Post on 06-Mar-2019
PENGARUH MATERIAL LAMUN BUATAN TERHADAP
KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN CRUSTACEA DI PERAIRAN
PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU
SKRIPSI
Disusun oleh :
Aji Septiyadi 105095003113
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa, atas segala
Rahmat dan Hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada penulis dalam menyelesaikan
SKRIPSI yang berjudul “Pengaruh Material Lamun Buatan Terhadap
Keanekaragaman dan Kelimpahan jenis Crustacea Di Perairan Pulau Pari,
Kepulauan Seribu”. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada
Rasulullah SAW.
Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung
untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.
2. DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud, selaku ketua Program Studi Biologi
dan Pembimbing II. Terima kasih telah memberikan bimbingan dan masukannya
dalam penulisan skripsi.
3. Dra. Rianta Pratiwi, M.Sc, selaku pembimbing I, terima kasih atas bimbingan
dan semua masukannya selama penelitian berlangsung, dengan bimbingan dari
Ibu penulis mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman yang tak pernah
didapatkan dari Kampus.
4. Drs. Indra Aswandy, selaku Peneliti Utama yang telah membantu dan memberi
masukan dalam mengidentifikasi sampel penelitian dan referensi skripsi.
5. Bpk. Suhendra Unyang, selaku Pengawas Laboratorium Crustacea, LIPI yang
telah membantu dalam meminjamkan Alat – alat dalam penelitian dan proses
identifikasi sampel.
6. Para Dosen Biologi, yang telah memberikan dukungan baik moral maupun
spiritual dan membantu dalam teknis Akademis penyelesaian skripsi penulis.
7. Ayah dan Ibu Penulis, yang tidak henti – hentinya membantu baik doa, motivasi
maupun secara materi dalam proses mulai kuliah sampai selesai tugas akhir
penelitian dan memberikan masukan secara moral ketika dalam penelitian
berlangsung.
8. Adik – adik Penulis, yang telah membantu berupa dukungan baik moral maupun
spiritual.
9. Bpk. Mumuh, selaku Pengawas dan Teknisi Lapangan yang ada di Pulau Pari,
ketika memulai dan berlangsungnya penelitian.
10. Bpk. Hasan, selaku warga yang ada di Pulau Pari, yang telah memberikan
fasilitas baik pangan maupun papan (tempat tinggal) ketika saat penelitian di
lapangan.
11. Pengawas Perpustakaan LON-LIPI, yang telah memberikan bantuan berupa
referensi atau sumber literatur dalam proses penulisan skripsi penelitian.
12. Sdr. Achmad Syaifurrachman, S.Si, selaku teman yang selalu membantu dalam
penelitian berlangsung saat di lapangan (Pulau Pari) baik tenaga maupun fasilitas
alat dan bahan penelitian.
13. Sdr. Mr. Lukman Budianto, S.Si, selaku teman yang telah menyumbangkan
bantuan baik tenaga maupun teknis saat penelitian di lapangan.
14. Sdr. Apep Fry Hidayat, S.Si, selaku teman penulis yang telah memberikan
bantuan baik moral maupun materi berupa fasilitas alat – alat penelitian.
15. Sdri. Siti Mulya Agnah, S.Pd, selaku kekasih penulis, yang telah memberikan
dukungan baik moral ataupun spiritual.
16. Keluarga Besar Biologi 2005 (BIOMA), kita semua telah mengarungi lautan dan
menjelajah lembah yang curam serta mendaki gunung – gunung tertinggi selama
hampir 4 tahun lebih bersama. Mudah – mudahan kita semua selalu diikatkan dan
jangan pernah terpisah. Semoga Allah SWT selalu memberkati ‘jalan’ yang kita
tempuh baik sekarang maupun kedepannya.
17. Teman-teman BIOLOGI angkatan 2006,2007 dan 2008 kita semua satu rumpun,
satu ordo, satu famili dan satu marga hingga kita menjadi satu saudara penuh.
18. Kepada semua pihak yang tidak dapat dituliskan semua karena keterbatasan
halaman dan tempat.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada
semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Skripsi ini tentu
saja masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis dengan senang hati menerima
saran dan kritik yang bersifat membangun dan mengembangkan. Akhirnya semoga
Skripsi ini dapat digunakan sebaik-baiknya serta memiliki banyak manfaat bagi
semua pihak.
Jakarta, Maret 2011
Aji Septiyadi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberadaan biota laut seperti crustacea berperan penting dalam berbagai
proses yang terjadi di daerah padang lamun. Peranan mereka tidak hanya sebagai
pengurai tapi juga sebagai komponen jaring makanan. Kelangsungan hidup
crustacea tidak dapat lepas dari keberadaan lamun sebagai tempat hidup, sumber
makanan, reproduksi dan lain – lain. Hewan yang datang sebagai pengunjung
biasanya untuk memijah dan tempat makanan seperti ikan dan beberapa jenis
crustacea di antaranya kepiting, udang, amphipoda dan isopoda (Putra, 2008).
Menurut Kasim (2005), bentuk crustacea infaunal maupun epifunal
berhubungan erat dengan produsen primer dan berada pada tingkatan trofik yang
lebih tinggi, karena selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan sumber
makanan utama bagi berbagai ikan dan invertebrata yang berasosiasi dengan
lamun. Adapun lamun memiliki produktifitas primer di perairan dangkal di
seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme
(Fahruddin, 2002). Oleh sebab itu, padang lamun merupakan ekosistem yang
mempunyai produktivitas tinggi dan kaya akan keanekaragaman jenis biota laut
khususnya crustasea. Padang lamun biasanya terdapat di perairan tropis seperti
yang terdapat di Pulau Pari kawasan Kepulauan Seribu.
Kawasan tersebut banyak terdapat pemukiman penduduk yang dilengkapi
fasilitas memadai dan dijadikan sebagai objek wisata bahari. Di sisi lain, masih
2
kurang upaya yang diberikan untuk menyelamatkan ekosistem lamun, meskipun
data mengenai kerusakan ekosistem lamun tidak tersedia, tapi faktanya sudah
banyak mengalami degradasi akibat aktivitas di darat (Rani, 2008).
Sektor wisata, budidaya, dermaga dan kegiatan manusia lainnya
(reklamasi, pertambakan, industri dan pengembangan kota) yang berada di Pulau
Pari tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran untuk melestarikan lingkungannya
(Diatin et al, 2007). Hal ini banyak menimbulkan dampak negatif bagi pihak
setempat salah satunya mengalami pencemaran polusi dan sampah.
Menurut Rani (2008), degradasi padang lamun memberi dampak yang
nyata yaitu mengarah pada penurunan keragaman biota laut sebagai akibat hilang
atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem lamun. Akibatnya dari berbagai
kegiatan manusia tersebut jelas ekosistem lamun akan mengalami kerusakan dan
kehilangan fungsinya serta membawa dampak terhadap penurunan produksi biota.
Khususnya bagi kehidupan biota crustacea ekonomis yang bergantung pada
habitat lamun akan mengalami penurunan dan berangsur – angsur akan hilang.
Sebagai tindak lanjut dalam menanggulangi penurunan produksi biota
lamun (crustacea) perlu dilakukan upaya antara lain pengembangan lamun buatan.
Lamun buatan dibentuk dari berbagai material seperti tali tambang, rumpon
plastik, batang bambu atau kayu, sabut kelapa dan lain – lain. Tujuannya untuk
memberikan habitat baru bagi berbagai biota laut dan dapat menciptakan suatu
proses ekologi terutama proses makan memakan (food chain & food web) (Rani,
2008).
Terbatasnya penelitian mengenai lamun buatan yang berperan penting bagi
biota lamun dapat dijadikan solusi pemanfaatan lebih lanjut dari berbagai pihak
3
dan mengingat perairan Pulau Pari sebagai penunjang, tempat perawatan hidup
(nursery ground) bagi biota crustacea, memiliki padang lamun dan telah banyak
mengalami kerusakan, maka untuk mengembalikan fungsi lamun alami di
perairan setempat perlu dikembangkan lamun buatan (artifisial).
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah di lamun buatan terdapat jenis–jenis crustacea?
2. Apakah terdapat pengaruh baik pada lamun buatan terhadap
keanekaragaman dan kelimpahan crustacea padang lamun yang bernilai
ekonomis dan non ekonomis?
1.3. Hipotesis
1. Di lamun buatan terdapat jenis–jenis crustacea antara lain dari kelompok
Decapoda (udang dan kepiting), Isopoda dan Amphipoda.
2. Terdapat pengaruh baik pada lamun buatan terhadap keanekaragaman
dan kelimpahan crustacea padang lamun yang bernilai ekonomis dan non
ekonomis.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh dan peranan dari beberapa material lamun buatan
pada lokasi yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan
crustacea.
2. Mengetahui jenis–jenis crustacea yang hadir pada lamun buatan, di
perairan padang lamun, Pulau Pari.
4
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
1. Memberikan informasi mengenai kelimpahan dan keanekaragaman
crustacea pada lamun buatan, di ekosistem lamun, Pulau Pari.
2. Memberikan informasi tentang kualitas perairan Pulau Pari, Kepulauan
Seribu.
3. Menjadi bahan informasi tambahan kepada pihak-pihak terkait
khususnya Lembaga Oseanografi, P2O-LIPI dan Balai Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu (BTNLKpS) dalam mengembangkan wilayah di
sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
5
1.6. Kerangka Berpikir
Gambar 1: Kerangka berpikir penelitian.
Padang lamun Pulau Pari sebagai habitat bagi biota crustacea
Berubahnya parameter fisik dan kimia perairan Pulau Pari,
perputaran air akibat pergerakan aktivitas perahu nelayan di
perairan lamun dan metode penangkapannya.
Tercemar polusi dan rusaknya pada ekosistem lamun serta
turunnya regenerasi biota crustacea
Dilakukan pengelolaan dan penelitian mengenai pengaruh
material lamun buatan terhadap kelimpahan dan
keanekaragaman crustacea di perairan padang lamun, Pulau
Pari
Pengambilan sampel
crustacea dengan
model artifisial (tali
tambang hijau)
Pengambilan sampel
crustacea dengan
model artifisial (sabut
kelapa)
Identifikasi crustacea
yang diperoleh
Memberi informasi jenis crustacea khususnya bernilai
ekonomis dan non ekonomis yang terdapat di lamun
buatan
Memberikan informasi tentang kegunaan dan manfaat
dari artifisial lamun sebagai tempat kehidupan biota
crustacea dan kehidupan masyarakat pesisir
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Umum Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu
2.1.1. Letak Geografis Kawasan
Kepulauan Pari terletak antara 05° 50′ hingga 05° 52′ Lintang Selatan dan
106° 34′ sampai 106° 38’ Bujur Timur. Daerah ini terletak di Laut Jawa, tepatnya
di sebelah Utara DKI Jakarta dan Tangerang. Secara administrasi Kepulauan Pari
termasuk Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan,
Kabupaten Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk tercatat
567 jiwa pada tahun 1994 (Asriningrum, 2004) (Gambar 2).
Gambar 2. Peta Lokasi Pulau Pari, Kepulauan Seribu. (http:// kepulauan
seribu. multiply.com/GIF-image/item/Kepulauan_Seribu, 20
05).
7
Gugusan Pulau Pari terdiri atas 6 pulau kecil yaitu Pulau Pari, Burung,
Kongsi Timur, Kongsi Tengah, Kongsi Barat, dan Tikus. Gugusan pulau ini
menjadi satu kesatuan oleh adanya pertumbuhan terumbu karang. Dalam kesatuan
kepulauan ini, terumbu karang membentuk lagun di tengahnya sehingga
kepulauan ini dapat dikatakan sebagai Pulau Atol dalam bentuk mini
(Asriningrum, 2004).
2.1.2. Topografi dan Luas Lahan
Menurut Asriningrum (2004) Gugusan Pari diketahui ada empat kelas
bentuk lahan dimana, dataran aluvial pantai merupakan bentuk lahan terluas.
Bentuk lahan terumbu cincin terbentuk oleh pertumbuhan terumbu karang atau
karena naiknya air laut pada terumbu samudera. Bentuknya seperti cincin dan
disebut juga atol. Luas bentuk lahan Gugus Pulau Pari dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Bentuk Lahan Gugus Pulau Pari.
Sumber : (Asriningrum, 2004).
Bentuk atol tersebut berasosiasi dengan terbentuknya lagun, sedangkan
bentuk lahan lagun merupakan genangan air laut yang berada di tengah terumbu
karang karena terbentuk oleh pertumbuhan terumbu karang atau naiknya air laut.
Bentuk lahan terumbu penghalang berupa terumbu karang yang muncul ke
No. Bentuklahan Luas (m2)
Luas
(km2)
%
Luas
1
Terumbu cincin
(atol) 8025497.731 8.025 70.65
2 Lagun 2133587.95 2.134 18.78
3
Terumbu
penghalang 740896.1737 0.741 6.52
4 Permukaan planasi 459497.6 0.459 4.05
∑ 11.359 100
8
permukaan laut oleh pertumbuhannya atau penurunan air laut. Bentuk lahan ini
muncul ke permukaan sebagai pulau-pulau karang timbul, sedangkan bentuk
lahan permukaan yang lebih dari satu bidang datar (planasi) terbentuk oleh proses
pengikisan lapisan atas permukaan (denudasi) sehingga membentuk suatu relief
hampir datar. Bentuk lahan ini terdapat di Pulau Pari yang material penyusunnya
merupakan sedimentasi pasir (Asriningrum, 2004).
Pulau Pari berbentuk memanjang arah diagonal Barat Daya – Timur Laut
mengikuti pola patahan secara regional. Sementara ke-lima pulau kecil lainnya
menunjukkan pola bentuk perkembangan terumbu karang yang telah lanjut dan
oleh adanya pertumbuhan karang dan atau penurunan air laut, terumbu karang ini
muncul ke permukaan (Asriningrum, 2004). Karang Timbul lainnya juga muncul
di tepi Gugusan Pulau Pari bagian Barat dan Utara dengan ukuran lebih kecil.
Menurut Kiswara (1992) bagian Selatan Pulau Pari merupakan rataan
terumbu dengan panjang terpendek 180 m dan terpanjang 900 m. Pantai utaranya
terdiri atas Goba (Goba Besar I dan II) di sebelah Barat dan rataan terumbu di
Timur. Panjang dari bagian tersempit rataan terumbu di pantai Utara Pulau Pari
sekitar 300 m dan yang terlebar 600 m. Rataan terumbu adalah bagian pulau
karang yang berada di daerah pasang surut. Pada waktu pasang rataan terumbu
tergenang air dan waktu surut terdapat tempat – tempat kering dan dasarnya terdiri
atas lumpur, pasir dan puing karang mati.
2.1.3. Sejarah dan Dasar Hukum
Menurut Lestari (2008) Kelurahan Pulau Pari yang berkedudukan di Pulau
Pari merupakan salah satu kawasan Kepulauan Seribu yang meliputi 10 pulau.
9
Adapun luas daratan Kepulauan Seribu kurang lebih 864,59 hektar dan luas
lautannya kurang lebih 6.997,50 km2 . Usaha pengaturan wilayah perairan laut di
Kepulauan Seribu sudah lama dilakukan, selain melalui peraturan daerah juga
melalui peraturan pusat (Diatin et al, 2007).
Pada tanggal 21 Juli 1982 dengan melihat potensi dan pemanfaatan
sumber daya alam khususnya daerah laut di Kepulauan Seribu yang cukup tinggi,
melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/1982, ditetapkan
wilayah seluas 108.000 hektar di Kepulauan Seribu sebagai Cagar alam dan
dengan diberi nama Cagar Alam Laut Seribu (Diatin et al, 2007). Selanjutnya
pada tahun yang sama dibulan Oktober, Menteri Pertanian memberikan
pernyataan pada Kongres Taman Nasional sedunia yang diadakan di Bali, dengan
Nomor 736/Mentan/X/1982, mengubah nama Cagar Alam Laut Pulau Seribu
menjadi Taman Nasional Kepulauan Seribu. Perubahan luas Taman Nasional
Kepulauan Seribu menjadi 108.475,45 hektar ditetapkan melalui Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 220/Kpts- II/2000. Namun, selanjutnya luas dari
Taman Nasional Kepulauan Seribu tersebut dirubah kembali menjadi 107.489
hektar dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 6310/Kpts-II/2002 pada
tanggal 13 Juni 2002.
