Post on 13-Apr-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup merupakan satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat
dipisahkan dari keberlangsungan hidup manusia. Lingkungan hidup dapat
dirumuskan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain1.
Seluruh aspek kehidupan manusia yang bergantung pada lingkungan hidup
ini, menghadapi banyak hal yang mengkhawatirkan. Masalah lingkungan hidup
menjadi perbincangan yang tidak asing lagi di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Dalam ekologi, yakni ilmu yang membahas tentang hubungan timbal balik antara
manusia dengan lingkungan, dikenal istilah etika lingkungan yang berbicara
mengenai kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya2.
Dalam artian, etika lingkungan merupakan norma dan kaidah moral yang
mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam, serta nilai dan
prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam
tersebut3.
Akan tetapi, pemandangan yang disajikan hari ini mengenai kondisi
lingkungan hidup semakin menmprihatinkan dengan maraknya pembakaran
1 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan merupakan penyempurnaan pula dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.2 Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 1/ Tahun 1/ Maret 2002 3 Ibid.
1
hutan, pertambangan liar, limbah, polusi udara dan lain sebagainya yang telah
merusak keeimbangan ekosistem lingkungan hidup. Manusia seolah kehilangan
sifat kemanusiaannya dalam memperlakukan lingkungan hidup, yang jelas-jelas
keberlangsungan hidupnya sangat bergantung kepada lingkungan hidup tersebut.
Dengan tercemarnya lingkungan hidup pun, serta merta akses untuk
mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan layak semakin
berkurang, mulai dari air tanah yang tidak bersih, sungai yang tercemar limbah
industri, hingga bencana asap akibat pembakaran hutan yang hingga saat ini masih
dirasakan dampaknya4. Kejahatan lingkungan hidup seolah tidak terbendung lagi.
Negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas jaminan lingkungan
hidup yang bersih dan layak bagi warga negaranya seolah tidak lagi memiliki
kedaulatan atas lingkungan hidup di negaranya. Padahal, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam konstitusinya Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mencantumkan dengan terang dan
jelas bahwa negara menjamin hak warga Negara untuk hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan5.
Semakin parahnya kondisi lingkungan hidup, mendorong wacana green
constitution yang menggema di berbagai penjuru dunia pada akhir abad ke-20 dan
akhir abad ke-216. Negara-negara berlomba-lomba meningkatkan kepedulian akan
kerusakan lingkungan hidup, menjaga keseimbangan ekosistem demi kehidupan
di masa mendatang. Tidak kalah dengan Indonesia, pada Amandemen Keempat 4 National Geograpic Indonesia, “Fakta Menyedihkan tentang Alam Indonesia”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/fakta-menyedihkan-tentang-alam-indonesia diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 23:07.5 Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 6 Jimly Assiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 10.
2
pada tahun 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah mencantumkan green constitution, akan tetapi dalam penerapannya green
constitution yang tercantum dalam konstitusi masih jauh dari harapan.
Dengan maraknya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, tanggung
jawab negara terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
hendaknya mulai. Semangat green constitution yang telah menjadi jiwa konstitusi
Republik Indonesia menjadi sesuatu yang urgen untuk diterapkan demi
menyelamatkan lingkungan hidup dan mengembalikan kedaulatan negara yang
menjamin hak warga negaranya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkpan pemaparan latar belakang di atas, untuk mengarahkan
penulisan, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Sejauh manakah urgensi penerapan green constitution di Indonesia?
2. Bagaimanakah idealnya konsep green constitution di Indonesia?
BAB II
3
PEMBAHASAN
A. Urgensi Penerapan Green Constitution di Indonesia
Usaha melestarikan lingkungan hidup dari pengaruh dampak
pembangunan yang tidak terkendali adalah salah satu usaha yang “wajib”
dilakukan. Pengelolaan lingkungan yang baik setidaknya dapat mencegah
kerusakan lingkungan akibat proyek pembangunan yang sedang marak terjadi.
Dengan kata lain, pembangunan hendaknya dapat meningkatkan kualitas hidup
manusia berikut kualitas lingkungannya, sehingga perlu digarisbawahi disini,
membangun suatu negara berdasarkan wawasan lingkungan bukan berwawasan
ekonomi semata.
Konsep Green Constitution
Sesuai dengan dampak yang diduga akan terjadi akibat pembangunan yang
tidak terkendali, wacana green constitution muncul dilatarbelakangi masyarakat di
berbagai penjuru dunia yang mulai risau dengan lambatnya respon konkret
pemerintahan negara-negara konstitusional akan pentingnya memelihara
lingkungan hidup, agar kelangsungan lingkungan hidup umat manusia dapat
terjamin berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development)7. Karena itu, sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas
agar kebijakan-kebijakan resmi negara yang pro lingkungan dapat tercemin dalam
bentuk peraturan perundang-undangan agar dapat ditaati oleh semua pemangku
kepentingan (stakeholder), mengingat peraturan perundang-undangan memiliki
7 Ibid.
4
kekuatan hukum yang mengikat dan dapat dipaksakan keberlakuan serta
sanksinya8.
Pada prinsipnya, green constitution merupakan konstitusionalisasi norma
hukum lingkungan ke dalam konstitusi dengan menaikkan derajat norma
perlindungan lingkungan hidup ke tingkat konstitusi9. Dengan demikian,
pentingnya prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan
perlindungan terhadap lingkungan hidup menjadi memiliki pijakan yang kuat
dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu, green constitution
kemudian mengintrodusir terminologi dan konsep yang disebut dengan ekokrasi
(ecocracy) yang menekankan pentingnya kedaulatan lingkungan10.
Konstitusionalisasi lingkungan hidup dalam konstitusi suatu negara
dianggap penting bukan saja karena konstitusi tidak mudah dirubah, tapi juga
karena konstitusi merupakan supreme law of the land yang menjadi tujuan,
pedoman dan alat ukur kehidupan berbangsa dan bernegara11. Beberapa negara
sudah melakukan konstitusionalisasi lingkungan hidup, misalkan Portugal (1976),
Spanyol (1978), Polandia (1997), Prancis (2006) dan Ekuador (2008)12. Prancis
bahkan merubah preambule konstitusinya dengan memasukkan Environment
Charter of 200413, Sedangkan Ekuador menegaskan di dalam konstitusinya bahwa
8 Ibid. 9 Jimly School, “Green Constitution”, http://www.jimlyschool.com/read/program/254/green-constitution diakses pada Hari Senin tanggal 19 Oktober 2015 pukul 20:17. 10 Jimly School, “Green Constitution”, http://www.jimlyschool.com/read/program/254/green-constitution diakses pada Hari Senin tanggal 19 Oktober 2015 pukul 20:17.11 Miriam Budiarjo dalam Dahlan Thaib dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hal. 19. 12 Jimly Assiddiqie, Op. Cit., hal. 20-26.13 Ibid., hal. 63.
