Post on 06-Mar-2019
i
Kewenangan mahkamah konstitusi dalam pengujian peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Daniek Okvita K.
NIM E.0006097
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ii
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh
DANIEK OKVITA K.
NIM. E0006097
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 09 Juli 2010
Dosen Pembimbing
Aminah, S.H., M.H.
NIP. 195105131981032001
Co. Pembimbing
Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H.
NIP. 197006212006042001
PENGESAHAN PENGUJI
iii
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh
DANIEK OKVITA K
NIM. E0006097
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Senin
Tanggal : 26 Juli 2010
DEWAN PENGUJI
1. Sunarno Danusastro, S.H.,M.H. : ………………………
NIP. 194712311975031001 Ketua Penguji
2. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. : ……………………….
NIP. 197006212006042001 Penguji I
3. Aminah, S.H.,M.H. : ……………………….
NIP. 195105131981032001 Penguji II
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.
NIP. 196109301986011001 PERNYATAAN
iv
Nama : Daniek Okvita K.
NIM : E0006097
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi) ini.
Surakarta, 10 Juli 2010
yang membuat pernyataan
Daniek Okvita K NIM. E0006097
ABSTRAK
v
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendasar mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menerima, memproses, dan memutus perkara mengenai pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam hal dasar konstitusionalitas dan pertimbangan hukum para Hakim Mahkamah Konstitusi menguji pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum dalam konsep hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto, maka penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yang bersifat penelitian terhadap sistematik hukum dan penelitian terhadap perbandingan hukum. Bentuk penelitian ini ialah penelitian preskriptif dan terapan, yang mendapatkan saran guna mengatasi masalah. Pendekatan penelitian yang digunakan meliputi pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi dokumen dan bahan pustaka melalui dokumen resmi (putusan), buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga negara yang berhak menafsirkan konstitusi telah menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun hal itu itu tidak ada landasan secara yuridisnya. Sebagai dasar hukumnya hanyalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukkan Perpu itu sejajar dengan undang-undang, dengan didukung alasan-alasan hukum lain diantaranya penafsiran sosiologis yaitu akan kebutuhan masyarakat dan kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi melakukan langkah progresif untuk mengamankan hukum dari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang objek pengujiannya berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang, kemudian pada perkara yang sama putusan tersebut dijadikan yurisprudensi dalam Putusan Perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar.
vi
Indonesia sudah seharusnya mengadopsi pula bahwa peradilan untuk segala peraturan perundang-undangan di Indonesia dijadikan satu atap di Mahkamah Konstitusi.
Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
ABSTRACT Daniek Okvita Kusumaningrum, E0006097. 2010. THE CONSTITUTIONAL COURT’S AUTHORITY IN REVIEW THE ACT-ALTERNATE GOVERNMENTAL REGULATION AGAINST INDONESIAN
vii
REPUBLIC’S 1945 CONSTITUTION. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University.
This research has a purpose to know deeper about the authority of constitution court in receiving, processing, and determining lawsuit of act-alternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution, particularly in the term of constitutional foundation and legal deliberation of the Constitutional Court’s Judges in Review act-alternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution.
This research belongs to a law research type in the law concept what is determined by a judge in concreto, thus this research involves to normative law research—study both of systematic law and appealing law. The type of this research is prescriptive and applied methods to overcome the research problem. The research approaches cover law approach, case approach, and applied approach. The used data type is secondary data. The sources of the secondary data come from primary, secondary, and tertiary of law material. The data collecting technique is document study such as legitimate document, literature books, the written legislation and moreover, the data gathering technique comes from electronic media relating to the research. The data analyzing technique uses deductive logic which is started from major premise submission (general expression) and then cone to minor premise (particularity), then a conclusion is got from the both premises.
Based on the discussion, there is a conclusion of the reseach that is Constitutional Court as the only state institution that has the right to construe t constitution has a power to do that the Constitutional Court is authorized to review the act-alternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution, even though that matter has no base juridically. As the legal foundation there is Act Number 10 of 2004 about legislation formation setting up the legislation equal with the law which is supported by the other argumentations including sociology interpretation about the society need and legal certainty. The Constitutional Court commited progressive step to secure the law from authority manipulation potension. This matter has been proven by the presence of Constitutional court decision No 138/PUU-VII/2009 about the Review of Act-Alternate Governmental Regulation Number 4 of 2009 about the Amendment of Act Number 30 of 2002 about concerning corruprion eradication committee about testing law surrogate of government regulation. Then at the same case that decision become jurisprudence in the court decision No 145/PUU-VII/2009 over about the Review of Act-Alternate Governmental Regulation Number 4 of 2008 about financial system safety net toward the constitutional. Indonesia shloud make any legislation justice under the umbrella of constitutional court. Keywords: Constitutional Court, Judicial Review, Act-Alternate Governmental Regulation.
ix
“... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS Al Baqaroh: 216)
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu
lau dirahasiakannya, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan
kendali (di mulutnya) dari api neraka.”
(HR. Abu Dawud)
Sepanjang hidup aku akan mengalami kemenangan dan kekalahan. Tapi aku
tidak akan pernah menyesal, karena aku tahu bahwa telah menjadikan setiap
saat dalam hidupku berarti. Terkadang kita harus mengalami kekalahan dulu
untuk mencapai kemenangan.
(Beth Wiliams)
Aku selalu siap untuk belajar; tapi aku tidak selalu suka untuk diajari.
(Winston Churchil)
PERSEMBAHAN
x
Karya kecil ini penulis persembahkan :
· Allah SWT, Tiada Tuhan selain Engkau
dan tiada sekutu bagi-Nya;
· Rasul-ku Muhammad SAW, suri
tauladan yang terbaik;
· Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa
tak pernah lelah mendo’akan dan
mendukung mengapai cita-cita,
kesuksesan dan kebahagiaanku;
· Kakakku di surga, kau adalah inspirasi,
dan adikku, kau adalah motivasi;
· Keluarga besarku yang selalu
mendoakanku;
· Almamaterku, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
· Semua guru dan dosenku yang telah
mendidikku;
· Semua orang-orang yang telah dengan
tulus menyayangiku dengan caranya
masing-masing;
KATA PENGANTAR
xi
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang atas limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul: “KEWENANGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
1945”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai
syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum
atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun
moril yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. ALLAH SWT yang telah menciptakanku dan memberikan limpahan nikmat
kepada penulis.
2. Nabi Besar Muhammad SAW, junjunganku dan juga suri tauladan yang
terbaik.
3. Keluarga kecilku yang selalu menemani setiap detik hidupku, Ayahku tercinta
Sutatmo, Bundaku tercinta, Sri Sulastri, Kakakku di surga, Danang Yanuar,
Adikku Asa, terima kasih untuk yang selalu membahagiakanku. Tak bisa
banyak ku kan memberi, namun lihatlah itu adalah sebagai ketulusan yang
murni dari dasar hati ini.
4. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Ibu Aminah, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah
membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi sekaligus juga selaku
Pembimbing Skripsi ini yang tidak lelah berbagi ilmu dan memberi masukan.
6. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H selaku Pembimbing Skripsi yang di
dalam kesibukan beliau telah bersedia meluangkan waktu serta pikirannya
untuk memberikan bimbingan bagi tersusunnya skripsi ini.
xii
7. Sunarno Danusastro, S.H.,M.H., selaku Ketua Penguji, terima kasih atas
banyak masukan dan sarannya.
8. Ibu Diana Tantri C, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik terimakasih
atas bimbingan, cerita, petuah hidup dan nasihatnya selama penulis menuntut
ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga
dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga kedepannya
dapat penulis amalkan.
10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus
prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan
seminar proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.
11. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas
bantuannya yang memudahkan penulis mencari bahan-bahan referensi untuk
penulisan penelitian ini.
12. Segenap staff dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang selama ini telah
memberikan pelayanan dan menjalin hubungan yang baik dengan penulis.
13. Keluarga besarku tercinta yang selalu mendoakan dan mendukungku.
14. Gadis-gadis tersayangku yang kan selalu ku nikmati detil keindahan dan canda
tawa yang menyemarakkan dunia ini, untuk : Andryana Damayanti, Sheila
Kusumah, Arifiati Dian, Erlina Hapsari, Arunda Fatetani, Isnana Ratnamurti,
Kunthi Utami, Nino Bernyoman, dan Nunkie Hernawati. Kami tumbuh
dewasa bersama dan saling membagi suka duka.
15. Rekan-rekan seperjuanganku yang telah berjuang bersama, Mutmaini, Anin,
Andri, Agus, Farit, Amel, Ulin, mbak Fitri, mbak Nana, mbak Nunik, mbak
Putri, mbak Atika, mas Rosyid, mas Tri Rahmat, mas Hendri, Nana, Pipin,
Wisnu, Adel, Chandra, Angga, Dhaniar, Gilang, Afian, Mas Ibnu. Mari kita
buat lembaran kehidupan yang lebih bermakna unutk dikenang di kemudian
hari. Terima kasih atas dukungan dan segalanya, Mamox, Irson Argo, Sudadi,
Irawan, David, Rio, Fajri, Doni.
xiii
16. Sobat-sobat, Angkatan 2006, tali silahturahmi itu akan selalu terjalin kawan.
Tanpa aku lupakan banyak hal dari Fakultas Hukum dari seluruh angkatan.
Kaliyan menyenangkan.
17. BEM FH UNS dan KSP Principium tempat penulis menempa diri, mengabdi
dan wadah bagi penulis untuk mengaktualisasikan diri selama menjadi
mahasiswa, organisasi yang begitu berharga bagi penulis yang memberikan
banyak pengalaman, persahabatan, kasih sayang, tanggung jawab dan banyak
kisah yang tidak mungkin terlupakan.
18. Seluruh Guru serta teman-teman TK, SD, SMP, dan SMU yang telah menjadi
bagian hidup penulis.
19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga sebuah
karya kecil ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, 10 Juli 2010
Penulis,
Daniek Okvita K.
E0006097
DAFTAR ISI
Halaman
xiv
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Rumusan masalah ................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 7
E. Metode Penelitian ................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................ 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori……………………………………………..... 17
1. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi……….…………….. 17
a. Istilah Konstitusi........................................................... 17
b. Pergertian Konstitusi.................................................... 17
c. Sifat Konstitusi............................................................. 18
d. Substansi Konstitusi...................................................... 19
e. Fungsi Konstitusi.......................................................... 20
f. Perubahan Konstitusi..................................................... 21
g. Penafsiran Konstitusi.................................................... 22
2. Tinjauan Tentang Umum Tentang Mahkamah Konstitusi.. 25
a. Riwayat Pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia....................................................................... 25
b. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Visi dan Misi Mahkamah
Konstitusi...................................................................... 26
xv
c. Kewenagan Mahkamah Konstitusi............................... 27
d. Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi secara
Rinci, khususnya Kewenangan Pengujian Undang-
Undang......................................................................... 28
e. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.......................... 29
1) Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.... 29
2) Hukum Acara Umum.............................................. 30
3) Hukum Acara Khusus : Pengujian Undang-Undang 36
3. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Undang-Undang........ 40
a. Pengertian Pengujian Undang-Undang........................ 40
b. Tiga Model Utama Pengujian Undang-Undang........... 43
4. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.................................................................. 45
a. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang......................................................................... 45
b. Pengertian Undang-Undang......................................... 47
c. Pembandingan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang dengan Undang-Undang................... 48
B. Kerangka Pemikiran................................................................ 51
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Konstitusionalitas Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945……..……………………………….. 53
1. Amanat Konstitusi terhadap Kewenangan oleh Mahkamah 53
2. Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945... 61
a. Pengujian Undang-Undang Secara Materiil................ 65
b. Pengujian Undang-Undang Secara Formil................... 67
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Sebagai
xvi
Objek Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi..... 70
B. Pertimbangan-Pertimbangan Hukum Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945....... ………………………. 81
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 86
B. Saran....................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ... 90
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada Prinsipnya setiap negara harus berlandaskan pada sebuah sistem
ketatanegaraan yang baik yaitu dalam penyelenggaraan pelaksanaan
kehidupan ketatanegaraannya. Sistem ketatanegaraan antara negara yang satu
dengan negara yang lain tentulah tidak sama persis karena setiap bangsa dan
negara memiliki ciri khas dan karakter sendiri-sendiri. Sistem ketatanegaraan
tersebut diantaranya meliputi sistem pemerintahan, bentuk negara, bentuk
pemerintahan, sistem politik, dan lain-lain yang berhubungan dengan
berjalannya suatu negara. Terdapatnya ciri khas dan karakter tiap-tiap negara
mendorong negara tersebut untuk mengkombinasikan beberapa sistem
ketatanegaraan sehingga didapatkan sistem ketatanegaraan yang dirasa sesuai
dengan kondisi negara tersebut. Hal ini boleh-boleh saja karena memang tidak
ada standar baku yang harus diikuti, yang ada adalah standar/ norma-norma
umum yang boleh dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kepentingan rakyatnya.
Begitupula Indonesia, menganut sistem ketatanegaraan sendiri yang tentunya
telah disesuaikan dengan kepribadian dan karakteristik Indonesia sebagai
negara berdaulat yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, kultur
masyarakat, budaya, beragam etnis, serta terdiri dari ribuan pulau. Dalam
rangka mencari sistem ideal yang menampung beragam kepentingan dan
unsur-unsur keberagaman Indonesia tersebut, sistem ketatanegaraan kita telah
mengalami banyak perubahan fundamental dari masa ke masa.
Indonesia dalam sepanjang sejarahnya mengalami berbagai perubahan
dalam hal sistem ketatanegaraan namun tetap mempunyai pedoman yang
kokoh, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pancasila dan Pembukaan UUD
1945 tidak akan mengalami perubahan, karena jikalau menglami perubahan
adalah sama dengan membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila ialah sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di
xviii
Indonesia. Sedangkan UUD 1945 ialah sebagai pedoman tertinggi pelaksanaan
penyelenggaraan negara, atau yang disebut Konstitusi (dalam arti sempit).
Indonesia juga menganut asas pembagian kekuasaan yaitu kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Ketiganya memiliki
fungsi dan tugas masing-masing yang jelas dan terang diatur dalam Konstitusi.
Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan seluruh
yang disebut pemerintah yang menjalankan pemerintahan. Kekuasaan
legislatif ialah kekuasaan yang membuat legislasi atau undang-undang, yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan yudikatif di Indonesia ada pada
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung adalah
kekuasaaan yudikatif yang membawahi peradilan umum, peradilan tata usaha
negara, peradilan militer, dan peradilan agama. Sedangkan Mahkamah
Konstitusi, sering disebut sebagai pengawal konstitusi (guardian of
constitution) yaitu mengawal tetap tegaknya pelaksanaan konstitusi secara
benar dan lurus.
Mulanya perdebatan mengenai pengujian produk hukum berupa undang-
undang itu menjadi kewenangan siapa yang akhirnya memunculkan gagasan
perlu adanya lembaga baru untuk menanganinya. Mahkamah Agung adalah
satu-satunya lembaga kekuasaan yudikatif tertinggi yang ada di Indonesia,
sebelum adanya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung hanya berwenang
untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Undang-undang adalah produk hukum dari dua lembaga tinggi negara, yaitu
Presiden dan DPR, sehingga ada yang berpendapat tidak mungkin
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang bisa
diuji, hanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang boleh mengujinya,
yang merupakan lembaga tertinggi negara pada saat itu. Pertimbangan lain,
bahwa undang-undang yang dikeluarkan oleh dua lembaga tinggi negara tidak
boleh diuji oleh lembaga tinggi negara yang setingkat. Maka dalam perubahan
UUD 1945 ketiga dibentuklah sebuah lembaga tinggi negara di bidang
yudikatif yang bertugas menangani hal tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi.
Selain itu MPR juga diposisikan sebagai lembaga tinggi negara biasa yang
xix
setingkat dengan lembaga negara lainnya dan bukan lagi sebagai lembaga
tertinggi negara. Lalu dengan adanya perubahan Konstitusi tersebut berarti
sedikit banyak telah mengubah sistem ketatanegaraan yang ada. Salah satu
perubahannya adalah tidak ada lagi lembaga tertinggi negara dan lahirnya
Mahkamah Konstitusi sebagai tambahan kekuasaan yudikatif.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang terbentuk
atas perubahan Konstitusi ketiga pada tahun 2001. Kata “Mahkamah
Konstitusi” telah disebutkan pada Pasal 24 UUD 1945, dan dijabarkan
kemudian pada Pasal 24C. Pasal 24C ayat (1) berbunyi, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.” Pada ayat (2)-nya
menyatakan tentang satu kewajiban dari Mahkamah Konstitusi yaitu
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau yang biasa disebut impeachment.
Dilihat dari namanya sudah terdapat kata “Konstitusi” maka kewenangan dan
kewajibannya keseluruhan berhubungan dan diatur dengan Konstitusi.
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi, “Mahkamah Konstitusi
dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk
segala kewengannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Selanjutnya atas
amanat Konstitusi tersebut, berbagai proses dilaksanakan untuk membentuk
suatu lembaga baru tersebut. Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, kemudian disepakati oleh
Pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13
Agustus 2003. Pada hari itu pula, Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan
dimuat dalam Lembaran Negara, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
Dari ketentuan tersebut maka dikenallah kemudian satu lagi lembaga
xx
tinggi negara, yaitu Mahkamah Konstitusi. “Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya
adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam rangka mewujudkan negara demokrasi yang berdasarkan
hukum sebagaimana termaksud dalam Pasal 1 UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.” (Muhammad Bahrul Ulum dan Dizar Al Farizi,
2009:84).
