Post on 07-Mar-2018
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
Bab II berisi tentang kajian pustaka, konsep, landasan teori dan model penelitian.
Kajian pustaka membahas mengenai kajian teori termutakhir yang telah ada
sebelumnya dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sementara itu
konsep berbicara mengenai batasan terhadap terminologi teknis yang merupakan
komponen dari kerangka teori. Landasan teori adalah landasan berpikir yang
bersumber dari teori sebagai tuntunan dalam memecahkan masalah penelitian.
Terakhir model penelitian yang memuat tentang abstraksi sintesis dari teori dan
permasalahan penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Untuk mendukung penelitian ini diperlukan beberapa kajian pustaka yang terkait
dengan implikasi Musrenbang Desa terhadap pembangunan spasial. Kajian ini
berperan dalam menentukan gambaran awal dari penelitian yang akan dilakukan.
Selain itu juga dapat dijadikan sebagai bahan pijakan dalam meneliti di lapangan.
Kajian pustaka juga digunakan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan
diangkat menjadi topik penelitian serta untuk menjelaskan kedudukan masalah dalam
tempatnya yang lebih luas. Konstruksi teoritis yang ada dalam kajian pustaka akan
memberikan landasan bagi penelitian.
9
10
2.1.1 Partisipasi Masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan di
Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang
Hasil penelitian tesis Joseph Motte pada tahun 2005 yang diunggah pada
http://www.eprints.undip.ac.id/11763/, mengungkapkan bahwa telah terjadi
mekanisme proses Musrenbang di Kecamatan Gajahmungkur Semarang yang tidak
berjalan dengan semestinya. Hal tersebut diindikasikan akibat dari tidak
berlangsungnya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam merencanakan program
pembangunan daerahnya. Padahal masyarakat inilah yang paling mengerti dan
memahami permasalahan yang ada di lingkungannya dan perencanaan pembangunan
apa yang tepat bagi mereka. Namun permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian
yakni Kecamatan Gajahmungkur menurut penulis adalah kesadaran masyarakat untuk
secara aktif berpartisipasi dalam Musrenbang masih rendah.
Motte selanjutnya mengedepankan rumusan masalah dalam penelitiannya yakni
untuk melihat “Bagaimana tingkatan partisipasi masyarakat Kecamatan
Gajahmungkur dalam Musrenbang, dan faktor apa saja yang mempengaruhi
partisipasi terhadap program pembangunan?”. Partisipasi masyarakat dijadikan
sebagai pokok persoalan yang difokuskan dalam penelitian. Informasi dan masukkan
pada masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak sebagai komponen penting dalam
penentuan program pada proses perencanaan/Musrenbang di tingkat Kecamatan.
Substansi permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada partisipasi masyarakat dan
proses pembangunan yang dibatasi pada Musyawarah Rencana Pembangunan.
11
Pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif eksploratif. Pendekatan deskriptif eksploratif merupakan suatu pendekatan
penelitian dengan menggambarkan dan mengetahui keadaan atau fenomena
partisipasi masyarakat yang ada di Kecamatan Gajahmungkur dalam Musrenbang
secara sistematis, faktual dan akurat. Data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian
ini bersifat kualitatif dan kuantitatif, data kualitatif dianalisis untuk memperoleh
kesimpulan dari tingkat partisipasi. Data kuantitatif dianalisis dengan menjumlahkan,
mengklasifikasi dan membuat persentase. Hasilnya berupa tabel, grafik, gambar serta
pemetaan.
Melalui proses pendekatan dan metode penelitian serta dari kajian literatur dan
analisis tersebut didapatkan sebuah temuan studi yakni, tingkat partisipasi masyarakat
Kecamatan Gajahmungkur dalam proses Musrenbang tergolong sedang.
Penggolongan dalam kriteria „sedang‟ tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: perbedaan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan pengalaman
berorganisasi penduduk (Motte, 2005: 97). Akan tetapi dilihat dari tingkat kehadiran
masyarakat dalam setiap Musrenbang dapat dikatakan cukup karena persentase
kehadiran masyarakat lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan
partisipasi masyarakat di Kecamatan Gajahmungkur masih berada pada tahap
informing dan consultation. Sedangkan pada tahapan partnership dalam partisipasi
masyarakat di Kecamatan Gajahmungkur masih cukup sulit.
12
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Joseph Motte, permasalahan
yang ditekankan pada penelitiannya adalah mengetahui tingkatan partisipasi
masyarakat. Selain itu juga permasalahan lainnya yang dilihat adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Joseph Motte tersebut memiliki kesamaan
dengan penelitian yang dilakukan penulis yakni terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perumusan program.
Sedangkan perbedaan dari penelitian Joseph Motte dengan penelitian ini terletak
pada penekanan implikasi pelaksanaan program terhadap aspek spasial. Selain itu
perbedaan lainnya terletak pada lokasi penelitian, penelitian yang dilaksanakan oleh
Joseph Motte terletak di Kecamatan Gajahmungkur, Semarang sedangkan penelitian
ini terletak di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar. Melihat dari aspek lokasi dan
fokus dari kedua penelitian yang berbeda tentunya output yang dihasilkan akan
berbeda pula.
2.1.2 Pelaksanaan Hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau
Penelitian lainnya yang masih terkait dengan pelaksanaan Musrenbang desa
terkait dengan partisipasi masyarakat yang ditulis oleh Utin Sri Ayu Supadmi dkk
(2013) yang dimuat dalam jurnal ilmiah. Pada penelitian tersebut dipaparkan bahwa
guna terwujudnya pembangunan daerah yang terpadu, selaras, serasi, dan seimbang
diperlukan sinergi antara kegiatan pemerintah dan partisipasi masyarakat yakni
melalui forum Musrenbang. Pelaksanaan Musrenbang dilakukan untuk menjamin
13
terpenuhinya aspirasi masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan.
Penyusunan rencana pembangunan merupakan hasil perencanaan dari bawah ke atas
dan dari atas ke bawah dengan kata lain merupakan kombinasi dari perencanaan
bottom up dan top down. Tahapan-tahapan penyusunan pembangunan tersebut
dimulai dari penyusunan pembangunan tingkat desa yakni secara kongkrit dan
terpadu.
Permasalahan yang diangkat dalam tulisan tersebut adalah adanya faktor-faktor
yang menyebabkan pelaksanaan hasil Musrenbang di Kecamatan Kapuas, Kabupaten
Sanggau belum sesuai dengan usulan kegiatan. Permasalahan yang diangkat tersebut
bersumber pada implementasi kebijakan hasil Musrenbang dan faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan pembangunan hasil Musrenbang. Dalam
implementasinya, tujuan dari adanya Musrenbang yakni sebagai sistem perencanaan
partisipatif ternyata tidak seluruhnya memberikan dampak yang maksimal di dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Fenomena tersebut terjadi diakibatkan oleh
hasil yang diperoleh kurang sejalan dengan yang direncanakan sendiri oleh
masyarakat. Permasalahan-permasalahan publik yang menurut masyarakat penting
dan segera harus dilaksanakan justru kurang menjadi prioritas. Oleh karena itu hasil
yang diharapkan kurang sesuai dengan yang dibayangkan oleh masyarakat,
permasalahan ini diakibatkan oleh jumlah anggaran yang tidak memadai.
