Post on 26-Oct-2015
description
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 23
LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat mengandalkan air, lahan,
energi, keanekaragaman hayati dan
ekosistem yang sehat untuk menjamin
kelangsungan penghidupan mereka dan
asset alam sangat penting untuk keluar dari
kondisi pemiskinan. Banyak isu
lingkungan yang tadinya berdiri sendiri
sebagai isu lingkungan seperti perubahan
iklim dan bencana, sekarang bergeser
menjadi isu pembangunan secara umum
dan politik karena luasnya dampak yang
ditimbulkan. Salah satu kelompok
penerima dampak terbesar, jika kita bicara
tentang lingkungan dan menurunnya fungsi
layanan aset alam adalah perempuan.
Perempuan dan pembedaan peran
PELANGGARAN TERHADAP HAK ASASI PEREMPUAN AKIBAT
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh : Louise Theresia
Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya
E-mail : theresia.louise@gmail.com
Abstrak: Perempuan Di dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan
lingkungan hidup, perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan baik fisik maupun
psikis, ketika berhadapan dengan korporasi dan negara didalam memperjuangkan hak
atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya. Sistem kapitalisme, bahkan
menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tersubordinasi dengan pola
penghancuran kekhasan perempuan didalam mengelola sumber daya alamnya, dan
mematikan potensi perempuan didalam mengelola sumber daya alamnya. Berbagai kasus
pelanggaran terhadap hak asasi perempuan yang disebabkan oleh konflik pengelolaan
sumber daya alam, menjadi sebuah potret buram terhadap penegakan hak asasi
perempuan di Indonesia. Kekerasan ekonomi saat ini juga semakin menjadikan
perempuan sebagai salah satu kelompok rentan dalam masyarakat yang semakin
termiskinkan oleh sebuah sistem pembangunan yang bertumpu pada kepentingan
ekonomi. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), impor beras, okupasi tanah-tanah untuk
kepentingan perkebunan besar dan pertambangan, privatisasi air dan berbagai kebijakan
Pemerintah, telah menjadikan perempuan sebagai kelas yang paling dimiskinkan. Ini
menjadi indikasi buruknya kebijakan pemerintah, serta hukum yang tidak berpihak
kepada kepentingan rakyat dan penegakkan hukum yang buruk. Disisi lain menunjukkan
urgensi untuk memberikan prioritas politik bagi penanganan persoalan penataan di
bidang agraria dan sumber daya alam. Dalam banyak kasus ini adalah sengketa bahkan
pelanggaran atas hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria, sda dan lingkungan yang
dilakukan oleh korporasi bahkan penguasa.
Kata Kunci: Pelanggaran Hak Asasi, Perempuan, Pengelolaan, Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 24
perempuan dalam masyarakat di Indonesia
membuat beban yang lebih bagi
perempuan. Perempuan sering mengalami
ketidakadilan akibat pembedaan gender
tersebut. Budaya politik patriarki
sepanjang sejarah amat menentukan
kehidupan perempuan. Sejak tahun 1960-
an, gerakan feminisme yang menggeliat di
berbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia pada dekade 1990-an, terus
menggugat dasar kebijakan negara yang
bias gender, mendorong peran, fungsi, dan
posisi perempuan secara lebih progresif,
serta memprotes berbagai kebijakan
konservatif negara dan stigma masyarakat
yang memarjinalisasi aspirasi, hak, dan
kepentingan perempuan. Kaum feminis
yang peduli pada pentingnya kesetaraan
gender dalam membangun watak bangsa,
menuntut perubahan yang progresif atas
posisi perempuan, seperti tercermin dalam
polemik isu poligami, isu kekerasan dalam
rumah tangga, isu hak-hak reproduksi
perempuan, atau isu peraturan daerah
tentang pelacuran. Menurut Julia Cleves
Mosse, gender merupakan seperangkat
peran yang memperlihatkan bahwa
manusia bersifat feminin atau maskulin.
Peran tersebut dapat berubah dan sangat
dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan
latar belakang etnis.1
Upaya untuk menjadikan manusia
indonesia yang produktif dan berkualitas
sebagai motifator dan dimisator lewat
komitmen nasional telah dinyatakan secara
resmi dengan memasukan upaya peranan
wanita dalam pembangunan yang
dituangkan dalam GBHN. Mulai dari saat
itu sampai kini telah nampak banyak
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai
oleh wanita di Indonesia dalam upaya
1 Julia Cleves Mosse, 1996. Gender dan
Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal. 3-
4.
kemitraan kesejajaran antara wanita dan
pria dalam semua aspek pembangunan.
Peranan wanita dalam berbagai aspek
kehidupan di pedesaan tidak dapat
dipisahkan dari lingkungan dimana Ia
tinggal, ini dimungkinkan oleh faktor-
faktor penunjang yang mempengaruhi
berlangsungnya proses kehidupan,
Sumberdaya alam yang tersedia merukan
faktor primer penentu kelangsungan hidup
organisme. Aktifitas pengelolaan
lingkungan alam yamg ada akan
mengakibatkan terjadinya degradasi baik
menyangkut kualitas, maupun kuantitasnya
karena pada umumnya sumberdaya alam
yang ada memiliki keterbatasan. Air
merupakan salah satu dari sekian
sumberdaya alam yang dikelola manusia
dan sangat besar manfaatnya dalam
menopang kesenambungan hidup manusia
dan mahluk lain.
Perempuan di Indonesia dirugikan
oleh kemiskinan dan dipinggirkan oleh
proses pembangunan. Kontrol terhadap
sumber daya alam yang menopang
kehidupan mereka sebagian besar masih
jauh dari jangkauan tangan mereka. Di
sebagian besar masyarakat, pembagian
peran selalu melihat jenis kelamin. Peran
gender bukan peran berdasarkan jenis
kelamin melainkan peran yang
dikonstruksi secara sosial. Peran gender
tersebut tidak perlu dipermasalahkan
sepanjang tidak melahirkan ketimpangan
atau ketidakadilan gender. Tetapi di dalam
masyarakat ternyata banyak dijumpai
berbagai bentuk ketimpangan atau
ketidakadilan gender. Dan ketimpangan
atau ketidakadilan gender itu, perempuan
selalu berada pada pihak yang dirugikan.2
2 Sri Hastuti Pupitasari, 2001. Hukum dan
Lingkungan Hidup di Indonesia; Pembangunan,
Resiko Ekologis dan Perspektif Gender, Program
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 25
Kesenjangan yang besar antara
tujuan dan kenyataan mengenai persamaan
hak atas sumber daya merupakan kondisi
sebagian perempuan Indonesia. Posisi
perempuan Indonesia yang tidak
menguntungkan dan terus berlangsungnya
perusakan sumber daya alam menandakan
bahwa Indonesia menghadapi jalan yang
panjang untuk memenuhi tujuan milenium
PBB tentang kesetaraan gender dan
keberlanjutan lingkungan. Mendorong
adanya persamaan peran perempuan dalam
pembuatan keputusan yang menyangkut
sumber daya alam adalah suatu cara agar
masyarakat sipil, baik di Indonesia maupun
di dunia dapat berhasil mewujudkan tujuan
yang saling terkait satu sama lain ini.
