Post on 25-Jul-2015
PENDAHULUAN
Kakao merupakan salah satu komoditas pertanian yang peranannya sangat penting bagi
perekonomian, khususnya dalam menyediakan kesempatan kerja, sumber pendapatan petani dan
devisa Negara. Namun sejak beberapa tahun terakhir, produktivitas perkebunan kakao di
beberapa daerah mulai menurun dan peranannya mulai memudar karena adanya serangan hama
Penggerek Buah Kakao (PBK), Conopomorpha cramerella Snell (Lepidoptera; Gracillariidae).
Belum tuntas masalah PBK, muncul lagi penyakit pembuluh kayu atau Vascular Streak Dieback
(VSD) yang disebabkan oleh jamur Oncobasidium theobromae Talbot & Keane, disamping
adanya penyakit endemik kanker batang dan busuk buah kakao yang disebabkan oleh
Phytopthora palmivora. Hal tersebut merupakan ancaman yang sangat serius bagi keberlanjutan
perkebunan kakao.
Penyakit busuk buah merupakan penyakit utama pada tanaman kakao di seluruh dunia, dan
di Indonesia merupakan penyakit paling penting karena penyakit ini terdapat hampir di seluruh
areal pertanaman kakao. P. palmivora merupakan pathogen (penyebab penyakit) pada banyak
jenis tumbuhan di daerah beriklim tropis dan sedang. Pada tanaman kakao, patogen ini
menyerang daun, batang, pucuk, bantalan bunga, dan buah pada berbagai tingkatan umur (Chee
1974 dalam Sukamto & Pujiastuti 2004). Meskipun demikian buah-buah yang belum matang
adalah paling peka terhadap serangan pathogen (Deberdt et al. 2008). Kerusakan paling besar
dari infeksi selama 2 bulan sebelum buah matang. Buah-buah yang terinfeksi pada fase ini dapat
menyebabkan kerugian total karena pathogen dapat dengan mudah masuk dari kulit buah ke
lapisan bakal biji pada buah hijau yang sedang berkembang (http://
www.oardc.ohw-state-edu/cocoa/black pod.htm).
Berbagai komponen teknologi untuk pengendalian penyakit busuk buah kakao telah
tersedia, seperti pengaturan kerapatan tanaman kakao (Jackson & Wright 2001); sanitasi kebun
dan tanaman seperti pengendalian gulma, pemangkasan (Opoku et al. 2007), panen sering
(Jackson & Wright 2001); pemanfaatan mikroorganisme antagonis (Deberdt et al. 2008); dan
penggunaan fungisida (Sukamto & Pujiastuti 2004; Opoku et al. 2007; Deberdt et al. 2008).
Usaha penanggulangan penyakit tidak hanya memperhatikan patogennya saja, tetapi juga
lingkungan dan tanaman inangnya. Kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
penyakit tersebut. Salah satu faktor yang paling berpengaruh adalah keadaan lingkungan,
misalnya curah hujan,kelembaban, dan suhu. Keadaan lingkungan tersebut dapat dimanipulasi
melalui praktek-praktek budidaya (kultur teknik) untuk menghambat laju perkembangan
penyakit. Untuk menekan keadaan awal penyakit dapat dilakukan dengan cara penggunaan klon
yang tahan penyakit, sanitasi, eradikasi, dan penggunaan fungsida.
Penanggulangan suatu penyakit juga dapat dilakukan dengan memadukan beberapa
komponen teknologi yang sesuai. Hali ini untuk mengurangi kegagalan dan tetap menjaga
kelestarian lingkungan. Berdasarkan diagnosis yang tetap, pengetahuan epidemiologi dan
kerusakan yang ditimbulkan oleh penyakit dapat disusun menjadi suatu strategi penanggulangan
yang efektif dan efisien.
PENYEBAB PENYAKIT
Penyakit busuk buah kakao merupakan penyakit paling penting pada pertanaman kakao
di seluruh dunia (Semangun 2000; Jackson & Wright 2001; Bowers et al. 2001; Opoku et al.
