukum meliputi peraturan perundang-undangan, peraturan internal Kejaksaan dalam bentuk Peraturan Jaksa Agung, Keputusan Jaksa Agung, Instruksi Jaksa Agung, Surat Edaran Jaksa Agung, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis dari Pimpinan Kejaksaan lainnya.
8. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada Jaksa oleh institusi Kejaksaan untuk tidak dipersalahkan atas tindakannya dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa.
9. Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif adalah Pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk memeriksa dan menjatuhkan tindakan administratif terhadap Jaksa yang melakukan pelanggaran.
10. Majelis Kode Perilaku yang selanjutnya disingkat MKP adalah wadah yang dibentuk di lingkungan Kejaksaan oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 4
11. Persatuan Jaksa Indonesia yang selanjutnya disingkat PJI adalah wadah organisasi profesi Jaksa yang menghimpun seluruh Jaksa di Kejaksaan Republik Indonesia, terdiri dari PJI Pusat berkedudukan di Kejaksaan Agung, PJI Daerah berkedudukan di Kejaksaan Tinggi, dan PJI Cabang berkedudukan di Kejaksaan Negeri.
12. Lingkungan Kejaksaan adalah Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri, dan Perwakilan Kejaksaan di luar negeri
13. Tindakan administratif adalah tindakan yang dijatuhkan kepada Jaksa yang melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
Pasal 2 Kode Perilaku Jaksa berlaku bagi Jaksa yang bertugas di dalam dan di luar lingkungan Kejaksaan.
BAB II
PERILAKU JAKSA Bagian Kesatu
Kewajiban Jaksa
Pasal 3 Kewajiban Jaksa kepada negara :
a. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
c. melaporkan dengan segera kepada pimpinannya apabila mengetahui hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara.
Pasal 4 Kewajiban Jaksa kepada Institusi: a. menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya; b. menjunjung tinggi sumpah dan/atau janji jabatan Jaksa;
c. menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi Kejaksaan Republik Indonesia;
d. melaksanakan tugas sesuai peraturan kedinasan dan jenjang kewenangan;
e. menampilkan sikap kepemimpinan melalui ketauladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan; dan
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 5
f. mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling memotivasi untuk meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan kewajibannya.
Pasal 5
Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa:
a. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur dan adil;
b. mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga;
c. mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan kedinasan;
d. meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta mengikuti perkembangan hukum yang relevan dalam lingkup nasional dan internasional;
e. menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan petunjuk kepada Penyidik;
f. menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap tersangka/terdakwa yang masih anak-anak dan korban tindak pidana kesusilaan kecuali penyampaian informasi kepada media, tersangka/keluarga, korban/keluarga, dan penasihat hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
g. memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi dan jaminan atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia; dan
h. memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum, penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara profesional, adil, efektif, efisien, konsisten, transparan dan menghindari terjadinya benturan kepentingan dengan tugas bidang lain.
Pasal 6
Kewajiban Jaksa kepada masyarakat:
a. memberikan pelayanan prima dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia; dan
b. menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 6
Bagian Kedua Integritas Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang:
a. memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung bagi diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau cara apapun;
b. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung;
c. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, atau finansial secara langsung maupun tidak langsung;
d. melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para pihak yang terkait dalam penanganan perkara;
e. memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku;
f. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara; g. menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan
secara fisik dan/atau psikis; dan h. menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga
telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan melalui cara-cara yang melanggar hukum;
(2) Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan tugas Profesi Jaksa.
Bagian Ketiga Kemandirian
Pasal 8 (1) Jaksa melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya:
a. secara mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pengaruh kekuasaan lainnya; dan
b. tidak terpengaruh oleh kepentingan individu maupun kepentingan kelompok serta tekanan publik maupun media.
(2) Jaksa dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum dan kepadanya diberikan perlindungan hukum.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 7
(3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada yang memberikan perintah dengan menyebutkan alasan, dan ditembuskan kepada atasan pemberi perintah.