Menurut Diatin et al (2007) adapun pengelolaan Kawasan Pelestarian
Alam Perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu diserahkan kepada
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Luas Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) tersebut hanya 15% luas Kabupaten
Kepulauan Seribu, akan tetapi sangat berperan dalam pembangunan Kepulauan
Seribu. Potensi yang ada di daerah TNLKpS sangat besar, 66 % keseluruhan
10
potensi budidaya kelautan dan 73 % dari keseluruhan potensi wisata bahari yang
ada di Kepulauan Seribu.
2.1.4. Zonasi Kawasan
Berdasarkan administrasi Gugusan Pulau Pari termasuk Kelurahan Pulau
Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu,
Propinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk tercatat 567 jiwa (1994). Wilayah
Kepulauan Seribu seluas 108.000 Ha, sebagian telah ditetapkan sebagai Taman
Nasional melalui SK. Menteri Pertanian No. 736 /MENTAN/ X /1 982
(Asriningrum, 2004).
Zonasi Taman Nasional ini, ditetapkan sebagai berikut: Zona I, II, dan III
merupakan daerah yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya
perubahan dalam bentuk apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang
berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, dan Penelitian.
1. Zona inti I, merupakan perlindungan habitat Penyu Sisik yang berlokasi di
Pulau Gosong Rengat dan perairannya. Pulau Karang Rengat dan perairannya,
seluas 1.356,8 Ha.
2. Zona Inti II, merupakan perlindungan Hutan Bakau yang berlokasi di Perairan
Gosong Penjaliran dan perairannya, seluas 2.440,9 Ha.
3. Zona Inti III, merupakan ekosistem Terumbu Karang yang berlokasi di
Perairan Pulau Kayu Angin, Pulau Bira, dan perairan Pulau Belanda, seluas
507,7 Ha.
11
Di samping Zona Inti tersebut, ada pula Zona Perlindungan yang
merupakan daerah perlindungan bagi zona inti dan dipergunakan sebagai kajian
konservasi serta pengembangan kegiatan cinta alam. Zona ini berlokasi di
perairan Pulau-pulau Jagung, Karang Buton, Karang Mayang, Rengit,
Nyamplung, Sebaru Besar dan Kecil, Lipan, Kapas, Bundar, Hantu Barat dan
Hantu Timur, Yu Barat dan Yu Timur, Satu, Kelor Barat, dan Kelor Timur. Zona
Perlindungan mempunyai luas total 12.271,94 Ha.
2.2. Karakteristik Crustacea
2.2.1. Klasifikasi
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2007) crustacea merupakan
Arthropoda yang sebagian besar hidup di laut dan bernafas dengan insang.
Tubuhnya terbagi dalam kepala (chepalin), dada (thorax) dan abdomen. Kepala
dan dada bergabung membentuk kepala-dada (cephalotorax; Y: cephale = kepala;
thorax = bagian tengah tubuh atau dada). Kepalanya biasanya terdiri atas lima
ruas yang tergabung menjadi satu. Mereka mempunyai dua pasang antena,
sepasang mandibel (mandible) atau rahang dan dua pasang maksila (maxilla).
Dada mempunyai embelan dada yang bentuknya berbeda – beda. Beberapa di
antaranya digunakan untuk berjalan. Ruas abdomen biasanya sempit dan lebih
mudah bergerak daripada kepala dan dada. Ruas – ruas tersebut mempunyai
embelan yang ukurannya sering mengecil.
Salah satu kelompok crustacea adalah Ordo Decapoda, yang masuk ke
dalam kelompok Infra Ordo Caridea. Ordo ini sangat penting, baik dari segi
ekonomi maupun biologi (Ahyong et al, 2009). Kelompok tersebut memiliki
12
karapas kecil yang tidak menutupi kepala dan dada (torax). Mereka memiliki
rangka luar (eksoskeleton), hanya satu atau dua sepasang kaki yang berfungsi
sebagai capit (chela) dan otot abdomen untuk berenang. Decapoda dari Klass
Crustacea biasa dibagi atas tiga kelompok menurut bentuk abdomennya, yakni
Macrura, Anomura dan Brachyura (Romimohtarto dan Juwana, 2007).
Gambar 3. Morfologi kelompok Macrura secara umum (Mackie, 1998).
Pengelompokkan Crustacea mengikuti Latreille yang pada tahun 1806
membagi Crustacea menjadi dua anak kelompok, yakni Entomostraca dan
Malacostraca. Berdasarkan ukuran tubuhnya Crustacea dikelompokkan menjadi
sebagai berikut (Putra, 2008):
1). Entomostraca (berukuran mikrokopis)
Hewan ini dikelompokkan menjadi empat ordo,yaitu:
a). Branchiopoda
b). Ostracoda
13
c). Copepoda
d). Cirripedia
2). Malacostraca (berukuran makroskopis)
Hewan ini dikelompokkan dalam tiga ordo, yaitu:
a). Isopoda
b). Stomatopoda
c). Decapoda
d) Amphipoda
Malacostraca banyak hidup di laut dan air tawar. Tubuhnya terdiri dari
cephalotorax yaitu kepala dan dada bersatu dengan perut (abdomen).
Malacostraca dibagi tiga ordo, yaitu Isopoda, Amphipoda, Stomatopoda dan
Decapoda.
Decapoda (kaki sepuluh) terdiri dari udang dan kepiting. Decapoda
memiliki ciri – ciri kepala sampai dada menjadi satu (cephalotorax) yang ditutupi
oleh karapas, tubuh mempunyai lima pasang kaki atau sepuluh kaki (Jones (1984)
dalam Putra, 2008). Adapun Amphipoda yang terdiri atas Super Famili
Gammaridean mendominasi kelompok Crustacea (Pera Carida) di zona Intertidal
laut dunia, yang sebagian di wilayah tropis (Thomas, 1993).
Gammaridean dari Ordo Amphipoda yang terkecil berukuran 1-8 mm dan
kehidupannya bebas seperti udang-udangan dan menghabiskan waktunya di dalam
sedimen pasir. Amphipoda (Pera Carida) memiliki rahang mulut yang
berkembang baik, tubuh lateral kompresi (subcylindrical) dan kutikula halus
(Lowry & Springthorpe,1899).
14
Menurut Brusca & Wilson (1991), seperti halnya dari (Pera Carida)
Crustacea, Isopoda memiliki 10 Sub Ordo, 4 memiliki perwakilan di dalam laut.
Namun, salah satu dari 4 Sub Ordo, kelompok Asellota jauh dari dominasi
Isopoda laut dalam klasifikasi takson, sedangkan kelompok yang paling umum
dijumpai di daerah zona pantai laut (intertidal) ada 3 Famili yaitu Idoteidae
(Valvifera), Sphaeromatidae (Flabellifera) dan Cirolanidae (Flabellifera).
Isopoda memiliki tubuh yang terbagi menjadi 3 daerah berbeda, yaitu
kepala (cephalon), dada dan perut (pleon). Segmen pertama bagian dada (toraks)
menyatu ke kepala dan bagian yang tersisa dari segmen (pereonites) dari toraks
terdiri dari pereon, masing – masing segmen terdapat sepasang kaki (pereiopods)
(Brusca & Wilson,1991).
Dalam Isopoda, perut berbentuk primitif terdiri dari 5 segmen (pleonites)
ditambah 6 yang merupakan bagian segmen pleonite + telson (pleotelson) dan
memiliki mata majemuk, dua pasang antena, dan empat set rahang. Rahang
(anterior ke posterior) terdiri dari mandibula, maxillae 1, maxillae 2 dan
maxillipeds (Brusca & Wilson, 1991).
2.2.2. Ekologi Crustacea lamun
Menurut Azkab (2000) padang lamun merupakan satu tipe biotip yang
sangat luas di lingkungan estuaria dan pesisir pantai. Di samping produktivitas
biologis yang tinggi dari lamun dan adanya asosiasi flora, kekayaan fauna
terkonsentrasi di padang lamun.
Crustacea termasuk salah satu fauna konsumen di padang lamun. Beberapa
Amphipoda, Isopoda dan Tanaidacea memakan detritus dan rimpang lamun. Di
15
samping itu, beberapa decapoda memakan daun lamun dan beberapa kepiting
dengan ukuran besar memakan moluska, polikhaeta dan algae yang menempel
pada serasah lamun (Aswandy, 2008).
Menurut Schmitt (1973) dalam Pratiwi (2003) Amphipoda umumnya
hidup mendiami substrat dasar yang ditumbuhi oleh lamun (akar dan tangkai akar
lamun), tetapi apabila Amphipoda menempati substrat pasir mereka akan merubah
corak tubuhnya seperti warna pasir dan jenis ini juga membuat lubang pada
habitatnya dengan warna yang sesuai dengan akar lamun. Adapun pada Decapoda
ditemukan mendiami berbagai macam habitat dan substrat, terutama pada kepiting
(Sub ordo Brachyura) yang sebagian besar mendiami substrat keras seperti batu-
batuan (coral) yang terdapat di antara tumbuhan lamun (Aswandy, 2008).
Menurut Moosa dan Aswandy (1995) kepiting dan udang (Suku
Palaeomonidae) dari kelompok Decapoda beradaptasi dengan baik dan hidup
diantara daun lamun. Crustacea ini memangsa binatang–binatang kecil lainnya
yang hidup menempel (epizoa) pada daun atau bagian dari lamun. Kelompok ini
yang diwakili oleh berbagai jenis udang (Macrura), kepiting (Brachyura) dan
Kumang (Anomura) pada umumnya adalah pemakan segala (omnivore) dengan
kecenderungan ke arah pemakan daging (karnivore).
Decapoda sudah mengadaptasikan diri hidup pada tumbuhan seperti
beberapa jenis algae dan lamun, contohnya (Sub Ordo Brachyura) jenis Suku
Xantidae yang sebagian besar ditemukan pada substrat keras dan Suku Majidae
ditemukan merayap diantara tumbuhan, sedangkan Suku Portunidae dan
Calappidae bergerak di substrat dasar berpasir (Aswandy dan Moosa (1995)
dalam Aswandy, 2008).
16
Menurut Widyastuti (2002) Sub Ordo Brachyura berperan sebagai parasit
dan diperkirakan ada 130 jenis yang terbagi dalam 4 marga Argulus, ke empat
marga tersebut merupakan parasit di laut. Morfologi dari kelompok ini
mempunyai sepasang alat penghisap (sucker), sepasang mata faset yang besar dan
kepala tertutup oleh karapas yang transparan pada bagian dorsalnya.
Investasi dari parasit dapat menyebabkan kerusakan pada bagian tubuh
mangsa (hospes), termasuk Ordo Isopoda yang bersifat parasit bagi ikan dan jenis
crustacea lain seperti kepiting dan lainnya, sehingga biasanya ditemukan melekat
pada bilik insang dari hospes (Widyastuti, 2002). Adaptasi morfologi dari Isopoda
terutama untuk memakan dan melekat pada mangsanya, sehingga pada bagian
mulut dengan mandibula dan maksila pertama mampu menusuk dan masuk
jaringan hospes. Adapun Stomatopoda merupakan pemangsa (predator) yang
bergerak aktif mencari mangsa tapi merupakan jenis karnivora yang menunggu
mangsanya untuk diterkam (Barnard (1971) dalam Aswandy, 2008).
Ordo hoplocarida (Stomatopoda) hidup di substrat dasar dengan meliang,
seperti Lysiosquilla maculate dan ada pula yang membenamkan diri di substrat
dasar atau hidup di antara batu – batuan yang terdapat dalam ekosistem lamun.
Binatang ini merupakan pemangsa yang memangsa berbagai jenis moluska atau
binatang lain seperti ikan kecil atau crustacea, sedangkan stomatopoda sendiri
merupakan mangsa dari hewan lainnya seperti ikan, cumi dan gurita (Aswandy,
1995).
17
2.3. Asosiasi dan Interaksi Lamun
2.3.1. Pengertian
Menurut Azkab (2000) lamun merupakan tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang mempunyai adaptasi untuk hidup pada lingkungan laut dan
memerlukan kemampuan berkolonisasi untuk hidup pada media air asin yang
mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran
yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan untuk berkembang biak
secara generatif dalam keadaan terbenam dan dapat berkompetisi dengan
organisme lain dalam kondisi stabil. Untuk melihat karakter dan jenis lamun dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Jenis–jenis Lamun di Perairan Indonesia. (http://
w ww.indo.seagrass.org.id.).
Menurut Azkab (2006) lamun juga sebagian besar memiliki struktur
berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau
bunga betina saja. Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi reproduksi
18
lamun adalah bersifat hidrophilus yaitu kemampuannya untuk melakukan polinasi
di bawah air.
Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) ekosistem padang lamun
memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem
mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain:
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir
2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran
terumbu karang
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan
terlindung
4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan
5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan
tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif
6. Mampu hidup di media air asin
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
2.3.2. Klasifikasi
Menurut ITK-IPB (2007) di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar
15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu : Hydrocharitacea ( 9 marga, 35
jenis ) dan Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis Thalassia hemprichii
tersebar luas di seluruh Indonesia dan tumbuh merambat secara vertikal dari zona
intertidal bawah ke zona subtidal, sedangkan Halophila ovalis juga tersebar dan
tumbuh secara vertikal dari zona intertidal dengan kedalaman 20 meter dan
tumbuh dengan baik dalam sedimen dasar (Kuriandewa et al (2003) dalam Green
& Frederick, 2003).
19
Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez,
Phillips, dan Calumpong (1983) adalah sebagai berikut :
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Famili : Potamogetonacea
Subfamili : Zosteroideae
Genus : Zostera
Phyllospadix
Heterozostera
Subfamili : Posidonioideae
Genus : Posidonia
Subfamili : Cymodoceoideae
Genus : Halodule
Cymodoceae
Syringodium
Amphibolis
Thalassodendron
Famili : Hydrocharitaceae
Subfamili : Hydrocharitaceae
Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) berbagai bentuk
pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologik lamun,
misalnya bentuk ‘Parvozosterid’ dan ‘Halophilid’ dapat dijumpai pada hampir
semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai lumpur yang lunak, mulai dari
daerah dangkal sampai dalam dan mulai dari laut terbuka sampai estuaria.
20
2.3.3. Asosiasi Crustacea Lamun
Asosiasi lamun yang paling beragam ditemukan pada habitat terumbu
karang di zona sublitoral atas, ditemukan pada daerah yang memiliki kestabilan
tinggi dan paling sedikit mengalami penurunan atau pasir yang hampir horisontal
(landai). Pecahan karang yang menutupi terumbu karang termasuk banyak
habitatnya, sehingga tiap spesies fauna dapat sangat melimpah dan mendominasi
komunitas (Azkab, 2006).
Komunitas lamun dihuni oleh banyak jenis fauna bentik, organisme
‘demersal’ serta ‘pelagis’ yang menetap maupun yang tinggal sementara disana.
Adapun spesies yang sementara hidup di lamun biasanya adalah juvenil dari
sejumlah organisme yang mencari makanan serta perlindungan selama masa kritis
dalam siklus hidup mereka, atau mereka mungkin hanya pengunjung yang datang
ke padang lamun setiap hari untuk mencari makan (Kasim, 2005).
Menurut Ngangi (2003) ekosistem padang lamun berperan sebagai
penyuplai energi, baik pada zona bentik maupun pelagis, salah satunya detritus
daun lamun yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik crustacea
(seperti udang, kepiting, termasuk bakteri), sehingga dihasilkan bahan organik,
baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam bentuk nutrien. Nutrien
tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi juga bermanfaat
untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, juvenil ikan dan
lainnya (Dahuri (2003) dalam Ngangi, 2003).
Fauna crustacea yang berasosiasi dengan lamun merupakan komponen
penting dari jaring makanan di lamun, meskipun bentuk crustacea infaunal
maupun epifunal berhubungan erat dengan produsen primer. Crustacea berperan
21
sebagai konsumen di lamun karena sebagian besar membutuhkan pakan nutrisi
atau epifit pada lamun dan lamun sebagai habitat yang ideal bagi crustacea untuk
berkembang biak. Kelompok crustacea di lamun berada pada tingkatan trofik
yang lebih tinggi, karena selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan
sumber makanan utama bagi berbagai ikan, udang dan invertebrata yang
berasosiasi dengan lamun (Kasim, 2005).
Gambar 5. Jenis Udang yang menjadikan Lamun sebagai habitat utama
nya (Kasim, 2005).
Banyak spesies epibentik udang baik yang tinggal menetap maupun
tinggal sementara di lamun dan bernilai ekonomis, seperti dari suku Penaeid
komersial penting, contohnya Penaeus esculentus dan P. semisulcatus (Bell &
Pollard 1989; Coles et al. 1993; Mellors & Marsh 1993; Watson et al. 1993) dan
lobster berduri (Panulirus ornatus) (Bell & Pollard 1989; Poiner et al. 1989),
yang tergantung pada lamun sebagai tempat mencari makan serta berlindung
selama masa post larva dan juvenil dari siklus hidup mereka (Aswandy, 2008).