2007; dan Deberdt et al. 2008). Penyakit ini disebabkan olen cendawan pathogen Phytophthora
spp.. Studi taksonomi menunjukkan bahwa Phytophthora yang menyerang tanaman kakao terdiri
dari beberapa spesies antara lain: P. palmivora , P. megakarya, P. capsici, P. citrophthora, dan
P. tropicilis (Browers et al. 2001). Phytophthora palmivora (Bultl.) merupakan salah satu
pathogen paling penting di daerah tropis, menyerang berbagai jenis tanaman seperti kakao,
kelapa, karet, papaya, pinang, lada, nenas, kelapa sawit, sukun dan lain-lain (Bowers et al. 2001;
dan Jackson & Wright 2001). Di Indonesia, penyakit busuk buah kakao disebabkan oleh P.
palmivora.
KERUSAKAN
Di Indonesia, penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh P. palmivora
menyebabkan kerugian yang cukup berarti terutama di daerah yang beriklim basah. Di Jawa
Tengah kerugian dapat mencapai 49,8 %; Jawa Timur 46,43 %; Jawa Barat 42,30 %
(Pawirosoemardjo & Purwantoro 1992), dan menurut Sukamto (2003) kerugian dapat mencapai
52,99 % di Jawa Timur. Di Sulawesi, P. palmivora dapat menyebabkan kerugian sebesar 15 %
(CABI- Biocontrol News and Information 24(3) September News-IPM). Meskipun pathogen ini
menyerang seluruh bagian tanaman, tetapi kerusakan paling besar adalah karena busuk buah,
kanker batang, dan layu pada bibit. Kehilangan hasil karena busuk buah, kanker batang, dan layu
pada bibit dapat mencapai 39 % (Anderson & Guest 1990).
GEJALA PENYAKIT
Gejala penyakit yang paling menyolok adalah busuk pada buah atau buah hitam. Bercak
pada buah mulai kecil seperti spot-spot yang kotor dan tebal pada bagian buah di mana saja pada
setiap fase perkembangan buah. Bercak berkembang dengan cepat menutupi jaringan internal
dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. (Guest 2007). Buah yang terinfeksi akan menjadi
busuk total dalam waktu 2 minggu (Jackson & Wright 2001). Pathogen menyerang jaringan
internal buah dan menyebabkan biji kakao berkerut dan berubah warna, buah-buah yang sakit
akhirnya menjadi hitam dan mumi (Bowers et al. 2001; Guest 2007). Menurut Sukamto dan
Pujiastuti (2004) pathogen dapat masuk ke dalam buah dan menyebabkan biji menjadi busuk dan
menurunkan kualitasnya (Gambar 1).
BIOEKOLOGI PATOGEN
Phytophthora termasuk family Pythiaceae, ordo Peronosporales, kelas Oomycetes. P.
palmivora merupakan cendawan heterotalik, tidak menghasilkan stadium seksual dalam medium
buatan. Miselium tidak bersepta dan mengandung banyak inti diploid. Hifa tidak berwarna,
mempunyai cabang yang banyak, agak keras, sinosis, kadang-kadang bersepta, berdiameter
antara 5 – 8 μ. Pada jaringan tanaman, pertumbuhan hifa biasanya interseluler dan membentuk
haustorium di dalam sel inang (Alexopoulus dan Mims, 1979). P. palmivora dilaporkan dapat
membentuk sporangium pada buah kakao dengan kisaran kelembaban nisbi udara 70-90 %,
namun tidak pernah 100 %. Meskipun kondisi lingkungan tidak menguntungkan, misalnya
kelembaban udara rendah, radiasi sinar matahari dan temperature ekstrim, sporangium masih
dapat terbentuk, memencar dan menginfeksi (Duniway 1983).
Faktor yang berperan untuk terjadinya infeksi adalah kebasahan permukaan buah kakao
dan kelembaban nisbi udara (RH) yang tinggi sekitar 95 %. Hal ini didukung dari penelitian
sebelumnya bahwa pelepasan, perkecambahan, dan infeksi zoospore terjadi apabila tersedia air
bebas. Air bebas dapat terjadi karena ada hujan atau kondensasi uap air jenuh akibat penurunan
suhu yang berlangsung secara mendadak (Purwantara 1990).
