Post on 02-Dec-2015
description
PENGARUH OKRA (ABELMOSCHUS ESCULENTUS)
TERHADAP DIABETES MELITUS
OLEH:
MELISA PUTRI
2011-060-091
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
2014
i
PENGARUH OKRA (ABELMOSCHUS ESCULENTUS)
TERHADAP DIABETES MELITUS
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH:
MELISA PUTRI
2011-060-091
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
2014
ii
2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya Tulis Ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri, dan tidak ada bagian dari
tulisan ini yang telah dipublikasikan dan merupakan hak intelektual pihak lainnya,
kecuali yang telah dinyatakan dalam referensi. Apabila saya melanggar pernyataan
ini, saya bersedia untuk menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di
lingkungan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
NAMA : MELISA PUTRI
NIM : 2011-060-091
Jakarta, 21 November 2014
Melisa Putri
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan
Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jakarta, 21 November 2014
Komisi Pembimbing
Ketua
(dr. Karim Susanto, MS)
Anggota
(dr. Sandy Vitria Kurniawan, M.Biomed)
iv
PANITIA SIDANG KARYA TULIS ILMIAH UNIVERSITAS
KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA FAKULTAS
KEDOKTERAN
Jakarta, 21 November 2014
Ketua
(dr. Karim Susanto, MS)
Anggota
(dr. Sandy Vitria Kurniawan, M.Biomed)
v
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA
Jakarta, 21 November 2014
ABSTRAK
Pengaruh Okra (Abelmoschus esculentus) Terhadap Diabetes Melitus
Oleh:
MELISA PUTRI
Dibimbing oleh KARIM SUSANTO
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang disebabkan karena kurangnya
sekresi insulin atau terjadi resistensi insulin pada jaringan. Penyakit ini ditandai
dengan hiperglikemia. Saat ini, diabetes mellitus merupakan salah satu dari 10
penyakit penyebab kematian terbanyak di dunia. Okra (Abelmoschus esculentus)
merupakan salah satu jenis sayuran yang memiliki banyak manfaat medis. Salah satu
manfaat okra adalah sebagai antidiabetes. Dari hasil studi literatur yang telah
dilakukan, diketahui bahwa okra mengandung 2 glikosida flavonol yang berfungsi
untuk menghambat enzim α-glukosidase. Viscous Soluble Dietary Fibers (VSDF)
okra berperan dalam menurunkan absopsi glukosa pada usus. Mekanisme kerja okra
lainnya adalah dengan menghambat enzim α-amilase dan meningkatkan sensitivitas
jaringan terhadap insulin. Hasil berbagai penelitian menunjukan bahwa ekstrak okra
dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah. Dalam studi kepustakaan ini, akan
dibahas lebih lanjut mengenai potensi okra sebagai terapi diabetes melitus.
Kata kunci : okra, Abelmoschus esculentus, diabetes melitus
vi
FACULTY OF MEDICINE
ATMA JAYA CATHOLIC UNIVERSITY OF INDONESIA
Jakarta, November 21st 2014
ABSTRACT
Effects of Okra (Abelmoschus esculentus) in Diabetes Mellitus
By:
MELISA PUTRI
Mentored by KARIM SUSANTO
Diabetes mellitus is a chronic disease caused by insufficient secretion of
insulin or target tissue insulin resistance. This disease is marked by hyperglycemia.
Nowdays, diabetes mellitus is one of 10 leading causes of death in the world. Okra
(Abelmoschus esculentus) is a vegetable that has many medicinal properties. One of
okra’s benefits is antidiabetic activity. The result from this literature study shows
that okra contains two flavonol glycosides that inhibit α-glucosidase. Viscous
Soluble Dietary Fibers (VSDF) of okra is responsible for lowering intestinal glucose
absorption. The other mechanisms of action are inhibition of α-amylase and
increasing tissues sensitivity to insulin. Results from many studies show okra extracts
decrease blood glucose. This literature study provides information about okra’s
potential as treatment to diabetes mellitus.
Key words : okra, Abelmoschus esculentus, diabetes mellitus
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan
dan berkat yang diberikan selama penulisan Karya Tulis Ilmiah ini sampai selesai.
Karya Tulis Ilmiah studi kepustakaan yang berjudul Pengaruh Okra
(Abelmoschus esculentus) Terhadap Diabetes Melitus ini disusun untuk melengkapi
dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran di
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta. Penulis menyadari kurangnya
perhatian terhadap penyakit diabetes melitus yang banyak terdapat pada masyarakat
dan pentingnya mengetahui alternatif terapi terbaru yang sedang dikembangkan.
Karya Tulis Ilmiah ini mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. dr. Karim Susanto, MS sebagai dosen pembimbing dan penguji Karya
Tulis Ilmiah ini.
2. dr. Sandy Vitria Kurniawan, M.Biomed, sebagai penguji seminar dan
sidang Karya Tulis Ilmiah ini.
3. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan secara moral dan
spiritual kepada penulis.
4. Teman-teman Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya yang telah memberikan dukungan moral.
5. Pihak-pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penyusunan
Karya Tulis Ilmiah ini yang tidak dapat kami tuliskan satu persatu.
Manusia dalam kehidupan ini pasti pernah melakukan kesalahan. Penulis
menyadari Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun sebagai
masukan di karya tulis yang akan datang. Penulis juga memohon maaf jika ada kata-
kata penulis yang kurang berkenan di hati para pembaca. Akhir kata, penulis
berharap bahwa Karya Tulis Ilmiah ini dapat membantu dan menambah wawasan
para pembaca.
Jakarta, 21 November 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................. iii
PANITIA SIDANG ................................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
ABSTRACT ................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2
1.3.1. Tujuan Umum ................................................................................... 2
1.3.2. Tujuan Khusus .................................................................................. 2
1.4. Manfaat Penulisan ...................................................................................... 3
1.4.1. Bidang Akademik ............................................................................. 3
1.4.2. Pelayanan Masyarakat ...................................................................... 3
1.4.3. Pengembangan Penelitian ................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus ......................................................................................... 4
2.1.1. Anatomi dan Histologi Pankreas ...................................................... 4
2.1.2. Fisiologi Insulin ................................................................................ 6
2.1.3. Definisi Diabetes Melitus ................................................................. 8
2.1.4. Penapisan dan Diagnosis Diabetes Melitus...................................... 8
2.1.5. Klasifikasi Diabetes Melitus .......................................................... 10
2.1.6. Epidemiologi dan Faktor Risiko Diabetes Melitus ........................ 11
ix
2.1.7. Patofisiologi Diabetes Melitus ....................................................... 12
2.1.8. Tatalaksana Diabetes Melitus ........................................................ 14
2.2. Okra (Abelmoschus esculentus) ................................................................ 16
2.2.1. Gambaran Umum dan Taksonomi Okra ....................................... 16
2.2.2. Komposisi Okra ............................................................................. 17
2.2.3. Fungsi Okra .................................................................................... 18
2.2.4. Harga Okra ..................................................................................... 19
BAB III HIPOTESA ................................................................................................ 20
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 21
BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................... 22
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 28
6.1. Kesimpulan ............................................................................................... 28
6.2. Saran ......................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 30
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Arteri dan vena pankreas .......................................................................... 4
Gambar 2.2 Pulau langerhans pankreas dengan pewarnaan HE .................................. 5
Gambar 2.3 Jenis - jenis sel pulau langerhans pankreas .............................................. 6
Gambar 2.4 Konversi pro-insulin menjadi insulin dan peptida C ................................ 6
Gambar 2.5 Proses aktivasi GLUT 4 oleh insulin........................................................ 7
Gambar 2.6 Proses sekresi insulin oleh sel beta pankreas ........................................... 8
Gambar 2.7 Patofisiologi diabetes melitus tipe 1....................................................... 13
Gambar 2.8 Patofisiologi diabetes melitus tipe 2....................................................... 13
Gambar 2.9 Tanaman okra (Abelmoschus esculentus) .............................................. 17
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus (DM) .................................................. 9
Tabel 2.2 Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan
Penyaring DM .............................................................................................. 9
Tabel 2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA 2009) ................................................. 10
Tabel 2.4 Berbagai Sediaan Insulin ........................................................................... 14
Tabel 2.5 Taksonomi Okra (Abelmoschus esculentus) .............................................. 17
Tabel 2.6 Komposisi Okra (Abelmoschus esculentus) per 100 g ............................... 18
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
defisiensi pada produksi insulin di pankreas, atau insulin yang telah
diproduksi tidak dapat bekerja dengan efektif. Defisiensi dan kerusakan
insulin menyebabkan konsentrasi glukosa dalam darah meningkat.
Peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah dapat menyebabkan kerusakan
pada sistem tubuh, terutama pada pembuluh darah dan saraf. 1
Secara umum, diabetes melitus memiliki dua tipe, yaitu tipe 1 dan tipe
2. Diabetes melitus tipe 1 merupakan diabetes yang tidak diketahui
penyebabnya, sedangkan tipe 2 merupakan diabetes yang terjadi karena gaya
hidup yang tidak sehat. Faktor risiko untuk diabetes melitus tipe 1 meliputi
faktor genetik, faktor ras dan faktor geografi. Pada diabetes melitus tipe 2,
faktor risikonya adalah obesitas, kurang berolahraga, tekanan darah tinggi,
kadar HDL yang rendah, dan kadar trigliserida yang tinggi dalam darah.2
Prevalensi diabetes di dunia untuk semua umur diperkirakan 2,8 %
pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun 2030.3 Berdasarkan laporan World
Health Organization (WHO), jumlah penderita diabetes di dunia saat ini
mencapai 347 juta orang. Pada tahun 2004, sebanyak 3,4 juta orang
meninggal karena diabetes. Pada tahun 2030, diabetes dapat menduduki
peringkat ke-7 penyebab kematian terbanyak di dunia.4
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi
diabetes melitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Hasil riset kesehatan
dasar (riskesdas) pada tahun 2007 menunjukan bahwa proporsi penyebab
kematian akibat diabetes melitus pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah
perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%, sedangkan di daerah
pedesaan, diabetes melitus menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.5
Okra (Abelmoschus esculentus) atau yang sering disebut dengan
lady’s finger, merupakan salah satu jenis sayuran yang tumbuh di daerah
tropikal dan subtropikal.6,7
Okra berasal dari India dan dimakan sebagai
sayuran pada salad dan sup dan biasanya digunakan sebagai pengental
masakan di berbagai negara.6
2
Okra diyakini dapat menurunkan kadar gula di dalam darah. Di Turki,
biji okra direbus dengan air, kemudian air hasil rebusan tersebut yang
biasanya akan diminum oleh pasien dengan kadar gula darah yang tinggi.
Sejauh ini, okra telah diakui sebagai salah satu tanaman untuk pengobatan
tradisional Turki.8
Okra telah dibudidayakan sejak ratusan tahun silam di Indonesia,
namun okra kurang dikenal oleh masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kurangnya sosialisasi mengenai manfaat okra. Di Jakarta, selama
beberapa tahun terakhir ini, okra mulai dicari karena beredar berita bahwa
tanaman okra baik untuk penderita diabetes.9
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian terdahulu yang kami dapatkan, maka
dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana pengaruh okra (Abelmoschus esculentus) terhadap
diabetes melitus?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh okra (Abelmoschus esculentus) terhadap
diabetes melitus.
1.3.2. Tujuan Khusus
- Mengetahui zat yang terkandung dalam okra (Abelmoschus
esculentus) yang berperan dalam penurunan gula darah.
- Mengetahui mekanisme zat-zat yang terdapat dalam okra
(Abelmoschus esculentus) dan hubungannya dengan pengobatan
diabetes melitus.
3
1.4. Manfaat Penulisan
1.4.1. Bidang Akademik
Menambah wawasan dan pengetahuan akademis mengenai
okra (Abelmoschus esculentus) sebagai salah satu pengobatan untuk
diabetes melitus. Pengetahuan ini diharapkan dapat berguna untuk
mengurangi prevalensi diabetes melitus.
1.4.2. Pelayanan Masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat mengenai peranan okra
(Abelmoschus esculentus) terhadap pengobatan diabetes melitus. Okra
(Abelmoschus esculentus) dapat berperan sebagai pengobatan
alternatif diabetes melitus. Selain itu, okra (Abelmoschus esculentus)
juga dapat ditemukan di pasar tradisional dengan harga yang murah.
Pengetahuan ini diharapkan dapat diterapkan oleh masyarakat untuk
mengobati diabetes melitus.
1.4.3. Pengembangan Penelitian
Hasil penulisan ini dapat dikembangkan sebagai bahan
masukan untuk melakukan penelitian.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Anatomi dan Histologi Pankreas
Pankreas adalah organ aksesori pencernaan yang terletak pada
retroperitoneal. Pankreas terletak setinggi L1 dan L2 vertebra, posterior dari
lambung. Batas kiri pankreas adalah lien, sedangkan batas kanannya adalah
duodenum. Secara anatomi, pankreas dibagi menjadi empat bagian, yaitu
bagian caput, bagian collum, bagian corpus dan bagian cauda.10,11
Suplai arteri pankreas yang utama adalah cabang dari A. lienalis.
Selain itu, A. pankreatikus juga berasal dari percabangan A. gastroduodenal
dan A. mesenterika superior.12
Drainase vena pankreas biasanya melalui V.
pankreas. V. pankreas sebagian besar berasal dari V. lienalis. Nervus yang
terdapat pada pankreas merupakan percabangan dari nervus vagus. Nervus
simpatik dan parasimpatik pada pankreas berjalan bersama arteri dari pleksus
celiaca dan pleksus mesenterika superior.10
Gambar 2.1 Arteri dan vena pankreas10
Pankreas memiliki fungsi endokrin dan eksokrin. Bagian eksokrin
pada pankreas berfungsi untuk mensintesis dan mensekresi enzim-enzim
pencernaan, sedangkan bagian endokrin berfungsi untuk mensintesis dan
mensekresi hormon insulin dan glukagon. Hormon insulin dan glukagon
berfungsi untuk metabolisme glukosa, protein dan lipid dalam tubuh.11,13
5
Bagian eksokrin dapat ditemukan di sepanjang organ pankreas.
Eksokrin pankreas memiliki unit sekresi berbentuk asiner atau tubuloasiner.
Unit asiner ini terbentuk dari selapis sel epitel serosa. Satu unit asiner
biasanya terdiri dari 5 – 8 sel. Sel asiner berbentuk piramid, dan memiliki
granul zimogen yang berwarna merah pada bagian apikal sitoplasmanya.
Bagian basal sitoplasma sel asiner berwarna kebiruan. Hal ini disebabkan
karena banyaknya retikulum endoplasma pada bagian basal (ergastoplasma).
Granul zimogen berisi beragam enzim pencernaan yang belum aktif,
diantaranya adalah enzim amilolitik, enzim proteolitik, lipase, dan enzim
nukeolitik.12, 14
Komponen endokrin dari pankreas terdapat pada pulau - pulau kecil
bernama pulau langerhans. Pulau – pulau ini tersebar di sepanjang organ dan
hanya menempati 1 sampai 2 % volume pankreas.12
Pulau langerhans paling
banyak ditemukan di bagian cauda pankreas.15
Pulau langerhans kaya akan
pembuluh kapiler dan memliki kapsul jaringan ikat tipis yang berfungsi untuk
memisahkan pulau langerhans dengan sel asiner.16
Gambar 2.2 Pulau langerhans pankreas dengan pewarnaan HE16
Pulau langerhans memiliki 3 jenis sel, yaitu sel alfa, sel beta, dan sel
delta.17
Ketiga jenis sel ini dapat dibedakan dengan pewarnaan Mallory –
Azan. Sel alfa menempati 20 % dari total sel yang terdapat pada pulau
langerhans dan terletak di bagian perifer pulau. Sel alfa berfungsi untuk
mensekresi hormon glukagon. Pada pewarnaan Mallory – Azan, sel alfa
berwarna merah. Sel beta menempati 70 % dari total sel pada pulau
langerhans, dan biasanya terletak di bagian sentral pulau. Sel beta berfungsi
untuk mensekresi hormon insulin. Pada pewarnaan Mallory – Azan, sel beta
6
berwarna coklat. Sel delta menempati 10 % dari total sel pulau langerhans.
