Post on 05-Jul-2018
8/16/2019 Pendidikan Mahal dan Generasi yang Diam.pdf
1/2
Pendidikan Mahal dan Sebuah Generasi yang Diam
Rizky Alif Alvian dan Umar Abdul Aziz
Kita semua punya harapan besar untuk Indonesia—untuk kehidupannya hariini, juga untuk masa depannya. Kita semua mengharapkan bahwa suatu hari nanti,
Indonesia yang baik akan sungguh-sungguh bersemi dan membuktikan bahwadirinya sama sekali bukan bualan politisi yang sedang berusaha mendulang satu
dua suara.
Kita bisa membuat daftar panjang tentang apa saja yang harus dipenuhi di
Indonesia agar negeri ini bisa kita sebut sebagai Indonesia yang baik. Kita mungkin
membayangkan sebuah Indonesia yang seluruh rakyatnya bebas dari kemiskinan
dan rasa lapar. Kita mungkin membayangkan sebuah Indonesia yang seluruh
rakyatnya bisa menikmati udara segar dan air bersih dengan bebas. Kita mungkin
membayangkan sebuah Indonesia dimana seluruh rakyatnya bisa berteduh di
bawah rumah yang nyaman tanpa khawatir digusur sewaktu-waktu.
Namun, terlepas dari apapun angan kita, di dalamnya pasti ada mimpi ini:bahwa suatu hari kelak, kita akan hidup di Indonesia yang seluruh rakyatnya
memperoleh pendidikan terbaik . Tak ada yang kesulitan masuk universitas, kesulitan
memperoleh buku, kesulitan mengutarakan pikirannya dengan bebas, atau kesulitan
membayar uang kuliah. Kita membayangkan Indonesia yang adil dalam pendidikan.
Tak boleh ada satu orang pun yang ditinggal di belakang.
Sayangnya, mimpi itu sedang memperoleh ancaman besar hari ini. Pasalnya,
pelan-pelan, pemerintah membuat akses atas pendidikan tinggi jadi makin sempit.
Untuk tahun 2016, pemerintah menaruh target Angka Partisipasi Kasar (APK)
Perguruan Tinggi di angka 28,15%. Artinya, dari 100 anak muda usia kuliah,
kebijakan pemerintah hanya berusaha mendorong 28 dari mereka untuk
mengenyam pendidikan tinggi. Tujuh puluh dua sisanya tak masuk hitungan.
Mereka ditinggal di belakang.
Target ini tentu jadi mimpi buruk—atau, bahkan, akan jadi tanda awal bagi
mimpi-mimpi buruk lain yang menyusul di belakang. Dalam lima tahun terakhir,
Indonesia telah memperbaiki tingkat APK-nya perlahan-lahan. Tahun 2010, hanya
22 dari 100 anak muda yang belajar di universitas. Tahun 2012, angka ini naik tajam
jadi 30. APK kita bertahan di kisaran 29 sampai 30 pada tahun 2013 dan 2014.
Sayangnya, pemerintah kita kali ini, alih-alih membuat angka itu melambung
tinggi, justru membuatnya turun kembali. Semangat memperluas jangkauan
pendidikan tinggi nampaknya bukan bagian dari angan-angan pemerintah kita kali
ini. Padahal, meningkatkan APK selekas mungkin adalah pekerjaan rumah yang amat
penting. Apalagi Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan bonus demografi.
Di Thailand, 42 dari 100 anak muda mengenyam pendidikan tinggi. Sementara itu,
di Malaysia, 40 dari 100 anak muda menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, di Korea
Selatan, 98 dari 100 anak muda tahu rasanya kuliah. Jomplangnya tingkat
pendidikan ini menjelaskan pada kita: sementara negara lain sudah membuat
produk berteknologi tinggi, kita masih saja membuka perkebunan dengan caramembakar dan tidak tahu cara memadamkan api yang kita buat sendiri.
Turunnya tingkat APK kita adalah kebijakan yang sengaja dilakukan oleh
pemerintah. Dalam RAPBN 2016, pemerintah sempat berusaha menurunkan Biaya
Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN) dari Rp4,5 triliun pada 2015 menjadi
Rp3,7 triliun—turun Rp800 miliar. Setelah sempat diprotes, pemerintah akhirnya
membatalkan rencana itu dan menganggarkan BOPTN tetap pada angka Rp4,5
triliun. Tidak naik sedikitpun dari anggaran tahun 2015. Padahal, ada beberapa PTN
baru yang muncul tahun ini. Artinya, walaupun pemerintah membuat angka BOPTN
tetap, rerata BOPTN yang diterima tiap universitas sebetulnya jadi lebih kecil.
Kecilnya angka BOPTN punya konsekuensi penting. BOPTN adalah asupan
dana untuk operasional universitas negeri se-Indonesia dari pemerintah. Akan
tetapi, tak semua biaya operasional universitas negeri bisa ditutup oleh BOPTN.
Untuk menutup kekurangan, universitas akan mencari dana dari perusahaan atau—
ini yang paling penting—menarik uang dari mahasiswa. Maka, semakin sedikit
BOPTN yang diperoleh universitas, makin besar kecenderungan universitas itu untuk
menarik biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa. Semakin sedikit peran negara
dalam pendidikan tinggi, maka akan semakin berat pula beban yang dipikul
mahasiswa.
8/16/2019 Pendidikan Mahal dan Generasi yang Diam.pdf
2/2