Post on 16-Feb-2016
description
Pengelolaan Lumpur
Tujuan Pengelolaan Lumpur
Lumpur yang dihasilkan dari sistem pengolahan air limbah dibedakan atas lumpur kimia-fisika
dan lumpur biologi. Lumpur kimia-fisika berasal dari pemisahan hasil perlakuaan proses fisika-
kimia, sedangkan lumpur biologi berasal dari perlakuan biologi. Umumnya lumpur masih
memiliki kadar air yang cukup tinggi, oleh karenanya perlu perlakuan lumpur yang merupakan
bagian dari penanganan air limbah. Kedua jenis lumpur tersebut harus dikeluarkan dan dibuang
ke luar instalasi pengolahan air limbah (IPAL), tetapi hal ini akan menimbulkan masalah bila
langsung dibuang begitu saja dalam jumlah besar ke tempat penimbunan limbah padat.
Tujuan utama pengolahan lumpur adalah mengurangi volume lumpur dengan cara memisahkan
air dari dalam lumpur sebelum dibuang, agar mempermudah masalah pengangkutan. Untuk itu
pengurangan kandungan air dan volume lumpur merupakan hal yang penting. Lumpur dapat
menimbulkan gangguan lingkungan yang lebih berbahaya dari air limbah mengingat bahwa:
lumpur mengandung pencemar yang lebih terkonsentrasi lumpur tetap memiliki kandungan air
yang tinggi lumpur dapat mengandung jenis pencemar baru yang tidak terkandung sebelumnya
di dalam air limbah akibat dari penambahan bahan kimia dan dari peruraian senyawa yang
terkandung dalam lumpur.
Lumpur yang banyak mengandung padatan diperoleh dari hasil proses pemisahan padat-cair dari
limbah yang sering disebut dengan sludge atau lumpur encer, di dalam sludge tersebut sebagian
besar mengandung air dan hanya beberapa persen berupa zat padat. Umumnya persentase
kandungan air tersebut dapat mencapai 95-99%. Lumpur yang dihasilkan unit pengolahan air
limbah dapat dikelola hingga menjadi abu dengan kadar 0,3 % dengan melalui beberapa tahap
pengolahan yang meliputi proses pemekatan dengan proses thickening, proses dewatering ,
proses pengering dan pembakaran. Filtrat yang dihasilkan dari proses pemekatan dan dewatering
dikembalikan ke unit equalisasi (IPAL) untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut.
Untuk dapat mengelola lumpur secara efektif dan tepat, maka perlu mengetahui karakteristik
lumpur tersebut. Karakteristik lumpur tergantung pada sumber lumpur dan jenis industri
penghasil air limbah serta sistem pengolahan IPAL. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999
memuat daftar dari berbagai jenis industri yang menghasilkan lumpur IPAL yang dianggap
sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Karakteristik dan Jumlah Lumpur
Karakteristik lumpur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sumber lumpur, jenis
industri penghasil air limbah, proses di IPAL, sifat fisik, komposisi kimia serta tingkat
pengolahan yang telah ditentukan. Karakteristik lumpur sangat berbeda untuk setiap jenis
lumpur, sehingga prinsip penanganannya berbeda pula.
Walaupun demikian, kebanyakan industri melakukan penanganan lumpur yang keluar dari IPAL
dalam unit pengolah yang sama. Sebagai contoh lumpur dari industri pulp dan kertas pada
umumnya tersusun dari zat berserat, hidro-gel, fines yang non hydrous terutama yang berasal
dari bahan pengisi (filler) dan tentunya juga air aliran, air kapiler, air adsorpsi dan air sel. Air
aliran pada lumpur dapat dihilangkan dengan cara pengentalan, sedangkan air kapiler
dihilangkan dengan cara mekanis. Untuk jenis air yang lainnya penghilangannya dilakukan
dengan metode thermal. Lumpur yang dihasilkan oleh suatu IPAL dapat dikelompokan dalam 2
jenis, yaitu:
1. Lumpur kimia-fisika (lumpur mineral)
2. Lumpur biologi
Selain ke dua jenis lumpur tersebut diatas ada juga lumpur yang berupa fiber berasal dari proses
produksi, pada umumnya di industri tekstil.