Menurut Oslan Purba dari Kontras dalam
satu konferensi pers menyatakan bahwa
sepanjang tahun 2008, Komnas HAM
menerima 4000 kasus pengaduan dan 60
persen diantaranya terkait konflik agraria
dan sumber daya alam.3
Mainstream pembangunan yang
bertumpu pada kepentingan modal dengan
dalil pertumbuhan ekonomi, menjadi
pemicu utama dari kehancuran ekologi dan
kebangkrutan yang terjadi di Indonesia.
Sistem kapitalisme telah menempatkan
sumber daya alam sebagai sebuah
komoditi yang bisa dieksploitasi sebebas-
bebasnya, tanpa pernah
mempertimbangkan daya dukung alam di
dalamnya. Selain potret kehancuran
ekologi, sistem kapitalisme juga telah
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, Hal. 32.
3 Lentera Diatas Bukit, E-Book Perempuan,
Kekerasan dan Konflik Agraria-SDA, Selasa 13
Oktober 2004. Lihat
(http://matanews.com/2009/07/06/otda-mengarah-
pada-pengrusakan-sda/). Diakses Pada Tanggal 13
September 2013.
melanggengkan sebuah model penjajahan
yang dinamakan sebagai eco-kolonialisme,
yakni sebuah penjajahan yang dilakukan
oleh negara-negara Utara melakukan
penjajahan ekonomi dan politik dengan
sejumlah kebijakan ekonomi dan
politiknya, untuk lepas tanggungjawab
terhadap utang ekologi, yang ditimbulkan
oleh industri yang meraka kembangkan di
negara miskin dan berkembang.
Perempuan desa yang bergantung
hidupnya pada sumber daya alam
kebanyakan menjadi korban dampak
negatif pembangunan. Perempuan yang
tinggal di sekitar proyek industri besar
seperti pertambangan dan instalasi minyak
atau gas alam menderita oleh punahnya
atau rusaknya tanah dan sumber daya
alam, seperti hutan, air, sedangkan ganti
rugi umumnya diberikan kepada laki-laki.
Dampak dari proyek berskala besar yang
biasanya membutuhkan tenaga kerja
dan/atau petugas keamanan yang diambil
dari tentara atau polisi, juga sering disertai
dengan meningkatnya kekerasan seksual
terhadap perempuan. Pada banyak
komunitas pedesaan perempuan lah yang
melakukan sebagian besar kegiatan
pertanian. Akan tetapi, ketika tanah berada
dibawah tekanan negara atau eksploitasi
perusahaan, seringkali perempuan
memiliki kontrol yang lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki dalam
pengambilan keputusan yang
mempengaruhi tanah dan sumber daya
alam mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut
diatas, maka penulis ingin mengangkat
permasalahan ini dengan judul “
Pelanggaran Terhadap Hak Asasi
Perempuan Akibat Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup “
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 26
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dari latar
belakang tersebut diatas, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut
: Bagaimana Pelanggaran Terhadap Hak
Asasi Perempuan Akibat Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup ?
PEMBAHASAN
Instrumen Hukum terhadap
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup.
Indonesia sebagai negara
berkembang yang sedang giat memacu
pertumbuhan ekonomi juga tidak terlepas
dari resiko degradasi lingkungan hidup.
Tetapi dengan seiring munculnya gagasan
pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup, maka
diikuti pula dengan diterbitkannya
instrumen hukum yang mengatur tentang
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup. Hal ini seperti yang
terdapat di dalam Pasal 1 angka (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan
bahwa : “ Konservasi sumber daya alam
hayati adalah pengelolaan sumber daya
alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan, persediaannya,
dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman
dan nilainya ”. Sedangkan Di dalam Pasal
1 angka (2) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyebutkan : “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakan
hukum ”. Di dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup tersebut adanya penguatan yang
terdapat dalam undang-undang ini yaitu
prinsip-prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang
didasarkan pada tata kelola pemerintahan
yang baik karena dalam setiap proses
perumusan dan penerapan instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta
penanggulangan dan penegakan hukum
mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan
keadilan serta keutuhan unsur-unsur
pengelolaan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum. Dalam Pasal 1
angka (18) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyebutkan bahwa : “ Konservasi
sumber daya alam adalah pengelolaan
sumber daya alam untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana serta
kesinambungan ketersediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai serta keanekaragamannya“
Ketentuan dari kedua pasal dengan
undang-undang yang berbeda tersebut
diatas memberikan penjelasan bahwa
sebagai upaya pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam maka
diperlukan upaya konservasi terhadap
sumber daya alam untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana serta
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 27
kesinambungan ketersediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai serta keanekaragamannya
dalam rangka menjaga kelestarian terhadap
fungsi lingkungan hidup.
Permasalahan Pengelolaan dan
Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup
Semua permasalahan pengelolaan
sumber daya alam berakar pada lemahnya
paradigma pembangunan selama ini yang
sangat sentralistik dan eksploitatif.
Kelemahan ini secara langsung
berpengaruh pada perilaku sektor swasta
dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Rendahnya kinerja sektor swasta dalam
pemanfaatan sumber daya alam yang
lestari dapat dilihat dengan jelas dari
terjadinya pemanfaatan yang berlebihan
(over exploitation), lemahnya dukungan
bagi upaya konservasi lahan, pembajakan
sumber-sumber daya alam, semakin
melebarnya konflik dalam pengelolaan
sumber daya alam dan peminggiran atau
marjinalisasi masyarakat adat dan lokal
serta kaum perempuan.
Keterlibatan Perempuan dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup
Dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam keterlibatan perempuan lebih banyak
terjadi pada tingkatan pelaksana saja.
Tetapi dalam tahap perencanaan, tahap
pemanfaatkan dan tahap kontrol sejauh ini
perempuan tidak dilibatkan. Padahal dalam
suatu pengelolaan sumber daya alam,
perempuan pada akhirnya selalu menjadi
korban, untuk itu seharusnya perempuan
juga dilibatkan dalam pengelolaan
Pengelolaan Sumber Daya sejak tahap
perencanaan hingga kontrol. Rata-rata
perempuan pedesaan bekerja hampir 12
jam per hari sementara laki-laki hanya 8-
10 jam per hari. Di banyak wilayah,
perempuan menghabiskan waktunya lebih
dari 5 jam per hari untuk mengumpulkan
kayu bakar dan air, serta 4 jam per hari
untuk menyediakan makanan. Di Afrika
dan Asia, perempuan bekerja sekitar 13
jam lebih banyak dari laki-laki per minggu.