Sel delta, sama seperti sel alfa, terletak di bagian perifer pulau. Sel delta
berfungsi untuk mensekresi somatostatin, dan dengan pewarnaan Mallory –
Azan, sel delta berwarna biru.16
Gambar 2.3 Jenis - jenis sel pulau langerhans pankreas18
2.1.2. Fisiologi Insulin
Insulin merupakan protein yang tersusun dari dua rantai peptida, yaitu
peptida A dan peptida B. kedua peptida tersebut dihubungkan dengan dua
ikatan disulfida. Preproinsulin, perkursor insulin, disintesis oleh ribosom sel
beta pankreas. Preproinsulin kemudian dibawa ke retikulum endoplasma dan
diubah menjadi proinsulin. Proinsulin terdiri dari rantai A, rantai B, dan
peptida C. Proinsulin dibawa ke badan golgi dan kemudian dikemas dalam
vesikel sekretori. Pada vesikel sekretori, proinsulin diubah menjadi insulin
dan fragmen peptida C.19, 20
Gambar 2.4 Konversi pro-insulin menjadi insulin dan peptida C21
7
Insulin memiliki waktu paruh 4 – 6 menit.22
Insulin dikatabolisme di
liver dan di ginjal. Sekitar 50% insulin dikatabolisme oleh liver setelah
disintesis (karena jalur vena porta). Proinsulin dan peptide C dikatabolisme di
ginjal. Proinsulin dan peptide C memiliki waktu paruh 3 sampai 4 kali lebih
panjang dari insulin.19
Insulin memiliki pengaruh penting dalam metabolisme karbohidrat,
protein, dan lemak. Insulin menurunkan kadar gula darah, asam lemak, dan
asam amino, serta menstimulasi penyimpanan zat-zat tesebut.19
Untuk transpor glukosa dari darah ke dalam sel, dibutuhkan karier
protein bernama glucose transporter (GLUT). GLUT yang terdapat pada
sebagian besar jenis sel adalah GLUT-4. GLUT-4 merupakan satu-satunya
glucose transporter yang membutuhkan insulin untuk aktivasinya. Tidak
seperti GLUT lainnya yang melekat pada membran sel, pada keadaan dimana
tidak ada insulin, GLUT-4 tersimpan didalam vesikel. Ketika insulin melekat
pada reseptor insulin yang terdapat pada membran sel, terjadi aktivasi dari
phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K). PI3K akan membuat vesikel GLUT-4
akan berfusi dengan membran sel.23
Gambar 2.5 Proses aktivasi GLUT 4 oleh insulin24
Insulin disekresi oleh sel beta pankreas. Setelah makan, kadar gula
dalam darah akan meningkat. Glukosa akan masuk ke dalam sel beta
pankreas melalui GLUT-2. Di dalam sel beta pankreas, glukosa akan
difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat. Glukosa-6-fosfat, melalui proses
oksidasi, akan menghasilkan ATP. ATP akan membuat ATP-sensitive K+
channel tertutup sehingga terjadi depolarisasi dalam sel. Depolarisasi akan
menyebabkan terbukannya voltage-gated Ca2+
channel dan Ca2+
masuk ke
dalam sel. Ca2+
memicu eksositosis dari vesikel insulin, sehingga terjadi
sekresi insulin.25
8
Gambar 2.6 Proses sekresi insulin oleh sel beta pankreas25
2.1.3. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindrom kronik dimana terjadi
gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang disebabkan
karena kurangnya hormon insulin atau terjadi resistensi insulin pada sel
target. Diabetes melitus biasanya ditandai dengan hiperglikemia.
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.26
2.1.4. Penapisan dan Diagnosis Diabetes Melitus
Penapisan dan diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi
glukosa darah. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang memiliki
gejala, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengindentifikasi
mereka yang tidak bergejala, yang memiliki resiko DM.27
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) membagi alur
diagnosis menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas
DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat
badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM
diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulvus (wanita). Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah
cukup untuk menegakan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala
khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.28
9
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus (DM)26, 28
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1
mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L).
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam.
Glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200
mg/dL (11,1 mmol/L).
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air.
Pemeriksaan penyaring biasanya dilakukan pada kelompok
masyarakat yang memiliki risiko DM. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau
konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan TTGO
standar.26, 28
Tabel 2.2 Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan
Penyaring DM28
Tempat
pengambilan
darah
Bukan DM Belum pasti
DM
DM
Konsentrasi
glukosa darah
sewaktu
plasma vena < 100
mg/dL
100 – 199
mg/dL ≥ 200 mg/dL
darah kapiler < 90
mg/dL
90 – 199
mg/dL ≥ 200 mg/dL
Konsentrasi
glukosa darah
puasa
plasma vena < 100
mg/dL
100 – 125
mg/dL ≥ 126 mg/dL
darah kapiler < 90
mg/dL
90 – 99
mg/dL ≥ 100 mg/dL
10
Terdapat beberapa pemeriksaan diagnostik tambahan untuk
menegakan diagnosis diabetes melitus, yaitu pemeriksaan glycosylated
haemoglobin, konsentrasi insulin, pro-insulin dan peptida C.29
Untuk
penilaian proses diabetogenik dinilai dengan menentukan tipe dan titer
antibodi (seperti antibodi pulau langerhans dan anti glutamic acid
decarboxylase), adanya susunan DNA spesifik pada genoma manusia, dan
ditemukannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya.
2.1.5. Klasifikasi Diabetes Melitus
Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2009,
secara garis besar, diabetes melitus dapat dibagi menjadi empat yaitu,
diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe lain, dan
diabetes melitus gestasional.26
Tabel 2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA 2009)26
Diabetes Melitus Tipe 1
(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
A. Melalui proses imunologik
B. Idiopatik
Diabetes Melitus Tipe 2
(Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin)
Diabetes Melitus Tipe Lain yang Spesifik
A. Defek genetik fungsi sel beta
- Kromosom 12, HNF-1α (MODY3)
- Kromosom 7, glukokinase (MODY2)
- Kromosom 20, HNF-4α (MODY1)
- Kromosom 13, insulin promoter factor-1 (MODY4)
- Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6)
- Kromosom 17, HNF-1β (MODY5)
- DNA mitokondrial
B. Defek genetik kerja insulin (resitensi insulin tipe A,
Leprechaunism, sindrom Rabson - Mendenhall, diabetes lipoatrofik,
dan lainya)
C. Penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, trauma / pankreatektomi,
neoplasma, sistik fibrosis, hemokromatis, pankreatopati fibro
kalkulus, dan lainya)
11
D. Endokrinopati (akromegali, sindrom Cushing, glukagonoma,
feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma,
dan lainnya)
E. Karena obat / zat kimia (vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, dan lainnya)
F. Infeksi (rubella kongenital, CMV, dan lainnya)
G. Imunologi (sindrom Stiff-man, antibodi anti reseptor insulin, dan
lainnya)
H. Sindroma genetik lain (Sindrom down, klinefelter, turner, dan
lainnya)
Diabetes Melitus Gestasional
2.1.6. Epidemiologi dan Faktor Risiko Diabetes Melitus
Prevalensi diabetes melitus di dunia telah meningkat drastis selama 20
tahun terakhir. Prevalensi diabetes melitus di dunia untuk semua umur
diperkirakan 2,8 % pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun 2030.3 Berdasarkan
laporan World Health Organization (WHO), jumlah penderita diabetes
melitus di dunia saat ini mencapai 347 juta orang.4 Diabetes melitus
menyebabkan kematian pada 1,5 juta penduduk dunia pada tahun 2012 (2,7
% dari kematian di seluruh dunia) dan jumlah ini diperkirakan akan
meningkat pada tahun 2030.30
Prevalensi diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 sama-sama meningkat,
namun yang memiliki peningkatan yang lebih banyak dan cepat adalah
diabetes melitus tipe 2. Hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah
individu yang obesitas dan kurang beraktivitas.31
Selain itu, terdapat variasi
geografis pada insidens diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus
tipe 1 lebih banyak ditemukan di negara bagian utara seperti Scandinavia.
Variasi ini diperkirakan karena faktor genetik, faktor perilaku dan faktor
lingkungan.32
Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara dengan penderita
diabetes melitus terbanyak di dunia.33
Secara epidemiologi, diperkirakan
bahwa pada tahun 2030 prevalensi diabetes melitus di Indonesia mencapai
21,3 juta orang. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) pada tahun 2007
menunjukan bahwa proporsi penyebab kematian akibat diabetes melitus pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2
12
yaitu 14,7%, sedangkan di daerah pedesaan, diabetes melitus menduduki
ranking ke-6 yaitu 5,8%.5
Faktor risiko diabetes melitus adalah orang dewasa dengan indeks
massa tubuh ≥ 25 kg/m2, riwayat keluarga mengidap diabetes melitus,
aktivitas fisik yang kurang, kelompok etnik resiko tinggi (African American,
Latino, Native American, Asian American, Pacific Islander), wanita dengan
riwayat diabetes melitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat ≥ 4
kg, hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg), konsentrasi HDL < 35
mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL, wanita dengan sindrom polikistik
ovarium, riwayat toleransi glukosa terganggu atau glukosa darah puasa
terganggu, dan riwayat penyakit kardiovakular.26, 28
2.1.7. Patofisiologi Diabetes Melitus
Pada diabetes melitus tipe 1 yang , terjadi destruksi sel beta pankreas
yang diperantarai oleh reaksi autoimun. Terdapat dua faktor yang memicu
reaksi autoimun ini, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Peran faktor
genetik pada diabetes melitus tipe 1 sampai saat ini belum sepenuhnya
dimengerti, namun terdapat asosiasi kuat dengan MHC kelas II (alel HLA-
DQ dan HLA-DR). Faktor lingkungan yang memicu terjadinya reaksi
autoimun antara lain infeksi virus (rubella kongenital, sitomegalovirus, dan
virus Epstein-Barr), obat-obatan (Alloxan, Pentamidin, Vacor), dan intake
nutrisi (susu sapi).34
Proses destruksi sel beta pada diabetes melitus tipe 1 diawali dengan
infiltrasi limfosit dan makrofag pada sel beta pankreas yang menyebabkan
inflamasi (insulinitis) dan kemudian kematian sel. Autoantigen kemudian
terekspos dan bersirkulasi di dalam darah dan juga sistem limfatik.