Menurut Moosa dan Aswandy (1995) padang lamun juga ditemukan
kelompok Stomatopoda yang merupakan kelompok predator dengan jenis
beragam dan terdistribusi luas, tetapi nampaknya hanya spesies Pseudosquilla
22
ciliata yang benar-benar berasosiasi dengan lamun. Stomatopoda umumnya hidup
berbatasan dengan rataan terumbu intertidal. Diantara stomatopoda ada yang
berasosiasi dengan karang dan paling beragam warnanya adalah Odontodactylus
scyllaus (Squillidae), merupakan predator aktif memakan moluska.
Crustacea predator yang berasosiasi dengan padang lamun umumnya
berada pada kondisi alami (tidak dieksploitasi oleh penduduk lokal). Kepiting dan
beberapa crustacea lain menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya dengan
mengubur diri di bawah permukaan substrat. Diantara yang paling umum adalah
jenis kepiting kotak dari Famili Calappidae. Kepiting kotak biasanya meliang
dibawah permukaan pasir, dan aktif memakan gastropoda. Capit kanan mereka
digunakan khusus untuk menghancurkan cangkang gastropoda (Kasim, 2005).
2.3.4. Parameter Ekologi Lamun
a. Suhu
Menurut Azkab (1999) kisaran suhu bagi spesies lamun dapat tumbuh di
bawah atau di atas tingkat temperatur normal yaitu antara 28 – 30oC . Hal tersebut
menyebabkan fotosintesis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Jenis
Thalassia sp yang hidup pada temperatur tinggi (di atas 30oC) dapat berbunga
tetapi tidak dapat berbuah dan dapat mengakibatkan banyak daun yang gugur.
b. Salinitas
Menurut Dahuri (2003) dalam Ngangi (2003) kisaran salinitas bagi spesies
lamun 10-40 per mil (o/oo) optimal 35
per mil (
o/oo). Ditambah pula bahwa
Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 35-60 per mil (
o/oo), namun dengan
waktu toleransi singkat.
23
c. Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus
lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat
penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya yang
tinggi bagi lamun untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya yang
terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (ITK-IPB, 2007).
Nilai kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan lumpur, kandungan
plankton, dan zat-zat terlarut lainnya.
d. Kedalaman
Menurut Gonzagawawa (2009) tumbuhan lamun ini hidup di habitat
perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 3 meter di lautan tropis hingga
sub tropis. Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan
perairan pantai yang dasarnya bisa berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan
karang mati, dengan kedalaman hingga empat meter. Adapun di perairan yang
sangat jernih, beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh di kedalaman 8 hingga 15
meter (Husein, 2005).
e. Nutrien
Menurut Husein (2005) detritus daun lamun yang tua diuraikan
(dekomposisi) oleh sekumpulan hewan dan jasad renik yang hidup di dasar
perairan, seperti teripang, kerang, kepiting, dan bakteri. Hasil penguraian ini
berupa nutrien yang tercampur atau terlarut di dalam air. Nutrien ini tidak hanya
bermanfaat bagi tumbuhan lamun, melainkan juga bermanfaat untuk pertumbuhan
fitoplankton, dan selanjutnya zooplankton pada crustacea.
24
f. Substrat
Menurut ITK-IPB (2007) kesesuaian substrat yang paling utama bagi
perkembangan lamun ditandai dengan kandungan sedimen yang cukup. Semakin
tipis substrat (sedimen) perairan akan menyebabkan kehidupan lamun yang tidak
stabil,sebaliknya semakin tebal substrat, lamun akan tumbuh subur yaitu berdaun
panjang dan rimbun serta pengikatan dan penangkapan sedimen semakin tinggi.
Sementara itu, di kepulauan Spermonde Makassar, Erftemeijer (1993) melaporkan
bahwa menemukan lamun tumbuh pada rataan terumbu dan paparan terumbu
yang didominasi oleh sedimen karbonat (pecahan karang dan pasir koral halus),
teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam (terrigenous) dan pantai intertidal
datar yang didominasi oleh lumpur halus.
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 bertempat di
Perairan Pesisir Pulau Pari, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS),
Teluk Jakarta – DKI Jakarta. Lokasi penelitian (Gambar 4), meliputi daerah Utara
(stasiun 1), Barat Daya (stasiun 2) dan Selatan (Stasiun 3) dari Pulau Pari untuk
mengambil data yang mewakili daerah tersebut.
Gambar 6. Lokasi dan Stasiun penelitian P. Pari, Kepulauan Seribu (PusLit
Geoteknologi-LIPI, 2002).
3.2. Alat dan Bahan
Alat–alat yang digunakan adalah termometer, kertas pH
universal/pHmeter, rollmeter, refraktosalinometer, kompas, water quality checker,
ember, GPS, mikroskop binokuler, snorkel, alat ukur kedalaman (Depth gauge),
Keterangan :
= Lokasi
Penelitian.
= Stasiun
Penelitian
26
alat ukur kecerahan (Secchi disk), sabut kelapa, tali plastik (tambang), plastik,
patok bambu ukuran 1,5 m, botol sampel, sedotan plastik 10 cm, jaring net, pinset,
tatakan dan alat tulis. Sedangkan bahan–bahan yang digunakan adalah alkohol
70% untuk mengawetkan sampel biota crustacea dan mengidentifikasinya.
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Penentuan Titik Sampling
Untuk mengetahui penentuan titik sampling atau stasiun penelitian, maka
dilakukan pra survey terhadap kondisi lingkungan sebagai berikut:
a. Titik sampling ditentukan dari kondisi lingkungan atau parameter yang
mendukung baik (substrat, kondisi lamun dan geografis).
b. Penentuan stasiun tersebut berdasarkan pada zona padang lamun
sangat lebat (Selatan), sedang (Barat Daya) dan jarang (Utara).
c. Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi lamun
adalah metode transek garis dan petak contoh (Line Transect)..
d. Tiap stasiun pengamatan, ditetapkan transek garis dari arah tepi pantai
ke arah laut hingga jarak 100 m (tegak lurus garis pantai sepanjang
zonasi padang lamun yang terjadi) di daerah intertidal.
e. Pada transek garis, letakkan petak contoh berbentuk segi empat dengan
ukuran 50x50 cm (interval 10 m).
f. Peletakkan tiap petak contoh perlu dilakukan, agar area tersebut
menjadi homogen.
27
Gambar 7. Petakan plot di tiap stasiun.
3.3.2. Metode Pengambilan sampel crustacea
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data sampel menggunakan
metode eksperimen rumpon buatan (Juwana, 2001), melalui beberapa tahap
sebagai berikut:
1. Tahap persiapan, yaitu menyiapkan seluruh keperluan alat atau bahan yang
digunakan untuk pembuatan artifisial lamun.
2. Tahap pembuatan konstruksi lamun buatan. Lamun buatan terdiri dari 2
model yaitu material tali plastik dan sabut kelapa yang sebelumnya dalam
bentuk produk pabrikan. Kemudian kedua material tersebut masing–
masing direntangkan dan dipotong dengan panjang 60 cm. Setelah itu,
material tersebut disisir dan dibuat bentuk rumbai atau rumpon. Sediakan
benang pancing dengan ketebalan ukuran 50–100 lbs dan dipotong dengan
ukuran 1-1,5 m. Setelah masing–masing material diukur, kemudian
diikatkan dengan ikatan simpul pada benang pancing. Jarak antar ikatan
28
satu rumpon (lamun buatan) dengan rumpon lain dalam satu buah artifisial
adalah 10 cm.
3. Tahap peletakkan lamun buatan. Tiap stasiun dibuat petak ukuran 10x10
m untuk penempatan artifisial dengan 2 model secara sejajar dan diagonal.
Tiap–tiap artifisial sudah ditentukan dengan ukuran 1m x 0,2m x 0,3m (P
x L x T). Untuk perolehan luasan plot, maka ukuran artifisial tersebut
diasumsikan menjadi 1x1m dengan 3 ulangan (plot), agar mewakili area
tersebut. Lalu artifisial tersebut ditempatkan dimasing–masing zona lamun
dengan ketentuan tingkat kerapatan rendah (6,25-12,5%), sedang (12,5-
50%) dan tinggi (50-100%) (Keputusan Meneg LH, 2004) pada tiap
stasiun. Jarak penempatan lamun buatan dengan alami disesuaikan dengan
kondisi lamun sekitar. Pengambilan data sampel dilakukan setelah
artifisial berumur 1, 2, 3 dan 4 minggu berada di perairan padang lamun.
4. Tahap pengambilan data. Pengambilan sampel crustacea yang berada di
artifisial menggunakan metode pengambilan secara langsung, yang
terlebih dahulu meletakkan jaring tepat di bawah lamun buatan secara
menyeluruh agar biota crustacea yang masuk perangkap artifisial tidak
mudah lolos, kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam ember dan
dibawa ke laboratorium. Pengambilan sampel tersebut dilakukan mulai
jam 13.30 – 17.00 WIB waktu setempat.
5. Identifikasi data. Identifikasi sampel dilakukan di laboratorium. Sampel
dalam botol atau kantong plastik telah diberi pengawet alkohol 70%. Lalu
disortir antara jenis sampel crustacea dan non crustacea. Kemudian
diidentifikasi dengan referensi pedoman identifikasi crustacea antara lain
29
dari buku “Identification Manual for the Marine Amphipoda:
(Gammaridea)” (Thomas, 1993) dan buku “Guide To The Marine Isopods
Of Southern Africa” (kensley, 1978) serta buku lainnya, sehingga dapat
dikelompokkan secara sistematik.
Gambar 8. Gambaran dan Letak Plot Lamun Buatan.
Keterangan gambar; (A) = Peta Pulau Pari yang terdiri dari beberapa lokasi :
a. Utara (tingkat kerapatan lamun jarang).
b. Selatan (sedang).
c. Barat Daya (padat).
(B) = Posisi Plot transek lamun buatan dalam petakan.
(C) = Model lamun buatan.
30
3.3.3. Pengukuran Parameter Kualitas Perairan Pada Tiap Stasiun
Penelitian Dilakukan Sebanyak Tiga Kali Ulangan.
a. Temperatur
Suhu perairan diukur dengan menggunakan termometer alkohol, dengan
cara dicelupkan ke dalam perairan, kemudian suhu dilihat di dalam air. Untuk
menghindari berubahnya suhu dalam pengamatannya dengan cara pengambilan
sampel air. Posisi termometer harus sejajar dengan arah penglihatan agar tidak
terjadi kesalahan membaca suhu.
b. Kedalaman
Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan batang bambu berskala,
dengan dimasukkan tongkat tersebut ke dalam perairan sampai menyentuh dasar.
Kemudian catat nilai yang diperoleh.
c. Kecerahan
Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan Secchi disk, lalu
dimasukkan ke dasar permukaan air dan dilihat apakah masih terlihat atau tidak
terlihat warna yang terdapat di Secchi disk tersebut. Jika tak terlihat, maka
panjang tali dicatat dan pada saat Secchi disk diangkat lalu terlihat warna
lempengannya, maka panjang tali tersebut dicatat kembali. Sehingga hasilnya
dapat dihitung dengan diambil rata–rata dari tiap panjang tali yang dicatat.
31
d. Salinitas
Salinitas perairan diukur dengan menggunakan refraktosalinometer, dengan cara
pengambilan sampel air pada setiap stasiun. Kemudian dibawa ke laboratorium
untuk dicatat nilai yang diperoleh.
e. pH
pH perairan diukur dengan menggunakan pH universal atau pHmeter,
dengan cara pengambilan sampel air pada tiap stasiun. Kemudian dibawa ke
laboratorium dan dicatat nilainya.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Kelimpahan Crustacea
Analisis kelimpahan crustacea yang berada di lamun buatan, dihitung
dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Odum (1971), sebagai
berikut:
Keterangan :
X : Kelimpahan crustacea.
Xi : Jumlah individu (crustacea) pada stasiun pengamatan
ke-i.
n : Luas lamun buatan yang diamati (m2).
32
3.4.3. Indeks Keanekaragaman (H’)
Untuk pengolahan data keanekaragaman digunakan rumus Shanon–
Wiener (Krebs (1989), yaitu;
S
H’ = ∑ (pi) (log2 pi) i=1
dimana :
H’ : Nilai Indeks Keanekaragaman.
pi : Proporsi jumlah individu spesies ke –i (ni) terhadap
total individu (N) : (ni/N).
N : Jumlah total individu semua spesies.
S : Jumlah jenis.
Nilai indeks keanekaragaman (Shanon-Wiener) mempunyai beberapa
kategori menurut (Hardjosuwarno (1990) dalam Darojah, 2005), dibagi menjadi
empat kriteria berdasarkan kondisi diversitas fauna bentik dengan kisaran:
H’ > 3,0 : Keanekaragaman sangat tinggi.
H’ 1,6–3,0 : Keanekaragaman tinggi.
H’ 1,0–1,5 : Keanekaragaman sedang.
H’ < 1 : Keanekaragaman rendah.
33
3.4.4. Indeks Dominansi (D)
Metode indeks dominansi ‘Simpson’ digunakan untuk mengetahui adanya
spesies jenis tertentu yang mendominansi habitat tertentu (Krebs (1989) dalam
Werdiningsih, 2005), dengan rumus:
Keterangan:
D : Indeks dominansi Simpson.
Pi : Proporsi spesies ke-i dalam komunitas
ni : Jumlah individu spesies ke-i.
N : Jumlah total individu.
Indeks Dominansi antara 0–1
D = 0, berarti tidak terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya
atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.
D = 1, berarti terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau
struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis.
3.4.5. Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman dapat diketahui dengan cara membandingkan
keanekaragaman dengan nilai maksimum (Krebs (1989) dalam Werdiningsih,
2005), yang dinyatakan sebagai berikut:
Keterangan :
H’ max : Nilai maksimum H’ = Log2 S = 3,3219 log S.
E : Indeks keseragaman.
34
H’ : Indeks keanekaragaman.
S : Jumlah jenis.
Nilai indeks berkisar antara 0–1
E ≈ 0: keseragaman antara spesies rendah, artinya kekayaan individu
yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda.
E = 1: keseragaman antarspesies relatif merata atau jumlah individu
masing-masing spesies relatif sama.
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Habitat
4.1.1. Kondisi Habitat Lamun Alami, Pulau Pari
Berdasarkan hasil pengamatan dalam pengambilan sampel crustacea,
didapat bahwa lokasi penelitian berada di Perairan Pulau Pari. Pengambilan
sampel crustacea dilakukan pada tiga titik stasiun antara lain stasiun Barat Daya,
Utara dan Selatan. Pada perairan Barat Daya, Pulau Pari memiliki struktur
permukaan dengan rataan terumbu dan terdapat goba serta substrat yang
berlumpur pasir. Lokasi stasiun tersebut merupakan titik penelitian yang baik,
karena didukung oleh hamparan padang lamun dan berhubungan langsung dengan
laut lepas. Diduga stasiun Barat Daya memiliki beranekaragam jenis bentik
(demersal atau pelagis) yang hidup pada ekosistem padang lamun.
Adapun di stasiun Barat Daya terdapat sebagian kecil mangrove yang
tumbuh disekitar pesisir padang lamun. Tumbuhan mangrove dan padang lamun
yang terdapat di stasiun Barat Daya memiliki hubungan yang erat dilihat dari segi
ekologi. Kedua tumbuhan tersebut mampu memberikan habitat yang baik bagi
bentik crustacea atau biota lainnya. Padang lamun merupakan salah satu
ekosistem perairan pantai yang menjadi habitat dari berbagai jenis binatang
invertebrata termasuk beraneka jenis crustacea (Moosa dan Aswandy, 1995).
Lamun yang terdapat di perairan Barat Daya antara lain dari jenis Enhalus
acroides, yang memiliki struktur daunnya memanjang (lanset) lebih dari 30 cm.
36
Hampir sebagian besar di stasiun Barat Daya didominasi oleh jenis lamun
tersebut, walaupun ada sebagian kecil terdapat jenis Thalassia sp. Diduga jenis
Enhalus sp lebih cocok dengan substrat dasar lumpur berpasir, sehingga dapat
tumbuh subur dilingkungan tersebut.