Lumpur Kimia-Fisika (Lumpur Mineral)
Lumpur kimia-fisika merupakan lumpur yang dihasilkan dari proses pemisahan padatan di unit-
unit pengolahan secara fisika-kimia Karakteristik lumpur adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai warna sesuai dengan jenis senyawa kimia yang digunakan
2. Mempunyai kandungan padatan 2-8%,
3. Mempunyai berat jenis yang lebih besar dari lumpur biologi.
Jumlah lumpur kimia – fisika yang dihasilkan tergantung dari:
Beban hidrolik dari unit pengolahan penghasil Lumpur
Efektifitas koagulan dan flokulan yang digunakan
Konsentrasi padatan tersuspensi total (TSS) yang dapat diendapkan
Efisiensi tanki pengendap
Pemisahan air pada lumpur kimia-fisika lebih mudah dilakukan dengan cara seperti
pengentalan yang diikuti penyaringan.
Lumpur Biologi
Lumpur biologi merupakan lumpur yang dihasilkan dari proses pemisahan gumpalan mikroba di
unit pengolahan biologi. Lumpur biologi berasal dari dua bagian yaitu :
1. Mikroba yang mati
2. Organik yang tidak terdegradasi oleh mikroba
Karakteristik lumpur biologi adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai warna coklat.
2. Mempunyai kandungan padatan 0,5-2,5% yang artinya dalam 1 liter lumpur mengandung
air sebanyak 97,5-99,5%.
3. Mempunyai berat jenis yang rendah, sebesar 1,005 g/mL.
4. Mengandung banyak senyawa organik terurai yang mudah membusuk
Jumlah lumpur biologi yang dihasilkan tergantung dari:
Beban hidrolis dari unit pengolahan penghasil lumpur dan beban organik.
Kecepatan pertumbuhan mikroba yang sangat bergantung pada beberapa faktor, antara
lain kondisi proses biologi dan kondisi lingkungan.
Konsentrasi padatan tersuspensi total (TSS) yang dapat diendapkan.
Efisiensi tanki pengendap.
Perlakuan lumpur pada dasarnya berupa pengurangan volume dan meningkatkan
kestabilan sifat lumpur menjadi lebih baik, agar penanganan selanjutnya tidak
menimbulkan permasalahan lingkungan.
Proses Pengolahan Lumpur
Sasaran upaya penanganan lumpur adalah menghasilkan lumpur dengan kandungan padatan
setinggi-tingginya, atau volume yang sekecil-kecilnya dan stabil serta tidak memiliki dampak
lingkungan yang lebih buruk. Peningkatan kandungan padatan (% SS) atau pengurangan kadar
air dapat dilakukan melalui beberapa cara. Umumnya upaya pengelolaan terhadap lumpur
meliputi tahap-tahap pengerjaan:
1. Pengentalan atau pemekatan lumpur (sludge thickening).
2. Stabilisasi lumpur (sludge stabilization).
3. Pengeluaran air (sludge dewatering).
4. Pengeringan lumpur (sludge drying)
Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kelemahannya, sehingga tidak ada satu carapun
yang dapat diterapkan untuk setiap jenis lumpur tertentu. Kecuali Tahap Stabilisasi, seluruh
tahapan lainnya lebih bertujuan untuk meningkatkan kandungan padatan atau pengurangan
kandungan air. Setelah melalui tahapan tersebut tahapan berikutnya adalah Tahap Pembuangan
Akhir.
