Post on 04-Nov-2021
1
PENGARUH MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT TERHADAP
PENGGUNAAN OBAT RASIONAL PENYAKIT HIPERTENSI
DI PUSKESMAS RUSUNAWA KOTA BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Sarjana Farmasi (S1) pada
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Al-Ghifari
Oleh :
ANGGUN PRATIWI
D1A181692
UNIVERSITAS AL-GHIFARI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FARMASI
BANDUNG
2020
2
3
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmaanirahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaarahkatuh
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanna wa ta’ala atas
berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis menyelesaikan tugas skripsi yang
berjudul “PENGARUH MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT
TERHADAP PENGGUNAAN OBAT RASIONAL PENYAKIT
HIPERTENSI DI PUSKESMAS RUSUNAWA KOTA BANDUNG ”.
Adapun penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Al-Ghifari, Bandung.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Dr. H. Dindin Muhafidin, M.Si. selaku Rektor Universita Al-Ghifari
Bandung.
4
2. Bapak Ardian Baitariza, M.Si., Apt. selaku Dekan Falkultas Matematika
Dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Farmasi Universitas Al-Ghifari
Bandung.
3. Ibu Ginayanti Hadisoebroto, M,Si., Apt. selaku Dekan Falkultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Farmasi Universitas Al-
Ghifari Bandung.
4. Ibu Sri Setiatjahjati, S. Si., M. M.Kes., Apt selaku Dosen Pembimbing I
yang selalu membimbing, membantu, memberi dukungan dan
mendampingi hingga selesainya skripsi ini.
5. Ibu Suharti, S.Si.,M.Farm.,Apt selaku pembimbing II yang selalu
membimbing, memberi dukungan dan mendampingi hingga selesainya
skripsi ini.
6. Keluarga tercinta yang telah memberikan do’a restu, dukungan moral,
motivasi, semangat dan materi.
7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Falkultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universita Al-Ghifari Bandung.
8. Teman-teman Program Studi Farmasi Falkultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Jurusan Farmasi Universitas Al-Ghifari Bandung
angakatan 2018 khususnya kelas Konversi Pontianak terima kasih untuk
kebersamaannya, motivasi, semangat, kekeompakan, dan kebaikan kalian
hingga selesai skripsi ini.
i
9. Sahabat dan juga teman seperjuangan terima kasih atas kebersamaan, kerja
sama dalam bentuk tindakan, pikiran, kekompakan dan kebaikan sehingga
selesinya skripsi ini.
10. Serta semua pihak yang telah membanu penulis selama penyususnan skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua
pihak demi kesmpurnaan skripsi ini. Harapan dari penulis semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa-mahasiswa dan pembaca.
Bandung, Januari 2020
Penulis
i
ABSTRAK
Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang abnormal. Ketersediaan obat
merupakan sumber daya manajemen pengelolaan obat yang harus terpenuhi di
Puskesmas. Pengelolaan obat di Puskesmas merupakan hal yang sangat penting
yang perlu diperhatikan, mengingat dengan pengelolaan yang tidak sesuai dengan
prosedur yang tepat akan terjadi masalah, tumpang tindih anggaran dan pemakaian
yang tidak tepat guna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
manajemen pengelolaan obat terhadap penggunaan obat rasional penyakit
Hipertensi di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung. Mengidentifikasi faktor
manajemen pengelolaan obat terhadap beberapa kriteria penggunaan obat rasional
di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung. Metode yang digunakan adalah deskriptif
non eksperimental dengan pengambilan data secara retrospektif. Data dianalisis
secara statisti menggunakan uji Chi-Square dengan taraf signifikasi 0,05. Data
diperoleh observasi dokumen obat Puskesmas bulan Januari – Maret tahun 2019.
Berdasarkan uji Chi-Square tidak terdapat pengaruh signifikan (sig p> 0,05) antara
Manajemen pengelolaan obat terhadap penggunaan obat rasional yang digunakan,
yaitu ketepatan obat, dosis, polifarmasi dan interaksi obat pada pasien Hipertensi di
Puskesmas Rusunawa Kota Bandung.
Kata kunci : manajemen pengelolaan obat, rasionalitas obat, puskesmas
ii
ABSTRACT
Hypertension is abnormally high blood pressure. Drug availability is a drug
management management resource that must be fulfilled at the Puskesmas. Drug
management at the Puskesmas is a very important matter that needs attention,
considering that with management that is not in accordance with the right
procedures there will be problems, overlapping budgets and inappropriate usage.
This study aims to determine the effect of drug management on rational drug use
for hypertension at the Rusunawa Health Center, Bandung City. Identify drug
management management factors against several criteria for rational drug use in
Rusunawa Health Center, Bandung City. The method used was descriptive non-
experimental with retrospective data collection. Data were analyzed statistically
using the Chi-Square test with a significance level of 0.05. The data were obtained
from Puskesmas drug document observations from January to March 2019. Based
on the Chi-Square test there was no significant effect (sig p> 0.05) between drug
management on rational drug use, namely drug accuracy, dosage, polypharmacy
and interactions. drugs in hypertensive patients at the Public Health Center
Rusunawa Bandung.