Autoantigen yang bersirkulasi tersebut kemudian difagositosis oleh antigen
presenting cells yang mengaktifkan limfosit T CD4+. Setelah itu limfosit T
CD4+ mengaktifkan makrofag, mengaktifkan limfosit T CD8, dan
membentuk autoantibodi sel pulau langerhans. Hal ini menyebabkan
destruksi sel beta dan menurunnya produksi insulin.35, 36
13
Gambar 2.7 Patofisiologi diabetes melitus tipe 136
Pada diabetes melitus tipe 2, terjadi interaksi antara faktor lingkungan
dengan faktor genetik yang menyebabkan resistensi insulin. Faktor
lingkungan pada diabetes melitus tipe 2 meliputi obesitas, hipertensi, dan
kurang beraktivitas, sedangkan faktor genetik adalah gen yang mengkode
massa sel beta, fungsi sel beta, proinsulin, struktur insulin, reseptor insulin
dan respon seluler pada stimulasi insulin.35, 36
Definisi resistensi insulin adalah respon tidak optimal dari insulin-
sensitive tissue (terutama liver, otot, jaringan adiposa) terhadap insulin.
Mekanisme terjadinya resistensi insulin adalah terdapat hambatan pada jalur
signal insulin. Hal ini meliputi struktur abnormal insulin, terdapat banyak
antagonis insulin, down regulation reseptor insulin, aktivasi abnormal dari
postreceptor kinase, dan terdapat alterasi glucose transporter (GLUT).36
Gambar 2.8 Patofisiologi diabetes melitus tipe 236
14
2.1.8. Tatalaksana Diabetes Melitus
Tatalaksana diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua yaitu,
farmakologi dan non farmakologi. Tujuan terapi pada diabetes melitus secara
umum adalah mengatasi hiperglikemia, mengurangi atau mencegah
komplikasi, dan sebisa mungkin membuat pasien dapat menjalani gaya hidup
yang normal. Pasien dengan diabetes melitus harus diberikan edukasi
mengenai diabetes melitus, nutrisi, dan berolahraga.37, 38, 39
Pada diabetes melitus tipe 1, diperlukan terapi insulin karena
penderita diabetes melitus tipe 1 kekurangan produksi insulin endogen.
Terapi insulin diterapkan dan didesain semirip mungkin dengan sekresi
insulin fisiologis. Penderita diabetes melitus tipe 1 membutuhkan insulin
eksogen jangka panjang sebagai insulin basal untuk regulasi pemecahan
glikogen, glukoneogenesis, lipolisis, dan ketogenesis, selain itu, penderita
diabetes melitus tipe 1 juga membutuhkan insulin jangka pendek sebelum
makan untuk membuat kadar glukosa darah normal dan menyimpan
glukosa.40
Tabel 2.4 Berbagai Sediaan Insulin40
Jenis Sediaan Mula Kerja
(jam)
Puncak
(jam)
Masa Kerja
(jam)
Kerja Cepat
Regular soluble 0.1 – 0.7 1.5 – 4 5 – 8
Lispro 0.25 0.5 – 1.5 2 – 5
Kerja Sedang
NPH (isophan) 1 – 2 6 – 12 18 – 24
Lente 1 – 2 6 – 12 18 – 24
Kerja Panjang
Protamin zinc 4 – 6 14 – 20 24 – 36
Ultralente 4 – 6 16 – 18 20 – 36
Glargin 2 – 5 5 – 24 18 – 24
Pada diabetes melitus tipe 2, biasanya digunakan obat antidiabetik
oral dan pada kasus tertentu, terapi insulin. Terdapat beberapa golongan obat
antidiabetik oral yaitu, sulfonilurea, meglitinid, biguanid, penghambat enzim
α-glukosidase, tiazolidinedion, inhibitor DPP-4, dan reseptor agonis GLP-1.41
15
Golongan sulfonilurea disebut juga sebagai insulin secretagogues,
bekerja dengan merangsang sekresi insulin dari granul sel beta langerhans
pankreas. Golongan ini berinteraksi dengan ATP-sensitive K channel pada
membran sel beta pankreas, kemudian menimbulkan depolarisasi dan
membuat kanal kalsium terbuka sehingga ion Ca2+
akan masuk ke sel beta
dan sel beta mensekresi granul berisi insulin.42
Efek samping dari golongan
ini antara lain hipoglikemia, reaksi alergi, dan gangguan saluran cerna. Obat
yang termasuk ke dalam golongan ini adalah kloporamid, tolbutamid,
tolazamid, glipizid, dan glibenklamid.40
Golongan meglitinid, sama seperti golongan sulfonilurea, bekerja
dengan cara merangsang sekresi insulin dari sel beta langerhans pankreas.
Golongan ini bekerja dengan cara menutup kanal kalium yang ATP-
independent di sel beta pankreas.43
Efek samping dari golongan ini juga sama
seperti golongan sulfonilurea, yaitu hipoglikemia, reaksi alergi, dan gangguan
saluran cerna. Obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah repaglinid
dan nateglinid. 40
Obat yang termasuk golongan biguanid antara lain fenformin,
buformin, dan metformin, namun yang sering digunakan adalah metformin
karena kedua obat yang lain sering menyebabkan asidosis laktat. Metformin
bekerja dengan cara menurunkan produksi glukosa di liver dan meningkatkan
sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Efek ini terjadi karena
adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase).44
Efek samping
dari metformin adalah gangguan saluran cerna seperti diare, mual, muntah,
dan kecap logam (metallic taste), peningkatan asam laktat dalam darah pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan kardiovaskular, serta ketosis yang
tidak disertai hiperglikemia (starvation ketosis).40
Golongan tiazolidinedion merupakan agonis poten dan selektif
PPARγ, bekerja dengan cara mengaktifkan PPARγ sehingga terbentuk
glucose transporter (GLUT) yang baru.45
Senyawa ini dapat meningkatkan
sensitivitas insulin melalui peningkatan AMP kinase yang merangsang
transpor glukosa ke dalam sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Efek
samping dari golongan ini antara lain peningkatan berat badan, edema,
peningkatan volume plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif. Obat
yang termasuk ke dalam golongan ini adalah pioglitazon dan rosiglitazon.40
16
Penghambat enzim α-glukosidase dapat menghambat absorbsi
polisakarida (starch) dan disakarida di usus, sehingga mencegah peningkatan
glukosa plasma. Obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akarbose.
Akarbose merupakan oligosakarida yang berasal dari mikroba yang secara
kompetitif menghambat glukoaminase dan sukrase.40
Efek samping dari obat
ini bersifat dose-dependent, yaitu malabsorpsi, flatulen, diare dan abdominal
bloating.46
Golongan inhibitor DPP-4 bekerja dengan cara menghambat DPP-4.
DPP-4 merupakan enzim yang mendegradasi hormon incretin. Incretin
merupakan hormon yang menstimulasi sekresi hormon insulin pankreas.
Sitagliptin, Saxagliptin, dan Linagliptin merupakan obat yang termasuk ke
dalam golongan ini. Golongan ini memiliki efek samping berupa gangguan
pencernaan (mual, nyeri perut, dan diare), sakit kepala, dan reaksi kulit
berupa rash.47
Reseptor agonis GLP-1 menstimulasi sekresi insulin dari sel beta
pankreas dengan cara bekerja seperti hormon incretin dan menghambat
sekresi glukagon.48
Obat yang termasuk ke dalam reseptor agonis GLP-1
adalah eksenatid dan liraglutid.41
Efek samping dari reseptor agonis GLP-1
antara lain gangguan pencernaan seperti muntah, mual, dan diare.49
2.2. Okra (Abelmoschus esculentus)
2.2.1. Gambaran Umum dan Taksonomi Okra
Okra (Abelmoschus esculentus) atau yang sering disebut juga dengan
gumbo atau lady’s finger, merupakan tanaman yang banyak dijumpai di
daerah tropikal dan sub-tropikal.50
Tanaman ini mudah ditanam dan memiliki
adaptasi yang tinggi terhadap berbagai variasi kelembapan.6 Tanaman okra
memiliki tinggi sekitar 1 – 4 meter, dengan akar tunggang dan batang yang
berwarna hijau atau merah. Buah okra panjang, berwarna hijau, dan berujung
runcing.9
17
Gambar 2.9 Tanaman okra (Abelmoschus esculentus)51
Pada awalnya, okra termasuk dalam genus Hibiscus, seksi
Abelmoschus dalam famili Malvaceae (Linnaeus, 1753). Pada tahun 1787,
diusulkan seksi Abelmoschus untuk berdiri sendiri sebagai genus dan tahun
1924, penggunaan Abelmoschus sebagai genus diterima secara taksonomi.6
Tabel 2.5 Taksonomi Okra (Abelmoschus esculentus)6
Nama Okra
Kingdom Plantae
Divisi Magnoliophyta
Kelas Magnoliopsida
Order Malvales
Famili Malvaceae
Genus Abelmoschus
Spesies esculentus
2.2.2. Komposisi Okra
Buah okra (per 100 g) memiliki energi sebesar 36 kcal. Buah okra
juga memiliki kandungan air yang tinggi dan mengandung zat-zat
makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Selain makronutrien,
buah okra juga mengandung mikronutrien yang dibutuhkan oleh tubuh kita
seperti natrium, sodium, kalsium, magnesium, besi, tembaga dan lain-lain.50
18
Tabel 2.6 Komposisi Okra (Abelmoschus esculentus) per 100 g6
Zat Jumlah
Karbohidrat 6,4 g
Protein 1,9 g
Lemak 0,2 g
Fiber 1,2 g
Air 89,6 g
Mineral 0,7 g
Natrium 6,9 mg
Sulfur 30 mg
Riboflavin 0,1 mg
Asam oksalat 8 mg
Kalsium 66 mg
Kalium 103 mg
Besi 0,35 mg
Tiamin 0,07 mg
Asam nikotinat 0,6 mg
Vitamin C 13 mg
Magnesium 53 mg
Tembaga 0,19 mg
2.2.3. Fungsi Okra
Okra biasanya dimakan sebagai sayuran pada salad dan sup. Okra
dapat dimakan mentah maupun direbus atau digoreng. Selain itu, okra juga
digunakan sebagai pengental masakan di daerah tertentu.6
Okra sering dipakai sebagai obat tradisional dan dikenal sebagai
tanaman yang memiliki banyak manfaat medis. Saat ini, beberapa fungsi okra
sudah dibuktikan dalam penelitian-penelitian. Salah satu contoh penelitian
yang dilakukan untuk mengetahui fungsi okra adalah penelitian Vayssade et
al52
yang mengamati pengaruh okra terhadap sel melanoma. Pada hasil
penelitian tersebut, disimpulkan bahwa okra memiliki potensi sebagai
antikanker.
