Post on 03-Jan-2016
description
Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad SAW
dan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Masa Nabi Muhammad SAW
Walaupun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka
mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan
meriwayatkan syair-syair dari para pujangga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan lain
sebagainya adalah dengan hafalan semata.Karena hal inilah Nabi mengambil suatu
cara praktis yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan dan memelihara Al-
Qur'an.
Setiap ayat yang diturunkan, Nabi menyuruh menghafalnya, dan
menuliskannya di batu, kulit binatang, pelapah kurma, dan apa saja yang bisa
dituliskan. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan,
yaitu Al-Qur'an saja yang boleh dituliskan, selain dari Al-Qur'an, Hadits atau
pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi dilarang untuk
dituliskan. Larangan ini dengan maksud agar Al-Qur'an itu terpelihara, jangan
dicampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
Nabi menganjurkan agar Al-Qur'an dihafal, selalu dibaca, dan diwajibkannya untuk
dibaca ketika sedang melakukan Shalat. Dengan cara demikian, banyaklah orang
yang hafal Al-Qur'an. Surat yang satu macam, dihafal oleh ribuan manusia, dan
banyak yang hafal seluruh Al-Qur'an. Selain itu, tidak ada satu ayatpun yang tidak
dituliskan.
Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan Nabi sangat gembira, beliau
berkata:
"Di Akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah
syuhada"
Pada perang Badar, orang-orang musyirin yang ditawan oleh Nabi dan tidak
dapat menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis dan membaca, masing-
masing diharuskan mengajar sepuluh orang muslim untuk menulis dan membaca
sebagai ganti tebusan.
Karena itulah, bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca,
dan bertambah banyaklah mereka yang pandai menulis dan membaca, dan mulai
banyaklah yang menuliskan ayat-ayat yang diturunkan. Nabi sendiri mempunyai
beberapa juru tulis yang bertugas menuliskan Al-Quran untuk beliau. Diantaranya Ali
bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.
Dengan demikian terdapat 3 unsur yang dapat memelihara Al-Qur'an yang telah
diturunkan, yaitu:
1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur'an.
2. Naskah-naskah yang ditulis oleh Nabi
3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca
untuk mereka masing-masing.
Selain itu, sekali dalam setahun, Jibril mengadakan ulangan (repetisi). Pada waktu
itu Nabi diperintah untuk mengulang memperdengarkan Al-Qur'an yang telah
diturunkan. Di tahun beliau wafat, ulangan tersebut oleh Jibril sebanyak dua kali.
Nabi sendiripun sering mengadakan ulangan terhadap sahabat-sahabatnya di depan
muka beliau untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi wafat, Al-Qur'an tersebut telah sempurna diturunkan dan telah dihafal
oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Semua ayatnya telah
disusun dengan tertib menurut urutan yang ditujikan sendiri oleh Nabi.
Mereka telah mendengan Al-Qur'an itu dari mulut Nabi sendiri berkali-kali
dalam Shalat, khutbah, dan pelajaran-pelajaran lainnya. Pendek kata Al-Qur'an
tersebut telah terjaga dengan baik, dan Nabi telah menjalani satu cara yang sangat
praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al-Quran itu sesuai dengan keadaan
bangsa Arab di waktu itu.
Suatu hal yang menarik perhatian, ialah Nabi baru wafat dikala Al-Qur'an itu
telah cukup diturunkan, dan Al-Qur'an itu sempurna diturunkan di waktu Nabi telah
mendekati masanya untuk kembali ke hadirat Allah S.W.T. Hal ini bukan suatu
kebetulan saja, tapi telah diatur oleh yang maha esa.
Masa Abu Bakar r.a
Setelah Rasulullah wafat, sahabat baik Anshar maupun Muhajirin sepakat
mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Pada awal masa pemerintahannya banyak
orang-orang Islam yang belum kuat imannya. Terutama di Nejed dan Yaman, banyak
yang menjadi murtad, menolak membayar zakat, dan ada pula yang mengaku dirinya
sebagai nabi. Hal ini dihadapi oleh Abu Bakar dengan tegas, sehingga ia berkata pada
orang-orang tersebut "Demi Allah! Kalau mereka menolak untuk memnyerahkan
seekor anak kambing sebagai zakat (seperti apa) yang pernah mereka serahkan
kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka". Maka terjadilah
peperangan yang hebat untuk menumpas orang-orang murtad dan pengikut nabi palsu
tersebut. Diantara peperangan itu yang terkenal adalah peperangan Yamamah.
Tentara Islam yang ikut banyak dari para sahabat yang menghafal Al-Qur'an.
Dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Al-Qur'an. Bahkan
sebelumnya telah pula gugur hampir sebanyak itu penghafal Al-Qur'an lainnya.
Oleh karena itu Umar bin Khathab khawatir akan gugurnya para sahabat penghafal
Al-Qur'an yang masih hidup, maka ia datang kepada Abu Bakar memusyawaratkan
hal tersebut. Umar berkata kepada Abu Bakar: "Dalam peperangan Yamamah
para sahabat yang hafal Al-Qur'an telah banyak yang gugur. Saya khawatir
akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya. Sehingga
banyak ayat-ayat Al-Qur'an itu perlu dikumpulkan". Lalu Abu Bakar menjawab:
"Mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh
Rasulullah?". Umar menegaskan: "Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang
baik". Dan ia berulang kali memberikan alasan-alasan kebaikannya tersebut,
sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima pendapat Umar
tersebut.
Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya: "Umar
mengajakku mengumpulkan Al-Qur'an". Lalu diceritakannya segala pembicaraan
yang terjadi antara dia dan Umar. Kemudian Abu Bakar berkata: "Engkau adalah
seorang pemuda yang cerdas yang kupercayai sepenuhnya. Dan engkau adalah
seorang penulis wahyu yang selalu disuruh oleh Rasulullah. Oleh karena itu
maka kumpulkanlah ayat-ayat Al-Qur'an itu", Zaid menjawab "Demi Allah! Ini
adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk
memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada
mengumpulkan Al-Qur'an yang engkau perintahkan itu". Dan ia berkata
selanjutnya kepada Abu Bakar dan Umar: "Mengapa kalian melakukan sesuatu
yang tidak diperbuat oleh Nabi?" Abu Bakar menjawab: "Demi Allah! Ini adalah
perbuatan yang baik". Ia lalu memberikan alasan-alasan kebiakan mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur'an itu, sehingga membukakan hati Zaid, kemudian ia
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dari daun, pelepah kurma, batu, tanah keras,
tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur'an.
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat
teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur'an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan
pengumpulan Al-Qur'an yang sangat penting bagi umat Islam itu, masih memandang
perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan
oleh dua orang saksi.
Dengan demikian Al-Qur'an seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit
dalam lembaran-lembaran yang diikat dengan benar, tersusun menurut urutan ayat-
ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan
kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap di tangan Abu Bakar sampai beliau wafat,
kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khatab dan tetap di sana selama
pemerintahannya. Setelah beliau wafat, Mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah,
puteri Umar, istri Rasulullah sampai masa pengumpulan dan penyusunan Al-Qur'an
di masa Khalifah Utsman.
Masa Umar bin Khattab
Umar bin Khattab berperan sebagai penggagas intelektual pengumpulan pertama al-
Qur`an pada masa khalifah Abu Bakar. Umar khawatir akan musnahnya al Qur`an
karena perang Yamamah telah banyak menggugurkan para qarri`.
Membukukan Al-Qur'an di masa Utsman r.a.
Di masa Khalifah Utsman bin Affan, pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia
dan Azarbaiyan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Dengan demikian
kelihatanlah bahwa kaum muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir,
Syirtia, Irak, Persia dan Afrika. Kemanapun mereka pergi dan mereka tinggal, Al-
Qur'an itu tetap menjadi Imam mereka, diantara mereka banyak yang menghafal Al-
Qur'an itu. Pada mereka terdapat naskah-naskah Al-Qur'an, tetapi naskah-naskah
yang mereka punya itu tidak sama susunan surat-suratnya. Terdapat juga perbedaan
tentang bacaan Al-Qur'an tersebut. Asal mulanya perbedaan tersebut adalah karena
Rasulullah sendiripun memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang
berada di masanya untuk membaca dan melafazkan Al-Qur'an itu menurut dialek
mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi supaya mereka
menghafal Al-Qur'an. Tetapi kemudian terlihat tanda-tanda bahwa perbedaan tentang
bacaan tersebut bila dibiarkan akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang
tidak diinginkan dalam kalangan kaum Muslimin.
Orang yang pertama memperhatikan hal ini adalah seorang sahabat yang bernama
Huzaifah bin Yaman. Ketika beliau ikut dalam pertempuran menaklukkan Armenia di
Azerbaiyan, dalam perjalanan dia pernah mendengan pertikaian kaum Muslimin
tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur'an, dan pernah mendengan perkataan seorang
Muslim kepada temannya: "Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu".
Keadaan ini mengagetkannya, maka pada waktu dia telah kembali ke Madinah,
segera ditemuinya Utsman bin Affan, dan kepada beliau diceritakannya apa yang
dilihatnya mengenai pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan Al-Qur'an itu seraya
berkata: "Susullah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab,
sebagai perselisihan Yahudi dan Nasara(Nasrani)".
Maka Khalifah Utsman bin Affan meminta Hafsah binti Umar lembaran-lembaran
Al-Qur'an yang ditulis di masa Khalifah Abu Bakar yang di simpan olehnya untuk
disalin. Oleh Utsman dibentuklah satu panitia yang terdiri dari Zaid bin Tszabit
sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin
Hisyam.
Tugas panitia ini adalah membukukan Al-Qur'an dengan menyalin dari lembaran-
lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini, Utsman menasehatkan
agar:
Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur'an.
Bila ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah
dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur'an itu diturunkan
menurut dialek mereka.
Maka tugas tersebut dikerjakan oleh para panitia, dan setelah tugas selesai, maka
lembaran-lembaran Al-Qur'an yang dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan
kepadanya.
Al-Qur'an yang telah dibukukan itu dinamai dengan "Al-Mushhaf", dan oleh panitia
ditulis lima buah Al Mushhaf, Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria,
Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat tersebut disalin pula dari masing-masing
Mushhaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan
itulah yang dinamai dengan "Mushhaf Al Imam".
Setelah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang
bertuliskan Al-Qur'an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Maka dari
Mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin di seluruh pelosok
menyalin Al-Qur'an itu.
Dengan demikian, maka pembukuan Al-Qur'an di masa Utsman memiliki faedah
diantaranya:
1. Menyatukan kaum Muslimin pada satu macam Mushhaf yang seragam ejaan
tulisannya.
2. Menyatukan bacaan, walaupun masih ada kelainan bacaan, tapi bacaan itu
tidak berlawanan dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman. Sedangkan
bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman
tidak dibolehkan lagi.
3. Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada
Mushhaf-mushhaf sekarang.
Di samping itu Nabi Muhammad s.a.w. sangat menganjurkan agar para sahabat
menghafal ayat-ayat Al-Qur'an. Karena itu banyak sahabat-sahabat yang
menghafalnya baik satu surat, ataupun seluruhnya. Kemudian di zaman tabi'ien,
tabi'it, tabi'ien dan selanjutnya usaha-usaha menghafal Al-Qur'an ini dianjurkan dan
diberi dorongan oleh para Khalifah sendiri.