Umumnya persentase kandungan air tersebut dapat mencapai 95-99%. Lumpur yang dihasilkan
unit pengolahan air limbah dapat diubah menjadi abu dengan kadar 0,3 %. Hal ini dapat
dilakukan melalui beberapa tahap pengolahan yang meliputi proses pemekatan dapat mengurangi
volume dari 100 % dengan proses thickening menjadi 50 %, proses dewatering menjadi 5 %,
proses pengering menjadi 1,44 %, kemudian dilakukan pembakaran sehingga dihasilkan abu
dengan kadar 0,3 %. Filtrat yang dihasilkan dari proses pemekatan dan dewatering dikembalikan
ke unit equalisasi (IPAL) untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut.
Pengentalan Lumpur (Sludge Thickening )
Proses pengentalan lumpur bertujuan untuk meningkatkan kekentalan atau kandungan padatan
dalam lumpur dengan cara pengeluaran air. Pada umumnya lumpur yang dihasilkan dari unit
pengolahan air limbah masih encer dengan kandungan padatan antara 0,5-1,0% atau kandungan
air 99,5-99%, sehingga perlu dipekatkan secara gravitasi hingga 2-3% atau kandungan air 97-
98% dengan menggunakan thickener. Pada proses pengentalan tersebut lumpur sebelumnya
perlu dikondisikan dengan cara fisika maupun fisika-kimia, agar dapat menggumpal sehingga air
lebih mudah dipisahkan.
Pemisahan air dari lumpur kimia-fisika lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan lumpur
biologi. Hal ini disebabkan air yang terkandung dalam lumpur biologi adalah hasil perlakuan
biologi yang 80% merupakan air sel bakteri. Konsentrasi lumpur sangat mempengaruhi kinerja
alat pengeluaran air dan kandungan air dalam lumpur pekat (cake).
A. Pengentalan Lumpur secara Gravitasi
Pengentalan lumpur secara gravitasi adalah salah satu metode yang umum digunakan. Unit
pengental gravitasi bekerja dengan gaya gravitasi seperti halnya dengan tangki pengendap
lainnya. Prinsip dasar dan bentuk unit ini juga menyerupai tangki pengendap yang biasa,
perbedaannya hanya pada nilai beban permukaan yang lebih rendah. Alat ini berbentuk tangki
bundar dilengkapi dengan penggaruk lumpur.
Pada umumnya diameter tanki tidak lebih dari 25 m dengan kedalaman sekitar 4 m, dengan
maksimum hydraulic overflow rate antara 15,5-31 m3/m2, hari untuk lumpur kimia-fisika,
sedangkan untuk lumpur biologi antara 4-8 m3/m2, hari, begitu pula untuk lumpur campuran
kimia-fisika dengan biologi sekitar 6-12 m3/m2, hari.
Dari data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa dengan alat ini kepekatan lumpur
kimia-fisika dapat mencapai kadar padatan kering 5-10% atau kandungan air 90-95%, sedangkan
untuk lumpur biologi hanya mencapai kadar padatan kering antara 2-3% kandungan air antara
97-98%. Hasil pengentalan yang diperoleh untuk lumpur campuran dari lumpur kimia – fisika
dan lumpur biologi mencapai kepekatan dengan kadar padatan kering 2-8% atau kandungan air
92-98%,. Unit pengental gravitasi umumnya digunakan sebagai unit pertama di dalam bagian
penanganan lumpur.
Kelebihan dengan cara ini adalah mudah dalam pengoperasian dan perawatan (maintenance).
Kelemahan dengan cara ini adalah seringkali timbul lumpur yang naik ke atas (sludge floating)
akibat dari terlalu lama lumpur berada dalam bak lumpur karena tidak cepat dikeluarkan. Hal ini
dapat menyebabkan kondisi anaerobik sehingga menghasilkan gas. Gas tersebut akan membawa
sekelompok lumpur ke permukaan. Ciri-ciri lumpur tersebut adalah berbau dan berwarna hitam.