Substrat berlumpur juga terdapat di stasiun Utara yang berbatasan
langsung dengan pulau kudus. Stasiun tersebut memiliki struktur dasar permukaan
yang curam dan tidak rata, ditambah juga kondisi dataran yang lunak, sehingga
cukup sulit apabila melintasinya. Perairan di stasiun Utara kondisinya cukup
tenang dan gelombang arus yang kecil, karena letaknya tidak berhubungan
langsung dengan perairan laut lepas. Perairan tersebut cukup ideal untuk dijadikan
tempat budidaya keramba khususnya jenis udang-udangan bagi masyarakat
sekitar. Hal ini diduga kondisi lingkungan perairan yang mendukung salah
satunya suhu mencapai (29-34oC) (tabel 8).
Padang lamun di stasiun Utara cenderung memiliki tingkat kerapatan yang
lebih rendah (12,1%) bila dibandingkan dengan stasiun lainnya (Barat Daya dan
Selatan) (lihat lampiran 9). Jenis lamun yang terdapat di stasiun Utara antara lain
Enhalus acroides dan Thalassia sp. Diduga kedua jenis lamun tersebut tidak
mendominasi satu sama lain dan kondisi lamunnya yang tidak lebat (jarang),
sehingga kemungkinan bentik penghuni lamun khususnya crustacea jarang
ditemukan. Tidak hanya ekosistem lamun yang terdapat di stasiun Utara, tetapi
ada juga ekosistem mangrove walaupun hanya sebagian kecil wilayahnya.
Selain lokasi di Utara ada juga lokasi Selatan yang memiliki kondisi
padang lamun yang cukup baik, karena stasiun tersebut ditumbuhi oleh lamun
jenis Cymodoceae rotundata, Thalassia sp dan Enhalus sp. Jenis Cymodoceae dan
37
Thalassia mendominasi padang lamun di stasiun tersebut. Substrat dasar
lamunnya berpasir kasar dan halus serta permukaan dataran dengan rataan
terumbu. Disamping itu perairan bagian Selatan berdekatan dengan
perkampungan nelayan dan dermaga, sehingga bagi masyarakat tersebut dijadikan
tempat mencari ikan dan udang-udangan.
Lamun alami yang terdapat di 3 lokasi perairan dapat memberi keuntungan
tersendiri bagi crustacea dan terdapat suatu rantai makanan antar organisme
tersebut. Bentik crustacea sebagai konsumen bagi lamun, karena dapat
memanfaatkan daun lamun sebagai pakan nutrisi, sedangkan lamun sebagai
produsen dengan memanfaatkan detritus sisa pakan crustacea untuk dijadikan
nutrien bagi lamun.
4.1.2. Lamun Buatan
Beberapa material lamun buatan yang dijadikan sebagai bahan alternatif
lamun alami, antara lain material tali plastik dan sabut kelapa. Kedua material
tersebut tidak memiliki ukuran yang luas dan cukup untuk mewakili dari tiap
stasiun, karena hanya untuk mengetahui keberadaan crustacea baik dari segi
diversitas (keanekaragaman) maupun kelimpahan jenis yang terdapat di area
padang lamun. Salah satunya material tali plastik yang memiliki kondisi fisik
yang kuat dan tahan lama walaupun lebih cenderung kurang ramah lingkungan. Di
duga material tali plastik mampu memberikan keuntungan bagi crustacea bentik di
lamun. Pada dasarnya material tali plastik memiliki kandungan bahan kimia
anorganik. Hal ini disebabkan tali plastik memiliki kandungan polimer (protein,
38
karet alam dan sejenisnya), mengandung zat pewarna yang berfungsi
meningkatkan penampilan fisik (Mujiarto, 2005).
Selain material tali plastik, sabut kelapa juga merupakan salah satu
material yang digunakan untuk pengambilan sampel dan mengetahui keberadaan
crustacea. Bahan tersebut diketahui dapat mempengaruhi keberadaan biota
crustacea antara lain dari jenis Amphipoda, Isopoda, Mysidacea dan sebagian dari
Decapoda, sehingga kemungkinan bahan tersebut mampu dijadikan sebagai
alternatif dan pengganti lamun alami. Sabut kelapa memiliki tekstur fisik yang
kasar pada tiap untaian helaiannya, karena dengan kondisi tekstur tersebut diduga
dapat menangkap zat–zat organik berupa kandungan mineral dan unsur hara lain
(fitoplankton) di perairan laut. Crustacea yang menempel pada material sabut
kelapa memiliki keuntungan antara lain sebagai tempat persembunyian dan
berlindung sementara agar terhindar dari predator di wilayah padang lamun.
Selain itu, dapat juga sebagai tempat mencari makan, karena diduga pada setiap
helai sabut kelapa terdapat zat organik (pakan) yang melekat, sehingga crustacea
dapat dengan mudah mencari makan.
Adapun bahan sabut kelapa memiliki daya tahan yang cukup terbatas
sebagai material lamun buatan. Diduga karena kondisi fisik yang cukup rentan
terhadap arus perairan laut dan teksturnya renggang, sehingga tiap beberapa
waktu perlu penggantian yang baru. Material Sabut kelapa cenderung ramah
terhadap lingkungan ataupun baik untuk dijadikan penunjang habitat sementara
bagi bentik crustacea. Hal ini juga karena bahan tersebut merupakan bahan
organik alternatif berasal dari buah kelapa tua yang memiliki serat kuat. Bagian
serat sabut yang terkandung oleh tempurung kelapa dapat didayagunakan sebagai
39
absorben terutama polutan logam berat yang berbahaya dan mempunyai
kemampuan untuk menyerap logam berat Pb, Fe dan Cu (Putra, 2008).
Pada material tali plastik memiliki kondisi rimbunan lebih lebat bila
dibandingkan dengan sabut kelapa yang agak renggang. Material tersebut dapat
dijadikan sebagai habitat alternatif yang bersifat sementara bagi crustacea yang
melekat. Diduga dengan kondisi rimbunan yang lebat dapat dijadikan tempat
berkembang biak dan berteduh ataupun asuhan “nursery ground”.
Kedua material tersebut memiliki fungsi yang hampir sama dilihat dari
segi fisik bahan (kerimbunan, kandungan zat, struktur dan bentuk) ataupun
perolehan jumlah komposisi bentik crustacea tersebut. Perolehan komposisi jenis
crustacea pada material tali plastik lebih banyak daripada sabut kelapa. Lain
halnya dengan material, lamun alami cenderung merupakan habitat yang secara
alami dapat menunjang bentik crustacea tersebut dapat hidup berkembang biak
ataupun reproduksi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
4.2. Kelimpahan jenis Crustacea
4.2.1. Lokasi Barat Daya
Pengambilan sampel crustacea di 3 stasiun penelitian yang dilakukan di
perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu diperoleh bahwa stasiun Barat Daya
terdapat jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu Paracerceis sp (Ordo
Isopoda) dan Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda). Paracerceis sp memiliki
kelimpahan sebesar 115 individu/m2, sedangkan Cymadusa filosa 67 individu/m2
(model artifisial sabut kelapa/M1). Pada jenis yang memiliki kelimpahan terendah
atau tidak memiliki kelimpahan pada model tersebut adalah Famili Gammaroidea,
40
Ceradocus Sheardi (Ordo Amphipoda), Megaluropus sp (Famili Megaluropidae);
Liljeborgia brevicornis, Liljeborgia sp (Ordo Amphipoda; Famili Liljeborgidae);
Orchestia sp, Podocerus kleidus, Anamixis sp, Chevalia aviculae, Leucothoe sp,
(Ordo Amphipoda), Dynamenella sp, Cymodoce velutina, Cymodoce sp,
Ianiropsis sp (Ordo Isopoda); Cyclaspis sp (Ordo Cumacea); Famili Euphausid,
Alpheus sp (Famili Alpheidae); Palaemonetes sp, Palaemon sp (Ordo Decapoda;
Famili Palaemonidae), Spirontocaris sp (Caridean). Jenis–jenis tersebut masing –
masing memiliki kelimpahan antara 0–2 individu/m2.
Model artifisial sabut kelapa (M1) mendukung kehidupan biota crustacea,
sehingga tercatat pada jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Cymadusa filosa
(Ordo Amphipoda) memiliki kelimpahan jenis tertinggi. Hal ini diduga bahan
sabut kelapa memiliki struktur rimbunan agak renggang, kasar dan didukung oleh
faktor lingkungan (nutrien), dimana senyawa organik di perairan Barat Daya
menempel pada substrat sabut, sehingga memudahkan jenis–jenis tersebut dapat
mencari makan dengan mudah dan hadir di substrat sabut kelapa.
Model tali plastik (M2) memiliki kelimpahan jenis tertinggi adalah
Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) yang
masing – masing sebesar 126 dan 72 individu/m2. Kelimpahan jenis terendah pada
model tali plastik (M2) adalah Ceradocus sheardi (Famili Gammaroidea),
Listriella barnardi (Famili Liljeborgidea), Eusiroidea sp, Anamixis sp, Chevalia
aviculae, Leucothoe sp, Cymodoce sp (Ordo Isopoda), Palaemon sp (Macrura;
Ordo Decapoda), Spirontocaris sp (Caridean) dan Lacnopodus subacutus
(Brachyura). Jenis–jenis tersebut tidak memiliki jumlah individu yang sama yaitu
0 individu/m2.
41
Jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi pada model tali plastik (M2)
hampir sama seperti model sabut kelapa (M1). Hal ini disebabkan tali plastik
memiliki kandungan polimer (protein, karet alam dan sejenisnya), mengandung
zat pewarna yang berfungsi meningkatkan penampilan fisik (Mujiarto, 2005).
Oleh sebab itu, tali plastik dapat memberikan habitat baru (sementara) untuk
berlindung bagi kehidupan crustacea.
Selain itu juga didukung oleh kondisi alaminya, pada jenis Paracerceis sp
yang termasuk Famili Sphaeromatidae (isopoda) penyebarannya bersifat
kosmopolit dan menguasai zona intertidal (pesisir). Beberapa spesiesnya terdapat
menempel pada substrat tonggak kayu atau serabut dan sekitar karang (Kensley,
1978).
Kondisi substrat berupa lumpur pasiran yang didiami oleh kedua jenis ini
mendominasi di stasiun Barat Daya. Kelompok organisme yang mampu
beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro
(berukuran 1-10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir dan organisme
meiofauna mikro (berukuran 0,1–1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam
ruang interaksi (Ardi (2002) dalam Schmieg, 2007). Hal lain adanya komponen
berupa lamun buatan dan alami pada stasiun Barat Daya yang saling memberi
asupan baik berupa kehidupan hunian maupun bereproduksi bagi Paracerceis sp
(isopoda) dan Cymadusa filosa (Amphipoda). Kelimpahan jenis crustacea dapat
dilihat pada Tabel 2.
42
Tabel 2. Kelimpahan Crustacea (individu/m2) Pada Stasiun Penelitian Barat
Daya.
No Nama Crustacea Modul Artifisial
M1 M2
1 Famili Gammaroidae 2 39 2 Ceradocus sheardi 1 0 3 Anamaera hixoni 4 2 4 Megaluropus sp 0 3 5 Cymadusa filose 67 72 6 Orchestia sp 1 1 7 Liljeborgia brevicornis 0 1 8 Liljeborgia sp 0 1 9 Listriella barnardi 3 0 10 Podocerus kleidus 1 8 11 Famili Colomastigidae 5 4 12 Eusiroidea sp 10 0 13 Anamixis sp 1 0 14 Chevalia aviculae 1 0 15 Leucothoe sp 1 0 16 Dynamenella sp 0 4 17 Cymodoce setulosa 4 5 18 Paracerceis sp 115 126 19 Cymodoce velutina 0 3 20 Cymodoce sp (A) 0 1 21 Cymodoce sp (B) 4 0 22 Cymodoce sp (C) 6 0 23 Cymodoce natalensis 15 4 24 Ianiropsis sp 0 2 25 Ordo Mysidacea 31 30 26 Cyclaspis sp 0 2 27 Palaemonetes sp 0 1 28 Palaemonella sp 1 1 29 Palaemon sp 1 0 30 Famili Euphausidae 0 1 31 Alpheus sp 0 1 32 Spirontocaris sp 1 0 33 Lacnopodus subacutus 1 0
Keterangan:
M1 = Sabut Kelapa M2 = Tali Plastik (tambang)
43
Sedikit atau tidak adanya kelimpahan jenis di stasiun Barat Daya bisa
disebabkan karena kurang cocoknya lamun buatan dalam memerankan fungsi
ekologinya bila dibanding dengan yang alami dan kondisi rimbunan lamun buatan
khususnya sabut kelapa yang kurang lebat, sedangkan pada lamun alaminya dapat
memproduksi detritus daun lamun untuk keperluan pakan crustacea. Kekurangan
lainnya bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu parameter (kecerahan).
Diduga apabila kecerahan yang cukup rendah kehadiran dari biota khususnya
crustacea akan relatif banyak dan begitu juga sebaliknya.
4.2.2. Lokasi Utara
Pantauan dari hasil pengamatan yang didapat bahwa terdapat kelimpahan
jenis tertinggi yang berada di lokasi Utara antara lain pada Ordo Mysidacea dan
Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang masing–masing sebesar 24 dan 17
individu/m2. Jenis yang memiliki kelimpahan terendah antara lain Anamaera
hixoni (Ordo Amphipoda), Cymadusa filosa, Dynamenella sp (Ordo Isopoda),
Cymodoce setulosa, Cymodoce velutina, Famili Euphausidea, Alpheus sp (Ordo
Decapoda), Thalamita prymna (Brachyura), Thalamita sp dan Thalamita crenata.
Masing – masing jenis tersebut memiliki kelimpahan yang hampir sama dengan
rata – rata antara 0-3 individu/m2. Jenis–jenis tersebut berlaku pada kedua model
artifisial yaitu sabut kelapa (M1) dan tali plastik (tambang) (M2).
Jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) merupakan paling dominan
menempati posisinya pada lokasi penelitian Utara dengan jumlah yang signifikan
yaitu 17 individu/m2. Hampir seluruh koloni crustacea yang didapat merupakan
salah satu jenis dari Ordo Isopoda. Umumnya kepadatan (density) dan diversitas
44
pada Ordo Isopoda diperoleh dari koleksi yang berada di sepanjang pantai
(pesisir) dan zona karang yang dangkal (Glynn, 1971). Kelimpahan jenis
crustacea pada lokasi Utara dapat dilihat di tabel 3.
Tabel 3. Kelimpahan Crustacea (individu/m2) Yang Terdapat Pada Stasiun
Utara.
Keterangan:
M1 = sabut kelapa
M2 = tali plastik (tambang)
Walaupun demikian jenis tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan
sekitar baik yang berada di substrat alami maupun buatan dengan serabut atau
tonggak kayu untuk dijadikan habitat. Ordo Mysidacea memiliki kelimpahan lebih
tinggi daripada Ordo Isopoda yang berada di lokasi Utara yaitu dengan
kelimpahan 24 individu/m2. Hal ini dikarenakan Ordo Mysidacea memiliki
sifatnya yang hidup bebas (epibentik) di perairan dan hidup berkoloni serta
sifatnya yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat.
No Nama Crustacea Model Artifisial
M1 M2
1 Anamaera hixoni 2 0
2 Cymadusa filose 0 2
3 Dynamenella sp 1 0
4 Cymodoce setulosa 0 3
5 Paracerceis sp 1 17
6 Cymodoce velutina 0 3
7 Ordo Mysidacea 24 5
8 Famili Euphausidae 0 2
9 Alpheus sp 1 0
10 Thalamita prymna 0 1
11 Thalamita sp 0 1
12 Thalamita crenata 1 0
45
Kelompok Mysidacea pada tingkatan taksa genusnya secara spesifik tidak
diketahui, karena keterbatasan data literatur yang diperoleh tentang kelompok
tersebut. Diketahui bahwa morfologi dan adaptasi dari Ordo Mysidacea sebagian
besar menyerupai kelompok larva udang (Macrura). Mysidacea memiliki karapas
yang hampir menutup seluruh dadanya, mata bertangkai dan embelan dada semua
bercabang dua (Romimohtarto dan Juwana, 2007). Adapun ciri khas yang
diperoleh dari kelompok Mysidacea salah satunya terdapat sepasang bulatan
(statocyst proximal) pada bagian endopod (uropods) (Meland & Willassen, 2007).
Jenis tersebut merupakan spesies laut yang beradaptasi dan hidup sebagai hewan
bentik dan pelagis, terdistribusi dari zona litoral pantai sampai laut terbuka hingga
kedalaman tinggi dan tersebar diseluruh lautan benua. Sebagian dari kelompok
tersebut terdapat pada habitat laut dalam dan di tubir gua (Meland & Willassen,
2007).