Hasil penelitian yang diungkapkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa hampir
semua kelurahan dan desa di Kecamatan Kapuas mengusulkan kegiatan yang kurang
14
lebih sama, yang membedakan hanya lokasi kegiatan saja. Musrenbang merupakan
sebuah kebutuhan dalam pembangunan. Kegiatan Musrenbang dapat dilihat dari
bidang ekonomi, fisik dan sosial budaya. Berbagai aspirasi yang disampaikan oleh
masyarakat dalam Musrenbang lebih menitikberatkan pada hal-hal yang sifatnya
penting dan menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika aspirasi masyarakat
yang telah ditampung dalam proses Musrenbang dan menjadi dokumen Musrenbang,
maka masyarakat berharap banyak agar kegiatan tersebut dapat tercapai dan sesuai
dengan harapan masyarakat. Akan tetapi kenyataan berbicara bahwa masyarakat
menilai pembangunan yang berjalan belum sesuai dengan apa yang masyarakat
kehendaki.
Beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi hasil Musrenbang di
Kecamatan Kapuas antara lain adalah pertama, faktor keakuratan usulan kegiatan.
Ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan dalam Musrenbang Kecamatan
merupakan rumusan elit kelurahan dan desa, sehingga partisipasi masyarakat yang
sesungguhnya belum terakomodasi. Hal tersebut berimplikasi pada stigma bahwa
kewenangan pihak elit saja yang merumuskan daftar kegiatan prioritas.
Kedua, minimnya pendampingan, kurangnya pendamping dan fasilitator desa
yang kompeten dan mampu melaksanakan perencanaan partisipatif, menyebabkan
prioritas kegiatan terkadang tidak dapat terakomodir. Untuk mengatasi hal tersebut
diupayakan adanya peningkatan kapasitas tim pendamping dan fasilitator desa. Serta
15
mampu melaksanakan analisis situasi dan masalah secara partisipatif sebelum
Musrenbang desa dilaksanakan.
Ketiga, faktor kurangnya transparansi pelaksanaan Musrenbang. Untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat, maka pemerintah harus menunjukkan
transparansi di dalam pelaksanaan Musrenbang. Selama ini forum Musrenbang yang
melibatkan masyarakat secara umum hanya terbatas di tingkat kelurahan.
Keterwakilan masyarakat dalam forum tingkat kecamatan sangat kecil. Hal ini
menyebabkan usulan program banyak hilang di tengah jalan.
Keempat, jumlah anggaran yang disediakan untuk pembangunan hasil
Musrenbang masih kurang mencukupi. Hal ini dikarenakan masih banyak program
yang harus dijalankan. Artinya selama ini perencanaan pembangunan bukan
didasarkan atas penggalian aspirasi masyarakat tetapi lebih pada penyesuaian alokasi
anggaran. Apabila anggaran dirasakan mencukupi maka program dapat dilaksanakan
sebaliknya apabila alokasi anggaran tidak mampu menampung seluruh kegiatan maka
akan dipilih kegiatan yang paling mendesak untuk dilaksanakan.
Secara teoritis Musrenbang sebagai salah satu bentuk perencanaan pembangunan
yang bersifat bottom up sudah terlaksana dengan baik. Hanya saja belum
terimplementasi sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan
masyarakat. Hal ini dikarenakan pada tahapan yang lebih tinggi yaitu Musrenbang
Kabupaten, prioritas usulan yang disampaikan oleh masing-masing desa/kelurahan
harus disinkronkan dengan program pembangunan SKPD yang bersifat top down.
16
Usulan masyarakat harus bersaing dengan program SKPD yang sudah lebih terukur
dan lebih terencana dengan baik.
Secara keseluruhan penelitian tesis yang dimuat dalam jurnal oleh Utin Sri Ayu
Supadmi dkk bertujuan untuk melihat implementasi kebijakan Musrenbang dan
faktor yang mempengaruhi implementasi pelaksanaan program. Persamaan antara
penelitian yang dilakukan Supadmi dkk dengan penelitian dilakukan penulis terletak
pada rumusan masalah yang dilihat yakni faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan pembangunan hasil Musrenbang.
Sementara perbedaan dari kedua penelitian terletak pada faktor-faktor
implementasi kebijakan dilihat pada saat penyelenggaraan Musrenbang. Penelitian
yang dilakukan penulis terfokus melihat faktor yang berpengaruh pada perumusan
program dan implikasi program pembangunan pada pembangunan spasial. Sedangkan
pada penelitian yang dilaksanakan Supadmi dkk, faktor implementasi yang dilihat
berfokus pada setelah diselenggarakannya Musrenbang, apa saja yang berkaitan
dengan jalannya program. Selain pada fokus penelitian yang berbeda, perbedaan
lainnya terletak pada lokasi penelitian, penelitian yang dilaksanakan Supadmi dkk
terletak di Kabupaten Sanggau, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis terletak
di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Proses Perencanaan Pembangunan
Pasca Musrenbang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Salah satu tesis yang memuat keberadaan Musrenbang sebagai unsur
perencanaan pembangunan ditulis oleh Evi Agustina Rahayu (2013). Pada tesis
17
tersebut dikemukakan bahwa pendekatan perencanaan partisipatif dalam
pembangunan di Indonesia dilaksanakan melalui mekanisme Musrenbang.
Penjaringan partisipasi masyarakat sejak awal dalam proses perumusan kebijakan
publik atau dalam perencanaan pembangunan menjadi penting untuk
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat. Pembangunan akan dinilai berhasil apabila
mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat.
Tujuan penelitian yang ditulis pada tahun 2013 ini adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang proses akomodasi usulan masyarakat dalam tahapan perencanaan
pembangunan daerah pasca Musrenbang. Adapun rumusan masalah yang diangkat
antara lain adalah (a) program dan kegiatan pembangunan apa saja yang terealisasi di
tingkat Kecamatan, (b) bagaimana akomodasi usulan masyarakat yang berlangsung
sehingga menjadi program dan kegiatan pembangunan yang terealisasi (bagaimana
pola berjalannya usulan, siapa saja yang berperan, dengan cara apa mereka
mempengaruhi), (c) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi akomodasi usulan
masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan daerah.
Pengumpulan data menggunakan data primer dan sekunder. Data sekunder
diperoleh dari daftar usulan program dan kegiatan prioritas tahun 2011, hasil
Musrenbang tingkat kabupaten tahun 2011, Rencana Kerja Pemerintah Daerah 2011
dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 2011. Sedangkan data primer
diperoleh dengan wawancara langsung dengan para informan. Pernyataan dapat
berupa pernyataan pribadi maupun mewakili instansi atas nama pribadi.