B. Pemekatan Lumpur secara Flotasi (Floating Thickening)
Prinsip kerja sama dengan proses flotasi untuk pengolahan air limbah. Alat penggaruk lumpur
terdapat di sebelah atas maupun di bagian bawah. Dibandingkan dengan pemekatan lumpur
secara gravitasi, alat ini lebih sukar pengoperasiannya dan diperlukan pula penambahan bahan
kimia polimer untuk meningkatkan konsentarasi lumpur dari 85% menjadi 98%. Dengan
terkonsentrasinya lumpur dapat meningkatkan efisiensi alat. Pemakaian bahan kimia polimer
untuk memekatkan lumpur biologi sekitar 2-5 kg berat kering polimer/ mg zatpadat. Penggunaan
rasio udara-padatan sangat mempengaruhi kinerja sistem ini, pada umumnya nilai rasio udara
padatan bervariasi, maksimum pada kisaran dari 2-4% untuk mengapungkan zat padat.
Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 4-6% atau kandungan
air 94-96% untuk lumpur biologi dengan penambahan bahan kimia polimer, sedangkan tanpa
penambahan bahan kimia polimer kadar padatan kering hanya mencapai 3-5% atau kandungan
air 95-97%. Kelebihan cara ini adalah waktu tinggal jauh lebih singkat yaitu sekitar 15 – 30
menit dan hasil lumpur lebih pekat, sehingga volume lumpur lebih sedikit. Kelemahan cara ini
adalah cara pengoperasian lebih sulit, biaya operasional tinggi, karena ada penambahan bahan
kimia, biaya perawatan relatif tinggi dan penggunaan listrik cukup besar. Sistem penyapuan
lumpur (scrapper) menggunakan rantai sering bermasalah karena terdapat bagian yang
bergesekan. Permasalahan scrapper dapat diatasi dengan mengganti rantai penggerak secara
periodik.
Tabel Perbandingan Metode Pemekatan Lumpur
1) Metode PemekatanBagian :
Pemekatan secara gravitasi
Pemekatan secara mekanis
2) Tipe Dekantasi
3) Tipe Penyaringan
4) Stabilisasi Lumpur (sludge stabilization)
Stabilisasi lumpur merupakan upaya mengurangi kandungan senyawa organik dalam lumpur atau
mencegah aktivitas mikroorganisme. Tujuan stabilisasi lumpur adalah agar lumpur menjadi
stabil dan tidak menimbulkan bau busuk dan gangguan kesehatan saat dilakukan proses maupun
saat pembuangan ke lingkungan. Stabilisasi lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Digestasi anaerobik
Proses ini merupakan suatu proses degradasi senyawa organik dalam lumpur secara anaerobik.
Stabilisasi ini biasanya hanya untuk lumpur biologi dan dilakukan sebelum proses pengeluaran
air dari lumpur. Dengan proses digestasi ini, sekitar 50% senyawa organik dalam lumpur dapat
diubah menjadi gas bio yang tersusun dari metan (CH4) dan CO2 apabila di dalam senyawa
organik tersebut terdapat kandungan sulfur, maka dihasilkan H2S.
Produk gas bio ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi, sedangkan
lumpur sisa yang diperoleh bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Digestasi lumpur dilakukan dalam
tangki tertutup dengan sistem pengeluaran gas dan dapat dilengkapi dengan sistem pengadukan.
Waktu retensi yang diperlukan antara 10-20 hari dengan beban padatan antara 2-4 kg/m3. Hasil
pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2-5% atau kandungan air 95-
98% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar
padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%.
Kelebihan sistem ini adalah pengurangan volume lumpur dengan penguraian dalam artian
pengurangan lumpur diubah menjadi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas.
Kelemahan dari sistem ini adalah cara pengoperasiannya agak sulit.