19
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ngoc et al53
pada tahun 2008,
ditemukan bahwa okra dapat menurunkan kadar kolesterol dan kadar
trigliserida pada tikus. Selain menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida,
menurut penelitian yang dilakukan oleh Liao et al54
pada tahun 2012, okra
memiliki fenol dan flavonoid yang memiliki efek antioksidan.
Pada pengobatan tradisional Asia dan Afrika, buah okra digunakan
sebagai terapi penyakit inflamasi dan iritasi gaster. Lengsfeld et al55
melakukan studi mengenai pengaruh okra pada infeksi Helicobacter pylori
pada tahun 2004 dan hasilnya okra dapat mencegah adhesi Helicobacter
pylori dan mengurangi iritasi gaster.
Okra telah diakui sebagai salah satu tanaman untuk pengobatan
tradisional Turki. Di Turki, biji okra direbus dengan air, kemudian air hasil
rebusan tersebut yang biasanya akan diminum oleh pasien dengan kadar gula
darah yang tinggi.8 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aslan et al
56 pada
tahun 2003, okra memiliki efek antidiabetik.
2.2.4. Harga Okra
Di Indonesia, okra dapat ditemukan di pasar maupun di supermarket.
Harga okra di pasar lokal biasanya berkisar antara Rp. 5000,- per kilogram.
Supermarket menjual okra dengan harga yang lebih mahal, yaitu sekitar Rp.
7500,- per 500 g.57
20
BAB III
HIPOTESA
Hipotesa yang diambil pada penelitian ini adalah okra (Abelmoschus
esculentus) dapat digunakan sebagai terapi diabetes melitus.
21
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Proposal Karya Tulis Ilmiah ini dibuat dengan metode studi pustaka. Penulis
pencarian pustaka berupa jurnal ilmiah yang diterbitkan pada tahun 2010 hingga
2014. Jurnal penelitian diambil dari Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine,
Bangladesh Pharmaceutical Journal, International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences, Journal of Ayurveda & Integrative Medicine, International
Journal of Scientific & Technology Research, World Journal of Pharmaceutical
Sciences, Asian Journal of Clinical Nutrition, The Journal of Phytopharmacology,
dan International Journal of Pharmaceutical and Biomedical Research. Kata kunci
yang digunakan untuk mencari jurnal ilmiah meliputi okra, Abelmoschus
eschulentus, diabetes mellitus, hypogycemia effect. Jurnal kemudian diunduh dalam
bentuk full text. Jurnal penelitian yang didapat akan dikumpulkan, kemudian ditulis
ulang secara sistematis dan dibahas dengan lebih mendalam.
22
BAB V
PEMBAHASAN
Dewasa ini, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui
pengaruh okra terhadap diabetes melitus. Penelitian tersebut dilakukan baik terhadap
manusia, hewan seperti tikus dan kelinci maupun secara in vitro. Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, okra terbukti mempunyai efek antidiabetik.
Menurut penelitian yang dilakukan Sabitha et al58
pada tahun 2012, ekstrak
akueus okra (Abelmoschus esculentus) dapat menghambat aktivitas dari enzim α-
glukosidase dan α-amilase. Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan
menggunakan ekstrak buah dan biji okra. Ekstrak okra dibuat dengan cara memotong
buah dan memisahkan biji okra, yang kemudian masing-masing dikeringkan dan
dihancurkan hingga berbentuk bubuk. Kemudian bubuk tersebut dicampur dengan air
dan direbus selama 30 menit. Air rebusan kemudian disaring, dan kemudian hasil
saringan akan digunakan sebagai ekstrak untuk penelitian. Ektrak dibuat dalam
berbagai konsentrasi.
Sabitha et al58
membandingkan inhibisi enzim α-glukosidase dan α-amilase
oleh ektrak buah okra dengan ektrak biji okra. Kedua ekstrak okra menunjukan
aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase dan α-amilase dalam concentration-dependent
manner, dimana pada konsentrasi 250 μg/ml tercapai persentasi inhibisi tertinggi
pada kedua ektrak. Pada aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase dengan konsentrasi
ekstrak 250 μg/ml, ekstrak buah okra memiliki persentasi inhibisi 88,7 ± 0,2%,
sedangkan ekstrak biji okra memiliki persentasi inhibisi 80,9 ± 0,4%. Pada aktivitas
inhibisi enzim α-amilase dengan konsentrasi ekstrak 250 μg/ml, ekstrak buah okra
memiliki persentasi inhibisi 87,57 ± 0,3%, dan ekstrak biji okra memiliki persentasi
inhibisi 80,06 ± 0,2%. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak buah okra memiliki potensi
inhibisi enzim α-glukosidase dan α-amilase yang lebih tinggi daripada ekstrak biji
okra.
Sebelumnya, pada penelitian yang dilakukan oleh Khatun et al59
pada tahun
2010, diketahui bahwa Viscous Soluble Dietary Fibers (VSDF) dari okra dapat
menurunkan absorpsi glukosa pada usus. Penelitian dilakukan secara in vitro dengan
mengunakan metode dialisis sederhana, yaitu dengan menggunakan tabung reaksi,
Whatman ultra-fine membrane filter, dan gelas beaker. Ekstrak VSDF okra dibuat
dengan cara memotong-motong okra (15, 30, 45, 60, dan 75 g) dan merendam
23
potongan tersebut dengan 150 ml air pada gelas beaker yang berbeda-beda.
Kemudian rendaman tersebut diaduk selama 10 sampai 15 menit dengan pengaduk
kaca dan setelah 24 jam, air rendaman disaring dan dipakai sebagai ekstrak.
Penelitian ini membandingkan Na-Carboxymethylcellulose (Na-CMC)
dengan VSDF dari okra. Pada menit ke 20, Na-CMC dengan konsentrasi tertinggi
(0,01 g/ml) memiliki difusi glukosa sebesar 0,30 ± 0,3 mg/dl, sedangkan VSDF dari
okra konsentrasi tertinggi (0,57 g/ml) memiliki difusi glukosa 0,12 ± 0,3 mg/dl. Hal
ini menunjukan bahwa VSDF dari okra memiliki daya hambat absorpsi glukosa yang
lebih tinggi daripada Na-CMC dan lebih berpotensi untuk menghambat penyerapan
glukosa pada usus.
Khatun et al60
melakukan penelitian lebih lanjut di tahun 2011 dan dari hasil
penelitian tersebut menyebutkan bahwa VSDF dapat menganggu absopsi metformin
pada tikus long evans yang diinduksi dengan alloxan, sehingga pemberian ekstrak
okra sebaiknya tidak dikombinasikan dengan metformin.
Zhang Zhao Ling61
melakukan penelitian pada tahun 2014 dengan
mengisolasi komponen okra yang bersifat sebagai antioksidan dan antidiabetik.
Penelitian ini dilakukan secara in vitro. Hasil isolasi berupa 2 glikosida flavonol yang
menunjukan aktivitas antioksidan yang kuat dan aktivitas inhibisi α-glukosidase,
yaitu quercetin-3-O-β-D-glucopyranosyl-(1→6)-β-D-glucopyranoside dan quercetin-
3-O-β-D-4′′-O-methyl-β-D-glucopyranoside.