Mahkamah Konstitusi sangat dikenal dengan salah satu kewenangannya,
yang memang menjadi dasar awal pembentukannya, yaitu pengujian undang-
undang (PUU) terhadap UUD. Gagasan mengenai PUU ini adalah guna
perlindungan terhadap hak asasi manusia, khususnya perlindungan terhadap
hak konstitusional warga negara yang merasa dirugikan dengan adanya norma
pada undang-undang. Oleh karena itu, secara awam Mahkamah Konstitusi
dikatakan adalah lembaga yang hanya untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar walaupun sebenarnya Mahkamah Konstitusi masih
punya kewenangan yang lain sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi
yaitu memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, membubarkan
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta
satu kewajibannya untuk memberikan putusan atas pendapat DPR tentang
impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sesuai Pasal 4 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, permohonan pengujian undang-
undang itu dapat berupa pengujian materiil dan pengujian formil.
Perkembangannya pengujian undang-undang ini ternyata tidak sebatas
pada permasalahan umum seperti kedudukan hukum (legal standing)
pemohon ataupun implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi. Adanya
pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap UUD
1945 oleh Mahkamah Konstitusi menjadi sorotan menarik. Bahwasannya
secara yuridis hal ini tidak diatur tetapi ada dalam prakteknya. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi pada Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya
menyebutkan menguji undang-undang, tidak ada tambahan frasa “atau
xxi
peraturan yang setingkat”. Praktek ketatanegaraan ini dapat saja terjadi, hal ini
juga diungkapkan Thomas Poole, ”Judicial review has become normal or
normalized, then, a basic accoutrement of the rule of law within a
constitutional democracy. (This does not mean that it has become
uncontroversial. Public law being a form of politics, it could hardly be so).
But a competing, anti-normalizing tendency is fast becoming a defining theme
of 21st century politics.” (Thomas Poole: 2010)
Pengujian Perpu terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi juga
memunculkan analisis mengenai perbandingan Perpu dibandingkan undang-
undang. Karena sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukkan
Perpu itu sejajar dengan undang-undang, bahwa Perpu itu satu nafas dengan
undang-undang. Maka analisis berikutnya ialah mencari persamaan serta
perbedaan diantara Perpu dan undang-undang baik secara materiil dan formil,
yang menjadi salah satu dasar Mahkamah Konstitusi dapat menguji Perpu.
Pengujian Perpu juga dapat diajukan untuk pengujian materiil dan pengujian
formil, karena notabene-nya pengujian Perpu adalah sama dengan pengujian
undang-undang biasa.
Dengan alasan tersebut maka Mahkamah Konstitusi telah menerima,
memproses, hingga memutus Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai
Pengujian Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada pro dan
kontra dibalik pengujian Perpu ini oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa apakah
memang Mahkamah Konstitusi itu benar-benar berwenang dalam pengujian
undang-undang yang objeknya berupa Perpu. Dengan adanya praktek
pengujian Perpu melalui Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 menandakan
seakan-akan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan yang baru yaitu
pengujian terhadap objek berbentuk Perpu. Mahkamah Konstitusi dipandang
menyalahi secara yuridis, namun dibenarkan dengan unsur sosiologis yaitu
kebutuhan masyarakat dan kepastian hukum. Maka sebagai pembenaran pula,
xxii
putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 akan menjadi yurisprudensi pada
perkara yang sama nantinya oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dibuktikan
pada Putusan Perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar
yang menggunakan yurisprudensi dari Putusan Perkara Nomor 138/PUU-
VII/2009.
Pengujian Perpu terhadap UUD 1945 telah terjadi pada prakteknya diuji
oleh Mahkamah Konstitusi. Terdapat hal-hal penting dan menarik berkaitan
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Perpu terhadap UUD
1945 yang kemudian telah menginspirasi Penulis untuk menganalisis lebih
mendalam dan secara yuridis melalui penelitian yang berjudul “Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah terurai di atas maka secara spesifikasi, dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa dasar konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
2. Apa pertimbangan-pertimbangan hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian pada prinsipnya harus memiliki suatu tujuan tertentu yang
ingin dicapai. Tujuan penelitian harus jelas sehingga dapat memberikan arah
yang tepat dalam pelaksanaan penelitian. Oleh karena itu, tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
xxiii
1. Tujuan Objektif
a. untuk mengetahui yang menjadi dasar secara konstitusionalitas
mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan-pertimbangan
hukum bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Tujuan Subjektif
a. menambah dan mengembangkan pengetahuan, wawasan, serta
kemampuan penulis dalam mengkaji permasalahan yang berada pada
lingkup bidang hukum tata negara, khususnya mengenai kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan
dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
c. menerapkan ilmu dan teori yang telah didapat serta dipelajari selama
masa perkuliahan.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat dan
kegunaan, sehingga memberikan nilai dan daya guna pada hasil penulisan
hukum ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis mengharapkan adanya
manfaat dari penulisan hukum ini ialah:
1. Manfaat Teoritis
xxiv
a. hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan informasi bagi pengembangan ilmu hukum pada
umumnya seta bidang ilmu hukum tata negara pada khususnya.
b. hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam kepustakaan mengenai Mahkamah Konstitusi tertuama
dalam hal pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
c. hasil penelitian ini nantinya dapat dipakai sebagai acuan bagi
penelitian-penelitian yang sejenis dan berkaitan.
2. Manfaat Praktis
a. memberikan jawaban dan penjelasan atas permasalahan yang diteliti.
b. menjadi sarana bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan
penalaran serta membentuk pola pikir ilmiah.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, konsep hukum itu ada lima yaitu
(1) Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati
dan berlaku universal (law as what ought to be). Tipe kajiannya adalah
filsafat hukum, metode penelitian logika-deduksi, berpangkal pada premis
normatif. (2) Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem
perundang-undangan hukum nasional. Tipe kajiannya ajaran hukum murni
yang mengkaji law as it is written in the books, metode penelitian
doktrinal, logika deduksi dan berorientasi positif. (3) Hukum adalah apa
yang diputuskan oleh hakim in concreto, tersistematisasi sebagai judge
made law. Mengkaji law as it is decides by judges through judicial
xxv
processed, metode penelitian doktrinal, non doktrinal, logika induktif. (4)
Hukum adalah pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel
sosial yang empiris. Tipe kajiannya sosiologi hukum, mengkaji law as it is
in society, metode penelitian non doktrinal, penelitinya menggunakan
sosiolog orientasi struktural. (5) Hukum adalah manifestasi makna-makna
simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar
mereka. Tipe kajian sosiologi atau antropologi hukum, mengkaji law is it
is in (human) action, non-doktrinal. Pada angka (1), (2), dan (3)
merupakan penelitian hukum normatif (norma), sedangkan angka (4) dan
(5) merupakan penelitian hukum empirik (sosial).
Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum dalam konsep
hukum yang ketiga, yaitu hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim
in concreto, tersistematisasi sebagai judge made law. Karena pada
dasarnya hal yang akan diteliti adalah suatu peristiwa hukum yang tidak
diatur yuridis namun ada dalam prakteknya dan itu hasil dari yang
diputuskan hakim. Penelitian ini masuk dalam angka (3) sehingga
penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif.
2. Sifat Penelitian
Sesuai pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dapat
dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup (Soerjono
Soekanto, 2001: 3-14):
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum
2. Penelitian terhadap sistematik hukum
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4. Penelitian terhadap perbandingan hukum
5. Penelitian terhadap sejarah hukum.
Menurut uraian tersebut, penelitian ini termasuk dalam penelitian
hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang mempunyai sifat
xxvi
penelitian terhadap sistematik hukum dan perbandingan hukum. Penelitian
terhadap sistematik hukum yaitu kedudukan sederajat Perpu dan UU
sesuai UU Nomor 10 Tahun 2004. Penelitian terhadap perbandingan
hukum yaitu dalam hal ini membandingkan analisis formil dan analisis
materiil terhadap Perpu dan UU.
3. Bentuk Penelitian
Berdasarkan teori Soetiono (Makalah S2: Macam-Macam Penelitian),
yakni bentuk penelitian itu terdiri dari diagnostik, preskiptif, dan evaluatif.
Bentuk penelitian yang sesuai dengan penelitian hukum ini adalah
penelitian preskriptif atau terapan, yaitu penelitian untuk mendapatkan
saran guna mengatasi masalah. Begitu pula dengan pendapat Peter
Mahmud Marzuki bahwa ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:
22).
Penelitian ini diawali mencari sebab yang diakhiri dengan mencari
saran atas masalah yang ada. Sebab sebagai permulaan ialah dengan
diterima, diproses, dan diputusnya pengujian Perpu terhadap UUD oleh
Mahkamah Konstitusi. Kemudian menjadi pro dan kontra terhadap
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu, oleh karena itu
akan dibahas saran dan teori tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam menguji Perpu tersebut.
4. Pendekatan Penelitian
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal
issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach)
yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian
tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Jhonny Ibrahim,
2007: 299).
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan
xxvii
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach),
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 93). Sedangkan menurut Jhonny Ibrahim dari kelima
pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical
approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut
(Jhonny Ibrahim, 2005: 246).
Penelitian hukum ini menurut beberapa pendekatan di atas yang paling
relevan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative
approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
dengan mendekati masalah yang akan diteliti dengan menggunakan sifat
hukum yang normatif, karena dalam penelitian hukum ini hukum
dikonsepkan sebagai norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang. Pengkajian dilakukan hanya terbatas pada peraturan
tertulis terkait pokok dari permasalahan yang diangkat. Pendekatan
undang-undang (statute approach) itu didasarkan pada empat undang-
undang dan satu putusan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009. Untuk
pendekatan kasus (case approach), diambil dari isi Putusan Mahkamah
Konstitusi Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009, terutama pada pendapat
berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion) para
hakim yang terdapat pada lampiran putusan. Pendekatan perbandingan
(comparative approach) yaitu membandingkan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang secara analisis materiil dan analisis formil yang meliputi
xxviii
perbandingan kewenagan judicial review dengan negara lain,
perbandingan UU dan Perpu, serta pembedaan uji materiil dan uji formil.
5. Jenis Data Penelitian
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah data
sekunder, yaitu data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku referensi, jurnal, makalah, artikel intenet, dan sebagainya yang
berkaitan serta mendukung pokok bahasan yang dikaji.
6. Sumber Data Penelitian
Sumber data yang diambil sesuai dengan penelitian hukum ini ialah
sumber data sekunder. Sebagaimana data sekunder mencakup (Soerjono
Soekanto, 2006: 52):
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam
penelitian hukum ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari
norma atau kaedah dasar, ialah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-undangan
seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai obyek
penelitiannya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku referensi terkait
kasus yang diteliti, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
xxix
hukum, jurnal hukum, makalah hukum dan media cetak (koran,
majalah).
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
dapat berupa artikel internet, ensiklopedia, maupun kamus.
7. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian hukum ini didasarkan pada teknik pengumpulan data berupa
studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau bahan pustaka ini
meliputi usaha-usaha pengumpulan data dengan cara mendatangi
perpustakaan, dengan membaca, mengkaji, dan mempelajari dokumen-
dokumen resmi bahan penelitian, buku-buku referensi, karangan ilmiah
terutama di bidang hukum, artikel hukum, makalah, dan sebagainya yang
berkaitan pokok bahasan yang akan dibahas dan dikaji.
8. Teknik Analisis Data
Pada teknik analisis data, penelitian hukum ini menggunakan teknik
analisis dengan logika deduktif. Jhonny Ibrahim yang mengutip pendapat
Bernand Areif Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk
menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang
individual (Jhonny Ibrahim, 2006: 249).
Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat philiphus M. Hadjon
menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh
Aristoteles. Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan major
(pernyataan bersifat umum), kemudian diajukan premis minor (bersifat
khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 47).
Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara
deduktif ialah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang bersifat umum,
kemudian mengerucut pada bagian yang lebih khusus, selanjutnya menarik
kesimpulan dari hal yang lebih spesifik tersebut. Sehingga pada hal yang
xxx
umum ialah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-
undang, hal yang khususnya terjadi praktek pengujian terhadap peraturan
pemerintah pengganti undang-undang yang diatur secara formil.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
pemulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi
penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum
ini yang terdiri dari empat bab.
Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama
ini merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta
patokan dari karya ini. Berupa pijakan perkembangan kewenangan
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang yang
objeknya ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
yang secara formil tidak diatur.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini mengenai Tinjaun Pustaka berisi subbab Kerangka Teori
dan subbab Kerangka Pemikiran. Pada Kerangka Teori memuat
berbagai pengertian yang mendukung dari judul yang ada hingga
memudahkan para pembacanya. Dimulai dari tinjaun mengenai
Konstitusi, Negara Hukum, Mahkamah Konstitusi, Pengujian
Undnag-Undang (Judicial Review), dan Peraturan Pengganti
Undang-Undang (serta pembandingannya dengan Undang-
Undang). Pada subbab Kerangka Pemikiran, dibuat sebuah bagan
untuk menyederhanakan pola pikir serta alur arah dari tulisan ini.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
xxxi
Bab ini merupakan bab inti dan paling penting. Memaparkan dan
menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis
menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju.
1. Dasar konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang terhadap UUD 1945. Mencakup landasan
pembentukan Mahkamah Konstitusi terutama dalam
kewenangannya pengujian undang-undang. Analisis pula
mengenai pembandingan antara UU dan Perpu. Dari hal
tersebut, didapat hasil bahwasannya substansi Perpu ialah sama
dengan UU sehingga kedudukan Perpu sederajat dengan UU.
Dibandingkan pula dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi
di negara-negara lain. Maka dari hal-hal tersebut terdapat dasar
mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
Perpu.
2. Pertimbangan-pertimbangan hukum kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang terhadap UUD 1945. Dalam hal ini, penulis
menggunakan salah satunya studi kasus pada Perkara Nomor
138/PUU-VII/2009 mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari putusannya
didapat data mengenai berbagai pertimbangan Hakim
Konstitusi dalam menguji Perpu (adanya concerring opinion
dan dissenting opinion). Serta didukung berbagai teori yang
kuat guna mendukung kedudukan atas kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian Perpu.
BAB IV : PENUTUP
xxxii
Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan
saran. Kesimpulan tetap harus merujuk pada pokok rumusan
masalah yang ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan.
Untuk saran, lebih bersifat universal yang memunculkan ide untuk
menciptakan keadaan lebih baik terutama dalam kaitannya dengan
inti dari penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
a. Tinjauan Umum tentang Konstitusi
a. Istilah Konstitusi
Istilah konstitusi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, hanya
saja konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum
diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis. Hal Ini terbukti faham
Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi. Politea
diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang
biasa. Perbedaan di antara dua istilah tersebut yaitu bahwa politea
mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena
politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi
kekuasaan itu tidak ada. Istilah konstitusi itu sendiri pada mulanya
berasal dari perkataan bahasa Latin, constitution yang berkaitan
dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip (Jimly
Asshiddiqie, 2006:119).
b. Pengertian Konstitusi
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja
yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah
negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal
xxxiii
(permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara.
Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-
undang yang menjadi dasar (ground) dari segala hukum. Indonesia
menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
Undang Undang Dasar (Konstitusi) adalah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Pembatasan ini adalah kutipan dari
alinea pertama Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Undang undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari hukum
dasar negara itu. Undang Undang Dasar ialah hukum dasar yang
tertulis sedang disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga
hukum dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggraan negara, meskipun tidak tertulis”.
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum tertulis
yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak
tertulis. (Jimly Asshiddiqie, 2006:35). Sedangkan C.S.T Kansil
mengartikan UUD 1945 adalah peraturan negara yang tertinggi dalam
negara, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah
satu sumber dari pada Peraturan Perundangan lainnya yang kemudian
dikeluarkan oleh negara itu (Indonesia). (C.S.T Kansil, 1984: 59).
Konstitusi di satu pihak (a) menentukan pembatasan terhadap
kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain,
(b) memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan.
Konstitusi juga (c) berfungsi sebagai instrument untuk mengalihkan
kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem
demokrasi atau raja dalam sistem monarki) (Jimly Asshiddiqie,
2006:24).
c. Sifat Konstitusi
xxxiv
Dalam teori ilmu hukum, konstitusi dikenal memiliki sifat yang
flexible (luwes) atau rigid (kaku), tertulis dan tidak tertulis.
1) Flexible dan rigid
Sifat konstitusi yang flexible atau rigid ditentukan dengan
dua kriteria, yaitu:
a) Dari cara merubah/ perubahan konstitusi.
Suatu konstitusi dikatakan bersifat flexible (luwes), apabila
prosedur atau cara perubahannya tidak diperlukan cara-cara
yang istimewa, yakni cukup dilakukan badan pembuat
Undang-Undang biasa. Sebaliknya suatu konstitusi dikatakan
rigid (kaku) perubahannya mensyaratkan dengan cara yang
istimewa, misalnya dilakukan oleh rakyat melalui suatu
referendum.
b) Apakah konstitusi itu mudah ataukah sulit untuk mengikuti
perkembangan zaman.
Konstitusi yang bersifat flexible adalah konstitusi yang
dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, dan
sebaliknya konstitusi yang rigid adalah konstitusi yang sulit
untuk mengikuti perkemangan zaman.
2) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam satu
atau beberapa naskah, sedangkan yang disebut dengan konstitusi
tidak tertulis adalah ketentuan-ketentuan tidak tertulis dalam suatu
naskah tertentu yang mengatur suatu pemerintahan, akan tetapi
dalam banyak hal diatur dalam konvensi (kebiasaan) atau undang-
undang biasa, yang tingkatnya lebih rendah dari konstitusi itu
sendiri. Satu-satunya negara yang mempunyai konstitusi yang tidak
tertulis hanyalah Inggris, namun prinsip-prinsip yang dicantumkan
dalam konstitusi di Inggris dicantumkan dalam Undang-Undang
biasa, seperti misalnya Bill Of Right.
xxxv
d. Substansi Konstitusi
Dengan demikian substansi konstitusi antara lain menyangkut (B.
Hestu Cipto Handoyo, 2003:41-42):
1) terjaminnya perlindungan hak asasi manusia yang meliputi hak
asasi manusia daspek individu (klasik) maupun aspek sosial politik
(HAM modern).
2) pemisahan kekuasaan. Untuk mempertegas unsur ini, maka
mekanisme hubungan antar lembaga tinggi negara harus
dimasukkan di dalam konstitusi.
3) legalitas pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pemerintahan (dalam arti luas) berdasarkan rambu-rambu hukum
sangat dibutuhkan untuk membatasi pelaksanaan kekuasaan yang
ada.
4) peradilan yang bebas. Konstitusi harus mengakomodasi persoalan
ini, khususnya dalam rangka menegakkan supremasi hukum dalam
tataran implementasi. Tidak retorika politik semata.
e. Fungsi Konstitusi
Dengan demikian, menurut penulis, fungsi-fungsi konstitusi
dapat dirinci sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie, 2006:27-28):
1) fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
2) fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
3) fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan
warga negara.
4) fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara
ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5) fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan
yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada
organ negara.
6) funsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).
xxxvi
7) fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan
kebangsaan (identity of nation).
8) fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony).
9) fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control),
baik dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti
luas mencakup bidang social dan ekonomi.
10) fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat
(social engineering atau social reform), baik dalam arti sempit
maupun dalam arti luas.
f. Perubahan Konstitusi
Perubahan itu dirasa perlu, seperti halnya dalam UUD 1945 yang
diatur dalam Pasal 37. Manakala salah satu atau beberapa pasalnya
tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sudah dirasa
tidak mampu lagi memberikan jaminan kepastian hukum yang adil
bagi masyarakat. Tetapi bicara kapan seharusnya suatu konstitusi itu
perlu dirubah, maka persoalannya lebih terletak dalam bidang politik
ketimbang hukum tata negara. Karena itu betapapun sukarnya suatu
konstitusi untuk dirubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa
menghendaki, maka perubahan itu dapat diwujudkan. Sebaliknya
batapapun mudahnya suatu konstitusi itu untuk dirubah, kalau
kekuatan politik yang berkuasa tidak menghendaki perubahan, maka
konstitusi itu tidak akan pernah dirubah.
Untuk merubah suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar itu
tergantung pada bunyi pasal perubahan dalam konstitusi/ Undang-
Undang Dasar tersebut. Sesuai dengan pembagian konstitusi flexible
dan rigid, maka sudah tentu bagi konstitusi yang tergolong flexible
jauh lebih mudah untuk dirubahnya, sehingga K.C. Wheare
mengatakan perubahan perubahnnya cukup dengan “the ordinary
legislative process” seperti di New Zealand. Sedangkan untuk
konstitusi yang tergolong rigid, menurut Sri Soemantri yang
xxxvii
berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka perubahannya dapat
digolongkan sebagai berikut:
1) oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan
tertentu.
2) oleh rakyat melalui suatu referendum.
3) oleh sejumlah negara bagian, khusus untuk negara serikat.
4) dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara
yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Begitu juga dengan Ismail Suny mengemukakan dalam sebuah
karangannya, bahwa proses perubahan konstitusi dapat terjadi dengan
beberapa cara, yaitu:
1) perubahan resmi.
2) penafsiran hakim.
3) kebiasaan ketatanegaraan/ konvensi.
Dalam praktek ketatanegaraan, kebiasaan ketatanegaraan sering
berfungsi merubah ketentuan yang telah ada, meskipun sebenarnya
kebiasaan ketatanegaraan itu secara formal tidak merubah ketentuan
tersebut, tetapi dalam praktek karena berlakunya kebiasaan
ketatanegaraan, maka ketentuan tersebut menjadi huruf mati atau tidak
diikuti. Tapi bukan tidak mungkin ketentuan tersebut akan berlaku
kembali, manakala kebiasaan ketatanegaraan itu ditinggalkan.
g. Penafsiran Konstitusi
Jon Roland, salah seorang senator Amerika Serikat yang
memiliki intensi yang tinggi terhadap hukum konstitusi telah
mengemukakan prinsip-prinsip mengenai penafsiran konstitusi
(Principles of Constitutional Interpretation) dibedakan 7 (tujuh)
prinsip, yaitu (http://yancearizona.files.wordpress.com/2008/11/
penafsiran-mk-terhadap-pasal-33-uud-1945.pdf):
1) Textual
xxxviii
Penafsiran tekstual didasarkan pada kata-kata yang aktual dari
hukum tertulis, jika makna dari kata-kata tersebut tidak ambigu.
Penafsiran tekstual adalah penafsiran yang tidak lari dari teks atau
naskah hukum tertulis. Penafsiran ini bersifat restriktif karena
membatasi penafsiran pada ketentuan yang telah ada dari teks
tertulis yang akan ditafsirkan. Disamping penafsiran restriktif,
penafsiran letterlijk/ harafiah, arti kata atau istilah, penafsiran
gramatikal, bahkan penafsiran otentik dapat dimasukkan sebagai
bagian dari penafsiran tekstual.
2) Historical
Dalam Penafsiran Historis atau Historical Interpretation,
keputusan sedikit sekali didasarkan pada kata-kata yang aktual
dalam undang-undang, melainkan lebih didasarkan kepada
pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah dan pengesahan
undang-undang tersebut, demikian juga terhadap konstitusi atau
aturan dasar. Kadang-kadang penafsiran ini disebut sebagai sejarah
legislasi, dan untuk putusan pengadilan disebut sejarah kasus.
Suatu analisa tekstual dari kata-kata yang diartikan bersentuhan
dengan analisa sejarah.
3) Functional
Functional interpretation melihat hukum sebagai suatu sistem
yang harmonis. Harmonisasi hukum itu dapat berupa keterkaitan
secara horizontal, sesama undang-undang, maupun yang bersifat
vertikal. Disamping meninjau keterkaitan antara norma hukum,
functional interpretation juga mempertimbangkan bagaimana
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam operasionalisasi
suatu undang-undang.
4) Doctrinal
Doctrinal interpretation melakukan penafsiran berdasarkan
sumber-sumber hukum, yaitu dari sesuatu yang dianggap sebagai
sebuah doktrin. Doktrin-doktrin tersebut lahir pada masa lalu,
xxxix
didasarkan kepada praktik yang berlaku atau pendapat hukum dari
ahli hukum, terutama legislatif, eksekutif, atau yurisprudensi
pengadilan. Namun hal tersebut harus dibedakan dengan penafsiran
berdasarkan sejarah (historical interpretation), karena doktrin
dimaknai kaidah-kaidahnya yang berlaku lama.
5) Prudential
Keputusan berdasar pada faktor di luar hukum atau
kepentingan para pihak (masyarakat) dalam perkara, seperti
memberi batas waktu yang harus dipenuhi pejabat publik, efisiensi
kinerja pemerintah, menghindarkan dari pengaruh banyak hal, atau
dari tekanan politis, seperti satu pertimbangan, menghindari
mengganggu suatu kegiatan suatu lembaga, juga motivasi yang
utama untuk metoda yang berkenaan dengan doktrin. juga meliputi
seperti pertimbangan apakah suatu kasus adalah "siap" diputuskan,
atau apakah perbaikan yang administratif menjelang diambil
keputusan.
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dapat dikategorikan menggunakan metode penafsiran prudensial,
antara lain putusan pengujian Undang-undang APBN berkaitan
prioritas alokasi anggaran pendidikan sedikitnya sebesar 20% dari
total APBN. Undang-undang APBN yang tidak secara eksplisit
memprioritaskan anggaran pendidikan sebesar 20% adalah
bertentangan dengan Undang Undang Dasar, tetapi Mahkamah
Konstitusi tidak serta-merta membatalkan ketentuan Undang-
undang APBN yang belum meletakkan 20% dari total APBN untuk
anggaran pendidikan, karena bila ketentuan itu dibatalkan, maka
akan diberlakukan Undang-undang APBN tahun lalu yang lebih
sedikit persentasenya untuk anggaran pendidikan.
6) Equitable
Penafsiran Ekuitabel atau Equitable Interpretationa bisa juga
disebut penafsiran etis. Dimana keputusan didasarkan pada
xl
perasaan keadilan, keseimbangan kepentingan dari para pihak, dan
apa yang baik dan buruk, tanpa memperhatikan apa hukum
(tertulis). Sering kali ditempatkan pada kasus di mana fakta tidak
cukup untuk mengantisipasi atau memadai dari pembuat undang-
undang. Ciri pokok dari equitable interpretation adalah adanya dua
atau lebih variabel yang dipertimbangkan oleh hakim.
7) Natural
Dalam Penafsiran Natural, Keputusan didasarkan pada apa
yang diwajibkan atau anjuran dari hukum yang alamiah, atau
barang kali dari sifat-sifat dasar manusia, dan pada apa yang
bersifat jasmaniah atau secara ekonomis mungkin atau dapat
dilakukan, atau pikiran yang bersifat aktual. Penafsiran yang
bersifat natural ini dapat dilihat dari putusan-putusan hakim yang
memaparkan benda-benda secara alamiah, baik itu perilaku
manusia maupun kejadian alam.
b. Tinjauan Umum tentang Mahkamah Konstitusi
a. Riwayat Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi
yang membahwa kejatuhan pemerintahan orde baru di tahun 1998,
terjadi perubahan yang sangat drastis dalam kehidupan sosial, politik,
dan hukum di Indonesia. Diawali dengan perubahan pertama UUD
1945 pada tahun 1999, yang membatasi masa jabatan Presiden hanya
untuk dua kali masa jabatan, dan penguatan DPR yang memegang
kekuasaan membentuk undang-undang, telah disusul dengan
perubahan kedua yang telah mengamandir UUD 1945 lebih jauh lagi.
Perubahan kedua meliputi banyak hal, tetapi yang paling
menonjol adalah dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA.
Perubahan ketiga telah membawa perubahan lebih jauh dengan
diperintahkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dapat diberhentikan dalam
xli
masa jabatannya karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum
dengan tidak hanya melalui proses politik, tetapi harus terlebih dahulu
melalui proses hukum dalam pemeriksaan dan putusan MK yang
menyatakan kesalahannya atas pelanggaran hukum yang dituduhkan.
Jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) pada waktu itu,
yang tidak pernah terjadi secara mulus melalui proses konstitusional
yang baik, merupakan kondisi sosial politik yang telah mendorong
lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Perubahan ketiga UUD
1945 juga mengadopsi pembentukan MK sebagai lembaga yang
berdiri sendiri disamping MA dengan kewenangan yang diuraikan
dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 memerintahkan
dibentuknya MK selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.
Sebelum dibentuk, segala kewenangan MK dilakukan oleh MA.
Tanggal 13 Agustus 2003 UU MK disahkan, kemudian tanggal 16
Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik, dan mulai bekerja secara
efektif pada tanggal 19 Agustus 2003 (Maruarar Siahaan, 2006:8-10).
b. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi
Mengenai kedudukan, tugas, fungsi, visi dan misi Mahkamah
Konstitusi, penulis mengutip pada buku karangan Abdul Mukhtie
Fadjar yang berjudul “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”,
yaitu sebagai berikut (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:118-120):
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
juncto Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, kedudukan MK adalah:
a) merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman;
b) merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan
c) sebagai penegak hukum dan keadilan.
xlii
Sedangkan tugas dan fungsi MK berdasarkan Penjelasan Umum
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah
menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu
dalam rangka menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan
secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap
pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan
oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai
penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga
merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of
constitution).
Atas dasar kedudukan, tugas, dan fungsi MK tersebut, maka visi
dan misi MK dirumuskan dalam Blue Print MK sebagai berikut:
a) Visi MK: Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita
negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang bermartabat.
b) Misi MK:
Ø Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
kekuasaan kehakiman yang terpercaya.
Ø Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar
berkonstitusi.
c. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Untuk mengawal konstitusi, MK mempunyai kewenangan
menangani perkara-perkara konstitusi/ketatanegaraan tertentu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 sebagai berikut:
a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
b) memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara;
c) memutus pembubaran partai politik;
xliii
d) memutus perselisihan hasil pemilihan umum;
e) memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden (selanjutnya disebut
impeachment).
Dengan demikian, perkara-perkara ketatanegaraan lainnya,
seperti pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah, dan impeachment DPRD terhadap kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah, tidak termasuk dalam kewenangan MK,
melainkan menjadi kewenangan MA, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:120).
d. Pelaksanaan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi
secara Rinci, khususnya Kewenangan Pengujian Undang-Undang.
Pelaksanaan kewenangan konstitusional MK secara rinci adalah
sebagai berikut (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:120-121):
Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945:
a) Diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU MK dan telah
dilengkapi dengan PMK Nomor 06/PMK/2005;
b) Subyek hukum yang dapat menjadi pemohon adalah: i) perorangan
WNI, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama; ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI
yang diatur dalam undang-undang; iii) badan hukum publik atau
privat; atau iv) lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan, yaitu hak/ kewenangan
yang diberikan oleh UUD 1945;
c) Obyek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah undang-
undang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian
mengenai apakah pembentukan dan bentuk undang-undang sesuai
xliv
atau tidak dengan ketentuan UUD 1945, dan pengujian secara
materiil, yaitu pengujian mengenai apakah materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan
UUD 1945;
Dalam kurun waktu dua tahun usia MK telah dilakukan
pengujian tidak kurang dari 65 undang-undang, dengan putusan
ada yang dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, tidak
diterima, dan ada yang ditolak.
e. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
1) Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Menurut mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, asas-
asas dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi itu ialah sebagai
berikut (Maruarar Siahaan, 2006:63-78):
a) Persidangan Terbuka untuk Umum
Pasal 40 ayat (1) UU MK menentukan secara khusus
bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini
merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk
akuntabilitas hakim.
b) Independen dan Imparsial
Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan
erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik
dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.
c) Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan
Murah
Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan
bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan
xlv
penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan
efektif. Biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau
termohon tidak dikenal dalam acara MK. Semua biaya yang
menyangkut persidangan di MK dibebankan pada biaya negara.
d) Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram
Partem)
Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di peradilan
biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum
maupun terdakwa mempunyai hak yang sama untuk didengar
keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak
mempunyai kesempatan yang sama mengajukan pembuktian
untuk mendukung dalil masing-masing.
e) Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan
Mekanisme constitutional control harus digerakkan
pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian
hakim bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan
inisiatif untuk menggerakkan mekanisme MK memeriksa tanpa
diajukan dengan satu permohonan.
f) Ius Curia Novit
Dengan kata lain bahwa pengadilan dianggap mengetahui
hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya sehingga pengadilan tidak boleh menolak
perkara karena berpendapat hukumnya tidak jelas.
2) Hukum Acara Umum
Hukum Acara Umum MK yang dimuat dalam Pasal 28 s.d.
Pasal 49 UUMK mencakup pengaturan hal-hal sebagai berikut
(Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:129-138):
a) Susunan hakim dan sifat persidangan (Pasal 28 UUMK):
1) Dalam keadaan biasa, MK memeriksa, mengadili, dan
memutus dalam Sidang Pleno MK dengan 9 (sembilan)
xlvi
orang hakim, kecuali dalam keadaan luar biasa Sidang
Pleno MK dengan 7 (tujuh) orang hakim.
2) Sidang Pleno MK dipimpin oleh Ketua MK, kecuali apabila
Ketua MK berhalangan. Apabila Ketua dan Wakil Ketua
MK berhalangan pada waktu bersamaan, Sidang Pleno
dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh
Anggota MK (ayat 3).
3) Sifat persidangan MK terbuka untuk umum, kecuali rapat
permusyawaratan hakim (RPH) yang sifatnya tertutup dan
rahasia [Pasal 40 ayat (1)]. Bahkan apabila persidangan MK
tersebut untuk pembacaan/ pengucapan putusan, jika sifat
terbuka untuk umum tidak terpenuhi berakibat putusan MK
tidak mempunyai kekuatan hukum [Pasal 28 ayat (5) dan
(6)].