18
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Musrenbang sebagai mekanisme resmi
penyampaian usulan kegiatan belum memiliki pengaruh besar dalam proses
perencanaan pembangunan di daerah (Rahayu, 2013). Dalam proses perumusan
kebijakan publik pada Musrenbang penting untuk diketahui siapa aktor yang terlibat
dan bagaimana keterlibatannya sehingga mempengaruhi pendefenisian masalah
publik, hingga kebijakan publik yang dirumuskan. Aktor-aktor yang terlibat dalam
perumusan kebijakan publik di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, meliputi pemeran
serta resmi dan tidak resmi.
Praktek Musrenbang yang berlangsung selama ini di Kabupaten Hulu Sungai
Tengah dinilai belum efektif. Dari hasil kegiatan yang terealisasi di tahun 2011,
serapan usulan kegiatan yang berasal dari Musrenbang hanya 39%. Hal ini
disebabkan oleh masih banyaknya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan
Musrenbang sehingga perlu banyak pembenahan. Salah satunya dalam mekanisme
pengusulan program.
Sumber usulan kegiatan pembangunan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah selain
dari Musrenbang juga berasal dari proposal yang diajukan masyarakat maupun dari
hasil reses DPRD. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses berjalannya
usulan kegiatan dalam tahapan perencanaan pasca Musrenbang, diantaranya
mekanisme penyampaian usulan kegiatan yang belum baku, sumber daya masyarakat
yang umumnya masih lemah, sumber daya organisasi/perangkat daerah yang belum
memadai, dan peran aktor perumus kebijakan publik yang signifikan.
19
Secara umum proses perencanaan yang berlangsung di daerah masih memiliki
beberapa kekurangan. Oleh karena itu perlu masukan dan kerjasama para pemangku
kepentingan dalam upaya serius untuk memperbaikinya. Termasuk dalam hal
pengendalian atau evaluasi, untuk mengoptimalkan keberhasilan perencanaan hingga
tahap implementasi.
Sekilas dari hasil penelitian pada tesis Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada
Proses Perencanaan Pembangunan Pasca Musrenbang di Kabupaten Hulu Sungai
Tengah terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan penulis. Persamaan yang dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan
Rahayu (2013) adalah sama-sama melihat proses dan jalannya pengusulan program
serta kegiatan pembangunan dalam Musrenbang serta faktor yang berpengaruh dalam
dalam proses perencanaan pembangunan pasca Musrenbang.
Sementara itu perbedaan yang terdapat antara keduanya adalah lingkup
Musrenbang yang dijadikan objek dalam penelitian. Pada penelitian yang
dilaksanakan Rahayu (2013) lingkup penelitian berada pada level kabupaten/kota
yakni di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Sedangkan penelitian yang dilakukan
penulis lingkup penelitian mencakup wilayah kelurahan yakni Kelurahan Kesiman,
Kota Denpasar. Selain itu terdapat rumusan masalah yang mengkaitkan program dan
kegiatan Musrebang desa dengan keberadaan pembangunan spasial yang terjadi di
Kelurahan Kesiman, sedangkan penelitian sebelumnya tidak membahas masalah
tersebut.
20
2.1.4 Perubahan Sosial pada Komunitas Lokal Kawasan Tanjung Bunga Kota
Makassar, Formasi Sosial dan Perubahan Spasial
Salah satu penelitian yang memuat dampak pembangunan terhadap perubahan
spasial dan sosial masyarakat dilakukan oleh Batara Surya pada tahun 2010 yang
diunggah pada http://www.indo-planning-journals.com/index.php/tataloka/. Pada
penelitian Disertasi yang dimuat dalam bentuk jurnal internet tersebut diungkapkan
bahwa munculnya sebuah kawasan baru perkotaan di Makassar, yang mana pada
awalnya merupakan wilayah permukiman komunitas nelayan di pinggiran kota.
Perubahan fisik spasial pada kawasan tersebut ditandai oleh adanya pembangunan
wilayah yang disertai dengan pengembangan fungsi-fungsi ruang baru. Oleh sebab itu
perluasan wilayah baru dapat merekonstruksi pola ruang baru di Makassar melalui
munculnya kota baru.
Adanya perubahan paradigma pembangunan dari kebijakan sentralisasi
pembangunan menjadi desentralisasi pembangunan telah terlihat memiliki pengaruh
pada kecepatan akselerasi pembangunan pada kawasan-kawasan pinggiran kota.
Pinggiran kota yang dulunya adalah wilayah peri urban dengan kecenderungan
kegiatan agraris telah menjadi sebuah kawasan perkotaan yang terencana dan
modern. Oleh karena itu melalui kebijakan desentralisasi tersebut dapat dilihat
perkembangan fungsi-fungsi spasial baru dalam hal ini pada lokasi penelitian yang
telah dilakukan yakni pada kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar.
Dalam penelitiannya diungkap bahwa penggerak akselerasi pembangunan
spasial pada pembangunan kawasan Metro Tanjung Bunga dimotori oleh adanya
21
peranan kekuatan kapitalis. Perkembangan tersebut diawali oleh penguasaan lahan-
lahan agraris yang kemudian dilanjutkan dengan dominasi atas penguasaan faktor-
faktor produksi non kapitalis. Proses tersebut terus berjalan dengan penguasaan
sarana produksi kemudian beralih pada penguasaan produksi ruang dan menciptakan
ruang yang representatif. Adanya fenomena tersebut sesuai dengan konsepsi bahwa
penguasaan sarana produksi menjadi reproduksi akan berlanjut pada penciptaan ruang
secara representasional (Surya, 2010: 218).
Selain fenomena yang telah dijelaskan diatas, fenomena lainnya yang berupa
temuan penelitian adalah terjadinya pembangunan fisik spasial kawasan Metro
Tanjung Bunga. Ciri khas dari pembangunan tersebut adalah perubahan morfologi
kawasan dari pedesaan yang relatif homogen ke morfologi perkotaan yang beragam.
Keberagaman morfologi tersebut berkembang pada pola kegiatan ekonomi dan sosial
masyarakat yang terpolarisasi menjadi kegiatan moderen-tradisional, kualitas tinggi-
kumuh yang selanjutnya terangkum menjadi pola formal dan informal.
Adanya pembangunan dan perluasan wilayah perkotaan telah berimplikasi pada
aspek spasial yang ditunjukkan oleh adanya dua jenis penguasaan lahan yakni ruang
kapitalis dan non kapitalis. Dalam pelaksanaan rencana, pengembang tidak serta
merta dapat menghilangkan ruang-ruang non kapitalis ini. Ruang-ruang non kapitalis
ini tetap bertahan dan menunjukkan eksistensinya melalui sektor-sektor informal dan
masyarakat kelas pekerja bawah. Temuan di atas dalam penelitian ini disebutkan
sebagai fenomena artikulasi spasial perkotaan.