Bagian Keempat
Ketidakberpihakan
Pasal 9 Dalam melaksanakan tugas profesi Jaksa dilarang:
a. bertindak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, jender, golongan sosial dan politik dalam pelaksanaan tugas profesinya;
b. merangkap menjadi pengusaha, pengurus/karyawan Badan Usaha Milik Negara/daerah, badan usaha swasta, pengurus/anggota partai politik, advokat; dan/atau
c. memberikan dukungan kepada Calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam kegiatan pemilihan.
Bagian Kelima
Perlindungan Pasal 10
Jaksa mendapatkan perlindungan dari tindakan yang sewenang-wenang dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa.
Pasal 11
Jaksa dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa berhak: a. melaksanakan fungsi Jaksa tanpa intimidasi, gangguan dan
pelecehan; b. mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak dipersalahkan
sebagai akibat dari pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c. mendapatkan perlindungan secara fisik, termasuk keluarganya, oleh pihak yang berwenang jika keamanan pribadi terancam sebagai akibat dari pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
d. mendapatkan pendidikan dan pelatihan baik teknis maupun nonteknis;
e. mendapatkan sarana yang layak dalam menjalankan tugas, remunerasi, gaji serta penghasilan lain sesuai dengan peraturan yang berlaku;
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 8
f. mendapatkan kenaikan pangkat, jabatan dan/atau promosi berdasarkan parameter obyektif, kualifikasi profesional, kemampuan, integritas, kinerja dan pengalaman, serta diputuskan sesuai dengan prosedur yang adil dan tidak memihak;
g. memiliki kebebasan berpendapat dan berekspresi, kecuali dengan tujuan membentuk opini publik yang dapat merugikan penegakan hukum; dan
h. mendapatkan proses pemeriksaan yang cepat, adil dan evaluasi serta keputusan yang obyektif berdasarkan peraturan yang berlaku dalam hal Jaksa melakukan tindakan indisipliner.
BAB III TINDAKAN ADMINISTRATIF
Pasal 12 (1) Jaksa wajib menghormati dan mematuhi Kode Perilaku Jaksa. (2) Setiap pimpinan unit kerja wajib berupaya untuk memastikan agar
Jaksa di dalam lingkungannya mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
(3) Jaksa yang terbukti melakukan pelanggaran dijatuhkan tindakan administratif.
(4) Tindakan adminstratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana dan hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil apabila atas perbuatan tersebut terdapat ketentuan yang dilanggar.
Pasal 13
(1) Tindakan administratif terdiri dari: a. pembebasan dari tugas-tugas Jaksa, paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama (1) satu tahun; dan/atau b. pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun. (2) Apabila selama menjalani tindakan administratif diterbitkan Surat
Keterangan Kepegawaian (Clearance Kepegawaian) maka dicantumkan tindakan administratif tersebut.
(3) Setelah selesai menjalani tindakan administratif, Jaksa yang bersangkutan dapat dialihtugaskan kembali ketempat semula atau kesatuan kerja lain yang setingkat dengan satuan kerja sebelum dialihtugaskan.
Pasal 14 Keputusan pembebasan dari tugas-tugas Jaksa dan Keputusan pengalihtugasan pada satuan kerja lain terhadap Jaksa diterbitkan oleh pejabat yang berwenang melakukan tindakan administratif.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 9
BAB IV
TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN TINDAKAN ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Majelis Kode Perilaku Pasal 15
(1) Dugaan pelanggaran diperoleh dari laporan/pengaduan masyarakat, temuan pengawasan melekat (Waskat) dan pengawasan fungsional (Wasnal).
(2) Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran ditindaklanjuti melalui proses klarifikasi dan pemeriksaan yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan sebagai pelanggaran Kode Perilaku Jaksa maka hasil pemeriksaan diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku.