Di Asia Tenggara, perempuan
menyediakan lebih dari 90 persen
tenaganya untuk pertanian padi. Namun
demikian, meskipun perempuan sudah
bekerja lebih panjang, perempuan tetap
tertinggal dalam partisipasi perencanaan
dan pemanfaatannya.4
Peran perempuan dalam
pengelolaan sumber daya alam, karena
perempuan menjadi korban maka
perempuan mempunyai arti penting dalam
mempengaruhi proses pembuatan
keputusan. Untuk itu diperlukan
kelompok-kelompok perempuan yang bisa
mempertanyakan, bisa menegosiasi
masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Misalnya kalau seorang Bupati ingin
memasukkan investor, maka proses
negosiasi Bupati dengan investor juga
harus mempertimbangkan keterlibatan
kelompok perempuan, karena kalau tidak,
ketika lingkungan rusak, perempuan yang
kena dampaknya. Perempuan yang
menjadi korban ini banyak terjadi,
misalnya kasus-kasus keguguran, karena
air yang sudah kena limbah, perempuan
itukan tidak punya hak atas tanah, kalau
hutan ditebang segala macam akhirnya
perempuannya pergi ke kota dan menjadi
miskin.
Setidaknya, ada tiga hal penting
mengapa menggunakan konsep
4 Yanti Muchtar, Artikel Dalam Pengelolaan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Keterlibatan Perempuan Masih Sebatas Pelaksana, Yayasan Jurnal Perempuan , Hal. 1
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 28
pengelolaan sumber daya alam yang
partisipatif dan berperspektif keadilan
gender; Pertama untuk memastikan bahwa
semua stakeholders, khususnya kaum
marginal dan miskin yang mayoritas
adalah perempuan, terlibat dalam
pengelolaan sumber daya alam, Kedua
meminimalisir isu-isu krusial berkenaan
dengan desentralisasi seperti feminisasi
kemiskinan yang semakin akut (termasuk
perdagangan perempuan), semakin
rendahnya kesehatan perempuan
khususnya kesehatan reproduksi dan
Ketiga sebagai upaya membangun
kelompok-kelompok perempuan yang kuat
sebagai bagian dari kekuatan masyarakat
sipil untuk memperjuangkan keadilan
sosial dan keadilan gender.5
Vandana Shiva, seorang tokoh
ecofeminist, yang mempunyai ilustrasi
menarik tentang feminitas dalam
pembangunan lingkungan hidup dengan
mengatakan : kini kita tahu, kerusakan
alam dan penyingkiran kaum perempuan
ke pinggir adalah buah dari sebagian
besar program dan proyek pembangunan
yang melanggar integritas kaum
perempuan dan merusak produktifitas
alam. Kaum perempuan, sebagai korban
penindasan bentuk-bentuk pembangunan
patriarkhi mulai melawan untuk
melindungi alam dan menjaga
kelangsungan hidup mereka. Gagasan ini
di samping merupakan gugatan atas
dominannya konsep patriarki dalam
pembangunan juga merupakan reaksi atas
gerakan feminisme yang justru
menampilkan “maskulinitas”.6
5 Yanti Muchtar, Ibid, Hal. 1-2
6 Lihat Vandana Shiva, 1988, Staying Alive,
Women, Ecology and Survival in India, Zid Book
Ltd, U.K, dan telah diterjemahkan ke dalam edisi
bahasa Indonesia oleh Hira Jhamtani, 1997, dengan
judul, Bebas dari Pembangunan; Perempuan,
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup
Dalam Pasal 28H ayat (4) Undang-
Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : “
Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun”. Lebih lanjut Pasal 28J ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa Pembatasan hak asasi itu
hanya dapat dilakukan dengan undang-
undang. Selengkapnya Pasal 28J ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi
sebagai berikut : “ Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis ”.
Berbagai tindakan kekerasan sampai
saat ini masih dialami oleh kaum
perempuan, meskipun Indonesia telah
meratifikasi konvensi perempuan dalam
CEDAW yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita (Convention On The
Elimination Of All Forms Of
Discrimination Against Women) dan
lahirnya Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
serta deklarasi penghapusan kekerasan
terhadap perempuan. Kekerasan terhadap
perempuan saat ini tidak hanya dilakukan
Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, Yayasan
Obor, Jakarta, Hal. 19.
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 29
dalam tingkatan rumah tangga. Dengan
berbagai polanya yang tersistematis sistem
kapitalisme telah menciptakan sebuah pola
kekerasan dalam bentuk yang berbeda, dan
diadopsi oleh aktor-aktor baik state
maupun non-state untuk melanggengkan
bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan terus
berlangsung di negeri ini, mulai dari
rumahnya, sawah dan ladagnya, di tempat-
tempat pengungsian baik sebagai korban
bencana maupun konflik. Di dalam
pengelolaan sumber daya alam dan
pengelolaan lingkungan hidup, perempuan
kerap kali menjadi korban kekerasan baik
fisik maupun psikis, ketika berhadapan
dengan korporasi dan negara didalam
memperjuangkan hak atas lingkungan
hidup dan sumber-sumber kehidupannya.
Sistem kapitalisme, bahkan menempatkan
perempuan sebagai kelompok yang
tersubordinasi dengan pola penghancuran
kekhasan perempuan didalam mengelola
sumber daya alamnya, dan mematikan
potensi perempuan didalam mengelola
sumber daya alamnya. Mereka adalah
perempuan dengan akses pendidikan yang
paling rendah. Mereka adalah kelompok
yang paling membutuhkan, dan yang
paling potensial bertindak sebagai agen
perubahan.7 Berbagai kasus pelanggaran
terhadap hak asasi perempuan yang
disebabkan oleh konflik pengelolaan
sumber daya alam, menjadi sebuah potret
buram terhadap penegakan hak asasi
perempuan di Indonesia. Kekerasan
ekonomi saat ini juga semakin menjadikan
perempuan sebagai salah satu kelompok
7 Jurnal Perempuan 26 Oktober 2004, lewat
website Kalyanamitra www.kalyanamitra.or.id/;
Jakarta Post 22 April 2004. Lihat pula DTE 56
pada dampak pertambangan terhadap perempuan -
kasus Indonesia. Diakses Pada Tanggal 13
September 2013.
rentan dalam masyarakat yang semakin
termiskinkan oleh sebuah sistem
pembangunan yang bertumpu pada
kepentingan ekonomi. Kenaikan Bahan
Bakar Minyak (BBM), impor beras,
okupasi tanah-tanah untuk kepentingan
perkebunan besar dan pertambangan,
privatisasi air dan berbagai kebijakan
Pemerintah, telah menjadikan perempuan
sebagai kelas yang paling dimiskinkan. Ini
menjadi indikasi buruknya kebijakan
pemerintah, serta hukum yang tidak
berpihak kepada kepentingan rakyat dan
penegakkan hukum yang buruk. Disisi lain
menunjukkan urgensi untuk memberikan
prioritas politik bagi penanganan persoalan
penataan di bidang agraria dan sumber
daya alam. Dalam banyak kasus ini adalah
sengketa bahkan pelanggaran atas hak-hak
rakyat atas sumber-sumber agraria, sda dan
lingkungan yang dilakukan oleh korporasi
bahkan penguasa. Salah satu contoh
pelanggaran Hak Asasi Manusia
khususnya terhadap perempuan yaitu
pertambangan batubara yang dilakukan
oleh PT. Kaltim Prima Coal di Kalimantan
Timur dimana pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berupa perampasan tanah
yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima
Coal telah melanggar hak-hak rakyat.