22
Munculnya pembangunan yang sangat cepat tersebut selain berpengaruh pada
kegiatan dan perubahan fisik spasial juga memunculkan determinasi pada perubahan
formasi sosial. Perubahan pada mode produksi dan perubahan orientasi mata
pencaharian pada komunitas masyarakat mendorong keberlangsungan tata cara
produksi dari kelas kapitalis dan non kapitalis. Dominasi dari kelas kapitalis tersebut
memunculkan pemisahan lokasi hunian komunitas lokal secara spasial pada kawasan
Metro Tanjung Bunga Makassar yang pada akhirnya mendorong perubahan sosial
pada komunitas lokal.
Akselerasi pembangunan yang berlangsung sangat cepat dan didorong oleh
perubahan fisik spasial tersebut menciptakan ruang-ruang yang terencana maupun
yang tidak terencana (Surya, 2010: 215). Kondisi tersebut berakibat pada segmentasi
sosio spasial pada kawasan studi. Munculnya perubahan fisik spasial di bagian lain
merupakan faktor pendorong lahirnya kaum-kaum dalam formasi sosial baru pada
kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar. Melihat temuan dalam penelitian ini
bahwa tidak hanya rekayasa perubahan fisik spasial yang terjadi pada kawasan Metro
Tanjung Bunga Makassar namun juga muncul formasi sosial baru akibat dari
dominasi oleh struktur ruang yang ditandai oleh penguasaan ruang kapitalis dan non
kapitalis pada kawasan pengembangan baru tersebut. Fenomena spasial perkotaan
yang dideterminasi oleh dinamika formasi sosial kapitalis-non kapitalis ini yang
diperkenalkan sebagai fenomena „artikulasi spasial perkotaan‟ (Surya, 2010: 221).
23
Berdasarkan penjelasan mengenai penelitian yang dilakukan oleh Batara Surya
pada tahun 2010, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan penulis. Persamaan antara kedua penelitian terletak pada adanya temuan
mengenai terjadinya pembangunan spasial yang menimbulkan dampak pada berbagai
aspek. Akan tetapi dalam penelitiannya Batara Surya mengungkapkan adanya
perubahan formasi sosial yang diakibatkan oleh adanya pembangunan spasial.
Sementara perbedaan pada kedua penelitian ini terletak pada kajian dan
pendalaman implikasi pembangunan. Pada penelitian yang dilakukan Batara Surya
adanya perubahan spasial yang memunculkan perubahan pada aspek non spasial
yakni aspek sosial. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan penulis tidak
menyentuh aspek lainnya selain aspek spasial. Selain itu perbedaan terletak pada
lokasi penelitian, pada penelitian yang dilakukan Surya (2010) lokasi penelitian
terletak di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar sedangkan penelitian yang
dilakukan penulis terletak di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar.
2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep
2.2.1 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dengan
permasalahan yang ditemukan di lapangan, kemudian digunakan untuk menjawab
dan memecahkan permasalahan dalam penelitian. Kerangka berpikir juga merupakan
sebuah gambaran mengenai struktur penelitian yang akan dilakukan. Diagram
kerangka berpikir akan disajikan pada Gambar 2.1 dibawah ini.
24
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir Penelitian
Konsep
Fokus :
Implikasi
Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan
Desa Terhadap
Pembangunan
Spasial
(Kelurahan
Kesiman)
Perumusan Masalah
o Program serta
rencana
pembangunan spasial
apa sajakah yang
terdapat dalam
Musrenbang desa di
Kelurahan Kesiman
dan bagaimana
realisasinya?
o Faktor-faktor apakah
yang berpengaruh
pada perumusan
program dan
kegiatan
pembangunan dalam
Musrenbang desa di
Kelurahan Kesiman?
o Bagaimana implikasi
pelaksanaan program
dan kegiatan
pembangunan
Musrenbang desa
terhadap
pembangunan spasial
di Kelurahan
Kesiman?
Fenomena
permasalahan/
problem serta
isu yang
berkembang di
lokasi studi
Teori
Kajian
Pembahasan
Penelitian/ Hasil
Temuan
Metode
Penelitian
Data
Lapangan
Hasil Penelitian
o Program
pembangunan
dan realisasi
pembangunan
spasial
o Faktor-faktor
perumusan
program
o Implikasi
pelaksanaan
program
terhadap
pembangunan
spasial
Kesimpulan
dan Saran
25
2.2.2 Konsep
Konsep memberikan batasan tentang terminologi teknis dan merupakan
bagian dari kerangka teori.
a. Implikasi
Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan mengenai istilah implikasi,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Implikasi menurut kamus bahasa
Indonesia mempunyai pengertian suatu keadaan yang dapat berpengaruh atau
mempengaruhi dan terlibat dalam suatu kegiatan atau proses (Agustin, 2011: 262).
Pada dasarnya implikasi dapat didefinisikan sebagai akibat langsung atau
konsekuensi atas suatu keadaan serta proses yang menyertai keadaan tersebut. Istilah
implikasi sering berhubungan dengan suatu telaah atau kajian dalam sebuah
penelitian.
Secara bahasa implikasi memiliki makna sesuatu yang telah tersimpul dan
disimpulkan dalam suatu penelitian. Secara luas implikasi dipandang dari sebuah
penelitian merupakan sebuah hubungan yang menyebabkan sesuatu terjadi akibat
kejadian lainnya. Pemaknaan implikasi dijelaskan sebagai akibat yang menyertai
maupun akibat yang akan datang kemudian (Agustin, 2011: 262).
Implikasi berfungsi untuk membandingkan hasil penelitian atau suatu kajian
yang lalu dengan hasil penelitian yang baru saja dilakukan. Dapat kita sebut bahwa
implikasi bermakna bagaimana suatu hal berdampak terhadap hal lainnya dan
menimbulkan akibat lain yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Misalnya dalam
implikasi teoritis dari sebuah penelitian, peneliti menyajikan kebenaran sebuah
26
penelitian dengan tujuan meyakinkan penguji pada kontribusi ilmu pengetahuan
maupun teori yang digunakan dalam sebuah penelitian.
Pada konteks penelitian ini, implikasi memiliki pengertian suatu keadaan atau
proses yang dipengaruhi oleh program pembangunan. Dalam penelitian ini dilihat
bahwa Musrenbang desa memiliki implikasi pada pembangunan spasial pada sebuah
wilayah. Keberadaan Musrenbang desa sebagai forum penyampaian aspirasi
masyarakat yang terkait pembangunan di lingkungannya telah menghasilkan produk-
produk pembangunan yang telah dirasakan masyarakat.
Produk/hasil pembangunan yang berupa pembangunan infrastruktur, program
dan kegiatan lainnya telah memberikan efek pada aspek lainnya pada kehidupan
masyarakat. Salah satunya dalam aspek spasial yakni pertumbuhan infrastruktur suatu
wilayah yang begitu cepat akan secara langsung dapat berimplikasi pada
pembangunan spasial wilayah tersebut (Nurmandi, 2006: 36). Pembangunan
infrastruktur dan sistem pelayanan publik yang terencana merupakan lokomotif
penggerak munculnya pembangunan yang tentunya berimplikasi terhadap
pembangunan spasial wilayah dilaksanakannya proyek.
Kesimpulannya, implikasi yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu
keadaan pada aspek spasial yang terpengaruh atau dipengaruhi oleh realisasi produk
program pembangunan yang direncanakan melalui forum Musrenbang. Realisasi
produk program berupa pembangunan infrastruktur, jalan lingkungan, jembatan,
pavingisasi, dan pembangunan lainnya akan berpengaruh pada pembangunan spasial
27
di wilayah dilaksanakannya program. Implikasi spasial dapat berupa perubahan fisik
wilayah, bangunan, dan sirkulasi ruang.
b. Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa
Pembangunan yang telah dilakukan dimasa lalu memperlihatkan sebuah bentuk
pembangunan berparadigma sentralistik dengan orientasi pembangunan perkotaan
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Paradigma tersebut telah menunjukkan
kegagalan terutama akibat dari kejatuhan ekonomi nasional yang disertai dengan
adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam hal ini yang
berkuasa saat itu yakni pemerintahan orde baru. Proses pembangunan pada masa orde
baru yang cenderung sentralistik dari atas ke bawah telah lama menuai kritik karena
tidak jarang pendekatan pembangunan tersebut hanya berdampak pada masyarakat
elit di perkotaan dan tidak menyentuh masyarakat terbawah di desa-desa.
Bergulirnya reformasi memicu timbulnya pemikiran-pemikiran baru yang
merevolusi cara pandang pembangunan. Paradigma baru pembangunan tersebut
mengarahkan pembangunan pada azas-azas: desentralisasi, demokratis, supremasi
hukum, hak azasi manusia, pembangunan dari bawah melalui pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat terutama masyarakat bawah serta pembangunan yang
berwawasan lingkungan. Keseluruhan prinsip pembangunan yang baru tersebut
diwujudkan ke dalam proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
(Soetomo, 2009: 29). Paradigma pembangunan seperti ini sesungguhnya bertujuan
untuk membentuk masyarakat madani yang sering diistilahkan civil society.
28
Pembangunan yang dimulai dari level bawah yakni dari desa yang menjadi cita-
cita pembangunan nasional saat ini mengalami berbagai macam kendala. Sumber
daya manusia sebagian besar masih berada di wilayah desa, namun kualitas SDM
yang dimiliki desa tidak sebanding dengan kuantitasnya. Justru sumber daya manusia
berkualitas yang dimiliki desa berpindah ke kota sehingga kesempatan desa untuk
mengembangkan wilayah melalui orang-orang terbaiknya tidak terlaksana.
Perencanaan dan pembangunan desa adalah suatu wujud pencarian dan
penggalian potensi dan ide serta gagasan-gagasan yang diwujudkan oleh masyarakat
sendiri dalam keseluruhan proses pembangunan. Perencanaan dan pembangunan desa
ini tentunya dilandasi oleh konsep-konsep yang telah hadir dalam kehidupan
masyarakat desa sendiri, salah satunya adalah konsep gotong royong yang berakar
dari budaya bangsa Indonesia. Paradigma pembangunan yang sekarang menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Masyarakat mempunyai hak untuk
terlibat dan memberikan masukan dan mengambil keputusan, dalam rangka
memenuhi hak-hak dasarnya, salah satunya melalui proses Musrenbang (Dirjen Cipta
Karya, 2008: 8).
Musrenbang adalah forum publik perencanaan (program) yang diselenggarakan
oleh lembaga publik yaitu pemerintah desa/kelurahan, kecamatan, pemerintah
kota/kabupaten bekerjasama dengan warga dan para pemangku kepentingan (Dirjen
Cipta Karya, 2008: 8). Penyelenggaraan Musrenbang merupakan salah satu tugas
pemerintah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan
29
kemasyarakatan. Pembangunan tidak akan bergerak maju apabila salah satu dari tiga
komponen tata pemerintahan (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan atau
berfungsi (Dewi, 2012: 5). Oleh karena itu, Musrenbang juga merupakan forum
pendidikan warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan
pembangunan.
Musrenbang sebenarnya secara tidak langsung akan memberikan pembelajaran
kepada masyarakat untuk mengelola program dan dana yang terkumpul dari diri
mereka yang telah diserahkan kepada negara melalui membayar pajak, retribusi dan
pungutan lain yang sah. Untuk itu masyarakat dituntut untuk mampu merencanakan
dan melaksanakan program kegiatan berdasarkan kebutuhan riil.
Pada Musrenbang desa terdapat unsur-unsur pembangunan yang merupakan
prioritas rencana kegiatan pembangunan skala Desa/Kelurahan (Dirjen Cipta Karya,
2008: 24). Unsur-unsur pembangunan diantaranya berisi tentang usulan kegiatan
prioritas masing-masing dusun yang disampaikan pada forum Musrenbang desa.
Tiap-tiap dusun memiliki prioritas pembangunan yang berbeda-beda, misalnya
terdapat usulan mengenai perbaikan lingkungan fisik seperti infrastruktur jalan,
saluran air, gapura desa dan lainnya. Selain daripada itu, ada pula usulan program
yang bersifat non fisik seperti kegiatan sosial melalui pemberdayaan masyarakat
kurang mampu dan kegiatan budaya melalui pemberian bantuan pada sekehe-sekehe
kesenian yang ada di desa.
30
Musrenbang kelurahan bagi kelurahan merupakan bagian dari mekanisme
perencanaan pembangunan di daerah untuk merumuskan kegiatan-kegiatan
pembangunan yang tentunya diprioritaskan pada program-program penting di dalam
meningkatkan kehidupan masyarakat (Sutoro, 2004: 145). Hasil Musrenbang desa
akan digunakan untuk menyusun Rencana Kerja Desa serta merumuskan prioritas
permasalahan yang merupakan kewenangan pihak desa untuk diajukan ke
Musrenbang kecamatan. Selanjutnya hasil usulan dari Musrenbang kecamatan akan
dibawa menuju Musrenbang kabupaten/kota. Pada level kabupaten/kota inilah akan
disepakati usulan-usulan yang akan dibiayai oleh anggaran APBD kabupaten/kota
atau yang akan dilanjutkan menuju level yang lebih tinggi yakni provinsi dan
nasional.