PENYEBARAN PENYAKIT
Inokulum yang memulai infeksi pada buah berasal dari tanah atau akar, batang dan daun
yang terinfeksi (Evans & Prior 1987 dalam Bowers et al. 2001). Infeksi akar berasal dari residu
inokulum tanah biasanya tidak menyebabkan kerugian ekonomi, meskipun demikian akar-akar
yang terinfeksi dapat berperan sebagai sumber inokulum untuk infeksi buah, hal yang sama
terjadi pada kanker batang dan kulit batang juga berperan sebagai sumber inokulum untuk
infeksi buah. Sekali buah terinfeksi dan terjadi sporulasi, dapat menghasilkan sejumlah besar
sumber inokulum untuk infeksi buah-buah yang lain (Bowers et al. 2001). Pada kondisi yang
lembab, satu buah dapat menghasilkan 4 juta sporangia (mengandung zoospore motil) (Gregory
& Maddison 1981 dalam Guest 2007). Sporangia dapat tersebar oleh percikan air hujan, angin,
semut, serangga-serangga yang terbang, tikus, kelelawar, alat-alat pertanian dan tanah yang
terkontaminasi, dan lain-lain (Jackson & Wright 2001; Guest 2007) (Gambar 2)
P. palmivora dapat menginfeksi buah pada berbagai fase perkembangan buah. Meskipun
demikian buah-buah yang belum matang adalah paling peka terhaap infeksi pathogen (Deberdt et
al. 2008), dan kerusakan paling besar jika infeksi terjadi pada buah (2 bulan sebelum matang).
Buah-buah yang terinfeksi pada fase ini dapat menyebabkan kerugian total karena pathogen
dapat dengan mudah masuk dari kulit buah ke lapisan bakal biji pada buah yang hijau yang
sedang berkembang (http:// www.oardc.ohw-state-edu/cocoa/black pod.htm). Butler (1980)
dalam Fulton (1989) melaporkan bahwa buah yang sudah berkembang penuh (hijau dan
kelihatan seperti bola kecil) menunjukkan karakteristik termodinamika yang menarik.
Temperatur buah meningkat pada siang hari dan dingin pada malam hari. Temperature yang
meningkat pada waktu tersebut menjadi penyebab langsung kondensasi air di atas permukaan
buah yang menjadi mikroinkubator yang ideal bagi spora Phytophthora karena spora pathogen
tersebut bersifat hidropilik.
Sumber-sumber infeksi untuk awal terjadinya epidemik adalah: sporangia yang tercuci
atau terpercik air hujan atau tertiup angin dari buah yang terinfeksi akan menjadi sumber utama
untuk infeksi berikutnya pada buah yang sehat; pathogen yang bertahan hidup di dalam tanah
atau lapisan daun, dan dari sana berpindah dan menginfeksi buah yang paling bawah atau tanah
yang mengandung pathogen dapat dipindahkan oleh semut ke permukaan buah; sporangia tercuci
air hujan dari tunas-tunas dan daun yang terinfeksi dapat berpindah masuk pada buah di dalam
kanopi tanaman; pathogen juga dapat berasal dari kankerbatang masuk ke dalam bantalan bunga
sampai ke buah; spora juga dapat terbawa ke pertanaman baru melalui alat pangkas; atau terbawa
oleh tikus dengan cara tikus mengunyah buah yang terinfeksi dan kemudian mengunyah buah
yang sehat (Jackson & Wright 2001).
PENGENDALIAN
Penyakit busuk buah sangat sulit dikendalikan karena pathogen umumnya dapat bertahan
hidup sebagai miselium dan klamidospora (spora resisten yang berdinding tebal) pada material
tanaman yang terinfeksi seperti akar, kanker batang, buah-buah mumi, atau di dalam tanah
(Gregory & Maddison 1981 dalam Guest 2007). Pathogen dapat bertahan hidup di dalam tanah
dan sisa-sisa tanaman selama beberapa tahun (Bowers et al. 2001), atau di dalam tanah selama
paling sedikit 10 bulan (Guest 2007); pada buah-buah mumi yang tua yang menggantung di
pohon selama 18 bulan (Jackson & Wright 2001), atau paling sedikit 3 tahun (Dennis & Konam
1994 dalam Guest 2007).