4) Panel Hakim: Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) UU
MK, sebelum sidang pleno, MK dapat membentuk Panel
Hakim yang anggotanya minimal 3 (tiga) orang hakim
Konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam
sidang pleno untuk diambil putusan.
b). Pengajuan Permohonan (Pasal 29 s.d. Pasal 31 UUMK):
1) Semua perkara yang diajukan ke MK dilakukan secara
tertulis dalam bentuk permohonan, bukan gugatan. Selain
itu, yang secara eksplisit disebutkan ada pihak Termohon
hanyalah untuk sengketa kewenangan konstitusional
lembaga Negara, sedangkan untuk pembubaran partai,
perselisihan hasil pemilu, dan impeachment adanya pihak
Termohon bersifat implisit, dan bahkan untuk pengujian
konstitusionalitas undang-undang tidak ada pihak
Termohon, DPR dan Pemerintah (Presiden) hanya pemberi
keterangan sebagai pembentuk undang-undang.
xlvii
2) Permohonan harus dalam bahasa Indonesia, dibuat dalam
rangkap 12 (dua belas), dan ditanda tangani oleh Pemohon
atau kuasanya.
3) Permohonan wajib menguraikan dengan jelas mengenai
perkara apa yang dimohonkan.
4) Permohonan minimal harus memuat identitas Pemohon,
uraian tentang dasar/alasan permohonan (posita) terkait
perkara Konstitusi tersebut Pasal 30, dan hal yang diminta
untuk diputus (petitum), serta didukung alat bukti (Pasal
31). Alat bukti surat/dokumen cukup fotocopy yang sudah
dilegalisasi (oleh notaris atau Panitera MK/Peradilan
Umum) dan dibubuhi materai secukupnya sesuai ketentuan
perundang-undangan.
c). Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang (Pasal
32 sd. 35 UUMK):
1) Panitera MK memeriksa kelengkapan permohonan, bagi
yang belum memenuhi ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 ayat
(1) huruf a dan ayat (2) UUMK wajib melengkapi dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima
pemohon, sedangkan bagi yang telah lengkap dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi (Pasal 32 UUMK).
2) Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) memuat antara
lain catatan tentang kelengkapan administrasi disertai
pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas
permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara (Pasal 33
UUMK).
3) Setelah permohonan diregistrasi dalam BRPK, dalam
jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja, MK
menetapkan hari sidang pertama (Pasal 34).
xlviii
4) Permohonan dapat ditarik kembali oleh pemohon, sebelum
atau selama masih dalam pemeriksaan MK yang berakibat
permohonan tidak dapat diajukan kembali oleh Pemohon
(Pasal 35).
d). Alat Bukti (Pasal 36 sd 38 UUMK) :
1. Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan oleh para
pihak ialah : a) surat atau tulisan; b) keterangan saksi; c)
keterangan ahli; d) keterangan para pihak; e) petunjuk; dan
f) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu [Pasal 36 ayat
(1) UUMK].
2. Alat bukti huruf a harus dapat dipertanggungjawabkan
perolehannya secara hukum, jika tidak, maka alat bukti
tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah yang
ditentukan oleh MK dalam forum perisidangan MK [Pasal
36 ayat (2), (3), dan (4)].
3. Alat bukti yang diajukan ke persidangan dinilai oleh MK
dengan memperhatikan kesesuaian alat bukti yang satu
dengan yang lain (Pasal 37). Menurut Penjelasan Pasal 37
yang dimaksudkan alat bukti di sini adalah alat bukti berupa
petunjuk.
4. Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan
MK [Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2)].
5. Para pihak yang merupakan lembaga Negara dapat diwakili
oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan
peraturan perundang-undangan (Pasal 38 ayat 3).
6. Saksi yang telah dipanggil secara patut menurut hukum
tidak hadir tanpa alasan yang sah, dapat dihadirkan secara
paksa oleh MK dengan bantuan polisi.
xlix
e). Pemeriksaan Pendahuluan (Pasal 39 UUMK)
Sebelum pemeriksaan pokok perkara, melalui Panel
Hakim (khususnya untuk perkara pengujian konstitusionalitas
undang-undang dan perselisihan hasil Pemilu), MK
mengadakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan untuk
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan,
serta wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. Pemeriksaan
Pendahuluan terbuka untuk umum.
f). Pemeriksaan Persidangan (Pasal 40 s.d. Pasal 44 UUMK)
1. Persidangan MK terbuka untuk umum [Pasal 40 ayat (1)].
2. Dalam persidangan, hakim Konstitusi memeriksa
permohonan, alat-alat bukti, para pihak yang berperkara,
keterangan pihak terkait (ad informandum), dan keterangan
lisan dan/atau tertulis lembaga Negara yang terkait dengan
permohonan yang wajib menyampaikan penjelasan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim
Konstitusi diterima (Pasal 41 UUMK).
3. Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk
memberikan keterangan (Pasal 42);
4. Pemohon dan/atau Termohon dapat didampingi atau
diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus
untuk itu (Pasal 43), apabila didampingi bukan oleh
kuasanya, harus ada surat keterangan khusus yang
diserahkan kepada hakim Konstitusi dalam persidangan
(Pasal 44).
g). Putusan (Pasal 45 s.d. Pasal 49 UUMK)
l
1) Prosedur pembuatan putusan (Pasal 45) sbb. :
a) MK memutus berdasarkan UUD 1945, sesuai alat bukti
dan keyakinan hakim;
b) Putusan MK yang mengabulkan minimal didasarkan 2
(dua) alat bukti;
c) Putusan MK wajib memuat fakta yang terungkap dalam
persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi
dasar putusan;
d) Putusan diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim
(RPH) secara musyawarah untuk mufakat;
e) Dalam RPH setiap hakim wajib menyampaikan
pendapat hukum (legal opinion);
f) Dalam hal musywarah RPH tidak mencapai mufakat,
diadakan RPH berikutnya;
g) Dalam hal RPH setelah berusaha sungguh-sungguh tetap
tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil
dengan suara terbanyak;
h) Apabila pengambilan putusan dengan suara terbanyak
tidak tercapai, suara terakhir ketua sidang RPH
menentukan;
i) Putusan MK dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari
lain yang harus diberitahukan kepada para pihak;
j) Dalam hal putusan tidak tercapai dengan mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda dimuat dalam putusan
(dissenting opinion).
3) Putusan MK ditandatangani oleh hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus, dan panitera (Pasal 46).
4) Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
(Pasal 47).
li
5) MK memberi putusan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
6) Struktur putusan MK harus memuat (Pasal 48 ayat 2):
a) kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”;
b) identitas pihak;
c) ringkasan permohonan;
d) pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
e) pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f) amar putusan; dan
g) hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan
panitera.
7) MK wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak
dalam tenggat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan
(Pasal 49).
3) Hukum Acara Khusus : Pengujian Undang-Undang
Dalam hal ini karena hanya akan dikhususkan pada
kewenangan pengujian undang-undang, maka hukum acara khusus
yang akan dipaparkan juga hanya sebatas hukum acara khusus
mengenai pengujian undang-undang yaitu sebagai berikut (Abdul
Mukhtie Fadjar, 2006:138-144):
Prosedur pengujian konstitusionalitas undang-undang (Pasal
50 s.d. 60).
Prosedur pengujian konstitsionalitas undang-undang
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian/
Wewenang MK (Pasal 50):
lii
Pasal 50 UU MK telah membatasi undang-undang yang dapat
dimohonkan untuk diuji MK, yaitu undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan UUD 1945; menurut Penjelasan
Pasal 50 yang dimaksud “setelah perubahan UUD 1945” adalah
setelah Perubahan Pertama, yaitu tanggal 19 Oktober 1999.
Namun setelah diucapkannya Putusan Perkara No. 066/PUU-
II/2004 pada tanggal 12 April 2005, MK berwenang menguji
semua undang-undang yang dimohonkan ke MK.
b) Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon [Pasal 51 ayat
(1) UUMK]:
Pasal 51 ayat (1) UUMK telah menentukan tentang siapa
subyek hukum yang memiliki legal standing untuk dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945, yaitu: 1) perorangan warga negara Indonesia (WNI)
termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
atau 2) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
NKRI; atau 3) badan hukum publik atau privat; atau 4)
lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya (menurut Penjelasan, “hak konstitusional
adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”) dirugikan oleh
berlakunya undang-undang. Pemohon wajib menguraikan
dengan jelas tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang dianggap dirugikan tersebut dalam permohonannya [Pasal
51 ayat (2) UUMK].
c) Jenis pengujian undang-undang: Ada 2 (dua) jenis
pengujian undang-undang yang dapat dimohonkan
pengujian, yaitu:
liii
1) Pengujian formal (formele toetsings), yaitu pengujian
mengenai apakah pembentukan sebuah undang-undang
tidak memenuhi ketentuan UUD 1945;
2) Pengujian materiil (materiele toetsings), yaitu pengujian
apakah materi muatan dalam pasal, ayat, dan/atau bagian
dari undang-undang (termasuk Penjelasannya) bertentangan
dengan UUD 1945 (Pasal 51 ayat 3 huruf b).
Pemohon harus menguraikan dengan jelas tentang jenis
pengujian undang-undang yang dimohonkan; jika pengujian
formal yang dimohonkan, petitumnya menyebut keseluruhan
undang-undang yang dimohonkan pengujian dibatalkan, tetapi
jika yang dimohonkan pengujian materiil, maka hanya pasal,
ayat, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan pasal-pasal tertentu UUD 1945 yang
dalam petitum dimohonkan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Selain itu, harus diuraikan dengan
jelas pula posita atau alasan/ argumentasi hukumnya.
d) Proses pengujian:
1) Permohonan yang telah diregistrasi dalam BRPK
disampaikan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja diregistrasi (Pasal 52).
Mengapa disampaikan kepada DPR dan Presiden, karena
menurut UUD 1945, DPR dan Presiden adalah pembentuk
undang-undang yang perlu mengetahui bahwa undang-
undang bentukannya sedang diuji di MK dan perlu didengar
keterangannya (Pasal 54), tetapi tidak berstatus sebagai
Termohon.
2) MK juga memberitahu MA tentang adanya undang-undang
yang dimohonkan pengujian dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diregistrasi dalam
liv
BRPK (Pasal 53), karena ada kemungkinan undang-undang
yang sedang diuji tersebut adalah undang-undang yang
menjadi batu uji sebuah peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang yang dimohonkan pengujian di MA
[vide Pasal 24A ayat (1) UUD 1945];
3) Selain DPR dan Presiden (Pemerintah), MPR juga dapat
didengar keterangannya terutama terkait dengan risalah
rapat mengenai maksud perubahan pasal dalam UUD.
Keterangan MPR, DPR, dan Presiden berupa keterangan
tertulis dan lisan, serta dapat dilengkapi alat bukti tulis/surat
dan keterangan saksi dan ahli (Pasal 54 UU MK);
4) dalam praktek juga dapat didengar keterangan pihak terkait
(ad informandum) dan bahkan pihak terkait tersebut juga
dapat mengajukan saksi dan ahli;
5) Pemohon, DPR, Pemerintah, dan pihak terkait juga diberi
kesempatan mengajukan kesimpulan akhir.
e) Putusan:
1) Amar putusan terhadap permohonan yang tidak memenuhi
syarat kewenangan MK dan legal standing menyatakan
“permohonan tidak dapat diterima (niet onvanvankelijk
verklaard)” [Pasal 56 ayat (1) UUMK].
2) Amar putusan terhadap permohonan yang beralasan
menyatakan “permohonan dikabulkan” [Pasal 56 ayat (2)
UUMK], dan MK menyatakan dengan tegas materi muatan
pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang
dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945
[Pasal 56 ayat (3) UUMK], serta menyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat (1)
UUMK].
lv
3) Amar putusan terhadap permohonan pengujian formal yang
terbukti pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945
menyatakan “permohonan dikabulkan [Pasal 56 ayat (4)
UUMK]” dan menyatakan bahwa undang-undang dimaksud
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat
(2) UUMK].
4) Amar putusan terhadap permohonan pengujian undang-
undang yang baik pembentukan (uji formal) maupun materi
muatannya (uji materiil) yang tidak terbukti bertentangan
dengan UUD 1945 menyatakan “permohonan ditolak [Pasal
56 ayat (5) UUMK]”.
5) Putusan MK yang mengabulkan permohonan wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan [Pasal 57 ayat (3)
UUMK].
6) Putusan MK mengenai pengujian konstitusionalitas undang-
undang disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA
(Pasal 59 UUMK).
f) Lain-lain:
1) Undang-undang yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku
sebelum ada putusan yang menyatakan undang-undang
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 58 UUMK),
jadi dalam hal ini tidak dikenal putusan sela.
2) Berlaku asas “nebis in idem”, yaitu bahwa materi muatan
pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang telah
diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (Pasal 60
UUMK).
c. Tinjauan Umum tentang Pengujian Undang-Undang
lvi
a. Pengertian Pengujian Undang-Undang
Dari beberapa buku yang saya baca, tidak ada secara detail
mendefinisikan tentang pengujian undang-undang (judicial review).
Namun yang banyak dibahas ialah mengenai peristilahannya. Karena
masih diperdebatkan dan menuai pro-kontra mengenai istilah yng
sebaiknya dipakai, yaitu antara istilah pengujian konstitusional
(constitutional review) dan hak uji (judicial review). Meskipun di
Indonesia, istilah yang digunakan yaitu pengujian undang-undang
(judicial review).
‘Judicial review’ lebih luas dari dari ‘constitutional review’
karena objek yang diujinya tidak hanya mengenai produk hukum
berbentuk undang-undang, tetapi mencakup pula peraturan
perundang-undangan. Tetapi, ‘judicial review’ dapat pula mencakup
pengertian yang lebih sempit, karena subjek yang mengujinya hanya
hakim atau lembaga judicial, sedangkan ‘constitutional review’ bisa
lebih luas tergantung lembaga mana yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang Dasar suatu negara (Jimly Asshiddiqie, 2005:4).
Istilah ‘judicial review’ jelas tidak sama dengan ‘constitutional
review’, dan berbeda pula dengan pengertian ‘judicial preview’ seperti
dalam sistem Perancis. Kalau orang berbicara mengenai hak atau
kewenangan untuk menguji, maka baru kita dapat menggunakan
istilah hak untuk menguji atau hak uji, yang dalam bahasa Belandanya
disebut ‘toetsingsrecht’. Jika hak uji (toetsingsrecht) itu diberikan
kepada hakim, maka namanya ‘judicial review’ atau review oleh
lembaga peradilan. Jika kewenangan untuk menguji itu diberikan
kepada lembaga legislatif, maka namanya bukan ‘judicial review’
melainkan ‘legislative review’. Jika yang melakukan pengujian itu
adalah pemerintah, maka namanya tidak lain dari ‘executive review’,
bukan ‘judicial review’ (Jimly Asshiddiqie, 2005:6).
Dari pendapat Prof. Jimly tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengujian undang-undang yang ada di Indonesia diistilahkan ‘judicial
lvii
revew’. Karena dilakukan oleh lembaga peradilan, yaitu Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Sedangkan objek dari pengujiannya ialah undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
Pengertian dari hak menguji lebih banyak ditemukan. Meskipun
dalam hal ini hak menguji itu kemudian dibedakan menjadi hak
menguji materiil dan hak menguji formil, dengan pengertian masing-
masing. Istilah hak menguji (toetsingsrecht) dan judicial review
terlebih dahulu dikemukakan untuk menghindari silang pendapat yang
berkaitan dengan penggunaan kedua istilah ini. Istilah toetsingsrecht
berasal dari bahasa Belanda, yang berarti hak menguji, sedangkan
judicial review berasal dari bahasa Inggris, yang berarti peninjauan
oleh lembaga peradilan. Pada dasarnya, kedua istilah ini mengandung
arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau
(Iriyanto A. Baso Ence, 2008:102-103). Sedangkan pada literatur lain,
arti hak menguji (judicial review) adalah hak untuk menguji apakah
suatu peraturan perundangan itu bertentangan dengan peraturan
perundangan yang tingkatannya lebih tinggi (Muh. Ridhwan Indra,
1987:133).
Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan istilah tetapi maksud
dan tujuannya adalah sama yaitu kekuasaan untuk menguji suatu
ketentuan undang-undang apakah bertentangan dengan ketentuan
hukum yang lebih tinggi. Serta adanya perlindungan terhadap hak-hak
konstitusional warga negara dan penghargaan terhadap konstitusi
sebagai norma dasar.
Baik di dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal
adanya dua macam hak menguji, yaitu:
1) hak menguji formal (formale toetsingsrecht)
2) hak menguji material (materiele toetsingsrecht)
Yang dimaksud dengan hak menguji formal ini adalah
wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti
lviii
undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau tidak. Sedang, hak menguji material
adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai,
apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta
apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sri Soemantri, 1982:5-8).
Definisi dari Sri Soemantri sangat menjadi pedoman bagi adanya
wacana hak menguji, sehingga banyak tulisan-tulisan yang
mendasarkan pada pengertian beliau. Pengertian tersebut masih
bersifat umum, yang oleh Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH
dititkberatkan kepada masalah apakah Undang-Undang itu
bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Siragih, SH menambahkan nilai
rohaniah terhadap suatu peraturan perundangan apakah peraturan itu
sudah logis atau bermanfaat sehingga dapat dipertanggungjawabkan
(Samsul Wahidin, 1984:6-7).
Sebagaimana pula pengertian dari Sri Soemantri di atas yang
kemudian dikemukakan oleh Suripto dalam suatu tulisannya di artikel
internet. Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji
material tersebut, maka dapat diartikan bahwa (Suripto,
http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=116&id=518&option=com
_content&task=view):
1) hak menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan
perundang-undangan terhadap UUD.
2) hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya
dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi
kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Selain hak menguji yang dimiliki hakim, juga terdapat hak menguji
yang dimiliki legislatif dan hak menguji yang dimiliki eksekutif.
lix
b. Tiga Model Utama Pengujian Undang-Undang
Sampai dengan sekarang, setidaknya sudah lebih dari 100-an
negara di dunia yang telah mengadopsikan sistem pengujian
kostitusional (constitutional review). 78 negara diantaranya
membentuk lembaga khusus untuk menjalankan fungsi pengujian itu,
sementara di negara-negara lainnya dilakukan oleh Mahkamah Agung
yang sudah ada sejak sebelumnya. Dari beberapa model pengujian
yang ada di dunia terdapat tiga model yang dapat disebut paling
penting yaitu Model Amerika Serikat (Supreme Court), Model Austria
(Bunderverfassungsgerichtshof), dan Model Perancis (Coensil
Constitutionnel). Berikut penjabaran masing-masing model tersebut
(Jimly Asshiddiqie, 2005:93-147):
a) Model Amerika Serikat
Model “Judical Review” menurut tradisi Amerika Serikat
didasarkan atas pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat
memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803.
Dalam model ini, pengujian konstitusionalitas (constitutional
review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan
status sebagai the Guardian of the Constitution. Karena itu,
penerapan sistem ‘judicial review’ atau ‘constitutional review’itu
tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup dikaitkan
dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada.
b) Model Austria
Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini
dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri
dengan hakim-hakimnya yang mempunyai keahlian khusus di
bidang ini. Lembaga Mahkamah Konstitusi ini dibentuk sebagai
satu-satunya organ yang berwenang menjalangkan ‘constitusional
lx
review’ dengan kedudukan yang tersendiri di luar Mahkamah
Konstitusi dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-cabang
kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas politik.
Model inilah yang dianut oleh Indonesia, dengan membentuk
lembaga baru dalam rangka menjalankan kewenangan menguji
undang-undang terhadap UUD 1945. Di kebanyakan negara
dengan sistem hukum civil law memang menggunakan model ini
dengan berlandaskan pada centralized system.
c) Model Perancis
UUD Perancis tahun 1958 menentukan adanya lembaga baru
yang disebut ‘Conseil Constitutinnel’, melengkapi lembaga
peradilan tertinggi di bidang hukum administrasi yang sudah ada
sejak sebelumnya, yaitu “Conseil d’Etat”. Sejak dibentuk,
lembaga inilah yang sering dikaitkan dengan ‘Mahkamah
Konstitusi’ Perancis, meskipun sebutannya adalah ‘dewan’
(conseil), bukan ‘mahkamah’ (cour).
d. Tinjauan Umum tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu)
a. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu)
Definisi awal mengenai peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (Perpu) didapatkan dari berbagai peraturan perundangan
tertulis. Dalam UUD 1945 dapat dijadikan sumber adalah pada Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1). Pasal 5 ayat (2) berbunyi, “Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.”
Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
lxi
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 sebelum
amandemen menyatakan, "Pasal ini mengenai
noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu
diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh
pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah
untuk bertindak lekas dan tepat.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUD 1945 tersebut, Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, ditetapkan oleh
Presiden tanpa mendapat persetujuan dari DPR terlebih dahulu.
Persetujuan DPR diberikan setelah Perpu ditetapkan, yaitu “dalam
persidangan berikut ”meskipun dari sini masih disangsikan atas dua
hal yaitu apa yang dimaksud dengan “keadaan kegentingan yang
memaksa” dan kapan jangka waktu dari “persidangan berikutnya”
yang harus merujuk pada Peraturan Tata Tertib DPR (Rosjidi
Ranggawidjaja, 1998:71).
Definisi kedua terdapat Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan berbunyi, “Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa.”
Di samping Undang-Undang yang merupakan peraturan
perundang-undangan yang tertinggi di Indonesia, dikenal pula adanya
peraturan yang mempunyai hierarkhi setungkat dengan Undang-
Undang yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945 (Maria Farida Indrati S.,
2007:191).
lxii
Untuk memudahkan, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti
Undang-Undang ini biasanya disingkat “Perpu”. Dalam Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti
Undang-Undang disebut dengan istilah “undang-undang darurat”.
Kecuali terhadap sebutannya yang berlainan, tidak ada perbedaan
yang prinsipil antara Perpu menurut UUD 1945 dan undang-undang
darurat menurut Konstitusi RIS dan UUDS 1950 itu (Jimly
Asshiddiqie, 2006:209).
b. Pengertian Undang-Undang (UU)
Sebagaimana pada definisi Perpu, definisi UU terdapat pada
peraturan perundangan, yaitu terdapat Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi, “Undang-
undang adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”
Dalam bukunya, Maria Farida Indrati memberikan pengertian
Undang-Undang sebagai berikut: “Undang-Undang adalah peraturan
perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia,
yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden seperti
ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 UUD 1945.”
Pasal 5 ayat (1) berbunyi, “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”
Sedangkan, pada Pasal 20:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
lxiii
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Sebagai suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga legislatif
(Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden) Undang-
Undang merupakan peraturan perundangan tertinggi, yang di
dalamnya telah dapat dicantumkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa,
serta merupakan peraturan yang sudah dapat langsung berlaku dan
mengikat umum (Maria Farida Indrati S., 2007:186).
Undang-undang itu selalu berisi segala sesuatu yang
menyangkut kebijaksanaan kenegaraan untuk melaksanakan amanat
Undang-Undang Dasar di bidang-bidang tertentu yang memerlukan
persetujuan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Produk undang-undang ini merupakan bentuk hukum peraturan yang
paling tinggi statusnya di bawah Undang-Undang Dasar (Jimly
Asshiddiqie, 2006:204-205).
c. Pembandingan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) dengan Undang-Undang (UU)
Dalam hal membandingkan antara UU dan Perpu ini yang
menjadi dasar hukum ialah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sesuai tata
urutannya bahwa kedudukan UU dan Perpu ini adalah sederajat, satu
nafas, jelas tercantum pada jenis dan hierarkhi pada Pasal 7 ayat (1)
yang menyebutkan, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
lxiv
2) Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Pertimbangan kedua pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu
pada materi muatannya, yang tercantum pada Bab III. Pasal 9
berbunyi, ”Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.”
Ketentuan tersebut sinkron pula pada Penjelasan Pasal 22 UUD
1945 (sebelum amandemen) diuraikan, bahwa Perpu merupakan
implementasi “hak untuk membentuk peraturan darurat”
(noodverordeningsrecht) dari Presiden. Hal ini dimaksudkan sebagai
suatu “exeption”, dengan harapan agar keselamatan negara dapat
dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa
pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Jadi pengecualiannya
hanya pada proses atau tata cara pembentukan, bukan pada substansi.
Oleh karena Perpu tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR
pada persidangan berikutnya, ini menunjukkan bahwa substansi Perpu
adalah sama dengan substansi Undang-Undang. Oleh sebab itu pula
kedudukan Perpu sama atau sederajat dengan Undang-Undang
(Rosjidi Ranggawidjaja, 1998:72).
Dari ketentuan Pasal 22 UUD 1945 tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang
bertindak sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain
Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama
dengan Undang-Undang (Maria Farida Indrati S., 2007:191).
Dasar yang lain dalam pembandingan UU dan Perpu ialah
mengenai fungsinya, sebagaimana ditulis Maria Farida Indrati. Perpu
lxv
merupakan peraturan perundang-undangan yang mempunyai
kedudukan setingkat dengan undang-undang. Berdasarkan alasan
tersebut, maka fungsi Perpu adalah sama dengan fungsi UU, yaitu
(Maria Farida Indrati S., 2007:215-221):
1) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Undang-Undang Dasar 1945, yang tegas-tegas menyebutnya.
Sebagai contoh : Pasal 2 (1) tentang susunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Pasal 6 (2) tentang syarat-syarat untuk
menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6A (5) tentang tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
2) Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam
Batang Tubuh UUD 1945.
Fungsi ini dirumuskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 alinea
IV.
3) Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Ketetapan MPR yang
tegas-tegas menyebutnya.
4) Pengaturan di bidang materi konstitusi, seperti:
a) organisasi, tugas dan susunan lembaga (tinggi) negara
b) tata hubungan antara negara dan warga negara dan antara warga
negara/ penduduk timbal balik.
lxvi
2. Kerangka Pemikiran
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
KEWENANGAN
UUD 1945 Pasal 24C ayat (1)
UU MK Nomor 24 Tahun 2003
Pasal 10 ayat (1) huruf a
UU KK Nomor 48 Tahun 2009
Pasal 29 ayat (1) huruf a
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)
PERBANDINGAN PERPU DAN UU (UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI PERPU
Analisis Materiil
Analisis Formil
lxvii
Keterangan:
Berdasarkan bagan di atas dapat menggambarkan lebih jelas alur
berprosesnya penelitian ini. Pada kata umumnya ialah mengenai Mahkamah
Konstitusi, berada pada kotak paling atas, karena penelitian pada dasarnya akan
menganalisis tentang Mahkamah Konstitusi. Hal apa yang akan dianalisis lebih
lanjut ialah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Ada empat kewenangan dan satu
kewajiban dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum pada Pasal 24C
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Namun hanya terkait kewenangan pengujian undang-
undang (judicial review) yang menjadi pokok pembahasan. Karena kewenangan
Mahkamah Konstitusi pengujian undang-undang ini telah mengalami
perkembangan, yaitu munculnya pengujian terhadap objek berbentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Hal ini terbukti dengan diterimanya dan
diprosesnya Perkara 138/PUU-VII/2009 mengenai permohonan pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam pengujian Peraturan Pengganti Undang-Undang ini tidak diatur secara
formil namun ternyata ada prakteknya. Berdasarkan hal tersebut, analisis dimulai
dari pembandingan UU dan Perpu. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum atas
pembandingan UU dan Perpu tersebut. Dari situlah disimpulkan bahwa
kedudukan UU dan Perpu itu adalah sederajat, substansi dari Perpu ialah sama
dengan UU. Analisis terdiri dari analisis materiil dan analisis formil, yang dalam
hal ini mencakup pula pengujian Perpu ini dilihat dari uji materiil dan uji formil
Mahkamah Konstitusi. Analisis semakin diperkuat dengan pembandingan dengan
lxviii
sistem peradilan peraturan perundnag-undangan di negara-negara lain.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pengganti
Undang-Undang menjadi pro dan kontra dalam pelaksanaannya, berbagai alasan
menjadi dasarnya. Keadaan inilah yang menjadi titik fokus penulisan ini yang
akan memaparkan, apa yang menjadi dasar konstitusional kewenangan serta
pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Konstitusionalitas Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1. Amanat Konstitusi terhadap Kewenangan oleh Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud
nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga
negara. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan penegasan
terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak
konstitusional) yang telah dijamin konstitusi. Selain itu, pembentukan
Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa
problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak
ditentukan. Dalam konteks dunia, keberadaan Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum dan
kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kemudian dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 (2) dan Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 yang
disahkan dalam Sidang Tahunan MPR 9 November 2001. Permasalahan
yang diatur adalah soal kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi
serta beberapa hal mengenai hakim konstitusi. Pengaturan lebih lanjut
lxix
mengenai Mahkamah Konstitusi dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan pemerintah, dan telah disetujui dalam bentuk Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UU
Mahkamah Konstitusi yaitu menyangkut masalah pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan oleh UUD,
kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur dalam UUD.
Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan Mahkamah
Konstitusi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Berdasarkan ketentuan
Pasal 24 (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi diletakkan sebagai bagian
dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung.
Sedangkan Pasal 24C (1 & 2) mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus
sengketa kewenangan antarlembagaa negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus
pembubaran politik. Selain itu, wajib memberikan putusan atas pendapat
DPR mengenai dugaan pelanggran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut UUD.
Menegaskan kembali kedudukan Mahkamah Konstitusi, Pasal 2
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menengakkan hukum dan keadilan.
Pasal 3 menentukan Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibu kota
negara Republik Indonesia.
Pada hakikatnya fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah
mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of
constitution) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (interpreter of
constitution). Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan
lxx
Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dan peranan strategis dalam
perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau
kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal
konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian,
setiap penyelenggaraan pemerintahan selalu terbangun oleh dan
berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan konstitusi.
Dengan konsekuensi itu juga Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai
penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara
berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah
melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Begitu pula
yang dikatakan Mariangela Benedetti pada jurnalnya yang berjudul Global
Judicial Review: A Remedy Against Fragmentation?, “This protection
concerns the subsequent moment to the accomplishment of the discretion
power. It has judicial power because it is carried out in front of specific
bodies, which have the power to review the legitimacy of the measure, or
the behavior, taken by the public administration.” Oleh karenanya
Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the
guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara
(the protector of the citizen’s constitutional rights) dan pelindung HAM
(the protector of human rights).
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Indonesia dilatarbelakangi
adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis
dengan checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan,
mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan
melindungi hak-hak asasi manusia. Upaya pembentukan Mahkamah
Konstitusi bukan sesuatu yang mudah terimplementasi dalam realitas
kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Pada tingkat internasional, perkembangan politik di negara yang
tengah mengalami proses transisi politik pada periode 1990-an seperti
Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Ceko, telah mengakomodasi
lxxi
pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam konstitusinya dan pada sistem
kekuasaannya. Alasan utama berbagai negara itu membentuk Mahkamah
Konstitusi dapat dijamin konsistensinya dan adanya mekanisme yang
memungkinkan terjadinya kontrol terhadap kekuasaan agar tidak
mengingkari nilai dasar yang diatur dalam konstitusi. Dalam
perkembangan nasional, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang menjadi
dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu (Iriyanto A. Baso Ence.
2008:113):
a. ada lack of authority, karena dalam sistem hukum di Indonesia belum
ada mekanisme yang mengatur limitatif soal hak uji materiil (undang-
undang terhadap konstitusi). Oleh karena itu, berbagai undang-undang
yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah dipersoalkan;
b. ada fakta politik terjadinya kelembagaan antara lembaga kepresidenan
dan DPR, yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan
pengangkatan Ketua Mahkamah Agung;
c. adanya pandangan bahwa Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mampu
menjalankan berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya,
sehingga diperlukan lembaga lainnya untuk menangani berbagai soal
ketatanegaraan lainnya di luar Mahkamah Agung.
Beberapa faktor pemicu pembentukan Mahkamah Konstitusi secara
teoritis atau praktis dapat dipahami dan cukup rasional. Terbatasnya hak
uji materiil Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya belum dilandasi oleh
pertimbangan filosofis dan sosiologis, tetapi lebih mengedepankan aspek
yuridis dan politisnya. Dilihat dari segi yuridis, terbatasnya kewenangan
hak uji materiil oleh Mahkamah Agung karena adanya komitmen membagi
kekuasaan semata. Namun faktor ketiadaan mekanisme yang mengatur hak
uji materiil undang-undang terhadap konstitusi dan faktor keberadaan
Mahkamah Agung yang belum sepenuhnya menjalankan kewenangannya
menjadi dasar kuat membentuk Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
lxxii
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-
Undang
UUD telah meletakkan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia
terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan (judicial review). Kewenangan untuk menguji
undang-undang terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
(Pasal 24C ayat 1 UUD 1945), sedangkan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang menjadi
kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 24A ayat 1 UUD 1945).
Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD merupakan
suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks pelaksanaan
kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya negara
hukum dan demokrasi. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme
pengujian konstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara hukum dan
demokrasi telah mendapatkan penengasannya. Ada 3 (tiga) pendekatan
yang berkaitan dengan keberadaan pengujian undang-undang (judicial
review) terhadap undang-undang (Iriyanto A. Baso Ence. 2008:138):
1) pendekatan yuridis, sesuai asas lex superiori derogat lex inferiori,
bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih rendah, maka suatu undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD;
2) pendekatan politis, bahwa kebutuhan akan judicial review sangat
diperlukan agar visi dan misi serta materi muatan suatu undang-undang
tidak bertentangan dengan UUD, karena pada hakikatnya suatu undang-
undang dibuat untuk melaksanakan UUD;
3) pendekatan pragmatis, bahwa kebutuhan terhadap judicial review
sangat diperlukan untuk mencegah praktek penyelenggaraan
pemerintahan negara yang tidak sesuai atau menyimpang dari UUD.
Tanpa judicial review kiranya sulit menegakkan UUD 1945.
Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi sesuai amanat
UUD 1945 memberikan prospek yang baik pada penyelenggaraan
lxxiii
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Artinya, pengujian undang-undang
sebagai upaya mengidentifikasi, menyelidiki lebih komprehensif, dan
kemudian menilai secara objektif, akan menghindarkan atau mencegah
undang-undang menyalahi atau menyimpang dari Undang-Undang Dasar.
Filosofi yang dikenal dan dipahami negara-negara hukum modern, bahwa
pengujian undang-undang (judicial review) sebagai kontrol antar lembaga-
lembaga negara untuk terwujudnya cita negara hukum yang demokratis.
Tegasnya, pengujian undang-undang adalah persoalan fundamental dalam
kehidupan sebuah negara hukum.
Pemberian wewenang menguji undang-undang kepada Mahkamah
Konstitusi dianggap cukup tepat menurut Fatkhurohman, dkk,
sebagaimana dituliskan dalam buku ”Negara Hukum dan Hak Uji
Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi”, dengan alasan: Pertama,
menurut paham konstitusionalisme, kedudukan UUD adalah sebagai
bentuk peraturan yang tertinggi, sehingga hakim harus memiliki wewenang
untuk membatalkan setiap tindakan Presiden dan juga setiap undang-
undang yang bertentangan dengan UUD.
Kedua, asumsi bahwa undang-undang merupakan produk politik yang
seringkali mengedepankan kepentingan politik suara mayoritas dan
cenderung mengabaikan aspek kebenaran dalam proses pengambilan
keputusan, sehingga perlu dikontrol. Dengan diberikannya wewenang
menguji kepada Mahkamah Konstitusi, hal itu mendorong mekanisme
checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Ketiga, berdasarkan hasil amandemen UUD 1945, kekuasaan
kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system),
yaitu kekuasaan kehakiman terbagi dalam cabang peradilan biasa (ordinary
court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan
konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Menyerahkan
kewenangan menguji kepada peradilan biasa hanya akan mengundang
kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap proses dan hasilnya,
karena peradilan di bawah Mahkamah Agung selama ini tenggelam dan
lxxiv
mengabdi kepada kekuasaan. Selain itu, peradilan biasa, terutama para
hakimnya belum berpengalaman dalam menguji konstitusi.
Pengujian UU bersifat konstitusionalitas namun tidak hanya merujuk
UUD saja, termasuk juga asas-asas umum konstitusi atau asas-asas yang
terkandung dalam UUD. Dalam praktek bisa berupa kebiasaan
ketatanegaraan maupun putusan pengadilan. Menyangkut asas-asas umum
konstitusi, misalkan Penjelasan Umum UUD 1945 menegaskan prinsip
negara hukum dan sistem konstitusional, maka pada dasarnya
mencerminkan prinsip pembatasan kekuasaan dan tercipta mekanisme
untuk mencegah dilampauinya batas-batas itu. Selanjutnya kedua prinsip
ini mengkehendaki sebuah tertib hukum dimana jika terjadi pertentangan
hukum harus bisa dibatalkan dan masalah wewenang menguji adalah
persoalan hukum dan semestinya yang berwenang adalah kekuasaan
kehakiman.
Dalam menjalankan kewenangan ini khususnya pengujian UU,
Mahkamah Konstitusi menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas
formal UU dalam mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab
mewujudkan tujuan norma hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian
dan kemanfaatan. Keadilan Mahkamah Konstitusi yang ingin dicapai tidak
semata-mata sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana
sesuai rumusan bunyi UU, namun di sisi lain mengabaikan keadilan dan
kepastian hukum. Berdasarkan Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan
MPR, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu bertugas menegakkan
hukum dan keadilan yang ditempatkan dalam posisi sama yang satu tidak
lebih diutamakan dari yang lain. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum” dan ”keadilan”.
Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga menegaskan, setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan ”kepastian hukum
yang adil”.
Kepastian hukum tidak jarang mengalahkan pencari keadilan di
lxxv
sebuah lembaga peradilan yang seharusnya memberikan keadilan. UU
sendiri meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara
demokratis, akan tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari
cita hukum dan nilai-nilai konstitusi. Pengalaman masa lalu membuktikan
sebuah undang-undang tidak serta merta mencerminkan karakter yang
responsif dan sesuai kepentingan rakyat dan menjadi cerminan nilai yang
terkandung dalam cita-cita negara hukum yang demokratis. Prinsip
penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali
sedalam-dalamnya untuk merasakan keadilan substantif (substantive
justice) di masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan
undang-undang (procedural justice).
Dalam mengadili perkara dengan mandat konstitusi, Mahkamah
Konstitusi tidak hanya terpaku kepada bunyi UU yang terkadang justru
bertentangan dan mengabaikan kepastian hukum dan keadilan. Mahkamah
Konstitusi diharuskan mencari keadilan substantif yang oleh UUD 1945,
UU, prinsip-prinsip umum konstitusi dan peradilan diakui keberadaannya.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sendiri juga menegaskan, ”Mahkamah Konstitusi memutus perkara
berdasar Undang UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat
bukti dan keyakinan hakim.” Bukti dan keyakinan hakim menjadi dasar
putusan untuk menegakkan keadilan substantif. Upaya tidak terpaku
kepada bunyi UU, maka dikenal antara lain putusan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional), inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional), putusan sela dalam pengujian UU,
putusan yang berlaku surut dan lain sebagainya.
Selanjutnya, UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pengujian
konstitusionalitas suatu undang-undang dimungkinkan bisa dilakukan
secara formil dan materiil (Pasal 50 ayat 3). Pengujian secara formal
menelaah apakah cara-cara pembentukan undang-undang telah memenuhi
prosedur pembentukan berdasarkan ketentuan dan yang diatur oleh UUD
1945. Sedangkan pengujian undang-undang secara materiil ialah untuk
lxxvi
memeriksa, menyelidiki kemudian menilai, apakah muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dianggap bertentangan dengan
UUD 1945, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu.
Berdasarkan makna hak menguji materiil tersebut, dapat
digarisbawahi bahwa pada dasarnya hak menguji materiil bertujuan
menyelediki, menguji, dan menilai apakah isi suatu peraturan perundang-
undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi derajat atau tingkatannya. Berkenaan dengan hak menguji
materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, secara teoritis dapat
dikemukakan bahwa hak menguji materiil cenderung menilai dan
menyatakan suatu undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu
UUD. Dua pengujian, secara materiil maupun formil ini menunjukkan
adanya kebutuhan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-
undangan, dalam hal ini adalah undang-undang, harus memperhatikan dua
aspek yaitu materi dan proses. Salah satu aspek tersebut tidak dapat
diabaikan begitu saja.
2. Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Untuk pertama kalinya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, ada
lembaga yang wenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD, serta
berfungsi sebagai penafsir UUD (the interpreter of constitution). Sebagai
permulaan, kewenangan ini diberikan kepada MPR, sambil menunggu
terbentuknya sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi (constitutional court).
Ketentuan ini sebagaiamana diatur dalam Pasal 5 Tap MPR Nomor
III/MPR/2000, yang menyebutkan:
lxxvii
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.
(4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.
Kewenangan uji konstitusionalitas pada lembaga MPR tidak
diperpanjang, sebab hal ini dirasa tidaklah tepat, sebagaimana disebutkan
dalam Naskah Akemik RUU Mahkamah Konstitusi, dalam naskah
akademik tersebut disebutkan bahwa penyerahan kewenangan uji
konstitusionalitas kepada MPR tidaklah tepat, karena:
(1) Kewenangan ini merupakan kewenangan yang berkaitan erat dengan permasalahan hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan, sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Sementara keanggotaan di dalam MPR terdiri dari berbagai macam latar belakang yang semuanya berorientasi pada kepentingan politik, karena merupakan wakil partai;
(2) Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, sementara DPR merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk undang-undang, sehingga agak janggal apabila pihak yang membuat undang-undang menguji sendiri produknya.
(3) Pengujian terhadap undang-undang merupakan sebuah kewenangan khusus yang memerlukan waktu dan tenaga, sehingga akan tidak efektif apabila dilakukan oleh anggota MPR yang mempunyai jadwal yang padat dan mekanisme kerja tersendiri.
Amandemen Ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk
mereview UU ada di Mahkamah Konstitusi sedangkan kewenangan
mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA.
Implementasi atas amandemen UUD 1945 telah ditentukan dalam UU
Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pasal 31 ayat (1), Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-undang terhadap Undang-undang. Tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Mahkamah
lxxviii
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam naskah akademik RUU Mahkamah Konstitusi disebutkan
salah satu alasan mengapa perlu ada perubahan terhadap UUD 1945 adalah
sebagai berikut:
UUD 1945 sangat singkat karena hanya terdiri dari 37 pasal. Oleh penyusunnya, UUD 1945 diharapkan dapat disempurnakan pada masa berikutnya. Sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa dinamika kehidupan bernegara berkembang dengan pesat, sementara sifat UUD 1945 yang singkat dan supel tersebut tetap dipertahankan. Pada akhirnya muncul permasalahan, karena masing-masing pihak memberikan penafsiran terhadap UUD 1945 berdasarkan pemahaman dan kepentingannya masing-masing. Hal ini tidak jarang menimbulkan konflik ketatanegaraan antara lembaga negara dalam interaksi dan interelasinya ketika menjalankan kewenangannya.
Salah satu point penting dari hasil amandemen konstitusi adalah
lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan fungsi uji
konstitusionalitas. Sedangkan Mahkamah Agung yang telah dikenal
sebelumnya hanya diberikan hak sebatas pengujian legalitas. Artinya
menurut Prof. Dr. Jimly Assidiqy, bahwa pengujian yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung itu adalah pengujian legalitas berdasarkan undang-
undang. Memperhatikan kondisi factual yang terjadi pasca terjadinya
beberapa konflik ketetanegaraan, gagasan pembentukan Mahkamah
Konstitusi setidaknya di dorong oleh tiga alasan:
a. bertambahnya jumlah lembaga negara dan bertambahnya ketentuan
sebagai akibat perubahan UUD 1945, menyebabkan potensi sengketa
antar lemabaganegara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah
terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi
konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang
supremasi kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa
lxxix
antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang netaral
untuk menyelesaikan sengketa tersebut;
b. sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratios
yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu
keputusan yang demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang
berwenang menguji konstitusioonalitas UU terhadap UUD;
c. ada kasus aktual yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu
pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurahman Wahid dari kursi
kepresidenannya oleh MPR pada siding istimewa MPR tahun 2001.
Kasus ini mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari cara agar
ada mekanisme hukum yang membingkai proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak didasarkan atas alasan
politis semata. Untuk itu, disepakati keperluan akan adanya suatu
lembaga yang berkewajiban menailai pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang dapat
mentebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
sebelum habis masa jabatannya.
Pada awalnya telah terjadi perdebatan yang sengit untuk merubah
tentang judicial review, tentang siapa yang berwenang untuk menguji atas
ketentuan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945. Yaitu pada waktu
UUD 1945 dilakukan amandemen dalam bagian judicial review
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan
perubahan Peraturan Tata Tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST
2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan uji materiel atas
UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui Mahkamah Konstitusi
yang seharusnya berwenang sebelum terbentuk BP sesuai TAP
MPR/III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Kalaupun pandangan ini
dapat dibenarkan, maka pengujian oleh Lembaga MPR ini tidaklah dapat
dikatagorikan sebagai judicial review, karena sama sekali tidak dilakukan
lxxx
oleh hakim, melainkan oleh legislator. Namun demikian ketentuan
demikian ini sangatlah keliru karena memberikan wewenang kepada
lembaga yang tidak tepat. Tim ahli MPR menentangnya dengan dengan
alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat
membentuk kompartemen baru. Meskipun TAP MPR Nomor
III/MPR/2000 adalah sah adanya, tetapi dalam penerapannya, ketentuan
mengenai legislative review yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut
tidak akan mungkin dapat dilaksanakan karena memang isinya keliru total.
Fungsi pengujian Undang-undang adalah fungsi yang bersifat permanen
dan rutin, sedangkan forum MPR tidak bersifat tetap atau tidak rutin.
Ketua MA mendukung pendapat itu, pertentangan aturan adalah persoalan
hukum dan bukan politik sehingga yang memutus perkara adalah badan
peradilan, bukan badan politik seperti DPR atau MPR.
a. Pengujian Undang-Undang Secara Materiil
Dalam teori tentang pengujian (toetsing), dibedakan antara
materrile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya
dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara wet in materiile zin
(undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formeele zin (undang-
undang dalam arti formal). Kedua bentuk penguian tersebut oleh UU
Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-
undang dan materi muatan undang-undang adalah pengujia materiil,
sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formal.
Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa
dalam permohonannya, pemohon wajib menguraikan dengan jelas
bahwa (a) pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dan/atau (b) materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. artinya, objek pengujian atas suatu
lxxxi
undang-undang sebagai produk hukum (by product) tidak selalu terkait
dengan materi undang-undang, melainkan dapat pula terkait dengan
proses pembentukan undang-undang itu.
Jika pengujian undang-undang dilakukan atas materinya, maka
pengujian demikian disebut pengujian materiil yang dapat
berakibatkan dibatalkannya sebagian materi undang-undang yang
bersangkutan. Pada umumnya, Mahkamah Konstitusi hanya
membatalkan bagian-bagian saja dari materi muatan suatu undang-
undang yang diuji itu yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Sedangkan selebihnya tetap berlaku sebagaimana
adanya. Yang dimaksud dengan materi muatan undang-undang itu, isi
ayat, pasal, frasa, dan/atau bagian-bagian tertentu dari suatu undang-
undang. Dapat terjadi bahwa yang dianggap bertentangan dengan
UUD hanyalah satu anak kalimat dalam satu ayat, atau satu kata dalam
suatu kalimat. Bahkan lebih ekstrim lagi, secara teoritis, dapat saja
yang dinilai bertentangan dengan UUD hanyalah satu koma atau satu
titik atau pun karena satu huruf yang seharusnya ditulis dengan huruf
besar diketik dengan huruf kecil.
Sebaliknya, yang dimaksud dengan bagian dari undang-undang itu
dapat pula berupa keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan dari
suatu bab undang-undang yang bersangkutan. Jiak keseluruhan suatu
bab undang-undang itu dinyatakan bertentangan dengan UUD, maka
keseluruhan bab itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Sedangkan bagian-bagian lain dari undang-
undang itu yang tidak dianggap bertentangan tetap mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat dan wajib dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Soal lain yang juga penting ialah soal isi konsideran
”menimbang” atau pun ”mengingat” dalam suatu undang-undang. Jika
terdapat kesalahan, kekurangan, atau kelebihan dalam rumusan
konsideran, apakah hal itu dapat dinilai oleh Mahkamah Konstitusi dan
lxxxii
penilaian semacam itu dapat disebut sebagai pengujian materiil pula.
Lazim dipahami bahwa yang dimaksud dengan isi atau materi undang-
undang adalah pasal-pasal dan termasuk penjelasan undang-undang itu
sendiri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal undang-
undang tersebut dan karenanya bersifat mengikat pula secara hukum.
Akan tetapi, jika yang diuji adalah rumusan konsideran yang dianggap
bertentangan dengan UUD, maka bukankah hal itu dapat
mengakibatkan keseluruhan undang-undang itu menjadi tidak
mengikat juga, karena dibatalkannya isi konsideran itu.
Berkenaan dengan hal ini, sebenarnya tergantung kepada
penilaian hakim konstitusi sendiri untuk memutuskannya. Jika dilihat
dari segi materiil, berarti hal-hal yang dipersoalkan itu dilihat sebagai
materi muatan undang-undang yang seharusnya tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945. Namun pada sisi lain, jika dilihat
sebagai pengujian formil, berarti yang dipersoalkan adalah segi-segi
form, format, dan formulasi serta proses pembentukannya undang-
undang itu yang tidak mengikat prosedur-prosedur konstitusional yang
seharusnya.
Terlepas dari kedua kemungkinan pilihan tersebut, yang jelas,
dikabulkannya permohonan mengenai hal-hal seperti ini dapat
mengakibatkan bahwa keseluruhan undang-undang itu dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagaimana dalam
pengujian formil. Karena itu, meskipun dikelompokkan sebagai
pengujian materiil sekalipun, akibat hukum putusannya sama saja
dengan pengujian formil, yaitu keseluruhan undang-undang itu dapat
dinyatakan tetap berlaku mengikat atau dinyatakan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Pengujian Undang-Undang Secara Formil
Secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil
(formeele toetsing) itu adalah pengujian atas suatu produk hukum,
lxxxiii
bukan dari segi materinya. Bentuk suatu undang-undang, memang
bukanlah menyangkut isinya, akan tetapi pengujian formil itu sendiri
tidak identik dengan pengujian atas undang-undang, meskipun
pengujian atas bentuk dapat saja disebut sebagai salah satu pengujian
formil. Pengujian atas proses pembentukan undang-undang memang
dapat digolongkan sebagai pengujian formil, karena bukan
menyangkut isi undang-undang. Tetapi pengujian formil tersebut tidak
hanya menyangkut proses pembentukan undang-undang dalam arti
sempit, melainkan mencakup pengertian yang lebih luas. Pengujian
formil itu mencakup juga pengujian mengenai aspek bentuk undang-
undang itu, dan bahkan mengenai pemberlakuan undang-undang, yang
tidak lagi tergolong sebagai bagian dari proses pembentukan undang-
undang.
Oleh karena itu, pengertian yang dapat dikembangkan dalam
rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu bersifat
sangat kompleks. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk
menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formalnya
adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang
tepat, oleh institusi yang tepat, dan menurut prosedur yang tepat. Jika
dijabarkan, dari ketiga kriteria ini, pengujian formil itu dapat
mencakup:
1) pengujian atas pelakasanaan tata cara atau prosedur pembentukan
undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam
pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang
menjadi undang-undang;
2) pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang;
3) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang
mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang;
dan
4) pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
lxxxiv
Mengenai prosedur atau tata cara pembentukan suatu undang-
undang, pada pokoknya telah diatur dalam UUD 1945. akan tetapi
rincian pengaturan mengenai hal itu, ditentukan lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Ukuran yang dipakai untuk menilai
pelaksanaan prosedur pembentukan undang-undang itu tentu adalah
UUD 1945. Akan tetapi, karena prosedur rinciannya terdapat dalam
undang-undang, maka sepanjang menyangkut hal-hal yang tidak
bertentangan dengan UUD 1945, materi yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan itu juga harus dipandang sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari hukum konstitusi.
Hal demikian juga berlaku di berbagai negara seperti Jerman,
Austria, dan sebagainya. Kita tidak boleh memahami persoalan hukum
konstitusi itu hanya terbatas pada teks konstitusi, tetapi apa yang diatur
dalam undang-undang sebagai elaborasi normatif yang berasal dari
norma konstitusi itu harus pula diperlakukan sebagai bagian yang
terpisahkan dari hukum konstitusi itu sendiri. Oleh karena itu, alat
pengukur untuk menilai konstitusinalitas pembentukan suatu undang-
undang serta hal-hal lain di luar materi undang-undang, di samping
UUD adalah juga UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Bukankah undang-undang ini memang dibentuk khusus
untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan proses pembentukan
dan hal-hal lain yang tidak termasuk dalam pengertian materi undang-
undang.
Mengenai format atau bentuk undang-undang, lembaga yang
mengambil keputusan dalam proses pembentukannya, serta hal-hal
lain, juga dinilai dengan menggunakan ukuran UUD beserta UU
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud di atas. Jika misalnya, suatu rancangan undang-undang yang
ditetapkan bukan oleh DPR, melainkan oleh DPD, tentu tidak boleh
lxxxv
disahkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.
Karena DPD bukanlah lembaga yang berwenang untuk menentukan
telah dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah atas
sesuatu rancangan undang-undang. Atau, jika suatu rancangan undang-
undang inisiatif DPD telah mendapat persetujuan DPR, jika
pembahasannya tidak melibatkan Pemerintah, maka tentunya
rancangan undang-undang itu tidak dapat disahkan oleh Presiden
sesuai UUD 1945. Semua ini berkenaan dengan soal yang apabila
suatu undang-undang diuji maka pengujiannya itu disebut sebagai
pengujian formil (formeele toetsing).
Keempat kategori pengujian formil tersebut di atas, dapat
disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu pengujian atas proses
pembentukan undang-undang dan atas pengujian atas hal-hal lain yang
tidak termasuk pengujian materiil. Dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, pengertian demikian diwadahi dalam
Pasal 4 ayat (3) dengan menyatakan bahwa ”pengujian formil adalah
pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan
undang-undang dan hal-hal yang tidak termasuk pengujian materiil”.
Dengan demikian, hal-hal yang berkaitan dengan bentuk tepat, institusi
yang tepat, atau prosedur yang tepat seperti yang dimaksud di atas,
atau yang berkaitan dengan keempat kemungkinan tersebut di atas,
dapat disebut pengujian formil atas suatu undang-undang.
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Sebagai Objek
Judicial review oleh Mahkamah Konstitusi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
memang diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti
lxxxvi
undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang
berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan
Pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan tersebut dipertegas di dalam
Pasal 1 angka (4) dan Pasal 25 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat kita simpulkan
bahwa syarat utama penetapan sebuah Perpu oleh Presiden yaitu
adanya suatu keadaan ”kegentingan yang memaksa”. Namun hingga
saat ini belum ada ukuran yang jelas dan terukur tentang apa yang
dimaksud dengan hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yang dapat
menjadi alasan keluarnya Perpu. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal
22 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, memberikan penjelasan
bahwa pasal tersebut mengenai noodverordeningsrecht Presiden,
dimana aturan tersebut diadakan supaya keselamatan negara dapat
dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa
pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.
Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari
pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal
22 dimaksud, yang kekuatannya sama dengan UU, harus disahkan pula
oleh DPR. Maka dari itu, persepsi yang timbul di sebagian masyarakat
bahwa hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yaitu suatu keadaan
dimana negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan
penyelamatan, sehingga sedikit banyak harus merujuk pada Undang-
Undang (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Namun demikian, hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yang
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang merupakan hak
subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui
oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Keterangan
tersebut tertuang secara jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
sebagai the interpreter of constitution terhadap perkara Nomor
lxxxvii
003/PUU-III/2005 mengenai perkara Judicial review UU Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
Terlebih lagi, dalam praktik ketetanegaraan selama ini, dari
berbagai Perpu yang pernah dikeluarkan oleh Presiden menunjukkan
adanya kecenderungan penafsiran hal ihwal ”kegentingan yang
memaksa” sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur dengan
peraturan setingkat undang-undang. Sehingga kemudian, Mahkamah
memberikan rambu-rambu agar hal ihwal ”kegentingan yang
memaksa” dalam sebuah Perpu yang selanjutnya akan dikeluarkan
oleh Presiden, agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan
negara yang tercermin dalam konsideran ”Menimbang” dari Perpu
yang bersangkutan
Mengenai materi muatan Perpu, dijelaskan dalam Pasal 9 UU
Nomor 10 Tahun 2004 bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-
Undang. Kembali kepada Pasal 8, dalam undang-undang yang sama
disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-
Undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
(1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3)
pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5)
kewarganegaraan dan kependudukan; (6) keuangan negara; dan
diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan
Undang-Undang.
Untuk tata cara penetapan Perpu menjadi UU diatur dalam Pasal
25 UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyebutkan: (1) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (2) Pengajuan
lxxxviii
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan
undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang menjadi undang-undang; (3) Dalam hal Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan
Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tersebut tidak berlaku; (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden
mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur
pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Terhadap Perpu tersebut kemungkinan dapat terjadi 2 (dua)
proses pengujian yang melibatkan lembaga yang berhak untuk
melakukan pengujian (toetsingsrecht), yaitu legislative review yang
dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
legislator, dan judicial review pada Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga peradilan. Legislative review adalah ketika produk Perpu
untuk ditetapkan menjadi UU harus melalui lembaga DPR guna
memperoleh persetujuan, apakah Perpu tersebut layak untuk ditetapkan
menjadi undang-undang. Kemudian pengujian lainnya dapat juga
dilakukan di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Saat ini memang masih terjadi perdebatan tersendiri mengenai
dapat-tidaknya suatu Perpu dijadikan obyek judicial review ke hadapan
Mahkamah Konstitusi, karena UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya mengatakan bahwa judicial
review dapat dilakukan atas suatu UU terhadap UUD. Namun, produk
Perpu pun sebenarnya dapat juga dijadikan obyek pengujian terhadap
UUD, dengan alasan: (1) Materi muatan yang terkandung di dalam UU
maupun Perpu adalah sama; (2) Antara UU dan Perpu mempunyai
kedudukan yang setara atau sejajar di dalam hierarki peraturan
perundang-undangan, sehingga jika Mahkamah Konstitusi tidak
lxxxix
berwenang maka tidak ada satupun lembaga yang dapat melakukan
pengujian terhadap sebuah Perpu, termasuk Mahkamah Agung
sekalipun, karena kewenangan Mahkamah Agung hanyalah melakukan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU
terhadap UU di atasnya; (3) Seandainya Perpu tidak dapat dijadikan
obyek judicial review oleh lembaga judisial manapun, maka besar
kemungkinan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden akan berpotensi
untuk menjelma menjadi hukum otoriter, represif, sewenang-wenang,
dan bergerak sesuai kehendak penguasa dengan libido kekuasaan
belaka, meskipun hal tersebut hanya terjadi beberapa saat (hingga DPR
melaksanakan sidang) namun dapat menimbulkan korban yang meluas,
karena dapat dilakukan secara berulang-ulang tanpa batasan atau
koridor-koridor konstitusional. Meskipun berbagai ketentuan yuridis
menetapkan, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji undang-
undang terhadap UUD 1945, objek pengujiannya adalah produk
hukum berupa undang-undang.
Ditinjau dari segi bentuknya, Perpu itu adalah peraturan di bawah
undang-undang dan karena itu seharusnya dapat diuji oleh Mahkamah
Agung. Dari segi namanya saja, yaitu Peraturan Pemerintah dimana
sudah jelas bahwa Perpu itu bukanlah undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ditinjau dari segi
isinya, Perpu itu sesungguhnya adalah undang-undang, dan karena itu
dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan bukanlah diuji oleh
Mahkamah Agung. 2 (dua) hal tersebut dapat dikaitkan pada dua jenis
pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam
hal pengujian materiil dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi
berwenang menguji Perpu, karena substansi Perpu adalah sama dengan
undang-undang. Namun, Perpu itu tidak dapat diuji secara formil,
karena proses pembentukannya sangat berbeda dibanding undang-
undang.
xc
Namun yang perlu digarisbawahi, pun seandainya Mahkamah
Konstitusi menyatakan tidak berwenang memeriksa judicial review
atas suatu Perpu, logika sederhananya adalah kita hanya tinggal
menunggu waktu saja ketika Perpu tersebut disahkan untuk menjadi
sebuah produk UU maka kemudian dapat diajukan sebagai
permohonan judicial review kembali. Bila semua proses pembentukan
Perpu menjadi sebuah UU berjalan dengan lancar, dan jikalau ada
permohonan judicial review atas peraturan perundang-undangan
tersebut ternyata juga tidak dikabulkan, maka tidak akan terjadi
permasalahan atau akibat negatif apapun, karena notabene-nya telah
terbukti secara hukum keabsahan dari lahirnya peraturan perundang-
undangan tersebut.
Pada posisi diantara pro dan kontra itu, untuk mengajukan
persoalan Perpu ini menjadi perkara pengujian baik ke Mahkamah
Konstitusi maupun ke Mahkamah Agung dapat dianggap tidak tepat.
Perkara pengujian terhadapnya baru dapat diajukan ke Mahkamah
Konstitusi apabila Perpu tersebut telah resmi mendapat persetujuan
DPR dan disahkan menjadi Undang-Undang. Karena begitulah apa
yang tertuang dan diamanatkan sesuai UUD dan UU Mahkamah
Konstitusi. Pada di sisi lain, untuk diajukan ke Mahkamah Agung juga
tidak tepat, mengingat batu ujinya di Mahkamah Agung adalah
Undang-Undang. Jika Perpu diuji oleh Mahkamah Agung, sudah pasti
norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat dinilai bertentangan
dengan ketentuan undang-undang yang sudah ada sebelumnya.
Kewenangan Mahkamah Agung itu sebatas pengujian legalitas
undang-undang, sehingga tidak relevan Perpu itu diuji pada
Mahkamah Agung. Hal lain bahwa sesuai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia menempatkan Perpu itu sejajar
dengan UU, maka menjadi tidak logis ketika objek pengujian dan batu
ujinya berada satu tingkat.
xci
Perdebatan antara pro dan kontra ini tentu sah-sah saja sepanjang
sama-sama mempunyai dasar dan untuk kepentingan bangsa dan
negara. Selanjutnya peristiwa ini dibandingkan dengan yang terjadi di
negara-negara lain, mengenai pelaksanaan kewenangan pengujian
undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Beberapa
negara memberikan kewenangan judicial review termasuk didalamnya
pengujian konstitusionalitas, hanya kepada suatu pengadilan
konstitusionalitas khusus atau tingkat pengadilan tertentu atau dalam
bentuk lain, bukan kepada setiap hakim pada sistem pengadilan biasa.
Tidak setiap hakim di semua tingkat pengadilan dapat melakukan
pengujian konstitusionalitas, sehingga kedudukannya tersendiri di luar
Mahkamah Agung. Inilah yang disebut dengan centralized system.
Centralized System adalah sistem pengujian konstitusionalitas
yang kewenangannya diberikan kepada pengadilan konstitusionalitas
khusus, bukan kepada sistem pengadilan biasa. Model ini sering
disebut pula sebagai ”The Keselnian Model”, yang biasanya diterapkan
di negara-negara dengan sistem hukum civil law. Sebagai
perbandingan dalam hal fungsi Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan kewenagan pengujian undang-undang serta bagaimana
peradilan peraturan perundnag-undangan itu maka dapat melihat dari
keberadaan Mahkamah Konstitusi di Austria, Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman, Mahkamah Konstitusi di Thailand, dan Mahkamah
Konstitusi di Afrika Selatan.
Pertama, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Austria untuk
menguji undang-undang tercatat sebagai kewenangan yang paling
pokok. Yang diuji adalah norma umum dan abstrak yang terkandung
baik dalam bentuk undang-undang Federal (Federal Statutes) maupun
konstitusi negara bagian (Gestze). Permohonan uji dapat diajukan oleh
lembaga negara dan/atau individu negara yang mengalami kerugian
akibat sebuah perundang-undangan yang diberlakukan pemerintah.
Berdasarkan Pasal 139 Konstitusi Austria Tahun 1920, mengenai
xcii
pengujian legalitas peraturan di bawah UU, peraturan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Federal ataupun negara bagian dapat dinyatakan tidak
sah oleh Mahkamah Konstitusi atas permintaan lembaga atau
perorangan warga negara. Bahkan berdasarkan Pasal 140 A Konstitusi
Austri tahun 1920, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan menguji
legalitas atau konstitusionalitas perjanjian internasional sesuai dengan
derajatnya dalam hierarki norma hukum.
Kedua, Keberadaan Jerman sebagai negara federal menyebabkan
memiliki mekanisme yang berbeda dalam penegakan konstitusi.
Mahkamah Konstitusi Jerman terbagi dalam dua bagian yang disebut
senat (Act, 1993). Senat pertama berwenang menyelesaikan masalah
yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Sedangkan senat kedua
berwenang menyelesaikan yang berkaitan dengan lembaga negara.
Judicial review di Jerman meliputi pengujian norma hukum secara
konkrit (concrete norm control) dan pengujian undang-undang secara
umum (abstract norm control). Pada pengujian norma abstrak inilah,
bentuk perundang-undangan yang diuji berupa undang-undang (laws),
keputusan (decrees), dan peraturan perundangan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Federal atau negara bagian (federal state).
Secara khusus mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman pengujian peraturan perundang-undangan diatur lebih
lanjut dalam Pasal 100 sebagai berikut: Pertama, jika pengadilan
memutuskan bahwa suatu peraturan perundang-undangan bertentangan
dengan konstitusi suatu negara bagian, keputusan dari sengketa negara
bagian atau dengan konstitusi negara federal, harus dimintakan
keputusan terlebih dahulu dari Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga
berlaku jika peraturan hukum negara bagian bertentangan dengan
konstitusi negara federal atau jika peraturan hukum negara bagian
bertentangan dengan peraturan hukum federal. Kedua, jika di dalam
sengketa hukum terdapat keraguan suatu aturan dalam hukum adat
mengenai hak dan kewajiban warga bertentangan dengan peraturan
xciii
hukum negara federal pengadilan. Semua bentuk pelanggaran
konstitusi apakah konstitusi negara federal atau negara bagian
keputusannya berasal dari Mahkamah Konstitusi negara federal.
Pengadilan negara bagian dapat memeriksa dan menguji sengketa
peraturan hukum negara yang bertentangan dengan UUD negara
bagian tetapi keputusannya harus dimintakan kepada Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi di Thailand merupakan salah satu
lembaga baru dalam konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman
di samping Mahkamah Agung, Mahkamah Administrasi, dan
Mahkamah Militer. Pengujian undang-undang terhadap UUD oleh
Mahkamah Konstitusi di Thailand agak berbeda. Pokok sengketa
dalam Mahkamah Konstitusi adalah petisi dimana suatu aturan hukum
sesuai atau bertentangan dengan konstitusi. Untuk mengajukan
gugatan harus melalui dua tahap yakni melalui ombudsman kemudian
diseleksi untuk menentukan yang layak diajukan di sidang Mahkamah
Konstitusi. Suatu petisi masyarakat tidak dapat langsung diajukan ke
Mahkamah Konstitusi melainkan harus melewati seleksi ombudsman.
Keempat, Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang
diatur dalam konstitusi Afrika Selatan menempatkan posisi Mahkamah
Konstitusi sebagai mahkamah tertinggi untuk semua persoalan yang
menyangkut Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara, institusi-
institusi publik ataupun badan-badan swasta dapat mengajukan
permohonan perkara yang menyangkut masalah-masalah konstitusi
harus dimulai dengan mengajukannya ke Pengadilan Tinggi, jadi tidak
langsung kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
memutus final konstitusionalitas undang-undang yang diproduksi oleh
Parlemen (Act of Parliament), termasuk untuk membatalkan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh parlemen pusat dan daerah
(provincial or parliamentary legislation), ataupun tindakan dari
Presiden. Di samping itu, Mahkamah memberi jawaban definitif atas
xciv
permintaan pembatalan suatu ketentuan hukum yang dimohonkan oleh
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, atau pengadilan lainnya.
Dalam konteks di Indonesia, sudah ada 2 (dua) permohonan dan
telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang objek pengujiannya
berupa Perpu, yaitu Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dan kemudian
menjadikannya yurisprudensi pada Perkara Nomor 145/PUU-
VII/2009. Dalam hal ini, alasan-alasan hukum lebih diutamakan
dibanding dasar hukumnya. Karena pada dasarnya, kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Perpu terhadap UUD tidak
mempunyai dasar hukum secara yuridis yang kuat. Hanya ketentuan
pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 yang dapat dijadikan
dasaran paling yuridis menyatakan bahwa kedudukan Perpu itu sejajar
dengan UU.