Dapat disimpulkan bahwa Musrenbang desa merupakan ajang bagi masyarakat
serta stakeholder desa dalam merumuskan program dan rencana pembangunan yang
akan diwujudkan pada tahun berikutnya. Musrenbang desa pun dapat menjadi sarana
bagi pemerintah kelurahan dengan masyarakat untuk merumuskan kegiatan
pembangunan swadaya masyarakat kelurahan maupun kegiatan yang diusulkan untuk
diajukan dibiayai melalui pos anggaran APBD Kabupaten/Kota.
c. Pembangunan Spasial
Pembangunan didefinisikan sebagai “upaya terencana dan sistematik yang
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat” (Suparlan dalam Praboatmodjo,
2006:5). Pembangunan dilaksanakan oleh negara-negara berkembang untuk mencapai
31
kondisi seperti di negara maju. Instrumen penting pembangunan adalah perencanaan
yang mencakup upaya untuk mengontrol, mengarahkan, mempengaruhi dan
memantau proses pembangunan. Aspek perencanaan pembangunan diwujudkan
dalam berbagai program antara lain Musrenbang, PNPM, dan lainnya. Sementara
aspek kontrol dan pengawasan diwujudkan dalam bentuk arahan kebijakan berupa
RTRW (rencana tata ruang dan dan rencana wilayah), RDTR (rencana detail tata
ruang), RTBL (rencana tata bangunan dan lingkungan) dan rencana-rencana lainnya.
Salah satu bentuk pembangunan yang sangat penting dalam menunjang upaya
keberlanjutan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah pembangunan spasial.
Pembangunan spasial ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur serta
memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan. Pembangunan spasial
memberikan suatu perubahan pada aspek fisik wilayah, penggunaan sumber alam dan
lingkungan yang ada pada wilayah spasial dalam rangka meningkatkan
perekonomian, konsumsi dan kehidupan masyarakat (Worosuprojo, 2009: 6).
Pembangunan spasial dapat kita lihat dengan ciri-ciri adanya perkembangan
terhadap suatu wilayah. Setidaknya terdapat tiga aspek yang mencirikan bahwa suatu
wilayah telah melakukan pembangunan spasial. Ketiga aspek tersebut antara lain
adalah terjadi perkembangan pada (1) pemanfaatan lahan, (2) bangunan dan (3)
sirkulasi (Yunus, 2006: 10).
Bentuk pemanfaatan lahan menekankan pada ekspresi spasial kegiatan manusia
atas sebuah bidang lahan. Bentuk pemanfaatan lahan menunjukkan kenampakan dan
32
bentuk-bentuk tertentu dari penggunaan lahan. Sebagai contoh adanya bentuk
permukiman, persawahan, industri, perdagangan, jasa, lapangan olahraga,
perkebunan dan lainnya. Kenampakan lahan tersebut hanya akan dapat dilihat jika
telah terjadi pembangunan spasial atas lahan-lahan tersebut. Sebuah bentuk
pemanfaatan lahan ditandai oleh adanya lahan yang digunakan untuk infrastruktur
fisik dan sosial, penggunaan komersial, kantor-kantor pemerintah, ruang komunitas,
dan gedung-gedung publik (Suartika, 2010: 108). Beberapa contoh terjadi
pembangunan spasial adalah adanya dikotomi antara lahan agraris dengan lahan
terbangun (non agraris).
Berikutnya ciri pembangunan spasial dapat kita lihat dari aspek perkembangan
bangunan (Yunus, 2006: 14). Aspek perkembangan bangunan ini selalu bercirikan
dominasi fungsi bangunan/gedung yang berorientasi pada kegiatan non agraris.
Terjadinya pembangunan spasial terjadi akibat karakteristik alih fungsi lahan agraris
menjadi areal terbangun seperti gedung-gedung, permukiman, fasilitas-fasilitas
pelayanan publik merupakan fenomena yang terjadi dalam proses menuju kekotaan.
Setting perumahan, jalan lingkungan, dan lainnya dengan adanya alih fungsi lahan
pertanian akan berubah seiring dengan adanya perkembangan bangunan/gedung.
Berikutnya aspek perkembangan sirkulasi dalam hal ini menekankan pada
peredaran barang, jasa dan informasi (Yunus, 2006: 18). Seperti diketahui munculnya
pembangunan spasial akan terjadi dampak yang mengikutinya yakni terciptanya
33
jaringan transportasi yang padat dan kompleks. Begitupula peredaran barang dan jasa
akan semakin lancar dengan adanya jaringan transportasi yang semakin berkembang.
Dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk pembangunan spasial yang ditekankan
dalam penelitian ini yakni pembangunan spasial yang terjadi pasca realisasi program-
program pembangunan yang usulannya melalui forum Musrenbang desa. Yakni
dengan melihat mekanisme perencanaan pembangunan dalam Musrenbang desa serta
produk pembangunan yang dihasilkan. Produk pembangunan tersebut khususnya
berupa pembangunan pada aspek fisik, infrastruktur, pembangunan fasilitas publik.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan lingkungan, jembatan, pembuatan
saluran/gorong-gorong, trotoar, fasilitas publik seperti kantor desa, balai desa.
Keseluruhan pembangunan tersebut akan dilihat implikasi spasial yang terjadi pada
masing-masing pembangunan.
d. Pembangunan Desa
Secara historis desa merupakan embrio bagi kelahiran masyarakat politik dan
pemerintahan di Indonesia. Desa telah menjadi institusi sosial yang sangat penting
jauh sebelum terbentuknya lembaga-lembaga serta negara-bangsa di jaman moderen
(Dwipayana, 2006: 2). Desa merupakan institusi otonom secara tradisi, adat-istiadat,
dan hukum yang mengakar kuat dan mandiri tanpa campur tangan asing. Istilah
„desa‟ merupakan terminologi bahasa Jawa yang menjadi sebutan yang seragam di
seluruh wilayah negara yang mengacu pada unit pemerintahan lokal seperti nagari,
pasirah, dan lainnya.
34
Secara umum wilayah Indonesia didominasi oleh wilayah pedesaan dengan
kegiatan pertanian sebagai lokomotif ekonomi desa. Sejumlah penelitian
menunjukkan jumlah penduduk miskin di pedesaan masih cukup banyak (Usman,
2008; 30). Sementara yang lain menunjukkan bahwa berada di kelompok yang sangat
miskin dan ada juga yang lebih baik. Jika kita menilik pada undang-undang terbaru
tentang desa yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, dijelaskan bahwa Desa
merupakan:
“Desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai
kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.”
Keberadaan desa di Bali diistilahkan dengan desa adat (Gelebet, 2002: 15).
Desa adat di Bali terdiri dari unit-unit permukiman yang di dalamnya terdapat
aktivitas sosial, relijius dan budaya. Desa adat mengatur ruang untuk bermukim
secara horizontal yakni hubungan antara warga/krama desa. Sementara itu, desa dinas
atau desa administratif mengatur secara vertikal ke bawah dengan pemerintahan.
Syarat utama suatu desa adat adalah adanya tri hita karana yakni atma, angga dan
khaya (jiwa, fisik dan tenaga). Dalam desa adat unsur kahyangan tiga sebagai jiwa,
sima, krama desa sebagai tenaga dan teritorial/wilayah sebagai fisiknya.
35
Desa adat merupakan salah satu warisan yang merupakan hasil pemikiran dari
Mpu Kuturan, kata desa berasal dari bahasa Sansekerta yang biasanya dipergunakan
di kalangan umat Hindu di Bali. Istilah ‘desa’ dan ‘desi’ seperti halnya negara dan
negari. Berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah
kelahiran (Kartohadikoesoemo dalam Widja, 2000: 30). Desa adat yang telah dikenal
saat ini di Indonesia telah dikenal sejak jaman Hindu. .
Berdasarkan beberapa pengertian tentang desa di atas dapat kita simpulkan
bahwa desa dalam arti pemerintahan adalah bagian penting yang merupakan unsur
terkecil dalam pemerintahan dan bagian pemerintahan yang menyentuh langsung
masyarakat. Sementara itu pengertian desa jika ditilik dari aspek kemasyarakatan
merupakan organisasi kemasyarakatan yang memiliki kemandirian serta terikat adat
istiadat antar masyarakat desa tersebut. Kemudian dilihat dari bentuk serta ciri-
cirinya pedesaan/desa memiliki pergaulan yang kuat diantara ribuan masyarakatnya.
Bentuk masyarakatnya yang komunal terlihat dari ciri adanya rasa gotong-royong
yang tinggi beserta sistem musyawarah mufakat yang masih kuat dipertahankan
dalam pemerintahan desa.
Keberadaan desa sebagai bagian dari pemerintahan yang secara langsung
bersentuhan dengan masyarakat terbawah sangat penting dan memiliki peranan untuk
ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Selama ini kita hanya melihat
bahwa pembangunan akan terlihat jika ada pembangunan berskala besar/proyek di
wilayah pedesaan. Pembangunan desa yang sesungguhnya tidaklah terbatas pada
36
pembangunan berskala „proyek‟ saja, akan tetapi pembangunan dalam lingkup atau
cakupan yang lebih luas.
Pembangunan yang berlangsung di desa dapat saja berupa berbagai proses
pembangunan yang dilakukan di wilayah desa dengan menggunakan sebagian atau
seluruh sumber daya (biaya, material, sumber daya manusia) bersumber dari
pemerintah (pusat atau daerah), selain itu dapat pula berupa sebagian atau seluruh
sumber daya pembangunan bersumber dari desa (Muhi, 2011: 1). Pembangunan desa
pada hakikatnya adalah segala bentuk aktivitas manusia (masyarakat dan pemerintah)
di desa dalam membangun diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan di wilayah desa
baik yang bersifat fisik, ekonomi, sosial, budaya, politik, ketertiban, pertahanan dan
keamanan, agama dan pemerintahan yang dilakukan secara terencana dan membawa
dampak positif terhadap kemajuan desa.
Berbicara tentang pembangunan desa terdapat dua aspek penting yang menjadi
objek pembangunan. Secara umum, pembangunan desa meliputi dua aspek utama,
yaitu pembangunan desa dalam aspek fisik dan aspek non fisik. Pembangunan yang
objek utamanya dalam aspek fisik (sarana, prasarana dan manusia) di pedesaan
seperti jalan desa, bangunan rumah, pemukiman, jembatan, bendungan, irigasi, sarana
ibadah, pendidikan (hardware berupa sarana dan prasarana pendidikan, dan software
berupa segala bentuk pengaturan, kurikulum dan metode pembelajaran),
keolahragaan, dan sebagainya. Pembangunan dalam kedua aspek ini selanjutnya
disebut pembangunan desa (Muhi, 2011: 4).
37
Pada pembangunan desa, pemerintah (pusat dan daerah) berperan dalam
memberi motivasi, stimulus, fasilitasi, pembinaan, pengawasan, dan hal lainnya yang
bersifat bantuan. Pemerintah memiliki kewenangan dalam intervensi pembangunan
pada batasan-batasan tertentu. Misalnya, intervensi yang dimaksud adalah turut
campur secara aktif dan bertanggungjawab dalam pembangunan desa, seperti
membuka keterisolasian desa melalui pembangunan fasilitas jalan desa, jembatan,
gedung sekolah, puskesmas, dan lainnya.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, intervensi pemerintah pada batasan-
batasan tertentu. Meskipun pemerintah memiliki intervensi dalam pembangunan desa
namun pemerintah tidak boleh mengabaikan potensi masyarakat setempat, yang
berakibat pada masyarakat hanya berpartisipasi pasif dalam hal ini masyarakat hanya
sebagai penonton. Keterlibatan masyarakat sangat penting diperlukan dalam
pembangunan desa. Karena pembangunan desa bukan hanya sebatas sarana dan
infrastruktur yang dikerjakan dalam jangka pendek. Bahkan pembangunan desa
bersifat menyeluruh dari aspek fisik, pengelolaan, pemeliharaan, pengawasan hingga
pembangunan kembali.
Dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa merupakan segala upaya dari
masyarakat, pemerintah dan swasta untuk memberdayakan potensi sumber daya yang
terdapat di desa. Melalui pembangunan desa tersebut diharapkan dapat mengangkat
taraf kehidupan masyarakat desa tanpa mengurangi daya dukung sumber daya alam
yang diberdayakan tersebut. Pembangunan desa dapat berupa pembangunan fisik
38
yakni fasilitas dan infrastruktur masyarakat desa dan pembangunan ekonomi dan
kehidupan sosial masyarakat desa.
2.3 Landasan Teori
Landasan teori merupakan landasan berpikir yang bersumber dari teori yang
diperlukan sebagai tuntunan dalam memecahkan suatu permasalahan dalam
penelitian. Landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan untuk mengarahkan
suatu penelitian. Pada landasan teori dapat berupa perangkat konsep, definisi, dan
proposisi yang menyajikan hubungan antara variabel-variabel yang menerangkan
gejala dalam penelitian. Sementara teori merupakan perspektif atau sudut pandang
untuk menafsirkan dan memaknai gejala-gejala dalam membangun konsep.
2.3.1 Teori Ideologi
Ideologi adalah sebuah dasar pemikiran atau ide yang mendasari pemikiran
yang logis yang kemudian menjadikan ide tersebut sebagai pedoman dalam
kehidupan sesuai dengan ide dan pemikiran tadi. Kata ideologi dapat dianggap
sebagai visi yang luas dan cara untuk memandang sesuatu. Secara umum ideologi
sebagai suatu kumpulan gagasan, ide-ide dasar, keyakinan serta kepercayaan yang
bersifat sistematis yang memberikan arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam
kehidupan nasional suatu bangsa dan negara (Budiman, 1996: 21).