Berdasarkan konvensi-konvensi
Internasional, hak-hak rakyat merupakan
keharusan untuk dilindungi. Beberapa hak
asasi perempuan yang dilanggar
diantaranya :
1. Hak perempuan untuk tidak
didiskriminasikan;
2. Hak untuk menentukan nasibnya
sendiri;
3. Hak Bebas untuk mengatur kekeyaan
dan sumber alam dan tidak boleh
direnggut sarana penghidupannya;
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 30
4. Hak atas kepemilikan;
5. Hak masyarakat adat;
6. Hak untuk bebas dari kelaparan;
7. Hak untuk hidup secara layak, baik
pangan, pakaian, perumahan, dan
kesehatan;
8. Hak setiap anak untuk mendapatkan
standar kehidupan yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral dan sosial anak.8
Seperti halnya yang terjadi pada
kasus PT. SAI (Semen Andalas Indonesia)
Aceh , dimana dalam proses konsultasi
AMDAL perusahaan, perempuan tidak
dilibatkan sehingga banyak pengalaman
dan pengetahuan perempuan tidak pernah
disampaikan, selain di Aceh situasi
tersebut juga terjadi di PT. Petro China di
Bojonegoro, PT. Semen Tonasa dan di
Makassar. Begitu juga yang terjadi di
perempuan pesisir, dimana proyek-proyek
yang dilakukan oleh perusahaan atas izin
pemerintah mengakibatkan perempuan
mengalami ketidakadilan, hal ini juga
karena perempuan tidak dilibatkan dalam
pembuatan dan perencanaan pembangunan
proyek tersebut, bahkan perempuan tidak
diminta persetujuan adanya proyek
tersebut, dan masih banyak lagi kasus-
kasus diskriminasi dan kekerasan yang
terjadi pada perempuan akibat pola
pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya alam yang menghilangkan
akses dan kontrol perempuan atas
sumberdaya alamnya. Meskipun
demikian, perempuan Indonesia yang
selama ini menjadi korban eksploitasi
sumber daya alam dari korporasi dan
8 Haris Retno Susmiyati, 2003, Perempuan di
Pertambangan, Yayasan Jurnal Perempuan,
Jakarta, Hal. 25.
negara, telah bangkit melawan untuk
sebuah perjuangan melawan ketidakadilan.
Merebut kedaulatan rakyat atas lingkungan
hidup dan sumber-sumber kehidupan
rakyat, yang selama ini telah dirampas oleh
kekuatan investasi. Dibanyak tempat
antara lain di Papua, Porsea, Bulukumba,
Rampa, Bengkalis, Aceh, Bojong dan
masih banyak lagi tempat-tempat lainnya,
peran perempuan begitu besar untuk terus
bergerak dan melawan semua kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak kepada
rakyat miskin dan lingkungan hidup.
Perlawanan perempuan ini telah
menunjukkan kepada kita semua, bahwa
perempuan mempunyai kekuatan yang
cukup besar untuk melakukan perlawanan-
perlawanan kolektif dan dapat menjadi
inspirasi bagi perjuangan rakyat di
berbagai tempat lainnya. Mereka adalah
perempuan dengan akses pendidikan yang
paling rendah. Komisi Nasional
Perempuan menilai bahwa dari sedemikian
banyaknya konflik sumber daya alam
tersebut perempuan hampir selalu luput
dari perhatian atau nyaris tidak ada,
bahkan bisa dikatakan tidak ada
identifikasi kekerasan berbasis jender
dalam setiap kelas sosial, baik dalam
konteks pemecahan masalah hingga upaya
pemulihan, akibatnya pengungkapan
kekerasan yang dialami perempuan juga
luput dari upaya penyelesaiannya, padahal
perempuan adalah kelompok paling rentan
ketika konflik sumberdaya alam terjadi.
Selain itu Komnas Perempuan juga
mengidentifikasikan belum terdapat
kepekaan untuk melihat persoalan
perempuan dalam isu sumberdaya alam,
sehingga fakta dan penegakan hak asasi
perempuan dalam isu tersebut sering
terabaikan. Subordinasi masalah
perempuan yang dianggap sepele
dibanding persoalan sumber daya alam,
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 31
dan anggapan jika masalah sumberdaya
alam terselesaikan otomatis masalah
perempuan akan terselesaikan dengan
sendirinya. Aktivitas gerakan perempuan
masih dianggap parsial hanya memahami
isu kekerasan terhadap perempuan tapi
belum berhasil menyambungkan dengan
isu sumberdaya alam, juga minimnya
analisa struktural dari gerakan perempuan
sehingga fakta-fakta kekerasan terhadap
perempuan hanya dilihat sebagai fenomena
tunggal yang tidak terkait dengan kondisi
struktural dimana perempuan tersebut
berada.9 Sistem kapitalisme yang
menggunakan alat-alat kekuatannya seperti
TNC’s/MNC’s dan lembaga keuangan
internasional, bukan saja melakukan
kejahatan lingkungan dengan agenda eco-
kolonialismenya, tetapi juga melakukan
sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, khususnya kelompok rentan
seperti masyarakat adat, perempuan dan
anak-anak. Perempuan dan anak-anak
menjadi korban yang paling besar harus
mengalami dampak dari ketidakadilan
ekologi ini. Perempuan bukan saja
dihadapkan pada sistem kapitalisme, tetapi
juga budaya patriarki dan feodalisme yang
menempatkan perempuan sebagai kelas
dua, kondisi inilah yang semakin
memperburuk posisi perempuan di dalam
kelas masyarakat. Kekerasan yang dialami
oleh perempuan dimulai dari pekarangan
rumahnya, sampai kekerasan yang
dilakukan oleh negara. Bukan saja
kekerasan fisik dan psikis, tetapi juga
9 Studi “Meretas Jejak Kekerasan Terhadap
Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam : Pola Pengucilan, Pengabaian, Tantangan
dan Implikasinya. Sebuah Tawaran Dialog” .
Kajian ini dilakukan oleh KOMNAS
PEREMPUAN bekerjasama dengan Bina Desa,
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia., Rimbawan
Muda Indonesia, debt WATCH Indonesia,
Institute of Dayakologi, LBH Semarang.
kekerasan ekonomi yang diakibatkan oleh
sebuah sistem pasar yang tidak adil bagi
perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Pasar bebas dengan didukung oleh mesin
besarnya World Trade Organization
(WTO) melahirkan kebijakan-kebijakan
yang bersifat eksploitatif dan tidak adil.
Rusaknya lingkungan karena ketamakan
pasar bebas yang mengutamakan
keuntungan sesaat merupakan ekses dari
mitos besar globalisasi. Perubahan iklim
yang ekstrem di Asia dan kekeringan di
negara-negara Afrika merupakan mata
rantai akibat dari rusaknya lingkungan dan
terdegradasinya hutan yang digunakan
untuk mendukung industrialisasi pasar
bebas. Perubahan iklim yang ekstrem dan
kekeringan ini mengakibatkan rusaknya
mata pencaharian masyarakat negara
miskin dan berkembang yang lebih dari
separuhnya menggantungkan hidup pada
sektor pertanian. Hal ini tentu saja
berdampak pada hilangnya mata
penghidupan perempuan dan
keluarganya.10
Dalam konteks Indonesia,
kebijakan pasar bebas yang mendukung
kepentingan industri-industri besar
terwujud dalam kebijakan revolusi hijau di
sektor pertanian. Kebijakan revolutif ini
telah menciptakan ketergantungan petani
Indonesia yang sebagian besarnya adalah
perempuan pada produk-produk industri
yang merusak kemampuan dan
keseimbangan alam. Perempuan dan
keluarganya dijebak untuk semakin
tergantung pada produk-produk industri
pangan karena rusaknya pertanian mereka.