Keywords: management of drug management, drug rationality, puskesmas
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Penyakit .................................................................................................. 4
2.2 Definisi Hipertensi ................................................................................. 4
2.3 Penatalaksanaan Penyakit Hipertensi ..................................................... 6
2.3.1 Amlodipin..................................................................................... 6
2.4 Puskesmas .............................................................................................. 8
2.5 Manajemen Puskesmas ........................................................................ 10
2.5.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai.... 12
2.5.2 Pelayanan Farmasi Klinik .......................................................... 15
2.6 Pengobatan Obat Rasional ................................................................... 16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 20
3.1 Rancangan Penelitian ........................................................................... 20
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 20
3.3 Populasi Sampel ................................................................................... 20
3.4 Alat dan Bahan ..................................................................................... 21
3.5 Kriteria Inklusi ..................................................................................... 21
3.6 Kriteria Eksklusi................................................................................... 22
3.7 Variabel Penelitian ............................................................................... 22
3.8 Definisi Oprasional .............................................................................. 22
3.9 Analisis Data ........................................................................................ 23
Halaman
iv
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 25 4.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ...................................... 25
4.2 Distribusi Berdasarkan Usia ................................................................. 27
4.3 Kriteria Pasien ...................................................................................... 28
4.4 Evaluasi Kerasionalan Pengobatan ...................................................... 29
4.5 Pengaruh Manajemen Pengelolaan Obat Terhadap Pengaruh Obat
Rasional ...................................................................................................... 32
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 36 5.1 Simpulan .............................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 37
LAMPIRAN .......................................................................................................... 39
v
DAFTAR TABEL
Tabel
4.1 Distribusi Jenis Kelamin Pasien Yang Terdiagnosis Penyakit Hipertensi di
Puskesmas Rusunawa Kota Bandung Pada Tahun 2019 ....................................... 25
4.3 Distribusi Pasien Hipertensi Berdasarkan Usia Tiap Kelompok ..................... 27
4.4 Karakteristik Pengobatan Antihipertensi Tunggal dan Kombinasi Pada Pasien
Hipertensi ............................................................................................................... 28
4.4.1 Kerasionalan Tepat Obat ............................................................................... 29
4.4.2 Tepat Dosis.................................................................................................... 30
4.4.4 Interaksi Obat ................................................................................................ 32
4.5 Data Ketersediaan Obat Hipertensi di Puskesmas Rusunawa Kota Bandumg 34
Halaman
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
I ALUR PENELITIAN .................................................................................... 39
II RESEP ............................................................................................................ 40
III SURAT PERIZINAN DARI KESATUAN BANGSA DAN POLITIK
(KESBANGPOL) ................................................................................................... 41
Halaman
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa “Penggunaan obat harus dilakukan secara
rasional”. Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan
sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai, dalam periode waktu
yang adequate dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Alasan
penggunaan obat rasional adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
belanja obat yang merupakan salah satu upaya cost effective medical interventions.
Selain itu untuk mempermudah akses masyarakat memperoleh obat dengan harga
yang terjangkau, mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat
membahayakan pasien dan meningkatkan kepercayaan pasien (Kemenkes RI,
2011).
Manajemen pengelolaan obat merupakan salah satu aspek yang penting dari
Puskesmas dalam membentuk pelayanan penggunaan obat rasional. Manajemen
pengelolaan obat yang baik dimaksudkan agar obat yang diperlukan senantiasa
tersedia dalam jenis dan jumlah yang cukup dengan mutu yang terjamin.
Ketidakcukupan ketersediaan obat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya
adalah faktor perencanaan kebutuhan obat yang belum tepat, belum efektif, dan
belum efisien. Manajemen pengelolaan obat yang baik perlu didukung sumber daya
2
manusia yang mengerti tentang obat sehingga menghasilkan pelayanan farmasi
yang ideal, yaitu setiap kali diperlukan obat selalu tersedia dalam jumlah yang
cukup, harga terjangkau, mutu terjamin dan dalam waktu yang tepat
(Utaminingrum, 2011).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan jumlah penderita hipertensi
akan terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang bertambah pada 2025
mendatang diperkirakan sekitar 29% warga dunia terkena hipertensi. WHO
menyebutkan negara ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi sebesar
40% sedangkan negara maju hanya 35% (Widiyani, 2013). Menurut laporan
Kemenkes (2013), bahwa hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3
setelah stroke dan tuberkulosis, dimana proporsi kematiannya mencapai 6,7% dari
populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Penderita hipertensi di Indonesia
diperkirakan sebesar 15 juta tetapi hanya 4% yang hipertensi terkendali. Prevalensi
penyakit Hipertensi khususnya pada tahun 2018 di Jawa Barat ditemukan diagnosis
sebesar 9,1 % kasus terhadap jumlah penduduk ≥ 18 tahun. Ketidak tepatan
penggunaan obat hipertensi merupakan penyebab kegagalan terapi, hal ini
berdampak pada memburuknya keadaan pasien karena akan terjadinya komplikasi
dan kerusakan pada organ tubuh seperti jantung koroner dan risiko stroke.
Berdasarkan dari latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Manajemen Pengelolaan Obat Terhadap
Penggunaan Obat Rasional Pada Penyakit Hipertensi di Puskesmas Rusunawa Kota
Bandung
3
1.2 Identifikasi Masalah
Bagaimana pengaruh manajemen pengelolaan obat di Puskesmas Rusunawa
terhadap Penggunaan Obat Rasioal (POR) pada pasien Hipertensi?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh manajemen pengelolaan obat di Puskesmas
Rusunawa terhadap Penggunaan Obat Rasional (POR) pada pasien Hipertensi.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Peneliti
Dapat memberikan wawasan bagi peneliti untuk lebih memahami
manajemen pengelolaan obat dan manajemen terapi farmakologi pada
pasien hipertensi serta sebagai sarana dalam memperoleh gelar akademis di
bidang farmasi.
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)
Dapat menjadi masukan dan sebagai bahan evaluasi bagi fasilitas pelayanan
kesehatan terkait (Puskesmas) untuk mengoptimalkan manajemen
pengelolaan obat dalam rangka meningkatkan penggunaan obat yang
rasional.
3. Masyarakat
Dapat meningkatkan penggunaan obat yang rasional sehingga meningkatkan
efektivitas baik dari segi pengobatan, biaya maupun tercapainya kualitas hidup
masyarakat penderita hipertensi.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit
Timbulnya penyakit pada manusia pada awalnya dikemukakan oleh teori
single causation of disease, bahwa timbulnya penyakit disebabkan hanya oleh satu
penyebab. Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kemudian diyakini
bahwa penyebab penyakit tidak hanya oleh disebabkan oleh satu penyebab tunggal,
tetapi hasil dari interaksi antara beberapa penyebab (multiple causation of disease)
a. Konsep sehat
Sehat menurut WHO pada 1948, adalah keadaan baik yang lengkap secara fisik,
mental, dan sosial dan bukan berarti hanya bebas dari penyakit atau kelainan atau
cacat.
b. Konsep sakit
Sakit dapat diartikan sebagai suatu penyimpangan dari status penampilan yang
optimal. Sedangkan, penyakit merupakan suatu proses gangguan fisiologis (faal
tubuh), serta atau gangguan psikologis atau mental maupun suatu gangguan tingkah
laku (behavior).
2.2 Definisi Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi medis dimana
seseorang mengalami peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam waktu yang
lama) yang mengakibatkan angka kesakitan dan angka kematian. Seseorang
dikatakan menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi yaitu apabila tekanan
darah sistolik >140 mmHg dan diastolik >90 mmHg (Yeyeh, 2010).