Zhang Zhao Ling61
kemudian melanjutkan penelitian untuk mengetahui efek
okra dengan terhadap regulasi glukosa pada jaringan liver tikus (FL83B). Jaringan
liver tikus dibagi menjadi 2 grup, yaitu grup jaringan liver normal dan grup jaringan
liver yang resistensi insulin dan keduanya diberikan ekstrak buah okra. Setelah
melakukan pengamatan, baik grup normal maupun grup resistensi insulin terjadi
peningkatan uptake glukosa dan peningkatan kadar glikogen. Okra menunjukan efek
upregulating insulin signalling yang ditandai dengan meningkatnya ekspresi protein
IR, IRS-1, dan PI3K. Ekspresi protein tersebut dapat ditingkatkan apabila ditambah
dengan insulin. Zhang Zhao Ling mengambil kesimpulan bahwa okra dapat
meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin dan meningkatkan insulin signalling
secara in vivo.
Menurut Kumaran et al62
, okra memiliki beberapa kandungan yang dapat
menghambat enzim degradasi matrix metalloproteinases (MMP). Kandungan dalam
okra yang diteliti dalam penelitian ini meliputi homogalacturonan, folacin, rutin,
24
quertin, gossypol, cyanidin 4 glucoside, [E,E] Farenesal, dan glysine. Komponen-
komponen dalam okra tersebut direaksikan dengan MMP9. Hasil dari penelitian ini
menyebutkan bahwa gossypol merupakan komponen yang paling berpotensi untuk
inhibisi MMP9. Kumaran et al62
menyimpulkan bahwa selain memiliki aktivitas
antidiabetik, okra juga memiliki potensi untuk menghambat proses terjadinya ulkus
diabetik dengan cara menghambat MMP.
Saha et al63
melakukan penelitian pada tahun 2011 dengan menggunakan 24
ekor tikus wistar albino yang diinduksi hiperglikemia dengan alloxan. Tikus-tikus
tersebut akan dibagi dalam 4 grup (setiap grup terdiri dari 6 ekor tikus) untuk
membandingkan pengaruh ekstrak okra dengan pelarut air, ektrak okra dengan
pelarut etanol dengan obat standar glibenklamid. Kadar glukosa darah tikus
dibandingkan antara hari ke-3 dengan hari ke-7. Pada grup tikus yang diberikan
ekstrak akueus okra sebanyak 300 mg/kg, terjadi penurunan kadar glukosa darah dari
290,45 ± 29,8 mg/dl menjadi 194,4 ± 8,63 mg/dl, sedangkan pada grup tikus dengan
ekstrak etanolik okra yang diberikan 300 mg/kg juga terdapat penurunan kadar
glukosa darah dari 270,90 ± 23,12 mg/dl menjadi 185,42 ± 12,62 mg/dl. Hasil
penurunan kadar glukosa darah terbanyak dicapai oleh obat standar glibenklamid 0,5
mg/kg yang menurunkan kadar glukosa darah dari 302,66 ± 22,18 mg/dl menjadi
170,5 ± 12,53 mg/dl. Hasil dari penelitian ini menunjukan ekstrak akueus okra lebih
berpotensi menurunkan kadar glukosa darah daripada ekstrak etanolik okra, namun
ekstrak okra kurang menurunkan kadar glukosa darah dibandingkan dengan obat
standar glibenklamid.
Sabitha et al64
, pada tahun 2012, melakukan penelitian dengan menggunakan
42 ekor tikus wistar albino. Pada penelitian ini buah dan biji okra dikeringkan dan
ditumbuk hingga menjadi bubuk dan 36 ekor tikus wistar albino diinduksi
hiperglikemia dengan streptozotocin. Penelitian ini dilakukan selama 28 hari,
membagi tikus wistar albino menjadi 7 grup (masing-masing grup terdiri dari 6 ekor
tikus), yaitu grup kontrol normal, grup kontrol diabetes, grup tikus yang diberikan
bubuk buah okra 100 mg/kg, grup tikus yang diberikan bubuk buah okra 200 mg/kg,
grup tikus yang diberikan bubuk biji okra 100 mg/kg, grup tikus yang diberikan
bubuk biji okra 200 mg/kg, dan grup tikus yang diberikan obat standar glibenklamid
5 mg/kg. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa baik biji maupun buah okra
yang ditumbuk dapat menurunkan kadar glukosa darah hingga mendekati normal,
yaitu kurang dari 150 mg/dl. Tidak terdapat banyak perbedaan penurunan kadar
25
glukosa darah antara bubuk buah okra 100 mg/kg, bubuk buah okra 200 mg/kg,
bubuk biji okra 100 mg/kg, bubuk biji okra 200 mg/kg, dengan obat standar
glibenklamid.
Pada tahun 2013, Perez et al65
melakukan pengamatan pada 3 ekor tikus
albino yang diberi makanan manis dan 3 ekor tikus albino diberikan ekstrak buah
okra. Ekstrak buah okra yang dibuat pada penelitian ini lebih sederhana, yaitu
dengan merendam 3 buah okra yang terlah dipotong menjadi 3 bagian dalam 250 ml
air dan dibiarkan selama 24 jam. Air rendaman kemudian akan digunakan sebagai
ekstrak buah okra. Pada penelitian ini, terdapat grup kontrol, dimana tikus diberi diet
yang sehat dan grup tikus yang diberi makanan manis. Pada 6 hari pertama, grup
yang diberikan makanan manis memiliki rata-rata kadar glukosa darah 124 mg/dl,
sedangkan grup kontrol memiliki rata-rata kadar glukosa darah 94 mg/dl. Kemudian,
kedua grup diberikan ekstrak buah okra selama 7 hari. Pada hari ke-7 setelah
pemberian ekstrak buah okra, grup kontrol memiliki kadar glukosa darah 73 mg/dl
dan grup tikus dengan makanan manis memiliki kadar glukosa darah 88 mg/dl. Hal
ini menunjukan bahwa ekstrak buah okra berpotensi menurunkan kadar glukosa
darah dengan diet makanan manis.
Penelitian dengan menggunakan 2 ekor kelinci dilakukan oleh
Subrahmanyam et al66
. Pada penelitian ini, ekstrak okra dengan konsentrasi 1 mg/dl
dibandingkan dengan obat standar metformin 1 mg/dl. Kedua kelinci diinduksi
dengan menggunakan alloxan dan diamati kadar glukosa darah selama 10 hari.
Kelinci pertama diberikan ekstrak okra 1 mg/ml, sedangkan kelinci kedua diberikan
metformin 1 mg/ml. Setelah 10 hari, kelinci pertama mengalami penurunan kadar
glukosa darah sebanyak 25 mg/dl dan kelinci kedua mengalami penurunan sebanyak
41 mg/dl. Subrahmanyam et al66
mengambil kesimpulan bahwa ekstrak okra dapat
menurunkan kadar glukosa darah, tetapi penurunan kadar glukosa darah tidak
sebanyak obat standar metformin.
Studi pada manusia dilakukan oleh Rahman et al67
pada tahun 2011. Studi ini
dilakukan dengan metode cross sectional yang melibatkan 10 pasien diabetes melitus
tipe 2. Selama 7 hari, pasien mendapatkan makanan yang sama sebelum dilakukan
penelitian. Pasien kemudian dipuasakan selama 8-10 jam dan tidak minum obat
antidiabetes sebelum penelitian dimulai. Sebelum penelitian dimulai, pasien diambil
darahnya untuk mengetahui kadar glukosa darah awal. Kemudian pasien dibagi
menjadi 3 grup, dimana grup pertama diberikan roti tawar, grup kedua diberikan
26
okra, dan grup ketiga diberikan pointed gourd dengan total karbohidrat yang sama.
Kemudian setelah 3 jam, kadar glukosa darah pasien tersebut diperiksa kembali.
Pasien dengan diet okra memiliki kadar glukosa darah awal 6,3 ± 1,0 mmol/L, pasien
dengan diet roti tawar memiliki kadar glukosa darah 6,5 ± 1,4 mmol/L dan pasien
dengan diet pointed gourd memiliki kadar glukosa darah 5,7 ± 0,9 mmol/L. Setelah 3
jam kadar glukosa pasien dengan diet okra menjadi 5,9 ± 0,6 sedangkan pada pasien
dengan diet roti tawar menjadi 6,4 ± 1,5 mmol/L dan pasien dengan diet pointed
gourd menjadi 6,0 ± 0,9 mmol/L. Penelitian Rahman et al67
menunjukan bahwa
menunjukan bahwa pasien yang mengkonsumsi buah okra memiliki penurunan kadar
glukosa darah tertinggi dibandingkan dengan roti tawar maupun pointed gourd.
Shankul Kumar68
melakukan studi mengenai toksisitas okra akut pada tahun
2014. Studi ini menggunakan okra yang diekstrak dengan menggunakan air dan 6
ekor tikus wistar albino, dimana tikus pertama diberi salin normal 20 ml/kg, tikus
kedua dan berikutnya masing-masing diberikan 500, 1000, 2000, 3000 dan 4000
mg/kg suspensi okra. Keenam tikus tersebut kemudian diobservasi selama 4 jam
pertama untuk melihat apakah terdapat perubahan perilaku dan diobservasi apakah
terdapat mortalitas selama 48 jam. Studi Kumar mennyatakan bahwa tidak terdapat
mortalitas maupun manifestasi toksisitas yang terlihat pada dosis 4000 mg/kg
sehingga okra cukup aman untuk digunakan.