Hal ini berarti perempuan petani dan
keluarganya tidak lagi memiliki kedaulatan
10
Rini Yuni Astuti, Artikel Gerakan
Perempuan Melawan Tirani Patriarkh Baru,
Yayasan LKIS (Pusat Kajian dan
Transformasi Sosial), Yogyakarta, 26 Mei 2009.
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 32
untuk menentukan pola produksi dan
konsumsi pangan mereka.
Posisi perempuan selalu
terpinggirkan, fakta ini ini bukan
merupakan sebuah realita yang terjadi
dalam hitungan dekade saja. Akan tetapi,
hal ini telah terjadi sekian abad lamanya.
Rentannya posisi perempuan ini
diantaranya diakibatkan oleh kuatnya
dominasi budaya patriarki yang telah
mengakar di masyarakat, sehingga hal ini
membuat posisi perempuan semakin
lemah. Prinsip kesetaraan gender yang
akhir-akhir ini marak diusung oleh
beberapa kalangan ternyata masih belum
sepenuhnya mampu mengangkat
perempuan dari ketertindasan, eksploitasi
dan keterpurukan.
Demikian halnya yang terjadi pada
bumi kita ini. Apa yang terjadi pada
perempuan diatas merupakan gambaran
bahwa baik bumi dan perempuan
mendapatkan perlakuan yang kurang baik
sehingga mengakibatkan kerusakan dan
penindasan. Pada bumi, pembangunan
yang dijalankan cenderung tidak
memperhatikan faktor keberlangsungan
lingkungan hidup yang baik. Sebagai
akibatnya kerusakan lingkungan yang
terjadi semakin parah. Salah satu Peraturan
Pemerintah yang tidak memperhatikan rasa
keadilan kepada perempuan dalam
pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan adalah di tengah kondisi bahwa
pemerintah seolah tanpa beban
mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan
Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berasal dari Penggunaan
Kawasan Hutan untuk Kepentingan
Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan
yang berlaku di Departemen Kehutanan
Republik Indonesia. Tarif sewa antara 120-
300 per meter2 per tahun untuk hutan
produksi. Melalui Peraturan Pemerintah
tersebut pemerintah mengizinkan
dilakukannya pembukaan hutan lindung
dan hutan produksi untuk kegiatan
perusahaan industri skala besar, misalnya
kegiatan pertambangan, kegiatan
perkebunan kelapa sawit di berbagai
daerah seperti di aceh, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Papua maupun
beberapa daerah lain. Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berasal dari
Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Kepentingan Pembangunan di Luar
Kegiatan Kehutanan memungkinkan
perusahaan tambang semakin leluasa
mengubah kawasan hutan lindung dan
hutan produksi menjadi kawasan tambang
skala besar, hanya dengan membayar sewa
Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta
perhektarnya. Lebih murah lagi untuk
tambang minyak dan gas , jaringan
telekomunikasi, instalasi air, jalan, stasiun
pemancar radio. Dengan harga tersebut
berarti dapat menyewa hutan lindung
Rp.120 sampai Rp.300 permeter persegi
per tahun (300/m2/tahun). Peraturan
Pemerintah ini akan makin
meluluhlantakan lebih dari 900 ribu hektar
hutan lindung di Indonesia yang akan
dilakukan oleh 13 Perusahaan. Selain itu
Peraturan Pemerintah ini juga berpotensi
untuk memuluskan jalan bagi 158
perusahaan tambang lainnya untuk
mengobrak-abrik 11,4 juta hektar hutan
lindung lainnya yang semuannya bisa
dilakukan dengan hanya membayar Rp.
300/m2. Selain itu, Peraturan Pemerintah
No. 2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif
atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di
Luar Kegiatan Kehutanan, telah
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 33
menimbulkan inkonsistensi terhadap
hukum yang ada. Misalnya bertentangan
dengan kebijakan pembangunan
berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang kehutanan, dan UU
No. 5 Tahun 1990 tentang
Keanekaragaman Hayati dan
Ekosistemnya dan Undang-Undang No. 7
Tahun 1984 tentang Ratifikasi Convention
on the Elimantion of all froms
Discrimination Against Women
(CEDAW). Pada Pasal 14 CEDAW
menyebutkan bahwa perempuan pedesaan
dijamin hak dan aksesnya dalam
pengelolaan sumber daya hutan. CEDAW
menegaskan bahwa kebijakan dan Hukum
Negara perlu mengatasi
ketidakseimbangan melalui langkah-
langkah korektif atau perbaikan dan
memastikan kesetaraan dalam kesempatan,
keterlibatan perempuan, askes dan
pemanfaatan untuk kehidupan perempuan
pedesaan dalam pengelolaan sumberdaya
hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di
Luar Kegiatan Kehutanan merupakan
upaya kearah perluasan pemanfataan hutan
lindung untuk kepentingan pertambangan
dan perkebunan sawit bagi kegiatan
industri yang semakin berpeluang
menghancurkan hubungan sosiologis
terhadap kehidupan perempuan. Begitu
banyak perempuan yang tinggal di
kawasan Hutan dan memperoleh akses
sumber-sumber ekonomi untuk
keberlanjutan hidup dan kehidupan anak
dan keluarganya. Dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan
untuk Kepentingan Pembangunan di Luar
Kegiatan Kehutanan, fakta sosial dan
keadilan menunjukkan bahwa Peraturan
Pemerintah tersebut telah memisahkan
perempuan dari alam dengan
menghabiskan hutan lindung untuk
kepenting industri melalui sewa menyewa
dan jual beli hutan yang dilakukan oleh
pemerintah. Penggundulan dan
pengambilalihan kawasan hutan telah
menyingkirkan perempuan dari sumber-
sumber kehidupannya, misalnya tanah, air,
flora-fauna, mineral, energi, organisme
kehidupan, atmosfir, dan iklim. Perempuan
tidak lagi bisa memungut hasil hutan
seperti rotan, kayu, bahkan berbagai jenis
tanaman obat yang penting bagi
keberlanjutan hidup. Perempuan
mengalami pembatasan akses dan kontrol
dalam pengelolaan sumberdaya hutan,
ketika Industri ekstraktif diberi peluang
untuk menguasai dan mengeksploitasi
Hutan. Perempuan menghadapi beban
hidup yang makin sulit, antara lain:
Pertama, harus memikirkan ekonomi
keluarga yang sebelumnya mereka peroleh
dari hutan, Kedua, hilangnya kearifan dan
pengetahuan lokal perempuan dalam
pengelolaan sumberdaya alam akibat
hutan-hutan mereka diambil alih untuk
kepentingan industry, Ketiga adalah
penghancuran dan pencemaran lingkungan
akibat kegiatan pertambangan berpeluang
menimbulkan ancaman kesehatan
reproduksi perempuan dan kesehatan anak-
anak yang tinggal area pertambangan dan
perkebunan sawit, dan keempat adalah
ancaman kekerasan pisik, psikis dan
ancaman kekerasan seksual dari pihak-
pihak yang mengamankan kegiatan
industri. Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 34
Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di
Luar Kegiatan Kehutanan, makin memberi
ruang terjadinya subordinasi perempuan,
diskriminasi dan ancaman kekerasan
sampai pemiskinan akibat ekploitasi hutan
secara sistematis. Artinya, Peraturan
Pemerintah ini semakin menegaskan
kontrol negara atas pikiran, tubuh dan serta
kehidupan perempuan. Hal ini menunjukan
bahwa Negara telah lalai
mengimplementasikan Convention on the
Elimantion of all froms Discrimination
Against Women (CEDAW) menjamin
perlindungan hak-hak perempuan pedesaan
dalam upaya pemenuhan keberlanjutan
hidup dan kehidupan perempuan.