Ordo Mysidacea merupakan kelompok crustacea tingkat rendah, diduga
dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya saling memiliki sifat
ketergantungan dengan organisme lain atau sifat parasit. Substrat lamun buatan
yang dipakai dalam penggunaannya berpengaruh terhadap keberadaan Mysidacea,
karena terlihat dari data yang ada pada lokasi penelitian ini memiliki jumlah
individu lebih besar dari jenis yang lain. Hal ini disebabkan pengaruh dari lamun
buatan (substrat sabut kelapa) cukup terpenuhi sebagai tempat berkembang biak
atau aktivitas lainnya dan dapat dijadikan perantara sumber zat organik esensial
bagi kelompok tersebut. Pengaruh lain karena lokasi Utara berdekatan langsung
dengan ekosistem mangrove, sehingga nutrisi atau zat organik dari detritus daun
46
mangrove juga berperan dalam proses penyuplai energi yang dibutuhkan oleh
kelompok Mysidacea.
Tingginya kelimpahan jenis dari kedua jenis tersebut di stasiun penelitian
Utara disebabkan oleh sifatnya yang hidup bebas di perairan dan kondisi
lingkungan yang terpenuhi dalam mencari makan, karena terdapat zat organik
berupa lamun alami yang merupakan habitat asli dalam memenuhi kebutuhannya
atau mikroalga serta substrat berlumpur. Adapun pantai berlumpur cenderung
untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang
potensial bagi bentos pantai tersebut (Ardi (2002) dalam Schmieg, 2007).
Kondisi lamun buatan dari kedua model dengan bahan sabut kelapa (M1)
dan tali plastik (M2) menentukan keberadaan dari kedua jenis tersebut, sehingga
diduga stasiun ini merupakan habitat yang cukup cocok. Sumber makanan (zat
organik) yang menempel di lamun buatan khususnya pada bahan sabut kelapa
akan dikonsumsi oleh crustacea, sehingga dapat dijadikan tempat mencari makan
sementara dengan kondisi lingkungan parameter yang sesuai. Lokasi tersebut juga
berdekatan dengan ekosistem mangrove, sehingga dapat berinteraksi dengan baik.
Jenis yang memiliki kelimpahan sedikit bisa disebabkan karena kurang
cocoknya lamun buatan dalam memerankan fungsi ekologinya bila dibanding
dengan yang alami. Aktivitas masyarakat nelayan di perairan dan kondisi
parameter (suhu) yang mengalami perubahan signifikan dari minggu 3 ke 4 (Tabel
6). Oleh sebab itu, hasil yang didapat dari rimbunan kedua artifisial sabut kelapa
(M1) dan tali plastik (M2) relatif sedikit dengan jumlah kelimpahan antara 0–3
individu/m2 dari Ordo Decapoda dan Amphipoda. Dampak tersebut dapat juga
disebabkan oleh pengaruh kondisi lingkungan dimusim kemarau yang suhunya
47
mencapai 30-33oC dan salinitas 30-33
o/oo tinggi, sehingga memungkinkan
perkembangan bakteri patogen (Aeromonas) (Juwana, 2001).
4.2.3. Lokasi Selatan
Pada stasiun Selatan terdapat kelimpahan jenis tertinggi yaitu jenis
Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) dan Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang
masing – masing berjumlah 51 dan 17 individu/m2, sedangkan jenis yang
memiliki kelimpahan terendah yaitu Gammaropsis sp (Ordo Amphipoda),
Dynamenella sp (Ordo Isopoda), Cymodoce velutina, Thalamita sp (Brachyura),
Ordo Mysidacea yang masing–masing kelimpahannya antara 0–1 individu/m2.
Kelimpahan tertinggi dan terendah tersebut berlaku pada kedua model (sabut
kelapa (M1) dan tali plastik (M2). Ordo Mysidacea memiliki kelimpahan terendah
pada model tali plastik (M2).
Jenis Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) dan Paracerceis sp (Ordo
Isopoda), seperti halnya sama dengan lokasi sebelah Barat Daya yang
mendominasi sebagian dari seluruh crustacea yang didapat dari lamun buatan
tersebut. Jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang mendominasi seluruh stasiun
dan berperan penting sebagai rantai makanan bagi organisme lain. Kedua jenis
tersebut yang memiliki kelimpahan tertinggi merupakan predator bagi organisme
lain, salah satunya ikan dan juga crustacea lain seperti kepiting dan udang. Hal ini
karena hidupnya yang bebas dan menguasai daerah territorial serta tidak memiliki
nilai ekonomis penting bagi masyarakat sekitar. Secara ekologi, jenis dari
Amphipoda berperan sebagai kutu dan hidupnya parasit pada organisme lain.
Jenis Isopoda juga berperan sebagai parasit yang terbagi atas 2 kelompok
48
didasarkan pada hospesnya, yaitu Isopoda pada ikan dan crustacea lain
(Widyastuti, 2002). Pengaruh dari lamun buatan terhadap kedua jenis antara lain
Amphipoda dan Isopoda cukup ideal, karena materialnya berperan sebagai untuk
dijadikan tempat perlindungan, asuhan dan bahkan untuk mencari makan.
Kelimpahan jenis crustacea pada stasiun selatan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kelimpahan Jenis Crustacea (individu/m2) Pada Stasiun Selatan.
Keterangan:
M1 = sabut kelapa
M2 = tali plastik (tambang)
Jenis dari Decapoda yang diperoleh dari stasiun Selatan jumlah
kelimpahannya antara 0–2 individu/m2. Sementara itu, jumlah yang dominannya
berasal dari jenis Ordo Isopoda dan Ordo Amphipoda bila dibandingkan
kelompok Decapoda yang lebih sedikit. Hal ini diduga posisi peletakkan habitat
No Nama
Crustacea
Model Artifisial
M1 M2
1
Famili
Gammaroidae 2 2
2 Gammaropsis sp 1 0
3 Cymadusa filose 51 6
4 Cymadusa sp 2 3
5
Cymadusa
compta 2 1
6
Podocerus
kleidus 3 1
7 Dynamenella sp 1 0
8 Paracerceis sp 10 17
9 Cymodoce
velutina 1 0
10 ordo Mysidacea 4 0
11 Thalamita sp 0 1
49
lamun buatan yang kurang efektif dan pada saat peletakkannya tidak diperoleh
larva crustacea dari jenis ekonomis, seperti suku Portunidae dan Penaeidae. Hanya
sebagian kecil crustacea ekonomis yang didapat dari lamun buatan, salah satunya
dari Ordo Brachyura (Thalamita sp) dan sebagian Ordo Mysidacea, walaupun
kedua jenis yaitu Ordo Mysidacea dan Brachyura menghuni ketiga lokasi stasiun.
Jenis– jenis crustacea yang ekonomis maupun non ekonomis dapat dilihat pada
tabel 5.
Tabel 5. Data tabel Crustacea yang bernilai ekonomis dan non ekonomis.
Ordo Brachyura (Thalamita sp) memiliki tingkat kelimpahan yang sedikit
dari lamun buatan yaitu 4,68% (lokasi Utara) dan 0,9% (lokasi Selatan). Jenis
crustacea ini memiliki ukuran yang relatif kecil atau juvenil yang didapat dari
lamun buatan dan bukan indukan. Hal ini diduga ada pengaruh dari faktor
lingkungan yaitu temperatur suhu yang rendah (stasiun Selatan), karena sebagian
jenis crustacea (Brachyura) memiliki sifat yang sensitif terhadap perubahan
lingkungan tersebut, sehingga hasil yang didapat lamun buatan relatif sedikit.
Adapun pengaruhnya dari kelompok crustacea sendiri baik dari jenis Amphipoda
No Crustacea
Ekonomis Non ekonomis
1 Thalamita sp (Portunidae) Amphipoda
2 Thalamita prymna Isopoda
3 Thalamita crenata Cumacea
4 Mysidacea Palaemonidae
5 - Alpheidae
6 - Hyppolytidae
7 - Xanthidae
50
ataupun Isopoda sebagai rantai makanan (saling makan memakan). Jenis Isopoda
berperan sebagai parasit yang terbagi atas 2 kelompok didasarkan pada
hospesnya, yaitu Isopoda pada ikan dan crustacea lain.
Kondisi peranan dari lamun buatan tersebut cukup baik, dilihat dari segi
ekologi walaupun jumlah seluruh individu crustacea yang diperoleh lamun buatan
relatif sedikit khususnya jenis crustacea ekonomis. Adapun lamun buatan yang
dihuni crustacea dipengaruhi oleh kondisi substrat dasar. Pada stasiun Selatan
memiliki kandungan substrat dasar berpasir. Substrat berpasir umumnya miskin
akan organisme, kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam
substrat dan pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat
bagi organisme, karena aksi gelombang laut secara terus menerus menggerakkan
partikel substrat (Ardi (2002) dalam Schmieg, 2007).
Dilihat dari tiap stasiun, ternyata stasiun Barat Daya memiliki kelimpahan
individu tertinggi yang masing–masing berkisar antara 41 sampai 241 individu/m2
(berlaku pada kedua model lamun buatan). Kelimpahan individu di setiap stasiun
berbeda. Tetapi dilihat dari rata–rata perolehan individu yang didapat dari tiap
stasiun, bahwasanya yang lebih dominan berada di stasiun Barat Daya, yang
seluruh individu berjumlah 518 individu/m2 (Lampiran 5).
Bila dibandingkan dengan stasiun lainnya baik Utara maupun Selatan
yang hanya berjumlah seluruh individu 64 dan 108 individu/m2 (Lampiran 6 dan
7). Jenis yang paling dominan menguasai ketiga stasiun tersebut antara lain dari
Ordo Amphipoda, Isopoda dan Mysidacea. Melimpahnya dari ketiga ordo tersebut
disebabkan karena sifatnya yang kosmpolit dan adanya interaksi dari lamun
buatan maupun alami walaupun secara ekologis fungsinya tidak hampir sama.
51
Jenis dari Ordo Isopoda, Paracerceis sp merupakan jenis yang paling dominan
menguasai ketiga stasiun penelitian yaitu berkisar antara 18 sampai 241
individu/m2
(berlaku pada kedua model lamun buatan).
Kondisi dari kedua lamun buatan yang berada ditiap stasiun dapat
dijadikan tempat untuk perlindungan dan asuhan. Pada model sabut kelapa (M1)
secara ekologi berpengaruh kuat pada crustacea salah satunya dari Ordo Isopoda
sebagai tempat asuhan hidup (nursery ground) dan berkembang biak untuk
memenuhi kebutuhan siklus hidupnya. Hal ini juga karena bahan tersebut
merupakan bahan organik alternatif berasal dari buah kelapa tua yang memiliki
serat kuat dan mampu menyerap polutan logam berat yang mencemari
lingkungan.
Model tali plastik (M2) fungsinya hampir sama dengan model sabut
kelapa dilihat dari segi ekologi dan manfaat bagi crustacea. Material tali plastik
memiliki kandungan polimer dan tidak dapat terurai oleh organisme laut
khususnya fauna bentik, sehingga kurang ramah terhadap lingkungan. Perbedaan
jumlah kelimpahan individu crustacea yang terdapat dari kedua model (M1) dan
(M2) di seluruh stasiun tidak terlampau jauh yaitu sebesar 393 dan 378
individu/m2, karena masing – masing model memiliki sifat yang menonjol dalam
interaksi dengan biota crustacea.
Sabut kelapa (M1) merupakan bahan artifisial yang paling baik daripada
bahan tali plastik (M2), karena cenderung ramah lingkungan dan kisaran
perbandingan jumlah kelimpahan individu yang diperoleh tidak terpaut jauh dan .
Hal ini diduga pada bahan sabut kelapa memiliki karakter yang cukup baik
sebagai habitat baru (sementara) bagi pengunjung biota crustacea, karena struktur
52
sabut kelapa yang susunannya renggang, merupakan bahan organik dan
permukaannya agak kasar. Senyawa organik atau nutrien yang berada di perairan
menempel pada lamun buatan tersebut dan memungkinkan bentik tersebut dapat
hadir untuk mencari makan atau berteduh. Pada bahan tali plastik juga hampir
sama peranannya dengan sabut kelapa, tapi susunan dan strukturnya halus, berbau
kimia, sehingga memungkinkan crustacea yang hadir lebih sedikit.
4.3. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) Jenis
Crustacea.
4.3.1. Keanekaragaman Jenis.
Indeks keanekaragaman (H’) umumnya tergolong sedang. Indeks
keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun Utara sebesar 1,63. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 6, dimana pada stasiun Utara jumlah jenis tertinggi dan
jumlah individu yang besar dimiliki oleh beberapa jenis (berlaku pada kedua
model artifisial). Pada stasiun Utara dan Selatan memiliki jumlah jenis yang
hampir sama, namun pada stasiun Selatan memiliki H’ yang lebih kecil (1,45) dari
stasiun Utara yaitu sebesar 1,63. Hal ini dikarenakan pada stasiun Utara ada dua
jenis yaitu dari Ordo Mysidacea dan Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang jumlah
individunya lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya pada stasiun tersebut.
Banyaknya jumlah dari kedua jenis tersebut, salah satunya jenis Isopoda
disebabkan karena sebagian besar jenis tersebut penyebarannya luas (kosmopolit)
(Aswandy, 1985). Adapun jenis Mysidacea berada di perairan pelagis, kadang –
kadang sebagai epibentik atau bentik dan hidupnya bebas serta terdistribusi
diseluruh dunia (Wikispesies, 2009). Data grafik keanekaragaman jenis crustacea
tiap minggu pada ketiga lokasi penelitian dapat dilihat pada (lampiran 4).
53
Indeks keanekaragaman (H’) terendah terdapat pada stasiun Selatan
sebesar 1,45. Dengan tingkat keanekaragaman jenis terendah pada Stasiun
tersebut, maka menunjukan bahwa keanekaragaman populasi pada stasiun ini
rendah dan stasiun tersebut memiliki jumlah jenis terendah yaitu 11 jenis, bila
dibandingkan dengan stasiun lain.
Model artifisial berupa sabut kelapa (M1) dan tali plastik (M2) merupakan
indikator yang baik di setiap stasiun dalam mengetahui keberadaan Ordo
Mysidacea. Dilihat dari rata–rata jumlah individu yang didapat hampir seluruh
stasiun memilikinya, walaupun bukan yang termasuk dominan. Substrat pasir
lumpuran dan lumpur pasiran mendominasi hampir disemua stasiun pada perairan
ini sehingga mendukung kehidupan Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Ordo
Mysidacea.
Indeks keanekaragaman jenis (H’) tersebut umumnya tergolong sedang
dan tinggi. Tingkat keanekaragaman jenis (H’) pada setiap stasiun tidak terpaut
jauh dengan tingkat keanekaragaman jenis (H’) rata–rata dari tiap stasiun adalah
1,55 yang tergolong sedang. Data hasil analisis indeks keanekaragaman (H’),
keseragaman (E) dan dominansi (D) jenis crustacea di Perairan Padang Lamun,
Pulau Pari, Kepulauan Seribu dapat dilihat seperti pada Tabel 6.
54
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
1 2 3
NIl
ai
Ind
ek
s
Stasiun
Grafik Indeks Diversitas
D
E
H'
Tabel 6. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan
Dominansi (D) Pada Stasiun Penelitian.
Keterangan: S = Jumlah Jenis
N = Jumlah Individu
E = Indeks Keseragaman Jenis
H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis
D = Indeks Dominansi Jenis
Gambar 9. Grafik Nilai Analisis Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman
(E) dan Dominansi Jenis (D).
4.3.2. Keseragaman Jenis.
Hasil analisis indeks keseragaman jenis (E) berkisar antara 0,45 (Barat
Daya) sampai 0,65 (Utara). Nilai indeks keseragaman jenis (E) pada setiap stasiun
umumnya tergolong rendah, kecuali pada stasiun barat daya yang nilainya
tergolong kecil. Indeks keanekaragaman jenis (H’) berkisar antara 1,45 (Selatan)
sampai 1,63 (Utara).
Indeks keseragaman (E) terendah sebesar 0,45 yang terdapat pada stasiun
Barat Daya. Menurut Odum (1971) dalam Puspawardani (2005) menunjukkan
Stasiun S N H' D E
Barat Daya 33 518 1,59 0,20 0,45
Utara 12 64 1,63 0,28 0,65
Selatan 11 108 1,45 0,34 0,60
55
bahwa semakin kecil nilai E, maka keseragaman populasi semakin kecil,
penyebaran individu tiap spesies tidak sama atau kecenderungan satu spesies
mendominasi. Meskipun stasiun ini memiliki banyak jenis tetapi salah satu dari
jumlah jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) memiliki jumlah yang relatif lebih
besar yaitu 241 individu bila dibandingkan dengan salah satu jenis dengan jumlah
terkecil yaitu Palaemonella sp (Ordo Decapoda), Alpheus sp, Spirontocaris sp
(Caridean) dan Leucothoe sp (Ordo Amphipoda) yang hanya memiliki 0–1
individu (Tabel 2).