a. Tanaman resisten (tahan)
Bahan tanaman tahan/toleran merupakan komponen pengendalian jasad pengganggu
tanaman yang telah terbukti efektif mengendalikan beberapa kasus serangan hama dan penyakit
tanaman (Panda & Kush 1995). Penggunaan bahan tanaman yang tahan/toleran untuk mengatasi
penyakit busuk buah merupakan salah satu alternatif pengendalian penyakit tanaman yang paling
murah dan ramah lingkungan. Penanaman varietas atau klon kakao yang tahan di daerah basah
dapat mengurangi masalah serangan penyakit. Untuk penanaman kakao baru dianjurkan
menggunakan klon-klon tahan seperti: klon DRC 16, Sca 6, Sca 12, ISC 6, ICCRI 03, ICCRI 04
dan hibridanya (PUSLITKOKA).
b. Pemangkasan dan Pengaturan Penaung
Naungan dan kerapatan tanaman kakao dapat mempengaruhi insiden penyakit busuk
buah karena pengaruh kelembaban di dalam kebun. Kerapatan tanaman kakao yang
direkomendasikan di Papua New Guinea adalah maksimum 625 pohon per hektar (Jackson &
Wright 2001), populasi tanman kakao yang direkomendasikan di Indonesia adalah 1000 pohon
per hektar (PUSLITKOKA). Opoku et al. (2007) menyarankan naungan dikurangi hingga rata-
rata 10 tanaman yang tinggi per hektar.
Pemangkasan untuk membentukdan membuka kanopi dengan memotong cabang yang
dekat dengan jorget dan membuang chupon untuk memperbaiki sirkulasi udara di antara tanaman
akan mengurangi insiden penyakit. Pemangkasan sebaiknya dilakukan pada puncak musim
hujan, tetapi tidak pada waktu pembungaan atau perkembangan buah (Jackson & Wright 2001).
c. Sanitasi
Buah yang terinfeksi jika tidak dibuka atau dimusnahkan akan menjadi sumberinfeksi
untuk buah-buah yang lain. Disarankan sanitasi buah yang sakit paling sedikit 4 minggu sekali,
idealnya setiap minggu. Selanjunya panen buah sehat setiap 2 minggu akan membantu mencegah
perkembangan spora di kebun (Jackson & Wright 2001). Menurut Dakwa et al. (1988) dalam
Opoku et al. (2007) menunjukkan bahwa membuka buah-buah yang sakit pada interval 10 hari
adalah efektif, meskipun kemungkinan tidak menguntungkan. Buah-buah sakit yang telah
dipanen/dibuka kemudian dibenam/dikubur di dalam tanah (lubang sanitasi) (Gambar 3).
d. Pemanfaatan Agens Hayati
Penggunaan mikroorganisme antagonis dianggap sebagai suatu strategi pengendalian yang dapat
memberikan hasil yang lebih baik dan aman terhadap lingkungan, tetapi masih memerlukan
penelitian, terutama untuk aplikasi luas di lapangan sering tidak memuaskan. Hasil penelitian
Deberdt et al. (2008) menunjukkan bahwa pengendalian biologi penyakit busuk buah dengan
Trichoderma asperellum (Strain PR 11) tidak seefektif dengan aplikasi fungisida Ridomil plus
gold 66 WP pada tekanan penyakit yang tinggi. Hal yang sama yang dilaporkan oleh Sri-
Sukamto (2003) pengendalian agens hayati jamur Trichoderma spp.pada buah kakao di kebun
meskipun hasilnya tidak sebaik fungisida tembaga tetapi untuk menghindari pencemaran
lingkungan dan pengembangan produk organic sangat perlu diterapkan
Cara aplikasi agens hayati Trichoderma spp adalah jamur disemprotkan ke buah kakao sehat
sebagai tindakan preventif dengan dosis 200 g/l. Pengendalian biologi yang dikombinasi dengan
kultur teknis memberikan hasil pengendalian yang lebih baik dibandingkan dengan jika aplikasi
tunggal agens biologi atau kultur teknis sendiri (Kraus & Soberanis 2001 dalam Deberdt et al.