Pasal 16
Pejabat yang berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku, sebagai berikut :
a. Jaksa Agung bagi Jaksa yang menduduki jabatan struktural atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden;
b. Para Jaksa Agung Muda bagi Jaksa yang bertugas di lingkungannya masing-masing pada Kejaksaan Agung;
c. Jaksa Agung Muda Pengawasan bagi Jaksa yang bertugas di luar lingkungan Kejaksaan Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi; atau
d. Kepala Kejaksaan Tinggi bagi Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri dan Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri dalam wilayah hukumnya.
Pasal 17
(1) Setelah menerima hasil pemeriksaan, Pejabat yang berwenang membentuk Majelis Kode Perilaku menerbitkan Surat Keputusan Pembentukan Majelis Kode Perilaku.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 10
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan akan dimulainya pemeriksaan dan telah selesainya pemeriksaan kepada atasannya secara berjenjang selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja.
Pasal 18
(1) Majelis Kode Perilaku terdiri dari: a. Ketua merangkap Anggota adalah pejabat yang berwenang
membentuk Majelis Kode Perilaku atau pejabat yang ditunjuk; b. Sekretaris merangkap Anggota adalah 1 (satu) orang pejabat
struktural di lingkungan unit kerja yang bersangkutan, berstatus Jaksa yang jenjang kepangkatannya tidak lebih rendah dari Jaksa yang akan diperiksa; dan
c. Seorang Anggota dari unsur PJI yang jenjang kepangkatannya tidak lebih rendah dari Jaksa yang akan diperiksa;
(2) Apabila dalam unit kerja yang bersangkutan, pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c tidak ada, pejabat yang berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku meminta bantuan dari pimpinan unit kerja di atasnya untuk menunjuk pengganti yang memenuhi syarat.
(3) Majelis Kode Perilaku dibantu oleh staf tata usaha yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 19
Susunan Majelis Kode Perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebagai berikut :
a. Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk, Pejabat Eselon I, dan unsur PJI Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah pejabat struktural Eselon I;
b. Jaksa Agung Muda di tempat Jaksa yang bersangkutan bertugas atau Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan, Pejabat Eselon II atau pejabat yang ditunjuk pada masing-masing Jaksa Agung Muda serta unsur PJI Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah Jaksa yang bertugas di lingkungan Kejaksaan Agung atau Badan Pendidikan dan Pelatihan;
c. Jaksa Agung Muda Pengawasan, Pejabat Eselon II atau pejabat yang ditunjuk pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan serta unsur PJI Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi atau Jaksa yang bertugas di luar lingkungan Kejaksaan;
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 11
d. Kepala Kejaksaan Tinggi atau pejabat lain yang ditunjuk, Pejabat Eselon III atau pejabat lain yang ditunjuk serta unsur PJI Daerah apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri dalam wilayah hukumnya; atau
e. Kepala Kejaksaan Tinggi atau pejabat lain yang ditunjuk, Kepala Kejaksaan Negeri atau pejabat lain yang ditunjuk serta unsur PJI Daerah apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran kode perilaku adalah Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri.
Bagian Kedua Tata Cara Pemeriksaan
Pasal 20
(1) Majelis Kode Perilaku melakukan pemanggilan kepada Jaksa yang akan dilakukan pemeriksaan beserta pihak-pihak lain yang terkait untuk dilakukan pemeriksaan.
(2) Pemanggilan terhadap Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran dan pihak-pihak lain yang terkait dilakukan secara tertulis sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja sebelum pemeriksaan dilakukan.
(3) Dalam hal Jaksa atau saksi yang akan diperiksa dan/atau pihak-pihak lain yang terkait tidak memenuhi panggilan yang disampaikan maka Majelis Kode Perilaku mengirimkan panggilan kedua.
(4) Apabila Jaksa atau saksi yang bersangkutan atau pihak-pihak lain yang terkait tidak memenuhi panggilan selama dua kali tanpa alasan yang sah, sidang pemeriksaan Kode Perilaku Jaksa akan dilaksanakan tanpa hadirnya Jaksa atau saksi yang bersangkutan.
(5) Sidang pemeriksaan dilaksanakan di kantor satuan kerja di mana Majelis Kode Perilaku bertugas dan pemeriksaannya dilakukan secara tertutup.
Pasal 21
(1) Ketua Majelis Kode Perilaku memimpin sidang pemeriksaan dan membacakan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa.
(2) Dalam hal Jaksa atau Saksi yang dipanggil secara patut tidak hadir maka Majelis Kode Perilaku mengambil keputusan berdasarkan alat bukti tentang terbukti atau tidaknya pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
(3) Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran berhak menyampaikan pembelaan diri dihadapan Majelis Kode Perilaku.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 12
Pasal 22 (1) Majelis Kode Perilaku berwenang memeriksa alat bukti, data, fakta dan
keterangan untuk membuktikan benar tidaknya dugaan pelanggaran tersebut yang dituangkan dalam Putusan Majelis Kode Perilaku.
(2) Dalam melakukan sidang pemeriksaan, Majelis Kode Perilaku dapat mendengar atau meminta keterangan dari pihak lain apabila dipandang perlu.
Bagian Ketiga Penjatuhan Tindakan Administratif
Pasal 23
(1) Putusan Majelis Kode Perilaku diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat.
(2) Apabila putusan tidak dapat diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(3) Putusan Majelis Kode Perilaku memuat pertimbangan, pendapat, dan pernyataan terbukti atau tidak terbukti melakukan pelanggaran.
(4) Putusan dibacakan secara terbuka dengan atau tanpa kehadiran Jaksa yang melakukan pelanggaran.
Pasal 24
(1) Dalam hal Majelis Kode Perilaku menyatakan Jaksa terperiksa terbukti melakukan pelanggaran maka akan dijatuhkan tindakan administratif.
(2) Dalam hal Majelis Kode Perilaku menyatakan Jaksa terperiksa tidak terbukti melakukan pelanggaran maka nama baiknya direhabilitasi dan diumumkan.
Pasal 25 Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Majelis Kode Perilaku, diselesaikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 26
(1) Putusan Majelis Kode Perilaku bersifat mengikat yang dibuat dalam bentuk Surat Keputusan Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif.
(2) Putusan Majelis Kode Perilaku berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan dilaporkan secara berjenjang sesuai dengan peraturan kedinasan yang berlaku.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 13
(3) Putusan Majelis Kode Perilaku harus sudah diterima oleh Jaksa yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan ditetapkan.
(4) Jaksa Agung Muda Pengawasan dapat melakukan peninjauan kembali terhadap putusan Majelis Kode Perilaku di daerah jika terdapat dugaan fakta yang terbukti tidak sebanding dengan tindakan admnistratif yang dijatuhkan.
Pasal 27 (1) Jaksa yang melakukan beberapa pelanggaran secara berturut-turut
sebelum dilakukan pemeriksaan hanya dapat dijatuhi 1 (satu) jenis tindakan administratif.
(2) Jaksa yang pernah terbukti melakukan pelanggaran, kemudian melakukan pelanggaran yang sifatnya sama dijatuhi tindakan administratif yang lebih berat dari yang pernah dijatuhkan kepadanya.
BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28 (1) Pemeriksaan dan penindakan terhadap perilaku Jaksa baik dalam
melaksanakan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan menggunakan peraturan ini.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana ayat (1) ditemukan adanya pelanggaran ketentuan pidana dan/atau peraturan disiplin maka pejabat yang berwenang harus menindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29 Pada saat Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku, Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-67/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30 Petunjuk Pelaksanaan dan/atau Petunjuk Teknis Peraturan Jaksa Agung ini dapat di bentuk oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan.
Pasal 31
Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 14
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Jaksa Agung ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 November 2012 JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, BASRIEF ARIEF
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Desember 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
www.djpp.depkumham.go.id