Gender dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup
Gender merupakan konstruksi sosial
untuk melihat peran laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Gender
sebenarnya memfokuskan pada relasi
antara orang-orang dalam masyarakat
secara keseluruhan.11
Perbedaan laki-laki
dan perempuan sebenarnya hanya terdapat
pada peran-peran yang bersifat kodrati
seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan
menyusui yang tidak dapat dipertukarkan
antara laki-laki dan perempuan. Adapun
peran-peran lain yang tidak dapat
dipertukarkan antara laki-laki dan
perempuan harus dibagi secara seimbang
tanpa melihat jenis kelamin. Pembedaan
peran ini erat kaitannya dengan budaya
patriarki baik dalam artian sederhana,
maupun oleh perimpitan budaya patriarki
dengan kapitalisme, arus modal,
neo-kolonialisme, neo-liberalisme dan
berbagai bentuk kekerasan. Upaya
11
R. W. Connel, 1996. Gender and Power,
Society, The Person and Sexual Polities, Polity
Press Oxford, British, Hal. 119.
mengatasi masalah ketidakadilan gender
harus dilihat sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan perlawanan terhadap
penghancuran kehidupan manusia.
Menurut Mansour Fakih mengatakan
bahwa ketidakadilan gender merupakan
sistem dan struktur di mana baik laki-laki
maupun perempuan menjadi korban dari
sistem tersebut. Ketidakadilan gender
dapat dilihat pada proses pemiskinan
ekonomi (marginalisasi), korban dari
anggapan tidak penting dalam
pengambilan keputusan (subordinasi),
korban dari pelabelan negatif, korban dari
kekerasan dan korban akibat beban kerja
yang lebih banyak dan lebih panjang.12
Beban tanggung jawab dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih berat kepada
perempuan merupakan wujud adanya
gejala ketidakadilan gender. Selama satu
dasawarsa, pemerintah Indonesia
melakukan eksploitasi sumber daya alam
demi alasan pertumbuhan perekonomian.
Sayangnya, paradigma ekonomi sentries
dalam pembangunan ini, telah
menghancurkan sumber-sumber kehidupan
rakyat, khususnya perempuan. Aktor dan
sistem yang mendorong kapitalisme turut
melanggengkan marjinalisasi terhadap
rakyat dan perempuan. Berbagai kebijakan
dan peraturan juga mendukung kerangka
ini, misalnya Undang-Undang otonomi
daerah yang melahirkan berbagai Peraturan
Daerah yang bias gender dan memisahkan
Sumber Daya Alam dari rakyat.
Instrumentasi hukum oleh kekuatan
ekonomi telah menjadikan rakyat terutama
perempuan sebagai kelompok rentan,
tetapi juga menjadi kelas yang paling
dimiskinkan. Di sektor industri ekstraktif
seperti kehutanan, perkebunan dan
12
Mansour Fakih, 1996. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
Hal. 12.
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 35
pertambangan, kepemilikan dikuasai oleh
modal dan industri skala besar, sementara
disisi yang lain rakyat, terutama
perempuan, semakin dijauhkan dari hutan
dan aset alam tempat mereka
menggantungkan penghidupan.
Kelangkaan air terus menerus menjadi
krisis rutin di Indonesia, bencana
kekeringan dan tingkat pencemaran
industri yang tinggi, mengakibatkan
perempuan semakin sulit untuk bisa
mengakses air bersih dan menjaga
ketahanan pangan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di kota,
perempuan semakin ditekan dengan
menjamurnya budaya konsumtif yang
didorong oleh industrialisasi pusat
perbelanjaan. Budaya ini kemudian
menghasilkan timbunan sampah,
pencemaran air tanah dan menciutnya
ruang terbuka hijau. Ditambah lagi dengan
ancamana solusi teknologi yang justru
berdampak buruk bagi kesehatan. 13
Ironisnya, ketika bencana ekologis
terus menerus terjadi karena kesalahan
pendekatan pembangunan, pemerintah pun
tidak mampu memberikan perlindungan
yang layak kepada jutaan perempuan yang
tinggal di berbagai wilayah yang rentan
terhadap bencana. Pemerintah melakukan
pengabaian hak rakyat, khususnya
perempuan, dalam pemenuhan hak-hak
dasarnya pada pasca bencana terutama
pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi
dan rekonstruksi. Selama ini, kerusakan
lingkungan dan aset alam belum
merefleksikan sisi pandang perempuan.
Budaya patriarki yang telah menggeser
kedaulatan perempuan dalam mengelola
dan menentukan pangan telah membuat
13
Gender Working Group WALHI Kalimantan
Timur, Peran Perempuan dalam Penyelamatan
Lingkungan Hidup: Gender dan Lingkungan
Hidup, Artikel, Minggu 22 Agustus 2009.
pandangan perempuan tentang kehidupan
menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-
laki, bahkan oleh perempuan sendiri.
Perempuan juga masih ditinggalkan dalam
proses pengambilan kebijakan. Jika
melihat bahwa persoalan lingkungan hidup
dan aset alam sebagai sebuah proses
politik, perempuan banyak ditinggalkan
dalam proses pengambilan keputusan
politik untuk dapat mengakses sumber-
sumber kehidupannya. Padahal,
perempuan menjadi garda terdepan dalam
upaya pelestarian lingkungan hidup
dimulai dari tingkatan keluarganya, hingga
mengambil peran penting dalam mengelola
aset alam. Perempuan sebagai salah satu
potensi dalam menjaga lingkungan hidup,
sejauh ini tidak pernah di berikan ruang
dan peran keterlibatannya dalam
pengelolaan lingkungan. Perempuan sering
tidak dilibatkan dalam sebagian besar
kebijakan dan kontrol terhadap sumber
daya alam yang menopang kehidupan
mereka. Padahal pada target capaian
Mellenium Developmen Goals (MDG’s)
pada tahun 2015, mensyaratkan pentingnya
keterlibatan perempuan pada semua tujuan
yang akan di capai. Mengikutsertakan
perempuan dalam pengelolaan lingkungan
adalah agar perempuan memahami betapa
pentingnya lingkungan sehingga
perempuan akan menjaga, memelihara
lingkungan, dengan demikian perempuan
akan mempunyai andil besar untuk
menjaga, memelihara lingkungan dengan
baik dan juga dapat menjaga kebersihan
lingkungan dari lingkup yang paling kecil.
(Seminar Nasional Pengelolaan
Lingkungan Hidup Berwawasan Gender,
11 September 2007, P3G LPPM UNS
dengan KLH RI).14
Perempuan memiliki
14
Pelita Online (Media Penguatan Masyarakat
Sipil), Perempuan dan Lingkungan, diakses melalui
www.google.com, Tanggal 13 September 2013.
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 36
keterkaitan yang erat dengan lingkungan.
Dalam perannya sebagai pengelola rumah
tangga, mereka lebih banyak berinteraksi
dengan lingkungan dan sumber daya alam.
Dalam beberapa bahasan alam semesta
acapkali disimbolkan sebagai perempuan
atau ibu. Kearifan perempuan dalam
pengelolaaan lingkungan lebih banyak
memiliki makna positif. Sayangnya selama
ini peran tersebut sangatlah kurang.
Padahal dampak kerusakan lingkungan
lebih sering dirasakan oleh perempuan.
Contoh sederhana adalah ketersediaan air.
Berkurangnya ketersediaan air lebih
dirasakan kaum perempuan karena mereka
merupakan pemakai air terbesar dalam
rumah tangga. Ketidakadilan gender dalam
pengelolaan lingkungan hidup tampak
secara parsial dalam penelitian Sri Hastuti
Puspitasari di kota Yogyakarta pada tahun
2000. Di tingkat institusi pemerintahan
terendah atau kelurahan, ada beberapa
bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
masih mencerminkan partisipasi bias
gender, seperti pada pemeliharaan
sanitasi/assainering dan penanggulangan
limbah dimana seluruh wilayah kelurahan,
kaum laki-laki selalu dilibatkan sementara
itu kaum perempuannya jarang dilibatkan.
Sedangkan pada pengelolaan sampah,
penataan dan perawatan taman rumah,
kaum perempuan selalu berpartisipasi.
Kemudian dalam tingkat pengambilan
keputusan juga jarang dilibatkan kecuali
apabila bidang tersebut dianggap relevan
dengan posisi domestik kaum perempuan
seperti pada pengelolaan sampah,
tamanisasi dan kerja bakti lingkungan.15
15
Sri Hastuti Puspitasari, 2000. Pengelolaan
Lingkungan Hidup Berwawasan Gender , Studi
Kasus Pada Peran Laki-laki dan Perempuan dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota
Yogyakarta, Yogyakarta.
Kondisi seperti ini tentu tidak
menguntungkan bagi pembangunan
lingkungan hidup yang berkelanjutan
sebab pembangunan lingkungan hidup
memerlukan sentuhan-sentuhan feminin
yang lebih mengedepankan aspek
perawatan, apabila sebagian besar kaum
perempuan berada pada wilayah domestik
(rumah tangga) sehingga posisinya
merupakan komunitas yang paling dekat
dengan masalah lingkungan sehari-hari.
Maka dari itu, perlu kiranya informasi
mengenai perlunya menjaga kualitas
lingkungan hidup dan bagaimana teknik
pengelolaannya harus didapatkan secara
adil gender, tidak membeda-bedakan
antara laki-laki dan perempuan. Perlunya
kaum perempuan tampil ke depan dalam
bidang pengelolaan lingkungan hidup
sebenarnya telah menjadi perhatian
kalangan feminis. Dalam kancah gerakan
feminisme, telah muncul gerakan
ecofeminisme, yang lahir sebagai reaksi
atas pembangunan yang berwajah
“maskulin” dimana pembangunan telah
diwarnai dengan sifat-sifat maskulin
seperti, dominasi, penundukan,
perampasan, percepatan, kekuatan dan
kadang kekerasan yang tidak saja
merugikan lingkungan sosial tetapi juga
lingkungan fisik dan biologis. Bahkan
“maskulinitas” pembangunan ini telah
menjauhkan kaum perempuan dari alam.
Gerakan ecofeminisme berpijak pada
konsep pembangunan holistik yang
sifatnya konstruktif, menghargai
keberagaman yang lebih mementingkan
aspek perawatan dan kelestarian. Konsep
ini menggeser konsep pembangunan yang
destruktif dan telah menghilangkan
keberagaman.16
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 37
Selanjutnya Instruksi Presiden Nomor 9
tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender di dalam Penbangunan Nasional
menginstruksikan setiap Kemenetrian dan
lembaga, tentunya termasuk Kementerian
Lingkungan Hidup, agar dapat
mengintegrasikan atau mengarustamaan
perspektif Gender di dalam kebijakan dan
program masing-masing dari tahap
perencanaan, penganggaraan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi sehingga
kebutuhan, permasalahan dan aspirasi
perempuan dan laki-laki, dalam hal ini di
dalam bidang lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan dapat
diakomodir dan dipenuhi.
KESIMPULAN
Identifikasi pelanggaran hak asasi
terhadap perempuan dalam konteks
pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup adalah dengan tidak
memberi beban kelangsungan hidup
keluarga pada kelompok perempuan.
Dalam konteks konflik, potensi konflik
sumber daya alam yang mengakibatkan
kekerasan terhadap kaum perempuan kerap
kali bisa terjadi. Di dalam pengelolaan
sumber daya alam dan pengelolaan
lingkungan hidup, perempuan kerap kali
menjadi korban kekerasan baik fisik
maupun psikis, ketika berhadapan dengan
korporasi dan negara didalam
memperjuangkan hak atas lingkungan
hidup dan sumber-sumber kehidupannya.
16
Gerakan ecofeminisme yang paling populer
adalah gerakan “Chipko” di India dimana kaum
perempuan berpadu menyelamatkan hutan. Tentang
perspektif holistik penulis hanya mendapatkan
sedikit catatan dari Rajni Khotari dalam
pengantarnya untuk buku Vandana Shiva, Bebas
dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan
Perjuangan Hidup di India, 1997, yang diterbitkan
oleh Yayasan Obor, Jakarta.
Saat ini belum banyak dilibatkan
khususnya dalam pengambilan keputusan
dalam pengelolaan Sumber Daya Alam
(SDA) dan lingkungan. Akses perempuan
dalam pemanfaatan lingkungan masih
terbatas. perempuan mempunyai potensi
yang besar untuk memelihara atau
melestarikan dan mencegah pencemaran
atau perusakan lingkungan. Perempuan
memiliki andil besar dalam pengelolaan
lingkungan sehingga wawasannya harus
dibuka dalam bidang ini. bahwa
perempuan dapat melakukan dalam
melestarikan lingkungan, asal ada
kerjasama yang baik dalam konteks
kemitraan, kesetaraan dan keadilan gender.