Dasar lain yang paling penting yaitu memberikan kewenangan
pada MK untuk menguji perpu adalah lebih kepada pertimbangan
sosiologis/ kebutuhan masyarakat dan perkembangan kehidupan
ketatanegaraan yang ada saat ini. Mahkamah Konstitusi melakukan
langkah progresif untuk mengamankan hukum dari potensi
penyalahgunaan kekuasaan. Mahkamah Konstitusi harus mengambil
peran karena kalau tidak, akan terjadi peluang penyalahgunaan
kekuasaan dan permainan politik yang dapat menghancurkan dunia
hukum kita kalau Mahkamah Konstitusi menutup pintu terhadap
pengujian perpu.
Mahkamah Konstitusi harus menguji Perpu karena muncul fakta
baru yang menjadi polemik masyarakat terkait dengan penerbitan
Perpu oleh Presiden. Hal ini pula yang terjadi pada 2 (dua) Perpu yang
diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Terutama polemik Perpu Nomor 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK),
Dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 18 Desember 2008,
DPR RI telah membuat keputusan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008
tidak diterima. Dengan demikian, maka Perpu Nomor 4 Tahun 2008
xcv
telah terbukti ditolak dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan harus dicabut. Namun faktanya, Pemerintah tetap
menganggap Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tidak atau belum pernah
ditolak oleh DPR RI, dengan alasan bahwa DPR RI tidak secara nyata
menyatakan menolak, karena sebagian fraksi ada yang menyatakan
menolak, sebagian yang lain menyatakan menerima, bahkan ada fraksi
yang menyatakan belum menerima. Hal ini menyebabkan timbulnya
ketidakpastian hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi dengan
kewenangannya sebagai pengawal dan penafsir tertinggi terhadap
konstitusi (The guardian and the interpreter of the constitution),
seyogyanya dapat memberikan putusan demi kepastian hukum,
sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
xcvi
B. Pertimbangan-Pertimbangan Hukum Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Bahwa ketika permasalahan mengenai Mahkamah Konstitusi itu
berwenang atau tidak untuk menguji Perpu, sebenarnya didasarkan pada
diterima, diproses, dan diputusnya Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh
Mahkamah Konstitusi yang disitu jelas objeknya berupa Perpu. Hingga
pada lampiran putusannya dinyatakan adanya concuring opinion dan
dissenting opinion antara para hakim yang memperdebatkan kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu. Meskipun akhirnya ketujuh
hakim menyatakan berwenang sehingga perkara itu pun hingga pada tahap
putusan. Namun tidak ada salahnya ketika hal itu kemudian harus dilihat
dari dua sisi mengenai pro dan kontranya Mahkamah Konstitusi menguji
Perpu.
Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak bisa melakukan judicial
review atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sebab menurut Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 Mahkamah hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar, tanpa menyebut Perpu maupun peraturan yang setingkat.
Maka ketika Mahkamah Konstitusi memproses pengujian Perpu terlebih
xcvii
dahulu menelaah mengenai kewenangannya dalam pengujian Perpu,
meskipun sebenarnya prosesnya sama seperti pengujian undang-undang
biasa. Kemudian, mempertimbangkan mengenai kedudukan Perpu yang
sama dengan Undang-Undang dalam tata urutan perundang-undangan di
Indonesia sehingga dapat diuji di Mahkamah.
Dari sudut isi sebuah Perpu itu mengatur materi muatan Undang-
Undang. Artinya isi Perpu itu sebenarnya adalah Undang-Undang yang
dibuat dalam kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya
merupakan hak subjektif Presiden. Dalam kasus tertentu dimana
kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk
menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan
oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat
menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya
untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.
Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru
akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum
baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu
disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada
persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu,
namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau
menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti
Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang
kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap
norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji
apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan
demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD
1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah
adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-
Undang.
Bahwa pengujian Perpu oleh lembaga yudisial (judicial review) atau
oleh lembaga lain merupakan “perampasan” atas hak dan kewenangan
xcviii
konstitusional DPR yang diberikan oleh UUD 1945. Sebab Pasal 22 UUD
1945 memberi hak kepada DPR untuk menilai sebuah Perpu pada
persidangan berikutnya, apakah Perpu itu akan disetujui sebagai Undang-
Undang ataukah tidak. Kesamaan isi antara Undang-Undang dan Perpu
tetap tidak dapat dijadikan alasan bagi lembaga selain DPR untuk menguji
konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945; apalagi kalau kesamaan isi
itu hanya karena Perpu diartikan sebagai “undang-undang dalam arti
materiil,” sebab di dalam hukum tata negara semua jenis peraturan
perundang-undangan, mulai dari UUD sampai Peraturan Desa, adalah
undang-undang dalam arti materiil.
Namun akhir-akhir ini ada perkembangan penting dalam
ketatanegaraan kita Perpu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh
Mahkamah Konstitusi terutama melalui titik tekan dalam penafsiran
konstitusi. Dalam kaitan antara perkembangan ketatanegaraan dan
pengujian Perpu ini melihat perlunya penafsiran atas isi UUD 1945 tidak
hanya bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatik
melainkan harus menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis
yaitu akan kebutuhan masyarakat. Sehingga alasan-alasan hukum lebih
kuat dan menonjol dalam hal Hakim Mahkamah Konstitusi
mempertimbangkan kewenangannya menguji Perpu.
Dalam Putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dijelaskan bahwa
ada dissenting opinion yang menjadi alasan untuk menyetujui
dilakukannya judicial review terhadap Perpu oleh Mahkamah Konstitusi
adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Penilaian untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR
dilakukan pada masa sidang berikutnya sesuai Penjelasan Pasal 25 ayat
(1) UU Nomor 10 tahun 2004 disebutkan “Yang dimaksud dengan
"persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti
bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka,
xcix
Perpu itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang
berikutnya.
Dalam kenyataannya Perpu yang dimohonkan pengujian dalam
perkara a quo baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang
pertama sejak Perpu ini dikeluarkan. Seperti diketahui Perpu a quo
diundangkan pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang
DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah tanggal 1
Oktober sampai dengan tanggal 4 Desember 2009, tetapi Perpu a quo
tidak dibahas pada masa sidang pertama tersebut. Kalau Perpu tidak
dapat diuji oleh Mahkamah maka sangat mungkin suatu saat ada Perpu
yang dikeluarkan tetapi DPR tidak membahasnya dengan cepat dan
mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan, padahal Perpu tersebut
mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab
itu menjadi beralasan, demi konstitusi, Perpu harus dapat diuji
konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi agar segera ada
kepastian dapat atau tidak dapat terus berlakunya sebuah Perpu.
2. Timbul juga polemik tentang adanya Perpu yang dipersoalkan
keabsahan hukumnya karena tidak nyata-nyata disetujui dan tidak
nyata-nyata ditolak oleh DPR. Dalam kasus ini DPR hanya meminta
agar Pemerintah segera mengajukan RUU baru sebagai pengganti
Perpu. Masalah mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana
kedudukan hukum sebuah Perpu yang tidak disetujui tetapi tidak
ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika memperhatikan
bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perpu yang tidak secara tegas
mendapat persetujuan dari DPR “mestinya” tidak dapat dijadikan
Undang-Undang atau tidak dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai
Perpu, tetapi secara politis ada fakta yang berkembang sekarang ini
bahwa “kesemestian” tersebut masih dipersoalkan, sehingga sebuah
Perpu yang tidak disetujui oleh DPR (meski tidak ditolak secara
nyata) masih terus diberlakukan sampai dipersoalkan keabsahan
hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Dalam keadaan ini
c
menjadi wajar jika Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan
pengujian terhadap Perpu.
3. Terkait dengan tidak disetujuinya sebuah Perpu oleh DPR ada juga
pertanyaan, sampai berapa lama atau kapan sebuah Perpu yang tidak
mendapat persetujuan DPR harus diganti dengan Undang-Undang
Pencabutan atau Undang-Undang Pengganti. Karena tidak ada
kejelasan batas atau titik waktu maka dalam pengalaman sekarang ini
ada Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR tetapi RUU
penggantinya atau pencabutannya baru diajukan setelah timbul kasus
yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu menjadi wajar pula, demi
tegaknya konstitusi, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk
melakukan pengujian terhadap Perpu.
4. Dapat terjadi suatu saat Perpu dibuat secara sepihak oleh Presiden
tetapi secara politik DPR tidak dapat bersidang untuk membahasnya
karena situasi tertentu, baik karena keadaan yang sedang tidak normal
maupun karena sengaja dihambat dengan kekuatan politik tertentu agar
DPR tidak dapat bersidang. Bahkan dapat juga dalam keadaan seperti
itu ada Perpu yang melumpuhkan lembaga-lembaga negara tertentu
secara sepihak dengan alasan kegentingan yang memaksa sehingga ada
Perpu yang terus dipaksakan berlakunya sementara persidangan-
persidangan DPR tidak dapat diselenggarakan. Dengan memperhatikan
kemungkinan itu menjadi wajar apabila Mahkamah diberi kewenangan
untuk melakukan pengujian atas Perpu.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka Hakim menetapkan Perpu dapat
diuji oleh Mahkamah Konstitusi melalui penekanan pada penafsiran
sosiologis dan teleologis, sekaligus bahwa Putusan ini akan diajdikan
yurisprudensi. Penekanan pilihan atas penafsiran yang demikian memang
agak mengesampingkan penafsiran historis dan gramatik, bahkan keluar
dari original intent ketentuan tentang Perpu sebagaimana diatur di dalam
Pasal 22 UUD 1945. Hal ini perlu dilakukan justru untuk melindungi
kepentingan original intent pasal-pasal dan prinsip-prinsip lain yang juga
ci
ada di dalam UUD 1945. Pilihan pandangan ini semata-mata didasarkan
pada prinsip dalam menjaga tegaknya konstitusi yakni “tidak boleh satu
detik pun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi melanggar
konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian yudisial.”
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan kewenangan pengujian undang-
undang mengalami beberapa problematika. Salah satunya ialah mengenai
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian yang objeknya Perpu. Hal
ini terbukti dengan diterima, diproses, dan diputusnya Perkara Nomor
138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Penganti Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi yang secara yuridis tidak diatur,
namun seakan dipaksakan dengan dasar untuk menjaga kepastian hukum,
kemudian dibenarkan dengan jalan Mahkamah Konstitusi membuat
yurisprudensi alias acuan bagi kasus serupa di masa mendatang.
Oleh karena itu, berbagai analisis telah dilakukan penulis yang
memaparkannya melalui dua sisi yaitu baik sisi yang pro dan kontra mengenai
hal kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu. Ketentuan yang
membagi kewenangan pengujian undang-undang itu menjadi pengujian
materiil dan pengujian formil. Sehingga dalam hal pengujian Perpu ini, jika
dilihat dari pengujian materiil menyatakan Perpu ini dapat diuji materiil oleh
Mahkamah Konstitusi. Karena materi muatan Perpu dan UU itu sama, sesuai
dengan hierarkinya yang sejajar. Sedangkan pengujian formil memfokuskan
pada proses pembentukannya sehingga secara formil ini Perpu tidak dapat
diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah untuk menguji
cii
perpu yang memang bermaterikan undang-undang itu hanya dapat dilakukan
apabila sudah diuji, dinilai, dibahas, atau apa pun namanya dalam forum
politik di DPR dan DPR menyetujuinya menjadi undang-undang.
Berbagai alasan Mahkamah Konstitusi memang berwenang menguji
Perpu, yang salah satu alasan kuat yaitu karena perkembangan dalam
ketatanegaraan Indonesia sehingga tidak boleh ada satu detik pun ada hukum
yang bertentangan dengan konstitusi. Perpu dapat diuji konstitusionalitasnya
oleh Mahkamah Konstitusi terutama melalui titik tekan dalam penafsiran
konstitusi. Bahwa Perpu akan diuji karena isinya memang undang-undang.
Pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi, sekaligus mengantisipasi
ketidakseriusan DPR untuk membahas perpu guna menyatakan pendapat
ditolak atau tidak. Kewenangan pengujian perpu ini juga dimaksudkan untuk
mendesak DPR lebih tertib hukum.
ciii
B. Saran
Sebagai saran akan dipaparkan secara umum, terutama dalam rangka
peningkatan kualitas keseluruhan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
lembaga negara. Karena pada fokus pembahasan penulisan yaitu berkaitan
dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sehingga untuk memberikan
rekomendasi harus melalui proses amandemen UUD 1945. Banyak wacana
bergulir di sekitar kiprahnya Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan
konstitusi, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang
diamanatkan oleh Konstitusi maka satu-satunya cara ialah melalui amandemen
UUD 1945.
Pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam negara hukum yang demokratis seperti
Indonesia, adalah hal urgensial dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi perlu memperhatikan pula aspek perlindungan hak asasi
warga negara dan keadilan hukum bagi seluruh masyarakat tercermin dalam
putusannya. Pertimbangan-pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi selain
tekstual, perlu pula memperhatikan atau mengkritisi kondisi konstekstual,
sehingga lebih realistis dan objektif memberikan putusannya dalam pengujian
undang-undang.
Kekuasaan hak menguji undang-undang, judicial review seharusnya
diletakkan pada satu lembaga saja yaitu Mahkamah Konstitusi, agar pengujian
konstitusional dan legalitas dapat dilaksanakan secara maksimal. Sehingga
sebagai rekomendasinya, kewenangan pengujian semua jenis produk hukum
(mulai dari pengujian undang-undang hingga pada pengujian peraturan daerah
serta putusan yang dibuat oleh hakim pada peradilan biasa) ada di tangan
Mahkamah Konstitusi, beserta kewenangan peradilan impeachment, dan
civ
penyelesaian sengketa antar lembaga negara, sedangkan seluruh peradilan
administrasi berada pada Mahkamah Agung termasuk kewenangan
penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum.
Rekomendasi lain yang sifatnya non yuridis, bahwa untuk kelancaran
kerja Mahkamah Konstitusi dibuthkan pula pengawasan. Pengawasan ini baik
dari internal maupun secara eksternal untuk mencegah timbulnya
penyimpangan-penyimpangan yang menghambat kinerja dari Mahkamah
Konstitusi. Pengawasan ini diperlukan untuk menjaga intgritas dan
memertahankan performa kelembagaan yang lebih baik. Pengawasan secara
terpadu, yaitu dengan dengan pendekatan kelembagaan (institutional
approach) yang dilakukan oleh internal kelembagaan Mahkamah Konstitusi
dan pendekatan sistem (system approach) yang meletakkan unsur eksternal
dan masyarakat luas sebagai bagian penting dalam sistem pengawasan.
Pengawasan oleh masyarakat ini, dapat dilakukan melalui DPR, media massa,
teoritisi dan praktisi hukum, perguruan tinggi, maupun lmebaga swadaya
masyarakat. Pengawasan dilakukan guna menegakkan hukum dan keadilan
khususnya dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, karena
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang tengah sangat dipercaya satu-
satunya sebagai penafsir konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukhtie Fadjar. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
cv
B. Hestu Cipto Handoyo. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
C.S.T Kansil. 1984. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Fatkhurohman, dkk. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Iriyanto A. Baso Ence. 2008. Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi. Bandung: Alumni.
Jimly Asshiddiqie. 2004. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Makalah. Disampaikan pada Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, pada tanggal 23 Maret 2004.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
_______________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press.
_______________. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.
_______________. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Johny Ibrahim. 2005. Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia.
____________. 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia.
____________. 2007. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia.
Leonard W. Levy. 2005. Judicial Review. Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya Dalam Negara Demokrasi. Bandung: Nusamedia.
Maruarar Siahaan. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
cvi
Mariangela Benedetti. “Global Judicial Review: A Remedy Against Fragmentation?”. PhD Candidate in Administrative Law Faculty of Law, University of Rome “La Sapienza”.
Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius.
Muhammad Bahrul dan Dizar Al Farizi. 2009. “Implementasi dan Implikasi Putusan MK Terhadap Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia”. Jurnal Konstitusi. Vol. 6, No. 3. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Muh. Ridhwan Indra. 1987. Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara & Hak Menguji Menurut UUD. Jakarta: Sinar Grafika.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Pan Mohamad Faiz Kusumawijaya. 2005. Gonjang-Ganjing Perpu Tentang Penyeleksian Ulang Hakim Agung. http://jurnalhukum.blogspot.com. Diakses tanggal 16 Mei 2010.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. “Penelitian Hukum”. Jakarta: Sinar Garafika.
Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Samsul Wahidin. 1984. Hak Menguji Materiil Menurut UUD 1945. Jakarta: Cendana Press.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
Soetandyo Wignjosoebroto. Konsep Hukum dalam Materi Perkuliahan Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum.
Soetiono. Macam-Macam Penelitian. Makalah S2.
Sri Soemantri. 1982. Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung: Alumni.
Suripto. 2007. Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review). http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=116 &id=518&option=com_content&task=view. Diakses tanggal 20 Maret 2010.
Tim Penyusun. 2004. Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
cvii
Thomas Poole. 2010. ”Judicial Review at the Margins: Law, Power, and Prerogative”. LSE Law, Society and Economy Working Papers 5/2010 London School of Economics and Political Science Law Department.
Yance Arizona. 2007. Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 33 Undnag-Undnag Dasar Negara Republik Tahun 1945.http://yancearizona.files.wordpress.com/2008/11/penafsiran-mk-terhadap-pasal-33-uud-1945.pdf. Diakses tanggal 21 April 2010.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076.