Indeks keseragaman (E) umumnya tergolong rendah. Indeks keseragaman
(E) tertinggi sebesar 0,65 terdapat pada stasiun Utara. Menurut Odum (1971)
dalam Puspawardani (2005) semakin besar nilai E, maka keseragaman populasi
semakin besar, penyebaran individu tiap spesies merata atau tidak ada spesies
yang mendominasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, dimana pada stasiun Utara
memiliki 12 jenis dan 64 individu. Masing–masing jenis di stasiun ini memiliki
keseragaman yang tidak relatif jauh bila dibandingkan dengan stasiun lainnya
yang terpaut jauh. Walaupun di Stasiun Utara masih sedikit jenis yang
mendominasi.
4.3.3. Dominansi Jenis.
Indeks dominansi (D) berkisar antara 0,20 (Barat Daya) sampai 0,34
(Selatan). Tingkat dominansi (D) pada setiap stasiun umumnya stabil dan merata,
sedangkan pada stasiun Barat Daya yang memiliki tingkat dominansi stabil, hanya
0,20 dan hampir tidak ada individu yang mendominasi. Walaupun pada stasiun
lainnya tidak terpaut jauh tingkatan dominansinya.
56
Indeks dominansi (D) stabil terdapat pada stasiun Barat Daya sebesar
0,20, walau tidak ada spesies yang mendominansi. Menurut Krebs (1989) dalam
Werdiningsih (2005) Jika indeks dominansi mendekati 0 berarti hampir tidak ada
individu yang mendominasi, karena nilai indek dominansi berkisar antara 0
hingga 1. Bila pada stasiun Barat Daya memiliki tingkat dominansi 0,20 berarti
menunjukkan tingkat dominansi yang stabil. Hal ini dapat dilihat pada (Tabel. 2),
dimana pada stasiun Barat Daya memiliki jumlah jenis terbesar yaitu 33 jenis dan
tidak ada jenis yang mendominansi. Data indeks diversitas bagi lamun alami dan
buatan dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Indeks Diversitas Lamun Alami dan Buatan, di Perairan Pulau Pari.
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa material sabut kelapa
memiliki nilai H’= 0,67. Nilai H’ tersebut lebih rendah daripada yang lainnya
dengan kisaran yang tidak relatif jauh. Hal ini diduga bahwa material sabut kelapa
memiliki keterbatasan daya tahan fisik dan kondisi substrat habitat, sehingga tiap
beberapa waktu perlu pergantian yang baru dari material tersebut. Pada tali plastik
memiliki nilai D yang hampir mendekati 0 yaitu 0,23. Hal ini karena tidak
terdapatnya jenis crustacea yang mendominasi jenis crustacea lainnya atau pada
kondisi yang stabil. Diduga material tali plastik dapat dihuni oleh jenis bentik
crustacea apapun.
No Habitat Indeks Diversitas
Keanekaragaman Jenis (H')
Keseragaman Jenis (E)
Dominansi Jenis (D)
1 Lamun alami (kontrol) 3,05 0,8 0,33
2 Sabut kelapa (M1) 0,67 0,46 0,27
3 Tali plastik (M2) 1,03 0,62 0,23
57
Tekstur dari material tali plastik cukup lebat bila dibanding dengan sabut
kelapa. Hal ini menjadi penyebab perbedaan kondisi habitat buatan yang hampir
sama fungsinya sebagai tempat tinggal sementara bagi bentik crustacea. Lain
halnya dengan material buatan, lamun alami lebih cenderung memiliki tingkat
keanekaragaman yang tinggi bila dibanding dengan yang lain. Kisaran nilai H’
pada lamun alami mencapai 3,05 sedangkan material buatan lebih rendah. Hal ini
disebabkan lamun alami yang berada ditiga stasiun lebih potensial bagi kehidupan
bentik crustacea sebagai habitat alami dan tempat reproduksi yang baik bagi
perkembangan larva crustacea.
Stasiun Barat Daya, Utara dan Selatan umumnya memiliki nilai indeks
keanekaragaman (H’) dan dominansi (D) yang stabil, namun pada ketiga stasiun
tersebut memiliki tingkat keseragaman (E) yang rendah. Hal ini dilihat dari
kondisi lamun buatan (sabut kelapa dan tali plastik) yang hanya menciptakan
habitat baru yang bersifat sementara, sehingga biota crustacea yang hadir hanya
digunakan untuk berlindung dari predator lain dan digunakan juga sebagai
perantara nutrisi organik, khususnya pada sabut kelapa (M2). Di samping itu,
dipengaruhi juga oleh parameter suhu yang kurang stabil dan mengalami
penurunan yang drastis pada stasiun Utara dan Selatan (minggu ke-4) antara 27oC
– 29oC (tabel 6). Menurut Ngangi (2003) keadaan seperti ini menunjukkan bahwa
terjadi pengaruh dari proses parameter alami (arus, gelombang, temperatur dan
sebagainya) pada lingkungan sekitarnya.
Kondisi ini juga dapat disebabkan karena dampak pencemaran yang
berasal dari daratan Pulau Pari yang secara tidak langsung mengenai daerah
pesisirnya khususnya ekosistem lamun. Menurut Rani (2008) banyak kegiatan
58
pembangunan di wilayah pesisir yang telah mengorbankan ekosistem padang
lamun, seperti kegiatan reklamasi. Namun dampak yang nyata dari degradasi
padang lamun mengarah pada penurunan keragaman (biodiversity) biota laut
sebagai akibat hilang atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem tersebut.
Dengan demikian diketahui bahwa perairan pada stasiun Barat Daya, Utara dan
Selatan umumnya masih bersih dan aman bagi kehidupan biota laut, termasuk
crustacea.
Pada stasiun Utara dan Selatan tersebut memiliki nilai indeks
keseragaman (E) yang hampir sama dengan tingkatan yang rendah, namun pada
stasiun Barat Daya indeks keseragamannya lebih kecil dari kedua stasiun tersebut.
Menurut Hakim (2010) wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap
pencemaran dan berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber
perumahan, gejala alam dan lainnya yang memasuki badan air. Pencemar akan
terakumulasi dan secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh
terhadap kualitas perairan tersebut. Hal ini diduga karena stasiun Barat Daya
kemungkinan besar tidak langsung menerima dampak pencemaran dari daratan
Pulau Pari bila dibandingkan dengan stasiun lainnya, karena jauh dari hunian
penduduk. Dengan adanya pengaruh tersebut menyebabkan stasiun Barat Daya
menjadi habitat yang cukup baik bagi kehidupan crustacea, dilihat dari tingkat
kelimpahan individu, walaupun tingkat keseragaman dan dominansi relatif rendah
dan stabil.
Makrozoobentos diantaranya Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta,
Molusca, Nematoda dan Annelida dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif
terhadap perubahan lingkungan perairan yang tercemar (Hakim, 2010). Oleh
59
sebab itu, dikatakan biota crustacea tidak mampu menyesuaikan kondisi apabila
terjadi pencemaran lingkungan perairan dengan tingkat pencemaran rendah
maupun tinggi. Hal ini juga didukung bahwa kondisi perairan Pulau Pari
mengalami pencemaran secara tidak langsung maupun langsung yang disebabkan
oleh aktivitas masyarakat sekitar antara lain membuang sampah, MCK dan
bernelayan, sehingga diduga berpengaruh pada model lamun buatan khususnya
bahan tali plastik (tambang) yang digunakan sebagai penunjang keberadaan
crustacea (memiliki jumlah yang sedikit). Menurut Pearson, T. H and Rossemberg
(1976) dalam Aswandy, 1998) adapun jenis-jenis kondisi perairan laut yang
mempengaruhi kehidupan bentik crustacea antara lain:
1. Kondisi normal, bisa ditemukan jenis Polichaeta, Crustacea, Molusca dan
Echinodermata dalam kondisi seimbang.
2. Terganggu, ditemukan Polichaeta dan Molusca.
3. Tercemar 1, ditemukan hanya Polichaeta, ex: Capitelli sp.
4. Tercemar 2, tidak ada kehidupan Makrobentos, ditemukan hanya bakteri,
sedimen dan H2S tinggi.
4.4. Parameter Lingkungan Perairan Padang Lamun Pulau Pari.
Hasil pengukuran parameter lingkungan, yaitu parameter fisik di perairan
padang lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu secara umum masih cukup sesuai
untuk mendukung kehidupan biota laut, termasuk crustacea. Temperatur suhu
pada setiap stasiun bervariasi antara 27oC pada stasiun Selatan (minggu ke-4)
sampai 33oC stasiun Selatan (minggu ke-1) dan Utara (minggu ke-3). Salinitas
pada setiap stasiun bervariasi antara 30 o/oo pada stasiun Utara (minggu ke-2) dan
Selatan (minggu ke-3) sampai 34 o/oo stasiun Barat Daya (minggu ke-2), Utara
(minggu ke-3) dan Selatan (minggu ke-4). pH pada setiap stasiun bervariasi pada
60
stasiun Utara (minggu ke-3) dan Barat Daya (minggu ke-4) memiliki pH 7,
sedangkan pH 8 pada stasiun Barat Daya (minggu ke-1), Selatan (minggu ke-3)
dan Utara (minggu ke-4). Kecerahan pada stasiun Barat Daya berkisar (80),
stasiun Utara (90) dan Selatan (100), sehingga terlihat jernih pada stasiun Selatan
bila dibandingkan dengan stasiun lainnya, sedangkan substrat tidak mendominasi
hampir di semua stasiun pada perairan ini antara lain pasir berlumpur dan lumpur
berpasir yang diperoleh dari ketiga stasiun. Data parameter lingkungan di Perairan
Pulau Pari, Kepulauan Seribu, dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Data Parameter Lingkungan di Perairan Pulau Pari.
No Waktu
Penelitian Lokasi
PARAMETER
Suhu
(oc)
Salinitas
(o/oo) pH
Kedalaman
(m) Kecerahan Substrat
1 Minggu I
Utara 32 32 7,5 1 90
pasir
lumpuran
Selatan 33 31 7,9 0,5 100
pasir kasar
+ halus
Barat
Daya 32 33 8 0,8 80
lumpur
berpasir
2 Minggu II
Utara 32 30 7,8 0,8 90
pasir
lumpuran
Selatan 31 33 7,5 0,5 100
pasir kasar
+ halus
Barat
Daya 32 34 7,9 1,5 80
lumpur
berpasir
3 Minggu III
Utara 33 34 7 0,65 90
pasir
lumpuran
Selatan 31 30 8 0,2 100
pasir kasar
+ halus
Barat
Daya 31,5 32 7,5 0,5 80
lumpur
berpasir
4 Minggu IV
Utara 29 31 8 1 90
pasir
lumpuran
Selatan 27 34 7,9 0,25 100
pasir kasar
+ halus
Barat
Daya 30 32 7 1,25 80
lumpur
berpasir
± 31,12
5 32,16 7,6 0,75 90
61
Berdasarkan data Tabel 8, temperatur suhu pada setiap stasiun bervariasi
antara 27oC pada stasiun selatan (minggu ke-4) sampai 33
oC pada stasiun Selatan
(minggu ke-1) dan Utara (minggu ke-3). Nilai terendah diperoleh pada stasiun
Selatan (minggu ke-4) yang terletak didekat dermaga dan tempat rehabilitasi
mangrove. Hal ini disebabkan oleh massa air atau angin yang datang dari timur,
karena saat itu kondisi cuaca kurang baik dan kecepatan angin tidak relatif stabil
(naik turun) mengarah dari barat ke timur, sehingga mempengaruhi dan
menyebabkan massa air tersebut bersuhu lebih rendah. Sebaliknya, nilai
temperatur suhu maksimum terjadi di stasiun Utara (minggu ke-3) dan Selatan
(minggu ke-1)
Di stasiun Utara (Minggu ke-3) yang letaknya tidak jauh antara Pulau
Pari dan Pulau Kudus serta dekat dengan pemukiman penduduk, disebabkan oleh
pertemuan arus yang terjadi diantara Pulau Pari dan Pulau Kudus, sehingga
mengakibatkan gesekan antara dua arus tersebut yang menimbulkan temperatur
perairannya tinggi dan juga dipengaruhi cuaca yang panas. Stasiun Selatan
(minggu ke-1) yang letaknya dekat dengan dermaga, disebabkan oleh pengaruh
daratan yang biasanya dijadikan tempat aktifitas para nelayan.
Pola distribusi salinitas bervariasi antara 30 o/oo pada stasiun Utara
(minggu ke-2) dan Selatan (minggu ke-3) sampai 34 o/oo pada stasiun Barat Daya
(minggu ke-2), Utara (minggu ke-3) dan Selatan (minggu ke-4). Nilai terendah
diperoleh pada stasiun Utara (minggu ke-2) dan Selatan (minggu ke-3). Pada
stasiun Utara (minggu ke-2) yang terletak dekat pemukiman penduduk,
disebabkan oleh pengaruh aktifitas para nelayan, begitu juga pada stasiun Selatan
(minggu ke-3).
62
Sebaliknya salinitas tertinggi diperoleh di stasiun Barat Daya (minggu ke-
2), Utara (minggu ke-3) dan Selatan (minggu ke-4), yang masing–masing karena
dipengaruhi oleh kondisi kecepatan angin yang kurang relatif stabil, sehingga
terjadi gelombang air laut dari setiap sisi. Pola salinitas secara keseluruhan terlihat
bahwa di bagian Perairan Pesisir Pulau Pari umumnya bersalinitas kurang dari 33
o/oo, mulai dari lokasi sebelah Barat Daya sampai Utara dan Selatan. Kondisi
lingkungan Gugus Pulau Pari dimusim kemarau dengan salinitas (30-33o/oo)
tinggi (Juwana, 2001). Hal lainnya bisa disebabkan oleh pengaruh dari pantai
Utara Jakarta sampai ke Kepulauan Seribu.
Stasiun Utara (minggu ke-3) dan Barat Daya (minggu ke-4) memiliki pH
7, sedangkan pH 8 pada stasiun Barat Daya (minggu ke-1), Selatan (minggu ke-3)
dan Utara (minggu ke-4) yang cenderung pada pH basa. Nilai terendah diperoleh
pada stasiun Utara (minggu ke-3) dan Barat Daya (minggu ke-4) yang lokasinya
terletak antara UPT Loka P2O-LIPI dengan pemukiman penduduk, sedangkan pH
tertinggi diperoleh di stasiun Barat Daya (minggu ke-1), Selatan (minggu ke-3)
dan Utara (minggu ke-4). Variasi nilai pH di perairan tersebut dapat dipengaruhi
oleh buangan sampah anorganik atau limbah yang berasal dari penduduk di
sepanjang pantai. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
51/2004 mengenai Daftar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut bahwa pH yang
baik untuk perkembangan biota berkisar antara 7-8,5. Dengan demikian, secara
keseluruhan pH di Perairan Pulau Pari ini masih dalam kisaran baik bagi
kehidupan crustacea.
Kedalaman pada tiap stasiun bervariasi pada stasiun Selatan (minggu ke-
3) memiliki kedalaman 0,2 m, sedangkan kedalaman 1,5 m pada stasiun Barat
63
Daya (minggu ke-2). Kedalaman tertinggi yaitu pada stasiun Barat Daya (minggu
ke-2). Hal ini karena terjadi pasang air laut dan arus yang deras dari sebelah ujung
barat Pulau Pari, sedangkan kedalaman terendah pada stasiun Selatan (minggu ke-
3) yang terletak dekat dermaga dipengaruhi surutnya air laut.
Substrat tidak mendominasi hampir di semua stasiun pada perairan
tersebut. Substrat lumpur berpasir diperoleh di stasiun Barat Daya, sedangkan
pasir berlumpur diperoleh di stasiun Utara dan pada di stasiun Selatan diperoleh
substrat pasir kasar dan halus. Menurut Nontji (2002) dalam Puspawardani
(2005), substrat di perairan laut Jawa terutama terdiri dari lumpur dan lumpur
pasiran.
64
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Jenis-jenis crustacea yang ditemukan dari lamun buatan ada 5 jenis ordo
antara lain Ordo Amphipoda (Cymadusa sp, Cymadusa filosa (dominan),
Gammaropsis sp, Leucothoe sp, Podocerus kleidus, Leucothoe sp,
Megaluporus sp, Ceradocus sp dan Liljeborgia sp), Ordo Isopoda (Cymodoce
sp, Paracerceis sp (dominan), Dynamenella sp dan Ianiropsis sp), Ordo
Cumacea, Ordo Mysidacea dan Ordo Decapoda (Caridean, Macrura dan
Brachyura).