Sebelumnya, Ilango et al69
melakukan studi mengenai toksisitas akut dan
kronik pada tahun 2011. Studi ini juga menggunakan okra yang diekstrak dengan
menggunakan air dan tikus. Pada studi toksisitas akut, masing-masing tikus diberikan
dosis 50, 300 dan 5000 mg/kg okra dan diamati selama 14 hari. Hasil dari studi
toksisitas akut sama dengan penelitian Shankul Kumar, yaitu tidak terdapat
mortalitas maupun manifestasi toksisitas. Pada studi toksisitas kronik, tikus dibagi ke
dalam grup kontrol, dan grup yang masing-masing diberikan dosis 200, 500, dan
1000 mg/kg. Tikus diamati selama 28 hari dan diperiksa status hematologi, biokimia,
dan histopatologi. Hasil studi toksisitas kronis menunjukan bahwa tidak terdapat
perbedaan signifikan antara grup kontrol maupun dengan grup tikus yang diberikan
okra dosis tinggi.
Pada tahun 2013, Umoh et al70
melakukan studi mengenai konsumsi kronis
dari okra dan pengaruhnya terhadap liver. Okra diekstrak dengan menggunakan 97%
etanol dan studi ini menggunakan 20 ekor tikus wistar albino. Pada studi ini, tikus
27
diberikan okra sebanyak 500 mg/kg per hari dan diamati selama 28 hari. Pada hari
terakhir, jaringan liver tikus akan diambil dan diperiksa histopatologinya. Umoh et al
menemukan bahwa terjadi penurunan massa liver dan degenerasi sel liver pada tikus
yang diberikan okra, sehingga diambil kesimpulan bahwa terdapat komponen okra
yang bersifat hepatotoksik.
28
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Okra (Abelmoschus esculentus) adalah tanaman yang memiliki
banyak manfaat medis. Dari studi kepustakaan ini, maka dapat disimpulkan
bahwa okra memiliki potensi sebagai terapi diabetes melitus. Dalam beberapa
penelitian, pemberian ekstrak akueus okra terbukti dapat penurunkan kadar
glukosa dalam darah.
Komponen-komponen dalam okra yang berperan dalam penurunan
kadar glukosa darah antara lain quercetin-3-O-β-D-glucopyranosyl-(1→6)-β-
D-glucopyranoside, quercetin-3-O-β-D-4′′-O-methyl-β-D-glucopyranoside,
dan Viscous Soluble Dietary Fibers (VSDF). Mekanisme antidiabetik okra
adalah menghambat kerja enzim α-glukosidase dan α-amilase Okra juga
terbukti dapat meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin dan
meningkatkan insulin signalling. Selain menurunkan kadar glukosa darah dan
mengingkatkan sensitivitas sel terhadap insulin, okra juga berpotensi untuk
mencegah ulkus diabetik.
Pada studi kepustakaan ini, masih terdapat kontroversi mengenai
toksisitas kronis okra. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut
mengenai efek samping dari konsumsi okra yang berkepanjangan.
6.2. Saran
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai :
Efek hipoglikemia okra pada manusia.
Dosis optimal okra untuk pengobatan diabetes melitus.
Efek samping dari konsumsi okra yang berkepanjangan pada manusia.
Dosis toksik okra yang menyebabkan timbulnya efek samping yang
tidak diinginkan.
Perbandingan antara okra dengan obat golongan inhibitor enzim α-
glukosidase.
Interaksi okra dengan obat antidiabetik lainnya.
29
2. Melalui studi pustaka ini, penulis melihat banyak manfaat baik dan efek
samping yang minimal dari okra. Penulis berharap okra dapat digunakan
sebagai salah satu terapi komplementer bagi penderita diabetes melitus.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Diabetes mellitus [Internet]. WHO. [cited 2013 Oct 21]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs138/en/
2. Diabetes [Internet]. Mayo Clinic. [cited 2013 Oct 21]. Available from:
http://www.mayoclinic.com/health/diabetes/DS01121/DSECTION=risk-factors
3. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global Prevalence of Diabetes.
Diabetes Care. 2004 May;27(5):1047–1053
4. Diabetes [Internet]. WHO. [cited 2013 Oct 21]. Available from:
http://who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/index.html
5. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia Mencapai 21.3 Juta Orang
[Internet]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [cited 2013 Oct 21].
Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/414-
tahun-2030-prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-
orang.html
6. Tripathi KK, Govila OP, Warrier R, Ahuja V. Series of Crop Specific Biology
Documents: Biology of Abelmoschus esculentus L. (Okra). Department of
Biotechnology, Ministry of Science and Technology & Ministry of Environment
and Forests Government of India; 2011
7. Olivera DF, Mugridge A, Chaves AR, Mascheroni RH, Viña SZ. Quality
Attributes of Okra (Abelmoschus esculentus L. Moench) Pods as Affected by
Cultivar and Fruit Size. Journal of Food Research. 2012 Oct 30;1(4):224–235
8. Okra Seeds in the Management of Diabetes. Natural Product Radiance. 2003
Nov;2(6):330
9. Tyasningsiwi RW. Okra si Lady’s Finger Hortikultura [Internet]. Direktorat
Perlindungan Hortikultura Kementerian Pertanian Republik Indonesia; [updated
2012 Dec 20, cited 2013 Oct 21]. Available from:
http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=38:okra-si-ladys-finger&catid=19:berita-terbaru
10. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. 6th
ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010
31
11. The Pancreas [Internet]. Johns Hopkins Medicine: The Sol Goldman Pancreatic
Cancer Research Center; [updated 2012 Dec 11, cited 2014 Oct 31]. Available
from: http://pathology.jhu.edu/pancreas/BasicOverview2.php?area=ba
12. Longnecker, D. Anatomy and Histology of the Pancreas [Internet]. The
Pancreapedia: Exocrine Pancreas Knowledge Base; [updated 2014 Mar 21, cited
2014 Oct 31]. Available from: http://www.pancreapedia.org/reviews/anatomy-
and-histology-of-pancreas
13. The Pancreas and Its Functions [Internet]. The Pancreas Centre. [cited 2014 Oct
31]. Available from: http://pancreasmd.org/education_home.html
14. Motta PM, Macchiarelli G, Nottola SA, Correr S. Histology of the exocrine
pancreas. Microsc Res Tech. 1997 Jun 1-15;37(5-6):384–398
15. Wittingen J, Frey CF. Islet concentration in the head, body, tail and uncinate
process of the pancreas. Ann Surg. 1974;179:412–414
16. Eroschenko VP. diFiore’s Atlas of Histology with Functional Correlations. 11th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 314-329
17. Cabrera O, Berman SM, Kenyon NS et al. The unique cytoarchitecture of human
pancreatic islets has implications for islet cell function. Proc Natl Acad Sci USA.
2006;103:2334-2339
18. Islet of Langerhans Cells [Internet]. [cited 2014 Apr 16]. Available from:
http://web.campbell.edu/faculty/nemecz/308_lect/lect6/fig01.jpg
19. Insulin [Internet]. Medscape. [cited 2014 Apr 16]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/2089224-overview#a30
20. Krahl ME. Endocrine Function of the Pancreas. Annual Review of Physiology.
1974 Mar;36:331-360
21. Biosynthesis of Insulin [Internet]. Medscape. [cited 2014 Apr 16]. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/726747_2
22. Duckworth WC, Bennett RG, Hamel FG. Insulin Degradation: Progress and
Potential. Endocrine Reviews. 1998 Oct;19(5):608–624
23. Stöckli J, Fazakerley DJ, James DE. GLUT4 exocytosis. Journal of Cell Science.
2011;124:4147–4159
24. Insulin Action on Peripheral Cells [Internet]. [cited 2014 Oct 31]. Available from:
http://medicinexplained.blogspot.com/2011/08/insulin-action-on-peripheral-
cells.html
32
25. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. 7th ed. Canada:
Brooks/Cole; 2010. p. 714-724
26. American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care. 2010 Jan;33 Suppl 1:S62–S69
27. Inzucchi SE. Diagnosis of Diabetes. New England Journal of Medicine 2012 Aug;
367:542-550
28. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.
PERKENI; [updated 2011, cited 2014 Oct 31]. Available from:
http://www.academia.edu/4053787/Revisi_final_KONSENSUS_DM_Tipe_2_Ind
onesia_2011
29. HbA1c and other diabetes markers [Internet]. Hytest. [cited 2014 Oct 31].
Available from: https://www.hytest.fi/resources/product-info/hba1c-and-other-
diabetes-associated-markers
30. The top 10 causes of death [Internet]. WHO; [updated 2014 May, cited 2014 Oct
31]. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/
31. Holt RIG. Diagnosis, epidemiology and pathogenesis of diabetes mellitus: an
update for psychiatrists. The British Journal of Psychiatry. 2004;184:s55-s63
32. Dahlquist G. The aetiology of type 1 diabetes: an epidemiological perspective.
Acta Paediatr Suppl. 1998 Oct;425:5-10
33. Robles, YHK, Edwards AGK, Cannings-John, R, Butler, C. Health education for
diabetes mellitus type 2 in ethnic minority groups (protocol). The Cochrane
Library. 2007;2:1-16
34. Vlad A, Timar R. Pathogenesis of Type 1 Diabetes Mellitus: a Brief Overview.
Rom J Diabetes Nutr Metab Dis. 2012;19(1):67-72
35. Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. The pathogenesis and
pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Academic Journals. 2013
Sep;4(4):46-57
36. Jones RE, Brashers VL, Huether SE. Alterations of Hormonal Regulations. In:
McCance KL, Huether SE, editors. Pathophysiology The Biologic Basis for
Disease in Adults and Children. 6th
ed. Missouri: Mosby Elsevier; 2010. p. 745-
764
37. Jones H, Berard LD, MacNeill G, Whitham D, Yu C. Self-Management
Education. Canadian Journal of Diabetes. 2013 Apr;37 Suppl 1:s26-s30
33
38. Dworatzek PD, Arcudi K, Gougeon R, Husein N, Sievenpiper JL, Williams SL.
Nutrition Therapy. Canadian Journal of Diabetes. 2013 Apr;37 Suppl 1:s45-s55
39. Sigal RJ, Armstrong MJ, Colby P, Kenny GP, Plotnikoff RC, Reichert SM, et al.
Physical Activity and Diabetes. Canadian Journal of Diabetes. 2013 Apr;37 Suppl
1:s40-s44
40. Suherman SK. Insulin dan Antidiabetik Oral. In: Gunawan SG, Nafrialdi RS,
Elysabeth, editors. Farmakologi dan Terapi. 5th
ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009. p. 481–495
41. Harper W, Clement M, Goldenberg R, Hanna Amir, Main A, Retnakaran R, et al.
Pharmacologic Management of Type 2 Diabetes. Canadian Journal of Diabetes.
2013 Apr;37 Suppl 1:s61-s68
42. Ashcroft FM. Mechanisms of the glycaemic effects of sulfonylureas. Horm Metab
Res. 1996 Sep;28(9):456-463
43. Shigeto M, Katsura M, Matsuda M, Ohkuma S, Kaku K. Nateglinide and
mitiglinide, but not sulfonylureas, induce insulin secretion through a mechanism
mediated by calcium release from endoplasmic reticulum. Journal of
Pharmacology and Experimental Therapeutics. 2007 Jul;322(1):1-7
44. Pernicova I, Korbonits M. Metformin—mode of action and clinical implications
for diabetes and cancer. Nature Reviews Endocrinology 2014;10:143–156
45. Ciaraldi T, Henry RR. Thiazolidinediones and their effects on glucose
transporters. European Journal of Endocrinology. 1997;137:610–612
46. Ibrahim R. Diabetes Mellitus Type II: Review of Oral Treatment Options.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2010; 2 Suppl
1:21-30
47. DPP-4 Inhibitors [Internet]. Diabetes.co.uk. [cited 2014 Oct 31]. Available from:
http://www.diabetes.co.uk/diabetes-medication/dpp-4-inhibitors.html
48. Holst JJ. The physiology of glucagon-like peptide 1. Physiol. Rev. 2007
Oct;87(4):1409–1439
49. Vilsbøll T, Christensen M, Junker AE, Knop FK, Gluud LL. Effects of glucagon-
like peptide-1 receptor agonists on weight systematic review and meta-analyses of
randomised controlled trials. BMJ. 2012;344:d7771
50. Benchasri S. Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Moench) as a Valuable
Vegetable of the World. Ratar. Povrt. 2012;49:105-112
34
51. Tanaman Okra [Internet]. [cited 2014 Apr 16]. Available from:
http://photos1.blogger.com/hello/5/2980/640/vh2006%2520042.jpg
52. Vayssade M, Sengkhamparn N, Verhoef R, Delaigue C, Goundiam O, P.
Vigneron P, et al. Antiproliferative and proapoptotic actions of okra pectin on
B16F10 melanoma cells. Phytotherapy Research. 2010;24:982-989
53. Ngoc TH, Ngoc QN, Van ATT, Phung NV. Hypolipidemic Effect of Extracts
from Abelmoschus esculentus L. (Malvaceae) on Tyloxapol-Induced
Hyperlipidemia in Mice. Mahidol University Journal of Pharmaceutical Sciences.
2008;35(1-4):42–46.
54. Liao H, Liu H, Yuan K. A new flavonol glycoside from the Abelmoschus
esculentus Linn. Pharmagnosy Magazine. 2012;8:12-5
55. Lengsfeld, C, Titgemeyer F, Faller G, Hensel A. Glycosylated compounds from
okra inhibit adhesion of Helicobacter pylori to human gastric mucosa. Journal of
Agricultural Food Chemistry. 2004;52(6):1495-1503
56. Aslan M, Sezik E, Yeşilada E. Effect of Hibiscus esculentus L. seeds on blood
glucose levels in normoglycaemic, glucose-hyperglycaemic and streptozotocin-
induced diabetic rats. Gazi Universitesi Eczacilik Fakultesi Dergisi. 2003;20:1-7
57. Tentang Tanaman Okra [Internet]. Agroklinik. [cited 2014 Nov 2]. Available
from: http://agroklinik.wordpress.com/produk-2/tentang-tanaman-okra/
58. Sabitha V, Panneerselvam K, Ramachandran S. In vitro α-glucosidase and α-
amylase enzyme inhibitory effects in aqueous extracts of Abelmoscus esculentus
(L.) Moench. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 2012:S162–S164
59. Khatun H, Rahman A, Biswas M, Islam AU. In vitro Study of the Effects of
Viscous Soluble Dietary Fibers of Abelmoschus esculentus L in Lowering
Intestinal Glucose Absorption. Bangladesh Pharmaceutical Journal. 2010
Jul;13(2):35–40
60. Khatun H, Rahman A, Biswas M, Islam AU. Water-soluble Fraction of
Abelmoschus esculentus L Interacts with Glucose and Metformin Hydrochloride
and Alters Their Absorption Kinetics after Coadministration in Rats. ISRN
Pharmaceutics. 2011:1–5
61. Zhang ZL. Antioxidative and Glucose Homeostatic Effects of Extracts and
Isolated Components from Okra (Abelmoschus esculentus Fruits). [Taiwan]:
Tunghai University; 2014
35
62. Kumaran MS, Sivaselvi P, Brindha P, Vimala T. Molecular docking studies of
abelmoschus esculentus for anti diabetics and anti inflammatory. World Journal of
Pharmaceutical Sciences. 2014; 2(3): 253-258
63. Saha D, Jain B, Jain VK. Phytochemical Evaluation and Characterization of
Hypoglycemic Activity of Various Extracts of Abelmoschus esculentus linn Fruit.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2011;3 Supp
2:183–185
64. Sabitha V, Ramachandran S, Naveen KR, Panneerselvam K. Investigation of in
vivo antioxidant property of Abelmoschus esculentus (L) moench. fruit seed and
peel powders in streptozotocin-induced diabetic rats. Journal of Ayurveda &
Integrative Medicine. 2012 Oct-Dec;3(4):188–193
65. Perez JRT, Baritua RJ, Pacalna MO, Malayao jr. SO. Exploratory Investigation
On The Hypoglycemic Effect Of Abelmoschus Esculentus In Mice. International
Journal of Scientific & Technology Research. 2013 Nov;2(11):249–253
66. Subrahmanyam GV, Sushma M, Alekya A, Neeraja C, Harsha HSS, Ravindra J.
Antidiabetic Activity of Abelmoschus esculentus Fruit Extract. International
Journal of Research in Pharmacy and Chemistry. 2011;1(1):17-20
67. Rahman F, Fatema K, Rahim ATMA, Ali L. Glucose, Insulin, and Non Esterified
Fatty Acid Responses to Ladies Finger and Pointed Gourd in Type 2 Diabetes
Mellitus. Asian Journal of Clinical Nutrition. 2011;3(1):25-32
68. Kumar S. Physicochemical, Phytochemical and toxicity studies on gum and
mucilage from plant Abelmoschus esculentus. The Journal of Phytopharmacology.
2014 May-Jun; 3(3): 200-203
69. Ilango KB, Pradeep Rajkumar LA, Vetrivel D, Brinda P, Manisha M. Safety
Evaluation of Abelmoschus esculentus Polysaccharide. International Journal of
Pharmaceutical Sciences Review and Research. 2011 Sep-Oct;10(2):106-110
70. Umoh I, Oyebadejo S, Bassey E, Nnah U. Chronic consumption of combined
extracts of Abelmoschus esculentus and Piper guineense induced hepatoxicity in
Wistar rats: Histopathological study. International Journal of Pharmaceutical and
Biomedical Research. 2013;4(2):73-77