Berbagai tindakan pelanggaran hak
asasi dan kekerasan sampai saat ini masih
dialami oleh kaum perempuan, meskipun
Indonesia telah meratifikasi konvensi
perempuan dalam CEDAW yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convention On The Elimination Of All
Forms Of Discrimination Against Women)
dan lahirnya Undang-Undang Hak Asasi
Manusia Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.
Salah satu contoh pelanggaran Hak
Asasi Manusia khususnya terhadap
perempuan yaitu pertambangan batubara
yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima
Coal di Kalimantan Timur dimana
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berupa perampasan tanah yang dilakukan
oleh PT. Kaltim Prima Coal telah
melanggar hak-hak rakyat. Seperti yang
terjadi di kasus PT. SAI (Semen Andalas
Indonesia) Aceh, dimana dalam proses
konsultasi AMDAL perusahaan,
perempuan tidak dilibatkan sehingga
banyak pengalaman dan pengetahuan
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 38
perempuan tidak pernah disampaikan,
selain di Aceh situasi tersebut juga terjadi
di PT. Petro China Bojonegoro, PT. Semen
Tonasa Makassar. Hal juga yang terjadi di
perempuan pesisir, dimana proyek-proyek
yang dilakukan oleh perusahaan atas izin
pemerintah mengakibatkan perempuan
mengalami ketidak adilan, hal ini juga
karena perempuan tidak dilibatkan dalam
pembuatan, perencanaan maupun diminta
persetujuan terhadap pembangunan yang
yang memanfaatkan sumber daya alam
maupun lingkungan.
Perempuan juga perlu dilibatkan di
dalam pengambilan keputusan (control)
dan berpartisipasi secara aktif di dalam
perencanaan dan perumusan kebijakan
yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam
dan lingkungan termasuk di dalam
kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim mengingat perempuan yang paling
terkena dampaknya seperti contoh-contoh
diatas. Lebih jauh lagi perempuan harus
memiliki akses dan kontrol pada sumber-
sumber daya lingkungan tertentu seperti air
dan tanah yang merupakan domain utama
mereka di dalam keluarga.
SARAN
Sebagai bentuk penghargaan atas
perjuangan perempuan yang berjuang
mempertahankan hak-hak atas lingkungan
hidup dan sumber-sumber kehidupannya.
1. Memberikan penghormatan terhadap
perjuangan yang dilakukan oleh
perempuan didalam memperjuangkan
hak atas lingkungan hidup dan sumber-
sumber kehidupan rakyat di berbagai
penjuru tanah air yang tertindas oleh
sistem kapitalisme.
2. Mendorong negara untuk memberikan
perlindungan terhadap hak asasi
perempuan didalam pengelolaan
sumber daya alam, pengelolaan
lingkungan hidup, dan penanganan
terhadap bencana dengan menjamin
pemenuhan hak-hak dasarnya antara
lain pangan, kesehatan, hunian
sementara, air bersih dan sanitasi,
sehingga menimbulkan bencana baru
berupa gizi buruk dan penurunan
kualitas kesehatan yang berdampak
padaa perempuan dan anak-anak.
3. Mendorong negara untuk menempuh
langkah-langkah yang cepat dan tepat
untuk menghapus semua bentuk
kekerasan yang dilakukan, baik oleh
state maupun non-state di dalam
pengelolaan sumber daya alam dan
pengelolaan lingkungan hidup.
DAFTAR RUJUKAN
Gerakan ecofeminisme yang paling populer
adalah gerakan “Chipko” di India
dimana kaum perempuan berpadu
menyelamatkan hutan. Tentang
perspektif holistik penulis hanya
mendapatkan sedikit catatan dari
Rajni Khotari dalam
pengantarnya untuk buku
Vandana Shiva, Bebas dari
Pembangunan: Perempuan,
Ekologi, dan Perjuangan Hidup
di India, yang diterbitkan oleh
Yayasan Obor, Jakarta, 1997.
Gender Working Group WALHI
Kalimantan Timur, Peran
Perempuan dalam Penyelamatan
Lingkungan Hidup: Gender dan
Lingkungan Hidup, Artikel,
Minggu 22 Agustus 2009.
Haris Retno Susmiyati, Perempuan di
Pertambangan, Yayasan Jurnal
Perempuan, Jakarta, 2003.
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 39
Julia Cleves Mosse, Gender dan
Pembangunan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1996.
R. W. Connel, Gender and Power, Society,
The Person and Sexual Polities,
Polity Press Oxford, British,
1996.
Rini Yuni Astuti, Artikel Gerakan
Perempuan Melawan Tirani
Patriarkh Baru, Yayasan LKIS
(Pusat Kajian dan Transformasi
Sosial), Yogyakarta, 26 Mei 2009.
Sri Hastuti Puspitasari, Pengelolaan
Lingkungan Hidup Berwawasan
Gender, Studi Kasus Pada Peran
Laki-laki dan Perempuan dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup
di Kota Yogyakarta, Yogyakarta,
2000.
Sri Hastuti Pupitasari, Hukum dan
Lingkungan Hidup di Indonesia;
Pembangunan, Resiko Ekologis
dan Perspektif Gender, Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta,
2001.
Studi “Meretas Jejak Kekerasan Terhadap
Perempuan Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam : Pola
Pengucilan, Pengabaian,
Tantangan dan Implikasinya.
Sebuah Tawaran Dialog” . Kajian
ini dilakukan oleh KOMNAS
PEREMPUAN bekerjasama
dengan Bina Desa, Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia.,
Rimbawan Muda Indonesia,
debtWATCH Indonesia, Institute
of Dayakologi, LBH Semarang.
Yanti Muchtar, Artikel Dalam
Pengelolaan Pengelolaan Sumber
Daya Alam: Keterlibatan
Perempuan Masih Sebatas
Pelaksana, Yayasan Jurnal
Perempuan
Lihat Vandana Shiva, 1988, Staying Alive,
Women, Ecology and Survival in
India, Zid Book Ltd, U.K, dan
telah diterjemahkan ke dalam
edisi bahasa Indonesia oleh Hira
Jhamtani, 1997, dengan judul,
Bebas dari Pembangunan;
Perempuan, Ekologi dan
Perjuangan Hidup di India,
Yayasan Obor, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
ke IV;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita (Convention On The
Elimination Of All Forms Of
Discrimination Against Women);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya;
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia;
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40
ISSN : 2085-4757 40
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan
untuk Kepentingan Pembangunan di Luar
Kegiatan Kehutanan
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender di dalam
Penbangunan Nasional.
Media Elektronik :
1. Jurnal Perempuan 26 Oktober 2004,
lewat website Kalyanamitra
www.kalyanamitra.or.id/; Jakarta Post 22
April 2004. Lihat pula DTE 56 pada
dampak pertambangan terhadap
perempuan - kasus Indonesia.
2. Lentera Diatas Bukit, E-Book Perempuan,
Kekerasan dan Konflik Agraria-SDA, Selasa
13 Oktober 2004. Lihat
(http://matanews.com/2009/07/06/otda-
mengarah-pada-pengrusakan-sda/)
3. Pelita Online (Media Penguatan
Masyarakat Sipil), Perempuan dan
Lingkungan, diakses melalui
www.google.com , tanggal 18 Oktober
2009.