2. Material lamun buatan (bahan tali plastik dan sabut kelapa) memiliki pengaruh
dan berperan cukup baik sebagai alternatif pengganti (habitat sementara)
terhadap keanekaragaman dan kelimpahan jenis crustacea padang lamun yang
bernilai ekonomis maupun non ekonomis.
5.2. Saran
1. Mengingat pentingnya peranan lamun sebagai penunjang dan tempat asuhan
hidup (nursery ground) bagi larva crustacea dan dengan cara alternatifnya
melalui artifisial (sabut kelapa dan tali tambang), maka perlu diupayakan,
dikelola dan dikembangkan lebih lanjut lagi, agar kiranya dapat memperoleh
hasil yang maksimal khususnya untuk kelangsungan hidup crustacea yang
memiliki nilai ekonomis.
65
2. Penggunaan lamun buatan tidak hanya dengan bahan artifisial (sabut kelapa
dan tali plastik), tapi dengan bahan alternatif lainnya yang ramah lingkungan,
agar dapat dijadikan solusi yang baik sebagai pengganti lamun alami yang
berperan penting bila kondisi lamun alaminya mengalami kerusakan baik
secara ekologi maupun fungsinya.
3. Sabut kelapa merupakan bahan artifisial lamun yang baik untuk pengganti
alternatif lamun alami bila dibandingkan dengan tali plastik, mengingat
bahan tersebut berbahan dasar buah kelapa dan cenderung lebih ramah
lingkungan, sehingga tidak merusak ekosistem perairan laut.
66
DAFTAR PUSTAKA
Asriningrum, W. 2004. Studi Identifikasi Karakteristik Pulau Kecil Menggunakan
Data Landsat Dengan Pendekatan Geomorfologi Dan Penutupan Lahan:
studi kasus Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakangsedih. Http:// www
.google.com/kepulauan seribu/profilpulaupari/pdf_doc. 11 januari 2010
(13.00 WIB).
Aswandy, I. 2008. Biota Laut: Krustasea Sebagai Konsumen Di Padang Lamun.
Oceana XXXIII, nomor 1-9.
Aswandy, I, dkk. 1998. Pengamatan Komunitas Krustasea Dan Ekhinodermata
Bentik Di Teluk Jakarta. LON-LIPI. Jakarta.
Aswandy, I. 1985. Beberapa Catatan Dalam Pengenalan Isopoda. Oceana X,
Nomor 3: 106-112.
Azkab, M. H. 2006. Ada Apa Dengan Lamun. Oceana XXXI. Nomor 3: Hal 46.
Azkab, M. H. 2000. Biota Laut: Struktur Dan Komunitas Padang Lamun. Oceana
XXV, Nomor 1.
Azkab, M. H. 1999. Petunjuk Penanaman Lamun. Oceana XXIV. Nomor 3.
Http://google.com/padanglamun/pdf_doc. 05 maret 2011 (13.00 WIB).
Brill, E. J. L. 1972. CRUTACEANA (International Journal of Crustaceana
Research): Studies On Peracarida (Isopoda, Tanaidacea, Amphipoda,
Mysidacea, Cumacea). Tuta Sub Aegide Pallas. EJB.
Bruscea & Wilson. 1991. Peracarida (SubOrdo Flabellifera). Http://www.
Google .com /Isopoda/Flabellifera/Sphaeromatidae_Pdf. 13 Januari 2010
(14.00WIB).
Cressey, R.F. 1983. Crustaceans as Parasites of Other Organism (In The Biology
of Crustacea. Http://www.google.com/Crustacean/Parasites of Crustacea
_Article/Html. 12 Januari 2010 (14.00WIB).
Diatin, Nahib, I., Anna, Fauzi, A. dan Putri, P. 2007. Studi Valuasi Ekonomi
Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kawasan Lindung (Konservasi).
Http://www.google.com/profilpulauseribu/untitled/pdf_html. Diakses pada
tanggal 3 juni 2009 (14.00WIB).
Darojah, Y. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan
Rawapening Kabupaten Semarang. Skripsi: Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
67
Fahruddin, 2002. Pemanfaatan, Ancaman dan Isu – isu Pengelolaan Ekosistem
Padang Lamun. Http://google.co/untitled/MakalahFalsafahSains/html.doc.
Diakses pada tanggal 15 agustus 2009 (12.00 WIB).
Fachrul, F.M. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Hal.
151-152.
Green E, P and Frederick T,. 2003. World Atlas of Seagrass. Univ. of California
Press. London-England. Hal. 171-172.
Gonzagawawa, G,. 2009. Padang Lamun di Kepulauan Seribu. http ://kepulauan
seribu.multiply.com/journal/item/25/Padang_Lamun_di_Kepulauan_Serib
u. 25 juli 2009 (14.00 WIB).
Glynn, P. W. 1971. Redicovery Of Paracerceis Edithae Boone (Isopoda ,Sphae
romatidae) With Supplementary Notes On Morphology And Habitat.
SmithSonian Tropical Research Institute. Panama. Hal. 146.
Hakim, L. M. 2010. Makrobentos Sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan.
Http://www.ilmukelautan.com/Bentik (Crustacea)/Pengaruh Fauna Bentik
Terhadap Limbah_Html. 12 Januari 2009 (10.00 WIB).
Husein, A,. 2005. Menguak Misteri Lamun. Http://Google. co/lamun /untitled
/ekosistemlamun.html. 2 agustus 2009 (15.00 WIB).
Holthuis, B. L. 1955. The Recent Genera Of The Carridean And Stanopodidean
Shrimps ( Class Crustacea, Order Decapoda, SuperSection Natantia) With
Keys For Their Determination). Rijksmuseum van Natuurlijke Historie,
Leiden. Netherlands.
Indonesian Seagrass Committee. 2002. Indonesian Seagrass. Http://www.
Indo.seagrass.org.id/gambarlamun/seagrass_image.html. 12 Januari 2010
(16.00 WIB).
Ilmu Teknik Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 2007. Informasi Ekologi Laut
Tropis. Http: //www.Google.com/webmaster-ipb/Lab.Hidrologi-ipb/eko
logilauttropis/article /html. 4 agustus 2009 (13.00 WIB).
Juwana, S. 2001. Penggunaan Untaian Serabut Plastik Sebagai Rumpon Untuk
Pemeliharaan Rajungan (Portunus pelagicus) Di Dalam Jaring Kurung
Mendasar. Prosiding Seminar Laut Nasional III-ISOI (P2O-LIPI). Jakarta.
Hal. 97.
Kasim, M. 2005. Lingkungan Ekosistem Pesisir. Http://www.maruf. Word Press
.com./Seagrass(EkosistemYangTerabaikan)/Artikel/html. 30 juli 2009 (13.
00 WIB).
68
Kensley, B. 1978. Guide To The Marine Isopods Of Southern Africa. South
African Museum. Cape Town. Hal. 85.
Kiswara, W. 1992. Vegetasi Lamun di Rataan Terumbu Pulau Pari, Pulau – Pulau
Seribu, Jakarta. Http://www.google.com/oseanologipulaupari /lamun pulau
pari/pdf_doc. 15 Januari 2010 (10.00 WIB).
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Status Padang Lamun. Http:
//www.google.com/webmaster-ipb/Lab.Hidrologi-ipb_article. 10 Januari
2010 (12.00 WIB).
Lestari, P. R. 2008. Gambaran Umum Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Http://www.google.com/kepulauanseribu/pulaupari_profil/pdf_doc. 13 jan
uari 2010 (13.00 WIB).
Lowry, J.K. & Springthorpe,R.T. 1899. Amphipod: Famili and SubFamili.
Http://www.crustacea.net/Gammaridae/Amphitoidae_Amphipod/Amphipo
d_Html. 16 januari 2010 (13.30 WIB).
Mackie. 1998. Morfologi Crustacea. Http://www.google.com /malacostraca /crust
acea/image_html. diakses pada tanggal 13 januari 2010 (13.30 WIB).
Matsuura, K., Sumadiharga, O. K., and Tsukamoto, K. 2000. Field Guide to
Lombok Island. Ocean Research Institute. University of Tokyo. Hal. 54-
55.
Meland, K & Willassen, E. 2007. The Disunity of ‘Mysidacea’ (Crustacea).
Http://www.sciencedirect.com/Mysidacea/Mysid-pdf.file. Diakses pada
tanggal 5 februari 2010 (14.00 WIB).
Menez, E.G., Phillips and Calumpong, H.P. 1983. Ekosistem Padang Lamun. Htt
p://www.google.com/lamun/ekologilauttropis_html. Diakses pada tanggal
5 juni 2009 (15.30 WIB).
Moosa, M.K. dan Aswandy, I. 1995. Krustacea Dari Padang Lamun Di Perairan
Lombok Selatan. Http://google.com/lamun/crustacealamun/adobe_reader-
pdf. Diakses pada tanggal 29 mei 2009 (13.00 WIB).
Mujiarto, I. 2005. Sifat Dan Karakteristik Material Plastik Dan Bahan Aditif.
Http://www.google.com/ArtifisialPlastik/MaterialPlastik/KarakterMaterial
Plastik_Pdf.doc. 13 januari 2010 (11.00 WIB).
Ngangi, E. LA. 2003. Pemanfaatan, Ancaman dan Pengelolaan Ekosistem
Padang Lamun (Makalah). Http://www.google.com/Ekosistem Lamun
/Pengelolaan Padang lamun_Html. 29 Januari 2010 (13.00 WIB).
69
Odum, S. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Saunders Company. London.
Pratiwi, R. 2003. Cahaya Dan Warna Pada Krustasea. Oceana XXVIII, Nomor 1:
Hal. 4.
Puspawardani, M. 2005. Struktur Komunitas Amphipoda (Gammaridae) di
Perairan Utara Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas MIPA-UNJ. Jakarta.
Putra, A. N. 2008. Kajian Pengaruh Keberadaan Mangrove Terhadap Komunitas
Kepiting (Brachyura) di Ekosistem Mangrove Pesisir Klatakan. Skripsi.
Dept. Manajemen Sumber Daya Perairan (IPB). Bogor.
Putra, S. E. 2008. Kelapa Sebagai Bioindustri Potensial Indonesia. www.
Google.com/chemistry.org/html_doc. 8 maret 2011.
Rani, C. E. 2008. Rehabilitasi Padang Lamun:Pentingkah?. Http://www .google.
co.id/LamunBuatan/RehabilitasiPadangLamun_Html. 25 Januari 2010
(15.00 WIB).
Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta. Hal. 1-
4, 195-206.
Romimohtarto, K dan Juwana, S. 1987. A Comparative Study of Some Larval
Stages of Penaeus monodon and Penaeus merguiensis (Crustacea:
Decapoda) from Indonesia. Center for Oceanological Research and
Development, Indonesian Institute of Science. Jakarta.
Sammy De Grave, N. Dean Pentcheff & Shane T. Ahyong. 2009. A classification
of living and fossil genera of decapod crustaceans. Http://www. Wikimed
ia.shrimp.com/decapoda/udang(shrimp)_html_wiki. 25 januari 2010 (13.0
0 WIB).
Schmieg, S. 2007. Pengamatan Transek Garis 100 m @Pulau Pari Bagian
Selatan. Http://www.google.com/wordpress.co/transekgaris_article.html.
24 Februari 2010 (11.00 WIB).
Tomascik, T., Nontji, A., Mah, A. dan Moosa, MK. 1997. Interaksi Padang
Lamun. Http://www.google.com/ekologilauttropis/lamun_html. Diakses
pada tanggal 1 juni 2009 (11.00 WIB).
Thomas, J.D. 1993. Identification Manual for the Marine Amphipoda:
(Gammaridea). Department of Invertebrate Zoology National History
Smithsonian Institution. Washington DC.
Werdiningsih, R. 2005. Struktur Komunitas Kepiting dan Kondisi Mangrove
Kawasan Mangrove Rehabilitasi Pantai Tanjung Pasir, Tangerang. Skripsi.
Institute Pertanian Bogor. Bogor.
70
Widyastuti, E. 2002. Beberapa Catatan Mengenai Parasit Krustasea. Oceana
XXVII. No. 2. hal. 29-34.
Wikispesies. 2009. Mysidacea (Opposum Shrimp). Http://www .wikispesies.com/
Mysidacea(Spesies)/Morfologi dan Distribusi Mysidacea_Html. 10 januari
2010 (14.00 WIB).
71
72
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu dan
dilaksanakan pada bulan November 2009. Ada 3 lokasi stasiun penelitian yaitu
sebelah Barat Daya, Utara dan Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
73
menggambarkan dan mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan crustacea
(malacostraca) yang hadir di lamun buatan. Ada dua model lamun buatan dibuat
dari material yang berbeda yaitu sabut kelapa dan tali plastik (tambang). Lamun
buatan ini ditempatkan pada kerapatan lamun yang berbeda (padat, sedang dan
jarang) pada masing – masing stasiun. Pengambilan data crustacea di lamun
buatan dilakukan pada minggu ke-1,2,3 dan 4 dengan menggunakan metode
pengambilan langsung. Komposisi crustacea (malacostraca) yang ditemukan ada 1
Ordo, 3 Famili, 23 Genus dan 14 Spesies. Jumlah crustacea yang ditemukan dari
lamun buatan terbanyak pada lokasi Barat Daya. Keanekaragaman di stasiun
Barat Daya tergolong rendah yaitu 1,59, sedangkan pada stasiun Utara dan
Selatan adalah 1,63 dan 1,45. Kelimpahan crustacea di stasiun Barat Daya
mencapai 518 ind/m2, sedangkan pada stasiun Utara dan Selatan mencapai 64
ind/m2 dan 108 ind/m
2. Keanekaragaman dan kelimpahan crustacea pada seluruh
stasiun baik Utara, Selatan dan Barat Daya di dominasi oleh jenis Paracerceis sp
dan Cymadusa filosa serta sebagian dari Ordo Mysidacea (ekonomis). Maka dapat
dikatakan material lamun buatan (sabut kelapa dan tali plastik) memberi pengaruh
terhadap jenis crustacea yang bernilai ekonomis maupun non ekonomis.
74
75
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
76
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 bertempat di
Perairan Pesisir Pulau Pari, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS),
Teluk Jakarta – DKI Jakarta. Lokasi penelitian (Gambar 4), meliputi daerah Utara
(stasiun 1), Barat Daya (stasiun 2) dan Selatan (Stasiun 3) dari Pulau Pari untuk
mengambil data yang mewakili daerah tersebut.
Gambar 6. Lokasi dan Stasiun penelitian P. Pari, Kepulauan Seribu (PusLit
Geoteknologi-LIPI, 2002).
3.2. Alat dan Bahan
Alat – alat yang digunakan adalah termometer, kertas pH universal atau
pHmeter, rollmeter, refraktosalinometer, kompas, water quality checker, ember,
GPS, mikroskop binokuler, snorkel, alat ukur kedalaman air (Depth gauge), alat
ukur kecerahan (Secchi disk), sabut kelapa, tali plastik (tambang), kantong plastik,
Keterangan :
= Lokasi
Penelitian.
= Stasiun
Penelitian
77
LAMPIRAN 1. Komposisi seluruh jenis yang terdapat pada lamun buatan di lokasi Barat Daya (Elevasi = 73 ft, LS = 05,864500 , BT
= 106,608370).