2. Stabilisasi aerobik
Pada prinsipnya proses ini sama seperti proses lumpur aktif pada pengolahan air limbah, yaitu
degradasi senyawa organik dalam lumpur terjadi secara aerobik. Proses stabilisasi aerobik dapat
dilakukan dalam suatu tanki terbuka, sebelum ataupun setelah dilakukan proses pengeluaran air
dari dalam lumpur. Metode stabilisasi aerobik lumpur yang sudah mengalami proses pengeluaran
air merupakan bentuk pengomposan yang banyak dilakukan di industri.
Proses stabilisasi dilakukan dengan beban padatan berkisar antara 1,6-4,8 kg/m3,jam dengan
waktu retensi 10-15 hari. Udara dimasukkan ke dalam tanki untuk mensuplai oksigen, sehingga
kadar oksigen terlarut dapat diperhatikan minimal 1-2 mg/L. Dengan pengaturan pH,
kelembaban suhu dan penambahan nutrisi yang sesuai, maka lumpur hasil proses stabilisasi
dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan
kering antara 2,5-7% atau kandungan air 93-97,5% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk
lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau
kandungan air 96-98,5%.
Kelebihan sistem ini adalah lebih mudah dalam pengoperasian dan mudah dalam pengontrolan.
Kelemahan dari sistem ini adalah banyak membutuhkan energi, yaitu energi listrik untuk
pembangkit oksigen.
3. Stabilisasi dengan kapur
Penambahan kapur ke dalam lumpur mengakibatkan aktifitas mikroorganisme terhenti, tetapi
tidak mempengaruhi kandungan senyawa organik dalam lumpur. Proses stabilisasi ini umumnya
dilakukan untuk mengatasi masalah bau yang timbul. Untuk menjamin lumpur tetap stabil, maka
pH lumpur harus dipertahankan di atas pH 11,8. Metoda stabilisasi ini perlu pengawasan pH dan
juga perlakuan pencampuran bahan kimia kapur dengan lumpur secara baik agar pH lumpur
homogen.
Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 3-6% atau kandungan
air 94-97% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi
kadar padatan kering hanya mencapai 1-1,5% atau kandungan air 98,5-99%.
Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian mudah dan biaya operasional relatif rendah.
Kelemahan sistem ini adalah tidak terjadi pengurangan kandungan air atau volume lumpur. Pada
pengoperasian sistem ini sering terjadi perubahan nilai pH sehingga perlu dipantau terus
menerus.
Pengeluaran air dari lumpur (sludge dewatering)
Tujuan proses pengeluaran air lumpur ialah menghilangkan sebanyak mungkin air yang
terkandung dalam lumpur setelah proses pengentalan. Persyaratan kadar padatan kering lumpur
yang diinginkan tergantung pada penanganan akhir yang akan dilakukan, umumnya berkisar
30%. Proses pengeluaran air lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain
menggunakan alat:
A. Belt press
B. Filter press
C. Screw press
D. Drying bed
E. Centrifugal
F. Rotary drum vacuum filter
1) Belt Press
Proses pengeluaran air lumpur yang digunakan di industri antara lain belt filter press. Tipe alat
ini banyak digunakan di industri pulp dan kertas. Pengeluaran air dari lumpur yang dapat
dilakukan dengan alat ini melalui 2 tahapan, :
1. Daerah Pengeluaran Air (Draining Zone)
Pada daerah ini lumpur mengalir dan tersebar secara merata di atas lembaran wire. Pengeluaran
air dilakukan tanpa tekanan, hanya mengandalkan gravitasi sampai mencapai kadar padatan
tertentu, selanjutnya lumpur memasuki daerah pengeringan bertekanan.
2. Daerah Pengeringan Bertekanan (Pressing Zone)
Air keluar dari lumpur dengan cara dijepit di antara dua belt atau wire sambil ditekan oleh rol
secara bertahap di daerah pressing zone, dengan tekanan meningkat sejalan dengan mengecilnya
rol. Pada saat dijepit, air diperas keluar sampai akhir daerah bertekanan, yang selanjutnya
memasuki daerah pengelupasan lumpur dari belt atau wire (share zone). Sebelum difungsikan
kembali di daerah pengeluaran air, belt atau wire perlu dicuci dahulu.
Umumnya kadar padatan kering yang bisa dicapai antara 30-40% atau kandungan air 60-70%,
untuk lumpur kimia- fisika dan 22-30% atau kandungan air 70-78%, untuk lumpur biologi.
Pengkondisian lumpur dengan menambahkan polimer perlu dilakukan untuk mempercepat dan
mempermudah pengeluaran air.
Alat pengering lumpur dirancang untuk beban 150-300 kg padatan kering/m lebar wire per jam
untuk lumpur yang sulit dipisahkan airnya, sedangkan untuk lumpur yang mudah dipisahkan
airnya 250-500 kg padatan kering/m lebar wire/jam. Belt penjepit baik bagian atas maupun
bawah, setelah melepaskan lumpur, perlu dicuci sebelum difungsikan kembali di daerah
pengeluaran air.
Kelebihan alat ini adalah kapasitas olah yang besar dan kandungan padatan kering yang relatif
tinggi. Kelemahan yaitu membutuhkan biaya operasional yang relatif tinggi karena penggunaan
bahan kimia polielektrolit yang tinggi dan kebutuhan energi listrik yang besar. Disamping itu
maintenance membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan operasional lebih sulit karena
permasalahan di belt/wire dan tracking sistem (alat pengarah belt/wire).
2) Filter Press
Prinsip kerja sistem ini adalah memberi tekanan pada lumpur yang berada di antara lempengan-
lempengan filter (filter plate). Tekanan diberikan melalui gaya hidrolik di kedua sisi lempengan.
Filter ini tersusun dari plate and frame filter berjumlah banyak, dimana bagian dalam dari frame
tersebut ditarik oleh filter kain yang bersambungan. Setelah frame terkunci karena tekanan
hidrolik atau tekanan tangan, lumpur akan tertekan masuk dari tabung suplai ke dalam ruang
filtrasi. Air yang tersaring karena tekanan itu akan jatuh dari frame, lumpur akan mengental
karena kehilangan air dan tersiasa di bagian dalam.
Penambahan tekanan berkisar antara 1-10 kgf/cm2, tetapi karena resistan tekanan yang masuk
bertambah besar, maka akan terbentuk cukup adonan di bagian dalam. Apabila sudah terjadi
kondisi seperti ini maka pengisian lumpur dihentikan. Tipe alat penyaring tekanan ini umumnya
digunakan di industri kecil, antara lain seperti industri tekstil. Kelebihan dari sistem ini adalah
sederhana dalam konstruksi dan biaya operasional yang relatif lebih rendah. Kelemahan adalah
hanya dapat digunakan untuk penanganan lumpur yang sedikit.
3) Drying Bed
Salah satu metode paling sederhana adalah drying bed atau bak pengering lumpur. Pengeluaran
air lumpur dilakukan melalui media pengering secara gravitasi dan penguapan sinar matahari.
Lumpur yang berasal dari pengolahan air limbah secara langsung tanpa proses pemekatan
terlebih dahulu dapat dikeringkan dengan drying bed. Deskripsi bak pengering berupa bak
dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-20 cm dan batu kerikil sebagai penyangga pasir
antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring (filtrat) di bagian bawah bak. Pada bagian dasar bak
pengering dibuat saluran atau pipa pembuangan air dan di atasnya diberi lapisan kerikil
(diameter 10-30 mmÆ) setebal 20 cm dan lapisan pasir kasar (3-5 mmÆ) setebal 20-30 cm.