2008). Selanjutnya disarankan untuk kombinasi metode pengendalian biologi, kimia, genetic,
praktek budidaya dalam program terpadu untuk pengelolaan penyakit busuk buah berkelanjutan
(Deberdt et al. 2001). Fulton (1989) menyarankan untuk pengelolaan penyakit busuk buah kakao
adalah melengkapi program aplikasi fungisida dengan paket program praktek budidaya (kultur
teknis) seperti pemangkasan, pengendalian gulma, drainase, membuka buah yang terinfeksi
sesering mungkin, dan sanitasi pohon secara kontinyu.
e. Penggunaan Fungisida
Sasaran aplikasi fungisida pada awal musim hujan adalah areal perakaran tanaman dan
bantalan bunga atau disarankan aplikasi eradikan isothiazolone (tidak pitotoksik) pada areal
bantalan bunga pada akhir musim kemarau setelah pembersihan gulma dan buah mumi; dan pada
musim selanjutnya target aplikasi paling penting adalah pada buah yang sudah berkembang
penuh (hijau seperti bola kecil) (Butler 1980 dalam Fulton 1989). Penyemprotan buah-buah sehat
secara preventif dengan fungisida berbahan aktif tembaga (Copper Sandoz, Cupravit, Vitigram
Blue, Cobox, dan lain-lain) dengan konsentrasi formulasi 0,3 %, selang waktu 2 minggu.
f. Pengendalian Terpadu
Penanganan serangan penyakit dapat dilakukan dengan memadukan beberapa teknik
pengendalian yang sesuai. Tujuannya untuk mengurangi kegagalan dan kelestarian lingkungan.
Pengendalian biologi yang dikombinasi dengan kultur teknis memberikan hasil pengendalian
yang lebih baik dibandingkan dengan jika aplikasi tunggal agens biologi atau kultur teknis
sendiri (Kraus & Soberanis 2001 dalam Deberdt et al. 2008). Selanjutnya disarankan untuk
kombinasi metode pengendalian biologi, kimia, genetic, praktek budidaya dalam program
terpadu untuk pengelolaan penyakit busuk buah berkelanjutan (Deberdt et al. 2001). Fulton
(1989) menyarankan untuk pengelolaan penyakit busuk buah kakao adalah melengkapi program
aplikasi fungisida dengan paket program praktek budidaya (kultur teknis) seperti pemangkasan,
pengendalian gulma, drainase, membuka buah yang terinfeksi sesering mungkin, dan sanitasi
pohon secara kontinyu.
Panen sering telah banyak dipraktekkan dan ternyata efektif mengurangi serangan PBK
dan penyakit busuk buah. Penggunaan paket teknologi pemangkasan + panen sering +
penggunaan insektisida pada tanaman kakao membrikan hasil yang positif terhadap peningkatan
pembentukan buah dan penekanan serangan PBK dan penyakit busuk buah, terlihat dengan
meningkatnya proporsi tanaman yang bebas serangan hama PBK sebesar 40 % dan penurunan
serangan penyakit busuk buah sebesar 59 % (Beding et al. 2002).
PENUTUP
Phytophthora palmivora merupakan pathogen pada banyak jenis tumbuhan di daerah
beriklim tropis dan sedang. Pada tanaman kakao, patogen ini menyerang daun, batang, pucuk,
bantalan bunga, dan buah pada berbagai tingkatan umur. Meskipun demikian buah-buah yang
belum matang adalah paling peka terhadap serangan pathogen. Penyakit busuk buah sangat sulit
dikendalikan karena pathogen umumnya dapat bertahan hidup sebagai miselium dan
klamidospora (spora resisten yang berdinding tebal) pada material tanaman yang terinfeksi
seperti akar, kanker batang, buah-buah mumi, atau di dalam tanah dalam jangka waktu yang
lama. Berbagai komponen teknologi untuk pengelolaan penyakit busuk buah kakao telah
tersedia, seperti pengaturan kerapatan tanaman kakao; sanitasi kebun dan tanaman; pemangkasan
dan pengaturan pohon penaung; panen sering; pemanfaatan mikroorganisme antagonis; dan
penggunaan fungisida. Komponen-komponen teknologi tersebut dapat dikombinasikan satu sama
lain yang kompatibel agar diperoleh hasil yang lebih efektif.