Post on 25-Aug-2018
PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA
INDONESIA MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna Mendapatkan
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Muhammad Aidz Billah
NIM: 1110043200017
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
v
ABSTRAK
Muhammad Aidz Billah. 1110043200017. Pemberlakuan Hukum Secara
Surut (Retroaktif) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Menurut Pandangan
Hukum Islam. Perbandingan Hukum. Perbandingan Mazhab dan Hukum. Fakultas
Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Asas legalitas merupakan asas fundamental yang menjadi acuan dalam praktek
hukum pidana. Namun pemberlakuan asas ini dianggap hanya melindungi
kepentingan pelaku tindak pidana saja, akan tetapi kurang memberikan
perlindungan terhadap kepentingan korban. Hingga akhirnya muncul sebuah
Peraturan Pemerintah menerapkan prinsip retroaktif di dalamnya. Sehingga bagi
para pelaku tindak pidana kejahatan pada masa lalu dapat dihukum. Hal ini
akhirnya menimbulkan perdebatan di kalangan sarjana hukum, baik di luar
maupun dalam negeri. Sebab bagaimana mungkin sebuah asas legalitas yang
fundamental dapat dilakukan penyimpangan terhadapnya ? terlebih penerapan
prinsip retroaktif lebih identik dengan lex talionis, sehingga penerapannya dapat
diberlakukan secara sewenang-wenang sesuai dengan kehendak penguasa. Selain
itu pembahasan tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut juga menjadi
sorotan dalam hukum pidana Islam, meski hanya dalam intensitas yang sangat
kecil. Namun dengan berdasarkan pada maqashid al-syari’ah yang bertujuan
melindungi agama, keturunan, agama, harta dan nyawa maka pemberlakuan
hukum secara surut dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan demi
terciptanya suatu kemashlahatan.
Dengan adanya permasalahan tersebut maka penulis ingin membahas lebih lanjut
tentang bagaimana praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam hukum
Pidana Indonesia ? dan bagaiamana praktek pemberlakuan hukum secara surut
dalam hukum pidana Islam ?
Penelitian dengan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian akan dianalisa melalui
analisis deduktif-induktif dimana penulis akan menelaah fakta-fakta yang bersifat
umum dan menariknya menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.
Kata Kunci : asas legalitas, retroaktif, lex talionis.
Di bawah Bimbingan: Pembimbing I: Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA., dan
Pembimbing II: Muhamad Ainul Syamsu, S.H., M.H.
Daftar Pustaka: Tahun 1997 s.d Tahun 2014
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru
sekalian alam, yang menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi
mungkin. Sholawat serta salam tercurahkan kepada penghulu alam kanjeng Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya. Berkat adanya taufik,
hidayah dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT
DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT
PANDANGAN HUKUM ISLAM. Karya ini tentunya tidak dapat terselesaikan
tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT serta dukungan dari teman-teman serta
pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan, ide, motivasi, masukan
serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Sehingga penulis merasa wajib
untuk memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si selaku Ketua Prodi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA., selaku Sekretaris Prodi Perbandingan
Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga selaku
Pembimbing I bagi penulis yang selalu memberi masukan dan arahan dalam
membuat karya tulis skripsi ini.
vii
4. Bapak Muhamad Ainul Syamsu, S.H, M.H., selaku Pembimbing II yang
selalu memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan
karya tulis skrpsi ini.
5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta
Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis.
6. Ayahanda tercinta Moch. Tadjuddin dan Ibunda terkasih Aisyah, serta adik-
adik dan saudara-saudara dalam keluarga besar alm. KH. Ali Muhammad.
7. Guru tercinta KH. Masyhuri Baedlowi, MA. Pengasuh PP Darussalam Eretan-
Indramayu, yang telah mengajarkan penulis ilmu agama.
8. Guru tercinta, abah Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. inspirator bagi
penulis.
9. Teman-teman seperjuangan Rafika Hastya Rany, Ramdhani ‘sambit’, Wiwin
Winata, Ilyas, Bambang, Laka, Fany, sandi dan teman-teman PH 2010 yang
tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua semangat
ini.
10. Teman berkeluh kesah adinda Riri Rizqiyatul Falah, semoga kesabaran dan
penantian mu dibalas oleh Allah SWT.
Jakarta, 13 Juni 2015
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi,Batasan Masalah dan Perumusan Masalah .............. 6
C. Tujuan Serta Maanfaat Penelitian ............................................... 7
D. Studi Terdahulu ............................................................................. 8
E. Metode Penelitian ......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan. ................................................................ 10
BAB II : PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS
A. Asas Legalitas dan Sejarahnya ............................................... 12
B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam .......................... 17
C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut (Retroaktif) Sebagai
Pengecualian Asas Legalitas ................................................. 21
ix
BAB III : Pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam Aturan Pidana
Indonesia
A. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2)
KUHP .......................................................................................... 29
B. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana
Tertentu :
1. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam
Pelanggaran HAM Berat ...................................................... 38
2. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam
Tindak Pidana Terorisme ..................................................... 43
C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam RKUHP ................ 50
Bab IV : PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM
PUTUSAN PENGADILAN
A. Praktik Pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam
Putusan Pengadilan HAM Ad-Hoc ......................................... 58
B. Praktik Pemberlakuan Hukum Secara Surut terhadap
Tindak Pidana Terorisme ........................................................ 71
C. Analisis Putusan ....................................................................... 80
Bab V : PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 86
B. Saran ............................................................................................ 87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan yang terjadi di dalam hukum selalu didahului dengan
adanya perkembangan dalam masyarakat. Berbagai factor seperti kemajuan
teknologi dan pertukaran budaya, memicu terjadinya interaksi yang dinamis di
dalam masyarakat. Dengan salah satu fungsinya yaitu sebagai sarana control
sosial (social control), hukum memiliki fungsi untuk mendidik, mengajak atau
bahkan mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.1 Namun pada
kenyataannya untuk menjalankan fungsinya terkadang hukum mengalami
kendala.
Perkembangan masyarakat yang selalu dinamis terkadang tidak bisa
diikuti oleh perkembangan hukum, sehingga tak jarang hukum sering
“kecolongan” dan selalu tertinggal, sehingga sulit bagi hukum untuk
menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang muncul akibat terjadinya
interaksi masyarakat. Jika sudah seperti itu maka mau tidak mau hukum harus
mengikuti perkembangan, sebab jika tidak maka hukum akan menemui
banyak kendala baik itu yang berkaitan dengan rasa keadilan maupun
persoalan yang berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement)2. Maka
demi mengantisipasi dua hal tersebut hukum harus lebih bersifat akomodatif
dan progresif demi mengimbangi berbagai persoalan hukum yang timbul
akibat interaksi masyarakat.
1 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hal. 22.
2 Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007) hal. 26.
2
Namun jika melihat pada kenyataan yang ada, rasanya akan sulit
menciptakan hukum yang bersifat lebih akomodatif dan progresif. Sebab
proses penegakan hukum yang ada selalu terbentur pada aturan hukum yang
sudah ada, seperti halnya dalam menegakan aturan hukum pidana.
Dalam menegakan aturan pidana penegak hukum harus berpegangan
pada batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, yang mengatakan bahwa ;
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan pada
ketentuan dari perundang-undangan pidana yang telah ada”..
Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini dianut asas legalitas atau disebut juga
dengan principle of legality, sehingga meskipun seseorang melakukan tindak
pidana, namun jika perbuatannya tersebut tidak disebutkan dalam aturan
perundang-undangan yang ada maka ia tidak dapat dikenai tindakan hukum.
Berdasarkan pada prinsip nullum crimen nulla poena sine lege praevia
bahwa sebuah undang-undang tidak boleh diberlakukan secara retroaktif atau
secara surut. Tujuan dari larangan ini adalah :
1. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan
penguasa.
2. Ketentuan pidana tersebut juga berfungsi sebagai ancaman terhadap psikis
calon pelaku kejahatan (teori psychologische dwang dari Anslem von
Feurbach). Sehingga dengan adanya ketentuan pidana yang disebutkan
dalam undang-undang maka calon pelaku tindak pidana akan berpikir dua
kali dalam melakukan kejahatannya.3
3 Anis Widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, dalam Jurnal
Pandecta Vol. 6 Nomor 2, Juli 2011. hal. 171.
3
Meski pemberlakuan hukum secara surut dilarang, namun jika melihat
pada sejarah dan prakteknya hal tersebut tetap dilakukan meski hanya
diterapkan pada tindak pidana tertentu saja seperti tindak pidana yang
tergolong kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Menurut Anis Widyawati sebuah tindak pidana dapat dikatakan sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) jika memiliki empat unsur, yang
antara lain:4
1. Adanya korban dalam jumlah yang sangat besar.
2. Kejahatan dilakukan dengan cara yang sangat kejam.
3. Memiliki dampak yang luas terhadap psikologi masyarakat.
4. Ditetapkan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan kemanusiaan.
Empat syarat inilah merupakan sebuah satu kesatuan yang menjadi patokan
dalam menetapkan sebuah tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana
kejahatan luar biasa.
Pembahasan mengenai asas legalitas dan pemberlakuan hukum secara
surut tidak hanya terjadi di dalam hukum pidana Indonesia saja, namun di
dalam hukum pidana Islam juga terdapat pembahasan mengenai pemberlakuan
hukum secara surut meski tidak dilakukan pembahasan secara khusus dan
mendalam. Akan tetapi jika dilakukan kajian yang mendalam tentang ayat-
ayat al-Qur’an, maka akan ditemukan bahwa syari’at Islam juga mengenal
adanya praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam kasus yang sangat
berbahaya bagi masyarakat dan kemanusiaan.5
4 Anis widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, hal. 176.
5 Rahmat Syafi’I, “Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Syi’ar
Hukum, FH. Unisba. Vol. XII. No. 1 Maret 2010.
4
Dalam hukum pidana Islam dikenal sebuah kaidah yang berbunyi:6
صانن دورو مبق اءهقانع العفأن ىكا حن
“sebelum adanyan nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-
orang yang berakal”
Dari kaidah ini diketahui bahwa sebuah perbuatan tidak bisa dianggap
sebagai jarimah (tindak pidana) jika tidak ada nash yang mengatakan
perbuatan tersebut sebagai suatu jarimah (tindak pidana). Selain kaidah diatas
ada pula kaidah lainnya yaitu :7
ىيرحانت ىهع ميناند لدي ىتح ةاحباإل اءيشاأل يف مصاأل
“Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang
menunjukan keharamannya”
Menurut Abd al-Qadir Audah sebagaimana dikutip oleh A. Wardi
Muslich, dari kedua asas (kaidah) di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:8
صن دري ىا ن ذاف .كرانت وأ معفان ورحي حيرص صنب الإ ةيرج كرت وأ معف اربتعإ نكا ين
كارت وأ ماعف ىهع ابقا عنو ةينؤسا يهف كرانت وأ معفان ورحي
“Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat, tidak boleh dianggap sebagai
jarimah, kecuali karena ada nash (ketentuan) yang jelas yang melarang
perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang
demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman bagi pelaku atas
sikapnya.”
Sehingga sebuah perbuatan tidak cukup jika hanya dipandang sebagai
suatu jarimah hanya karena perbuatan tersebut dilarang, akan tetapi perbuatan
6Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hal. 47
7 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004) hal. 30.
8Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,hal. 30.
5
tersebut perlu dinyatakan hukumannya. Artinya sebuah perbuatan dapat
dikatakan sebagai jarimah manakala ada ketentuan nashnya.
Meski praktek pemberlakuan hukum secara surut dianggap merupakan
penyimpangan terhadap asas legalitas dan bertentangan dengan Pasal 28 I
UUD 1945. Pada kenyataannya praktek pemberlakuan hukum secara surut
pernah diterapkan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Dimana tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk
merespon tindak pidana terorisme yang terjadi pada peristiwa bom Bali pada
tanggal 12 Oketober 2002 bertempat di dua lokasi yang berbeda yaitu
peristiwa pertama di Paddy’s Pub dan Sari Club di jalan Legian, Kuta, Bali.
Peristiwa ke dua di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat.
Selain itu praktek pemberlakuan hukum secara surut juga terjadi dalam
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Ad Hoc. Tujuan dari pembuatan undang-undang ini adalah untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur
pada tahun 1999 dan Tanjung Priok tahun 1984.
Terhadap dua undang-undang ini akhirnya diajukan judicial review yang
dilakukan oleh Abilio Jose Osorio Suares terhadap Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berat, dan judicial review yang
dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir terhadap Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
6
Maka dengan adanya fakta ini penulis memandang bahwa perlu adanya
penelitian lebih lanjut tentan praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam
sistem hukum pidana Indonesia dan menuangkannya dalam sebuah karya tulis
ilmiah (skripsi) berjudul: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT
DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT
PANDANGAN HUKUM ISLAM.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
Adanya fakta yang muncul tentang pemberlakuan hukum secara surut
menimbulkan banyaknya perdebatan. Pemberlakuan hukum secara surut
dianggap melanggar hak para pelaku tindak pidana. Sedangkan di sisi lain
pemberlakuan secara surut dapat memberikan keadilan bagi pihak korban
tindak pidana.
Mengingat luasnya pembahasan mengenai praktek pemberlakuan hukum
secara surut, maka penulis membatasi pembahasan dalam penelitian ini pada
praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam kasus pelanggaran HAM
berat dan dalam kasus tindak pidana terorisme.
Adapun rumusan masalah yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan
yaitu :
1. Bagaimana proses pemberlakuan hukum secara surut menurut sistem
hukum pidana Indonesia ?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberlakuan hukum secara
surut ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam
sistem hukum pidana Indonesia.
b. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang pemberlakuan hukum
secara surut.
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan manfaat,
di antaranya :
a. Manfaat Akademis :
Adapun tujuan penilitian ini bagi dunia akademis yaitu:
1) Memberikan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa
tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut.
2) Menambah khazanah keilmuan di bidang hukum pidana Indonesia
dan hukum pidana Islam.
b. Manfaat Masyarakat :
Adapun manfaat dari penelitian ini bagi masyarakat :
1) Memberikan pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana luar
biasa.
2) Memberikan masukan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam
bertindak karena semua kejahatan yang dilakukan pasti akan ada
hukumannya.
8
c. Manfaat Pemerintah :
Adapun manfaat dari penelitian ini bagi kalangan pemerintah adalah :
1) Memberi masukan kepada pemerintah dalam menyelesaikan segala
tindak pidana yang telah terjadi di masa lampau.
2) Memberi masukan kepada pemerintah bahwa pemberlakuan
hukum secara surut dapat dilakukan atas dasar prinsip keadilan.
D. Studi Terdahulu
Dalam pembuatan skripsi ini sebelumnya penulis melakukan kajian
terhadap tulisan-tulisan terdahulu. Akan tetapi sayangnya tulisan-tulisan
tersebut hanya berupa judulnya saja, namun bentuk nyata dari tulisan-tulisan
tersebut sudah tidak ditemukan. Adapun tulisan-tulisan tersebut memiliki
tema sebagai berikut:
1. Skripsi karya Pikri Zulpikar tentang Eksistensi Pengadilan Hak Asasi
Manusia Dalam Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat tahun 2003.
Dalam skripsi ini penulis hanya menjelaskan tentang eksistensi Pengadilan
HAM berat sebagai upaya dalam menyelesaikan kasus HAM berat.
2. Skripsi karya Dewi Jayanti Mandasari tentang Analisis Putusan Terhadap
Tindak Pidana Terorisme oleh Mushlihul Ma’arif (No.
1168/PID.B/2001/PN.Jakarta Selatan) tahun 2009. Adapun dalam skripsi
ini penulis menjelaskan tentang Surat Dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum yang merupakan salah satu pertimbangan hukum hakim
dalam memberikan putusan.
9
3. Tesis karya Muhammad Adil tentang “Islah” Dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia tahun 2003. Dalam karya tulisnya penulis menjabarkan
tentang penggunaan islah sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan
permasalahan dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Dari ketiga karya tulis di atas penulis tidak ada satu pun yang membahas
tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam sistem pidana
Indonesia sebagaimana yang nantinya akan penulis bahas dalam karya tulis
ini.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif – analitik dengan
menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yang kemudian
dilakukan analisa terhadap fakta-fakta yang muncul dari objek yang
diteliti. Sehingga nantinya hasil penelitian akan memberikan gambaran
yang obyektif tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti.
2. Obyek Penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 013/PUU-I/2003, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-
II/2004 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 34 PK/PID.HAM.AD
HOC/2007.
3. Sumber Data Penelitian
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
sumber :
10
a. Sumber Data Primer :
Sumber data primer mencakup putusan Mahkamah Konstitusi,
putusan mahkamah agung, peraturan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Pengadilan HAM, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Perpu dan undang-undang yang lainnya yang terkait dengan
penelitian ini.
b. Sumber Data Sekunder :
Adapun sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Jurnal, Literatur-literatur dan Buku-buku yang memiliki kaitan
dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa deduktif –
induktif, dimana penulis menganalisa data-data yang bersifat umum dan
kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam karya tulis ini yaitu sebagai berikut :
BAB I : dalam bab ini berisi latar belakang, batasan masalah, perumusan
masalah, tujuan serta manfaat penelitian, review (kajian) studi
terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
11
BAB II : dalam bab berisi pengertian umum asas legalitas dan pengertian
retroaktif, kemudian asas legalitas dalam hukum pidana Islam,
pemberlakuan hukum secara surut sebagai pengecualian asas
legalitas baik dalam pandangan hukum Islam mau pun dalam
pandanga hukum pidana Indonesia.
BAB III : membahas tentang pemberlakuan hukum secara surut dalam aturan
pidana Indonesia yang kemudian terbagi menjadi tiga sub judul
yaitu pertama, pemberlakuan hukum secara surut menuru Pasal 1
ayat (2) KUHP, kedua, pemberlakuan hukum secara surut dalam
tindak pidana tertentu yaitu dalam kasus pelanggaran HAM berat
dan terorisme, ketiga, pemberlakuan hukum secara surut dalam
RKUHP.
BAB IV : dalam bab ini berisi tentang analisis praktek pemberlakuan hukum
secara surut dalam putusan pengadilan. Analisis menurut
pandangan hukum pidana Indonesia, dan juga analisis hukum Islam
menurut konsep mashlahah.
BAB V : bab terakhir ini berisikan kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS DAN RETROAKTIF
A. Asas Legalitas dan Sejarahnya
Sebelum berbicara tentang pemberlakuan hukum secara surut
(Retroaktif), hendaklah kita terlebih dahulu membahas dan memahami tentang
asas legalitas yang menjadi asas fundamental dalam hukum pidana Indonesia.
Meskipun pada saat ini asas legalitas tidak diberlakukan secara absolut, serta
tidak lagi dianggap sebagai kebenaran absolut yang tidak dapat lagi
diperdebatkan, akan tetapi pikiran-pikiran yang berkembang masih
berdasarkan bahwa asas legalitas merupakan asas yang harus dijunjung tinggi,
sehingga berbagai penerobosan hanya dianggap sebagai suatu pengecualian,
serta menempatkan pikiran-pikiran tersebut sebagai sekedar pelengkap dari
asas legalitas tersebut.1
Menurut Roeslan Saleh bahwa asas legalitas yang terkandung dalam
Pasal (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur tentang apa sajakah
yang dipandang sebagai perbuatan pidana, sebab menurutnya tidak semua
perbuatan yang melanggar hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana,
dan merupakan tugas dari pemerintah untuk menentukan perbuatan apa saja
yang termasuk kategori perbuatan pidana.2
1 Deni Setyo, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan
Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2014) hal. 1.
2 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, (Jakarta:
Aksara Baru, 1981) hal. 1.
13
Penerapan asas legalitas dalam proses penegakan hukum sebenarnya
adalah untuk melindungi hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan
pemerintah dalam menegakkan hukum. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masa
lalu saat terbentuknya asas legalitas itu sendiri. Dimana pada masa romawi
kuno ada sebuah tindak pidana yang dikenal dengan criminal extra ordinaria
atau yang lebih dikenal dengan kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan di
dalam undang-undang. Di antara criminal extra ordinaria ada suatu kejahatan
yang dikenal dengan criminal stellionatus yang artinya perbuatan jahat atau
durjana akan tetapi tidak diketahui bagaimana bentuk dari kejahatan tersebut.
Maka dengan adanya ketidakjelasan dari bentuk dan jenis kejahatan tersebut
maka pemerintah Romawi kuno menggunakan hukum pidana secara
sewenang-wenang demi menegakkan hukum.3
Keberadaan asas legalitas sendiri sebenarnya pertama kali muncul di
Amerika bermula dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Jenderal Lefayatte
mengenai hak-hak asasi manusia dimana selanjutnya ajaran tersebut
berkembang sampai ke Inggris melalui John Locke. Sedangkan di Perancis
ajaran tersebut dikembangkan oleh Montesquieu melalui konsep trias politica-
nya, dimana kekuasaan Negara dibagi menjadi tiga bagian, dengan maksud
melindungi hak-hak individu dari kesewenangan pemerintah. Seiring dengan
perkembangan waktu ajaran tentang asas legalitas kemudian dilanjutkan oleh
J.J. Rousseau dengan fahamnya yaitu fiksi perjanjian masyarakat yang
kemudian pemikirannya itu ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul Due
Contract Social yang menjelaskan bahwa sebuah pemerintahan timbul karena
3 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal. 26.
14
adanya sebuah kesepakatan antara rakyat dan penguasa, dengan tujuan untuk
menjalankan aturan atau Undang-undang agar terciptanya kemerdekaan
berpolitik dan perdata. Selanjutnya Beccaria di Italia melalu bukunya Dei
delitti e delle pene menerangkan bahwa hukum pidana haruslah bersumber
dari hukum tertulis agar dapat terjaminnya hak-hak warga Negara dan warga
Negara pun mengetahui mana sajakah perbuatan yang dilarang dan
diperintahkan.4
Namun demikian ajaran yang benar-benar memberikan pengaruh
terhadap rumusan undang-undang hukum pidana ialah ajaran yang bersumber
dari seorang sarjana hukum jerman, Von Feuerbach. Ia merumuskan asas
legalitas dalam bahasa romawi yang dikenal dengan nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali dalam bukunya Lehrbuch des Peinliches
Recht5 yang bermakna “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa adanya
aturan terlebih dahulu”.
Kemudian dari pepatah nullum crimen ini kemudian para ahli hukum
menyimpulkan bahwa ini merupakan sebuah prinsip yang melarang tentang
diberlakukannya hukum secara retroaktif, Thomas Hobbes mengatakan
sebagaimana yang dikutip oleh James Popple bahwa:
“No law, made after a fact done, can make it a crime…. For before the
law, there is no transgression of the law.”6
(tidak ada hukum yang dibuat setelah adanya perbuatan, sehingga
bisa menjadikan perbuatan tersebut sebagai suatu kejahatan. Jika sebelumnya
tidak ada aturan, maka tidak ada pelanggaran terhadap hukum).
4 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni Ahaem, 1996) hal. 72. 5 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasasn, hal. 1.
6 James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal
Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August 1989, hal. 252.
15
Dari perkataan Hobbes di atas dapat dipahami bahwa tidak ada
hukuman yang diberikan ketika perbuatan tersebut telah dilakukan sedangkan
tidak ada undang-undang yang mengatur tentang perihal tersebut, maka
dengan demikian perbuatan tersebut dikatakan tidak melanggar hukum.
Menurut Machteld Bolt dengan mengutip pendapat dari Jescheck dan
Weigend, paling tidak ada empat prinsip yang termasuk kedalam asas legalitas
tersebut yaitu:
1. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege praevia atau tidak ada
perbuatan pidana, tindak pidana tanpa adanya undang-undang yang
mengatur sebelumnya.
2. Prinsip nullum crimen, noela poena sine lege scripta atau tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang tertulis.
Sehingga setiap ketentuan pidana harus dituliskan secara expresiv verbis
dalam undang-undang.
3. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege certa atau tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas.
Dalam artian bahwa sebuah rumusan pidana haruslah dibuat secara jelas
agar tidak terjadi multitafsir sehingga dapat membahayakan kepastian
hukum.
4. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege stricta atau tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa adanya undang-undang yang
ketat. Akibat dari ketentuan ini maka dilarang menggunakan analogi.7
7 Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,
(Jakarta: Erlangga, 2009) hal. 4.
16
Pada tahun 1789 di Amerika prinsip non-retroaktif (ex post facto law)
diatur di dalam artikel 1 Pasal 9 (3) dari Konstitusi Amerika. Kemudian
dikatakan pula pada artikel 7 dari Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia
yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan diperlakukan dan dihukum
secara semena-mena atas perbuatan atau kelalaian yang dilakukan, jika
perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan yang disepakati oleh
Negara-negara yang beradab yang kemudian dalam Pasal 15 kata “Negara-
negara beradab” diganti dengan “komunitas bangsa-bangsa”. 8
Dalam sistem hukum pidana Indonesia asas legalitas diletakkan pada
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatakan
bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
dalam undang-undang yang telah ada, sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Sehingga setiap perbuatan yang dilakukan sebelum munculnya peraturan yang
mengatur tentang perbuatan tersebut maka si pelaku tidak bisa dikenakan
hukuman.
Jika melihat kembali kepada sejarah ketatanegaraan kita, hal semacam
ini pernah diatur dalam konstitusi Negara kita yaitu diatur dalam Pasal 14 ayat
2 UUDS 1950 yang mengatakan bahwa: “tiada seorang juapun dapat atau
boleh dituntut untuk dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan yang ada
dan berlaku terhadapnya.”, dan jika dilihat secara yuridis formal maka
rumusan ini merupakan asas legalitas, akan tetapi perbedaannya adalah jika
8 James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam
Criminal Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August
1989, hal. 253.
17
kita hendak merubah rumusan tersebut maka kita juga harus merubah
konstitusi. Sedangkan secara teoritis Pasal 1 ayat (1) KUHPidana yang
merupakan penjelmaan dari asas legalitas dapat diubah atau dikesampingkan
hanya dengan membuat undang-undang baru yang berbeda.9
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa asas legalitas yang sebelumnya
dikenal dengan prinsip „nulla poena’ menjadi patokan utama dalam
memberikan hukuman, dimana dalam salah satu intisari prinsip tersebut
dikatakan bahwa sebuah perbuatan dapat dijatuhi hukuman jika perbuatan itu
diatur dalam sebuah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan
tersebut dilakukan, sehingga jika sebuah pemberian hukuman dilakukan
terhadap perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang atau ketika
perbuatan telah dilakukan barulah dibuatkan undang-undangnya (berlaku surut
atau retroaktif), maka hal tersebut melanggar ketentuan-ketentuan dalam
aturan hukum itu sendiri.
B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam
Penerapan asas legalitas tidak hanya dikenal dalam hukum pidana
positif saja, sebab meski tidak disebutkan secara jelas, dalam hukum Islam
pun dikenal dengan adanya asas legalitas, dimana seseorang tidak dianggap
melakukan tindak pidana (Jarimah) sebelum turunnya nash al-Qur‟an yang
menyatakan bahwa perbuatannya itu haram dan patut mendapatkan hukuman.
Hal ini dikarenakan adanya asas atau kaidah hukum yang mengatakan bahwa
hukum asal suatu perkara adalah kebolehan, dengan kata lain seseorang
9 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) hal. 38.
18
dibolehkan melakukan apa saja selama tidak melanggar aturan, dan jika ia
melanggar aturan maka ia boleh dipidana.10
Sebenarnya pembahasan tentang hukum Islam tidak bisa dilepaskan
begitu saja dari aspek teologis yang berkembang di kalangan umat Islam.
Sebab intisari dari ajaran agama Islam pada dasarnya terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu aspek akidah, akhlak dan hukum. Ketiga aspek ini mempunyai
peranan penting dalam menciptakan kehidupan yang bahagia.
Tidak hanya itu saja pemahaman yang berbeda dari para ulama
terhadap ayat-ayat hukum yang ada didalam al-Qur‟an menjadi faktor yang
menyebabkan berbedanya suatu kaidah hukum yang telah ada pada masa kini.
Selain itu dari 6236 ayat yang terdapat di dalam al-Qur‟an kurang lebih hanya
ada 228 ayat yang membahas tentang hukum dan dari 228 ayat tersebut hanya
ada 30 ayat yang berkaitan dengan hukum pidana. Tentunya hal ini
membutuhkan usaha keras untuk mengembangkan hukum agar tidak tertinggal
dari perkembangan masyarakat.
Berkaitan dengan pembahasan asas legalitas di dalam al-Qur‟an
kiranya ada beberapa ayat yang berkaitan dengan hal tersebut salah satunya
adalah :
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
10
Rachmat Syafe‟i, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Jurnal Syiar
Hukum, Fakultas Hukum UNISBA Vol. XII No. 1 Maret 2010.
19
Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
(al-Isra : 15)
Menurut aliran Asy‟ariyah ayat ini menerangkan bahwa seseorang
tidak dapat dijatuhi hukuman (taklif) atas tindak kejahatannya sebelum
diutusnya seorang nabi atau rasul, meskipun sebenarnya orang tersebut
mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dilarang.
Namun berbeda dengan pemikiran aliran Mu‟tazilah yang berpendapat
meskipun belum ada ayat yang menjelaskan suatu perbuatan dilarang atau
belum diutusnya seorang rasul kepada suatu kaum, apabila mereka melakukan
kejahatan maka mereka bisa dijatuhi hukuman (taklif). Karena menurut
mereka meski belum diutus seorang rasul namun akal manusia dapat
membedakan antara baik dan buruknya suatu perbuatan.11
Lain halnya dengan pendapat aliran Maturidiyah yang mengambil
jalan tengah dimana aliran ini menyetujui pendapat kalangan Mu‟tazilah
tentang kemampuan akal mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, akan
tetapi dilain sisi berbeda pandangan tentang pembebanan hukum (taklif).
Menurut kalangan Maturidiyah permasalahan taklif, dosa dan pahala hanya
ditetapkan melalui wahyu Allah. Meskipun akal memiliki kemampuan untuk
mengetahui mana yang baik dan buruk, mashlahat atau mafsadat, namun akal
tetap harus tunduk pada ketetapan wahyu.12
Asas legalitas seperti yang disebutkan di atas, yang memberikan
11
Amir Syarifuddin, Ushul FIqh, (Jakarta: Kencana, 2011, Jilid 1) hal. 414.
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hal. 416.
20
penjelasan bahwa tidak ada jarimah atau hukuman tanpa adanya suatu nash
(aturan-aturan) yang disebutkan di dalam syara, bukan di dasarkan atas nash-
nash syara‟ yang sifatnya umum semata yang menyuruh kepada keadilan dan
melarang kedzaliman, melainkan didasarkan atas nah-nash yang jelas dan
khusus mengenai persoalan ini.13
Selain ayat dari surat Bani Israil di atas ada beberapa ayat lain yang
juga menjelaskan tentang asas legalitas diantaranya Q.S. al-Qasas, Q.S. al-
An‟am, Q.S. al- Baqarah dan Q.S. al- Anfal. Nash-nash ini semuanya berisi
ketentuan, bahwa tidak ada sesuatu jarimah kecuali sesudah ada penjelasan,
tidak ada hukuman kecuali sesudah ada pemberitahuan.14
Sehingga dengan
adanya nash- nash al-Qur‟an tersebut kemudian muncullah satu kaidah yang
berkenaan dengan asas legalitas yaitu
صنالب لا جريمة ولا عقوبة إلا
“Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman kecuali tertulis dalam
peraturan”15
Dengan demikian jelas bahwa semua tindak pidana harus dimasukkan
atau diatur didalam sebuah undang-undang yang terperinci dan jelas agar
terhindar dari kesewenang-wenangan dalam menegakkan hukum. Dalam
Islam dikenal kaidah la hukm qabla syar’ -tidak ada hukum sebelum ada
ketentuan dari syara‟, sehingga sanksi hanya diberikan kepada seorang
13
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hal.
48. 14
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, hal. 49.
15
Abd al- Qadir „Audah, al- Tasyri’ al- Jina’I al- Islami, (Kairo: Maktabah Dar al-
„Urubah, 1968) hal. 261.
21
berdasarkan aturan yang jelas. Dengan demikian hukum Islam sejalan dengan
prinsip yang dianut oleh hukum positif.16
C. Pemberlakuan Hukum Secara Retroaktif (Surut) Sebagai Pengecualian
Asas Legalitas
Ketika berbicara tentang asas legalitas maka kiranya tidak bisa
dilepaskan dari pembahasan tentang apa itu „retroaktif‟ atau biasanya para
pakar hukum menyebutnya dengan „asas retroaktif‟, meski sebenarnya penulis
merasa kurang tepat jika retroaktif disebut sebagai „asas‟ akan tetapi lebih
tepat jika disebut sebagai sebuah aturan hukum saja. Sebab jika merujuk pada
pendapat Roeslan Saleh yang mengatakan bahwa asas-asas hukum bersifat
lebih umum daripada undang-undang dan keputusan-keputusan hukum adalah
penjabaran dari asas-asas hukum.17
Menurutnya pula selain asas hukum
bersifat lebih umum dan aturan hukum bersifat lebih khusus, asas-asas hukum
mempunyai teritori terapan yang lebih luas ketimbang aturan hukum yang
memiliki teritori terapan yang lebih sempit.18
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa Retroactivie adalah
an extending in scope or effect to matters that have occurred in the past.19
Sementara itu di dalam kamus bebas Wikipedia, pengertian retroaktif
dijelaskan sebagai;
16
Rachmat Syafe‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Ilmu Hukum;
Syiar Hukum. FH. Unisba Vol. XXI No. 1 Maret 2010, hal. 69.
17
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, ( CV. Karya
Dunia Fikir, 1996), hal. 20.
18
Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional. hal. 21.
19
Anis Widyawati, Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia, (Jurnal Pandecta,
FH. Universitas Negeri Semarang Vol. 6 No. 2 Juli 2011) hal. 171.
22
Law that retroactively changes the legal consequences of acts commited or the
legal status of facts and relationships that existed prior to the enactment of
the law.
“hukum yang berlaku surut mengubah akibat hukum terhadap tindakan yang
dilakukan atau mengubah status hukum dan hubungan yang ada sebelum
berlakunya hukum”
Dari pengertian di atas dikatakan bahwa hukum yang diterapkan secara
retroaktif (berlaku surut) mengubah akibat-akibat hukum dari tindakan yang
dilakukan atau status hukum dari perbuatan dan hubungan yang terjadi
sebelum penetapan undang-undang.20
Penerapan hukum secara retroaktif memang mengundang berbagai
tanggapan bahkan perdebatan baik itu dikalangan para ahli hukum maupun
dari kalangan pelaku tindak kejahatan itu sendiri. Pasalnya sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan hukum secara retroaktif telah
melanggar aturan yang tersirat dari asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1
ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Terlebih dikatakan bahwa
penerapan hukum secara retroaktif dianggap bertentangan dengan hak asasi
manusia yang diakui di dalam Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian
dikatakan sebagi hak konstitusional warga Negara, yang salah satunya adalah
“hak bebas dari tuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut.21
Di dalam
UUD 1945 sendiri setidaknya ada 11 pasal yang membahas tentang HAM
mulai dari Pasal 28, 28A sampai dengan Pasal 28J.
20
A. Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam
perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 274.
21
Masyhur Efendi, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial,
Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam
Masyarakat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal. 151.
23
Akan tetapi jika dikatakan bahwa penerapan hukum secara surut
dianggap melanggar hak dari pelaku kejahatan tersebut maka kita pun harus
melihat dampak yang timbul akibat kejahatan yang dilakukan. Memang benar
dikatakan dalam Pasal 28I ayat 1 bahwa;
“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Akan tetapi jika kita melihat kepada pada pasal selanjutnya yaitu Pasal 28J
ayat 1 dan ayat 2 yang mengatakan bahwa;
(1) Setiap orang harus menghormati hak-hak orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang diwajibkan
untuk tunduk kepada pembatasan undang-undang dengan maksud semata-
mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Menurut pemerintah pembatasan Pasal 28J terhadap Pasal 28I ini
memungkinkan diterapkannya suatu aturan pidana yang berlaku surut.22
Akan
tetapi berbeda dengan pemerintah, Nyoman Serikat Putra Jaya memberikan
pandangannya bahwa Pasal 28I yang berisikan tentang hak-hak warga Negara
22
Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008, hal. 77.
24
yang sifatnya tidak dapat bisa dikurangi atau dibatasi (derogable rights),23
meskipun terdapat Pasal 28J yang menurut pemerintah memberikan peluang
bagi penerapan hukum secara surut, namun menurut Nyoman Serikat
ketentuan dalam Pasal 28J tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa “hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” dapat dikurangi
atau dibatasi.24
Namun demikian jika melihat pada penjabaran diatas bukan berarti
peluang untuk memberlakukan suatu aturan pidana secara surut menjadi
tertutup. Sebagaimana pendapat Romli Atmasasmita yang dikutip oleh Dani
Setyo Bagus mengatakan bahwa prinsip hukum non-retroaktif hanya berlaku
bagi pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia
bukan pelanggaran biasa. Oleh karena itu, prinsip non-retroaktif tidak bisa
dipergunakan.25
Jika mencermati pendapat Romli maka penerapan hukum secara retroaktif
hanya dapat dilakukan pada tindak pidana yang sifatnya luar biasa, dengan
persyaratan bahwa suatau tindak pidana dapat dikatakan luar biasa jika:
1. Adanya jumlah korban yang besar
2. Cara melakukan kejahatan kejam
23
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai
Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu
Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana,
Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004, hal. 18.
24
Nyoman Serikat, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai
Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu
Hukum Pidana) hal. 19.
25
Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah
Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 72.
25
3. Dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas
4. Penetapan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan
Penerapan suatu aturan hukum pidana secara surut sebenarnya
merupakan suatu penyimpangan terhadap asas legalitas yang terdapat di dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP. Sebab jika kita rasakan bahwa berlakunya asas legalitas
seolah-olah hanya untuk melindungi kepentingan dan hak dari pelaku namun
kurang memperhatikan hak dan kepentingan dari korban akibat dari tindak
kejahatan yang dilakukan, sehingga terlihat bahwa akses untuk memperoleh
keadilan bagi korban terutama korban kolektif menjadi terhambat.
Selain itu meski asas legalitas atau principles of legality diakui sebagai
asas yang fundamental oleh Negara-negara yang menggunakan hukum pidana
sebagai sarana penanggulangan kejahatan, namun pemberlakuannya tidak
bersifat mutlak dalam artian bahwa penerapan hukum pidana secara surut
dapat dilakukan jika perbuatan yang dilakukan tersebut bertentangan dengan
hukum tidak tertulis yang menurut hukum pidana internasional disebut dengan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Kemudian pemberlakuan hukum secara surut hanya dapat dilakukan pada
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat.26
Penerapan hukum secara surut dalam hukum Islam ( األثر الرجعي)
dilakukan demi kemashlahatan pelaku dan korban. Jika perbuatan yang
26
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai
Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu
Hukum Pidana) hal. 37.
26
dilakukan sebelum adanya aturan tersebut maka pelaku bisa dihukum dengan
undang-undang atau hukum yang muncul kemudian. Namun dengan syarat
hukuman yang diberikan harus lebih ringan dari hukuman yang telah ada.
Kemudian jika pelaku telah dihukum dengan aturan atau undang-undang yang
lama maka ia tidak boleh dihukum dengan aturan atau hukum yang baru
dibuat. Hal ini dilakukan semata-mata demi menjaga kepentingan baik pelaku
maupun korban.27
Hal ini sejalan dengan dengan apa yang disebutkan di
dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, yaitu “bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.”
Kemashlahatan sendiri merupakan prinsip yang berlaku secara
universal. Setiap manusia yang ada dimuka bumi ini menginginkan
kemashlahatan bagi dirinya. Sehingga tidak salah jika Islam memandang
kemashlahatan sebagai sebuah pertimbangan hukum, terlebih terhadap
perkara-perkara atau peristiwa hukum yang tidak disebutkan di dalam al-
Qur‟an maupun as-Sunnah, akan tetapi meski kemashlahatan dapat dijadikan
sebagai pertimbangan hukum, bukan berarti penggunaan konsep mashlahat
dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Dalam artian ada syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi agar maslahah dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hukum di antaranya:
1. Penerapan maslahah masih dalam ruang lingkup maqasidu syari‟ah, yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
27
Abd al- Qadir „Audah, al- Tasyri’ al- Jina’I al- Islami, hal. 271.
27
2. Maslahat tidak bertentangan dengan al-Qur‟an.
3. Maslahah tidak bertentangan dengan as-Sunnah.
4. Maslahah tidak bertentangan dengan qiyas, dan
5. Penerapan maslahah tidak merusak maslahah lain yang lebih penting.28
Menurut Mushtafa al-Zarqa sebagaimana yang dikutip oleh Fathikun ada
empat alasan yang membolehkan penggunaan konsep maslahah dalam
penerapan hukum secara surut yaitu; 29
1. Untuk mendatangkan kemashlahatan (jalb al-mashalih), dimana penerapan
hukum secara retroaktif bisa dilakukan jika ia dapat menimbulkan
ketentraman dan keadilan bagi kehidupan masyarakat secara umum.
2. Menolak kerusakan (dar’ al-mafasid), untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan seperti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga hukum, maka diperbolehkan penerapan hukum secara retroaktif.
Terlebih jika tindak kejahatan yang dilakukan bersifat luar biasa, korban
yang ditimbulkan dalam jumlah besar ditambah belum adanya undang-
undang yang mengatur tentang tindak pidana tersebut, maka demi
terciptanya keadilan yang sifatnya kolektif maka penerapan hukum secara
retroaktif dianggap relevan dengan metode ini.
3. Untuk menutup peluang ( sadd al-dzari’ah ) bagi terjadinya pelanggaran
di masa yang akan datang. Alasan ini pun masih komprehensif dengan
penerapan hukum secara retroaktif. Meskipun peluang terjadinya
28
Muhammad Said Ramadhan al-buthi, Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at al-
Islamiyah, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997) hal. 248. 29
M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana
Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali, hal. 90.
28
pelanggaran masih sebatas kemungkinan, namun mengingat
perkembangan manusia lebih cepat dari perkembangan hukum maka demi
mencegah timbulnya potensi kejahatan penerapan hukum secara retroaktif
menjadi salah satu solusinya.
4. Perubahan waktu, menurut Abu Zahrah teks undang-undang, meskipun
begitu banyak tetap tidak akan mungkin bisa mencakup semua kejahatan
disertai dengan perkembangannya.30
Mengingat bahwa saat ini
perkembangan kejahatan terus meningkat dan undang-undang yang ada
belum tentu bisa mengaturnya sehingga tidak tercapai efektifitas dalam
menegakan hukum demi tercapainya keadilan, maka penerapan hukum
secara surut dapat dilakukan sebagai jalan keluar.
Jadi baik dalam hukum pidana Indonesia maupun dalam hukum pidana
Islam keberadaan asas legalitas merupakan sesuatu keharusan dengan tujuan
demi mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak si Pelaku tindak pidana.
Akan tetapi keberadaan asas legalitas dianggap hanya berpihak pada
kepentingan pelaku dan kurang mengakomodir kepentingan korban. Sehingga
demi terwujudnya keadilan maka diperbolehkan memberlakukan hukum
secara surut sebagai sebuah upaya untuk memenuhi rasa keadilan bagi para
korban.
30
Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al- Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar
al-Fikr al-Arab, 1977) hal. 159.
29
BAB III
PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM ATURAN
PIDANA INDONESIA
A. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP
Secara garis besar pemberlakuan hukum pidana dibagi menjadi dua jenis
pemberlakuan, pertama, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan
waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat.
Pemberlakuan hukum pidana secara waktu tidak terlepas dari eksistensi
prinsip legalitas yang dianut dalam sistem hukum pidana Indonesia, di mana
proses penegakan hukum harus mengikuti apa yang sudah ditentukan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum pidana. Dimasukannya prinsip legalitas dalam
sistem hukum pidana Indonesia sendiri tidak terlepas dari sejarah kemunculan
asas legalitas itu sendiri yang bermula dari kesewenang-wenangan para raja
pada masa Romawi kuno.
Sehingga demi melindungi kepentingan rakyat dari kesewenang-wenangan
raja maka pada saat itu timbul pemikiran untuk menciptakan sebuah wet yang
di dalamnya ditentukan mana saja perbuatan yang dapat dikatakan sebagai
kejahatan. Sehingga pada akhirnya terlahirlah kalimat nullum delictum nulla
poena sine praevia lege atau tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman pidana
tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu, yang kemudian diadopsi
kedalam pasal 1 ayat (1) KUHP sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa
sebuah perbuatan tidak dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan yang
mengatur terlebih dahulu, kemudian sebuah ketentuan pidana tidak dapat
30
diberlakukan secara surut (retroaktif).1
Menurut Cleiren dan Nijboer sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah
mengatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum tertulis. Tidak seorang
pun dapat dipidana dengan berdasarkan pada hukum kebiasaan, sebab hukum
kebiasaan tidak menentukan hal-hal apa saja yang dapat dipidana
(Strafbaarheid).2
Keberadaan asas legalitas memang diakui mampu melindungi kepentingan
masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Akan tetapi jika dilihat
dari segi keadilan keberadaan asas legalitas hanya memberikan keadilan bagi
individu tertentu saja yang dalam hal ini adalah pelaku tindak pidana. Namun
jika dilihat dari segi keadilan kolektif maka asas legalitas dirasa belum dapat
memenuhi hal tersebut. Sebab bisa saja pelaku kejahatan tersebut dilepaskan
jika perbuatan yang dilakukannya tidak termasuk kedalam kejahatan yang
ditentukan oleh undang-undang. Sehingga dalam hal ini timbul sebuah kesan
bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan karena adanya
peraturan (mala in prohibita), bukan sebaliknya sebuah perbuatan dianggap
sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut tercela (mala in se) sehingga
meski dampak yang timbul dari perbuatan tersebut berakibat fatal, namun jika
belum diatur dalam undang-undang maka perbuatan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai tindak pidana. Bahkan menurut Hazewingkel Suringa
sebagaimana dikutip oleh Muladi, yang berpendapat bahwa dengan adanya
1 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2008) hal. 42.
2 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal. 41.
31
ketentuan legalitas ini bukan hanya pelaku tindak pidana tersebut tidak dapat
dituntut, namun ia (pelaku-pen.) juga tidak dapat dijatuhi pidana.3
Sehingga keberadaan asas legalitas yang dianggap sakral ini akhirnya
menjadi hambatan tersendiri bagi penegakan hukum di Indonesia, sebab jika
melihat perkembangan kejahatan selalu lebih cepat ketimbang perkembangan
hukum, penegakan hukum pidana Indonesia selalu mengalami ketertinggalan
dan kurang responsif. Namun demikian, banyak para ahli yang setuju untuk
menganut asas legalitas, meski prinsip legalitas memiliki kelemahan yaitu
kurangnya memberikan rasa keadilan bagi pihak korban dan lambat dalam
merespon kejahatan. Akan tetapi berbeda menurut pandangan Utrecht, ia
menganggap bahwa dengan dianutnya prinsip legalitas dalam hukum pidana
Indonesia menyebabkan banyaknya perbuatan yang sepatutnya dijatuhi
hukuman pidana (Strafwaarding) tidak dipidana karena adanya prinsip
legalitas tersebut. Ia juga beranggapan bahwa keberadaan asas legalitas
tersebut menjadi penghambat bagi perkembangan hukum pidana adat yang
hidup di masyarakat.4
Akan tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa larangan untuk
menegakan hukum secara surut (retroaktif) bukan hanya ada di dalam hukum
pidana saja, semua bidang hukum pun sebetulnya menganut prinsip non-
retroaktif. Sebagaimana disebutkan dalam Algemene Bepalingen van
Wetgeving (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-Undangan) yang
3 Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia Dalam
Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Depertemen Hukum dan HAM RI, 2003) hal. 17.
4 Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia, hal. 21.
32
dikeluarkan oleh pemerintah Belanda tertanggal 30 April 1847 (Staatsblad
1847 No. 23). dalam pasal 2 disebutkan;
“De wet verbindt allen voor het toekomende en heft geen terugwerkende
kracht (Undang-Undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku
surut)”.5
Hanya saja asas ini kemudian oleh pembuat undang-undang diulangi
kembali dalam Undang-undang Hukum Pidana, sehingga memberikan kesan
bahwa prinsip non-retroaktif hanya ada di dalam hukum pidana saja.
Meskipun asas legalitas atau principles of legality merupakan asas
fundamental yang diakui oleh negara-negara namun berlakunya tidak secara
mutlak, artinya terhadap asas legalitas masih bisa dilakukan penyimpangan
demi menggapai keadilan. Menurut pendirian yang berkembang selama ini
bahwa dalam Ayat (2) dalam pasal 1 KUHP memberikan peluang bagi
penerapan hukum secara retroaktif dengan harapan dapat memberikan
keadilan bagi para korban kejahatan, hal ini tidak terlepas dari redaksi yang
ada di dalam Ayat 2 tersebut yang mengatakan;
“Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.
Maka jika kita melihat redaksi yang disampai dalam Ayat (2) tersebut
secara kontekstual, dapat dipahami bahwa sebuah peraturan perundang-
undangan dapat diberlakukan surut dengan syarat;
1. Adanya perubahan dalam perundang-undangan ketika proses hukum
sedang berlangsung.
5 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, hal. 43.
33
2. Ada aturan yang meringankan bagi terdakwa (Retroactive des lois plus
douces).
Namun menurut Barda Nawawi jika Pasal 1 ayat (2) dianggap memuat
prinsip retroaktif maka anggapan tersebut adalah kurang tepat. Menurutnya
Pasal 1 ayat (2) tidak mengatur tentang prinsip retroaktif, melainkan mengatur
tentang hukum yang berlaku pada masa transisi karena adanya perubahan
dalam perundang-undangan. Jika dalam masa transisi ada 2 pilihan
perundang-undangan maka hendaknya dicarikan hukum yang lebih
meringankan bagi tersangka, jadi di dalam Pasal 1 ayat (2) terkandung asas
subsidiaritas bukan asas retroaktif. Meskipun dikemudian hari muncul
undang-undang yang baru bukan berarti undang-undang yang lama tidak
dipakai lagi. Sebab jika ketentuan yang ada di dalam undang-undang yang
lama lebih meringankan maka masih dapat digunakan. Sehingga menurutnya
kurang tepat rasanya jika menganggap Pasal 1 Ayat (2) berisi prinsip
retroaktif.6
Menurut Bagir Manan Asas “retroaktif” memiliki pengertian yaitu
penerapan ketentuan hukum yang baru terhadap peristiwa hukum sebelum
peraturan perundang-undangan yang baru tersebut ditetapkan. Sedangkan
yang dimaksud dengan “hukum peralihan” adalah tetap menerapkan ketentuan
hukum yang lama terhadap peristiwa hukum yang sudah ada atau yang akan
ada. Tujuan dari penerapan aturan peralihan tersebut ialah untuk mencegah
terjadinya kekosongan hukum, sehingga kepastian dan ketertiban hukum tetap
6 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003) hal. 8-9.
34
terjamin.7 Keberadaan Pasal 1 ayat 2 dalam KUHP memang banyak
mengundang kontroversi, bahkan menurut Hazewingkel Suringa menyatakan
bahwa sebaiknya ayat 2 dalam pasal 1 itu dihapus saja. Sebab meskipun
sebuah hukum boleh dilakukan secara surut dengan syarat hukuman harus
lebih ringan, maka pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan bagi
sesama pelaku kejahatan. Namun menurut Van Hattum, jika ada dua aturan
baru yang lebih ringan dari aturan lama maka hendaknya pada waktu
mengadili terdakwa pengadilan menggunakan aturan-aturan yang lebih ringan
bagi terdakwa dengan alasan retroactive des lois plus douces atau berlaku
surut aturan yang ringan baginya. Sebenarnya apakah maksud dari ketentuan
yang lebih menguntungkan atau lebih ringan tersebut ?.8 Dibagian Penjelasan
KUHPidana Belanda, dijelaskan bahwa ketentuan yang paling
menguntungkan atau gunstige bepalingen tidak hanya berkaitan dengan
dengan pidananya saja, namun juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh
atau penilaian terhadap suatu tindak pidana. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ketentuan yang paling menguntungkan adalah:
1. pengurangan ancaman pidana.
2. penghapusan sifat dapat dipidana suatu perbuatan dengan ketentuan :
a. adanya pencabutan pidana.
b. penambahan bagian (bestanddeel) yang baru dalam rumusan ketentuan
pidana, sehingga memungkinkan perbuatan terdakwa tidak termasuk
lagi sebagai tindak pidana.
7 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004) hal. 55.
8 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal. 39.
35
3. menghapuskan sifat dapat dituntut (vervolgbaarheid).9
Sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Farid, Jonkers berpendapat
bahwa ketentuan-ketentuan yang paling menguntungkan bukan hanya dalam
hal pidana, namun termasuk pula termasuk kedalamnya hal-hal yang berkaitan
dengan penuntutan, pengurangan jangka waktu verjaring, dan keadaan bahwa
perbuatan tersebut merupakan delik aduan.10
Di lain pihak Profesor Simons
berpendapat bahwa ketentuan yang paling menguntungkan meliputi11
:
1. Hal dapat dihukumkan perbuatannya itu sendiri.
2. Bentuk-bentuk pertanggungjawabannya.
3. Syarat-syarat mengenai dapat dihukumnya suatu perbuatan.
4. Jenis hukumannya.
5. Berat-ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan.
6. Pelaksanaan hukumannya itu sendiri.
7. Batalnya hak untuk melakukan penututan.
8. Masalah kedaluwarsanya.
Sedangkan menurut van Hammel bahwa ketentuan-ketentuan yang
menguntungkan bagi terdakwa diantaranya adalah12
:
1. Semua ketentuan dalam hukum material yang mempunyai pengaruh
terhadap penilaian menurut hukum pidana mengenai suatu perilaku.
9 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Press, 2012) hal. 277-278.
10
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 152.
11
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997) hal. 172.
12
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, hal. 172.
36
2. Pertanggung jawaban menurut hukum pidana.
3. Syarat-syarat tambahan mengenai hak untuk melakukan penuntutan dan
mengenai hak untuk menjatuhkan hukuman.
4. Jenis hukumannya.
5. Lamanya hukuman yang telah dijatuhkan.
6. Ketentuan-ketentuan mengenai delik aduan.
7. Ketentuan-ketentuan mengenai penuntutan menurut hukum pidana.
8. Ketentuan-ketentuan mengenai hukuman.
Terlepas dari pandangan para ahli hukum, penerapan penerapan hukum
secara retroaktif masih memungkinkan untuk dilakukan terlebih jika
berdasarkan pada prinsip keadilan, namun tentunya masih tetap berdasarkan
pada ketentuan dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP, yaitu harus diterapkan hukuman
yang lebih ringan. Menurut pendapat Muladi sebagaimana dikutip oleh
Mahrus Ali dalam bukunya, mengatakan bahwa penerapan hukum secara
retroaktif dalam hukum pidana juga berkaitan dengan hukum tata negara
darurat, dimana penerapannya hanya dapat dilakukan jika negara dalam
keadaan darurat, pemberlakuannya hanya dilakukan untuk wilayah tertentu,
dan waktu pemberlakuaannya pun hanya bersifat temporer bukan permanen
serta harus disebutkan di dalam Undang-Undang. Kedua, penerapan hukum
secara retroaktif tidak boleh bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 2 KUHP,
artinya karena sifatnya yang darurat hukum boleh diterapkan secara surut
namun dengan syarat hukumannya tidak memberatkan bagi tersangka atau
37
terdakwa, ketiga, tidak boleh menyimpang dari Asas Lex Certa sehingga tidak
menimbulkan multiinterpretasi dan dapat menimbulkan kesewenang-
wenangan oleh penguasa. 13
Jika memang penerapan hukum secara surut merupakan pelanggengan
lex talionis oleh pemerintah terhadap pelaku kejahatan, dan asas legalitas
merupakan penangkalnya dengan tujuan melindungi hak dan kepentingan dari
tersangka maka hal tersebut dirasa kurang tepat. Sebab jika kita berbicara
tentang hak, maka bukan hak dari tersangka saja yang harus kita penuhi
namun kita juga perlu memperhatikan hak dari para korban dan keluarganya
yang mencari keadilan, sehingga pada akhirnya terciptalah sebuah
keseimbangan.
Menurut James People sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali
mengatakan bahwa, “non-retroactivity is an important principle, but it does
not deserve the status of a fundamental human rights. Perlindungan terhadap
penuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut adalah sesuatu yang penting,
tetapi ia tidak layak mendapat status sebagai hak asasi yang sifatnya
fundamental. Jika memang hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang
berlaku surut merupakan bagian dari hak individual, maka sifatnya hanya hak
biasa saja. Sebab jika ia dianggap sebagai hak fundamental maka ia
bertentangan dengan fakta bahwa hak masyarakat umum lebih penting dari
pada hak individu.14
13
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hal. 172
14
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hal. 77.
38
Dengan demikian jika melihat pada penerapan hukum secara retroaktif
merupakan suatu keniscayaan namun harus disertai dengan alasan dan
batasan-batasan yang jelas dalam menerapkan prinsip retroaktif tersebut.
Bahkan menurut Muladi ia mengatakan bahwa penerapan hukum secara
retroaktif dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan
kasus kejahatan HAM berat atau gross violation of human rights dengan
didasarkan pada asas keadilan.
B. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana Tertentu
1. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Pelanggaran HAM Berat.
Tujuan dari dibentuknya pengadilan HAM di Indonesia adalah
untuk menyelesaikan berbagai kasus kejahatan HAM yang pernah terjadi
di masyarakat pada masa lampau. Hal itu menandakan bahwa pengadilan
HAM muncul setelah adanya tindak kejahatan yang telah terlebih dahulu
dilakukan oleh pelaku. Dan itu juga mengindikasikan bahwa pengadilan
HAM ad hoc memiliki kewenangan untuk memberlakukan hukuman
secara surut atau retroaktif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa “
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc”15
, tentunya hal ini dapat dikatakan sebagai
pelanggaran terhadap prinsip legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
telah diakui oleh Negara Indonesia.
15
Lihat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
39
Namun demikian menurut Oentoeng Wahjoe terhadap kejahatan
HAM berat dapat diterapkan asas retroaktif dengan berdasarkan pada
hukum internasional. Kemudian penerapan hukum secara retroaktif juga
merupakan implementasi atau penerapan dari apa yang sudah ditentukan di
dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan
bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya seseorang harus tunduk
dan patuh pada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh undang-
undang. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk menjamin hak
dan kebebasan orang lain demi tercapainya sebuah keadilan yang sesuai
dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu tatanan masyarakat yang demokratis. Ia pun menambahkan bahwa
karena pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan luar biasa (extra-
ordinary crime) dan khusus yang sebulumnya tidak diatur dalam KUHP
sehingga dengan kekhususannya ini, maka penangananya pun boleh
menggunakan cara-cara yang khusus atau menyimpang dari ketentuan
yang diatur dalam KUHP.16
Begitupun menurut Romli, ia mengatakan bahwa penyelesaian
terhadap kasus pelanggaran HAM berat telah mengesampingkan asas non-
retroaktif, hal ini dibuktikan dengan adanya penyimpangan dalam praktek
penyelesain kasus HAM berat di Pengadilan Nuremburg dan Tokyo yang
kemudian dilanjutkan dengan diadakannya Pengadilan HAM ad hoc
Tribunal untuk bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda dengan
16
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasiol : Perkembangan Tindak Pidana
Internasional dan Proses Penegakannya, (Jakarta : Erlangga, 2014) hal. 179.
40
menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pengadilan
Nuremburg yang telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional.
Maka dengan berdasarkan pada preseden hukum internasional tersebut
maka dibentuklah pengadilan HAM ad hoc di Indonesia yang diatur dalam
UU No. 26 Tahun 2000.17
Namun menurut Roy S. Lee sebagaimana yang dikutip oleh Eddy,
mengatakan bahwa ketentuan legalitas yang terkandung di dalam Statuta
Roma Pasal 24 ayat 1 memilik unsur politis karena sebagian besar Negara
di antaranya memiliki pengalaman kelam akan masa lalu dan harus
memberikan pengampunan atau solusi yang serupa dalam upaya
rekonsiliasi nasional. Sehingga pertanggung jawaban pidana menurut
pandangan hukum internasional tidak bisa diberlakukan surut18
.
Akan tetapi lain halnya menurut Cherif Bassiouni yang
mengatakan jika dalam konteks hukum nasional prinsip legalitas memang
merupakan prinsip fundamental yang mengandung larangan ex post facto
law, retroaktif maupun analogi, sehingga aturan hukum pidana
menurutnya tidak boleh bersifat ambigu. Akan tetapi lainnya hal jika
dilihat dari sudut hukum pidana internasional yang sumbernya berasal dari
kebiasaan internasional, prinsip legalitas tidak dapat diterapkan seketat
mungkin, sebagaimana ia diterapkan dalam hukum nasional.19
17 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional 2, (Jakarta: Hecca Mitra
Utama, 2004) hal. 56.
18 Eddy O,S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Erlangga, 2012)
hal. 34-35.
19
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, hal. 36.
41
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip legalitas memiliki
kaitan yang sangat erat dengan asas non-retroaktif. Hal ini jelas terlihat
dalam dokumen-dokumen yang membahas tentang HAM mulai dari
Magna Charta yang lahir di Inggris tahun 1215, Bill of Rights tahun 1689,
Bill of Rights milik Amerika Serikat tahun 1789 dan Declaration des
Droits Del L’Nomme et du Citoyen (Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia
dan Warga Negara) milik Perancis tahun 1789. Bahkan di dalam
Declaration des Droits Del L’Nomme et du Citoyen dikatakan bahwa,
“Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-
undang yang ada sebelumnya”. Sehingga dapat dikatakan bahwa
penerapan hukum secara surut telah merampas Hak Asasi Manusia yang
sifatnya memang tidak bisa dikesampingkan (non-derogable rights).20
Menurut Suparman Marzuki asas legalitas memang mempunyai
tingkat efektifitas yang tinggi dalam melindungi kepentingan rakyat dari
kesewenang-wenangan penguasa, akan tetapi kurang efektif dalam
merespon pesatnya perkembangan kejahatan. Asas legalitas yang
mengatakan bahwa sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan
jika disebutkan dalam undang-undang ini dianggap kurang efektif dalam
melindungi kepentingan kolektif, sebab pelaku kejahatan yang
kejahatannya tidak disebutkan dalam undang-undang maka bisa
dibebaskan.21
Serupa dengan pendapat Suparman, Deny Setyo mengatakan
20 Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Kompas,
2006) hal. 146-147.
21
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia: melanggengkan impunity, (Jakarta:
Erlangga, 2012) hal. 57.
42
asas legalitas sama sekali tidak memberikan perlindungan terhadap
kepentingan korban. Selain itu asas legalitas pun sama sekali tidak berdaya
untuk menutut kerugian luar biasa, yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan
yang sifatnya luar biasa pula (Extra ordinary crime) hanya karena
perbuatan tersebut belum atau tidak dilarang oleh undang-undang pidana.22
Sehingga dengan adanya kelemahan yang dimiliki oleh asas
legalitas tersebut, maka beberapa ahli menganggap perlunya
memberlakukan hukum secara surut (retroaktif) dalam menangani tindak
kejahatan yang tentunya disertai dengan berbagai pertimbangan yang di
antaranya23
:
a. Penerapan asas retroaktif semata-mata diterapkan hanya untuk
menegakkan prinsip-prinsip keadilan.
b. Untuk mencegah terulangnya perbuatan yang sama.
c. Bertujuan untuk mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan.
d. Untuk mengisi kekosongan hukum.
Suparman pun menambahkan meski Undang-Undang Dasar 1945
memberi peluang bagi pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif),
namun bukan berarti Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengutamakan
asas non-retroaktif. Menurutnya para pemerhati HAM secara umum
berpendapat bahwa pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) tidak
22 Denny Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah
Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 6.
23
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia.., hal. 58.
43
boleh dilakukan, kecuali sudah memenuhi empat syarat kumulatif yaitu24
:
a. Kejahatan berupa HAM berat atau kejahatan yang tingkat
kekejamannya dan destruksinya setara dengannya.
b. Peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional.
c. Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen.
d. Keadaan hukum nasional Negara bersangkutan tidak dapat dijalankan
karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup untuk
menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang
tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Dengan demikian jika melihat dari penjabaran di atas maka
setidaknya bisa diketahui bahwa dalam menangani kasus pelanggaran
HAM berat, proses penerapan hukumnya boleh dilakukan secara surut atau
retroaktif yang tentunya harus dibatasi dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana disebutkan di atas dan dengan tujuan semata-mata untuk
menciptakan keadilan dan mencegah terjadinya impunitas dan imunitas
bagi para pelaku kejahatan HAM berat.
2. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana
Terorisme
Jika dalam menangani kasus kejahatan HAM berat dapat dilakukan
penerapan hukum secara surut, maka lain halnya dalam kasus tindak
pidana kejahatan terorisme. Masalahnya adalah Undang-Undang No. 16
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang
24 Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia.., hal. 61.
44
Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di bali yang terjadi pada
tanggal 12 Oktober 2002, resmi dibatalkan oleh MK.
Pembatalan tersebut dilakukan setelah adanya upaya Judicial
Review yang dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir beserta kuasa
hukumnya terhadap Undang-Undang No. 16 tahun 2003 atas Pasal 28 I
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menurutnya mengandung
pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) sehingga bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas legalitas yang sudah diakui
secara universal. Sehingga akhirnya lima dari Sembilan hakim MK
mengabulkan permohonan judicial review tersebut dengan dasar
pertimbangan, Pertama, menurut lima hakim tersebut Undang-Undang
No. 15 Tahun 2003 tidak perlu diberlakukan secara surut, karena baik
unsur maupun jenis kejahatan yang terdapat dalam tindak pidana terorisme
tersebut dapat dihukum dengan menggunakan instrument undang-undang
yang telah ada dan dapat dimasukan ke dalam jenis kejahatan yang
hukumannya dapat berupa pidana berat. Kedua, kejahatan terorisme belum
dapat dikatakan sebagai extra ordinary crime sehingga tidak perlu
diterapkan hukum secara surut dan dapat ditangani dengan instrument
undang-undang yang sudah ada. Ketiga, jika memang terorisme melanggar
batas-batasan HAM, namun penanganannya tidak boleh bertentangan
dengan HAM, Keempat, pembentukan undang-undang terorisme semata-
mata hanya berdasarkan pada pandangan politik (Political Judgement).
45
Namun demikian tidak semua hakim MK mengabulkan permohonan
tersebut, empat orang hakim MK yang terdiri dari Maruarar Siahaan, I
Dewa Gede Palguna, Prof. Natabaya, Harjono mengajukan dissenting
opinion yang isinya antara lain:
a. Penerapan hukum secara surut dalam kasus bom Bali sangatlah tepat
karena baik motif dan target sangatlah jelas.
b. Kejahatan terorisme telah menjadi perhatian masyarakat dunia, di
mana korban yang ditimbulkan bukan hanya dari satu Negara namun
dari banyak Negara. Selain itu imbas yang ditimbulkan bukan hanya
dari banyak korban jiwa, namun berbagai infrastruktur umum,
lingkungan hidup dan sumber-sumber ekonomi juga mengalami
kerusakan parah ditambah dengan tergoncangnya situasi social dan
politik yang dapat mengganggu eksistensi Negara.
c. Negara wajib melindungi warganya dan integritas bangsa dari berbagai
kejahatan, baik dari kejahatan nasional maupun transnasional.
d. Para pelaku tahu dan sadar bahwa perbuatan mereka merupakan suatu
tindak kejahatan yang dapat dihukum dengan undang-undang, dan
mereka pun tahu dan sadar bahwa kejahatan dilakukan ditujukan untuk
bangsa lain dengan penuh kebencian, sehingga dapat dikatakan bahwa
terorisme merupakan sebuah perbuatan immorality.25
Pendapat para hakim yang mengajukan dissenting opinion ini didasarkan
pada prinsip “aut punere aut de dere, nullum crimen sine poena” atau
25 Dikutip dari artikel “Putusan MK dengan “Dissenting Opinion”, Jurnal Berita
Mahkamah Konstitusi, (No. 6 Tahun 2004 hal. 9). Artikel diakses pada tanggal 2 April dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
46
setiap kejahatan tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa adanya hukuman.
Pada kesempatan itu dihadirkan juga dua orang saksi ahli yang pada
akhirnya kesaksian mereka mengukuhkan pendapat dari lima hakim yang
mengabulkan permohonan pemohonan, yaitu Dr. Maria Farida Indarti dan
Prof. Harun Alrasyid, dimana Maria Farida berpendapat bahwa penerapan
Pasal 28J ayat (2) UUD yang berisikan kemungkinan untuk
mengesampingkan hak asasi manusia tidak dapat dilakukan kepada Pasal
28I ayat (1), hal ini disebabkan adanya anak frasa “dalam keadaan apa
pun”. Sehingga Pasal 28J tidak dapat dapat dikatakan sebagai lex specialis
bagi Pasal 28I ayat (1). Hal yang senada pun disampaikan oleh Prof.
Harun Alrasyid, dimana Pasal 28J ayat (2) tidak bisa disebut sebagai
aturan khusus, sehingga pada akhirnya harus ditafsirkan bahwa prinsip
non-retroakif merupakan suatu prinsip yang berlaku mutlak.26
Meskipun di dalam putusan MK tindak pidana terorisme tidak dapat
dikategorikan dalam tindak pelanggaran HAM berat atau gross violation
on human rights maupun tindak pidana yang butuh penanganan khusus
(extra ordinary crime) namun jika melihat kembali pada konvensi-
konvensi internasional maka tindak pidana terorisme dapat pula dikatakan
sebagai tindak pidana internasional, sehingga pelakunya memungkinkan
dihukum dengan menggunakan hukum secara surut. Hal ini tersebut di
dasarkan pada latar belakang pembentukan Pengadilan HAM Nurenberg.
Selain itu dengan melihat pada dampak dan sifat dari tindak pidana
26 Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum
Nasional Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hal. 178.
47
terorisme tersebut seharusnya MK melihat kepada langkah yang diambil
dalam Pengadilan HAM Nurenberg dalam menyelesaikan kasus tindak
pidana terorisme yaitu mengesampingkan asas legalitas demi memberikan
keadilan bagi para korban, meskipun hal tersebut dianggap tidak adil bagi
pelaku kejahatan terorisme.
Disamping alasan bahwa terorisme bukan termasuk dalam pelanggaran
HAM berat maupun extra ordinary crime, keberadaan Pasal 28 I ayat (1)
dan Pasal 28 J ayat (2) dalam UUD 1945 yang mengundang banyak
perdebatan. Jika menurut Maria Farida dan Harun al-Rasyid Pasal 28 I
ayat (1) tidak dapat dilakukan penyimpangan terhadapnya dan Pasal 28 J
ayat (2) bukanlah lex specialis dari Pasal 28 ayat (1). Maka lain halnya
menurut Ari Wibowo dalam bukunya “Hukum Pidana Terorisme” yang
mengatakan bahwa Pasal 28J ayat (2) merupakan pengecualian terhadap
Pasal 28I ayat (1). Meskipun jika dilihat secara sekilas bahwa kedua pasal
tersebut saling bertentangan namun jika dilihat secara seksama maka akan
nampak kesinambungan antara Pasal 28J dengan Pasal 28I, sebab
menurutnya kedua pasal yang ada di dalam UUD 1945 tersebut memiliki
kesamaan jika dibandingkan dengan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 3 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dimana dalam Pasal 4 UU No. 39
Tahun 1999 melarang adanya penuntutan dengan menggunakan hukum
yang berlaku surut akan tetapi di dalam penjelasannya hak tersebut dapat
dikesampingkan jika berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM berat yang
48
merupakan tindak pidana kemanusiaan, dan di lain sisi Pasal 3 ayat (1) UU
No. 24 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pun mengatakan bahwa
pelanggaran terhadap HAM berat dapat dihukum melalu pengadilan HAM
ad hoc, meskipun telah terlebih dahulu terjadi sebelum munculnya UU No.
24 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.27
Sehingga menurut Ari
Mahkamah Konstitusi seharusnya melihat UUD 1945 secara kesuluruhan
dan mempertimbangkan Pasal 28J ayat (2) sebagai pengecualian terhadap
Pasal 28I ayat (1).
Sedangkan dilain pihak pemerintah yang pada saat itu berkedudukan
sebagai tergugat mengatakan bahwa penerapan prinsip retroaktif dalam
Undang-Undang Terorisme tersebut didasarkan pada pandangan bahwa
tindak pidana terorisme bukanlah kejahatan biasa, akan tetapi telah
dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) dan
jika melihat jumlah korban yang ditimbulkan dapat dikategorikan kedalam
tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Bukan hanya berdasarkan pada pertimbangan jumlah korban saja, namun
dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme ini dapat
berpengaruh pada kondisi social, ekonomi dan politik di Indonesia. Maka
dengan dasar pertimbangan tersebut maka pemerintah membuat Undang-
Undang Terorisme yang dalam penerapannya dapat diberlakukan secara
surut.
Akan tetapi dengan adanya uji materi yang membatalkan UU No. 16
27 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012) hal. 99.
49
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme,
maka penggunaan undang-undang a quo harus berakhir. Namun masih
menyisakan sebuah pertanyaan, bagaimana nasib para pelaku baik yang
masih berada dalam proses persidangan maupun yang sudah in kracht ?
Maka menurut Yusril Ihza Mahendra bahwa putusan yang telah ditetapkan
oleh pengadilan kepada para pelaku dengan menggunakan UU No. 16
Tahun 2003 ini tetap sah dengan berdasarkan pada Pasal 58 undang-
undang MK. Akan tetapi lain halnya jika kasus tersebut masih berada pada
proses persidangan, namun belum mencapai tahap pembacaan tuntutan
maka UU No. 16 Tahun 2003 dapat dikesampingkan dan selanjutkan
dapat dituntut dengan menggunakan tuntutan subsider yang didasarkan
pada KUHP dan UU No. 12 Tahun 1951dan jika masih dalam tahap
penyidikan maka UU No. 16 Tahun 2003 akan dikesampingkan secara
keseluruhan.28
Menurut pendapat Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh
Rony, mengatakan bahwa meski pelaku terorisme dapat lepas dari jeratan
UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi mereka tidak dapat lepas dari jeratan
KUHP dan UU No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api yang ketentuan
hukumannya juga sama beratnya yaitu sampai pada ketentuan tertinggi,
hukuman mati.29
Maka dengan adanya penjelasan di atas dapat dipahami bahwa meski para
pelaku tindak pidana terorisme tidak dapat dituntut dengan menggunakan
28 Tb. Rony Rahman, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, hal. 130.
29
Tb. Rony Rahman, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, hal. 132.
50
Undang-Undang No. 16 Tahun 2003, namun mereka tetap dapat dituntut
dengan menggunakan Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata
Api dengan hukuman yang juga tak kalah beratnya. Sehingga dengan
demikian tidak ada istilah kekosongan hukum bagi tindak pelaku tindak
pidana terorisme.
C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam RKUHP
Kemudian di dalam upaya pembaharuan tersebut dilakukan banyak sekali
perubahan-perubahan salah satunya adalah perubahan yang terjadi di dalam
Pasal 1 yang selalu berkaitan dengan asas legalitas. Dimana pada Pasal 1 ayat
(1) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2010, asas
legalitas terlihat masih begitu absolut dan rigid, di mana dikatakan bahwa
seseorang tidak dapat dipidana atau dikenakan tindakan manakala perbuatan
tersebut tidak ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu terjadi. Namun jika kita
melihat pada ayat-ayat selanjutnya dari pasal 1, maka akan ditemui perubahan
mencolok. Jika di dalam KUHP (wetboek van strafrecht ) yang sekarang kita
pakai pada ayat 2 mengatur perihal pemberlakuan hukum secara surut
bersyarat (Retroaktif Bersyarat), akan tetapi pada Pasal 1 ayat (2) RKUHP
berisi larangan keras terhadap penggunaan analogi dalam menetapkan suatu
tindak pidana. Sedangkan ayat yang membahas tentang pemberlakuan hukum
secara surut dipindahkan kedalam Pasal 2 ayat (1) RKUHP 2010. Maka
dengan dicantumkannya pelarangan penggunaan analogi nampaknya pembuat
undang-undang ingin menggali lebih dalam intisari dari prinsip legalitas yang
selama ini menjadi asas fundamental.
51
Asas legalitas yang selama ini kita gunakan memang memiliki tujuan
untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
pemerintah kepada masyarakat. Maka dengan adanya prinsip legalitas yang
salah satu ajarannya melarang adanya pemberlakuan surut atau non-
retroactive guna melindungi terjadinya political revange atau politik balas
dendam terhadap kejahatan dimasa lalu, kemudian ditambah dengan adanya
larangan penggunaan analogi guna mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap
suatu perbuatan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa arbitrium Judicis.
Di samping itu prinsip legalitas juga mengharuskan bahwa sebuah
perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika ia memang sebutkan
dalam peraturan perundang-undangan sebagai tindak pidana, hal ini tidak
terlepas dari sistem hukum Negara civil law yang menganut system kodifikasi,
disamping hukum pidana harus merupakan hukum undang-undang dan harus
adanya pembatasan kebebasan hakim. Akan tetapi dengan adanya sistem
kodifikasi, hukum harus berdasarkan pada undang-undang dan kebebasan
hakim dibatasi, pada akhirya memberikan peluang bebas dari hukuman bagi
kejahatan-kejahatan yang sifatnya extra ordinary yang memang tidak
disebutkan dalam undang-undang sebelumnya, sehingga perbuatan tersebut
patutnya dipidana (strafwaardig) karena melanggar hukum (onrechtmatige)
namun karena perbuatan tersebut tidak dilarang di dalam undang-undang,
maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang dapat
dipidana (strafbaar).30
Hal ini tentunya dapat menimbulkan kekosongan
hukum akibat adanya system kodifikasi yang dianut oleh Negara civil law.
30 Deny Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana : Sejarah
Asas legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 66.
52
Bahkan menurut pendapat Sunaryati Hartono sebagaimana dikutip oleh
Yudha Bakti dalam bukunya mengatakan bahwa dalam sistem kodifikasi pun
masih sering ditemukan kekosongan hukum atau terdapat hal-hal yang belum
diatur dalam undang-undang dan disatu sisi penegakan hukum akhirnya
semakin jauh dari keadilan dikarenakan terlalu dominannya Undang-undang
dan kodifikasi.31
Namun nampaknya pembuat undang-undang memahami
betul bahwa untuk mengantisipasi timbulnya ketidakadilan maka disertakan
juga ayat (2) dalam pasal 1 tersebut yang berbunyi:
“bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan
yang paling menguntungkannya.”
Munculnya ayat ini mengundang berbagai perdebatan dimana ayat ini
dianggap menyimpangi prinsip legalitas karena berisikan prinsip berlaku surut
(retroaktif) di dalamnya. Karena salah satu dari asas yang dilahirkan oleh
prinsip legalitas adalah adanya larangan non-retroaktif atau larangan berlaku
surut bagi suatu undang-undang.
Berbagai pendapat muncul apakah asas yang terkandung dalam ayat (2)
pasal 1 ini berisikan prinsip berlaku surut atau hanya merupakan aturan
peralihan saja sehingga menimbulkan asas subsidiaritas. Nyoman Serikat dan
Barda Nawawi menganggap bahwa ayat (2) diatas hanya merupakan suatu
aturan peralihan saja sehingga hanya memunculkan asas subsidiaritas saja,
bukan asas “retroaktif”. Sedangkan di lain pihak Moeljatno berpendapat
bahwa Pasal 1 ayat (2) mengandung unsur retroaktif bersyarat.
31 Yudha Bakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni,
2000) hal. 51.
53
Perdebatan ini di dasarkan pada perbedaan pemahaman terhadap frase
“Perubahan dalam perundang-undangan” dan frase “ketentuan yang paling
menguntungkan”. Maka terhadap frase “perubahan dalam perundang-
undangan”, setidaknya terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu padangan
teori formal dan pandangan kelompok teori materil. Kelompok paham formal
yang di dalamnya terdiri dari Prof. van Hammel, Prof. Simmons dan Prof.
Zevenbergen berpendapat, bahwa maksud dari “Perubahan dalam perundang-
undangan” sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 1 ayat (2) ialah hanya
perubahan dalam perundang-undangan hukum pidana atau perubahan dalam
strafwetgeving-nya saja.32
Sedangkan menurut R. Soesilo teori materil perubahan dalam
perundangan-undangan terjadi, jika ada perubahan-perubahan yang sesuai
dengan perubahan perasaaan hukum. Jadi perubahan tidak hanya terjadi di
dalam bidang hukum pidana saja, namun juga dalam bidang perundang-
undangan lainnya, seperti dalam bidang hukum perdata. Teori ini merupakan
teori yang paling banyak dianut dalam praktek pidana di Indonesia ketimbang
teori formil.33
Kemudian jika kita cermati bahwa Pasal 1 ayat (2) memiliki
keterikatan dengan Pasal 1 ayat (1), dimana jika di dalam ayat (1) ada frase
“ketentuan perundang-undangan pidana” dan di ayat (2) terdapat frase
“Perubahan dalam perundang-undang”, maka terdapat benang merah yang
menyatukan kedua ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan perubahan
dalam perundang-undangan ialah perubahan dalam perundang-undangan
32 P.A.F. Lamintang dan F. Theojunior Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) hal. 159.
33 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
(Bogor: Politea, tanpa tahun terbit) hal. 45.
54
pidana saja. Sedangkan menurut Andi Hamzah penggunaan kata “perundang-
undangan pidana” menunjukan bahwa perubahan tidak hanya terjadi dalam
undang-undang formil saja, namun juga meliputi undang-undang materil
seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan lain-lain yang
kesemuanya berkaitan dengan perumusan delik dan ancaman pidana.34
Akan tetapi jika kita melihat kembali kepada rumusan Pasal 1 ayat (1)
tepatnya pada kata “perundang-undangan” maka tidak dijelaskan secara rinci
maksud dari kata tersebut sebagaimana yang kami jelaskan di atas. Namun
lain halnya jika kita melihat Pasal 1 ayat (1) yang ada di dalam Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2013, pada bagian Penjelasannya
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu
Undang-Undang dan Peraturan Daerah.35
Banyak perubahan mendasar yang terjadi di dalam Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana diantaranya pelarangan penggunaan analogi
secara eksplisit yang pada dasarnya merupakan intisari dari prinsip legalitas,
kemudian adanya penerapan hukum yang hidup dimasyarakat yang dahulu
sempat diterapkan. Menurut Marcus Priyo Gunarto, dengan adanya ketentuan
penerapan hukum yang hidup di masyarakat, maka telah terjadi pergeseran
dalam penerapan asas legalitas, yang semulanya sebatas pada aspek legalitas
formal kemudian diperluas sampai kepada aspek legalitas materiil.36
34 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hal. 44.
35 Lihat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2013,Bag. Penjelasan,
hal. 212.
36
Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum (Vol 24, Nomor 1, 2012)
hal. 88.
55
Semua usaha ini dilakukan dengan harapan dapat tercapai keadilan yang
seadil-adilnya. Namun demikian keberadaan asas legalitas masih dirasa
kurang memberikan keadilan, apalagi jika disangkutkan dengan kepetingan
korban dan kepentingan umum. Maka keberadaan Pasal 3 ayat (1) dalam
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan
penyimpangan dari prinsip legalitas yang saat ini tercantum di dalam Pasal 1
ayat (2) KUHP tetap dipertahankan dalam RKUHPidana tersebut meskipun
dengan redaksi pasal yang sedikit berbeda. Jika di dalam KUHP Pasal 1 ayat
(2) di katakan bahwa;
“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan
yang paling menguntungkan.”
Maka di dalam RKUHPidana Pasal 3 ayat (1) mengatakan bahwa;
“Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan
sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-
undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat.”
Perbedaan itu terletak pada penegasan terhadap “ketentuan yang paling
menguntungkan”, dimana dalam RKUHP 2013 pembuat undang-undang
menegaskan tetap berlakunya ketentuan hukum yang lama manakala hukum
yang lama tersebut lebih memberi mashlahat bagi pelaku tindak pidana,
meskipun telah ada ketentuan hukum yang baru. Adanya ketentuan masih
berlakunya hukum yang lama ini didasarkan pada sulitnya menentukan
hukuman mana yang lebih ringan bagi pelaku. Sebab bisa saja hukum yang
lama memiliki ancaman pidana yang lebih berat namun tidak disertai dengan
56
adanya hukuman tambahan, kemudian di sisi yang lain hukum yang baru
memang memberikan hukuman yang lebih ringan namun diberlakukan pula
hukuman tambahan terhadap kejahatan yang dilakukan. Maka jika ditemukan
kondisi semacam ini tentunya tidak mudah untuk menentukan mana ketentuan
hukum yang lebih menguntungkan. Hezewingkel Suringa pun mengusulkan
untuk kembali kepada ketentuan yang lama yaitu ketentuan lex temporis
delicti seandainya ditemui kondisi seperti ini.37
Dengan adanya ketentuan
masih dapat diterapkannya hukum yang lama, dapat dikatakan menyimpangi
prinsip umum sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu
peraturan baru meniadakan aturan hukum yang lama.38
Maka dapat diketahui bahwa pemberlakuan hukum secara surut dapat
dilakukan dengan dengan syarat bahwa hukum baru yang nantinya akan
diberlakukan harus lebih ringan dari pada ketentuan hukum yang lama, akan
tetapi jikalau ketentuan di dalam hukum yang lama bersifat lebih ringan dari
pada hukum yang baru maka hukum yang lama tetap bisa diberlakukan.
Adapun dalam proses pemberlakuan hukum secara surut hanya baru
diberlakukan pada kasus pelanggaran HAM Berat, di mana proses penegaknya
masih mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang sudah ada, di samping itu proses
pemberlakuan hukum secara surut tersebut harus dilakukan secara limitatif
dan restriktif pada kasus, tempat dan waktu-waktu tertentu.
37 F.A. Lamintang, F. TheoJunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,
hal. 175.
38
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, hal. 55.
57
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan hukum secara surut
harus memenuhi berberapa unsur, pertama, hukum yang baru harus lebih
ringan dari hukuman yang lama, kedua, hanya diterapkan bagi tindak pidana
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, ketiga, proses penerapannya
harus dilakukan secara limitatif dan restriktif.
58
BAB IV
PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM PUTUSAN
PENGADILAN
A. Praktik Permbelakuan Secara Surut Dalam Putusan Pengadilan HAM
Ad-Hoc
1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 065/PUU-II/2004
Pada tanggal 17 September 2004 Abilio Jose Osorio Suares yang
sebelumnya telah menjalani hukuman penjara selama 3 tahun karena telah
melakukan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan terhadap
masyarakat Timor Timur yang pro kemerdekaan, dengan diwakili oleh
kuasa hukumnya mendaftarkan permohonan judicial review Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ke
Mahkamah Konstitusi yang kemudian diterima oleh Kepaniteraan pada
tanggal 18 September 2004.
Dalam permohonannya, Abilio yang diwakili oleh para kuasa
hukumnya ingin mengajukan uji materi terkait pemberlakuan Undang-
undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
dengan alasan-alasan:
a. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang a quo telah melanggar hak
konstitusinya sebagai warga Negara karena pasal tersebut dianggap
bertentangan dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 karena
diberlakukan secara surut.
b. Dengan mengambil pendapat Maria Farid yang mengatakan bahwa
59
meski ada ketentuan dalam Pasal 28J yang memiliki kemungkinan
dapat memberikan pembatasan terhadap Pasal 28I, namun hal itu tidak
dapat dilakukan. Sebab di dalam Pasal 28I ada frasa yang berbunyi
“dalam keadaan apapun”. Sehingga meski dalam kondisi darurat pun
pemberlakuan hukum secara surut tidak dapat dilanjutkan.
c. Pemberlakuan hukum secara surut lebih kental dengan nuansa politik
balas dendam (political revenge), sehingga dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan.
d. Pengadilan Pidana Internasional (ICC) berdasarkan pada Statuta Roma
1998 juga menolak penerapan hukum secara surut. Hal tersebut
disebutkan di dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 dari Statuta Roma.
e. Kalaupun ingin menerapkan hukum secara surut, maka hendaklah
sesuai dengan asas ketatanegaraan “abnormal recht voor abnormal
tijden” (hukum darurat untuk kondisi darurat).
f. Penerapan Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan prinsip legalitas
yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana dan juga
bertentangan dengan Ketentuan Umum Perundang-undangan atau
Algemene Beppalingen van Wetgeving yang dikeluarkan oleh
pemerintah Belanda dengan pada tanggal 30 April 1847, bahwa, “De
wet verbindt aleen voor het toekomende en heft geen terug werkende
kracht atau Undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan
tidak berlaku surut.
60
g. Bahkan menurut Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dalam Pasal 18 ayat (2) dikatakan bahwa,”Setiap orang
tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada
sebelum tindak pidana itu dilakukan”.
h. Terakhir, sebuah undang-undang secara materiil tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang yang memilik kedudukan lebih
tinggi di atasnya. Hal ini sebagaimana ditentukan oleh TAP MPR
No.III/MPR/2000 Pasal 4 ayat (1).
Selain mendengarkan keterangan dari pihak pemohon, Mahkamah
Konstitusi juga mendengarkan keterangan dari pihak pembuat undang-
undang yaitu pemerintah dan DPR-RI. Menurut Pemerintah ada beberapa
alasan yang dapat dijadikan dasar bagi pembentukan Pasal 43 ayat (1) UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, di antaranya:
a. Tindak pidana pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary
crime yang memiliki sifat sistematis dan terkoordinasi dengan baik
sehingga sulit untuk dibuktikan. Sedangkan KUHPidana hanya
mengatur tentang ordinary crime saja sehingga untuk menangani
tindak pidana pelanggaran HAM berat dibutuhkan Undang-undang
khusus.
b. Mengenai permasalahan pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif)
hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1) Dilakukan secara khusus dan tertentu.
61
2) Limitatif dan restriktif.
3) Tidak memberatkan terdakwa.
4) Diatur secara tegas dan tidak multitafsir.
c. Secara sosiologis pemerintah berpandangan bahwa kasus tindak pidana
pelanggaran HAM berat jika tidak segera diselesaikan maka akan
menjadi “burning issues” yang dapat mengganggu stabilitas negara.
d. Adanya desakan dari dunia internasional melalui Resolusi Dewan
Keamanan PBB menjadi salah satu factor terbentuknya Undang-
undang a quo.
Sedangkan menurut DPR-RI pemberlakuan hukum secara surut
(retroaktif) terhadap tindak pidana pelanggaran HAM didasarkan pada
beberapa alasan:
a. Jika melihat pada bagian penjelesan Pasal 4 Undang-undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dikatakan bahwa hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualiakan
hanya dalam kasus pelanggaran HAM berat saja.
b. Ruang lingkup kerja dari Pengadilan HAM Ad Hoc hanya dibatasi
untuk kasus denga locus dan tempus delicti tertentu saja dan
keberadaan dari Pengadilan HAM Ad Hoc ini hanya sementara.
c. Terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundang-
undangkannya Undang-undang No. 26 Tahun 2000, maka akan diadili
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang
No. 26 Tahun 2000.
62
d. Terkait dengan Pasal 28 I DPR-RI berpendapat bahwa pasal ini
merupakan sebuah ketentuan umum, sedangkan Pasal 28 J merupakan
pembatas terhadapa Pasal 28 I.
e. Pemberlakuan hukum secara surut dilakukan dengan dasar prinsip
keadilan. Sehingga dengan adanya Undang-undang a qua diharapkan
dapat memenuhi tuntutan keadilan dari para korban tindak pidana
pelanggaran HAM berat.
Setelah mendengarkan keterangan dari berbagai pihak baik dari
pemohon yaitu Abilio Jose Osorio Suares dan kuasa hukumnya, serta dari
pihak terkait yaitu Pemerintah dan DPR-RI. Maka akhirnya Majelis Hakim
dengan berdasarkan pada:
a. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan legal standing bagi
Pemohon.
b. Ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) UU
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. Ditambah dengan ketentuan
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa undang-
undang yang dapat dilakukan uji materi terhadapnya ialah undang-
undang yang dibuat setelah adanya amandemen pertama UUD 1945
pada tanggal 19 Oktober 1999, sedangkan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dibuat pada tanggal 23
63
November 2000 dengan LN Republik Indonesia Nomor 208. Maka
dengan ini Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan yang diajukan
oleh Pemohon.
c. Secara harfiah memang benar apa yang terkandung dalam Pasal 28I
memberikan gambaran bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut merupakan sesuatu yang mutlak. Namun
jika kita melihat kepada sejarah dari pembentukan Pasal 28I tersebut
tidak bisa kita pisahkan dari Pasal 28J. Kedua pasal terebut memiliki
keterikatan satu sama lain sehingga tidak boleh dibaca secara parsial,
melainkan harus dibaca secara bersamaan. Sehingga secara sistematis
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut bukan
merupakan hak yang mutlak. Pemberlakuan hukum secara mutlak
semata-mata hanya untuk memenuhi 3 tujuan hukum, yaitu: 1.
Kepastian hukum, 2. Keadilan hukum, 3. Kebergunaan hukum. Akan
tetapi, meski pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) dapat
dilakukan, dalam prakteknya harus tetap dibatasi.
d. Meski secara hierarki Undang-Undang berada dibawah Undang-
Undang Dasar, namun hal tersebut tidak secara otomatis menyebabkan
undang-undang yang menerapkan hukum secara surut bertentangan
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar. Ada dua aspek yang harus
diperhatikan agar pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) tidak
64
dianggap bertentangan dengan hak asasi, pertama, adanya kepentingan
umum yang lebih besar yang harus dilindungi. Kedua, bobot dan sifat
hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang
demikian lebih kecil dari kepentingan umum yang terlanggar atau
ketentuan hukuman yang diberikan harus lebih rendah sehingga tidak
melanggar hak asasi pelaku.
e. Meski UUD 1945 memberikan peluang untuk memberlakukan hukum
secara surut (retroaktif) sehingga mengesampingkan asas non-
retroaktif, namun UUD 1945 tetap mengutamakan prinsip non-
retroaktif tersebut meski sifatnya tidak mutlak. Selain itu semangat
yang terkandung dalamUUD 1945 dalam hubungan ini sejalan dengan
semangat yang terdapat dalam sejumlah instrument hukum
internasional maupun regional, seperti dalam Pasal 29 ayat (2)
DUHAM atau Universal Declaration of Human Right yang isinya
hampir sama dengan Pasal 28J UUD 1945, kemudian dalam Pasal 15
ayat (1) Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau
International Convenant on Civil and Political rights yang
mengatakan bahwa,”Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana karena perbuatan ataupun karena kelalaian,
yang pada saat perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan suatu
tindak pidana baik menurut hukum nasional maupun menurut hukum
internasional”.
f. Berdasarkan Pasal 4 konvenan tersebut dan Pasal 7 Konvensi eropa
65
tentang Hak-hak Asasi Manusia secara tegas mengatakan bahwa
negara-negara peserta konvenan boleh mengambil langkah-langkah
yang dibutuhkan manakala negara dalam keadaan darurat sehingga
stabilitas negara menjadi terancam. Serta tidak bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban negara yang bersangkutan menurut hukum
internasional. Selain itu penerapannya tidak boleh dilakukan secara
diskriminatif maupun atas dasar balas dendam.
g. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a
quo. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terkait dengan
pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc maka harus disertai dengan
persetujuan dari DPR yang merupakan representasi dari masyarakat
Indonesia.
h. Tujuan dari pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc mengadili pelaku
kejahatan yang tergolong kedalam “kejahatan serius terhadap
masyarakat internasional secara keseluruhan” atau “the most serious
crime of concern to the international community as a whole”.
Pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc sebenarnya dipengaruhi oleh
peristiwa yang terjadi di dunia internasional terkait pembentukan
ICTY untuk kasus Yugoslavia dan ICTR untuk kasus Rwanda.
i. Pemberlakuan hukum secara surut yang diterapkan di dalam Undang-
Undang Pengadilan hanya diperuntukan bagi tindak pidana kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja. Walaupun,
sebenarnya tindak pidana kejahatan perang dan tindak pidana
66
kejahatan agresi secara hukum kebiasaan internasional (International
Costumary Law) termasuk kedalam kejahatan serius terhadap
kemanusiaan.
j. Sampai saat ini belum ditemukan definisi yang pasti tentang apa yang
dimaksud dengan terorisme, meski pada dasarnya ia termasuk kedalam
kejahatan serius terhadap masyarakat internasional, maka bagi tindak
pidana terorisme belum bisa dibentuk sebuah pengadilan ad hoc.
k. Pemberlakuan asas non-retroaktif hanyalah berlaku bagi tindak pidana
yang sifatnya biasa (ordinary crime) sedangkan untuk kejahatan luar
biasa (extraordinary crime) yang secara internasional pun sudah diakui
sebagai kejahatan intenasional, maka dapat diberlakukan hukum secara
surut (retroaktif). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para pelaku
kejahatan luar biasa seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan tidak lolos dari jeratan hukum sebagaimana bunyi
adagium “tidak boleh ada kejahatan yang berlalu tanpa adanya
hukuman (aut punere aut de dere)”.
Sehingga dengan adanya beberapa pertimbangan yang dijelaskan
secara singkat di atas yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad
Hoc Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4026, tidak terbukti bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia
1945, maka dengan ini Menolak permohonan yang diajukan oleh
pemohon.
67
2. Putusan Nomor. 34 PK/PID.HAM.AD.HOC/2007
Selain terjadi pada kasus Abilio, praktek pemberlakuan hukum
secara surut juga terjadi pada kasus Eurico Guterres, seorang mantan
Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI). Eurico dituntut dengan
tuduhan telah melakukan pembiaran terhadap penyerangan yang terjadi di
kediaman Manuel Viegas Carrascalao yang menyebabkan beberapa orang
terluka parah dan meninggal dunia. Selain itu ia juga dituduh telah
melakukan provokasi terhadap massa yang hadir pada Apel Akbar
Peresmian PAM Swakarsa pada tanggal 17 April 1999 jam 09.00 WITA
atau setidaknya pada waktu-waktu lain di bulan April, sehingga
menyebabkan terjadinya penyerangan tersebut.
Atas kejadian tersebut dalam Pengadilan tingkat pertama dan
dalam dakwaan pertama ia dituntut dengan Pasal 42 ayat (2) a dan b jis
Pasal 7 huruf b, Pasal 9 hurf a dan Pasal 37 Undang-undang No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam dakwaan kedua ia
dituntut juga dengan Pasal 42 ayat (2) hurf a dan b jis Pasal 7 huruf b,
Pasal 9 huruf h dan Pasal 37 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sehingga dalam Putusan Nomor
04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST ia dihukum dengan hukuman
pidana penjara selama 10 tahun.
Merasa tidak puas dengan putusan ini baik pihak Eurico dan pihak
Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding terhadap putusan sebelumnya
dan dalam putusan banding tersebut ia dihukum dengan hukuman yang
68
lebih ringan yaitu 5 tahun. Akan tetapi putusan tersebut bagi pihak Eurico
masih kurang memuaskan dan bagi pihak JPU masih terlalu ringan,
akhirnya kedua kubu tersebut mengajukan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Tinggi tersebut. Alih-alih ingin mendapatkan putusan yang
lebih ringan, Eurico akhirnya dihukum dengan hukuman 10 tahun penjara.
Kubu Eurico pun bereaksi terhadap putusan kasasi ini dengan
mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi tersebut.
Pengajuan peninjauan kembali dilakukan dengan beberapa alasasn:
a. Dalam putusan kasasi Majelis Hakim Agung yang seharusnya
berkedudukan sebagai Yudex Yuris merubah kedudukannya menjadi
Yudex Factie.
b. Tidak ada landasan yuridis yang ilmiah dalam putusan tersebut tentang
penambahan masa hukuman.
c. Dalam persidangan Eurico Guterres bersifat kooperatif sehingga
memudahkan persidangan.
d. Majelis Hakim 1, 2 dan 3 hanya mengambil pertimbangan hukum dari
pihak Jaksa Penuntut Umum saja.
e. Adanya dissenting opinion yang mengatakan bahwa terdakwa Eurico
Guterres seharusnya dibebaskan.
f. Majelis Hakim tidak melihat kepada fakta-fakta yang muncul dalam
persidangan.
g. Hakim ragu dalam memutuskan karena terjadi benturan antara prinsip
kepastian hukum dan prinsip keadilan. Jika terjadi hal yang demikian
maka hendaknya hakim mengutamakan prinsip keadilan.
69
Dengan berdasarkan beberapa alasan dan fakta yang ada akhirnya
majelis hakim memutuskan untuk menerima permohonan peninjauan
kembali yang diajukan oleh Eurico Guterres, membatalkan putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 06 K/PID.HAM.AD.HOC/2005 tanggal 13
Maret Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc Nomor
02/PID.HAM/AD.HOC/2004/PT.DKI tanggal 29 Juli 2004 jo. Putusan
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST tanggal 27
November 2002, serta mengadili kembali dengan menyatakan bahwa
pemohon PK yaitu Eurico Guterres tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang
dituduhkan oleh Jaksa Penuntut umu, maka dengan itu majelis hakim
membebaskan Eurico Guterres dari segala dakwaan, memulihkan hak
terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Dalam putusan ini majelis hakim berpendapat bahwa sesuai dengan
UU No. 26 Tahun 2000 bahwa seorang terdakwa baik ia secara individual
(individual responsibility) ataupun sebagai atasan (superior responsibility)
haruslah dibuktikan apakah ia benar telah mengeluarkan kebijakan baik
Kebijakan Negara atau pun Organisasi untuk melakukan kejahatan
kemanusiaan secara sistemik dan meluas terhadap masyarakat sipil.
Menurut hukum kemanusiaan internasional yang dimaksud dengan
pengertian meluas berkaitan dengan adanya korban ialah harus bersifat
massal, berulang kali, dilakukan dalam skala besar, dilakukan dengan
70
sungguh-sungguh dan ditujukan pada kelompok masyarakat tertentu.
Sedangkan untuk pengertian dari kata sistemik bahwa perbuatan tersebut
harus direncanakan terlebih dahulu secara matang serta sungguh-sungguh
dan perencanaan tersebut harus merupakan kelanjutan dari kebijakan
penguasa atau organisasi.
Ke-dua, tidak terbukti adanya serangan terhadap masyarakat sipil,
karena sebetulnya bentrokan yang terjadi ialah antara kelompok Pro
kemerdekaan. Sehingga bila kita kembalikan kepada UU No. 26 Tahun
2000 maka kelompok Pro Kemerdekaan tidaklah termasuk ke dalam
kelompok masyarakat sipil sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 26
Tahun 2000. Selain itu berdasarkan pada hukum internasional yang
dimaksud dengan penduduk sipil adalah mereka yang tidak ikut aktif
dalam pertikaian, atau tidak lagi ikut serta dalam pertikaian termasuk
anggota-anggota bekas pasukan bersenjata yang telah menyerah dan
orang-orang yang mengalami penderitaan (hors de combat) karena sakit,
luka-luka, penahanan atau alasan-alasan lainnya.
Ke-tiga, pemohon tidak terbukti melakukan pembiaran (omisi)
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000.
Ditambah posisi atau kedudukan terdakwa yang tidak memiliki otoritas
terhadap anggota PPI. Sehingga tidak memiliki untuk mencegah dan
menghentikan serta menghukum para pelaku sebagaimana kemampuan
yang dimiliki oleh POLRI ataupun TNI. Ditambah penyerangan yang
terjadi dilakukan secara spontan tidak direncanakan dan terjadi tanpa
sepengetahuan pemohon.
71
Ke-empat, sejalan dengan doktrin Superior Liability bahwa
terdakwa telah diangkat oleh Gubernur Abilio Jose Osori Suares sebagai
pemimpin PAM Swakarsa pada apel akbar tanggal 17 April 1999 sehingga
secara de facto dan secara efektif terdakwa berada dibawah kekuasaan
Gubernur Abilio Jose Osori Suares. Sedangkan Gubernur Abilio Jose
Osori Suares telah dibebaskan dari semua dakwaan berdasarkan putusan
Peninjauan Kembali No.45 PK/PID/HAM AD HOC/2004, maka demi
keadilan dan kepatutan yang seadil-adilnya terdakwa dalam perkara a quo
harus dinyatakan bebas dari segala dakwaan.
Ke-lima, dengan berdasarkan pada pertimbangan dan fakta-fakta
yang ada serta sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 266 ayat (2) huruf
b KUHAP maka terdapat cukup alasan bagi hakim untuk membatalkan
putusan Mahkamah Agung RI No. 06 K/PID.HAM AD HOC/2005 jo
Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad.Hoc No.
02/PID.HAM/AD.HOC/2004/PT.DKI jo Putusan Pengadilan HAM Ad
Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST.
B. Praktik Pemberlakuan Secara Surut Dalam Putusan Pengadilan
Terhadap Tindak Pidana Terorisme
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003
Putusan ini merupakan jawaban dari permohonan yang diajukan
oleh Masykur Abdul Kadir, seorang pekerja swasta, berumur 39 tahun,
beralamatkan di Jalan Pulau Pinang, Gang Rembingin I No. 9 Denpasar-
Bali.
72
Pemohon adalah seorang terdakwa dalam kasus bom Bali yang
terjadi di sebelah selatan Kantor Konsulat Amerika Serikat, di dalam
Paddy’s Pub serta di depan Sari Club yang terjadi pada tanggal 12 Oktober
2002 pada jam 23.08 WITA pada saat yang hampir bersamaan. Dengan
adanya kasus tersebut dengan berdasarkan Surat Dakwaan Reg. Perkara
No. PDM.148/Denpa/04.2003 Pemohon di dakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum dengan hukuman penjara selama 15 tahun. Terdakwa di dakwa
dengan menggunakan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No.
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada
Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 juncto Undang-
Undang No. 16 Tahun 2003, yang telah ditetapkan, disahkan, diundangkan
dan mulai diberlakukan pada tanggal 18 Oktober 2002 atau 6 hari pasca
terjadinya peristiwa tragedi bom Bali.
Sehingga dengan jelas dapat diketahui bahwa penerapan Perpu No.
2 Tahun 2002 jo. UU No. 16 Tahun 2003 telah diberlakukan secara surut
(retroaktif). Hal yang demikian (Pemberlakuan hukum secara surut)
tentunya bertentangan dengan ketentuan umum yang selama ini diakui
yaitu Pasal 1 ayat (1) KUHPidana Indonesia yang secara jelas mengatakan
bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
terjadi.”, selain itu di dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar1945 pasca
amandemen kedua dikatakan pula bahwa,”Hak untuk hidup, hak untuk
73
tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”, sehingga jika dilihat secara
hierarki perundang-undangan, maka Perpu No. 2 Tahun 2002 jo. UU No.
16 tahun 2003 sudah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
yang memiliki pangkat lebih tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal
2 TAP MPR-RI No. III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan bahwa,”Tata urutan perundang-
undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum
dibawahnya. Tata urutan peraturan perundag-undangan Republik
Indonesia adalah 1). Undang-Undang Dasar 1945, 2). Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indoneisa, 3). Undang-Undang, 4).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 5). Peraturan
Pemerintah, 6). Keputusan Presiden, 7) Peraturan Daerah”. dan juga
Pasal 4 ayat (1) TAP MPR-RI No. III/MPR/2000 mengatakan,” Sesuai
dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap
aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum
yang lebih tinggi”.
Selain itu menurut Pemohon, tindakan pemerintah yang
menerapkan Perpu No. 02 Tahun 2000 menjadi Undang-Undang No. 16
Tahun 2003 dianggap merupakan sikap yang inkonsisten dan diskriminatif
74
dalam upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan
dengan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Sebagai salah satu
contohnya adalah peristiwa pembunuha terhadap ribuan warga muslim di
ambon yang terjadi pada hari raya Idul Fitri 1999 dan pada tahun 2000 di
Tobelo dan Halmahera. Dari data yang diperoleh oleh saksi bahwa hanya
dalam 3 hari saja pada saat peristiwa pembunuhan di tahun 2000 itu
terjadi, sekurang-kurangnya ada sekitar 2000 muslim menjadi korban jiwa
dalam pembantaian tersebut, baik itu dari kalangan pria, wanita, tua atau
muda bahkan anak kecil dan balita pun menjadi korban dalam peristiwa
yang terjadi di Tobelo dan Halmahera tersebut.
Meski demikian tidak ada satu pun Perpu yang dibuat oleh DPR-RI
dan pemerintah guna menanggapi peristiwa tersebut. Padahal nyata dan
jelas bahwa dengan adanya peristiwa tersebut telah terjadi upaya untuk
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)
yang termasuk kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dengan
jumlah korban yang banyak dan kerugian yang besar baik dari kerugian
materiil maupun kerugian psikis.
Dengan berdasarkan alasan, fakta dan dalil-dalil di atas Pemohon
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia
selaku pelaksana sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi, yang
antara lain:
a. Menerima permohonan uji atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2003
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 untuk seluruhnya.
75
b. Menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tidak
memiliki kekuatan hukum untuk mengikat.
c. Mencabut Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 dan menyatakan
Undang-Undang a quo tidak berlaku.
Setelah mendengarkan keterangan dari Pemohon, pada tanggal 10
Desember 2003 Majelis Hakim juga memanggil guna mendengarkan
keterangan pihak Pemerintah dan DPR-RI yang dalam hal ini pihak
pemerintah diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM Republik
Indonesia Dr. Yusril Ihza Mahendra dan pihak DPR-RI diwakili oleh A.
Teras Narang SH,. DKK yang menjelaskan bahwa pembentuka kedua
Perpu tersebut didasarkan pada kondisi negara yang saat itu sedang
genting karena banyaknya peristiwa peledakan yang terjadi di beberapa
wilayah negara Indonesia. Sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa peraturan
pemerintah yang hendak dibentuk itu haruslah melalui persetujan dari
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan dengan melihat
kenyataan dan fakta serta dampak yang luas serta berpengaruh bagi
kehidupan social, politik, hubungan internasional bahkan berpengaruh
juga bagi integritas bangsa, maka DPR RI pun akhirnya menyetujui
lahirnya kedua Perpu tersebut.
Selain itu ada desakan dari dunia internasional yang dalam hal ini
dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB dengan mengeluarkan Resolusi
Nomor 1373 pada tahun 2001 dan Resolusi Nomor 1438 tahun 2002, yang
76
berisik kutukan terhadap peristiwa pengeboman yang terjadi serta
memberi seruan kepada seluruh negera untuk membantu pemerintah
Indonesia dalam menangani kasus serta mengungkap pelaku terorisme
yang terjadi.
Menurut pemerintah dengan melihat kepada dampak yang
ditimbulkan terorisme tidak dapat lagi dikatakan sebagai kejahatan biasa
(ordinary crime) namun sudah termasuk ke dalam kejahatan luar biasa
(extraordinary crime). Ditambah kejahatan terorisme tidak lagi menjadi
ancaman bagi suatu bangsa saja, namun ia sudah menjadi ancaman besar
bagi dunia internasional. Sebab ia tidak hanya melibatkan warga dari satu
negara saja, namun anggota atau pelakunya bisa terdiri dari beberapa
warga negara yang berbeda sehingga terdapat suatu jaringan yang luas.
Selain itu sasarannya bukan hanya satu negara tertentu, melainkan bisa
terjadi di mana saja.
Sehingga demi menanggulangi tindak pidana terorisme ini maka
kemudian dibentuklah beberapa konvensi internasional, diantaranya :
a. International Convention for the Suppresion of Terorist Bombing 1997
b. International Convention for the Suppresion of Fitumcing of Terrorism
1999
c. European Convention on the Supression of Terorism 11978 (tingkat
regional Eropa)
d. The Arabian Convention on the Supression of Terrorism 1998 (negara-
negara arab)
77
e. SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism 1987
(negara-negara Asia Selatan)
Maka dengan melihat pada hal-hal diatas akhirnya dibentuklah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian dengan
berdasarkan pada UU No. 15 Tahun 2003 akhirnya ditetapkan sebagai
Undang-undang.
Dalam kesempatan tersebut pemerintah juga memberikan sorotan
terkait Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa Pasal 28I
tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Pasal 28J, dimana pasal ini
berfungsi sebagai pembatas terhadap Pasal 28I. Pembatasan ini dilakukan
demi memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seorang
warga negara. Maka dengan berdasarkan pada ketentuan yang terdapat di
dalam Pasal 28J, maka bisa dibuat suatu undang-undang guna membatasi
hak seseorang. Adapun kaitannya dengan undang-undang yang
memberlakukan secara surut hanya untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebabasan orang lain.
Selain itu Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas ayat,
pasal atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD
1945 sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003, oleh karena itu menurut Pemerintah
permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak diterima.
78
Setelah mendengarkan keterangan dari pemerintah, DPR-RI dan
Pemohon, Majelis Hakim Konstitusi memberi keputusan untuk
mengabulkan permohonan yang diajukan untuk melakukan pengujian
Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada
peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16
Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 2 Tahun
2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002
menjadi Undang-Undang (LN Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46,
TLN Republik Indonesia No. 4285) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Ketiga, menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002
79
menjadi Undang-Undang (LN Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46,
TLN Republik Indonesia No. 4285) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Dikabulkannya permohonan Pemohon ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan, di antaranya adalah:
a. Keberadaan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 sebetulnya telah
memenuhi harapan para pencari keadilan. Namun Undang-Undang
tersebut tidak perlu diberlakukan surut, karena unsur-unsur dan jenis
kejahatan yang terdapat dalam tindak pidana terorisme telah ada di
dalam Undang-Undang terdahulu dan termasuk jenis kejahatan yang
diancam dengan pidana berat.
b. Meski kejahatan tindak pidana terorisme dianggap melanggar hak asasi
manusia, namun di dalam prakteknya ketentuan dan tindakan hukum
yang diambil tidak boleh bertentangan dengan atau tidak boleh
melanggar HAM. Sebab di Amerika Serikat sendiri terdapat penilaian
bahwa Terrorism Law is major setback for civil liberties.
c. Melihat kepada Statuta Roma 1998 dan Undang-Undang No. 36 Tahun
1999, peristiwa peledakan bom di Bali belum termasuk kedalam
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) melainkan masih termasuk
ke dalam tindak pidana biasa (ordinary crime) yang sangat kejam, dan
dapat ditangani dengan instrument hukum yang ada.
d. Pemberlakuan surut dalam hukum pidana hanya berlaku bagi perkara
pelanggaran HAM berat sebagai suatu kejahatan yang serius. Menurut
80
Statuta Roma 1998 yang termasuk kedalam kejahatan pelanggaran
HAM berat adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sedangkan di
dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berta adalah
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
e. Pelarangan untuk memberlakukan hukum secara surut sudah ada
semenjak dahulu, terutama dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23
berbunyi :”De wet verbind alleen voor het toekomende en heft gene
terug werkende kracht”. Selain itu di dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek
van Straftrecht disebutkan bahwa :”geen feit is straafbaar dan uit
kracht van eene daar aan voor afgegane wettelijk straafbepaling
(suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya)”.
C. Analisis Putusan Menurut Pandangan Hukum Positif
Berdasarkan putusan mahkamah konstitusi No. 13/PUU-I/2003 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 065/PUU-II/2004 terdapat 2 perbedaan
putusan di mana Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang
diajukan oleh Pemohon Masykur Abdul Kadir terkait uji undang-undang UU
No. 16 Tahun 2003, semua permohonan yang diajukan dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi lain halnya dengan permohonan yang diajukan oleh pemohon
81
Abilio Jose Osorio Suares terkait uji undang-undang UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Terhadap permohonan yang diajukan oleh
Pemohon Abilio Jose Osorio Suares, Majelis Hakim menolak seluruh
permohonan yang diajukan. Padahal baik di dalam UU No. 16 Tahun 2003
dan UU No. 26 Tahun 2000 keduanya sama-sama menerapkan pemberlakuan
hukum secara surut (retroaktif).
Terkait dengan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam Pasal 2 Kepres Nomor 53
Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang oleh Presiden Abdurrahman
Wahid ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 23 April 2001 dikatakan
bahwa,”Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timur Timor pasca jajak
pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.”. dalam pasal
ini jelas bahwa ada upaya untuk memberlakukan penerapan hukum secara
surut pada kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa jajak pendapat
di Timur Timor dan peristiwa di Tanjung Priok. Namun dalam Pasal 2 untuk
kasus Timor Timur tidak disebutkan batasan-batasan waktu dan tempat bagi
berlakunya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad
Hoc, sedangkan untuk peristiwa tanjung priok jelas disebutkan secara rinci
batasan waktu berlakunya Undang-Undang ini.
Kemudian barulah pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno
Putri di keluar Kepres RI No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
82
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan
HAM Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam Pasal 2 Kepres
RI No. 96 Tahun 2001 disebutkan bahwa,”Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad
Hoc Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi
di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli dan Soae pada bulan
April 1999 dan bulan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok
pada tahun bulan September 1984”. Dengan adanya ketentuan ini maka
secara jelas bahwa telah diberlakukan hukum secara surut dalam kasus
pelanggaran HAM berat, sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Pengadilan
HAM Ad Hoc pada kasus Eurico Guterres. Meski terdakwa Eurico Guterres
terbebas dari segala dakwaan akibat Peninjauan Kembali yang dilakukannya
dikabulkan oleh Mahkamah Agung, namun dalam peradilan tingkat pertama
Jaksa Penuntut Umum mendakwanya dengan menggunakan Pasal 7 huruf b jis
Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang Pemgadilan HAM Ad Hoc yang dengan
berdasarkan pada Pasal 43 Undang-Undang a quo jelas mengatakan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM Ad Hoc, sehingga bahwa benar telah diterapkan pemberlakuan secara
surut dalam kasus tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang
terjadi di Timor Timur.
Sedangkan untuk Undang-Undang No.16 Tahun 2003 yang sebelum
83
keluarnya putusan Mahkamah konstitusi masih menerapkan hukum secara
surut, maka setelah keluarnya putusan tersebut maka UU No. 16 Tahun 2003
menjadi tidak berlaku lagi. Sehingga segala perkara yang sebelumnya
ditangani dengan menggunakan UU No. 16 Tahun 2003 terpaksa harus
dihentikan.
Sebagaimana dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa tujuan dari
penerapan hukum secara surut (retroaktif) adalah untuk mengimbangi
keberadaan asas legalitas yang dianggap hanya berpihak pada pihak pelaku,
sedangkan kurang memberikan keadilan bagi pihak korban. Maka penulis
berpendapat meski, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 dibatalkan dan
penuntutan terhadap kejahatan terorisme bisa dilakukan dengan menggunakan
undang-undang lain yang memiliki hukuman maksimal yang lebih berat.
Namun penulis berpendapat bahwa penerapan hukum secara surut tetap bisa
dilakukan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Selain itu penerapan hukum
secara surut tersebut dapat dilakukan secara bersyarat yaitu penerapannya
harus dilakukan secara limitatif dan rigid serta tidak bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (2) KUHPidana Indonesia, sehingga tidak memberikan ruang bagi
pemerintah untuk melakukan kesewenang-wenangan dan tidak pula
merugikan hak pelaku tindak pidana.
D. Analisis Hukum Islam (Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam
Pandangan Maslahah)
Penulis berpendapat bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam
konteks hukum Islam tidak terlepas dari adanya tujuan penerapan syari’ah
84
(maqashid al-Syari’ah) yaitu guna memberikan kemashlahatan bagi umat
manusia. Dengan diberlakukannya hukum secara surut diharapkan dapat
menolak munculnya bahaya yang lebih besar yang dapat mengganggu
kemashlahatan umat manusia.
Salah satu alasan yang diberikan oleh pemerintah tentang sebab dari
pemberlakuan hukum secara surut dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, karena peristiwa pelanggaran HAM berat
yang terjadi pada masa lalu bisa saja menjadi “burning issues” yang nantinya
tentu akan memberikan dampak yang besar bagi Indonesia. Alasan yang
diberikan oleh pemerintah juga diamini oleh Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya.
Sehingga meski pemberlakuan huku secara surut dilarang dan
bertentangan dengan kebiasaan hukum yang ada, namun demi mencegah
timbulnya hal-hal yang merugikan lainnya maka dengan terpaksa harus
dilakukan pemberlakuan hukum secara surut. Hal ini guna menutup terjadinya
kemungkinan terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh korban (sad al-
dzari’ah). Sehingga demi mencegah terjadinya mafsadat yang lebih besar
maka boleh menegasikan kepentingan dari pelaku tindak pidana, sebagaimana
disebutkan dalam kaidah :
جلب المصالح م علىدرء المفاسذ مقذ
“mencegah mafsadah lebih diutamakan dari pada mendahulukan
kemashlahatan”
Menurut pandangan penulis mashlahat dalam konteks ini merupakan
mashlahat yang dimiliki oleh pelaku. Sehingga dengan berdasarkan pada
85
kaidah di atas maka pemerintah boleh memberlakukan hukum secara surut
yang dilarang karena bertentangan dengan asas legalitas demi menjaga
kepentingan masyarakat secara umum. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
المصلحة الخاصة المصلة العامة مقذمة على
“kepentingan umum harus didahulukan dari kepentingan pribadi”. Terlebih
Indonesia dalam hal ini mendapatkan tekanan dari dunia internasional untuk
segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
di masa lalu. Tentunya akan menjadi kerugian besar jika sampai Indonesia
mendapatkan sanksi dari dunia internasional. Meski pemberlakuan hukum
secara surut diperbolehkan tetapi harus tetap diperhatikan batasan yang ada
salah satunya hukum yang diberlakukan secara surut harus memberikan
hukuman yang lebih ringan.
Hal ini sesuai dengan kriteria dalam menggunakan mashlahat sebagai
suatu pertimbangan hukum, yaitu harus sesuai dengan tujuan syara’, tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, tidak bertentangan dengan qiyas,
terakhir tidak merusak mashlahat lain yang lebih penting.
Maka jelas tampak disini bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam
hukum islam adalah untuk menciptakan kesimbangan dan memberikan
keadilan, baik bagi si pelaku dan korban.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :
1. Praktek pemberlakuan hukum secara surut hanya terjadi pada kasus
pelanggaran HAM berat. Dimana proses pemberlakuannya harus
dilakukan secara limitatif dan restriktif, hanya terbatas pada kasus dengan
waktu dan tempat kejadian tertentu sebagaimana disebutkan dalam
KEPRES RI Nomor 91 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa Pengadilan
HAM Ad Hoc hanya berlaku untuk wilayah hukum Liquica, Dili dan Soae
pada bulan April 1999 dan September 1999 dan untuk kasus Tanjung
Priok bulan September 1984. Sedangkan untuk proses penegakannya
masih menggunakan hukum acara yang berlaku dalam KUHAP, yang
harus didahului dengan adanya laporan yang disampaikan oleh korban ke
Komnas HAM, yang kemudian laporan tersebut diajukan kepada
Pemerintah dan DPR-RI, setelah ada persetujuan dari pemerintah dan
DPR-RI bahwa benar laporan tersebut merupakan tindak pelanggaran
HAM maka Pemerintah dengan berdasarkan pada persetujuan DPR-RI
akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
2. Pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) dalam pandangan hukum
Islam merupakan kebolehan dengan bersandarkan pada dalil
kemashlahatan. Jika penerapan asas legalitas bertujuan untuk melindungi
kepentingan pelaku tindak pidana, maka penerapan hukum secara surut
87
bertujuan untuk melindungi kepentingan umum. Hal ini selaras dengan
kaidah :
لخاصةاالمصلحة المصلحة العامة مقدمة على
“mashlahat umum didahulukan atas mashlahat khusus”
Dari kaidah di atas diketahui bahwa kepentingan pelaku yang
termasuk ke dalam mashlahat yang bersifat khusus )المصلحة الخاصة( dapat
dinegasikan dengan adanya mashlahat umum )المصلحة العامة( yang ada
dimasyarakat. Selain itu pemberlakuan hukum secara surut bisa dianggap
sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya tindakan main hakim
sendiri oleh masyarakat yang menjadi korban, dikarenakan mereka tidak
mendapatkan keadilan. Meski pemberlakuan hukum secara surut
dibolehkan dalam hukum Islam dengan dasar kemashlahatan, namun pada
tatanan prakteknya tidak jauh berbeda dengan apa yang diberlakukan
dalam hukum pidana Indonesia, di mana hukuman yang diberikan harus
lebih ringan dari ketentuan hukum sebelumnya.
B. Saran
Pemberlakuan hukum secara surut memang bisa dilakukan dalam
sistem hukum pidana Indonesia meski harus disertai dengan adanya syarat-
syarat tertentu. Namun ini bukanlah suatu hal efektif untuk menyelesaikan
berbagai tindak pidana yang terjadi. Sebab bisa saja kekuasaan yang dimiliki
disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan penguasa semata, sehingga
pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) yang diidentikan dengan lex
talionis benar-benar terjadi. Untuk itu penulis memberi saran kepada :
88
1. Pihak penegak hukum yang di dalamnya mencakup pembuat hukum,
untuk menciptakan suatu hukum yang bersifat progresif guna
mengantisipasi munculnya kejahatan-kejahatan baru. Sehingga tidak ada
alasan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dijatuhi hukuman manakala
perbuatan tersebut tidak dijelaskan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian akan menutup kemungkinan terjadi kembali
praktek pemberlakuan hukum secara surut.
2. Perkembangan hukum yang selalu tertinggal dari perkembangan
masyarakat menjadi alasan bahwa para ilmuwan, peneliti dan para sarjana
hukum tidak boleh berhenti untuk terus mencari, menggali dan
mengembangkan hukum yang ada demi memberikan rasa keadilan kepada
masyarakat. Selain itu meski sulit untuk dilakukan namun Hukum Islam
yang dalam hal ini Hukum Pidana Islam dapat dijadikan alternatif
manakala hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda
mengalami kebuntuan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
3. Bagi masyarakat umum pengetahuan tentang hukum bukan sesuatu yang
tabu lagi, melihat pesatnya perkembangan teknologi dan luasnya akses
untuk mendapatakan pengetahuan tentang hukum. Maka diharapakan akan
menambah wawasan yang nantinya akan meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat tentang perbuatan apa saja yang dilarang dan boleh dilakukan.
89
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Al- Buthi, Muhammad Said Ramadhan Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at al-
Islamiyah, Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997.
Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Ardhiwisastra,Yudha Bakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000.
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Atmasasmita, Romli Pengantar Hukum Pidana Internasional 2, Jakarta: Hecca Mitra
Utama, 2004.
Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami, Kairo: Maktabah Dar al-
„Urubah, 1968.
Efendi, Masyhur, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial,
Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi
Manusia) Dalam Masyarakat, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta:
Erlangga, 2009.
________________, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Erlangga, 2012.
Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,
2012.
Marzuki, Suparman, Pengadilan HAM di Indonesia: melanggengkan impunity, Jakarta:
Erlangga, 2012.
90
Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional
Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Nasution, Aulia Rosa, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam
perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana,
2012.
Nitibaskara, Ronny Rahman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2006.
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997.
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2008.
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
Bogor: Politea, tt.
Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, Jakarta:
Aksara Baru, 1981.
_____________, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, CV. Karya
Dunia Fikir, 1996.
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007.
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:
Alumni Ahaem, 1996.
Syarifuddin, Amir, Ushul FIqh, Jakarta: Kencana, 2011, Jilid 1.
Wahjoe, Oentoeng, Hukum Pidana Internasiol : Perkembangan Tindak Pidana
Internasional dan Proses Penegakannya, Jakarta : Erlangga, 2014.
91
Wibowo, Ari, Hukum Pidana Terorisme, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Yuherawan, Deni Setyo Bagus, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah
Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana,
Malang: Setara Press, 2014.
Zahrah, Muhammad Abu, al-Jarimah wa al- Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar al-
Fikr al-Arab, 1977.
B. Perundang-undangan
Keppres Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 02 Tahun 2002
tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
C. Jurnal dan Makalah
Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008,
Anis Widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, dalam Jurnal
Pandecta Vol. 6 Nomor 2, Juli 2011.
James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal
Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13
Number 4 August 1989
Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum Vol 24,
Nomor 1, 2012.
92
M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana
Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali
Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia Dalam
Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan HAM RI, 2003
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai
Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran
Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana, Semarang, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004.
Rahmat Syafi‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Syi‟ar Hukum:
FH. Unisba. Vol. XII. No. 1 Maret 2010.
Mahkamah Konstitusi, “Putusan MK dengan “Dissenting Opinion”, Jurnal Berita MK
:No. 6 Tahun 2004 hal. 9. Artikel diakses pada tanggal 2 April dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id