5
Penyakit hipertensi sering disebut sebagai The Silent Disease atau penyakit
tersembunyi. Orang yang tidak sadar telah mengidap penyakit hipertensi sebelum
melakukan pemeriksaan tekanan darah. Hipertensi dapat menyerang siapa saja, dari
berbagai kelompok umur dan status sosial ekonomi. Hipertensi merupakan suatu
keadaan yang tidak memiliki gejala nampak, dimana tekanan darah yang tinggi di
dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan kardiovaskuler seperti stroke, gagal jantung, serangan
jantung, kerusakan ginjal (Lilies, 2015).
1) Gejala Hipertensi
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala :
meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya
berhubungandengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud adalah sakit
kepala, pendarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan yang bisa
saja terjadi baik pada penderita hipertensi. Jika hipertensi berat atau menahun dan
tidak diobati, akan timbul gejala yaitu sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak
nafas, gelisah, pandangan menjadi kabur karena adanya kerusakan pada otak, mata,
jantung dan ginjal (LIPI, 2009)
2) Faktor penyebab Hipertensi
Menurut WHO dalam Susan (2004) hipertensi berdasarkan penyebabnya
dibagi menjadi dua golongan yaitu :
a. Hipertensi Essensial
Hipertensi esensial (primer) adalah suatu peningkatan persisten tekanan
arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme control 10homeostik
6
normal tanpa penyebab sekunder yang jelas. Prevalensi mencapai lebih dari 90%
pada seluruh penderita dipertensi di masyarakat.
b.Hipertensi Nonessensial
Hipertensi nonessensial (sekunder) yaitu hipertensi yang disebabkan oleh
kelainan organ tubuh yang telah terbukti kaitannya terhadap timbulnya hipertensi,
seperti kelainan ginjal, dan penyakit pembuluh darah, yang memerlukan sarana
khusus agar dapat ditentukan diagnosis penyebabnya.Prevalensinya <10% dari
seluruh penderita hipertensi di masyarakat.
2.3. Penatalaksanaan Penyakit Hipertensi
2.3.1 Amlodopin
1. Farmakodinamik
Amlodipine merupakan golongan penghambat kanal kalsium
generasi kedua dari kelas 1,4 dihidropiridin (DHP). DHP bekerja dengan
mengikat situs yang dibentuk dari residu asam amino pada dua segmen S6
yang berdekatan dan segmen S5 diantaranya dari kanal kalsium bermuatan
di sel otot polos dan jantung. Ikatan tersebut menyebabkan kanal kalsium
termodifikasi ke dalam kondisi inaktif tanpa mampu berkonduksi
(nonconducting inactive state) sehingga kanal kalsium di sel otot menjadi
impermeabel terhadap masuknya ion kalsium.
Hambatan terhadap influks ion kalsium ekstraseluler tersebut
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, penurunan kontraktilitas miokard,
dan penurunan tahanan perifer.
7
Amlodipine memiliki afinitas lebih tinggi pada kanal kalsium yang
terdepolarisasi. Sel otot polos vaskuler memiliki potensial membran yang
lebih terdepolarisasi dibandingkan sel otot jantung sehingga efek fisiologis
amlodipine lebih nyata di jaringan vaskuler dibandingkan di jaringan
jantung
2. Farmakokinetik
Aspek farmakokinetik amlodipine mencakup aspek absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.
a). Absorpsi
Amlodipine cepat diserap menyusul konsumsi oral dengan
bioavailabilitas hingga mencapai 64%. Konsentrasi amlodipine dalam
plasma mencapai puncaknya 6-12 jam setelah dikonsumsi setelah melalui
metabolisme di hati.
Kadar plasma semakin meningkat dengan penggunaan amlodipine jangka
panjang sehubungan dengan masa paruh eliminasi yang panjang (35-48
jam) dan efek saturasi metabolisme hepatik. Kadar plasma ini akan stabil
setelah pemberian amlodipine secara rutin selama 7-8 hari.
b).Distribusi
Mengingat volume distribusinya yang besar (21,4±4,4 L/kg), amlodipine
terdistribusi masif ke kompartemen jaringan. 93-98% amlodipine dalam
plasma terikat dengan protein.
8
c).Metabolisme
Amlodipine dimetabolisme di hati menjadi bentuk metabolit inaktifnya.
Metabolit amlodipine tidak memiliki aktivitas antagonis kalsium dan
hanya sedikit bentuk obat asli yang diekskresikan melalui urin.
d).Eskresi
Sebagian besar metabolit amlodipine (62% dosis yang dikonsumsi)
diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui feses. Terkait besarnya
proporsi metabolit yang diekskresikan melalui urin, pada pasien usia
lanjut, bersihan amlodipine dapat mengalami penurunan sehingga
diperlukan penyesuaian dosis
2.4. Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat yang dikenal dengan Puskesmas adalah
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang bertanggungjawab atas
kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya pada satu atau bagian wilayah
kecamatan. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat dinyatakan bahwa Puskesmas berfungsi
menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan
Perseorangan (UKP) tingkat pertama. Puskesmas merupakan Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD) dinas kesehatan kabupaten/kota, sehingga dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, akan mengacu pada kebijakan pembangunan
kesehatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersangkutan, yang tercantum
9
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana
lima tahunan dinas kesehatan kabupaten/kota.
Agar Puskesmas dapat mengelola upaya kesehatan dengan baik dan
berkesinambungan dalam mencapai tujuannya, maka Puskesmas harus menyusun
rencana kegiatan untuk periode 5 (lima) tahunan yang selanjutnya akan dirinci lagi
ke dalam rencana tahunan Puskesmas sesuai siklus perencanaan anggaran daerah.
Semua rencana kegiatan baik 5 (lima) tahunan maupun rencana tahunan, selain
mengacu pada kebijakan pembangunan kesehatan kabupaten/kota harus juga
disusun berdasa pada hasil analisis situasi saat itu (evidence based) dan prediksi
kedepan yang mungkin terjadi. Proses selanjutnya adalah penggerakan dan
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana kegiatan/program yang disusun,
kemudian melakukan pengawasan dan pengendalian diikuti dengan upaya-upaya
perbaikan dan peningkatan (Corrective Action) dan diakhiri dengan pelaksanaan
penilaian hasil kegiatan melalui penilaian kinerja Puskesmas.
Peningkatan kinerja pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, dilakukan
sejalan dengan perkembangan kebijakan yang ada pada berbagai sektor. Adanya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, diikuti pula dengan menguatnya
kewenangan daerah dalam membuat berbagai kebijakan. Selama ini penerapan dan
pelaksanaan upaya kesehatan dalam kebijakan dasar Puskesmas yang sudah ada
sangat beragam antara daerah satu dengan daerah lainnya, namun secara
keseluruhan belum menunjukkan hasil yang optimal.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat, disebutkan bahwa Puskesmas mempunyai tugas
10
melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan
diwilayah kerjanya dan berfungsi menyelenggarakan UKM dan UKP tingkat
pertama diwilayah kerjanya. Puskesmas dalam Sistem Kesehatan Daerah
Kabupaten/Kota, merupakan bagian dari dinas kesehatan kabupaten/kota sebagai
UPTD dinas kesehatan kabupaten/kota. Oleh sebab itu, Puskesmas melaksanakan
tugas dinas kesehatan kabupaten/kota yang dilimpahkan kepadanya, antara lain
kegiatan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan
Kabupaten/kota dan upaya kesehatan yang secara spesifik dibutuhkan masyarakat
setempat (local specific).
2.5 Manajemen Puskesmas
Puskesmas harus melaksanakan manajemen Puskesmas secara efektif dan
efisien. Siklus manajemen Puskesmas yang berkualitas merupakan rangkaian
kegiatan rutin berkesinambungan, yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan
berbagai upaya kesehatan secara bermutu, yang harus selalu dipantau secara berkala
dan teratur, diawasi dan dikendalikan sepanjang waktu, agar kinerjanya dapat
diperbaiki dan ditingkatkan dalam satu siklus “Plan-Do-Check-Action (P-D-C-A)”.
Manajemen adalah serangkaian proses yang terdiri atas perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol (Planning, Organizing, Actuating,
Controling) untuk mencapai sasaran/tujuan secara efektif dan efesien. Efektif
berarti bahwa tujuan yang diharapkan dapat dicapai melalui proses
penyelenggaraan yang dilaksanakan dengan baik dan benar serta bermutu,
berdasarkan atas hasil analisis situasi yang didukung dengan data dan informasi
yang akurat (evidence based). Sedangkan efisien berarti bagaimana Puskesmas
11
memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk dapat melaksanaan upaya
kesehatan sesuai standar dengan baik dan benar, sehingga dapat mewujudkan target
kinerja yang telah ditetapkan.
Untuk menjamin bahwa siklus manajemen Puskesmas yang berkualitas
berjalan secara efektif dan efisien, ditetapkan tim manajemen Puskesmas yang juga
dapat berfungsi sebagai penanggungjawab manajemen mutu di Puskesmas. Tim
terdiri atas penanggung jawab upaya kesehatan di Puskesmas dan didukung
sepenuhnya oleh jajaran pelaksananya masing-masing. Tim ini bertanggung jawab
terhadap tercapainya target kinerja Puskesmas, melalui pelaksanaan upaya
kesehatan yang bermutu.
Diperlukan dukungan sumber daya yang memadai baik dalam jenis, jumlah
maupun fungsi dan kompetensinya sesuai standar yang ditetapkan, dan tersedia
tepat waktu pada saat akan digunakan. Dalam kondisi ketersediaan sumber daya
yang terbatas, maka sumber daya yang tersedia dikelola dengan sebaik-baiknya,
dapat tersedia saat akan digunakan sehingga tidak menghambat jalannya pelayanan
yang akan dilaksanakan.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan
untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah Obat dan masalah
yang berhubungan dengan kesehatan. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari
paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi
Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).
12
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus
didukung oleh sumber daya manusia dan sarana dan prasarana. Kegiatan yang
bersifat manajerial meliputi.
2.5.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari
perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya
adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan Sediaan
Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien, efektif dan rasional,
meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem
informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
meliputi:
1). Perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai :
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dalam
rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk
mendapatkan:
a) Perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang
mendekati kebutuhan,
b) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional; dan
13
c) Meningkatkan efisiensi penggunaan obat.
Proses seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan dengan
mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi Sediaan Farmasi periode
sebelumnya, data mutasi Sediaan Farmasi, dan rencana pengembangan. Proses
seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai juga harus mengacu pada
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional. Proses seleksi
ini harus melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas seperti dokter, dokter
gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang berkaitan dengan
pengobatan.
Proses perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi per tahun dilakukan secara
berjenjang (bottom-up). Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian Obat
dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan kompilasi dan
analisa terhadap kebutuhan Sediaan Farmasi Puskesmas di wilayah kerjanya,
menyesuaikan pada anggaran yang tersedia dan memperhitungkan waktu
kekosongan Obat, buffer stock, serta menghindari stok berlebih.
1) Permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Tujuan permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah
memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai di
Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan
diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.
14
2) Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Suatu kegiatan dalam menerima Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan Puskesmas secara
mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya adalah agar
Sediaan Farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan
yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan
mutu. Tenaga kefarmasian wajib melakukan pengecekan terhadap Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah kemasan/peti,
jenis dan jumlah sediaan farmasi, bentuk sediaan farmasi sesuai dengan isi
dokumen LPLPO, ditandatangani oleh tenaga kefarmasian, dan diketahui oleh
Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka tenaga kefarmasian dapat
mengajukan keberatan. ditandatangani oleh tenaga kefarmasian, dan diketahui oleh
Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka tenaga kefarmasian dapat
mengajukan keberatan.
2.5.2 Pelayanan farmasi klinik
Merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk :
1) Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.
2) Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,
keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
15
3) Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien
yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4) Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional.
Dalam hal ini seringkali terjadi masalah pada manajemen ketersediaan obat,
adanya kekosongan obat akibat dari keterlambatan pengiriman obat dari dinas
kesehatan Kab/Kota, kurangnya perencanaan saat pengadaan obat. Ketersediaan
obat di Puskesmas yang tidak boleh mengalami kekosongan obat karena akan
berdampak mempengaruhi rasionalitas obat serta keberhasilan terapi obat.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Obat yang
dipakai di Puskesmas Rawa Bogo dari lima penyakit terbanyak menggunakan 39
macam item obat.
2.6 Pengobatan obat rasional
Penggunaan obat dikatakan rasional (WHO) bila pasien menerima obat
yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan
harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat. WHO memperkirakan
bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual
dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara
tidak tepat. Tujuan dari penggunaan obat rasional yakni untuk menjamin pasien
16
mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu
yang adekuat dengan harga yang terjangkau.
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia penggunaan obat
dikatakan rasional jika memenuhi kriteria :
a. Tepat diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan
juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat indikasi penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat pemilihan obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek
terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
17
e. Tepat cara pemberian obat
Contohnya pada obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian
pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk
ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
f. Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.
g. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
Contohnya pada penyakit tuberkulosis dan kusta, lama pemberian paling singkat
adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14
hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya
akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
h. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi.
i. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat
pada beberapa jenis obat contohnya teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan,
18
karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara
bermakna.
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia
setiap saat dengan harga yang terjangkau. Untuk efektif dan aman serta
terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat
dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas,
keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatandan klinis. Untuk
jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB
(Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua
produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB.
k. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi.
l. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya
tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping.
m. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan
pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat
penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang
dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien.
Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien
19
mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga
petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan
minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
a) Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
b) Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
c) Jenis sediaan obat terlalu beragam
d) Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
e) Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat
Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau
efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan
penjelasan terlebih dahulu.
35
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan deskriptif non
eksperimental dengan pengambilan data secara retrospektif. Data yang digunakan
adalah data rekam medis pasien serta resep yang diberikan. Analisis data yang
dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat kejadian Penggunaan Obat Rasional
(POR) kategori ketidaktepatan pemilihan obat, ketidak tepatan dosis, interaksi obat,
dan poli farmasi.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Instalasi Farmasi dan rekam medis
Puskesmas Rusunawa Kota Bandung. Pengumpulan data dilaksanakan selama 3
bulan.
3.3.Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medis pasien hipertensi di
Puskesmas Rusunawa mulai tanggal 1 Januari – 31 Maret 2019. Sampel penelitian
ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Perhitungan sampel minimal
dilakukan menggunakan rumus slovin sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010).
20
21
𝑛 =𝑁
1 + 𝑁𝑒²
Dimana:
n = jumlah elemen / anggota sampel
N = jumlah elemen / anggota populasi
E = error level (tingkat kesalahan) (catatan: umumnya digunakan 1 % atau
0,01, 5 % atau 0,05, dan 10 % atau 0,1. Dapat dipilih oleh peneliti).
3.4. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan lembar pengumpul
data dan template manajemen pengelolaan obat terpadu, sedangkan bahan
penelitian adalah data ketersediaan obat, rekam medis serta resep pasien dan
penggunaan obat di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung.
3.5. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria dimana objek penelitian dapat mewakili
sampel penelitian dan memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini adalah:
a. Pasien dengan data rekam medis serta resep dengan diagnosa Hipertensi
atau tanpa komplikasi penyakit lain.
b. Pasien dengan data rekam medis serta resep diagnosa Hipertensi dan dapat
dibaca.
22
c. Pasien dengan data rekam medis serta resep dengan demografi lengkap dan
dapat dibaca
d. Pasien dengan data rekam medis serta resep pasien dewasa di atas 18 tahun.
e. Data ketersediaan obat Hipertensi dari Manajemen Pengelolaan Obat.
f. Populasi pasien dengan rekam medis serta resep pasien Hipertensi dengan
data dosis kurang atau dosis lebih.
g. Pasien dengan data laboratorium (data hasil pengukuran tekanan darah)
3.6. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan. Adapun yang termasuk
kriteria eksklusi adalah:
a. Kriteria yang tidak termasuk inklusi
b. Pasien Hipertensi dengan penyakit lain
3.7. Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Variable bebas: Manajemen Pengelolaan Obat, pasien Hipertensi
b. Variabel terikat: Pengelolaan Obat Rasional (POR)
3.8. Definisi Oprasional
1. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam
keadaan cukup istirahat / tenang.
23
2. Pengelolaan Obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut
aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan
penghapusan obat yang dikelola secara optimal untuk menjamin tercapainya
ketepatan jumlah dan jenis perbekalan farmasi.
3. Penggunaan Obat Rasional (POR) adalah penggunaan obat yang
disesuaikan dengan kebutuhan klinis pasien, baik dalam jumlah maupun
waktu yang memadai, disertai dengan biaya paling rendah.
4. Tepat pemilihan obat yaitu obat yang diresepkan harus memiliki indikasi /
efek terapi sesuai diagnosis yang ditegakkan.
5. Dosis terlalu rendah adalah ketika pasien menerima obat dalam jumlah lebih
kecil dibandingkan dosis terapinya.
6. Dosis terlalu tinggi yaitu bila dosis diresapkan diatas dosis lazim atau lebih
besar dari dosis yang tercantum dalam buku standar. Penyebab yang sering
terjadi yaitu dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka waktu tidak tepat dan
adanya interaksi obat.
7. Interaksi obat yang dimaksud adalah interaksi yang terjadi antara obat satu
dengan obat lainnya pada resep yang mengakibatkan terjadinya perubahan
reaksi atau efek yang berdampak negatif bagi tubuh.
3.9.Analisis Data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif
untuk mengetahui :
24
1. Profil pasien dari data demografi pasien yang diperoleh, kemudian
dianalisis untuk mendapatkan persentase berdasarkan rentang usia, jenis
kelamin, dan diagnosis responden.
2. Identifikasi Penggunaan Obat Rasional (POR) dilakukan dengan bantuan
literatur yang sesuai. Untuk mengetahui kejadian ketidaktepatan obat,
peneliti membandingkan obat yang tertulis pada resep dengan standar
pengobatan Hipertensi yang digunakan di Puskesmas dan Data ketersediaan
obat di Puskesmas. Untuk mengetahui kejadian ketidaktepatan dosis,
peneliti membandingkan dosis pada resep dengan pedoman manajemen
terapi Hipertensi, Formularium Nasional (Fornas). Interprestasi data berupa
tabel dan persentase yang dibantu dengan program Microsoft Excel 2016.
3. Untuk mengetahui pengaruh manajemen pengelolaan obat terhadap
Penggunaan obat Rasinoanal (POR) pada pasien Hipertensi di Puskesmas
Rusunawa Kota Bandung dilakukan uji statistik dengan menggunakan
program Statiscal Product and Service Solution (SPSS).
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini telah dilakukan di puskesmas Rusunawa Kota Bandung Jawa
Barat pada bulan agustus sampai oktober 2019. Pada penelitian ini dilakukan
dengan mengambil data resep dan rekam medik pasien Hipertensi dan diperoleh
data sebanyak 72 pasien yang memenuhi dari kriteria inklusi yang sudah
ditentukan.
Pada data rekam medik yang telah didapan dari Puskesmas Rusunawa Kota
Bandung di bulan januari – maret pada tahun 2019 didapat data sebanyak 72 pasien
yang memenuhi kriteria inklusi dengan diagnosis hipertensi tanpa komplikasi yang
menggunakan obat anti hipertensi di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung.
4.1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Pasien hipertensi di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung di klasifikasikan
berdasarkan jenis kelamin untuk dapat mengetahui persentase dan frekuensi
perbandingan dari jenis kelamin apakah berpengaruh pada penyakit hipertensi yang
menjalani terapi obat antihipertensi. Klasifikasi dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1.Distribusi jenis kelamin pasien yang terdiagnosis penyakit hipertensi
di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung pada tahun 2019.
Jenis
Kelamin
Jumlah Pasien (orang) Persentase (%)
Perempuan
Laki-laki
49
23
68,05
31,94
Jumlah 72 100
25
26
Dari tabel diatas menunjukkan distribusi dari pasien hipertensi berdasarkan
jenis kelamin, dimana dapat dilihat bahwa persentase perempuan lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki dimana nilai perbandingan perempuan dengan
jumlah pasien 49 (68,05%) dan laki-laki dengan jumlah pasien 23 (31,94%).
Hipertensi berdasarkan jenis kelamin dapat dipengaruhi oleh faktor isiologis
(Zuraidah et al2012). Wanita lebih banyak mengalami faktor resiko hipertensi
daripada pria disebabkan karena faktor hormonal (Irza 2009). Hal ini dapat terjadi
karena pada perempuan yang mengalami menopause yang mengakibatkan
terjadinya penurunan perbandingan estrogen dan androgen yang menyebabkan
peningkatan pelepasan renin sehingga dapat memicu peningkatan tekanan darah
(Coylewright et al 2008). Faktor resiko terjadinya hipertensi pada perempuan selain
disebabkan karena usia, jenis kelamin dan genetik juga disebabkan karena
penggunaan kontrasepsi pil yang mengandung hormon estrogen dan progresteron
(Pangaribuan& Lolong2015). Estrogen yang terkandung dalam kontrasepsi
hormonal seperti aldosteron dan beberapa hormon lainnya dapat menyebabkan
retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal (Nafisah et al2014) namun pada laki-laki
apabila memiliki persentase tinggi dibandingkan dengan wanita yang mengalami
hipertensi karena dipengaruhi oleh gaya hidup. Pria cenderung mengikuti gaya
hidup yang tidak sehat yaitu merokok, mengkonsumsi alkohol, serta kurang olah
raga(Andriani 2012).
27
4.2. Distribusi berdasarkan usia
Pengelompokan distribusi pasien hipertensi juga dapat ditentukan dari usia
tidak hanya dari jenis kelamin saja. Pengelompokkan berdasarkan usia bertujuan
untuk mengetahui pada usia berapa penyakit hipertensi lebih sering terjadi dan
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh usia hubungannya dengan penyakit
hipertensi. Pengelompokkan berdasarkanusia dapat dilihat pada tabel 4.2.
Distribusi pasien hipertensi berdasarkan usia tiap kelompok.
Tabel 4.2. Distribusi pasien hipertensi berdasarkan usia tiap kelompok.
Usia (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
18-30
31-40
41-50
51-60
61-70
≥71
0
3
29
22
14
4
0
4
40,27
30,55
19,44
5,55
Jumlah 72 100
Berdasarkan dari tabel diatas menunjukkan bahwa distribusi pasien
hipertensi berdasarkan usia didapat persentase paling banyak pada usia 41-50 tahun
sebanyak 39 kasus (40,27%) dan pada usia 51-60 tahun sebanyak 22 kasus
(30,55%). Hasil tersebut sesuai dengan Departemen Kesehatan (2006) dalam buku
saku Pharmaceutical Careuntuk pasien hipertensi menyatakan bahwa kebanyakan
usia diagnosis hipertensi terjadi pada umur antara 30 sampai 50 tahun. Dengan
bertambahnya usia resiko terjadinya hipertensi menjadi lebih besar sehingga
prevalensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi sekitar 40%. Peningkatan tekanan
darah pada usia ≥46tahundapat terjadi karena pada usia tersebut seseorang
mengalami penurunan fungsi organ tubuh dan pada usia tersebut kondisitubuh yang
makin tua dapat memicu terjadinya serangan hipertensi, semakin tua usia maka
28
pembuluh darah akan berkurang elastisitasnya sehingga pembuluh darah cenderung
menyempit akhirnya tekanan darah akan meningkat (Ridwan 2002).
4.3. Karakteristik pengobatan
Karakteristik pengobatan diperlukan untuk mengetahui penggunaan obat
yang diberikan berdasarkan kondisi pasien. Jenis obat antihipertensi yang
digunakan pada pasien hipertensi CCB (calsium channel bloker) diuretik, ACEI
(angiotensin converting enzim inhibitor). Karakteristik pengobatan pada pasien
hipertensi dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3.Karakteristik pengobatan antihipertensi tunggal dan kombinasi
pada pasien hipertensi
Antihipertensi yang
digunakan
Jumlah Persentase(%)
Amlodipine
Captopril
Amlodipine+Captopril
72
0
3
96%
0%
4%
Jumlah 75 100%
Berdasarkan dari tabel diatas menunjukkan bahwa karakteristik pengobatan
hipertensi didapat persentase dari obat amlodipine sebanyak 72 (96%), pada
penggunaan obat captopril 0 (0%), dan pada penggunaan obat amlodipine+captopril
3 (4%).
Berdasrkan formularium nasional tahun 2019 pengobatan hipertensi di
Puskesmas Rusunawa Kota Bandung sudah sesuai. Dimana obat amlodipine
merupakan pilihan pertama di tingkat puskesmas, sehingga amlodipine lebih
dominan digunakan dibandingkan obat captopril. Dan pada pedoman JNC VIII
tahun 2019, obat amlodipine dan captopril termasuk dari pengobatan lini pertama.
29
Amlodipin mempunyai mekanisme yang sama dengan antagonis kalsium
golongan dihidropiridin lainnya yaitu dengan merelaksasi arteriol pembuluh darah.
Amlodipin juga bersifat vaskuloselektif, memilik bioavailibilitas oral yang relatif
rendah, memiliki waktu paruh yang panjang, dan absorpsi yang lambat sehingga
mencegah tekanan darah turun secara mendadak.
4.4 Evaluasi Kerasionalan Pengobatan
4.4.1 Tepat Obat
Kerasionalan penggunaan obat antihipertensi dilihat dari ketepatan pemilihan obat
pasien hipertensi. Ketepatan obat adalah kesesuaian dalam memilih obat dengan
mempertimbangkan beberapa aspek seperti kelas terapi, resiko dan keamanan obat
serta sesuai dengan indikasi penyakit hipertensi. Kerasionalan tepat obat dapat
dilihat dari tabel 4.4.1.
Tabel 4.4.1. Kerasionalan Tepat Obat
Golongan obat Antihipertensi Jumlah pasien Persentase %
CCB Amlodipin 69 100%
ACEI Captropil 0 0
2 kombinasi Amlodipine+captropil 3 100%
Jumlah 72 100%
Kerasionalan penggunaan obat antihipertensi dilihat dari ketepatan
pemilihan obat pasien hipertensi. Ketepatan obat adalah kesesuaian dalam memilih
obat dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti kelas terapi, resiko dan
keamanan obat serta sesuai dengan indikasi penyakit hipertensi.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung
diperoleh hasil rasionalitas tepat obat 100% dikarenakan pemilihan obat sesuai
dengan diagnosa pasien oleh dokter saat meresepkan obat dengan menyesuaikan
persediaan obat yang terpenuhi.
30
4.4.2 Tepat Dosis
Tepat dosis merupakan bagian penting lainnya dalam pengobatan yang
rasional. Tepat dosis merupakan ketepatan suatu pemberian obat dengan dosis
sesuai dengan range terapi obat antihipertensi. Ketepatan dosis dianalisis dengan
membandingkan dengan guideline JNC VIII 2019, peresepan dosis obat
antihipertensi apabila berada pada rentang dosis minimal dan dosis per hari yang
dianjurkan maka peresepan tersebut dikatakan tepat dosis. Ketepatan dosis dapat
dilihat dari tabel 4.4.2.
Tabel 4.4.2. Tepat Dosis
Terapi
Dosis
harian
awal
(mg)
Dosis
target
dalam
RCT5
Jumlah
dosis
perhari
Jumlah
kasus
Tepat
pasie
n
Persentase
Amlodipin 2,5 10 1 69 69 100%
Captropil 50 150-200 2 0 0 0
Kombinasi
Amlodipine
+captropil
10mg/20
0mg 1 3 3 100%
Jumlah 100%
Pada penelitian ini diperoleh hasil dengan tepat dosis 100% karena sesuai dengan
guideline pengobatan penyakit hipertensi dan dilihat dari JNC VIII. Dosis dalam
pengobatan harus tepat dan sesuai, agar tidak terjadi pemberian dosis yang
berlebihan sehingga obat yang diberikan bias mencapai efek terapi yang diinginkan.
4.4.3 Polifarmasi
Kejadian polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang
banyak dan tidak sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Jumlah yang spesifik dari
suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi indikasi utama akan adanya
31
polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis yang sesuai
atau tidak sesuai dengan pasien. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat
sekaligus oleh seorang pasien lebih dari yang dibutuhkan secara rasional
dihubungkan dengan diagnosis yang telah diperkirakan.
Pada hasil yang diperoleh rasionalitas polifarmasi adalah 100% dikarenakan tidak
terdapat polifarmasi pada resep.
4.4.4 Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat berubah akibat adanya obat lain,
makanan, atau minuman yang dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki
atau efek yang tidak dikehendaki, yang lazimnya menyebabkan peningkatan kadar
obat di dalam plasma darah sehingga dapat beresiko toksik pada obat yang
digunakan sehingga tujuan terapi tidak tercapai.
Tingkat keparahan Interaksi obat dikelompokkan berdasarkan Mayor,
moderate, dan minor. Inteaksi minor adalah interaksi yang masih dalam tolerir
karena jika ditemukan dalam lembar resep maka dalam terapi tidak perlukan adanya
perubahan, interaksi moderat adalah interaksi yang mungkin terjadi dalam terapi
dan memerlukan perhatian medis, sedangkan pengertian dari interaksi mayor
adalah interaksi antar obat yang dapat menimbulkan konsekuensi klinis hingga
kematian. Interaksi obat dapat dilihat pada tabel 4.4.4.
32
Tabel 4.4.4. Interaksi Obat
No Obat
Hipertensi
Obat yang
berinteraksi
Derajat Jumlah Persentase
1 Amlodipine Asam Mefenamat
Dexametason
Ibuprofen
Simvastatin
Moderat
Moderat
Moderat
Major
6
1
4
1
50%
8,33%
33,33%
8,33%
2 Captropil
Jumlah 12 100%
Berdasarkan tingkat keparahan, interaksi obat asam mefenamat termasuk
moderat, yaitu penurunan efek antihipertensi amlodipin. Mekanisme yang terjadi
adalah dengan asam mefenamat menghambat efek vasodilatasi dan sintesis
prostaglandin. Manajemen untuk mengatasi interaksi tersebut adalah dengan
melakukan pemantauan terhadap tekanan darah (Stockley, 2008 ; Lexicomp, 2018).
Interaksi yang terjadi antara amlodipin dan ibuprofen yaitu interaksi
farmakodinamik antagonis. Ada beberapa bukti bahwa OAINS dapat meningkatkan
tekanan darah pada pasien hipertensi yang diobati dengan obat antihipertensi.
OAINS menghambat sintesis prostaglandin ginjal sehingga menyebabkan retensi
garam dan air. Hal ini dapat meningkatkan tekanan darah dan mempengaruhi terapi
antihipertensi (Stockley, 2008).
Interaksi obat yang bersifat major terjadi pada penggunaan amlodipin
dengan simvastatin sebanyak2 kejadian,yaitu terjadi peningkatan kadar
simvastatin. Peningkatan kadar tersebut dapat meningkatkan toksisitas yakni
dengan adanya miositis dan rabdomiolisis. Mekanisme interaksi yang terjadi adalah
amlodipin dapat menghambat enzim sitokrom P450 isoenzim CYP3A4 (Stockley,
2008 ; IAI, 2013; Lexicomp, 2018 ; Fitriyani, 2017).
33
4.5. Pengaruh Manajemen Pengelolaan Obat terhadap Penggunaan Obat
Rasional
Tujuan dari manajemen pengelolaan obat yaitu agar tersedianya obat setiap
saat dibutuhkan baik mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara efisien,
dengan demikian manajemen obat dapat dipakai sebagai proses penggerakan dan
pemberdayaan semua sumber daya yang dimiliki untuk dimanfaatkan dalam rangka
mewujudkan ketersediaan obat demi tercapainya penggunaan obat secara rasional.
Pengobatan yang rasional bertujuan untuk menjamin pasien mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat
dengan harga yang terjangkau. Secara praktis, menurut panduan Penggunaan Obat
Rasional (POR) dari Kementrian kesehatan penggunaan obat dikatakan rasional
jika memenuhi kriteria: yaitu tepat dosis, tepat diagnosa, tepat obat, tepat kondisi
pasien, tepat interval waktu pemberian obat, tepat indikasi penyakit,tepat cara
pemberian obat, tepat informasi obat, tepat lama pemberian obat, waspada terhadap
efek samping. Pada penelitian ini yang diambil hanya empat kriteria untuk
rasionalitas obat yaitu tepat obat, tepat dosis, polifarmasi dan interaksi obat sebagai
acuan rasionalitas dalam penggunaan obat.
Pada saat penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif dengan
pengambilan data retrospektif menggunakan aplikasi SPSS (Statistical Product and
Service Solution) untuk mengetahui pengaruh stok obat terhadap penyakit
hipertensi di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung dengan empat kategori yaitu
tepat obat, tepat dosis, polifarmasi dan interkasi obat.
34
Berdasarkan data ketersediaan obat di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung
pada bulan Januari-Maret 2019 yang terdapat pada Lembar Penggunaan dan
Lembar Pelaporan Obat bahwa jumlah ketersediaan obat Hipertensi
Tabel 4.5. Data ketersediaan obat Hipertensi di Puskesmas Rusunawa Kota
Bandung
Nama
Obat
Jumlah
Pasien
Stok Obat Jumlah Resep
Januari Februari Maret
Amlodipin 72 1305 705 1505 3515
Captopril 3 945 945 945 2835
Pada tabel 4.5 di dapat hasil bahwa obat Amlodipin merupakan obat yang
paling banyak digunakan yaitu sebanyak 72 resep dan obat Captopril sebanyak 3
resep.
Pengaruh manajemen pengelolaan obat terhadap penggunaan obat rasional
pada penelitian ini dapat diketahui melalui Uji statistik dengan metode Uji Chi
Squere.
Hasil Uji Chi squere pada Obat Amlodipin dan Captopril
Chi-Square Tests
Value Df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Pearson Chi-Square ,686a 2 ,710
Likelihood Ratio ,677 2 ,713
Linear-by-Linear Association ,015 1 ,904
N of Valid Cases 72
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 3,50.
35
Berdasarkan dari Hasil yang diperoleh pada hasil Uji chi squre
menunjukkan nilai sig 0,710 > 0,05. Uji ini dihitung dengan cara melihat pengaruh
anatara kerasionalan pengobatan dengan ketersediaan obat Amlodipin dan
Captopril. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara manajemen pengelolaan obat terhadap penggunaan obat
rasional.
35
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil penelitian di Puskesmas Rusunawa Kota Bandung,
tidak terdapat pengaruh manajemen ketersediaan obat terhadap penggunaan obat
rasional dengan empat kriteria penggunaan obat rasional yaitu tepat obat, tepat
dosis, polifarmasi, dan interaksi obat pada penyakit hipertensi dibuktikan dengan
hasil uji statistik dengan metode chi-square.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh rasionalitas terhadap
manajemen pengelolaan obat, dikarenakan ketersediaan obat di Puskesmas
Rusunawa Kota Bandung terpenuhi maka tingkkat rasionalitas obat serta efek terapi
pada pasien terpenuhi.
36
35
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI, (2013). “Direktorat Jenderal PPM&PLP, Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan” Jakarta.
Widiyani, R., (2013). “Penderita Hipertensi Terus Meningkat”.
http://health.kompas.com/read/2013/04/05/1404008/Penderita.Hipertensi.Terus
.Meningkat . Tanggal akses 21 Nopember 2014.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Utaminingrum, W. (2011). “Evaluasi Manajemen Pengelolaan Obat di
Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Purbalingga Berdasarkan Tiga Besar
Alokasi Dana Pengadaan Obat” Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah
Puwokerto.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Kemenkes RI, 2011, Modul Penggunaan Obat Rasional, Bina Pelayanan
Kefarmasian, Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 75 Tahun 2014. Tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Jakarta.
Zuraidah, Maksuk, Nadi. 2012. Analisa faktor resiko hipertensi pada
masyarakat di kecamatan kemuning kota Palembang tahun 2012 [karya
ilmiah]. Palembang : Politeknik Kesehatan Palembang.
Irza, S. 2009. Analisa faktor resiko hipertensi pada masyarakat Nagari Bungo
Tanjung Sumatera Barat [skripsi]. Medan : Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara.
Coylewright, M., Reckelhoff, J.F.dan Ouyang, P., 2008, Menopause
Hypertension: An Age-Old Debate, Hypertension, 51, 952-959.
Pangaribuan L., Lolong, D.B., 2015. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Pil
Dengan Kejadian Hipertensi Pada Wanita uUia 15-49 Tahun Di Indonesia
Tahun 2013 (Analisa Data Hasil Riskesdes 2013), Media Litbangkes, Vol 25 (2),
5.
Nafisah, D., Wahjudi, P., Ramani, A., 2014. Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Hipertensi Pada Akseptor Pil KB Di Kelurahan Sumbersari
Kabupaten Jember Tahun 2014, e- journal pustaka kesehatan, vol 2 (3) 457.
Andriani PD. 2012. Evaluasi Dosis Penggunaan Obat Antihipertensi Pada
Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rs “X” Tahun 2010 Dan 2011
37
38
[skripsi]. Surakarta: Program Studi Farmasi Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pharmaceutical
Care Untuk Penyakit Hipertensi. Direktur Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
Jakarta
Ridwan. 2002. Mengenal, Mencegah, Mengatasi Hipertensi. Jakarta: Penebar
Swadaya
39
LAMPIRAN I
ALUR PENELITIAN
penelitian
Penyusunan Proposal
Penelitian
Permohonan Perijinan
Penelitian
Pengumpulan Data
Pengelohan Data Dan
Analisis Data
Pengajuan Proposal
Penelitian
Pembahasan hasil
penelitian
penelitian
Simpulan
40
LAMPIRAN II
RESEP
41
LAMPIRAN III