5
lingkungan hidup memiliki fundamental rights sendiri yang harus disejajarkan
dengan hak asasi manusia14.
Green Constitution di Berbagai Negara
Sebagai akibat semakin luas dan meningkatnya kesadaran mengenai
pentignya lingkungan hidup di dunia, dewasa ini sudah mulai ada negara yang
menuangkan ketentuan-ketentuan pokok mengenai lingkungan hidup dalam
rumusan undang-undang dasar, dengan mengaitkannya dengan pengertian hak
asasi manusia. Meskipun demikian, pola dan mekanisme pelaksanaan ide
perlindungan lingkungan itu sangat bervariasi dari satu negara ke negara yang
lain.
Ada empat kelompok negara yang mencantumkan ketentuan perlindungan
lingkungan dalam konstitusi. Pertama, konstitusi yang memuat ketentuan spesifik
mengenai perlindungan lingkungan hidup. Kedua, konstitusi yang
mengintegrasikan ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam ketentuan
mengenai hak asasi manusia. Ketiga, konstitusi yang hanya mengatur lingkungan
hidup secara implisit atau menentukan jaminan hak-hak asasi tertentu dapat
dipakai untuk kepentingan perlindungan lingkungan hidup dalam
praktik. Keempat, kelompok konstitusi yang mengaitkan garis-garis besar
kebijakan lingkungan tertentu dengan tugas atau tanggung jawab lembaga negara
tertentu untuk melestarikan lingkungan hidup dan mengatasi kerusakan alam.
Pola perumusan ketentuan lingkungan hidup dalam konstitusi di seluruh
dunia memang sangat beraneka ragam variasinya. Semakin bersifat umum dan
abstrak perumusannya dan semakin luas jangkauan ruang penafsirannya lebih
14 Ibid., hal. 73.
6
lanjut oleh lembaga legislatif, maka semakin kurang efektif daya laku norma
lingkungan hidup tersebut dalam praktik. Adapun semakin spesifik perumusannya
dalam konstitusi, maka semakin mudah dan terjamin efektivitasnya dalam praktik.
Sekali norma lingkungan sudah dikontitusionalisasikan secara spesifik dan jelas,
norma tersebut dapat dijadikan instrumen yang memaksa untuk diterapkannya
kebijakan perlindungan lingkungan hidup secara sungguh-sungguh dalam praktik.
(a) Konstitusi Portugal
Portugal memiliki undang-undang dasar baru sejak disahkan pada 2 April
1976 oleh lembaga perwakilan rakyat, undang-undang dasar ini kemudian dikenal
dengan Konstitusi 1976.15 Konstitusi ini telah menentukan adanya kewajiban
negara untuk melindungi lingkungan hidup dan ada pula hak-hak warga negara
akan lingkungan dan kualitas hidup.
Pada artikel 9 butir (d) dan (e) dinyatakan bahwa “The basic tasks of the
state are: (d) to promote the people’s welfare and quality of life, real equality
among the Portuguese as well as the realization of economic, social, and cultural
rights by way of transforming and modernizing the economic and social
structures; (e) to protect and enhance the cultural heritage of the Portuguese
people, defend nature and the environment, conserve natural resources, and
ensure a proper regional planning”16. Tugas pokok negara adalah: (d) untuk
mendorong kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, kesetaraan nyata di
antara Warga Portugal serta realisasi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
dengan cara mengubah dan modernisasi struktur ekonomi dan sosial ; (e) untuk
melindungi dan meningkatkan warisan budaya masyarakat Portugal, membela
15 Ibid., Hlm 3416 Ibid, Hlm 36
7
alam dan lingkungan, melestarikan sumber daya alam, dan memastikan
perencanaan daerah yang tepat.
Disamping mengatur tentang kewajiban dan tanggungjawab Negara,
konstitusi Portugal 1976 juga mengatur tentang hak-hak warga Negara dalam
Artikel 66 menentukan sebagai berikut:17
1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan seimbang
secara ekologis dan berkewajiban untuk mempertahankannya;
2) Adalah tugas Negara untuk bertindak melalui badan-badan
pemerintahan yang terkait dan dengan dukungan masyarakat untuk:
(a) Mencegah dan mengendalikan polusi atau pencemaran, akibat-
akibatnya, dan bentuk-bentuk erosi yang membahayakan;
(b) Menata dan mempromosikan perencanaan regional guna menjamin
aktivitas di lokasi yang tepat, perkembangan sosial dan ekonomi
yang seimbang, dan menghasilkan tata ruang yang secara biologis
seimbang;
(c) Mengadakan dan mengembangkan cadangan kekayaan sumber daya
alam, taman alam, dan daerah pariwisata, serta mengelompokkan
dan melindungi tata ruang dan tempat-tempat lain guna menjamin
konservasi alam dan pelestarian kekayaan budaya untuk kepentingan
sejarah dan seni;
(d) Mempromosikan pemanfaatan sumber daya alam secara rasional,
emlindungi kapasitasnya untuk pemulihan dan stabilitas ekologis.
17 Ibid, Hlm 37
8
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Konstitusi Portugal 1976 inilah
yang merupakan konstitusi hijau (green constitution) pertama di dunia yang
menuangkan ketentuan hukum lingkungan dalam teks undang-undang dasar.
(b) Konstitusi Spanyol
Dalam Konstitusi Spanyol 1978 diatur pasal-pasal tentang hak asasi
manusia dan hak dasar warga negara. Konstitusi ini, merupakan satu dari sedikit
konstitusi di dunia yang mengatur tentang “social rights”.18 Dalam konstitusi ini,
negara Spanyol sendiri pun didefinisikan sebagai “a social and democratic state,
subject to the rule of law”19, yaitu suatu rumusan tentang social state yang tidak
lazim ditemukan dalam konstitusi negara-negara barat modern.
Dalam Konstitusi Spanyol 1978 juga diatur ketentuan mengenai lingkungan
hidup yang belum banyak dikonstitusionalisasikan sampai awal tahun 1980-an,
dimuat dalam Artikel 45. Ketentuan mengenai lingkungan hidup ini diatur dalam
Section 45 Chapter III tentang“Principles Governing Economic and Social
Policy” yaitu:20
1. Setiap orang berhak untuk menikmati lingkungan yang cocok untuk
perkembangan hidupnya berkewajiban melestarikannya
sebagaimana mestinya.
2. Penguasa umum atau pemerintahan melakukan pengawasan atas
penggunaan sumber daya alam secara nasional untuk melindungi
dan meningkatkan kualitas hidup serta melestarikan dan memulihkan
kualitas lingkungan hidup dengan mengandalkan solidaritas sosial.
18 Ibid, hlm 4319 Ibid20 Ibid, Hlm 44-45
9
3. Barangsiapa yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas,
diancam dengan sanksi pidana atau sanksi administratif menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan diwajibkan
memperbaiki kembali segala kerusakan itu sebagaimana mestinya.
Dari Rumusan diatas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan konstitusional
mengenai lingkungan hidup cukup luas diatur dalam Undang-Undang Dasar
Spanyol 1978. Konstitusi ini dapat dikatakan merupakan konstitusi hijau (green
constitution) kedua setelah Konstitusi Portugal 1976.
(c) Konstitusi Polandia
Polandia memiliki Konstitusi hijau yang dikenal dengan Konstitusi 1997.
Konstitusi ini disahakan oleh National Assembly pada 2 April 1997, disetujui oleh
rakyat melalui referendum nasional pada 25 Mei 1997, dan diberlakukan mulai 17
Oktober 1997.21 Sejak itu Polandia mengalami transformasi yang sangat
fundamental menuju demokrasi politik yang penuh.
Polandia, dapat dipandang, merupakan negara pertama di Eropa Timur yang
memelopori gagasan untuk menuangkan norma hukum yang pro-lingkungan ke
dalam rumusan konstitusi. Konstitusi 1997 secara eksplisit mencantumkan
ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam Bab I, Artikel 5 yang menyatakan
bahwa: “The Republic of Poland shall safeguard the independence and integrity
of it’s territory and ensure the freedoms and rights of persons and citizens, the
security of the citizens, safeguard the national heritagr and shall ensure the
protection of the natural environment pursuant to the sustainable development.”
Republik Polandia akan menjaga independensi dan integritas wilayah itu dan
menjamin kebebasan dan hak-hak orang dan warga negara, keamanan warga,
21 Ibid, Hlm 51
10
menjaga warisan nasional dan harus menjamin perlindungan lingkungan alam
sesuai dengan pembangunan berkelanjutan. 22
Hal yang menarik adalah bahwa konsep pembangunan alam (natural
environment) dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
ditempatkan perumusannya dalam konteks perlindungan wilayah negara, serta
jaminan kebebasan dan jaminan keamanan bagi warga negara dan penduduk.
Artinya, persoalan lingkungan hidup dipandang demikian seriusnya sehingga
tempat perumusannya ada di Artikel 5 Chapter I. Bandingkan dengan UUD 1945
yang mengatur hal-hal yang sungguh-sungguh sangat fundamental dalam Bab I,
Pasal 1 yang berisi 3 ayat, yaitu mengenai bentuk negara, bentuk pemerintahan,
dan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
(d) Konstitusi Prancis
Salah satu perubahan yang paling mendasar terhadap isi Konstitusi 1958
adalah perubahan yang terjadi pada 2006, yait keika pembukaannya diubah
dengan menambahkan “Piagam Lingkungan” yang disejajarkan
dengan Declaration of Rights of Man anf of Citizenstahun 1798. Dengan
diadopsinya “Piagam Lingkungan” itu ke dalam Pembukaan UUD, maka dapat
dikatakan telah terjadi revolusi besar dalam sejarah ketatanegaraan Prancis, yaitu
konstitusinya berubah menjadi ‘hijau’ (green constitution).
Piagam lingkungan tersebut kemudian dikenal dengan Environment Charter
of 2004. Tujuan piagam tersebut tidak lain ialah: (i) untuk mengukuhkan prinsip-
prinsip yang sudah diterima sebagai bagian dari hukum yang mengikat (to
establish principles that are already part of the law), dan (ii) untuk mencakupkan
22 Ibid, Hlm 52
11
prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam hukum internasional ke dalam hukum
nasional (to include new principles that are present in international law).
Republik Prancis telah berkembang menjadi salah satu negara yang dapat
dijadikan contoh mengenai tekad, komitmen, dan kesungguhan untuk mengatasi
masalah pencemaran lingkungan hidup dan menerapkan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan resmi, preambul Konstitusi Prancis
yang memuat Piagam Lingkungan tersebut menjadi salah satu konstitusi paling
hijau di dunia dewasa ini. Kesadaran akan lingkungan tidak hanya dirumuskan
sebagai norma dalam pasal-pasal, melainkan sebagai roh dalam Preambul
Undang-Undang Dasar.
(e) Konstitusi Ekuador
Konstitusi Hijau paling baru adalah Konstitusi Ekuador yang disahkan
oleh Constitutional Assembly pada 10 April 2008 dan mulai berlaku sesudah
mendapat persetujuan rakyat melalui referendum. Dapat dikatakan, konstitusi
inilah yang pertama kali menegaskan adanya hak alam sebagai subjek dalam
kehidupan manusia dalam wadah negara konstitusional. Dalam Title II
tentang “Fundamental Rights”,“Article og Rights Entitlement”, ditegaskan
bahwa, “Person and people have the fundamental rights guaranteed in this
Constitution and in the International human rights instruments. Nature is subject
to those rights given by this Constitution and Law”. Lebih lanjut, lihat
dalam “Chapter of Rights of Nature”, Artikel 1, 3, 4, dan 5.
Dengan adanya rumusan ketentuan mulai dari artikel tentang “Rights
Entitlement” dan artikel-artikel tentang “Rights of Nature”tersebut, dapat
12
dikatakan bahwa UUD Ekuador inilah yang merupakan konstitusi pertama di
dunia yang benar-benar hijau.
Urgensi Green Constitution di Indonesia
Seiring dengan kebutuhan pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup warga negara, pengalaman pembangunan di
Indonesia yang menyajikan bahwa pembangunan telah menimbulkan berbagai
dampak negatif tidak dapat dielakkan. Hal ini tidak lain dikarenakan konsep
pembangunan di Indonesia yang cenderung kepada wawasan ekonomi dan politik
semata, tanpa mengindahkan wawasan dan etika terhadap lingkungan.
Konsep pembangunan yang tidak berkelanjutan dan tidak berwawasan
lingkungan bukan hanya akan memperparah masalah-masalah lingkungan dan
sosial yang ada, namun juga akan memicu timbulnya masalah-masalah
lingkungan yang baru.
Berkaitan dengan pembangunan ini, terdapat 5 isu pokok kerusakan
lingkungan hidup yang actual, yaitu:
1. Kerusakan hutan dan lahan
2. Kerusakan pesisir dan laut
3. Pencemaran air, tanah dan udara
4. Permasalahan lingkungan perkotaan
5. Kemasyarakatan
Isu-isu aktual diatas merupakan status lingkungan atas tekanan aktivitas
manusia. Untuk mengantisipasi dan mengatasi status kerusakan tersebut,
masyarakat menunjukkan respon atas perubahan-perubahan yang terjadi melalui
kebijakan-kebijakan lingkungan, ekonomi dan sektoral dan melalui kesadaran dan
13
perubahan perilaku. Akan tetapi, respon tersebut tidaklah cukup, kerusakan dan
kejahatan lingkungan terus berlanjut.
Bagi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, dengan kerusakan alam
yang terus menerus terjadi, Indonesia sudah sepatutnya menangis. Kerusakan
demi kerusakan di tanah Indonesia seolah tidak pernah berhenti.
Sebagai contoh dapat diambil kasus yang terjadi dengan hutan Indonesia.
Indonesia semula merupakan negara yang memiliki hutan hujan tropis terluas di
dunia, kini berubah menjadi luasan hutan terus menyusut akibat deforestasi23.
Hutan di Kalimantan yang dulunya rimbun, sekarang menjadi gundul
akibat penebangan hutan secara liar. Praktek illegal logging demikian dahsyatnya
mencabik-cabik hutan diseantero nusantara tanpa mampu ditangani, akibat aparat
penegak hukum yang juga menjadi bagian dari mata rantai mafia hutan. Lahan
masyarakat adat disejumlah wilayah diserobot mafia tanah berkedok industri yang
diback up pemerintah; baik pusat maupun daerah. Menyebabkan mereka
kehilangan lahan dan mata pencaharian. Kasus semburan lumpur Lapindo sejak
tahun 2006 sampai saat ini belum selesai ditangani. Padahal telah menelan korban
jiwa dan harta benda yang jumlahnya tidak sedikit. Serta kasus-kasus lingkungan
lain yang terjadi di sejumlah daerah24.
Data Global Forest Watch dan Forest Watch Indonesia mengungkap
bahwa sepanjang tahun 2009 hingga 2013 saja, Indonesia kehilangan hutan seluas
4,6 juta hektar. Itu berarti, setiap menit, Indonesia kehilangan hutan seluas tiga
23 National Geograpic Indonesia, “Fakta Menyedihkan tentang Alam Indonesia”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/fakta-menyedihkan-tentang-alam-indonesia diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 23:07. 24 HarianFajar 7 Februari 2012, http://www.negarahukum.com/hukum/menguatkan-lingkungan-hidup-dalam-konstitusi.html
14
kali lapangan sepak bola25. Forest Watch Indonesia juga mengungkapkan, luas
wilayah hutan Indonesia pada tahun 1950 diperkirakan 193 juta hektar. Tahun
2009, luas hutan Indonesia berkurang lebih dari setengahnya, menjadi cuma
sekitar 88 juta hektar. Lalu, tahun 2013, jumlahnya tinggal sekitar 82 juta hektar26.
Deforestasi berakibat buruk. Kebakaran hutan di Riau pada tahun 2013
yang dipicu oleh ekspansi kelapa sawit mengakibatkan kerugian 1,7 triliun dollar
Amerika Serikat. Deforestasi pun membuat Orang Rimba mengalami krisis,
korban meninggal orang rimba akibat deforestasi terus berjatuhan dalam kurun
waktu terakhir. Indonesia memulai moratorium hutan untuk menghentikan
sementara penerbitan izin kehutanan pada tahun 2011. Namun, studi yang
diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences menyatakan,
moratorium tak efektif. Jutaan hektar hutan tetap saja rusak selama moratorium27.
Kondisi menyedihkan juga bisa dilihat di lahan gambut, salah satu wilayah
yang menyimpan banyak stok karbon. Banyak lahan gambut kini rusak. Kubah
gambut rusak karena dipakai untuk area perkebunan. Penelitian Center for
International Forestry Research (CIFOR) mengungkap fakta menyedihkan.
Akumulasi karbon di wilayah gambut Indonesia membutuhkan waktu hingga
11.000 tahun, sementara pelepasan karbonnya berlangsung sangat cepat. Dari
3.300 ton karbon yang tersimpan di lahan gambut, setengahnya akan hilang dalam
25 National Geograpic Indonesia, “Fakta Menyedihkan tentang Alam Indonesia”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/fakta-menyedihkan-tentang-alam-indonesia diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 23:07. 26 National Geograpic Indonesia, “Fakta Menyedihkan tentang Alam Indonesia”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/fakta-menyedihkan-tentang-alam-indonesia diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 23:07. 27 National Geograpic Indonesia, “Fakta Menyedihkan tentang Alam Indonesia”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/fakta-menyedihkan-tentang-alam-indonesia diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 23:07.
15
100 tahun terakhir akibat konversi gambut menjadi lahan kelapa sawit28. Jumlah
karbon yang hilang setara dengan jumlah karbon yang terakumulasi selama 2.800
tahun.
Bila pelepasan karbon di lahan gambut terus terjadi, emisi karbon
Indonesia akan tinggi. Indonesia akan gagal memenuhi target penurunan emisi
karbon 26 persen pada tahun 2020. Secara tidak langsung disini, Indonesia
melanggar Protokol Kyoto29 mengenai pengurangan emisi yang telah diratifikasi
dengan penuh kesadaran oleh Indonesia sendiri.
Masalah lingkungan hidup, selain hutan, antara lain pencemaran logam
berat merkuri. Penambangan emas secara liar, tambang batubara, serta sektor
minyak dan gas mengakibatkan merkuri yang berbahaya terlepas ke lingkungan.
Sebuah studi di wilayah Cisitu menunjukkan bahwa konsentrasi merkuri di udara
telah mencapai 50.549,91 nanogram per meter kubik (ng/m3) di kolam ikan.
Konsentrasi merkuri di udara yang tinggi juga ditemukan di Bombana, Sulawesi
Tenggara, dan Sekotong, NTB30. Dampaknya, ditemukan anak-anak yang lahir
dengan kepala abnormal, menderita kejang sejak berusia 2 tahun, dan mengalami
28 National Geograpic Indonesia, “Fakta Menyedihkan tentang Alam Indonesia”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/fakta-menyedihkan-tentang-alam-indonesia diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 23:07. 29 Indonesia meratifikasi Kyoto Protocol To The United Nations Framework C'onvention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim) melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 yang berisi mengenai pengaturan penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Protokol Kyoto menetapkan aturan mengenai tata cara, target, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penaatan dan penyelesaian sengketa.30 National Geograpic Indonesia, “Fakta Menyedihkan tentang Alam Indonesia”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/fakta-menyedihkan-tentang-alam-indonesia diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 23:07.
16
hipersalivasi (liur berlebih)31. Gejala itu sangat berkaitan dengan keracunan
merkuri.
Selain limbah merkuri, sampah perkotaan dan limbah plastik juga menjadi
masalah lingkungan hidup indonesia. Kini, Indonesia tercatat sebagai negara
penyetor sampah plastik ke lautan kedua terbesar di dunia. Beragam sampah
termasuk plastik terakumulasi di sungai. Masih banyak fakta menyedihkan
tentang alam Indonesia yang bisa diuraikan, mulai dari laut Nusantara yang
mengalami overfishing hingga terancam punahnya gajah sumatera, harimau
sumatera, orangutan, dan beragam fauna lainnya.
Lingkungan hidup Indonesia makin memprihatinkan, sementara legalisasi
mengenai lingkungan hidup tidak kunjung menunjukkan keefektifan, justru
memperlihatkan semakin parahnya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia.
Perhatian pada kebijakan lingkungan hidup perlu diwujudkan dalam bentuk yang
nyata.
Legalisasi mengenai lingkungan hidup di Indonesia masih belum cukup
menampung masalah-malasah kerusakan lingkungan hidup yang dihadapi
Indonesia saat ini. Perlu adanya pengaturan tertinggi dalam konstitusi agar norma
hukum lingkungan kedudukannya menjadi kuat dan harus ditaati oleh semua
pemangku kepentingan (stakeholder).
31 National Geograpic Indonesia, “Fakta Menyedihkan tentang Alam Indonesia”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/fakta-menyedihkan-tentang-alam-indonesia diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 23:07.
17
B. Konsep Green Constitution yang Ideal Diterapkan di Indonesia
Konstitusi Indonesia sebagai hukum tertinggi yang menjadi sumber hukum
formil maupun materiil telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali. Sejatinya
perubahan tersebut dimaksudkan untuk merespon perkembangan dan dinamika
zaman. Secara umum perubahan tersebut menyasar bidang politik, hukum, sosial
dan lain-lain. Dibidang hukum, amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyangkut pemilihan presiden secara langsung
(direct democracy), pembatasan kekuasaan presiden, dan lahirnya lembaga negara
baru (Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lembaga negara lainnya).
Green Constitution dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Salah satu aspek penting pula dari amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah lahirnya suatu gagasan tentang
pentingnya lingkungan hidup (ecocracy) yang sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia. Ini kemudian dinormakan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Adanya ketentuan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pasal
28 H ayat (1) di atas mengharuskan negara menjamin terpenuhinya hak tersebut.
Disisi lain kita sebagai warga negara mempunyai kewajiban untuk menghormati
hak asasi orang lain atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
18
Disamping diatur dalam pasal 28 H ayat (1), pengelolaan lingkungan
hidup yang suistainable juga diatur dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pengaturan lingkungan hidup yang pada awalnya hanya dimuat dalam
undang-undang kemudian “diangkat” dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan suatu upaya serius yang dilakukan
oleh pemerintah untuk menjamin keberlangsungan fungsi lingkungan hidup agar
dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Konsekuensi dari diaturnya
lingkungan hidup ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah kebijakan, rencana dan/atau program yang dilaksanakan oleh
pemerintah harus melihat aspek keberlanjutan lingkungan hidup.
Dengan demikian kebijakan, rencana dan/atau program yang tertuang
dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
peraturan pemerintah, dan peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan
dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan.
Legalisasi Lingkungan Hidup di Indonesia
Selain pengaturan secara nasional, di dunia internasional negara-negara di
dunia kembali menguatkan komitmennya untuk “menyelamatkan bumi” dari
masalah lingkungan hidup yang semakin parah melalui pertemuan ke-11 Special
19
Session of the UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment
Forum (GC-UNEP)32.
Pertemuan tersebut membahas tiga hal utama; kebijakan lingkungan
internasional atau (international environmental governance) dan pembangunan
berwawasan lingkungan (sustainable development), serta ekonomi hijau,
ekosistem, dan keanekaragaman hayati (the green economy, biodiversity, and
ecosystems).
Sebagai bagian dari proses “dialektika sejarah”, pertemuan tersebut
“mengulang” cerita dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang pernah diadakan
dan menghasilkan sebuah komitmen bersama. Mulai Konferensi Stockholm yang
melahirkan Deklarasi Stockholm (1972), Deklarasi Nairobi (1982), Konferensi
Rio yang melahirkan Deklarasi Rio (1992), Protokol Kyoto (1997) maupun
Pertemuan Puncak Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg,
Afrika Selatan yang melahirkan Rencana Aksi Johannesburg (2002). Ini
menandakan perhatian dunia terhadap isu lingkungan hidup dari generasi ke
generasi nyatanya telah tiba pada titik kulminasi kekhawatiran akan masa depan
bumi yang sudah berstatus “darurat lingkungan”33.
Bagi Indonesia, pertemuan tersebut menjadi paradoks. Disatu sisi,
dihadapan komunitas internasional Indonesia menyatakan komitmennya terhadap
isu lingkungan hidup dan bersedia bekerjasama menyelamatkan bumi dari
kerusakan lingkungan. Krisis global saat ini, yakni krisis ekonomi dunia dan krisis
perubahan iklim, memberikan pelajaran yang berharga kepada seluruh bangsa di
32 HarianFajar 7 Februari 2012, http://www.negarahukum.com/hukum/menguatkan-lingkungan-hidup-dalam-konstitusi.html 33 HarianFajar 7 Februari 2012, http://www.negarahukum.com/hukum/menguatkan-lingkungan-hidup-dalam-konstitusi.html
20
dunia. Krisis global hanya menyediakan pilihan untuk merubah pola
pembangunan menjadi pembangunan yang tidak berpihak kepada pro-growth,
namun juga pro-poor, pro-job, dan pro-environment34. Pernyataan tersebut ibarat
“angin surga” yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah lingkungan hidup.
Namun nyatanya, Indonesia turut berkontribusi atas terjadinya kerusakan
lingkungan pada saat yang sama. Terbentang fakta didepan mata yang tidak bisa
disangkal lagi. Bagaimana negara turut andil dalam menciptakan kerusakan
lingkungan.
Kasus-kasus lingkungan hidup yang terjadi menyiratkan lemahnya peran
dan tanggungjawab negara dalam perlindungan lingkungan hidup. Lingkungan
hidup dipaksa mengikuti logika pembangunan yang nyatanya kontra-lingkungan.
Lingkungan hidup menjadi isu yang dianaktirikan dibawah dominasi isu
demokrasi yang nyatanya juga tidak kunjung membawa kesejahteraan.
Isu lingkungan tidak begitu “seksi” karena negara lebih mengutamakan
pembangunan berbasis industri. Ekspansi industrialisasi di sejumlah wilayah
nyatanya menimbulkan masalah lingkungan ketika pijakan logikanya hanya
didasarkan pada pengelolaan (baca eksploitasi), tidak diimbangi dengan
perlindungan dan pelestarian. Ditambah dengan tumpang tindihnya peraturan
perundang-undangan terkait lingkungan hidup. Akibatnya, lingkungan hidup
semata-mata hanya bertumpu pada aspek pengelolaan. Pelestarian dan
keberlangsungannya (preservation and sustainability) kurang diperhatikan,
34 Pernyataan Menteri LH Gusti Muhammad Hatta dalam petemuan pertemuan ke-11 Special Session of the UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP) yang dihadiri oleh 192 negara, di Bali, Februari 2010.
21
bahkan diabaikan. Hingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang membawa
dampak bagi kehidupan umat manusia.
Umumnya, kerusakan di bidang lingkungan hidup terjadi akibat dua faktor
utama. Pertama, pengelolaan lingkungan hidup hanya didasarkan pada
kepentingan ekonomi semata, sementara prinsip-prinsip lingkungan hidup seperti
keberlanjutan, kelestarian, pembangunan berwawasan lingkungan, diabaikan.
Kedua, inkonsistensi antara undang-undang lingkungan hidup dengan undang-
undang sektoral yang juga terkait dengan lingkungan hidup; UU Pertambangan
Mineral dan Batu Bara, UU Minyak dan Gas Bumi (Migas), UU Kehutanan, UU
Industri, UU Tata Ruang, UU Kawasan Pemukiman, dan lain-lain telah
memberikan sumbangan cukup signifikan bagi kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup; tanah, air dan udara35.
Peraturan perundang-undangan yang ada pun masih belum mampu
mengcover pengendalian dampak kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Data
dari Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan masih banyaknya peraturan
perundang-undangan yang belum mewadahi dan menaungi lingkungan hidup36.
Tabel 1. Daftar Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sampah
No Bidang Peraturan Jumlah
1 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 3
2 Pengelolaan Sampah 23 Perlindungan dan Pengelolaan Air 16
35 HarianFajar 7 Februari 2012, http://www.negarahukum.com/hukum/menguatkan-lingkungan-hidup-dalam-konstitusi.html 36 Kementerian Lingkungan Hidup, “Daftar Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sampah”, jdih.menlh.go.id diakses pada Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 pukul 22:04.
22
4 Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Berarun (B3) 7
5 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Berarun (LB3) 16
6 Perlindungan dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati 6
7 Perlindungan dan Pengelolaan Tutupan Lahan 3
8 Pelestarian Fungsi Atmosfer 39 Pelestarian Fungsi Udara 010 Perlindungan dan Pengelolaan Laut 0
11 Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 9
12 Pengawasan dan Penegakan Hukum 013 Kapasitas Sumber Daya Manusia 213 Kapasitas Kelembagaan 014 Perjanjian Internasional 615 Perizinan Lingkungan Hidup 0
Jumlah
Terkait dengan permasalahan pengelolaan lingkungan hidup yang
berhubungan dengan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, terdapat
beberapa kajian mengenai celah yang ada. Salah satu contoh adalah kajian oleh
Sarah Waddell (2002), seorang ahli yang bekerja di Program Pengelolaan
Lingkungan Hidup Indonesia-Jerman (ProLH-GTZ). Berdasarkan
pengamatannya, pada tingkat nasional perangkat hukum lingkungan relatif
lengkap, meskipun masih ada celah-celah yang muncul karena substansi peraturan
tidak cukup komprehensif, tidak dapat menggunakan rangkaian perangkat
kebijakan dengan baik atau tidak dapat merumuskan prinsip-prinsip pengelolaan
hidup dalam ketentuan hukum dengan tepat. Beberapa aspek pengelolaan seperti
pengolahan limbah berbahaya dan beracun dan pengendalian zat-zat kimia dari
industri pertanian dikategorikan tidak lengkap, artinya aspek tersebut sudah
23
dianggap sebagai subyek hukum lingkungan namun pengaturannya belum berisi
aspek-aspek penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pada aspek pengelolaan kualitas air tanah, pencemaran udara dari
kebakaran hutan, pengelolaan tanah serta pengendalian tanah terkontaminasi
masih dianggap diabaikan, artinya aspek pengelolaan lingkungan hidup ini belum
dikenal dan dikembangkan sebagai bagian sistem hukum lingkungan hidup,
meskipun hukum-hukum sektoral dalam beberapa hal mungkin sudah diterapkan
(Adnan, 2009).
Aspek pengelolaan sumber daya air, perlindungan daerah pesisir,
perlindungan keanekaragaman hayati diluar kawasan lindung dianggap tidak
terkoordinasi, artinya pokok persoalan ini memerlukan pendekatan hukum yang
terkoordinasi namun ternyata belum dilaksanakan (Adnan, 2009).
Tabel 2. Celah-Celah Penyelewengan Hukum Lingkungan Hidup
Di Tingkat Nasional Dan Daerah
No. Pokok Masalah Tingkat Nasional Tingkat Daerah
1 Pengelolaan Kualitas Air Tawar Ada Ada2 Pengendalian Limbah Cair Ada Ada3 Kualitas Air Tanah Diabaikan Diabaikan4 Kualitas Air Laut Ada Diabaikan
5 Pencemaran Udara dari Sumber Bergerak Ada Diabaikan
6 Pencemaran Udara dari Sumber Tidak Bergerak Ada Tidak lengkap
7 Pencemaran Udara dari Kebakaran Diabaikan Diabaikan
8 Pengelolaan dan Pengendalian Tanah Terkontaminasi Diabaikan Diabaikan
9 Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun Tidak lengkap Diabaikan
10 Pengendalian Zat-zat Kimia dari Industri Pertanian Tidak Lengkap Tidak Lengkap
11 Pengelolaan Tanah Diabaikan Diabaikan
24
12 Pengelolaan Sumber Daya Air Tidak terkoordinasi Tidak terkoordinasi
13 Pengelolaan Hutan Ada Tidak Lengkap14 Perlindungan Lahan Basah Diabaikan Diabaikan
15 Perlindungan Daerah Pesisir Tidak terkoordinasi Tidak terkoordinasi
16 Perlindungan Sumber Daya Laut Diabaikan Diabaikan
17 Perlindungan Keanekaragaman Hayati didalam Kawasan Lindung Ada Ada
18 Perlindungan Keanekaragaman Hayati diluar Kawasan Lindung Tidak terkoordinasi Diabaikan
19 Perlindungan Spesies Langka Tidak lengkap Diabaikan
Tumpang-tindih Kebijakan Pengelolaan Lingkungan dalam Otonomi Daerah
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup
memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat
kepada daerah untuk menyusun desain kebijakan dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Meskipun demikian, antara pemerintah pusat dan daerah seringkali terjadi
tumpang-tindih kebijakan pengelolaan lingkungan dan sering tidak saling
terkoordinasi dengan baik.
Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah
dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut:
Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat
melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum
mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam
pelaksanaan pengelolaan lingkungan, hidup, demikian juga ego sektor.
25
Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlapping antar sektor yang
satu dengan sektor yang lain.
Tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan menunjukkan
bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup)
terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain.
Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan
hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila
mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui
bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan,
namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk
program pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari
APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan
hidup.
Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam
pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung
oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum
mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan
lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara
baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.
Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit
dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak
demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian
26
masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak
diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi
dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan
porsi yang semestinya.
Lemahnya implementasi peraturan perundangan. Peraturan
perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi
dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak
melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan
dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai
tujuannya.
Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam
pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi
pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang
dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah
didalam pemberian sanksi hukum.
Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan
kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah
dan hal ini, perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi
dapat juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan
tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.
Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan
teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang
instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi
27
mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk,
pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal
yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-
temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang
terjadi di daerah-daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi
satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang
pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang
ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah
sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih
diperhatikan dalam pembangunan kita.
Penguatan Konstitusional
Kondisi demikian menyiratkan kekhawatiran akan keberlangsungan
lingkungan hidup di Indonesia. Sehingga perlu dipikirkan solusi untuk mencegah
dan mengatasi masalah lingkungan tersebut.
Tiga undang-undang lingkungan hidup telah dilahirkan; UU LH No
4/1982, UU PLH No 23/1997 dan UUPPLH No 32/2009. Namun undang-undang
tersebut belum mampu mengatasi masalah kerusakan lingkungan yang berdimensi
lintas sektoral. UUPPLH No 32/2009 sebagai perbaikan dan penyempurnaan atas
dua undang-undang sebelumnya nyatanya juga berbenturan dengan peraturan lain
terkait lingkungan hidup. Dalam konteks negara hukum, ia perlu diperkuat
secara top down melalui konstitusi.
28
Ia masih perlu disempurnakan dan di back up secara konstitusional melalui
pengaturan norma lingkungan hidup dalam konstitusi. Norma lingkungan hidup
yang sebelumnya hanya diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 perlu
diperkuat atau diatur dalam bab tersendiri, yang kemudian dijabarkan lagi dalam
sejumlah pasal tentang lingkungan hidup. Norma tentang lingkungan hidup dalam
konstitusi tesebut akan menjadi payung hukum (umbrella act) bagi peraturan
dibawah terkait lingkungan hidup.
Norma lingkungan hidup dalam konstitusi tersebut kemudian menjadi
acuan untuk peraturan turunan bagi undang-undang sektoral terkait lingkungan
hidup dalam rangka pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup.
sehingga ada harmonisasi antara keduanya.
Keberadaan norma atau ketentuan tentang lingkungan atau konsep
pembangunan berkelanjutan di dalam konstitusi akan memiliki pengaruh hukum
yang sangat segnifikan.
Pertama, ketentuan tersebut akan berpengaruh terhadap pengembangan
kebijakan dalam rangka perlindungan nilai-nilai dan prinsip dasar lingkungan
hidup pada skala nasional dan regional.
Kedua, konstitusionalisasi prinsip-prinsip lingkungan hidup akan
menciptakan yuridiksi atas hukum nasional yang berlaku di setiap tingkatan
wilayah pemerintahan, baik provinsi, kota madya, maupun kabupaten, dengan
tingginya kapasitas dan komitmen hukum para penyelenggara negara yang di
wajibkan oleh konstitusi untuk mengelola fungsi-fungsi negara dalam konteks
perlindungan terhadap lingkungan.
29
Ketiga, isi konstitusi juga mempengaruhi hubungan yang akan terbentuk
antara hukum lingkungan yang subtantif dan prosedural, serta sulit tidaknya
hukum lingkungan di tingkat nasional di integrasikan dan diharmonisasikan
dengan norma-norma lingkungan di tingkat internasional. Lebih dari itu,
konstitusi yang memuat ketentuan lingkungan juga akan menentukan arah dan
batas lingkup mengenai hak atas benda (property right) yang kemudian secara
tidak langsung berpengaruh terhadap konsepsi perlindungan atas kepemilikan
pribadi (private ownership).
Terakhir, perlu perumusan “Paket Undang-Undang Lingkungan Hidup”
kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk mengatur pengelolaan,
perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Paket undang-undang lingkungan
hidup ini memuat undang-undang lingkungan hidup serta undang-undang sektoral
terkait lingkungan hidup yang dibahas dalam satu paket agar menyelaraskan
norma pengaturan lingkungan hidup.
Kedaulatan Lingkungan
Kedaulatan lingkungan dapat kita kaitkan dengan istilah Ekokrasi atau
kekuasaan ekologi yang memandang alam semesta berada dalam hubungan
kekuasaan yang seimbang dengan manusia. Dimana, dperlukan adanya perubahan
cara pandang dalam memahami alam semesta dalam hubungannya dengan
manusia. Paradigma berpikir umat manusia haruslah berubah dari alam pikiran
anthropocentris menjadi theocentrisme. Pentingnya kehadiran Tuhan dalam cara
pandang manusia modern perlu disadari, karena seperti dikatakan oleh Wendell
30
Berry dalam bukunya37, “our ecological crisis is a crisis of character, not a
political or social crisis”.
Oleh karena itu, menurut Preston Bristow38 , masalahnya menyangkut
spiritual. Itulah sebabnya, paham Kedaulatan Tuhan juga harus ikut disertakan
dalam pengkajian paradigmatik untuk menyelesaiakan kerusakan lingkungan
hidup yang disebabkan oleh pola hubungan yang tidak seimbang antara manusia
dan alam. Karena terus-menerus melupakan kehadiran Tuhan, manusia merasa
dirinya yang menjadi pusat dari segala-galanya.
Sudah saatnya lingkungan juga dianggap sebagai subjek hukum. Hal yang
harus dianggap sebagai subjek kekuasaan dan hak-hak asasi bukan hanya
manusia, tetapi juga alam semesta. Alam mempunyai hak-hak dasar atau hak-hak
asasinya sendiri untuk tidak dirusak dan diganggu keseimbangannya. Alam dan
manusia dipandang sama-sama mempunyai hak dan kekuasaanya sendiri serta
merupakan subjek hak-hak yang bersifat asasi. Oleh sebab itu, seperti halnya
manusia, alam juga memegang kekuasaan di bidang atau dalam hal-hal tertentu
juga bersifat tertinggi, sehingga hal itu dapat disebut sebagai Kedaulatan
Lingkungan.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah pula mengadopsikan
ide mengenai pentingnya lingkungan alam dalam sistem kekuasaan Negara.
Dalam ketentuan pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang ditetapkan melalui Perubahan
keempat pada taun 2002, yang telah diadopsikan mengenai pentingnya prinsip-
37 Wendell Berry, The Unsetting of America : Culture and Agriculture, (San Francisco, Sierra Club Books, 1996) 38 Preston Bristow, The Roof of Our Ecological Crisis, 2001
31
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan prinsip
pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Diakui dan diterimanya kedua prinsip ini menjadi norma dasar dalam
rumusan hukum tertinggi di Indonesia, menunjukkan bahwa alam pikiran yang
terkandung dalam UUD 1945 mengalami perubahan yang sangat mendasar.
Bangsa Indonesia tidak diperbolehkan melakukan usaha-usaha pembangunan
yang merusak alam dan tidak berwawasan lingkungan. Jika kebijakan-kebijakan
pembangunan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam
UUD 1945, dan kebijakan itu dituangkan dalam bentuk undang-undang yang
mengikat secara hukum, maka undang-undang yang berisi kebijakan yang
bertentangan dengan UUD 1945 itu dapat dibatalkan melalui mekanisme
peradilan konstitusional di Mahkamah Konstitusi39
Artinya, pada alam diakui adanya kekuasaan dan hak-hak asasinya sendiri
yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun (inalienable rights). Alam diakui
memiliki kedaulatanya sendiri. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa UUD
1945 merupakan konstitusi yang hijau (green constitution) meskipun jika
dibandingkan dengan negara-negara yang sudah benar-benar menerapkan
Indonesia masih kalah hijau konstitusinya seperti konstitusi Portugal, Spanyol,
Polandia, Perancis bahkan Ekuador.
Dalam laporan hasil penelitian yang dilakukan lembaga Austarlian Geo
Science yang setara dengan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang dilaporkan
oleh Sunday Morning Herlad beberapa waktu yang lalu bahwa pertumbuhan
39 Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2005; Pelajari juga Jimly Assiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional di Pelbagai Negara, (Jakarta:Konstitusi Press, 2005)
32
penduduk yang tinggi disertai kemiskinan berpotensi menimbulkan dampak
bencana alam di Asia Pasifik yang berlipat ganda akibatnya. Apalagi di tiga titik
terpanas di kawasan Asia Pasifik yaitu Indonesia, Filipina dan Sabuk Himalaya
Cina40.
Kedaulatan lingkungan di sini merupakan bagian terpenting yang menjadi
hakikat dari green constitution itu sendiri. Tanpa terwujudnya kedaulatan
lingkungan, maka green constitution tidak akan berjalan sesuai yang di harapkan.
Berikut contoh ketidakdaulatannya yang menjadikan green legislative yang ada di
Indonesia hanya berakhir menjadi setumpuk uraian yang tidak memiliki arti dalam
peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Berawal ketika BPK mulai meningkatkan kesadaran terhadap masalah
lingkungan dan berpikir untuk merumuskan solusi melalui kapasitas audit41. BPK
memulai untuk menangani aspek lingkungan sebagai topik audit yang baru,
memperkaya fitur konvensional sehari-hari. BPK telah melakukan audit yang
berkaitan dengan isu-isu lingkungan namun proses audit tersebut dilakukan secara
parsial dan tidak berada di bawah label audit lingkungan, seperti pemeriksaan
proyek42.
Tugas audit lingkungan merupakan tonggak untuk pembangunan nasional
Indonesia, diwaktu yang sama, risiko yang melekat pada pembangunan ekonomi
yang sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam tidak terlepas dari
40 Baca Laporan Koran TEMPO 27 Desember 2008 41 Artikel Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia, Tommy Tampubolon: “Isu lingkungan Mengenai Infrastruktur Indonesia”.
42 Artikel Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia, Tommy Tampubolon: “Isu lingkungan Mengenai Infrastruktur Indonesia”.
33
pembangunan masyarakat itu sendiri43. Bersama dengan tetangga terdekat kita,
JAN Malaysia, tiga proyek kerjasama audit manajemen kehutanan, Selat Malaka
Bakau dan IUU fishing control telah berhasil dilaksanakan, yang berubah menjadi
negara yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk selanjutnya
melaksanakan audit lingkungan tersebut44.
Akan tetapi, kendala yang dihadapi oleh BPK adalah beragamnya
peraturan dan ketentuan yang belum harmonis bahkan cenderung saling
bertentangan sehingga BPK terkendala dengan peraturan tersebut yang digunakan
sebagai kriteria dalam pelaksanaan pemeriksaan atau audit45. Hal tersebut dapat
dipahami bahwa isu lingkungan belumlah menjadi perhatian dalam konstitusi
negara Indonesia, yang mengakibatkan masing-masing lembaga tidak
terkoordinasi dalam mengelola isu tersebut dalam ranah yang lebih holistik46.
Hasil audit yang telah dilakukan BPK terhadap lingkungan hidup hanya berakhir
sebagai data dan rekomendasi yang pemerintah sendiri bingung harus
ditindaklanjuti bagaimana, akibat pengaturan lingkungan hidup yang ada di
Indonesia masih belum komprehensif. Padahal, audit yang di lakukan oleh BPK
akan sangat membantu dalam mewujudkan kedaulatan lingkungan yang diidam-
idamkan.
43 Artikel Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia, Tommy Tampubolon: “Isu lingkungan Mengenai Infrastruktur Indonesia”.
44 Artikel Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia, Tommy Tampubolon: “Kisah Sukses Dalam Pengembangan Audit Lingkungan di Indonesia”.
45 Artikel Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia, Tommy Tampubolon: “Kisah Sukses Dalam Pengembangan Audit Lingkungan di Indonesia” 46 Artikel Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia, Tommy Tampubolon: “Kisah Sukses Dalam Pengembangan Audit Lingkungan di Indonesia”
34
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kecintaan kepada tanah air berarti juga kecintaan pada lingkungan yang
menjadi bagian teritorial dari Indonesia. Lebih jauh adalah menerima kenyataan
bahwa keutuhan tanah air yang disebut sebagai NKRI adalah juga menerima
gagasan akan pemeliharaan ke-asli-an fungsi ekosistem atau keotentisitasan suatu
lingkungan dalam menghadapi perubahan karena proses globalisasi. Hal ini
mengarah pada keadilan ekologis, yaitu memberikan kesempatan pada suatu
sumber daya ulayat (Traditional local resurces) atau juga pada kehidupan bukan
manusia (non-human living organism) untuk melakukan pemulihan diri dan
pemulihan ekosistem (ecosystem recovery) dari kerusakan lingkugan.
UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) yang menyebut setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan hidup yang baik dan
sehat serta berharap memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian pasal 33 (4)
yang juga menyebutkan pembangunan berdasarkan prinsip pembanguanan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Secara hukum konstitusi kita sudah
mengakui hak-hak dasar untuk lingkungan yang sehat, akan tetapi,
perwujudannya masih jauh dari harapan.
Berdasarkan kasus yang terjadi di Indonesia, penguatan secara
konstitusional mengenai lingkungan hidup sangat diperlukan. Dimasukkannya
norma tersendiri mengenai lingkungan hidup sebagai payung bagi peraturan
organik di bawahnya, serta mengatur dan mengakomodir kearifan lokal yang
bertujuan menjaga kelestarian ekosistem.
35