Media penyaring merupakan bahan yang memiliki pori besar untuk ditembus air. Pasir, ijuk dan
kerikil merupakan media penyaring yang sering digunakan. Pengisian lumpur ke bak pengering
sebaiknya dilakukan 1 kali sehari dengan ketebalan lumpur di bawah 15 cm. Mengingat
keterbatasan daya tembus panas matahari, maka kedalaman bak ikurang dari 50 cm. Jika lumpur
masuk terlalu banyak, permukaan lumpur tampak mengering tetapi lapisan bawah masih basah,
sehingga pengurangan air perlu waktu berhari-hari. Jika saringan tersumbat maka air tidak dapat
keluar, sehingga pengurangan kadar air tidak terjadi.
Pengurangan kandungan air dalam lumpur menggunakan sistem pengeringan alami dengan
matahari, maka air akan keluar melalui saringan dan penguapan. Pada mulanya keluarnya air
melalui saringan berjalan lancar dan kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi jika bahan
penyaring (pasir) tersumbat maka proses pengurangan air hanya tergantung kecepatan
penguapan.
Kecepatan pengurangan air pada bak pengering lumpur seperti ini bergantung pada penguapan
dan penyaringan, dan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti suhu, kelembaban,
kecepatan angin, sinar matahari, hujan, ketebalan lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang
masuk dan struktur kolam pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari.
Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian yang sangat sederhana dan mudah, biaya operasional
relatif rendah dan hasil olahan lumpur bisa kering atau kandungan padatan yang tinggi.
Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan yang luas dan sangat tergantung cuaca.
4) Screw Press
Screw press seperti terlihat di Gambar 9.10 menghasilkan lumpur kering (cake) dengan kadar
padatan kering 30 – 70% atau kandungan air 30-70%. Apabila lumpur yang akan diolah berasal
dari campuran lumpur kimia-fisika dengan lumpur biologi, maka perlu ditambahkan koagulan
polimer atau polielektrolit (PE), sebaliknya apabila hanya berasal dari lumpur kimia-fisika tanpa
penambahan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), dengan pemakaian umumnya sekitar 1-2
ppm.
Besarnya tekanan yang dihasilkan tergantung dari pengaturan perbedaan jarak antara puncak ulir
tekan sepanjang poros dengan kekuatan tekan flange penahan yang ditentukan oleh kondisi dan
jumlah pegas yang digunakan alat screw press sangat hemat energi. Penggunaan alat screw press
makin banyak diterapkan di industri khususnya industri pulp dan kertas.
5) Centrifugal
Pada prinsipnya alat ini memisahkan padatan dalam lumpur dari cairan melalui proses
sedimentasi dan sentrifugasi. Ada beberapa tipe sentrifugasi tetapi yang umum digunakan adalah
tabung horizontal berbentuk kerucut-silindris yang di dalamnya dilengkapi juga dengan screw
conveyor yang dapat berputar. Kecepatan putaran conveyor ini sedikit lebih lambat dibandingkan
dengan putaran tabung horizontal.
Lumpur masuk melalui suatu tabung yang tak bergerak terletak sepanjang garis pusat tabung,
kemudian didorong keluar oleh conveyor dan didistribusikan ke bagian sisi tabung. Lumpur
mengendap dan dipadatkan oleh adanya kekuatan centrifugasi, kemudian dibawa oleh conveyor
ke daerah pengeringan dalam tabung di bagian yang runcing, cairannya yang telah terpisah
dikeluarkan di bagian yang lainnya. Pada sistem ini padatan kering mencapai sampai 50% atau
kandungan air 50%. Pengkondisian lumpur dengan menambahkan koagulan polimer adalah
untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air. Pemakaian koagulan polimer antara 2 –
6 kg/ton padatan lumpur kering.
Biaya investasi dan operasi alat sentrifugal mahal, karena diperlukan bahan kimia pengkondisi
dan konsumsi energi listrik yang tinggi. Biaya pemeliharaannya juga tinggi jika dibandingkan
dengan alat yang lain.
6) Rotary Drum Vacuum Filter
Penyaringan terjadi pada permukaan drum yang berputar. Drum berputar ini dibagi dalam
beberapa bagian yang masing – masing berada di bawah tekanan vakum. Sekitar 20 – 40%
bagian drum akan terendam lumpur dan mengambil zat padat membentuk padatan lumpur yang
menempel di permukaan karena diserap pompa vakum. Sebelum bagian drum dengan padatan
lumpur yang menempel terendam kembali, padatan tersebut akan terlepas setelah dicuci.
Lumpur kimia-fisika dapat dikeluarkan airnya sampai mencapai padatan kering sebesar 7-9%
atau kandungan air 91-93% tanpa perlu dikondisikan dahulu dengan bahan kimia. Lumpur
biologi mencapai padatan kering sebesar 4-9% atau kandungan air 91-96%, sedangkan lumpur
campuran mencapai padatan kering sebesar 5-9% atau kandungan air 91-95%. Beban lumpur
kimia – fisika umumnya 30 kg padatan kering /m2 jam, sedangkan untuk lumpur biologi atau
lumpur campuran bebannya lebih kecil yaitu 10 -20 kg padatan kering/m2jam dengan hasil
padatan kering sekitar 15% dan sebelumnya perlu dikondisikan terlebih dahulu.
Kelebihan dari cara ini adalah kapasitas pengolahan yang besar. Kelemahannya adalah
pencapaian padatan kering yang masih rendah dan alat ini lebih cocok digunakan untuk lumpur
yang berserat.
Tabel Perbandingan Beberapa Cara Alat Pemekat Lumpur
Pemekat Sentrifugal
Pemekat Bertekanan
Saringan Beltpress
Pemekat
Multi Disc
Pemekat
Screw Press
Pembuangan Akhir (Sludge Landfilling)
Pada tahap akhir, lumpur dibuang ke lingkungan dengan aman dan tidak menimbulkan dampak
negatif lingkungan. Pembuangan langsung ke lingkungan dapat menimbulkan dampak
lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sludge landfilling merupakan
tahap akhir dari pengelolaan lumpur. Pengelompokan Lumpur B3 antara lain dilakukan
berdasarkan:
1) Jenis senyawa kimia yang dikandungnya (sumber tidak spesifik).
2) Jenis industri penghasil lumpur (sumber tidak spesifik).
Pembungan akhir limbah lumpur B3 harus dilakukan di lokasi yang ditunjuk oleh pemerintah.
pihak industri dapat membuat fasilitas khusus, walaupun persyaratan dan prosedur rumit. Lokasi
pembuangan akhir limbah padat atau landfill merupakan lokasi khusus yang diperuntukkan
sebagai tempat penimbunan lumpur dengan desain yang dilengkapi sistem tempat pengumpulan
dan pengolahan lindi. Syarat-syarat lokasi penimbunan cake menurut persyaratan landfill yang
baik adalah:
Lokasi Landfill (Kep-01/Bapedal/09/1999)
Daerah yang bebas dari banjir seratus tahunan
Bukan kawasan lindung
Secara geologi dinyatakan aman-stabil tidak rawan bencana
Bukan daerah resapan air tanah tidak tertekan
Bukan daerah genangan air, berjarak 500 m dari aliran sungai yang mengalir sepanjang
tahun, danau, waduk untuk irigasi pertanian dan air bersih
Program pemantauan Landfill yang perlu diperhatikan:
1) Lindi (Leachate) yang dihasilkan dari limbah
2) Jumlah kebocoran lindi yang melewati lapisan landfill
3) Migrasi gas yang melewati lapisan landfill
4) Kualitas air tanah sekitar lokasi landfill
5) Karakteristik gas dalam limbah ( tekanan, suhu, kandungan gas metan)
6) Gas dalam tanah dan atmosfer disekitar lokasi landfill
7) Jumlah dan kualitas lindi dalam tanki pengumpul lindi
Sumber : https://muhammadyusuffirdaus.wordpress.com/2012/06/16/pengelolaan-lumpur/