Pada zaman sekarang di Mesir, di sekolah-sekolah Awaliyah diwajibkan untuk
menghafal Al-Qur'an bila mereka ingin menamatkan pelajaran sekolah awaliyah dan
hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah mualimin, begitu juga di
pesantren-pesantren di Indonesia, sehingga Al-Qur'an dapat dihafal oleh jutaan umat
Islam di seluruh dunia. Dengan demikian terbuktilah firman Allah:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami
tetap memeliharanya"
( Surat (15) Al Hijr Ayat 9 )
Pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Setelah Al-Quran dibukukan pada masa khalifah Utsman, Bentuk
pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Ali bin Abi Thalib tidaklah berkembang secara
pesat mengenai pemeliharaan dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Pada masa ini Al-Qur’an
hanya berkembang pada diri sendiri dan praktek-praktek penetapan hokum yang
terdapat dalam al-Quran, karena pada masa Ali bin Abi Thalib langsung dihadapkan
pada permasalahan yang sangat besar yaitu masalah pembunuhan atas khalifah
Utsman bin Affan.
Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Sekarang
Meskipun Al-Qur’an telah dibukukan pada masa Usman bin Affan dan semua
umat islam menyakini bahwa di dalamnya tidak ada perubahan dari apa yang telah
diturunkan kepada Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu. Namun orang orientalis
masih saja ada yang meragukan keotentikan Al-Qur’an.
Diantara mereka ada yang mencoba melakukan perubahan yaitu terhadap isi
Al-Qur’an dengan merubah sebagian teksnya, serta melakukan perubahan yaitu
merubah satu huruf yang mirip seperti خ dirubah jadi ح sehingga berubah arti dan
maknanya.
Upaya-upaya kaum orientalis ini tidak pernah mengalami keberhasilan karena sangat
banyak umat Islam yang menghafal Al-Qur’an, sehingga perubahan sedikit pun dari
redaksi Al-Qur’an pasti ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka
mereka mencoba cara lain dengan melakukan melakukan penafsiran tidak sesuai
dengan makna yang sebenarnya. Apalagi banyaknya kisah israiliyyat yang merasuki
penafsiran al-Qur’an. kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits
yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan
yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke
dalam tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-
sumber lama.
Mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna
yang ditunjuk oleh redaksi ayat Al-Qur’an. Di samping itu harus tetap memelihara
dan memperhatikan semua konsekuensi makna yang terkandung dalam redaksi ayat,
serta makna lain yang mengarah kepadanya, yaitu makna yang tidak terjangkau oleh
penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan dengannya.
Menurut para ulama, seseorang yang hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an, hendaklah
lebih dahulu mencari tafsir ayat tersebut di dalam Al-Qur’an sendiri, karena kerap
kali ayat-ayat itu bersifat global di suatu tempat, sedang penjelasannya terdapat di
tempat lain (ayat lain), terkadang ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, dan
penjelasannya ditemukan di tempat lain (ayat lain). Lantaran yang lebih mengetahui
makna Al-Qur’an secara tepat hanyalah Allah. Jika tidak ada ayat yang dapat
dijadikan tafsir bagi ayat itu, hendaklah memeriksa hadis-hadis Nabi. Karena sunnah
merupakan penjelas makna ayat Al-Qur’an. Jika tidak menemukan di dalam sunnah
hendaklah merujuk kepada perkataan sahabat, sesungguhnya mereka lebih tahu
mengenai hal itu lantaran mereka mendengar sendiri dari mulut Rasulullah dan
menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan suasana yang meliputi ketika turunnya,
mereka juga memiliki pemahaman bahasa Arab yang benar, ilmu yang benar dan
amal shalih.
Dalam hal tersebut di atas, maka pemeliharaan Al-Qur’an tidaklah berhenti sampai di
situ, melainkan umat Islam di masa sekarang haruslah senantiasa memelihara dan
menjaga keotentikan al-Qur’an dengan cara berusaha menghafal, mempelajari dan
mengkaji Al-Qur’an, serta memahami makna yang sebenarnya berdasarkan kaidah
tafsir, sehingga setiap perubahan isi Al-Qur’an serta adanya upaya untuk menafsirkan
tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya dapat diketahui.