No Nama Crustacea Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
∑ % No Nama Crustacea Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
∑ %
M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1
1 Ordo Amphipoda
a. Famili Gammaroidae 39 2 41 6.99 Cymodoce natalensis 4 15 19 3.24
Ceradocus sheardi 1 1 0.17 b. Famili Jaeropsidae
Anamaera hixoni 2 4 6 1.02 Ianiropsis sp 2 0.34
b. Famili
Megaluporidae ordo Mysidacea 2 10 24 18 7 61 10.4
Megaluropus sp 3 3 0.51 3 ordo Cumacea
b. Famili Ampithoidae a. Famili Bodotriidae
Cymadusa filosa 5 43 25 24 42 139 23.72 Cyclaspis sp 2 2 0.34
c. Famili Talitroidae 4 ordo Decapoda
Orchestia sp 1 1 2 0.34 5
a. Famili
Palaemonidae
d. Famili
Liljeborgiidae Palaemonetes sp 1 1 0.17
Liljeborgia brevicornis 1 1 0.17 Palaemonella sp 1 1 2 0.34
Liljeborgia sp 1 1 0.17 Palaemon sp 1 1 0.17
Listriella barnardi 3 3 0.51
b. Famili
Euphausidae 1 1 0.17
e. Famili Podoceridae c. Famili Alpheidae
Podocerus kleidus 7 1 1 9 1.53 Alpheus sp 1 1 0.17
f. Famili
Colomastigidae 4 4 1 9 1.53
d. Famili
Hippolytidae
g. Famili Eusiridae Spirontocaris sp 1 1 0.17
Eusiroidea sp 10 10 1.7 d. Famili Xanthidae
h. Famili Anamixidae
Lacnopodus
subacutus 1 1 0.17
Anamixis hanseni 1 1 0.17 Jenis Lain-lainnya
i. Famili Corophiidae 6 ordo Polychaeta
Chevalia aviculae 1 1 0.17 Famili Nereidae 1 2 1 5 0.85
j. Famili Leucothoidea 7 klass Gastropoda
Leucothoe sp 1 1 0.17 famili cerithidae
2 ordo Isopoda Cerithium sp 5 3 3 4 10 11 4 5 45 7.67
a. Famili famili Columbelidae
Ket :
M1 = Sabut Kelapa
M2 = Tali Plastik (tambang)
Sphaeromatidae
Dynamenella sp 1 3 4 0.68 Pyrene sp 1 1 2 1 5 0.85
Cymodoce setulosa 2 3 4 9 1.53 8 klass Bivalvia 7 7 1.19
Paracerceis sp 8 113 80 23 27 171 29.18 9 klass Stelleroidea
Cymodoce velutina 3 3 0.51 subklass Asteroidea 1 1 0.17
Cymodoce sp (A) 1 1 0.17 subklass Ophiuroidea 1 2 3 0.51
Cymodoce sp (B) 4 4 0.68 10 klass Pisces 2 2 0.34
Cymodoce sp (C) 6 6 1.02 Total 15 4 14 15 227 173 82 121 585 100
73
LAMPIRAN 2. Komposisi seluruh jenis yang terdapat pada lamun buatan di lokasi Utara ,
(Elevasi = 57 ft , LS = 05,855990 , BT = 106,61635
0).
Keterangan:
M1 = Sabut Kelapa.
M2 = Tali Plastik (tambang).
No Nama Crustacea
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
∑ %
M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1
1 Ordo Amphipoda
a. Famili Gammaroidea
Anamaera hixoni 2 2 0.63
b. Famili Ampithoidae
Cymadusa filose 2 2 0.63
2 ordo Isopoda
a. Famili Sphaeromatidae
Dynamenella sp 1 1 0.31
Cymodoce setulosa 3 3 0.95
Paracerceis sp 2 7 8 1 18 5.75
Cymodoce velutina 3 3 0.95
3 ordo Mysidacea 2 8 13 3 3 29 9.26
4 ordo Decapoda
b. Famili Euphausidae 2 2 0.63
c. Famili Alpheidae
Alpheus sp 1 1 0.31
e. Famili Portunidae
Thalamita prymna 1 1 0.31
Thalamita sp 1 1 0.31
Thalamita crenata 1 1 0.31
Jenis Lain-lainnya
5 ordo Polychaeta
Famili Nereidae 1 2 2 0.63
6 klass Gastropoda
famili cerithidae
Cerithium sp 10 30 40 62 22 52 19 235 75.07
famili Columbelidae
Pyrene sp 2 2 2 1 4 11 3.51
7 klass Bivalvia 1 1 0.31
Total 12 0 39 50 81 38 66 27 313 100
74
LAMPIRAN 3. Komposisi seluruh jenis yang terdapat pada lamun buatan di lokasi Selatan,
(elevasi = 56 ft, LS = 05,860640 BT = 106, 61686
0).
Keterangan:
M1 = Sabut Kelapa.
M2 = Tali Plastik (tambang).
No Nama Crustacea Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
∑ %
M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1
1 Ordo Amphipoda
a. Famili Gammaroidae 1 1 1 1 4 3.41
Gammaropsis sp 1 1 0.85
b. Famili Ampithoidae
Cymadusa filose 24 5 18 1 9 57 48.71
Cymadusa sp 3 2 5 4.27
Cymadusa compta 1 2 3 2.56
e. Famili Podoceridae
Podocerus kleidus 3 2 4 3.41
2 ordo Isopoda
a. Famili
Sphaeromatidae
Dynamenella sp 1 1 0.85
Paracerceis sp 2 1 7 7 7 2 26 22.21
Cymodoce velutina 1 1 0.85
3 ordo Mysidacea 4 4 3.41
4 ordo Decapoda
Thalamita sp 1 1 0.85
Lain-lainnya
5 ordo Polychaeta
Famili Nereidae 1 1 0.85
6 klass Gastropoda
famili cerithidae 1 1 0.85
Cerithium sp 1 2 1 1 5 4.27
7 klass Demospongia 1 1 0.85
8 klass Pisces 2 1 2 1.7
Total 0 2 4 31 20 37 11 12 117 100
75
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Minggu
ke-1
Minggu
ke-2
Minggu
ke-3
Minggu
ke-4
Sabut kelapa
Tali plastik (tambang)
LAMPIRAN 4. Keanekaragaman jenis crustacea tiap minggu pada ketiga lokasi penelitian.
a. Lokasi Barat Daya.
b. Lokasi Utara.
No Waktu
(perminggu)
Stasiun Penelitian Barat daya
M1 M2
1 Minggu ke-1 0 1,16
2 Minggu ke-2 0,35 1,52
3 Minggu ke-3 1,46 1,46
4 Minggu ke-4 1,67 1,49
No Waktu
(perminggu)
Stasiun Penelitian Barat daya
M1 M2
1 Minggu ke-1 0 0
2 Minggu ke-2 0,63 1,08
3 Minggu ke-3 0,59 1,49
4 Minggu ke-4 0,55 0,58
76
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
Minggu
ke-1
Minggu
ke-2
Minggu
ke-3
Minggu
ke-4
Sabut kelapa
Tali plastik (tambang)
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
Minggu
ke-1
Minggu
ke-2
Minggu
ke-3
Minggu
ke-4
Sabut kelapa
Tali plastik (tambang)
c. Lokasi Selatan.
No Waktu
(perminggu)
Stasiun Penelitian Barat daya
M1 M2
1 Minggu ke-1 0 0
2 Minggu ke-2 0,7 1
3 Minggu ke-3 1,36 1,41
4 Minggu ke-4 0,7 0,93
77
LAMPIRAN 5. Kelimpahan seluruh jenis crustacea pada lamun buatan di lokasi Barat Daya.
No Nama Crustacea Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
∑ % M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1
1 Ordo Amphipoda
a. Famili Gammaroidae 39 2 41 7,91
Ceradocus sheardi 1 1 0.19
Anamaera hixoni 2 4 6 1.15
b. Famili Megaluporidae
Megaluropus sp 3 3 0.57
b. Famili Ampithoidae
Cymadusa filosa 5 43 25 24 42 139 26,83
c. Famili Talitroidae
Orchestia sp 1 1 2 0.38
d. Famili Liljeborgiidae
Liljeborgia brevicornis 1 1 0.19
Liljeborgia sp 1 1 0.19
Listriella barnardi 3 3 0.57
e. Famili Podoceridae
Podocerus kleidus 7 1 1 9 1.73
f. Famili Colomastigidae 4 4 1 9 1.73
g. Famili Eusiridae
Eusiroidea sp 10 10 1,93
h. Famili Anamixidae
Anamixis sp 1 1 0.19
i. Famili Corophiidae
Chevalia aviculae 1 1 0.19
j. Famili Leucothoidea
Leucothoe sp 1 1 0.19
2 Ordo Isopoda
a. Famili
Sphaeromatidae
Dynamenella sp 1 3 4 0.77
Cymodoce setulosa 2 3 4 9 1.73
Paracerceis sp 8 103 80 23 27 171 33,01
Cymodoce velutina 3 3 0.57
Cymodoce sp (A) 1 1 0.19
Cymodoce sp (B) 4 4 0.77
Cymodoce sp (C) 6 6 1.15
Cymodoce natalensis 4 15 19 3.66
b. Famili Jaeropsidae
Ianiropsis sp 2 2 0.38
3 Ordo Mysidacea 2 10 24 18 7 61 11,77
4 Ordo Cumacea
a. Famili Bodotriidae
Cyclaspis sp 2 2 0.38
78
5 Ordo Decapoda
6 a. Famili Palaemonidae
Palaemonetes sp 1 1 0.17
Palaemonella sp 1 1 2 0.38
Palaemon sp 1 1 0.17
b. Famili Euphausidae 1 1 0.17
c. Famili Alpheidae
Alpheus sp 1 1 0.17
d. Famili Hippolytidae
Spirontocaris sp 1 1 0.17
d. Famili Xanthidae
Lacnopodus subacutus 1 1 0.17
∑ 10 0 9 9 219 154 76 121 518 100
Keterangan:
M1 = Sabut Kelapa.
M2 = Tali Plastik (tambang).
LAMPIRAN 6. Kelimpahan seluruh jenis crustacea pada lamun buatan di lokasi Utara.
79
No Nama Crustacea Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
∑ % M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1
1 Ordo Amphipoda
a. Famili Gammaroidea
Anamaera hixoni 2 2 3.125
b. Famili Ampithoidae
Cymadusa filose 2 2 3.13
2 Ordo Isopoda
a. Famili
Sphaeromatidae
Dynamenella sp 1 1 1.56
Cymodoce setulosa 3 3 4.68
Paracerceis sp 2 7 8 1 18 28.13
Cymodoce velutina 3 3 4.68
3 Ordo Mysidacea 2 8 13 3 3 29 45.31
4 Ordo Decapoda
b. Famili Euphausidae 2 2 3.13
c. Famili Alpheidae
Alpheus sp 1 1 1.56
e. Famili Portunidae
Thalamita prymna 1 1 1.56
Thalamita sp 1 1 1.56
Thalamita crenata 1 1 1.56
∑ 0 0 6 10 17 16 11 4 64 100
Keterangan:
M1 = Sabut Kelapa.
M2 = Tali Plastik (tambang).
LAMPIRAN 7. Kelimpahan seluruh jenis crustacea pada lamun buatan di lokasi Selatan.
80
No Nama Crustacea
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
∑ % M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1
1 Ordo Amphipoda
a. Famili Gammaroidae 1 1 1 1 4 3.7
Gammaropsis sp 1 1 0.925
b. Famili Ampithoidae
Cymadusa filose 24 5 18 1 9 57 52.77
Cymadusa sp 3 2 5 4.62
Cymadusa compta 1 2 3 2.77
e. Famili Podoceridae
Podocerus kleidus 3 1 4 3.7
2 Ordo Isopoda
a. Famili
Sphaeromatidae
Dynamenella sp 1 1 0.925
Paracerceis sp 2 1 8 7 7 2 27 25
Cymodoce velutina 1 1 0.925
3 Ordo Mysidacea 4 4 3.7
4 Ordo Decapoda
Thalamita sp 1 1 0.925
∑ 0 0 2 30 18 35 10 12 108 100
Keterangan:
M1 = Sabut Kelapa.
M2 = Tali Plastik (tambang).
LAMPIRAN 8. Jenis crustacea yang dominan diperoleh dari Lamun buatan.
81
a. Minggu 1.
b. Minggu 2.
No Keterangan
STASIUN PENELITIAN
Barat daya Utara Selatan
M1 M2 M1 M2 M1 M2
1 jenis (dominan) Paracerceis sp - Ordo Mysidacea - Cymadusa filosa -
2 S (jumlah jenis) 2 7 3 3 5 1
3 N (jumlah individu) 9 9 10 6 30 2
4 H' (Keanekaragaman) 0,35 1,52 0,63 1,08 0,7 1
5 λ (Dominansi) 0,77 0,05 0,62 0,2 0,64 1
6 J' (Keseragaman) 0,35 0,54 0,39 0,68 0,3 0
c. Minggu 3.
No Keterangan
STASIUN PENELITIAN
Barat daya Utara Selatan
M1 M2 M1 M2 M1 M2
1 jenis (dominan) Paracerceis
sp
Paracerceis
sp
Ordo
Mysidacea
Paracerceis
sp
Cymadusa
filosa
Paracerceis
sp
2 S (jumlah jenis) 12 12 3 6 7 6
3 N (jumlah individu) 154 219 16 17 35 18
4 H' (Keanekaragaman) 1,46 1,46 0,59 1,49 1,36 1,41
5 λ (Dominansi) 0,32 0,29 0,65 0,2 0,3 0,26
6 J' (Keseragaman) 0,41 0,41 0,37 0,58 0,48 0,55
d. Minggu 4.
No Keterangan
STASIUN PENELITIAN
Barat daya Utara Selatan
M1 M2 M1 M2 M1 M2
1 jenis (dominan) - Cymadusa filosa - - - -
2 S (jumlah jenis) 0 4 0 0 0 0
3 N (jumlah individu) 0 10 0 0 0 0
4 H' (Keanekaragaman) 0 1,16 0 0 0 0
5 λ (Dominansi) 0 0,28 0 0 0 0
6 J' (Keseragaman) 0 0,58 0 0 0 0
82
No Keterangan
STASIUN PENELITIAN
Barat daya Utara Selatan
M1 M2 M1 M2 M1 M2
1 jenis (dominan) Cymadusa
filosa
Cymadusa
filosa
Ordo
Mysidacea
Paracerceis
sp
Cymadusa
filosa
Paracerceis
sp
2 S (jumlah jenis) 13 7 2 2 3 4
3 N (jumlah individu) 121 76 4 11 12 10
4 H' (Keanekaragaman) 1,67 1,49 0,55 0,58 0,7 0,93
5 λ (Dominansi) 0,19 0,24 0,5 0,56 0,56 0,46
6 J' (Keseragaman) 0,45 0,53 0,56 0,58 0,44 0,46
LAMPIRAN 9. Data pengamatan kerapatan padang lamun pada tiap stasiun penelitian.
83
a. Barat Daya
No ∑ Tanaman Persentase Substrat Keterangan
1 11 11% Pasir Halus EA
2 16 16% Lumpur Berpasir EA
3 20 20% Lumpur Berpasir EA
4 20 20% Lumpur Berpasir EA
5 75 75% Lumpur Berpasir EA
6 18 20% Lumpur Berpasir Kasar EA + bintang laut
7 28 30% Lumpur Berpasir Kasar TH
8 50 50% Lumpur Berpasir Kasar TH + bintang laut + timun laut
9 19 20% Pasir Kasar TH
10 0 0 Pasir Kasar
Persentase Density ∑ = 26,2 %
b. Utara
No ∑ Tanaman Persentase Substrat keterangan
1 6 6% Pasir Lumpur, Pecahan Karang
2 0 0 Pasir Lumpur, Pecahan Karang
3 0 0 Pasir Lumpur halus, Pecahan Karang
4 5 4% Pasir Lumpur halus + Pecahan Karang
5 8 8% Lumpur berpasir
6 3 40% Lumpur berpasir + Pecahan karang TH
7 10 10% Lumpur berpasir + Pecahan karang
8 46 50% Pasir berlumpur EA
9 2 1% Pasir berlumpur TH
10 4 2% Pasir berlumpur kasar EA
Persentase Density ∑ = 12,1 %
c. Selatan
84
No
∑
Tanaman Persentase Substrat Keterangan
1 75 75% Pasir halus TH + CR
2 49 50% Pasir kasar TH + CR + bintang laut
3 57 60% Pasir kasar TH + CR
4 79 80% Pasir Kasar EA + CR + TH
5 48 50% Pasir Kasar TH + CR
6 80 80% Pasir kasar TH + CR
7 74 75% Pasir kasar TH + CR
8 37 40% Pasir kasar TH + CR
9 9 9% Pasir Kasar + Pecahan karang TH + CR
10 15 15% Pasir Kasar + Pecahan karang TH + CR
Persentase Density ∑ = 53,4 %
Keterangan:
TH = Thalassia hempricii
CR = Cymodoceae rotundata
EA = Enhalus acroides
LAMPIRAN 10. Jenis – jenis crustacea yang ditemukan dari lamun buatan di Perairan Pulau
Pari.
85
1. Ordo Isopoda.
Paracerceis sp Cymodoce setulosa
Cymodoce sp Dynamenella sp
2. Ordo Amphipoda.
86
Cymadusa filosa Orchestia sp
Famili Gammaroidea Podocerus kleidus
87
3. Ordo Cumacea.
Cyclaspis sp
4. Ordo Mysidacea.
Mysidacea (Uropod dan Telson ; Mysidacea)
88
5. Ordo Decapoda.
Spirontocaris sp Alpheus sp
Palaemonetes sp Palaemonella sp
89
Lacnopodus subacutus Thalamita sp (molting)
Thalamita prymna (molting)
90
ERROR: dictfullOFFENDING COMMAND: image
STACK: