PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA...

101
PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : Muhammad Aidz Billah NIM: 1110043200017 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M

Transcript of PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA...

Page 1: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA

INDONESIA MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna Mendapatkan

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Muhammad Aidz Billah

NIM: 1110043200017

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/ 2015 M

Page 2: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara
Page 3: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara
Page 4: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara
Page 5: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

v

ABSTRAK

Muhammad Aidz Billah. 1110043200017. Pemberlakuan Hukum Secara

Surut (Retroaktif) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Menurut Pandangan

Hukum Islam. Perbandingan Hukum. Perbandingan Mazhab dan Hukum. Fakultas

Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Asas legalitas merupakan asas fundamental yang menjadi acuan dalam praktek

hukum pidana. Namun pemberlakuan asas ini dianggap hanya melindungi

kepentingan pelaku tindak pidana saja, akan tetapi kurang memberikan

perlindungan terhadap kepentingan korban. Hingga akhirnya muncul sebuah

Peraturan Pemerintah menerapkan prinsip retroaktif di dalamnya. Sehingga bagi

para pelaku tindak pidana kejahatan pada masa lalu dapat dihukum. Hal ini

akhirnya menimbulkan perdebatan di kalangan sarjana hukum, baik di luar

maupun dalam negeri. Sebab bagaimana mungkin sebuah asas legalitas yang

fundamental dapat dilakukan penyimpangan terhadapnya ? terlebih penerapan

prinsip retroaktif lebih identik dengan lex talionis, sehingga penerapannya dapat

diberlakukan secara sewenang-wenang sesuai dengan kehendak penguasa. Selain

itu pembahasan tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut juga menjadi

sorotan dalam hukum pidana Islam, meski hanya dalam intensitas yang sangat

kecil. Namun dengan berdasarkan pada maqashid al-syari’ah yang bertujuan

melindungi agama, keturunan, agama, harta dan nyawa maka pemberlakuan

hukum secara surut dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan demi

terciptanya suatu kemashlahatan.

Dengan adanya permasalahan tersebut maka penulis ingin membahas lebih lanjut

tentang bagaimana praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam hukum

Pidana Indonesia ? dan bagaiamana praktek pemberlakuan hukum secara surut

dalam hukum pidana Islam ?

Penelitian dengan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif

dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian akan dianalisa melalui

analisis deduktif-induktif dimana penulis akan menelaah fakta-fakta yang bersifat

umum dan menariknya menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.

Kata Kunci : asas legalitas, retroaktif, lex talionis.

Di bawah Bimbingan: Pembimbing I: Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA., dan

Pembimbing II: Muhamad Ainul Syamsu, S.H., M.H.

Daftar Pustaka: Tahun 1997 s.d Tahun 2014

Page 6: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru

sekalian alam, yang menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi

mungkin. Sholawat serta salam tercurahkan kepada penghulu alam kanjeng Nabi

Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya. Berkat adanya taufik,

hidayah dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT

DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT

PANDANGAN HUKUM ISLAM. Karya ini tentunya tidak dapat terselesaikan

tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT serta dukungan dari teman-teman serta

pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan, ide, motivasi, masukan

serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Sehingga penulis merasa wajib

untuk memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si selaku Ketua Prodi

Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA., selaku Sekretaris Prodi Perbandingan

Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga selaku

Pembimbing I bagi penulis yang selalu memberi masukan dan arahan dalam

membuat karya tulis skripsi ini.

Page 7: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

vii

4. Bapak Muhamad Ainul Syamsu, S.H, M.H., selaku Pembimbing II yang

selalu memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan

karya tulis skrpsi ini.

5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta

Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis.

6. Ayahanda tercinta Moch. Tadjuddin dan Ibunda terkasih Aisyah, serta adik-

adik dan saudara-saudara dalam keluarga besar alm. KH. Ali Muhammad.

7. Guru tercinta KH. Masyhuri Baedlowi, MA. Pengasuh PP Darussalam Eretan-

Indramayu, yang telah mengajarkan penulis ilmu agama.

8. Guru tercinta, abah Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. inspirator bagi

penulis.

9. Teman-teman seperjuangan Rafika Hastya Rany, Ramdhani ‘sambit’, Wiwin

Winata, Ilyas, Bambang, Laka, Fany, sandi dan teman-teman PH 2010 yang

tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua semangat

ini.

10. Teman berkeluh kesah adinda Riri Rizqiyatul Falah, semoga kesabaran dan

penantian mu dibalas oleh Allah SWT.

Jakarta, 13 Juni 2015

Page 8: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................ iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iv

ABSTRAK ....................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Identifikasi,Batasan Masalah dan Perumusan Masalah .............. 6

C. Tujuan Serta Maanfaat Penelitian ............................................... 7

D. Studi Terdahulu ............................................................................. 8

E. Metode Penelitian ......................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan. ................................................................ 10

BAB II : PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS

A. Asas Legalitas dan Sejarahnya ............................................... 12

B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam .......................... 17

C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut (Retroaktif) Sebagai

Pengecualian Asas Legalitas ................................................. 21

Page 9: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

ix

BAB III : Pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam Aturan Pidana

Indonesia

A. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2)

KUHP .......................................................................................... 29

B. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana

Tertentu :

1. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam

Pelanggaran HAM Berat ...................................................... 38

2. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam

Tindak Pidana Terorisme ..................................................... 43

C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam RKUHP ................ 50

Bab IV : PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM

PUTUSAN PENGADILAN

A. Praktik Pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam

Putusan Pengadilan HAM Ad-Hoc ......................................... 58

B. Praktik Pemberlakuan Hukum Secara Surut terhadap

Tindak Pidana Terorisme ........................................................ 71

C. Analisis Putusan ....................................................................... 80

Bab V : PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 86

B. Saran ............................................................................................ 87

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89

Page 10: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan yang terjadi di dalam hukum selalu didahului dengan

adanya perkembangan dalam masyarakat. Berbagai factor seperti kemajuan

teknologi dan pertukaran budaya, memicu terjadinya interaksi yang dinamis di

dalam masyarakat. Dengan salah satu fungsinya yaitu sebagai sarana control

sosial (social control), hukum memiliki fungsi untuk mendidik, mengajak atau

bahkan mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.1 Namun pada

kenyataannya untuk menjalankan fungsinya terkadang hukum mengalami

kendala.

Perkembangan masyarakat yang selalu dinamis terkadang tidak bisa

diikuti oleh perkembangan hukum, sehingga tak jarang hukum sering

“kecolongan” dan selalu tertinggal, sehingga sulit bagi hukum untuk

menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang muncul akibat terjadinya

interaksi masyarakat. Jika sudah seperti itu maka mau tidak mau hukum harus

mengikuti perkembangan, sebab jika tidak maka hukum akan menemui

banyak kendala baik itu yang berkaitan dengan rasa keadilan maupun

persoalan yang berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement)2. Maka

demi mengantisipasi dua hal tersebut hukum harus lebih bersifat akomodatif

dan progresif demi mengimbangi berbagai persoalan hukum yang timbul

akibat interaksi masyarakat.

1 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hal. 22.

2 Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007) hal. 26.

Page 11: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

2

Namun jika melihat pada kenyataan yang ada, rasanya akan sulit

menciptakan hukum yang bersifat lebih akomodatif dan progresif. Sebab

proses penegakan hukum yang ada selalu terbentur pada aturan hukum yang

sudah ada, seperti halnya dalam menegakan aturan hukum pidana.

Dalam menegakan aturan pidana penegak hukum harus berpegangan

pada batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, yang mengatakan bahwa ;

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan pada

ketentuan dari perundang-undangan pidana yang telah ada”..

Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini dianut asas legalitas atau disebut juga

dengan principle of legality, sehingga meskipun seseorang melakukan tindak

pidana, namun jika perbuatannya tersebut tidak disebutkan dalam aturan

perundang-undangan yang ada maka ia tidak dapat dikenai tindakan hukum.

Berdasarkan pada prinsip nullum crimen nulla poena sine lege praevia

bahwa sebuah undang-undang tidak boleh diberlakukan secara retroaktif atau

secara surut. Tujuan dari larangan ini adalah :

1. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan

penguasa.

2. Ketentuan pidana tersebut juga berfungsi sebagai ancaman terhadap psikis

calon pelaku kejahatan (teori psychologische dwang dari Anslem von

Feurbach). Sehingga dengan adanya ketentuan pidana yang disebutkan

dalam undang-undang maka calon pelaku tindak pidana akan berpikir dua

kali dalam melakukan kejahatannya.3

3 Anis Widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, dalam Jurnal

Pandecta Vol. 6 Nomor 2, Juli 2011. hal. 171.

Page 12: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

3

Meski pemberlakuan hukum secara surut dilarang, namun jika melihat

pada sejarah dan prakteknya hal tersebut tetap dilakukan meski hanya

diterapkan pada tindak pidana tertentu saja seperti tindak pidana yang

tergolong kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Menurut Anis Widyawati sebuah tindak pidana dapat dikatakan sebagai

kejahatan luar biasa (extraordinary crime) jika memiliki empat unsur, yang

antara lain:4

1. Adanya korban dalam jumlah yang sangat besar.

2. Kejahatan dilakukan dengan cara yang sangat kejam.

3. Memiliki dampak yang luas terhadap psikologi masyarakat.

4. Ditetapkan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan kemanusiaan.

Empat syarat inilah merupakan sebuah satu kesatuan yang menjadi patokan

dalam menetapkan sebuah tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana

kejahatan luar biasa.

Pembahasan mengenai asas legalitas dan pemberlakuan hukum secara

surut tidak hanya terjadi di dalam hukum pidana Indonesia saja, namun di

dalam hukum pidana Islam juga terdapat pembahasan mengenai pemberlakuan

hukum secara surut meski tidak dilakukan pembahasan secara khusus dan

mendalam. Akan tetapi jika dilakukan kajian yang mendalam tentang ayat-

ayat al-Qur’an, maka akan ditemukan bahwa syari’at Islam juga mengenal

adanya praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam kasus yang sangat

berbahaya bagi masyarakat dan kemanusiaan.5

4 Anis widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, hal. 176.

5 Rahmat Syafi’I, “Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Syi’ar

Hukum, FH. Unisba. Vol. XII. No. 1 Maret 2010.

Page 13: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

4

Dalam hukum pidana Islam dikenal sebuah kaidah yang berbunyi:6

صانن دورو مبق اءهقانع العفأن ىكا حن

“sebelum adanyan nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-

orang yang berakal”

Dari kaidah ini diketahui bahwa sebuah perbuatan tidak bisa dianggap

sebagai jarimah (tindak pidana) jika tidak ada nash yang mengatakan

perbuatan tersebut sebagai suatu jarimah (tindak pidana). Selain kaidah diatas

ada pula kaidah lainnya yaitu :7

ىيرحانت ىهع ميناند لدي ىتح ةاحباإل اءيشاأل يف مصاأل

“Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang

menunjukan keharamannya”

Menurut Abd al-Qadir Audah sebagaimana dikutip oleh A. Wardi

Muslich, dari kedua asas (kaidah) di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:8

صن دري ىا ن ذاف .كرانت وأ معفان ورحي حيرص صنب الإ ةيرج كرت وأ معف اربتعإ نكا ين

كارت وأ ماعف ىهع ابقا عنو ةينؤسا يهف كرانت وأ معفان ورحي

“Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat, tidak boleh dianggap sebagai

jarimah, kecuali karena ada nash (ketentuan) yang jelas yang melarang

perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang

demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman bagi pelaku atas

sikapnya.”

Sehingga sebuah perbuatan tidak cukup jika hanya dipandang sebagai

suatu jarimah hanya karena perbuatan tersebut dilarang, akan tetapi perbuatan

6Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hal. 47

7 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2004) hal. 30.

8Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,hal. 30.

Page 14: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

5

tersebut perlu dinyatakan hukumannya. Artinya sebuah perbuatan dapat

dikatakan sebagai jarimah manakala ada ketentuan nashnya.

Meski praktek pemberlakuan hukum secara surut dianggap merupakan

penyimpangan terhadap asas legalitas dan bertentangan dengan Pasal 28 I

UUD 1945. Pada kenyataannya praktek pemberlakuan hukum secara surut

pernah diterapkan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang

Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Dimana tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk

merespon tindak pidana terorisme yang terjadi pada peristiwa bom Bali pada

tanggal 12 Oketober 2002 bertempat di dua lokasi yang berbeda yaitu

peristiwa pertama di Paddy’s Pub dan Sari Club di jalan Legian, Kuta, Bali.

Peristiwa ke dua di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat.

Selain itu praktek pemberlakuan hukum secara surut juga terjadi dalam

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Ad Hoc. Tujuan dari pembuatan undang-undang ini adalah untuk

menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur

pada tahun 1999 dan Tanjung Priok tahun 1984.

Terhadap dua undang-undang ini akhirnya diajukan judicial review yang

dilakukan oleh Abilio Jose Osorio Suares terhadap Undang-Undang No. 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berat, dan judicial review yang

dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir terhadap Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang

Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Page 15: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

6

Maka dengan adanya fakta ini penulis memandang bahwa perlu adanya

penelitian lebih lanjut tentan praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam

sistem hukum pidana Indonesia dan menuangkannya dalam sebuah karya tulis

ilmiah (skripsi) berjudul: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT

DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT

PANDANGAN HUKUM ISLAM.

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

Adanya fakta yang muncul tentang pemberlakuan hukum secara surut

menimbulkan banyaknya perdebatan. Pemberlakuan hukum secara surut

dianggap melanggar hak para pelaku tindak pidana. Sedangkan di sisi lain

pemberlakuan secara surut dapat memberikan keadilan bagi pihak korban

tindak pidana.

Mengingat luasnya pembahasan mengenai praktek pemberlakuan hukum

secara surut, maka penulis membatasi pembahasan dalam penelitian ini pada

praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam kasus pelanggaran HAM

berat dan dalam kasus tindak pidana terorisme.

Adapun rumusan masalah yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan

yaitu :

1. Bagaimana proses pemberlakuan hukum secara surut menurut sistem

hukum pidana Indonesia ?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberlakuan hukum secara

surut ?

Page 16: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam

sistem hukum pidana Indonesia.

b. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang pemberlakuan hukum

secara surut.

2. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan manfaat,

di antaranya :

a. Manfaat Akademis :

Adapun tujuan penilitian ini bagi dunia akademis yaitu:

1) Memberikan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa

tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut.

2) Menambah khazanah keilmuan di bidang hukum pidana Indonesia

dan hukum pidana Islam.

b. Manfaat Masyarakat :

Adapun manfaat dari penelitian ini bagi masyarakat :

1) Memberikan pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana luar

biasa.

2) Memberikan masukan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam

bertindak karena semua kejahatan yang dilakukan pasti akan ada

hukumannya.

Page 17: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

8

c. Manfaat Pemerintah :

Adapun manfaat dari penelitian ini bagi kalangan pemerintah adalah :

1) Memberi masukan kepada pemerintah dalam menyelesaikan segala

tindak pidana yang telah terjadi di masa lampau.

2) Memberi masukan kepada pemerintah bahwa pemberlakuan

hukum secara surut dapat dilakukan atas dasar prinsip keadilan.

D. Studi Terdahulu

Dalam pembuatan skripsi ini sebelumnya penulis melakukan kajian

terhadap tulisan-tulisan terdahulu. Akan tetapi sayangnya tulisan-tulisan

tersebut hanya berupa judulnya saja, namun bentuk nyata dari tulisan-tulisan

tersebut sudah tidak ditemukan. Adapun tulisan-tulisan tersebut memiliki

tema sebagai berikut:

1. Skripsi karya Pikri Zulpikar tentang Eksistensi Pengadilan Hak Asasi

Manusia Dalam Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat tahun 2003.

Dalam skripsi ini penulis hanya menjelaskan tentang eksistensi Pengadilan

HAM berat sebagai upaya dalam menyelesaikan kasus HAM berat.

2. Skripsi karya Dewi Jayanti Mandasari tentang Analisis Putusan Terhadap

Tindak Pidana Terorisme oleh Mushlihul Ma’arif (No.

1168/PID.B/2001/PN.Jakarta Selatan) tahun 2009. Adapun dalam skripsi

ini penulis menjelaskan tentang Surat Dakwaan yang dibuat oleh Jaksa

Penuntut Umum yang merupakan salah satu pertimbangan hukum hakim

dalam memberikan putusan.

Page 18: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

9

3. Tesis karya Muhammad Adil tentang “Islah” Dalam Pelanggaran Hak

Asasi Manusia tahun 2003. Dalam karya tulisnya penulis menjabarkan

tentang penggunaan islah sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan

permasalahan dalam kasus pelanggaran HAM berat.

Dari ketiga karya tulis di atas penulis tidak ada satu pun yang membahas

tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam sistem pidana

Indonesia sebagaimana yang nantinya akan penulis bahas dalam karya tulis

ini.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif – analitik dengan

menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yang kemudian

dilakukan analisa terhadap fakta-fakta yang muncul dari objek yang

diteliti. Sehingga nantinya hasil penelitian akan memberikan gambaran

yang obyektif tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti.

2. Obyek Penelitian

Obyek dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 013/PUU-I/2003, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-

II/2004 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 34 PK/PID.HAM.AD

HOC/2007.

3. Sumber Data Penelitian

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua

sumber :

Page 19: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

10

a. Sumber Data Primer :

Sumber data primer mencakup putusan Mahkamah Konstitusi,

putusan mahkamah agung, peraturan perundang-undangan seperti

Undang-Undang Pengadilan HAM, Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Perpu dan undang-undang yang lainnya yang terkait dengan

penelitian ini.

b. Sumber Data Sekunder :

Adapun sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Jurnal, Literatur-literatur dan Buku-buku yang memiliki kaitan

dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa deduktif –

induktif, dimana penulis menganalisa data-data yang bersifat umum dan

kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam karya tulis ini yaitu sebagai berikut :

BAB I : dalam bab ini berisi latar belakang, batasan masalah, perumusan

masalah, tujuan serta manfaat penelitian, review (kajian) studi

terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Page 20: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

11

BAB II : dalam bab berisi pengertian umum asas legalitas dan pengertian

retroaktif, kemudian asas legalitas dalam hukum pidana Islam,

pemberlakuan hukum secara surut sebagai pengecualian asas

legalitas baik dalam pandangan hukum Islam mau pun dalam

pandanga hukum pidana Indonesia.

BAB III : membahas tentang pemberlakuan hukum secara surut dalam aturan

pidana Indonesia yang kemudian terbagi menjadi tiga sub judul

yaitu pertama, pemberlakuan hukum secara surut menuru Pasal 1

ayat (2) KUHP, kedua, pemberlakuan hukum secara surut dalam

tindak pidana tertentu yaitu dalam kasus pelanggaran HAM berat

dan terorisme, ketiga, pemberlakuan hukum secara surut dalam

RKUHP.

BAB IV : dalam bab ini berisi tentang analisis praktek pemberlakuan hukum

secara surut dalam putusan pengadilan. Analisis menurut

pandangan hukum pidana Indonesia, dan juga analisis hukum Islam

menurut konsep mashlahah.

BAB V : bab terakhir ini berisikan kesimpulan dan saran-saran.

Page 21: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

12

BAB II

PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS DAN RETROAKTIF

A. Asas Legalitas dan Sejarahnya

Sebelum berbicara tentang pemberlakuan hukum secara surut

(Retroaktif), hendaklah kita terlebih dahulu membahas dan memahami tentang

asas legalitas yang menjadi asas fundamental dalam hukum pidana Indonesia.

Meskipun pada saat ini asas legalitas tidak diberlakukan secara absolut, serta

tidak lagi dianggap sebagai kebenaran absolut yang tidak dapat lagi

diperdebatkan, akan tetapi pikiran-pikiran yang berkembang masih

berdasarkan bahwa asas legalitas merupakan asas yang harus dijunjung tinggi,

sehingga berbagai penerobosan hanya dianggap sebagai suatu pengecualian,

serta menempatkan pikiran-pikiran tersebut sebagai sekedar pelengkap dari

asas legalitas tersebut.1

Menurut Roeslan Saleh bahwa asas legalitas yang terkandung dalam

Pasal (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur tentang apa sajakah

yang dipandang sebagai perbuatan pidana, sebab menurutnya tidak semua

perbuatan yang melanggar hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana,

dan merupakan tugas dari pemerintah untuk menentukan perbuatan apa saja

yang termasuk kategori perbuatan pidana.2

1 Deni Setyo, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan

Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2014) hal. 1.

2 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, (Jakarta:

Aksara Baru, 1981) hal. 1.

Page 22: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

13

Penerapan asas legalitas dalam proses penegakan hukum sebenarnya

adalah untuk melindungi hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan

pemerintah dalam menegakkan hukum. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masa

lalu saat terbentuknya asas legalitas itu sendiri. Dimana pada masa romawi

kuno ada sebuah tindak pidana yang dikenal dengan criminal extra ordinaria

atau yang lebih dikenal dengan kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan di

dalam undang-undang. Di antara criminal extra ordinaria ada suatu kejahatan

yang dikenal dengan criminal stellionatus yang artinya perbuatan jahat atau

durjana akan tetapi tidak diketahui bagaimana bentuk dari kejahatan tersebut.

Maka dengan adanya ketidakjelasan dari bentuk dan jenis kejahatan tersebut

maka pemerintah Romawi kuno menggunakan hukum pidana secara

sewenang-wenang demi menegakkan hukum.3

Keberadaan asas legalitas sendiri sebenarnya pertama kali muncul di

Amerika bermula dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Jenderal Lefayatte

mengenai hak-hak asasi manusia dimana selanjutnya ajaran tersebut

berkembang sampai ke Inggris melalui John Locke. Sedangkan di Perancis

ajaran tersebut dikembangkan oleh Montesquieu melalui konsep trias politica-

nya, dimana kekuasaan Negara dibagi menjadi tiga bagian, dengan maksud

melindungi hak-hak individu dari kesewenangan pemerintah. Seiring dengan

perkembangan waktu ajaran tentang asas legalitas kemudian dilanjutkan oleh

J.J. Rousseau dengan fahamnya yaitu fiksi perjanjian masyarakat yang

kemudian pemikirannya itu ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul Due

Contract Social yang menjelaskan bahwa sebuah pemerintahan timbul karena

3 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal. 26.

Page 23: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

14

adanya sebuah kesepakatan antara rakyat dan penguasa, dengan tujuan untuk

menjalankan aturan atau Undang-undang agar terciptanya kemerdekaan

berpolitik dan perdata. Selanjutnya Beccaria di Italia melalu bukunya Dei

delitti e delle pene menerangkan bahwa hukum pidana haruslah bersumber

dari hukum tertulis agar dapat terjaminnya hak-hak warga Negara dan warga

Negara pun mengetahui mana sajakah perbuatan yang dilarang dan

diperintahkan.4

Namun demikian ajaran yang benar-benar memberikan pengaruh

terhadap rumusan undang-undang hukum pidana ialah ajaran yang bersumber

dari seorang sarjana hukum jerman, Von Feuerbach. Ia merumuskan asas

legalitas dalam bahasa romawi yang dikenal dengan nullum delictum nulla

poena sine praevia lege poenali dalam bukunya Lehrbuch des Peinliches

Recht5 yang bermakna “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa adanya

aturan terlebih dahulu”.

Kemudian dari pepatah nullum crimen ini kemudian para ahli hukum

menyimpulkan bahwa ini merupakan sebuah prinsip yang melarang tentang

diberlakukannya hukum secara retroaktif, Thomas Hobbes mengatakan

sebagaimana yang dikutip oleh James Popple bahwa:

“No law, made after a fact done, can make it a crime…. For before the

law, there is no transgression of the law.”6

(tidak ada hukum yang dibuat setelah adanya perbuatan, sehingga

bisa menjadikan perbuatan tersebut sebagai suatu kejahatan. Jika sebelumnya

tidak ada aturan, maka tidak ada pelanggaran terhadap hukum).

4 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:

Alumni Ahaem, 1996) hal. 72. 5 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasasn, hal. 1.

6 James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal

Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August 1989, hal. 252.

Page 24: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

15

Dari perkataan Hobbes di atas dapat dipahami bahwa tidak ada

hukuman yang diberikan ketika perbuatan tersebut telah dilakukan sedangkan

tidak ada undang-undang yang mengatur tentang perihal tersebut, maka

dengan demikian perbuatan tersebut dikatakan tidak melanggar hukum.

Menurut Machteld Bolt dengan mengutip pendapat dari Jescheck dan

Weigend, paling tidak ada empat prinsip yang termasuk kedalam asas legalitas

tersebut yaitu:

1. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege praevia atau tidak ada

perbuatan pidana, tindak pidana tanpa adanya undang-undang yang

mengatur sebelumnya.

2. Prinsip nullum crimen, noela poena sine lege scripta atau tidak ada

perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang tertulis.

Sehingga setiap ketentuan pidana harus dituliskan secara expresiv verbis

dalam undang-undang.

3. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege certa atau tidak ada

perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas.

Dalam artian bahwa sebuah rumusan pidana haruslah dibuat secara jelas

agar tidak terjadi multitafsir sehingga dapat membahayakan kepastian

hukum.

4. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege stricta atau tidak ada

perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa adanya undang-undang yang

ketat. Akibat dari ketentuan ini maka dilarang menggunakan analogi.7

7 Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,

(Jakarta: Erlangga, 2009) hal. 4.

Page 25: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

16

Pada tahun 1789 di Amerika prinsip non-retroaktif (ex post facto law)

diatur di dalam artikel 1 Pasal 9 (3) dari Konstitusi Amerika. Kemudian

dikatakan pula pada artikel 7 dari Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia

yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan diperlakukan dan dihukum

secara semena-mena atas perbuatan atau kelalaian yang dilakukan, jika

perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan yang disepakati oleh

Negara-negara yang beradab yang kemudian dalam Pasal 15 kata “Negara-

negara beradab” diganti dengan “komunitas bangsa-bangsa”. 8

Dalam sistem hukum pidana Indonesia asas legalitas diletakkan pada

Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatakan

bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan

dalam undang-undang yang telah ada, sebelum perbuatan tersebut dilakukan.

Sehingga setiap perbuatan yang dilakukan sebelum munculnya peraturan yang

mengatur tentang perbuatan tersebut maka si pelaku tidak bisa dikenakan

hukuman.

Jika melihat kembali kepada sejarah ketatanegaraan kita, hal semacam

ini pernah diatur dalam konstitusi Negara kita yaitu diatur dalam Pasal 14 ayat

2 UUDS 1950 yang mengatakan bahwa: “tiada seorang juapun dapat atau

boleh dituntut untuk dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan yang ada

dan berlaku terhadapnya.”, dan jika dilihat secara yuridis formal maka

rumusan ini merupakan asas legalitas, akan tetapi perbedaannya adalah jika

8 James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam

Criminal Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August

1989, hal. 253.

Page 26: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

17

kita hendak merubah rumusan tersebut maka kita juga harus merubah

konstitusi. Sedangkan secara teoritis Pasal 1 ayat (1) KUHPidana yang

merupakan penjelmaan dari asas legalitas dapat diubah atau dikesampingkan

hanya dengan membuat undang-undang baru yang berbeda.9

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa asas legalitas yang sebelumnya

dikenal dengan prinsip „nulla poena’ menjadi patokan utama dalam

memberikan hukuman, dimana dalam salah satu intisari prinsip tersebut

dikatakan bahwa sebuah perbuatan dapat dijatuhi hukuman jika perbuatan itu

diatur dalam sebuah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan

tersebut dilakukan, sehingga jika sebuah pemberian hukuman dilakukan

terhadap perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang atau ketika

perbuatan telah dilakukan barulah dibuatkan undang-undangnya (berlaku surut

atau retroaktif), maka hal tersebut melanggar ketentuan-ketentuan dalam

aturan hukum itu sendiri.

B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam

Penerapan asas legalitas tidak hanya dikenal dalam hukum pidana

positif saja, sebab meski tidak disebutkan secara jelas, dalam hukum Islam

pun dikenal dengan adanya asas legalitas, dimana seseorang tidak dianggap

melakukan tindak pidana (Jarimah) sebelum turunnya nash al-Qur‟an yang

menyatakan bahwa perbuatannya itu haram dan patut mendapatkan hukuman.

Hal ini dikarenakan adanya asas atau kaidah hukum yang mengatakan bahwa

hukum asal suatu perkara adalah kebolehan, dengan kata lain seseorang

9 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) hal. 38.

Page 27: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

18

dibolehkan melakukan apa saja selama tidak melanggar aturan, dan jika ia

melanggar aturan maka ia boleh dipidana.10

Sebenarnya pembahasan tentang hukum Islam tidak bisa dilepaskan

begitu saja dari aspek teologis yang berkembang di kalangan umat Islam.

Sebab intisari dari ajaran agama Islam pada dasarnya terbagi menjadi tiga

bagian, yaitu aspek akidah, akhlak dan hukum. Ketiga aspek ini mempunyai

peranan penting dalam menciptakan kehidupan yang bahagia.

Tidak hanya itu saja pemahaman yang berbeda dari para ulama

terhadap ayat-ayat hukum yang ada didalam al-Qur‟an menjadi faktor yang

menyebabkan berbedanya suatu kaidah hukum yang telah ada pada masa kini.

Selain itu dari 6236 ayat yang terdapat di dalam al-Qur‟an kurang lebih hanya

ada 228 ayat yang membahas tentang hukum dan dari 228 ayat tersebut hanya

ada 30 ayat yang berkaitan dengan hukum pidana. Tentunya hal ini

membutuhkan usaha keras untuk mengembangkan hukum agar tidak tertinggal

dari perkembangan masyarakat.

Berkaitan dengan pembahasan asas legalitas di dalam al-Qur‟an

kiranya ada beberapa ayat yang berkaitan dengan hal tersebut salah satunya

adalah :

“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka

Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan

10

Rachmat Syafe‟i, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Jurnal Syiar

Hukum, Fakultas Hukum UNISBA Vol. XII No. 1 Maret 2010.

Page 28: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

19

Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian)

dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang

lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

(al-Isra : 15)

Menurut aliran Asy‟ariyah ayat ini menerangkan bahwa seseorang

tidak dapat dijatuhi hukuman (taklif) atas tindak kejahatannya sebelum

diutusnya seorang nabi atau rasul, meskipun sebenarnya orang tersebut

mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dilarang.

Namun berbeda dengan pemikiran aliran Mu‟tazilah yang berpendapat

meskipun belum ada ayat yang menjelaskan suatu perbuatan dilarang atau

belum diutusnya seorang rasul kepada suatu kaum, apabila mereka melakukan

kejahatan maka mereka bisa dijatuhi hukuman (taklif). Karena menurut

mereka meski belum diutus seorang rasul namun akal manusia dapat

membedakan antara baik dan buruknya suatu perbuatan.11

Lain halnya dengan pendapat aliran Maturidiyah yang mengambil

jalan tengah dimana aliran ini menyetujui pendapat kalangan Mu‟tazilah

tentang kemampuan akal mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, akan

tetapi dilain sisi berbeda pandangan tentang pembebanan hukum (taklif).

Menurut kalangan Maturidiyah permasalahan taklif, dosa dan pahala hanya

ditetapkan melalui wahyu Allah. Meskipun akal memiliki kemampuan untuk

mengetahui mana yang baik dan buruk, mashlahat atau mafsadat, namun akal

tetap harus tunduk pada ketetapan wahyu.12

Asas legalitas seperti yang disebutkan di atas, yang memberikan

11

Amir Syarifuddin, Ushul FIqh, (Jakarta: Kencana, 2011, Jilid 1) hal. 414.

12

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hal. 416.

Page 29: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

20

penjelasan bahwa tidak ada jarimah atau hukuman tanpa adanya suatu nash

(aturan-aturan) yang disebutkan di dalam syara, bukan di dasarkan atas nash-

nash syara‟ yang sifatnya umum semata yang menyuruh kepada keadilan dan

melarang kedzaliman, melainkan didasarkan atas nah-nash yang jelas dan

khusus mengenai persoalan ini.13

Selain ayat dari surat Bani Israil di atas ada beberapa ayat lain yang

juga menjelaskan tentang asas legalitas diantaranya Q.S. al-Qasas, Q.S. al-

An‟am, Q.S. al- Baqarah dan Q.S. al- Anfal. Nash-nash ini semuanya berisi

ketentuan, bahwa tidak ada sesuatu jarimah kecuali sesudah ada penjelasan,

tidak ada hukuman kecuali sesudah ada pemberitahuan.14

Sehingga dengan

adanya nash- nash al-Qur‟an tersebut kemudian muncullah satu kaidah yang

berkenaan dengan asas legalitas yaitu

صنالب لا جريمة ولا عقوبة إلا

“Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman kecuali tertulis dalam

peraturan”15

Dengan demikian jelas bahwa semua tindak pidana harus dimasukkan

atau diatur didalam sebuah undang-undang yang terperinci dan jelas agar

terhindar dari kesewenang-wenangan dalam menegakkan hukum. Dalam

Islam dikenal kaidah la hukm qabla syar’ -tidak ada hukum sebelum ada

ketentuan dari syara‟, sehingga sanksi hanya diberikan kepada seorang

13

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hal.

48. 14

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, hal. 49.

15

Abd al- Qadir „Audah, al- Tasyri’ al- Jina’I al- Islami, (Kairo: Maktabah Dar al-

„Urubah, 1968) hal. 261.

Page 30: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

21

berdasarkan aturan yang jelas. Dengan demikian hukum Islam sejalan dengan

prinsip yang dianut oleh hukum positif.16

C. Pemberlakuan Hukum Secara Retroaktif (Surut) Sebagai Pengecualian

Asas Legalitas

Ketika berbicara tentang asas legalitas maka kiranya tidak bisa

dilepaskan dari pembahasan tentang apa itu „retroaktif‟ atau biasanya para

pakar hukum menyebutnya dengan „asas retroaktif‟, meski sebenarnya penulis

merasa kurang tepat jika retroaktif disebut sebagai „asas‟ akan tetapi lebih

tepat jika disebut sebagai sebuah aturan hukum saja. Sebab jika merujuk pada

pendapat Roeslan Saleh yang mengatakan bahwa asas-asas hukum bersifat

lebih umum daripada undang-undang dan keputusan-keputusan hukum adalah

penjabaran dari asas-asas hukum.17

Menurutnya pula selain asas hukum

bersifat lebih umum dan aturan hukum bersifat lebih khusus, asas-asas hukum

mempunyai teritori terapan yang lebih luas ketimbang aturan hukum yang

memiliki teritori terapan yang lebih sempit.18

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa Retroactivie adalah

an extending in scope or effect to matters that have occurred in the past.19

Sementara itu di dalam kamus bebas Wikipedia, pengertian retroaktif

dijelaskan sebagai;

16

Rachmat Syafe‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Ilmu Hukum;

Syiar Hukum. FH. Unisba Vol. XXI No. 1 Maret 2010, hal. 69.

17

Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, ( CV. Karya

Dunia Fikir, 1996), hal. 20.

18

Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional. hal. 21.

19

Anis Widyawati, Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia, (Jurnal Pandecta,

FH. Universitas Negeri Semarang Vol. 6 No. 2 Juli 2011) hal. 171.

Page 31: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

22

Law that retroactively changes the legal consequences of acts commited or the

legal status of facts and relationships that existed prior to the enactment of

the law.

“hukum yang berlaku surut mengubah akibat hukum terhadap tindakan yang

dilakukan atau mengubah status hukum dan hubungan yang ada sebelum

berlakunya hukum”

Dari pengertian di atas dikatakan bahwa hukum yang diterapkan secara

retroaktif (berlaku surut) mengubah akibat-akibat hukum dari tindakan yang

dilakukan atau status hukum dari perbuatan dan hubungan yang terjadi

sebelum penetapan undang-undang.20

Penerapan hukum secara retroaktif memang mengundang berbagai

tanggapan bahkan perdebatan baik itu dikalangan para ahli hukum maupun

dari kalangan pelaku tindak kejahatan itu sendiri. Pasalnya sebagaimana

dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan hukum secara retroaktif telah

melanggar aturan yang tersirat dari asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1

ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Terlebih dikatakan bahwa

penerapan hukum secara retroaktif dianggap bertentangan dengan hak asasi

manusia yang diakui di dalam Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian

dikatakan sebagi hak konstitusional warga Negara, yang salah satunya adalah

“hak bebas dari tuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut.21

Di dalam

UUD 1945 sendiri setidaknya ada 11 pasal yang membahas tentang HAM

mulai dari Pasal 28, 28A sampai dengan Pasal 28J.

20

A. Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam

perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 274.

21

Masyhur Efendi, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial,

Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam

Masyarakat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal. 151.

Page 32: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

23

Akan tetapi jika dikatakan bahwa penerapan hukum secara surut

dianggap melanggar hak dari pelaku kejahatan tersebut maka kita pun harus

melihat dampak yang timbul akibat kejahatan yang dilakukan. Memang benar

dikatakan dalam Pasal 28I ayat 1 bahwa;

“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Akan tetapi jika kita melihat kepada pada pasal selanjutnya yaitu Pasal 28J

ayat 1 dan ayat 2 yang mengatakan bahwa;

(1) Setiap orang harus menghormati hak-hak orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang diwajibkan

untuk tunduk kepada pembatasan undang-undang dengan maksud semata-

mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat demokratis.

Menurut pemerintah pembatasan Pasal 28J terhadap Pasal 28I ini

memungkinkan diterapkannya suatu aturan pidana yang berlaku surut.22

Akan

tetapi berbeda dengan pemerintah, Nyoman Serikat Putra Jaya memberikan

pandangannya bahwa Pasal 28I yang berisikan tentang hak-hak warga Negara

22

Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam

Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008, hal. 77.

Page 33: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

24

yang sifatnya tidak dapat bisa dikurangi atau dibatasi (derogable rights),23

meskipun terdapat Pasal 28J yang menurut pemerintah memberikan peluang

bagi penerapan hukum secara surut, namun menurut Nyoman Serikat

ketentuan dalam Pasal 28J tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa “hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” dapat dikurangi

atau dibatasi.24

Namun demikian jika melihat pada penjabaran diatas bukan berarti

peluang untuk memberlakukan suatu aturan pidana secara surut menjadi

tertutup. Sebagaimana pendapat Romli Atmasasmita yang dikutip oleh Dani

Setyo Bagus mengatakan bahwa prinsip hukum non-retroaktif hanya berlaku

bagi pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia

bukan pelanggaran biasa. Oleh karena itu, prinsip non-retroaktif tidak bisa

dipergunakan.25

Jika mencermati pendapat Romli maka penerapan hukum secara retroaktif

hanya dapat dilakukan pada tindak pidana yang sifatnya luar biasa, dengan

persyaratan bahwa suatau tindak pidana dapat dikatakan luar biasa jika:

1. Adanya jumlah korban yang besar

2. Cara melakukan kejahatan kejam

23

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai

Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu

Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana,

Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004, hal. 18.

24

Nyoman Serikat, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai

Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu

Hukum Pidana) hal. 19.

25

Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah

Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 72.

Page 34: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

25

3. Dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas

4. Penetapan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan

Penerapan suatu aturan hukum pidana secara surut sebenarnya

merupakan suatu penyimpangan terhadap asas legalitas yang terdapat di dalam

Pasal 1 ayat 1 KUHP. Sebab jika kita rasakan bahwa berlakunya asas legalitas

seolah-olah hanya untuk melindungi kepentingan dan hak dari pelaku namun

kurang memperhatikan hak dan kepentingan dari korban akibat dari tindak

kejahatan yang dilakukan, sehingga terlihat bahwa akses untuk memperoleh

keadilan bagi korban terutama korban kolektif menjadi terhambat.

Selain itu meski asas legalitas atau principles of legality diakui sebagai

asas yang fundamental oleh Negara-negara yang menggunakan hukum pidana

sebagai sarana penanggulangan kejahatan, namun pemberlakuannya tidak

bersifat mutlak dalam artian bahwa penerapan hukum pidana secara surut

dapat dilakukan jika perbuatan yang dilakukan tersebut bertentangan dengan

hukum tidak tertulis yang menurut hukum pidana internasional disebut dengan

prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Kemudian pemberlakuan hukum secara surut hanya dapat dilakukan pada

pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat.26

Penerapan hukum secara surut dalam hukum Islam ( األثر الرجعي)

dilakukan demi kemashlahatan pelaku dan korban. Jika perbuatan yang

26

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai

Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu

Hukum Pidana) hal. 37.

Page 35: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

26

dilakukan sebelum adanya aturan tersebut maka pelaku bisa dihukum dengan

undang-undang atau hukum yang muncul kemudian. Namun dengan syarat

hukuman yang diberikan harus lebih ringan dari hukuman yang telah ada.

Kemudian jika pelaku telah dihukum dengan aturan atau undang-undang yang

lama maka ia tidak boleh dihukum dengan aturan atau hukum yang baru

dibuat. Hal ini dilakukan semata-mata demi menjaga kepentingan baik pelaku

maupun korban.27

Hal ini sejalan dengan dengan apa yang disebutkan di

dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, yaitu “bilamana ada perubahan dalam

perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, terhadap terdakwa

diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.”

Kemashlahatan sendiri merupakan prinsip yang berlaku secara

universal. Setiap manusia yang ada dimuka bumi ini menginginkan

kemashlahatan bagi dirinya. Sehingga tidak salah jika Islam memandang

kemashlahatan sebagai sebuah pertimbangan hukum, terlebih terhadap

perkara-perkara atau peristiwa hukum yang tidak disebutkan di dalam al-

Qur‟an maupun as-Sunnah, akan tetapi meski kemashlahatan dapat dijadikan

sebagai pertimbangan hukum, bukan berarti penggunaan konsep mashlahat

dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Dalam artian ada syarat-syarat

tertentu yang harus dipenuhi agar maslahah dapat dijadikan sebagai

pertimbangan hukum di antaranya:

1. Penerapan maslahah masih dalam ruang lingkup maqasidu syari‟ah, yaitu

menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

27

Abd al- Qadir „Audah, al- Tasyri’ al- Jina’I al- Islami, hal. 271.

Page 36: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

27

2. Maslahat tidak bertentangan dengan al-Qur‟an.

3. Maslahah tidak bertentangan dengan as-Sunnah.

4. Maslahah tidak bertentangan dengan qiyas, dan

5. Penerapan maslahah tidak merusak maslahah lain yang lebih penting.28

Menurut Mushtafa al-Zarqa sebagaimana yang dikutip oleh Fathikun ada

empat alasan yang membolehkan penggunaan konsep maslahah dalam

penerapan hukum secara surut yaitu; 29

1. Untuk mendatangkan kemashlahatan (jalb al-mashalih), dimana penerapan

hukum secara retroaktif bisa dilakukan jika ia dapat menimbulkan

ketentraman dan keadilan bagi kehidupan masyarakat secara umum.

2. Menolak kerusakan (dar’ al-mafasid), untuk menghindari hal-hal yang

tidak diinginkan seperti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga hukum, maka diperbolehkan penerapan hukum secara retroaktif.

Terlebih jika tindak kejahatan yang dilakukan bersifat luar biasa, korban

yang ditimbulkan dalam jumlah besar ditambah belum adanya undang-

undang yang mengatur tentang tindak pidana tersebut, maka demi

terciptanya keadilan yang sifatnya kolektif maka penerapan hukum secara

retroaktif dianggap relevan dengan metode ini.

3. Untuk menutup peluang ( sadd al-dzari’ah ) bagi terjadinya pelanggaran

di masa yang akan datang. Alasan ini pun masih komprehensif dengan

penerapan hukum secara retroaktif. Meskipun peluang terjadinya

28

Muhammad Said Ramadhan al-buthi, Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at al-

Islamiyah, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997) hal. 248. 29

M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana

Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali, hal. 90.

Page 37: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

28

pelanggaran masih sebatas kemungkinan, namun mengingat

perkembangan manusia lebih cepat dari perkembangan hukum maka demi

mencegah timbulnya potensi kejahatan penerapan hukum secara retroaktif

menjadi salah satu solusinya.

4. Perubahan waktu, menurut Abu Zahrah teks undang-undang, meskipun

begitu banyak tetap tidak akan mungkin bisa mencakup semua kejahatan

disertai dengan perkembangannya.30

Mengingat bahwa saat ini

perkembangan kejahatan terus meningkat dan undang-undang yang ada

belum tentu bisa mengaturnya sehingga tidak tercapai efektifitas dalam

menegakan hukum demi tercapainya keadilan, maka penerapan hukum

secara surut dapat dilakukan sebagai jalan keluar.

Jadi baik dalam hukum pidana Indonesia maupun dalam hukum pidana

Islam keberadaan asas legalitas merupakan sesuatu keharusan dengan tujuan

demi mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak si Pelaku tindak pidana.

Akan tetapi keberadaan asas legalitas dianggap hanya berpihak pada

kepentingan pelaku dan kurang mengakomodir kepentingan korban. Sehingga

demi terwujudnya keadilan maka diperbolehkan memberlakukan hukum

secara surut sebagai sebuah upaya untuk memenuhi rasa keadilan bagi para

korban.

30

Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al- Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar

al-Fikr al-Arab, 1977) hal. 159.

Page 38: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

29

BAB III

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM ATURAN

PIDANA INDONESIA

A. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP

Secara garis besar pemberlakuan hukum pidana dibagi menjadi dua jenis

pemberlakuan, pertama, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan

waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat.

Pemberlakuan hukum pidana secara waktu tidak terlepas dari eksistensi

prinsip legalitas yang dianut dalam sistem hukum pidana Indonesia, di mana

proses penegakan hukum harus mengikuti apa yang sudah ditentukan dalam

Kitab Undang-Undang Hukum pidana. Dimasukannya prinsip legalitas dalam

sistem hukum pidana Indonesia sendiri tidak terlepas dari sejarah kemunculan

asas legalitas itu sendiri yang bermula dari kesewenang-wenangan para raja

pada masa Romawi kuno.

Sehingga demi melindungi kepentingan rakyat dari kesewenang-wenangan

raja maka pada saat itu timbul pemikiran untuk menciptakan sebuah wet yang

di dalamnya ditentukan mana saja perbuatan yang dapat dikatakan sebagai

kejahatan. Sehingga pada akhirnya terlahirlah kalimat nullum delictum nulla

poena sine praevia lege atau tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman pidana

tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu, yang kemudian diadopsi

kedalam pasal 1 ayat (1) KUHP sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa

sebuah perbuatan tidak dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan yang

mengatur terlebih dahulu, kemudian sebuah ketentuan pidana tidak dapat

Page 39: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

30

diberlakukan secara surut (retroaktif).1

Menurut Cleiren dan Nijboer sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah

mengatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum tertulis. Tidak seorang

pun dapat dipidana dengan berdasarkan pada hukum kebiasaan, sebab hukum

kebiasaan tidak menentukan hal-hal apa saja yang dapat dipidana

(Strafbaarheid).2

Keberadaan asas legalitas memang diakui mampu melindungi kepentingan

masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Akan tetapi jika dilihat

dari segi keadilan keberadaan asas legalitas hanya memberikan keadilan bagi

individu tertentu saja yang dalam hal ini adalah pelaku tindak pidana. Namun

jika dilihat dari segi keadilan kolektif maka asas legalitas dirasa belum dapat

memenuhi hal tersebut. Sebab bisa saja pelaku kejahatan tersebut dilepaskan

jika perbuatan yang dilakukannya tidak termasuk kedalam kejahatan yang

ditentukan oleh undang-undang. Sehingga dalam hal ini timbul sebuah kesan

bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan karena adanya

peraturan (mala in prohibita), bukan sebaliknya sebuah perbuatan dianggap

sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut tercela (mala in se) sehingga

meski dampak yang timbul dari perbuatan tersebut berakibat fatal, namun jika

belum diatur dalam undang-undang maka perbuatan tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai tindak pidana. Bahkan menurut Hazewingkel Suringa

sebagaimana dikutip oleh Muladi, yang berpendapat bahwa dengan adanya

1 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika

Aditama, 2008) hal. 42.

2 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal. 41.

Page 40: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

31

ketentuan legalitas ini bukan hanya pelaku tindak pidana tersebut tidak dapat

dituntut, namun ia (pelaku-pen.) juga tidak dapat dijatuhi pidana.3

Sehingga keberadaan asas legalitas yang dianggap sakral ini akhirnya

menjadi hambatan tersendiri bagi penegakan hukum di Indonesia, sebab jika

melihat perkembangan kejahatan selalu lebih cepat ketimbang perkembangan

hukum, penegakan hukum pidana Indonesia selalu mengalami ketertinggalan

dan kurang responsif. Namun demikian, banyak para ahli yang setuju untuk

menganut asas legalitas, meski prinsip legalitas memiliki kelemahan yaitu

kurangnya memberikan rasa keadilan bagi pihak korban dan lambat dalam

merespon kejahatan. Akan tetapi berbeda menurut pandangan Utrecht, ia

menganggap bahwa dengan dianutnya prinsip legalitas dalam hukum pidana

Indonesia menyebabkan banyaknya perbuatan yang sepatutnya dijatuhi

hukuman pidana (Strafwaarding) tidak dipidana karena adanya prinsip

legalitas tersebut. Ia juga beranggapan bahwa keberadaan asas legalitas

tersebut menjadi penghambat bagi perkembangan hukum pidana adat yang

hidup di masyarakat.4

Akan tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa larangan untuk

menegakan hukum secara surut (retroaktif) bukan hanya ada di dalam hukum

pidana saja, semua bidang hukum pun sebetulnya menganut prinsip non-

retroaktif. Sebagaimana disebutkan dalam Algemene Bepalingen van

Wetgeving (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-Undangan) yang

3 Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia Dalam

Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum

Nasional Depertemen Hukum dan HAM RI, 2003) hal. 17.

4 Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia, hal. 21.

Page 41: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

32

dikeluarkan oleh pemerintah Belanda tertanggal 30 April 1847 (Staatsblad

1847 No. 23). dalam pasal 2 disebutkan;

“De wet verbindt allen voor het toekomende en heft geen terugwerkende

kracht (Undang-Undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku

surut)”.5

Hanya saja asas ini kemudian oleh pembuat undang-undang diulangi

kembali dalam Undang-undang Hukum Pidana, sehingga memberikan kesan

bahwa prinsip non-retroaktif hanya ada di dalam hukum pidana saja.

Meskipun asas legalitas atau principles of legality merupakan asas

fundamental yang diakui oleh negara-negara namun berlakunya tidak secara

mutlak, artinya terhadap asas legalitas masih bisa dilakukan penyimpangan

demi menggapai keadilan. Menurut pendirian yang berkembang selama ini

bahwa dalam Ayat (2) dalam pasal 1 KUHP memberikan peluang bagi

penerapan hukum secara retroaktif dengan harapan dapat memberikan

keadilan bagi para korban kejahatan, hal ini tidak terlepas dari redaksi yang

ada di dalam Ayat 2 tersebut yang mengatakan;

“Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-

undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.

Maka jika kita melihat redaksi yang disampai dalam Ayat (2) tersebut

secara kontekstual, dapat dipahami bahwa sebuah peraturan perundang-

undangan dapat diberlakukan surut dengan syarat;

1. Adanya perubahan dalam perundang-undangan ketika proses hukum

sedang berlangsung.

5 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, hal. 43.

Page 42: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

33

2. Ada aturan yang meringankan bagi terdakwa (Retroactive des lois plus

douces).

Namun menurut Barda Nawawi jika Pasal 1 ayat (2) dianggap memuat

prinsip retroaktif maka anggapan tersebut adalah kurang tepat. Menurutnya

Pasal 1 ayat (2) tidak mengatur tentang prinsip retroaktif, melainkan mengatur

tentang hukum yang berlaku pada masa transisi karena adanya perubahan

dalam perundang-undangan. Jika dalam masa transisi ada 2 pilihan

perundang-undangan maka hendaknya dicarikan hukum yang lebih

meringankan bagi tersangka, jadi di dalam Pasal 1 ayat (2) terkandung asas

subsidiaritas bukan asas retroaktif. Meskipun dikemudian hari muncul

undang-undang yang baru bukan berarti undang-undang yang lama tidak

dipakai lagi. Sebab jika ketentuan yang ada di dalam undang-undang yang

lama lebih meringankan maka masih dapat digunakan. Sehingga menurutnya

kurang tepat rasanya jika menganggap Pasal 1 Ayat (2) berisi prinsip

retroaktif.6

Menurut Bagir Manan Asas “retroaktif” memiliki pengertian yaitu

penerapan ketentuan hukum yang baru terhadap peristiwa hukum sebelum

peraturan perundang-undangan yang baru tersebut ditetapkan. Sedangkan

yang dimaksud dengan “hukum peralihan” adalah tetap menerapkan ketentuan

hukum yang lama terhadap peristiwa hukum yang sudah ada atau yang akan

ada. Tujuan dari penerapan aturan peralihan tersebut ialah untuk mencegah

terjadinya kekosongan hukum, sehingga kepastian dan ketertiban hukum tetap

6 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2003) hal. 8-9.

Page 43: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

34

terjamin.7 Keberadaan Pasal 1 ayat 2 dalam KUHP memang banyak

mengundang kontroversi, bahkan menurut Hazewingkel Suringa menyatakan

bahwa sebaiknya ayat 2 dalam pasal 1 itu dihapus saja. Sebab meskipun

sebuah hukum boleh dilakukan secara surut dengan syarat hukuman harus

lebih ringan, maka pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan bagi

sesama pelaku kejahatan. Namun menurut Van Hattum, jika ada dua aturan

baru yang lebih ringan dari aturan lama maka hendaknya pada waktu

mengadili terdakwa pengadilan menggunakan aturan-aturan yang lebih ringan

bagi terdakwa dengan alasan retroactive des lois plus douces atau berlaku

surut aturan yang ringan baginya. Sebenarnya apakah maksud dari ketentuan

yang lebih menguntungkan atau lebih ringan tersebut ?.8 Dibagian Penjelasan

KUHPidana Belanda, dijelaskan bahwa ketentuan yang paling

menguntungkan atau gunstige bepalingen tidak hanya berkaitan dengan

dengan pidananya saja, namun juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh

atau penilaian terhadap suatu tindak pidana. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa ketentuan yang paling menguntungkan adalah:

1. pengurangan ancaman pidana.

2. penghapusan sifat dapat dipidana suatu perbuatan dengan ketentuan :

a. adanya pencabutan pidana.

b. penambahan bagian (bestanddeel) yang baru dalam rumusan ketentuan

pidana, sehingga memungkinkan perbuatan terdakwa tidak termasuk

lagi sebagai tindak pidana.

7 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004) hal. 55.

8 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal. 39.

Page 44: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

35

3. menghapuskan sifat dapat dituntut (vervolgbaarheid).9

Sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Farid, Jonkers berpendapat

bahwa ketentuan-ketentuan yang paling menguntungkan bukan hanya dalam

hal pidana, namun termasuk pula termasuk kedalamnya hal-hal yang berkaitan

dengan penuntutan, pengurangan jangka waktu verjaring, dan keadaan bahwa

perbuatan tersebut merupakan delik aduan.10

Di lain pihak Profesor Simons

berpendapat bahwa ketentuan yang paling menguntungkan meliputi11

:

1. Hal dapat dihukumkan perbuatannya itu sendiri.

2. Bentuk-bentuk pertanggungjawabannya.

3. Syarat-syarat mengenai dapat dihukumnya suatu perbuatan.

4. Jenis hukumannya.

5. Berat-ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan.

6. Pelaksanaan hukumannya itu sendiri.

7. Batalnya hak untuk melakukan penututan.

8. Masalah kedaluwarsanya.

Sedangkan menurut van Hammel bahwa ketentuan-ketentuan yang

menguntungkan bagi terdakwa diantaranya adalah12

:

1. Semua ketentuan dalam hukum material yang mempunyai pengaruh

terhadap penilaian menurut hukum pidana mengenai suatu perilaku.

9 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali

Press, 2012) hal. 277-278.

10

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 152.

11

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1997) hal. 172.

12

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, hal. 172.

Page 45: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

36

2. Pertanggung jawaban menurut hukum pidana.

3. Syarat-syarat tambahan mengenai hak untuk melakukan penuntutan dan

mengenai hak untuk menjatuhkan hukuman.

4. Jenis hukumannya.

5. Lamanya hukuman yang telah dijatuhkan.

6. Ketentuan-ketentuan mengenai delik aduan.

7. Ketentuan-ketentuan mengenai penuntutan menurut hukum pidana.

8. Ketentuan-ketentuan mengenai hukuman.

Terlepas dari pandangan para ahli hukum, penerapan penerapan hukum

secara retroaktif masih memungkinkan untuk dilakukan terlebih jika

berdasarkan pada prinsip keadilan, namun tentunya masih tetap berdasarkan

pada ketentuan dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP, yaitu harus diterapkan hukuman

yang lebih ringan. Menurut pendapat Muladi sebagaimana dikutip oleh

Mahrus Ali dalam bukunya, mengatakan bahwa penerapan hukum secara

retroaktif dalam hukum pidana juga berkaitan dengan hukum tata negara

darurat, dimana penerapannya hanya dapat dilakukan jika negara dalam

keadaan darurat, pemberlakuannya hanya dilakukan untuk wilayah tertentu,

dan waktu pemberlakuaannya pun hanya bersifat temporer bukan permanen

serta harus disebutkan di dalam Undang-Undang. Kedua, penerapan hukum

secara retroaktif tidak boleh bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 2 KUHP,

artinya karena sifatnya yang darurat hukum boleh diterapkan secara surut

namun dengan syarat hukumannya tidak memberatkan bagi tersangka atau

Page 46: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

37

terdakwa, ketiga, tidak boleh menyimpang dari Asas Lex Certa sehingga tidak

menimbulkan multiinterpretasi dan dapat menimbulkan kesewenang-

wenangan oleh penguasa. 13

Jika memang penerapan hukum secara surut merupakan pelanggengan

lex talionis oleh pemerintah terhadap pelaku kejahatan, dan asas legalitas

merupakan penangkalnya dengan tujuan melindungi hak dan kepentingan dari

tersangka maka hal tersebut dirasa kurang tepat. Sebab jika kita berbicara

tentang hak, maka bukan hak dari tersangka saja yang harus kita penuhi

namun kita juga perlu memperhatikan hak dari para korban dan keluarganya

yang mencari keadilan, sehingga pada akhirnya terciptalah sebuah

keseimbangan.

Menurut James People sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali

mengatakan bahwa, “non-retroactivity is an important principle, but it does

not deserve the status of a fundamental human rights. Perlindungan terhadap

penuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut adalah sesuatu yang penting,

tetapi ia tidak layak mendapat status sebagai hak asasi yang sifatnya

fundamental. Jika memang hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang

berlaku surut merupakan bagian dari hak individual, maka sifatnya hanya hak

biasa saja. Sebab jika ia dianggap sebagai hak fundamental maka ia

bertentangan dengan fakta bahwa hak masyarakat umum lebih penting dari

pada hak individu.14

13

Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hal. 172

14

Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hal. 77.

Page 47: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

38

Dengan demikian jika melihat pada penerapan hukum secara retroaktif

merupakan suatu keniscayaan namun harus disertai dengan alasan dan

batasan-batasan yang jelas dalam menerapkan prinsip retroaktif tersebut.

Bahkan menurut Muladi ia mengatakan bahwa penerapan hukum secara

retroaktif dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan

kasus kejahatan HAM berat atau gross violation of human rights dengan

didasarkan pada asas keadilan.

B. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana Tertentu

1. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Pelanggaran HAM Berat.

Tujuan dari dibentuknya pengadilan HAM di Indonesia adalah

untuk menyelesaikan berbagai kasus kejahatan HAM yang pernah terjadi

di masyarakat pada masa lampau. Hal itu menandakan bahwa pengadilan

HAM muncul setelah adanya tindak kejahatan yang telah terlebih dahulu

dilakukan oleh pelaku. Dan itu juga mengindikasikan bahwa pengadilan

HAM ad hoc memiliki kewenangan untuk memberlakukan hukuman

secara surut atau retroaktif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa “

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum

diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh

Pengadilan HAM ad hoc”15

, tentunya hal ini dapat dikatakan sebagai

pelanggaran terhadap prinsip legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang

telah diakui oleh Negara Indonesia.

15

Lihat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Page 48: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

39

Namun demikian menurut Oentoeng Wahjoe terhadap kejahatan

HAM berat dapat diterapkan asas retroaktif dengan berdasarkan pada

hukum internasional. Kemudian penerapan hukum secara retroaktif juga

merupakan implementasi atau penerapan dari apa yang sudah ditentukan di

dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan

bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya seseorang harus tunduk

dan patuh pada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh undang-

undang. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk menjamin hak

dan kebebasan orang lain demi tercapainya sebuah keadilan yang sesuai

dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam

suatu tatanan masyarakat yang demokratis. Ia pun menambahkan bahwa

karena pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan luar biasa (extra-

ordinary crime) dan khusus yang sebulumnya tidak diatur dalam KUHP

sehingga dengan kekhususannya ini, maka penangananya pun boleh

menggunakan cara-cara yang khusus atau menyimpang dari ketentuan

yang diatur dalam KUHP.16

Begitupun menurut Romli, ia mengatakan bahwa penyelesaian

terhadap kasus pelanggaran HAM berat telah mengesampingkan asas non-

retroaktif, hal ini dibuktikan dengan adanya penyimpangan dalam praktek

penyelesain kasus HAM berat di Pengadilan Nuremburg dan Tokyo yang

kemudian dilanjutkan dengan diadakannya Pengadilan HAM ad hoc

Tribunal untuk bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda dengan

16

Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasiol : Perkembangan Tindak Pidana

Internasional dan Proses Penegakannya, (Jakarta : Erlangga, 2014) hal. 179.

Page 49: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

40

menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pengadilan

Nuremburg yang telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional.

Maka dengan berdasarkan pada preseden hukum internasional tersebut

maka dibentuklah pengadilan HAM ad hoc di Indonesia yang diatur dalam

UU No. 26 Tahun 2000.17

Namun menurut Roy S. Lee sebagaimana yang dikutip oleh Eddy,

mengatakan bahwa ketentuan legalitas yang terkandung di dalam Statuta

Roma Pasal 24 ayat 1 memilik unsur politis karena sebagian besar Negara

di antaranya memiliki pengalaman kelam akan masa lalu dan harus

memberikan pengampunan atau solusi yang serupa dalam upaya

rekonsiliasi nasional. Sehingga pertanggung jawaban pidana menurut

pandangan hukum internasional tidak bisa diberlakukan surut18

.

Akan tetapi lain halnya menurut Cherif Bassiouni yang

mengatakan jika dalam konteks hukum nasional prinsip legalitas memang

merupakan prinsip fundamental yang mengandung larangan ex post facto

law, retroaktif maupun analogi, sehingga aturan hukum pidana

menurutnya tidak boleh bersifat ambigu. Akan tetapi lainnya hal jika

dilihat dari sudut hukum pidana internasional yang sumbernya berasal dari

kebiasaan internasional, prinsip legalitas tidak dapat diterapkan seketat

mungkin, sebagaimana ia diterapkan dalam hukum nasional.19

17 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional 2, (Jakarta: Hecca Mitra

Utama, 2004) hal. 56.

18 Eddy O,S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Erlangga, 2012)

hal. 34-35.

19

Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, hal. 36.

Page 50: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

41

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip legalitas memiliki

kaitan yang sangat erat dengan asas non-retroaktif. Hal ini jelas terlihat

dalam dokumen-dokumen yang membahas tentang HAM mulai dari

Magna Charta yang lahir di Inggris tahun 1215, Bill of Rights tahun 1689,

Bill of Rights milik Amerika Serikat tahun 1789 dan Declaration des

Droits Del L’Nomme et du Citoyen (Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia

dan Warga Negara) milik Perancis tahun 1789. Bahkan di dalam

Declaration des Droits Del L’Nomme et du Citoyen dikatakan bahwa,

“Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-

undang yang ada sebelumnya”. Sehingga dapat dikatakan bahwa

penerapan hukum secara surut telah merampas Hak Asasi Manusia yang

sifatnya memang tidak bisa dikesampingkan (non-derogable rights).20

Menurut Suparman Marzuki asas legalitas memang mempunyai

tingkat efektifitas yang tinggi dalam melindungi kepentingan rakyat dari

kesewenang-wenangan penguasa, akan tetapi kurang efektif dalam

merespon pesatnya perkembangan kejahatan. Asas legalitas yang

mengatakan bahwa sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan

jika disebutkan dalam undang-undang ini dianggap kurang efektif dalam

melindungi kepentingan kolektif, sebab pelaku kejahatan yang

kejahatannya tidak disebutkan dalam undang-undang maka bisa

dibebaskan.21

Serupa dengan pendapat Suparman, Deny Setyo mengatakan

20 Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Kompas,

2006) hal. 146-147.

21

Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia: melanggengkan impunity, (Jakarta:

Erlangga, 2012) hal. 57.

Page 51: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

42

asas legalitas sama sekali tidak memberikan perlindungan terhadap

kepentingan korban. Selain itu asas legalitas pun sama sekali tidak berdaya

untuk menutut kerugian luar biasa, yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan

yang sifatnya luar biasa pula (Extra ordinary crime) hanya karena

perbuatan tersebut belum atau tidak dilarang oleh undang-undang pidana.22

Sehingga dengan adanya kelemahan yang dimiliki oleh asas

legalitas tersebut, maka beberapa ahli menganggap perlunya

memberlakukan hukum secara surut (retroaktif) dalam menangani tindak

kejahatan yang tentunya disertai dengan berbagai pertimbangan yang di

antaranya23

:

a. Penerapan asas retroaktif semata-mata diterapkan hanya untuk

menegakkan prinsip-prinsip keadilan.

b. Untuk mencegah terulangnya perbuatan yang sama.

c. Bertujuan untuk mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan.

d. Untuk mengisi kekosongan hukum.

Suparman pun menambahkan meski Undang-Undang Dasar 1945

memberi peluang bagi pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif),

namun bukan berarti Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengutamakan

asas non-retroaktif. Menurutnya para pemerhati HAM secara umum

berpendapat bahwa pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) tidak

22 Denny Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah

Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 6.

23

Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia.., hal. 58.

Page 52: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

43

boleh dilakukan, kecuali sudah memenuhi empat syarat kumulatif yaitu24

:

a. Kejahatan berupa HAM berat atau kejahatan yang tingkat

kekejamannya dan destruksinya setara dengannya.

b. Peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional.

c. Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen.

d. Keadaan hukum nasional Negara bersangkutan tidak dapat dijalankan

karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup untuk

menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang

tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.

Dengan demikian jika melihat dari penjabaran di atas maka

setidaknya bisa diketahui bahwa dalam menangani kasus pelanggaran

HAM berat, proses penerapan hukumnya boleh dilakukan secara surut atau

retroaktif yang tentunya harus dibatasi dengan ketentuan-ketentuan

sebagaimana disebutkan di atas dan dengan tujuan semata-mata untuk

menciptakan keadilan dan mencegah terjadinya impunitas dan imunitas

bagi para pelaku kejahatan HAM berat.

2. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana

Terorisme

Jika dalam menangani kasus kejahatan HAM berat dapat dilakukan

penerapan hukum secara surut, maka lain halnya dalam kasus tindak

pidana kejahatan terorisme. Masalahnya adalah Undang-Undang No. 16

Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang

24 Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia.., hal. 61.

Page 53: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

44

Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di bali yang terjadi pada

tanggal 12 Oktober 2002, resmi dibatalkan oleh MK.

Pembatalan tersebut dilakukan setelah adanya upaya Judicial

Review yang dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir beserta kuasa

hukumnya terhadap Undang-Undang No. 16 tahun 2003 atas Pasal 28 I

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menurutnya mengandung

pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) sehingga bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas legalitas yang sudah diakui

secara universal. Sehingga akhirnya lima dari Sembilan hakim MK

mengabulkan permohonan judicial review tersebut dengan dasar

pertimbangan, Pertama, menurut lima hakim tersebut Undang-Undang

No. 15 Tahun 2003 tidak perlu diberlakukan secara surut, karena baik

unsur maupun jenis kejahatan yang terdapat dalam tindak pidana terorisme

tersebut dapat dihukum dengan menggunakan instrument undang-undang

yang telah ada dan dapat dimasukan ke dalam jenis kejahatan yang

hukumannya dapat berupa pidana berat. Kedua, kejahatan terorisme belum

dapat dikatakan sebagai extra ordinary crime sehingga tidak perlu

diterapkan hukum secara surut dan dapat ditangani dengan instrument

undang-undang yang sudah ada. Ketiga, jika memang terorisme melanggar

batas-batasan HAM, namun penanganannya tidak boleh bertentangan

dengan HAM, Keempat, pembentukan undang-undang terorisme semata-

mata hanya berdasarkan pada pandangan politik (Political Judgement).

Page 54: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

45

Namun demikian tidak semua hakim MK mengabulkan permohonan

tersebut, empat orang hakim MK yang terdiri dari Maruarar Siahaan, I

Dewa Gede Palguna, Prof. Natabaya, Harjono mengajukan dissenting

opinion yang isinya antara lain:

a. Penerapan hukum secara surut dalam kasus bom Bali sangatlah tepat

karena baik motif dan target sangatlah jelas.

b. Kejahatan terorisme telah menjadi perhatian masyarakat dunia, di

mana korban yang ditimbulkan bukan hanya dari satu Negara namun

dari banyak Negara. Selain itu imbas yang ditimbulkan bukan hanya

dari banyak korban jiwa, namun berbagai infrastruktur umum,

lingkungan hidup dan sumber-sumber ekonomi juga mengalami

kerusakan parah ditambah dengan tergoncangnya situasi social dan

politik yang dapat mengganggu eksistensi Negara.

c. Negara wajib melindungi warganya dan integritas bangsa dari berbagai

kejahatan, baik dari kejahatan nasional maupun transnasional.

d. Para pelaku tahu dan sadar bahwa perbuatan mereka merupakan suatu

tindak kejahatan yang dapat dihukum dengan undang-undang, dan

mereka pun tahu dan sadar bahwa kejahatan dilakukan ditujukan untuk

bangsa lain dengan penuh kebencian, sehingga dapat dikatakan bahwa

terorisme merupakan sebuah perbuatan immorality.25

Pendapat para hakim yang mengajukan dissenting opinion ini didasarkan

pada prinsip “aut punere aut de dere, nullum crimen sine poena” atau

25 Dikutip dari artikel “Putusan MK dengan “Dissenting Opinion”, Jurnal Berita

Mahkamah Konstitusi, (No. 6 Tahun 2004 hal. 9). Artikel diakses pada tanggal 2 April dari

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

Page 55: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

46

setiap kejahatan tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa adanya hukuman.

Pada kesempatan itu dihadirkan juga dua orang saksi ahli yang pada

akhirnya kesaksian mereka mengukuhkan pendapat dari lima hakim yang

mengabulkan permohonan pemohonan, yaitu Dr. Maria Farida Indarti dan

Prof. Harun Alrasyid, dimana Maria Farida berpendapat bahwa penerapan

Pasal 28J ayat (2) UUD yang berisikan kemungkinan untuk

mengesampingkan hak asasi manusia tidak dapat dilakukan kepada Pasal

28I ayat (1), hal ini disebabkan adanya anak frasa “dalam keadaan apa

pun”. Sehingga Pasal 28J tidak dapat dapat dikatakan sebagai lex specialis

bagi Pasal 28I ayat (1). Hal yang senada pun disampaikan oleh Prof.

Harun Alrasyid, dimana Pasal 28J ayat (2) tidak bisa disebut sebagai

aturan khusus, sehingga pada akhirnya harus ditafsirkan bahwa prinsip

non-retroakif merupakan suatu prinsip yang berlaku mutlak.26

Meskipun di dalam putusan MK tindak pidana terorisme tidak dapat

dikategorikan dalam tindak pelanggaran HAM berat atau gross violation

on human rights maupun tindak pidana yang butuh penanganan khusus

(extra ordinary crime) namun jika melihat kembali pada konvensi-

konvensi internasional maka tindak pidana terorisme dapat pula dikatakan

sebagai tindak pidana internasional, sehingga pelakunya memungkinkan

dihukum dengan menggunakan hukum secara surut. Hal ini tersebut di

dasarkan pada latar belakang pembentukan Pengadilan HAM Nurenberg.

Selain itu dengan melihat pada dampak dan sifat dari tindak pidana

26 Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum

Nasional Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hal. 178.

Page 56: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

47

terorisme tersebut seharusnya MK melihat kepada langkah yang diambil

dalam Pengadilan HAM Nurenberg dalam menyelesaikan kasus tindak

pidana terorisme yaitu mengesampingkan asas legalitas demi memberikan

keadilan bagi para korban, meskipun hal tersebut dianggap tidak adil bagi

pelaku kejahatan terorisme.

Disamping alasan bahwa terorisme bukan termasuk dalam pelanggaran

HAM berat maupun extra ordinary crime, keberadaan Pasal 28 I ayat (1)

dan Pasal 28 J ayat (2) dalam UUD 1945 yang mengundang banyak

perdebatan. Jika menurut Maria Farida dan Harun al-Rasyid Pasal 28 I

ayat (1) tidak dapat dilakukan penyimpangan terhadapnya dan Pasal 28 J

ayat (2) bukanlah lex specialis dari Pasal 28 ayat (1). Maka lain halnya

menurut Ari Wibowo dalam bukunya “Hukum Pidana Terorisme” yang

mengatakan bahwa Pasal 28J ayat (2) merupakan pengecualian terhadap

Pasal 28I ayat (1). Meskipun jika dilihat secara sekilas bahwa kedua pasal

tersebut saling bertentangan namun jika dilihat secara seksama maka akan

nampak kesinambungan antara Pasal 28J dengan Pasal 28I, sebab

menurutnya kedua pasal yang ada di dalam UUD 1945 tersebut memiliki

kesamaan jika dibandingkan dengan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 3 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dimana dalam Pasal 4 UU No. 39

Tahun 1999 melarang adanya penuntutan dengan menggunakan hukum

yang berlaku surut akan tetapi di dalam penjelasannya hak tersebut dapat

dikesampingkan jika berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM berat yang

Page 57: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

48

merupakan tindak pidana kemanusiaan, dan di lain sisi Pasal 3 ayat (1) UU

No. 24 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pun mengatakan bahwa

pelanggaran terhadap HAM berat dapat dihukum melalu pengadilan HAM

ad hoc, meskipun telah terlebih dahulu terjadi sebelum munculnya UU No.

24 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.27

Sehingga menurut Ari

Mahkamah Konstitusi seharusnya melihat UUD 1945 secara kesuluruhan

dan mempertimbangkan Pasal 28J ayat (2) sebagai pengecualian terhadap

Pasal 28I ayat (1).

Sedangkan dilain pihak pemerintah yang pada saat itu berkedudukan

sebagai tergugat mengatakan bahwa penerapan prinsip retroaktif dalam

Undang-Undang Terorisme tersebut didasarkan pada pandangan bahwa

tindak pidana terorisme bukanlah kejahatan biasa, akan tetapi telah

dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) dan

jika melihat jumlah korban yang ditimbulkan dapat dikategorikan kedalam

tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

Bukan hanya berdasarkan pada pertimbangan jumlah korban saja, namun

dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme ini dapat

berpengaruh pada kondisi social, ekonomi dan politik di Indonesia. Maka

dengan dasar pertimbangan tersebut maka pemerintah membuat Undang-

Undang Terorisme yang dalam penerapannya dapat diberlakukan secara

surut.

Akan tetapi dengan adanya uji materi yang membatalkan UU No. 16

27 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012) hal. 99.

Page 58: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

49

Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang

Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme,

maka penggunaan undang-undang a quo harus berakhir. Namun masih

menyisakan sebuah pertanyaan, bagaimana nasib para pelaku baik yang

masih berada dalam proses persidangan maupun yang sudah in kracht ?

Maka menurut Yusril Ihza Mahendra bahwa putusan yang telah ditetapkan

oleh pengadilan kepada para pelaku dengan menggunakan UU No. 16

Tahun 2003 ini tetap sah dengan berdasarkan pada Pasal 58 undang-

undang MK. Akan tetapi lain halnya jika kasus tersebut masih berada pada

proses persidangan, namun belum mencapai tahap pembacaan tuntutan

maka UU No. 16 Tahun 2003 dapat dikesampingkan dan selanjutkan

dapat dituntut dengan menggunakan tuntutan subsider yang didasarkan

pada KUHP dan UU No. 12 Tahun 1951dan jika masih dalam tahap

penyidikan maka UU No. 16 Tahun 2003 akan dikesampingkan secara

keseluruhan.28

Menurut pendapat Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh

Rony, mengatakan bahwa meski pelaku terorisme dapat lepas dari jeratan

UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi mereka tidak dapat lepas dari jeratan

KUHP dan UU No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api yang ketentuan

hukumannya juga sama beratnya yaitu sampai pada ketentuan tertinggi,

hukuman mati.29

Maka dengan adanya penjelasan di atas dapat dipahami bahwa meski para

pelaku tindak pidana terorisme tidak dapat dituntut dengan menggunakan

28 Tb. Rony Rahman, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, hal. 130.

29

Tb. Rony Rahman, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, hal. 132.

Page 59: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

50

Undang-Undang No. 16 Tahun 2003, namun mereka tetap dapat dituntut

dengan menggunakan Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata

Api dengan hukuman yang juga tak kalah beratnya. Sehingga dengan

demikian tidak ada istilah kekosongan hukum bagi tindak pelaku tindak

pidana terorisme.

C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam RKUHP

Kemudian di dalam upaya pembaharuan tersebut dilakukan banyak sekali

perubahan-perubahan salah satunya adalah perubahan yang terjadi di dalam

Pasal 1 yang selalu berkaitan dengan asas legalitas. Dimana pada Pasal 1 ayat

(1) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2010, asas

legalitas terlihat masih begitu absolut dan rigid, di mana dikatakan bahwa

seseorang tidak dapat dipidana atau dikenakan tindakan manakala perbuatan

tersebut tidak ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu terjadi. Namun jika kita

melihat pada ayat-ayat selanjutnya dari pasal 1, maka akan ditemui perubahan

mencolok. Jika di dalam KUHP (wetboek van strafrecht ) yang sekarang kita

pakai pada ayat 2 mengatur perihal pemberlakuan hukum secara surut

bersyarat (Retroaktif Bersyarat), akan tetapi pada Pasal 1 ayat (2) RKUHP

berisi larangan keras terhadap penggunaan analogi dalam menetapkan suatu

tindak pidana. Sedangkan ayat yang membahas tentang pemberlakuan hukum

secara surut dipindahkan kedalam Pasal 2 ayat (1) RKUHP 2010. Maka

dengan dicantumkannya pelarangan penggunaan analogi nampaknya pembuat

undang-undang ingin menggali lebih dalam intisari dari prinsip legalitas yang

selama ini menjadi asas fundamental.

Page 60: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

51

Asas legalitas yang selama ini kita gunakan memang memiliki tujuan

untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh

pemerintah kepada masyarakat. Maka dengan adanya prinsip legalitas yang

salah satu ajarannya melarang adanya pemberlakuan surut atau non-

retroactive guna melindungi terjadinya political revange atau politik balas

dendam terhadap kejahatan dimasa lalu, kemudian ditambah dengan adanya

larangan penggunaan analogi guna mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap

suatu perbuatan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa arbitrium Judicis.

Di samping itu prinsip legalitas juga mengharuskan bahwa sebuah

perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika ia memang sebutkan

dalam peraturan perundang-undangan sebagai tindak pidana, hal ini tidak

terlepas dari sistem hukum Negara civil law yang menganut system kodifikasi,

disamping hukum pidana harus merupakan hukum undang-undang dan harus

adanya pembatasan kebebasan hakim. Akan tetapi dengan adanya sistem

kodifikasi, hukum harus berdasarkan pada undang-undang dan kebebasan

hakim dibatasi, pada akhirya memberikan peluang bebas dari hukuman bagi

kejahatan-kejahatan yang sifatnya extra ordinary yang memang tidak

disebutkan dalam undang-undang sebelumnya, sehingga perbuatan tersebut

patutnya dipidana (strafwaardig) karena melanggar hukum (onrechtmatige)

namun karena perbuatan tersebut tidak dilarang di dalam undang-undang,

maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang dapat

dipidana (strafbaar).30

Hal ini tentunya dapat menimbulkan kekosongan

hukum akibat adanya system kodifikasi yang dianut oleh Negara civil law.

30 Deny Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana : Sejarah

Asas legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 66.

Page 61: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

52

Bahkan menurut pendapat Sunaryati Hartono sebagaimana dikutip oleh

Yudha Bakti dalam bukunya mengatakan bahwa dalam sistem kodifikasi pun

masih sering ditemukan kekosongan hukum atau terdapat hal-hal yang belum

diatur dalam undang-undang dan disatu sisi penegakan hukum akhirnya

semakin jauh dari keadilan dikarenakan terlalu dominannya Undang-undang

dan kodifikasi.31

Namun nampaknya pembuat undang-undang memahami

betul bahwa untuk mengantisipasi timbulnya ketidakadilan maka disertakan

juga ayat (2) dalam pasal 1 tersebut yang berbunyi:

“bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah

perbuatan dilakukan maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan

yang paling menguntungkannya.”

Munculnya ayat ini mengundang berbagai perdebatan dimana ayat ini

dianggap menyimpangi prinsip legalitas karena berisikan prinsip berlaku surut

(retroaktif) di dalamnya. Karena salah satu dari asas yang dilahirkan oleh

prinsip legalitas adalah adanya larangan non-retroaktif atau larangan berlaku

surut bagi suatu undang-undang.

Berbagai pendapat muncul apakah asas yang terkandung dalam ayat (2)

pasal 1 ini berisikan prinsip berlaku surut atau hanya merupakan aturan

peralihan saja sehingga menimbulkan asas subsidiaritas. Nyoman Serikat dan

Barda Nawawi menganggap bahwa ayat (2) diatas hanya merupakan suatu

aturan peralihan saja sehingga hanya memunculkan asas subsidiaritas saja,

bukan asas “retroaktif”. Sedangkan di lain pihak Moeljatno berpendapat

bahwa Pasal 1 ayat (2) mengandung unsur retroaktif bersyarat.

31 Yudha Bakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni,

2000) hal. 51.

Page 62: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

53

Perdebatan ini di dasarkan pada perbedaan pemahaman terhadap frase

“Perubahan dalam perundang-undangan” dan frase “ketentuan yang paling

menguntungkan”. Maka terhadap frase “perubahan dalam perundang-

undangan”, setidaknya terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu padangan

teori formal dan pandangan kelompok teori materil. Kelompok paham formal

yang di dalamnya terdiri dari Prof. van Hammel, Prof. Simmons dan Prof.

Zevenbergen berpendapat, bahwa maksud dari “Perubahan dalam perundang-

undangan” sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 1 ayat (2) ialah hanya

perubahan dalam perundang-undangan hukum pidana atau perubahan dalam

strafwetgeving-nya saja.32

Sedangkan menurut R. Soesilo teori materil perubahan dalam

perundangan-undangan terjadi, jika ada perubahan-perubahan yang sesuai

dengan perubahan perasaaan hukum. Jadi perubahan tidak hanya terjadi di

dalam bidang hukum pidana saja, namun juga dalam bidang perundang-

undangan lainnya, seperti dalam bidang hukum perdata. Teori ini merupakan

teori yang paling banyak dianut dalam praktek pidana di Indonesia ketimbang

teori formil.33

Kemudian jika kita cermati bahwa Pasal 1 ayat (2) memiliki

keterikatan dengan Pasal 1 ayat (1), dimana jika di dalam ayat (1) ada frase

“ketentuan perundang-undangan pidana” dan di ayat (2) terdapat frase

“Perubahan dalam perundang-undang”, maka terdapat benang merah yang

menyatukan kedua ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan perubahan

dalam perundang-undangan ialah perubahan dalam perundang-undangan

32 P.A.F. Lamintang dan F. Theojunior Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di

Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) hal. 159.

33 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,

(Bogor: Politea, tanpa tahun terbit) hal. 45.

Page 63: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

54

pidana saja. Sedangkan menurut Andi Hamzah penggunaan kata “perundang-

undangan pidana” menunjukan bahwa perubahan tidak hanya terjadi dalam

undang-undang formil saja, namun juga meliputi undang-undang materil

seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan lain-lain yang

kesemuanya berkaitan dengan perumusan delik dan ancaman pidana.34

Akan tetapi jika kita melihat kembali kepada rumusan Pasal 1 ayat (1)

tepatnya pada kata “perundang-undangan” maka tidak dijelaskan secara rinci

maksud dari kata tersebut sebagaimana yang kami jelaskan di atas. Namun

lain halnya jika kita melihat Pasal 1 ayat (1) yang ada di dalam Rancangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2013, pada bagian Penjelasannya

dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu

Undang-Undang dan Peraturan Daerah.35

Banyak perubahan mendasar yang terjadi di dalam Rancangan Kitab

Undang-undang Hukum Pidana diantaranya pelarangan penggunaan analogi

secara eksplisit yang pada dasarnya merupakan intisari dari prinsip legalitas,

kemudian adanya penerapan hukum yang hidup dimasyarakat yang dahulu

sempat diterapkan. Menurut Marcus Priyo Gunarto, dengan adanya ketentuan

penerapan hukum yang hidup di masyarakat, maka telah terjadi pergeseran

dalam penerapan asas legalitas, yang semulanya sebatas pada aspek legalitas

formal kemudian diperluas sampai kepada aspek legalitas materiil.36

34 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hal. 44.

35 Lihat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2013,Bag. Penjelasan,

hal. 212.

36

Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-

Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum (Vol 24, Nomor 1, 2012)

hal. 88.

Page 64: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

55

Semua usaha ini dilakukan dengan harapan dapat tercapai keadilan yang

seadil-adilnya. Namun demikian keberadaan asas legalitas masih dirasa

kurang memberikan keadilan, apalagi jika disangkutkan dengan kepetingan

korban dan kepentingan umum. Maka keberadaan Pasal 3 ayat (1) dalam

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan

penyimpangan dari prinsip legalitas yang saat ini tercantum di dalam Pasal 1

ayat (2) KUHP tetap dipertahankan dalam RKUHPidana tersebut meskipun

dengan redaksi pasal yang sedikit berbeda. Jika di dalam KUHP Pasal 1 ayat

(2) di katakan bahwa;

“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah

perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan

yang paling menguntungkan.”

Maka di dalam RKUHPidana Pasal 3 ayat (1) mengatakan bahwa;

“Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan

sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-

undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat.”

Perbedaan itu terletak pada penegasan terhadap “ketentuan yang paling

menguntungkan”, dimana dalam RKUHP 2013 pembuat undang-undang

menegaskan tetap berlakunya ketentuan hukum yang lama manakala hukum

yang lama tersebut lebih memberi mashlahat bagi pelaku tindak pidana,

meskipun telah ada ketentuan hukum yang baru. Adanya ketentuan masih

berlakunya hukum yang lama ini didasarkan pada sulitnya menentukan

hukuman mana yang lebih ringan bagi pelaku. Sebab bisa saja hukum yang

lama memiliki ancaman pidana yang lebih berat namun tidak disertai dengan

Page 65: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

56

adanya hukuman tambahan, kemudian di sisi yang lain hukum yang baru

memang memberikan hukuman yang lebih ringan namun diberlakukan pula

hukuman tambahan terhadap kejahatan yang dilakukan. Maka jika ditemukan

kondisi semacam ini tentunya tidak mudah untuk menentukan mana ketentuan

hukum yang lebih menguntungkan. Hezewingkel Suringa pun mengusulkan

untuk kembali kepada ketentuan yang lama yaitu ketentuan lex temporis

delicti seandainya ditemui kondisi seperti ini.37

Dengan adanya ketentuan

masih dapat diterapkannya hukum yang lama, dapat dikatakan menyimpangi

prinsip umum sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu

peraturan baru meniadakan aturan hukum yang lama.38

Maka dapat diketahui bahwa pemberlakuan hukum secara surut dapat

dilakukan dengan dengan syarat bahwa hukum baru yang nantinya akan

diberlakukan harus lebih ringan dari pada ketentuan hukum yang lama, akan

tetapi jikalau ketentuan di dalam hukum yang lama bersifat lebih ringan dari

pada hukum yang baru maka hukum yang lama tetap bisa diberlakukan.

Adapun dalam proses pemberlakuan hukum secara surut hanya baru

diberlakukan pada kasus pelanggaran HAM Berat, di mana proses penegaknya

masih mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang sudah ada, di samping itu proses

pemberlakuan hukum secara surut tersebut harus dilakukan secara limitatif

dan restriktif pada kasus, tempat dan waktu-waktu tertentu.

37 F.A. Lamintang, F. TheoJunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,

hal. 175.

38

Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, hal. 55.

Page 66: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

57

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan hukum secara surut

harus memenuhi berberapa unsur, pertama, hukum yang baru harus lebih

ringan dari hukuman yang lama, kedua, hanya diterapkan bagi tindak pidana

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, ketiga, proses penerapannya

harus dilakukan secara limitatif dan restriktif.

Page 67: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

58

BAB IV

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM PUTUSAN

PENGADILAN

A. Praktik Permbelakuan Secara Surut Dalam Putusan Pengadilan HAM

Ad-Hoc

1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 065/PUU-II/2004

Pada tanggal 17 September 2004 Abilio Jose Osorio Suares yang

sebelumnya telah menjalani hukuman penjara selama 3 tahun karena telah

melakukan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan terhadap

masyarakat Timor Timur yang pro kemerdekaan, dengan diwakili oleh

kuasa hukumnya mendaftarkan permohonan judicial review Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ke

Mahkamah Konstitusi yang kemudian diterima oleh Kepaniteraan pada

tanggal 18 September 2004.

Dalam permohonannya, Abilio yang diwakili oleh para kuasa

hukumnya ingin mengajukan uji materi terkait pemberlakuan Undang-

undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,

dengan alasan-alasan:

a. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang a quo telah melanggar hak

konstitusinya sebagai warga Negara karena pasal tersebut dianggap

bertentangan dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 karena

diberlakukan secara surut.

b. Dengan mengambil pendapat Maria Farid yang mengatakan bahwa

Page 68: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

59

meski ada ketentuan dalam Pasal 28J yang memiliki kemungkinan

dapat memberikan pembatasan terhadap Pasal 28I, namun hal itu tidak

dapat dilakukan. Sebab di dalam Pasal 28I ada frasa yang berbunyi

“dalam keadaan apapun”. Sehingga meski dalam kondisi darurat pun

pemberlakuan hukum secara surut tidak dapat dilanjutkan.

c. Pemberlakuan hukum secara surut lebih kental dengan nuansa politik

balas dendam (political revenge), sehingga dapat menimbulkan

kesewenang-wenangan.

d. Pengadilan Pidana Internasional (ICC) berdasarkan pada Statuta Roma

1998 juga menolak penerapan hukum secara surut. Hal tersebut

disebutkan di dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 dari Statuta Roma.

e. Kalaupun ingin menerapkan hukum secara surut, maka hendaklah

sesuai dengan asas ketatanegaraan “abnormal recht voor abnormal

tijden” (hukum darurat untuk kondisi darurat).

f. Penerapan Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan prinsip legalitas

yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana dan juga

bertentangan dengan Ketentuan Umum Perundang-undangan atau

Algemene Beppalingen van Wetgeving yang dikeluarkan oleh

pemerintah Belanda dengan pada tanggal 30 April 1847, bahwa, “De

wet verbindt aleen voor het toekomende en heft geen terug werkende

kracht atau Undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan

tidak berlaku surut.

Page 69: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

60

g. Bahkan menurut Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dalam Pasal 18 ayat (2) dikatakan bahwa,”Setiap orang

tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali

berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada

sebelum tindak pidana itu dilakukan”.

h. Terakhir, sebuah undang-undang secara materiil tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang yang memilik kedudukan lebih

tinggi di atasnya. Hal ini sebagaimana ditentukan oleh TAP MPR

No.III/MPR/2000 Pasal 4 ayat (1).

Selain mendengarkan keterangan dari pihak pemohon, Mahkamah

Konstitusi juga mendengarkan keterangan dari pihak pembuat undang-

undang yaitu pemerintah dan DPR-RI. Menurut Pemerintah ada beberapa

alasan yang dapat dijadikan dasar bagi pembentukan Pasal 43 ayat (1) UU

No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, di antaranya:

a. Tindak pidana pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary

crime yang memiliki sifat sistematis dan terkoordinasi dengan baik

sehingga sulit untuk dibuktikan. Sedangkan KUHPidana hanya

mengatur tentang ordinary crime saja sehingga untuk menangani

tindak pidana pelanggaran HAM berat dibutuhkan Undang-undang

khusus.

b. Mengenai permasalahan pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif)

hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1) Dilakukan secara khusus dan tertentu.

Page 70: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

61

2) Limitatif dan restriktif.

3) Tidak memberatkan terdakwa.

4) Diatur secara tegas dan tidak multitafsir.

c. Secara sosiologis pemerintah berpandangan bahwa kasus tindak pidana

pelanggaran HAM berat jika tidak segera diselesaikan maka akan

menjadi “burning issues” yang dapat mengganggu stabilitas negara.

d. Adanya desakan dari dunia internasional melalui Resolusi Dewan

Keamanan PBB menjadi salah satu factor terbentuknya Undang-

undang a quo.

Sedangkan menurut DPR-RI pemberlakuan hukum secara surut

(retroaktif) terhadap tindak pidana pelanggaran HAM didasarkan pada

beberapa alasan:

a. Jika melihat pada bagian penjelesan Pasal 4 Undang-undang No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dikatakan bahwa hak untuk

tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualiakan

hanya dalam kasus pelanggaran HAM berat saja.

b. Ruang lingkup kerja dari Pengadilan HAM Ad Hoc hanya dibatasi

untuk kasus denga locus dan tempus delicti tertentu saja dan

keberadaan dari Pengadilan HAM Ad Hoc ini hanya sementara.

c. Terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundang-

undangkannya Undang-undang No. 26 Tahun 2000, maka akan diadili

sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang

No. 26 Tahun 2000.

Page 71: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

62

d. Terkait dengan Pasal 28 I DPR-RI berpendapat bahwa pasal ini

merupakan sebuah ketentuan umum, sedangkan Pasal 28 J merupakan

pembatas terhadapa Pasal 28 I.

e. Pemberlakuan hukum secara surut dilakukan dengan dasar prinsip

keadilan. Sehingga dengan adanya Undang-undang a qua diharapkan

dapat memenuhi tuntutan keadilan dari para korban tindak pidana

pelanggaran HAM berat.

Setelah mendengarkan keterangan dari berbagai pihak baik dari

pemohon yaitu Abilio Jose Osorio Suares dan kuasa hukumnya, serta dari

pihak terkait yaitu Pemerintah dan DPR-RI. Maka akhirnya Majelis Hakim

dengan berdasarkan pada:

a. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan legal standing bagi

Pemohon.

b. Ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) UU

No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan

bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian

undang-undang terhadap UUD 1945. Ditambah dengan ketentuan

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa undang-

undang yang dapat dilakukan uji materi terhadapnya ialah undang-

undang yang dibuat setelah adanya amandemen pertama UUD 1945

pada tanggal 19 Oktober 1999, sedangkan UU No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dibuat pada tanggal 23

Page 72: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

63

November 2000 dengan LN Republik Indonesia Nomor 208. Maka

dengan ini Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk

memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan yang diajukan

oleh Pemohon.

c. Secara harfiah memang benar apa yang terkandung dalam Pasal 28I

memberikan gambaran bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut merupakan sesuatu yang mutlak. Namun

jika kita melihat kepada sejarah dari pembentukan Pasal 28I tersebut

tidak bisa kita pisahkan dari Pasal 28J. Kedua pasal terebut memiliki

keterikatan satu sama lain sehingga tidak boleh dibaca secara parsial,

melainkan harus dibaca secara bersamaan. Sehingga secara sistematis

hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut bukan

merupakan hak yang mutlak. Pemberlakuan hukum secara mutlak

semata-mata hanya untuk memenuhi 3 tujuan hukum, yaitu: 1.

Kepastian hukum, 2. Keadilan hukum, 3. Kebergunaan hukum. Akan

tetapi, meski pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) dapat

dilakukan, dalam prakteknya harus tetap dibatasi.

d. Meski secara hierarki Undang-Undang berada dibawah Undang-

Undang Dasar, namun hal tersebut tidak secara otomatis menyebabkan

undang-undang yang menerapkan hukum secara surut bertentangan

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar. Ada dua aspek yang harus

diperhatikan agar pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) tidak

Page 73: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

64

dianggap bertentangan dengan hak asasi, pertama, adanya kepentingan

umum yang lebih besar yang harus dilindungi. Kedua, bobot dan sifat

hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang

demikian lebih kecil dari kepentingan umum yang terlanggar atau

ketentuan hukuman yang diberikan harus lebih rendah sehingga tidak

melanggar hak asasi pelaku.

e. Meski UUD 1945 memberikan peluang untuk memberlakukan hukum

secara surut (retroaktif) sehingga mengesampingkan asas non-

retroaktif, namun UUD 1945 tetap mengutamakan prinsip non-

retroaktif tersebut meski sifatnya tidak mutlak. Selain itu semangat

yang terkandung dalamUUD 1945 dalam hubungan ini sejalan dengan

semangat yang terdapat dalam sejumlah instrument hukum

internasional maupun regional, seperti dalam Pasal 29 ayat (2)

DUHAM atau Universal Declaration of Human Right yang isinya

hampir sama dengan Pasal 28J UUD 1945, kemudian dalam Pasal 15

ayat (1) Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau

International Convenant on Civil and Political rights yang

mengatakan bahwa,”Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah

melakukan tindak pidana karena perbuatan ataupun karena kelalaian,

yang pada saat perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan suatu

tindak pidana baik menurut hukum nasional maupun menurut hukum

internasional”.

f. Berdasarkan Pasal 4 konvenan tersebut dan Pasal 7 Konvensi eropa

Page 74: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

65

tentang Hak-hak Asasi Manusia secara tegas mengatakan bahwa

negara-negara peserta konvenan boleh mengambil langkah-langkah

yang dibutuhkan manakala negara dalam keadaan darurat sehingga

stabilitas negara menjadi terancam. Serta tidak bertentangan dengan

kewajiban-kewajiban negara yang bersangkutan menurut hukum

internasional. Selain itu penerapannya tidak boleh dilakukan secara

diskriminatif maupun atas dasar balas dendam.

g. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a

quo. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terkait dengan

pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc maka harus disertai dengan

persetujuan dari DPR yang merupakan representasi dari masyarakat

Indonesia.

h. Tujuan dari pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc mengadili pelaku

kejahatan yang tergolong kedalam “kejahatan serius terhadap

masyarakat internasional secara keseluruhan” atau “the most serious

crime of concern to the international community as a whole”.

Pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc sebenarnya dipengaruhi oleh

peristiwa yang terjadi di dunia internasional terkait pembentukan

ICTY untuk kasus Yugoslavia dan ICTR untuk kasus Rwanda.

i. Pemberlakuan hukum secara surut yang diterapkan di dalam Undang-

Undang Pengadilan hanya diperuntukan bagi tindak pidana kejahatan

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja. Walaupun,

sebenarnya tindak pidana kejahatan perang dan tindak pidana

Page 75: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

66

kejahatan agresi secara hukum kebiasaan internasional (International

Costumary Law) termasuk kedalam kejahatan serius terhadap

kemanusiaan.

j. Sampai saat ini belum ditemukan definisi yang pasti tentang apa yang

dimaksud dengan terorisme, meski pada dasarnya ia termasuk kedalam

kejahatan serius terhadap masyarakat internasional, maka bagi tindak

pidana terorisme belum bisa dibentuk sebuah pengadilan ad hoc.

k. Pemberlakuan asas non-retroaktif hanyalah berlaku bagi tindak pidana

yang sifatnya biasa (ordinary crime) sedangkan untuk kejahatan luar

biasa (extraordinary crime) yang secara internasional pun sudah diakui

sebagai kejahatan intenasional, maka dapat diberlakukan hukum secara

surut (retroaktif). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para pelaku

kejahatan luar biasa seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan tidak lolos dari jeratan hukum sebagaimana bunyi

adagium “tidak boleh ada kejahatan yang berlalu tanpa adanya

hukuman (aut punere aut de dere)”.

Sehingga dengan adanya beberapa pertimbangan yang dijelaskan

secara singkat di atas yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad

Hoc Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4026, tidak terbukti bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia

1945, maka dengan ini Menolak permohonan yang diajukan oleh

pemohon.

Page 76: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

67

2. Putusan Nomor. 34 PK/PID.HAM.AD.HOC/2007

Selain terjadi pada kasus Abilio, praktek pemberlakuan hukum

secara surut juga terjadi pada kasus Eurico Guterres, seorang mantan

Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI). Eurico dituntut dengan

tuduhan telah melakukan pembiaran terhadap penyerangan yang terjadi di

kediaman Manuel Viegas Carrascalao yang menyebabkan beberapa orang

terluka parah dan meninggal dunia. Selain itu ia juga dituduh telah

melakukan provokasi terhadap massa yang hadir pada Apel Akbar

Peresmian PAM Swakarsa pada tanggal 17 April 1999 jam 09.00 WITA

atau setidaknya pada waktu-waktu lain di bulan April, sehingga

menyebabkan terjadinya penyerangan tersebut.

Atas kejadian tersebut dalam Pengadilan tingkat pertama dan

dalam dakwaan pertama ia dituntut dengan Pasal 42 ayat (2) a dan b jis

Pasal 7 huruf b, Pasal 9 hurf a dan Pasal 37 Undang-undang No. 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam dakwaan kedua ia

dituntut juga dengan Pasal 42 ayat (2) hurf a dan b jis Pasal 7 huruf b,

Pasal 9 huruf h dan Pasal 37 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sehingga dalam Putusan Nomor

04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST ia dihukum dengan hukuman

pidana penjara selama 10 tahun.

Merasa tidak puas dengan putusan ini baik pihak Eurico dan pihak

Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding terhadap putusan sebelumnya

dan dalam putusan banding tersebut ia dihukum dengan hukuman yang

Page 77: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

68

lebih ringan yaitu 5 tahun. Akan tetapi putusan tersebut bagi pihak Eurico

masih kurang memuaskan dan bagi pihak JPU masih terlalu ringan,

akhirnya kedua kubu tersebut mengajukan kasasi terhadap putusan

Pengadilan Tinggi tersebut. Alih-alih ingin mendapatkan putusan yang

lebih ringan, Eurico akhirnya dihukum dengan hukuman 10 tahun penjara.

Kubu Eurico pun bereaksi terhadap putusan kasasi ini dengan

mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi tersebut.

Pengajuan peninjauan kembali dilakukan dengan beberapa alasasn:

a. Dalam putusan kasasi Majelis Hakim Agung yang seharusnya

berkedudukan sebagai Yudex Yuris merubah kedudukannya menjadi

Yudex Factie.

b. Tidak ada landasan yuridis yang ilmiah dalam putusan tersebut tentang

penambahan masa hukuman.

c. Dalam persidangan Eurico Guterres bersifat kooperatif sehingga

memudahkan persidangan.

d. Majelis Hakim 1, 2 dan 3 hanya mengambil pertimbangan hukum dari

pihak Jaksa Penuntut Umum saja.

e. Adanya dissenting opinion yang mengatakan bahwa terdakwa Eurico

Guterres seharusnya dibebaskan.

f. Majelis Hakim tidak melihat kepada fakta-fakta yang muncul dalam

persidangan.

g. Hakim ragu dalam memutuskan karena terjadi benturan antara prinsip

kepastian hukum dan prinsip keadilan. Jika terjadi hal yang demikian

maka hendaknya hakim mengutamakan prinsip keadilan.

Page 78: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

69

Dengan berdasarkan beberapa alasan dan fakta yang ada akhirnya

majelis hakim memutuskan untuk menerima permohonan peninjauan

kembali yang diajukan oleh Eurico Guterres, membatalkan putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 06 K/PID.HAM.AD.HOC/2005 tanggal 13

Maret Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc Nomor

02/PID.HAM/AD.HOC/2004/PT.DKI tanggal 29 Juli 2004 jo. Putusan

Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Nomor 04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST tanggal 27

November 2002, serta mengadili kembali dengan menyatakan bahwa

pemohon PK yaitu Eurico Guterres tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang

dituduhkan oleh Jaksa Penuntut umu, maka dengan itu majelis hakim

membebaskan Eurico Guterres dari segala dakwaan, memulihkan hak

terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

Dalam putusan ini majelis hakim berpendapat bahwa sesuai dengan

UU No. 26 Tahun 2000 bahwa seorang terdakwa baik ia secara individual

(individual responsibility) ataupun sebagai atasan (superior responsibility)

haruslah dibuktikan apakah ia benar telah mengeluarkan kebijakan baik

Kebijakan Negara atau pun Organisasi untuk melakukan kejahatan

kemanusiaan secara sistemik dan meluas terhadap masyarakat sipil.

Menurut hukum kemanusiaan internasional yang dimaksud dengan

pengertian meluas berkaitan dengan adanya korban ialah harus bersifat

massal, berulang kali, dilakukan dalam skala besar, dilakukan dengan

Page 79: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

70

sungguh-sungguh dan ditujukan pada kelompok masyarakat tertentu.

Sedangkan untuk pengertian dari kata sistemik bahwa perbuatan tersebut

harus direncanakan terlebih dahulu secara matang serta sungguh-sungguh

dan perencanaan tersebut harus merupakan kelanjutan dari kebijakan

penguasa atau organisasi.

Ke-dua, tidak terbukti adanya serangan terhadap masyarakat sipil,

karena sebetulnya bentrokan yang terjadi ialah antara kelompok Pro

kemerdekaan. Sehingga bila kita kembalikan kepada UU No. 26 Tahun

2000 maka kelompok Pro Kemerdekaan tidaklah termasuk ke dalam

kelompok masyarakat sipil sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 26

Tahun 2000. Selain itu berdasarkan pada hukum internasional yang

dimaksud dengan penduduk sipil adalah mereka yang tidak ikut aktif

dalam pertikaian, atau tidak lagi ikut serta dalam pertikaian termasuk

anggota-anggota bekas pasukan bersenjata yang telah menyerah dan

orang-orang yang mengalami penderitaan (hors de combat) karena sakit,

luka-luka, penahanan atau alasan-alasan lainnya.

Ke-tiga, pemohon tidak terbukti melakukan pembiaran (omisi)

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000.

Ditambah posisi atau kedudukan terdakwa yang tidak memiliki otoritas

terhadap anggota PPI. Sehingga tidak memiliki untuk mencegah dan

menghentikan serta menghukum para pelaku sebagaimana kemampuan

yang dimiliki oleh POLRI ataupun TNI. Ditambah penyerangan yang

terjadi dilakukan secara spontan tidak direncanakan dan terjadi tanpa

sepengetahuan pemohon.

Page 80: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

71

Ke-empat, sejalan dengan doktrin Superior Liability bahwa

terdakwa telah diangkat oleh Gubernur Abilio Jose Osori Suares sebagai

pemimpin PAM Swakarsa pada apel akbar tanggal 17 April 1999 sehingga

secara de facto dan secara efektif terdakwa berada dibawah kekuasaan

Gubernur Abilio Jose Osori Suares. Sedangkan Gubernur Abilio Jose

Osori Suares telah dibebaskan dari semua dakwaan berdasarkan putusan

Peninjauan Kembali No.45 PK/PID/HAM AD HOC/2004, maka demi

keadilan dan kepatutan yang seadil-adilnya terdakwa dalam perkara a quo

harus dinyatakan bebas dari segala dakwaan.

Ke-lima, dengan berdasarkan pada pertimbangan dan fakta-fakta

yang ada serta sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 266 ayat (2) huruf

b KUHAP maka terdapat cukup alasan bagi hakim untuk membatalkan

putusan Mahkamah Agung RI No. 06 K/PID.HAM AD HOC/2005 jo

Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad.Hoc No.

02/PID.HAM/AD.HOC/2004/PT.DKI jo Putusan Pengadilan HAM Ad

Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.

04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST.

B. Praktik Pemberlakuan Secara Surut Dalam Putusan Pengadilan

Terhadap Tindak Pidana Terorisme

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003

Putusan ini merupakan jawaban dari permohonan yang diajukan

oleh Masykur Abdul Kadir, seorang pekerja swasta, berumur 39 tahun,

beralamatkan di Jalan Pulau Pinang, Gang Rembingin I No. 9 Denpasar-

Bali.

Page 81: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

72

Pemohon adalah seorang terdakwa dalam kasus bom Bali yang

terjadi di sebelah selatan Kantor Konsulat Amerika Serikat, di dalam

Paddy’s Pub serta di depan Sari Club yang terjadi pada tanggal 12 Oktober

2002 pada jam 23.08 WITA pada saat yang hampir bersamaan. Dengan

adanya kasus tersebut dengan berdasarkan Surat Dakwaan Reg. Perkara

No. PDM.148/Denpa/04.2003 Pemohon di dakwa oleh Jaksa Penuntut

Umum dengan hukuman penjara selama 15 tahun. Terdakwa di dakwa

dengan menggunakan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No.

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada

Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 juncto Undang-

Undang No. 16 Tahun 2003, yang telah ditetapkan, disahkan, diundangkan

dan mulai diberlakukan pada tanggal 18 Oktober 2002 atau 6 hari pasca

terjadinya peristiwa tragedi bom Bali.

Sehingga dengan jelas dapat diketahui bahwa penerapan Perpu No.

2 Tahun 2002 jo. UU No. 16 Tahun 2003 telah diberlakukan secara surut

(retroaktif). Hal yang demikian (Pemberlakuan hukum secara surut)

tentunya bertentangan dengan ketentuan umum yang selama ini diakui

yaitu Pasal 1 ayat (1) KUHPidana Indonesia yang secara jelas mengatakan

bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan

pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu

terjadi.”, selain itu di dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar1945 pasca

amandemen kedua dikatakan pula bahwa,”Hak untuk hidup, hak untuk

Page 82: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

73

tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas

dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”, sehingga jika dilihat secara

hierarki perundang-undangan, maka Perpu No. 2 Tahun 2002 jo. UU No.

16 tahun 2003 sudah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945

yang memiliki pangkat lebih tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal

2 TAP MPR-RI No. III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-undangan bahwa,”Tata urutan perundang-

undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum

dibawahnya. Tata urutan peraturan perundag-undangan Republik

Indonesia adalah 1). Undang-Undang Dasar 1945, 2). Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indoneisa, 3). Undang-Undang, 4).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 5). Peraturan

Pemerintah, 6). Keputusan Presiden, 7) Peraturan Daerah”. dan juga

Pasal 4 ayat (1) TAP MPR-RI No. III/MPR/2000 mengatakan,” Sesuai

dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap

aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum

yang lebih tinggi”.

Selain itu menurut Pemohon, tindakan pemerintah yang

menerapkan Perpu No. 02 Tahun 2000 menjadi Undang-Undang No. 16

Tahun 2003 dianggap merupakan sikap yang inkonsisten dan diskriminatif

Page 83: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

74

dalam upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan

dengan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Sebagai salah satu

contohnya adalah peristiwa pembunuha terhadap ribuan warga muslim di

ambon yang terjadi pada hari raya Idul Fitri 1999 dan pada tahun 2000 di

Tobelo dan Halmahera. Dari data yang diperoleh oleh saksi bahwa hanya

dalam 3 hari saja pada saat peristiwa pembunuhan di tahun 2000 itu

terjadi, sekurang-kurangnya ada sekitar 2000 muslim menjadi korban jiwa

dalam pembantaian tersebut, baik itu dari kalangan pria, wanita, tua atau

muda bahkan anak kecil dan balita pun menjadi korban dalam peristiwa

yang terjadi di Tobelo dan Halmahera tersebut.

Meski demikian tidak ada satu pun Perpu yang dibuat oleh DPR-RI

dan pemerintah guna menanggapi peristiwa tersebut. Padahal nyata dan

jelas bahwa dengan adanya peristiwa tersebut telah terjadi upaya untuk

melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)

yang termasuk kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dengan

jumlah korban yang banyak dan kerugian yang besar baik dari kerugian

materiil maupun kerugian psikis.

Dengan berdasarkan alasan, fakta dan dalil-dalil di atas Pemohon

mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia

selaku pelaksana sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi, yang

antara lain:

a. Menerima permohonan uji atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2003

terhadap Undang-Undang Dasar 1945 untuk seluruhnya.

Page 84: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

75

b. Menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tidak

memiliki kekuatan hukum untuk mengikat.

c. Mencabut Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 dan menyatakan

Undang-Undang a quo tidak berlaku.

Setelah mendengarkan keterangan dari Pemohon, pada tanggal 10

Desember 2003 Majelis Hakim juga memanggil guna mendengarkan

keterangan pihak Pemerintah dan DPR-RI yang dalam hal ini pihak

pemerintah diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM Republik

Indonesia Dr. Yusril Ihza Mahendra dan pihak DPR-RI diwakili oleh A.

Teras Narang SH,. DKK yang menjelaskan bahwa pembentuka kedua

Perpu tersebut didasarkan pada kondisi negara yang saat itu sedang

genting karena banyaknya peristiwa peledakan yang terjadi di beberapa

wilayah negara Indonesia. Sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa peraturan

pemerintah yang hendak dibentuk itu haruslah melalui persetujan dari

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan dengan melihat

kenyataan dan fakta serta dampak yang luas serta berpengaruh bagi

kehidupan social, politik, hubungan internasional bahkan berpengaruh

juga bagi integritas bangsa, maka DPR RI pun akhirnya menyetujui

lahirnya kedua Perpu tersebut.

Selain itu ada desakan dari dunia internasional yang dalam hal ini

dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB dengan mengeluarkan Resolusi

Nomor 1373 pada tahun 2001 dan Resolusi Nomor 1438 tahun 2002, yang

Page 85: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

76

berisik kutukan terhadap peristiwa pengeboman yang terjadi serta

memberi seruan kepada seluruh negera untuk membantu pemerintah

Indonesia dalam menangani kasus serta mengungkap pelaku terorisme

yang terjadi.

Menurut pemerintah dengan melihat kepada dampak yang

ditimbulkan terorisme tidak dapat lagi dikatakan sebagai kejahatan biasa

(ordinary crime) namun sudah termasuk ke dalam kejahatan luar biasa

(extraordinary crime). Ditambah kejahatan terorisme tidak lagi menjadi

ancaman bagi suatu bangsa saja, namun ia sudah menjadi ancaman besar

bagi dunia internasional. Sebab ia tidak hanya melibatkan warga dari satu

negara saja, namun anggota atau pelakunya bisa terdiri dari beberapa

warga negara yang berbeda sehingga terdapat suatu jaringan yang luas.

Selain itu sasarannya bukan hanya satu negara tertentu, melainkan bisa

terjadi di mana saja.

Sehingga demi menanggulangi tindak pidana terorisme ini maka

kemudian dibentuklah beberapa konvensi internasional, diantaranya :

a. International Convention for the Suppresion of Terorist Bombing 1997

b. International Convention for the Suppresion of Fitumcing of Terrorism

1999

c. European Convention on the Supression of Terorism 11978 (tingkat

regional Eropa)

d. The Arabian Convention on the Supression of Terrorism 1998 (negara-

negara arab)

Page 86: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

77

e. SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism 1987

(negara-negara Asia Selatan)

Maka dengan melihat pada hal-hal diatas akhirnya dibentuklah Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian dengan

berdasarkan pada UU No. 15 Tahun 2003 akhirnya ditetapkan sebagai

Undang-undang.

Dalam kesempatan tersebut pemerintah juga memberikan sorotan

terkait Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa Pasal 28I

tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Pasal 28J, dimana pasal ini

berfungsi sebagai pembatas terhadap Pasal 28I. Pembatasan ini dilakukan

demi memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seorang

warga negara. Maka dengan berdasarkan pada ketentuan yang terdapat di

dalam Pasal 28J, maka bisa dibuat suatu undang-undang guna membatasi

hak seseorang. Adapun kaitannya dengan undang-undang yang

memberlakukan secara surut hanya untuk menjamin pengakuan dan

penghormatan atas hak dan kebabasan orang lain.

Selain itu Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas ayat,

pasal atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD

1945 sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-

Undang No. 24 Tahun 2003, oleh karena itu menurut Pemerintah

permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak diterima.

Page 87: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

78

Setelah mendengarkan keterangan dari pemerintah, DPR-RI dan

Pemohon, Majelis Hakim Konstitusi memberi keputusan untuk

mengabulkan permohonan yang diajukan untuk melakukan pengujian

Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada

peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16

Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 2 Tahun

2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002

menjadi Undang-Undang (LN Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46,

TLN Republik Indonesia No. 4285) bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Ketiga, menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2

Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 1Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002

Page 88: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

79

menjadi Undang-Undang (LN Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46,

TLN Republik Indonesia No. 4285) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

Dikabulkannya permohonan Pemohon ini didasarkan pada

beberapa pertimbangan, di antaranya adalah:

a. Keberadaan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 sebetulnya telah

memenuhi harapan para pencari keadilan. Namun Undang-Undang

tersebut tidak perlu diberlakukan surut, karena unsur-unsur dan jenis

kejahatan yang terdapat dalam tindak pidana terorisme telah ada di

dalam Undang-Undang terdahulu dan termasuk jenis kejahatan yang

diancam dengan pidana berat.

b. Meski kejahatan tindak pidana terorisme dianggap melanggar hak asasi

manusia, namun di dalam prakteknya ketentuan dan tindakan hukum

yang diambil tidak boleh bertentangan dengan atau tidak boleh

melanggar HAM. Sebab di Amerika Serikat sendiri terdapat penilaian

bahwa Terrorism Law is major setback for civil liberties.

c. Melihat kepada Statuta Roma 1998 dan Undang-Undang No. 36 Tahun

1999, peristiwa peledakan bom di Bali belum termasuk kedalam

kejahatan luar biasa (extraordinary crime) melainkan masih termasuk

ke dalam tindak pidana biasa (ordinary crime) yang sangat kejam, dan

dapat ditangani dengan instrument hukum yang ada.

d. Pemberlakuan surut dalam hukum pidana hanya berlaku bagi perkara

pelanggaran HAM berat sebagai suatu kejahatan yang serius. Menurut

Page 89: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

80

Statuta Roma 1998 yang termasuk kedalam kejahatan pelanggaran

HAM berat adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sedangkan di

dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berta adalah

kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

e. Pelarangan untuk memberlakukan hukum secara surut sudah ada

semenjak dahulu, terutama dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van

Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23

berbunyi :”De wet verbind alleen voor het toekomende en heft gene

terug werkende kracht”. Selain itu di dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek

van Straftrecht disebutkan bahwa :”geen feit is straafbaar dan uit

kracht van eene daar aan voor afgegane wettelijk straafbepaling

(suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya)”.

C. Analisis Putusan Menurut Pandangan Hukum Positif

Berdasarkan putusan mahkamah konstitusi No. 13/PUU-I/2003 dan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 065/PUU-II/2004 terdapat 2 perbedaan

putusan di mana Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang

diajukan oleh Pemohon Masykur Abdul Kadir terkait uji undang-undang UU

No. 16 Tahun 2003, semua permohonan yang diajukan dikabulkan oleh

Mahkamah Konstitusi.

Akan tetapi lain halnya dengan permohonan yang diajukan oleh pemohon

Page 90: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

81

Abilio Jose Osorio Suares terkait uji undang-undang UU No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan HAM. Terhadap permohonan yang diajukan oleh

Pemohon Abilio Jose Osorio Suares, Majelis Hakim menolak seluruh

permohonan yang diajukan. Padahal baik di dalam UU No. 16 Tahun 2003

dan UU No. 26 Tahun 2000 keduanya sama-sama menerapkan pemberlakuan

hukum secara surut (retroaktif).

Terkait dengan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam Pasal 2 Kepres Nomor 53

Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang oleh Presiden Abdurrahman

Wahid ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 23 April 2001 dikatakan

bahwa,”Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran

Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timur Timor pasca jajak

pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.”. dalam pasal

ini jelas bahwa ada upaya untuk memberlakukan penerapan hukum secara

surut pada kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa jajak pendapat

di Timur Timor dan peristiwa di Tanjung Priok. Namun dalam Pasal 2 untuk

kasus Timor Timur tidak disebutkan batasan-batasan waktu dan tempat bagi

berlakunya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad

Hoc, sedangkan untuk peristiwa tanjung priok jelas disebutkan secara rinci

batasan waktu berlakunya Undang-Undang ini.

Kemudian barulah pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno

Putri di keluar Kepres RI No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Page 91: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

82

Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan

HAM Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam Pasal 2 Kepres

RI No. 96 Tahun 2001 disebutkan bahwa,”Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad

Hoc Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan

memutuskan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi

di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli dan Soae pada bulan

April 1999 dan bulan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok

pada tahun bulan September 1984”. Dengan adanya ketentuan ini maka

secara jelas bahwa telah diberlakukan hukum secara surut dalam kasus

pelanggaran HAM berat, sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Pengadilan

HAM Ad Hoc pada kasus Eurico Guterres. Meski terdakwa Eurico Guterres

terbebas dari segala dakwaan akibat Peninjauan Kembali yang dilakukannya

dikabulkan oleh Mahkamah Agung, namun dalam peradilan tingkat pertama

Jaksa Penuntut Umum mendakwanya dengan menggunakan Pasal 7 huruf b jis

Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang

No. 26 Tahun 2000 tentang Pemgadilan HAM Ad Hoc yang dengan

berdasarkan pada Pasal 43 Undang-Undang a quo jelas mengatakan bahwa

pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum

diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan

HAM Ad Hoc, sehingga bahwa benar telah diterapkan pemberlakuan secara

surut dalam kasus tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang

terjadi di Timor Timur.

Sedangkan untuk Undang-Undang No.16 Tahun 2003 yang sebelum

Page 92: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

83

keluarnya putusan Mahkamah konstitusi masih menerapkan hukum secara

surut, maka setelah keluarnya putusan tersebut maka UU No. 16 Tahun 2003

menjadi tidak berlaku lagi. Sehingga segala perkara yang sebelumnya

ditangani dengan menggunakan UU No. 16 Tahun 2003 terpaksa harus

dihentikan.

Sebagaimana dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa tujuan dari

penerapan hukum secara surut (retroaktif) adalah untuk mengimbangi

keberadaan asas legalitas yang dianggap hanya berpihak pada pihak pelaku,

sedangkan kurang memberikan keadilan bagi pihak korban. Maka penulis

berpendapat meski, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 dibatalkan dan

penuntutan terhadap kejahatan terorisme bisa dilakukan dengan menggunakan

undang-undang lain yang memiliki hukuman maksimal yang lebih berat.

Namun penulis berpendapat bahwa penerapan hukum secara surut tetap bisa

dilakukan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Selain itu penerapan hukum

secara surut tersebut dapat dilakukan secara bersyarat yaitu penerapannya

harus dilakukan secara limitatif dan rigid serta tidak bertentangan dengan

Pasal 1 ayat (2) KUHPidana Indonesia, sehingga tidak memberikan ruang bagi

pemerintah untuk melakukan kesewenang-wenangan dan tidak pula

merugikan hak pelaku tindak pidana.

D. Analisis Hukum Islam (Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam

Pandangan Maslahah)

Penulis berpendapat bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam

konteks hukum Islam tidak terlepas dari adanya tujuan penerapan syari’ah

Page 93: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

84

(maqashid al-Syari’ah) yaitu guna memberikan kemashlahatan bagi umat

manusia. Dengan diberlakukannya hukum secara surut diharapkan dapat

menolak munculnya bahaya yang lebih besar yang dapat mengganggu

kemashlahatan umat manusia.

Salah satu alasan yang diberikan oleh pemerintah tentang sebab dari

pemberlakuan hukum secara surut dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, karena peristiwa pelanggaran HAM berat

yang terjadi pada masa lalu bisa saja menjadi “burning issues” yang nantinya

tentu akan memberikan dampak yang besar bagi Indonesia. Alasan yang

diberikan oleh pemerintah juga diamini oleh Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya.

Sehingga meski pemberlakuan huku secara surut dilarang dan

bertentangan dengan kebiasaan hukum yang ada, namun demi mencegah

timbulnya hal-hal yang merugikan lainnya maka dengan terpaksa harus

dilakukan pemberlakuan hukum secara surut. Hal ini guna menutup terjadinya

kemungkinan terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh korban (sad al-

dzari’ah). Sehingga demi mencegah terjadinya mafsadat yang lebih besar

maka boleh menegasikan kepentingan dari pelaku tindak pidana, sebagaimana

disebutkan dalam kaidah :

جلب المصالح م علىدرء المفاسذ مقذ

“mencegah mafsadah lebih diutamakan dari pada mendahulukan

kemashlahatan”

Menurut pandangan penulis mashlahat dalam konteks ini merupakan

mashlahat yang dimiliki oleh pelaku. Sehingga dengan berdasarkan pada

Page 94: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

85

kaidah di atas maka pemerintah boleh memberlakukan hukum secara surut

yang dilarang karena bertentangan dengan asas legalitas demi menjaga

kepentingan masyarakat secara umum. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah:

المصلحة الخاصة المصلة العامة مقذمة على

“kepentingan umum harus didahulukan dari kepentingan pribadi”. Terlebih

Indonesia dalam hal ini mendapatkan tekanan dari dunia internasional untuk

segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi

di masa lalu. Tentunya akan menjadi kerugian besar jika sampai Indonesia

mendapatkan sanksi dari dunia internasional. Meski pemberlakuan hukum

secara surut diperbolehkan tetapi harus tetap diperhatikan batasan yang ada

salah satunya hukum yang diberlakukan secara surut harus memberikan

hukuman yang lebih ringan.

Hal ini sesuai dengan kriteria dalam menggunakan mashlahat sebagai

suatu pertimbangan hukum, yaitu harus sesuai dengan tujuan syara’, tidak

bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, tidak bertentangan dengan qiyas,

terakhir tidak merusak mashlahat lain yang lebih penting.

Maka jelas tampak disini bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam

hukum islam adalah untuk menciptakan kesimbangan dan memberikan

keadilan, baik bagi si pelaku dan korban.

Page 95: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

86

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :

1. Praktek pemberlakuan hukum secara surut hanya terjadi pada kasus

pelanggaran HAM berat. Dimana proses pemberlakuannya harus

dilakukan secara limitatif dan restriktif, hanya terbatas pada kasus dengan

waktu dan tempat kejadian tertentu sebagaimana disebutkan dalam

KEPRES RI Nomor 91 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa Pengadilan

HAM Ad Hoc hanya berlaku untuk wilayah hukum Liquica, Dili dan Soae

pada bulan April 1999 dan September 1999 dan untuk kasus Tanjung

Priok bulan September 1984. Sedangkan untuk proses penegakannya

masih menggunakan hukum acara yang berlaku dalam KUHAP, yang

harus didahului dengan adanya laporan yang disampaikan oleh korban ke

Komnas HAM, yang kemudian laporan tersebut diajukan kepada

Pemerintah dan DPR-RI, setelah ada persetujuan dari pemerintah dan

DPR-RI bahwa benar laporan tersebut merupakan tindak pelanggaran

HAM maka Pemerintah dengan berdasarkan pada persetujuan DPR-RI

akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

2. Pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) dalam pandangan hukum

Islam merupakan kebolehan dengan bersandarkan pada dalil

kemashlahatan. Jika penerapan asas legalitas bertujuan untuk melindungi

kepentingan pelaku tindak pidana, maka penerapan hukum secara surut

Page 96: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

87

bertujuan untuk melindungi kepentingan umum. Hal ini selaras dengan

kaidah :

لخاصةاالمصلحة المصلحة العامة مقدمة على

“mashlahat umum didahulukan atas mashlahat khusus”

Dari kaidah di atas diketahui bahwa kepentingan pelaku yang

termasuk ke dalam mashlahat yang bersifat khusus )المصلحة الخاصة( dapat

dinegasikan dengan adanya mashlahat umum )المصلحة العامة( yang ada

dimasyarakat. Selain itu pemberlakuan hukum secara surut bisa dianggap

sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya tindakan main hakim

sendiri oleh masyarakat yang menjadi korban, dikarenakan mereka tidak

mendapatkan keadilan. Meski pemberlakuan hukum secara surut

dibolehkan dalam hukum Islam dengan dasar kemashlahatan, namun pada

tatanan prakteknya tidak jauh berbeda dengan apa yang diberlakukan

dalam hukum pidana Indonesia, di mana hukuman yang diberikan harus

lebih ringan dari ketentuan hukum sebelumnya.

B. Saran

Pemberlakuan hukum secara surut memang bisa dilakukan dalam

sistem hukum pidana Indonesia meski harus disertai dengan adanya syarat-

syarat tertentu. Namun ini bukanlah suatu hal efektif untuk menyelesaikan

berbagai tindak pidana yang terjadi. Sebab bisa saja kekuasaan yang dimiliki

disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan penguasa semata, sehingga

pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) yang diidentikan dengan lex

talionis benar-benar terjadi. Untuk itu penulis memberi saran kepada :

Page 97: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

88

1. Pihak penegak hukum yang di dalamnya mencakup pembuat hukum,

untuk menciptakan suatu hukum yang bersifat progresif guna

mengantisipasi munculnya kejahatan-kejahatan baru. Sehingga tidak ada

alasan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dijatuhi hukuman manakala

perbuatan tersebut tidak dijelaskan dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan. Dengan demikian akan menutup kemungkinan terjadi kembali

praktek pemberlakuan hukum secara surut.

2. Perkembangan hukum yang selalu tertinggal dari perkembangan

masyarakat menjadi alasan bahwa para ilmuwan, peneliti dan para sarjana

hukum tidak boleh berhenti untuk terus mencari, menggali dan

mengembangkan hukum yang ada demi memberikan rasa keadilan kepada

masyarakat. Selain itu meski sulit untuk dilakukan namun Hukum Islam

yang dalam hal ini Hukum Pidana Islam dapat dijadikan alternatif

manakala hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda

mengalami kebuntuan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat.

3. Bagi masyarakat umum pengetahuan tentang hukum bukan sesuatu yang

tabu lagi, melihat pesatnya perkembangan teknologi dan luasnya akses

untuk mendapatakan pengetahuan tentang hukum. Maka diharapakan akan

menambah wawasan yang nantinya akan meningkatkan kesadaran hukum

masyarakat tentang perbuatan apa saja yang dilarang dan boleh dilakukan.

Page 98: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

89

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Al- Buthi, Muhammad Said Ramadhan Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at al-

Islamiyah, Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997.

Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Ardhiwisastra,Yudha Bakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000.

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Atmasasmita, Romli Pengantar Hukum Pidana Internasional 2, Jakarta: Hecca Mitra

Utama, 2004.

Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami, Kairo: Maktabah Dar al-

„Urubah, 1968.

Efendi, Masyhur, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial,

Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi

Manusia) Dalam Masyarakat, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta:

Erlangga, 2009.

________________, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Erlangga, 2012.

Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,

2012.

Marzuki, Suparman, Pengadilan HAM di Indonesia: melanggengkan impunity, Jakarta:

Erlangga, 2012.

Page 99: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

90

Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional

Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar

Grafika, 2004.

Nasution, Aulia Rosa, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam

perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana,

2012.

Nitibaskara, Ronny Rahman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2006.

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,

1997.

Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika

Aditama, 2008.

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,

Bogor: Politea, tt.

Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, Jakarta:

Aksara Baru, 1981.

_____________, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, CV. Karya

Dunia Fikir, 1996.

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007.

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni Ahaem, 1996.

Syarifuddin, Amir, Ushul FIqh, Jakarta: Kencana, 2011, Jilid 1.

Wahjoe, Oentoeng, Hukum Pidana Internasiol : Perkembangan Tindak Pidana

Internasional dan Proses Penegakannya, Jakarta : Erlangga, 2014.

Page 100: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

91

Wibowo, Ari, Hukum Pidana Terorisme, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Yuherawan, Deni Setyo Bagus, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah

Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana,

Malang: Setara Press, 2014.

Zahrah, Muhammad Abu, al-Jarimah wa al- Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar al-

Fikr al-Arab, 1977.

B. Perundang-undangan

Keppres Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan

Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi

Manusia Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 02 Tahun 2002

tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme.

C. Jurnal dan Makalah

Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam

Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008,

Anis Widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, dalam Jurnal

Pandecta Vol. 6 Nomor 2, Juli 2011.

James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal

Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13

Number 4 August 1989

Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum Vol 24,

Nomor 1, 2012.

Page 101: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30429/1/MUHAMM… · Perbandingan Hukum. ... adik dan saudara-saudara

92

M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana

Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali

Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia Dalam

Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan HAM RI, 2003

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai

Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran

Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan

Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana, Semarang, Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004.

Rahmat Syafi‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Syi‟ar Hukum:

FH. Unisba. Vol. XII. No. 1 Maret 2010.

Mahkamah Konstitusi, “Putusan MK dengan “Dissenting Opinion”, Jurnal Berita MK

:No. 6 Tahun 2004 hal. 9. Artikel diakses pada tanggal 2 April dari

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id