Istilah ideologi diperkenalkan oleh Antoine Destutt de Tracy seorang filsuf
Prancis pada akhir abad ke 18 untuk mendefinisikan secara sistematis tentang ide
(Rahman, 2013). Kata ini berasal dari bahasa Prancis idéologie, yang merupakan
39
penggabungan dari dua kata yakni idéo yang berarti gagasan dan logie/logos yang
berarti ilmu. Dapat diartikan bahwa ideologi sebagai ilmu yang meliputi kajian
tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan.
Menurut Karl Marx, ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan
kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Ideologi dapat dianggap sebagai visi dan
teropong untuk memandang sesuatu. Tujuan utama dari ideologi adalah untuk
menawarkan sebuah perubahan melalui pemikiran logis. Ideologi tidak hanya sekadar
pembentukan ide namun lebih dari itu ideologi dapat diterapkan pada masalah publik
sehingga membuat konsep ideologi menjadi intisari pemikiran dalam politik. Secara
implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak
diletakkan sebagai sistem berpikir logis.
Marx menjelaskan bahwa ideologi sebagai false consciousness (Rahman,
2013). Ideologi dianggap sebagai kesadaran palsu, kesadaran yang disebutkan tidak
berdasarkan pada realitas. Ideologi disebutkan mendistorsi kenyataan menjadi sesuatu
yang palsu untuk dipersepsikan menjadi kesadaran. Ideologi tidak mempengaruhi
dengan paksaan, tidak melalui paksaan senjata. Ideologi mempengaruhi pemikiran
seseorang melalui hal-hal yang bersifat persuasif. Ideologi akan masuk ke dalam
kesadaran masyarakat secara diam-diam tanpa kita sadari. Masyarakat tidak akan
menyadari keberadaan ideologi tersebut jika tidak ditelaah secara mendalam, tiba-tiba
saja kita telah menganggapnya sebagai sebuah kelaziman. Demikianlah Marx
membuktikan bahwa ideologi adalah false consciousness kesadaran yang palsu.
40
Contoh bekerjanya ideologi juga terjadi di Indonesia. Ketika kita mendengar
istilah komunisme, hal-hal yang terlintas dalam pikiran adalah unsur pemberontakan,
sadisme dan ateisme. Hal-hal tersebut sudah terlanjur terdeskripsi dalam pemikiran
masyarakat. Namun perumusnya sendiri Karl Marx memberikan pengertian
komunisme tidak seperti yang dideskripsikan oleh masyarakat kita, justru komunisme
merupakan kritik atas kapitalisme yang gagal membawa kesejahteraan pada
masyarakat. Kesimpulannya bahwa terdapat suatu ideologi yang telah dibangun
selama ini yang mendiskreditkan realitas komunisme. Demikianlah ideologi dapat
memberikan interpretasi yang berbeda mengenai suatu hal, sehingga ideologi ini
sangat berbahaya jika disalahartikan (Rahman, 2013).
Terdapat dua tipe ideologi yang dianut berdasarkan pengaruh negara pada
masyarakatnya (Asshiddiqie, 2009). Kedua tipe ideologi tersebut adalah ideologi
terbuka dan ideologi tertutup. Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan atau
filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial sebagai
kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai
sesuatu yang harus dipatuhi. Ideologi dengan tipe seperti ini lebih berupa dogmatis
dan apriori.
Ciri lain dari ideologi tertutup adalah ideologi tersebut tidak bersumber dari
masyarakat, melainkan dari pemikiran kaum elit yang harus dipropaganda pada
masyarakat. Oleh karena itu ideologi dengan tipe ini berasal dari kaum elit dengan
41
sendirinya ideologi ini harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat yang pada
akhirnya bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara totaliter.
Tipe kedua adalah ideologi terbuka, ideologi terbuka hanya mengandung
orientasi dasar dan paham pokok (Asshiddiqie, 2009). Sedangkan penerjemahannya
selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip yang
berkembang di masyarakat. Ideologi dapat berkembang dan bersifat terbuka, inklusif
dan tidak totaliter. Ideologi terbuka hanya dapat ada dalam sistem demokratis.
Ideologi berperan dalam suatu perumusan keyakinan arah kebijakan yang
dimiliki suatu negara, bangsa, organisasi atau perkumpulan untuk mencapai suatu
tujuan khusus yang hendak dicapai (Sukarna, 1974: 19). Selain hal di atas ideologi
juga berperan dalam menganalisa kejadian-kejadian sosial, ekonomi, politik yang
berkembang di masyarakat. Pada permasalahan-permasalahan tertentu ideologi dapat
memberikan jalan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi golongan-
golongan tertentu.
Pada penelitian ini teori ideologi berperan dalam membedah permasalahan
terkait penyelarasan program-program pembangunan Musrenbang yang digulirkan
oleh pemerintah kepada desa-desa khususnya di lokasi studi. Melalui ideologi yang
bersumber dari Undang-Undang Dasar, pemerintah dapat menjalankan suatu program
pembangunan. Adanya realisasi program-program pembangunan, masyarakat akan
diarahkan untuk tunduk kepada kekuasaan negara, sehingga masyarakat memiliki
ketaatan terhadap ketentuan dan aturan hukum di negara tersebut. Keberadaan
42
pembangunan yang bersumber dari ideologi suatu negara juga sekaligus berfungsi
untuk menangkal pengaruh ideologi lain yang berpotensi memecah belah persatuan
bangsa.
2.3.2 Teori Pembangunan Spasial
Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu cara atau proses yang
ditempuh untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dari saat ini. Pembangunan
didefinisikan sebagai suatu proses menyeluruh yang bertujuan pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan
pemberantasan kemiskinan. Berbagai proses dalam mewujudkan pembangunan
berikutnya akan menampakkan berbagai perubahan pada struktural masyarakat, sikap
hidup dan kelembagaan masyarakat (Todaro, 2004: 28). Dalam kegiatan Musrenbang
desa, pembangunan merupakan output/keluaran dari proses Musrenbang yang
dijabarkan dari program-program.
Dewasa ini paradigma pembangunan mulai bergeser dari pembangunan yang
menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan. Menuju
pada pembangunan yang juga memperhatikan aspek pelestarian lingkungan dan
kebudayaan. Ketiga sasaran pembangunan yang diwujudkan dalam pertumbuhan
ekonomi, pelestarian lingkungan dan kebudayaan dikenal dengan pembangunan
berkelanjutan/sustainable development (Tjatera, 2010: 12).
Sementara itu pengertian ruang merupakan alih kata space untuk bahasa
Indonesia. Space berasal dari bahasa latin yakni spatium yang berarti terbuka, luas,
43
memungkinkan orang berkegiatan dan bergerak leluasa di dalamnya dan dapat
berkembang tidak terhingga. Ruang diberi pengertian sebagai tempat acuan untuk
menunjukkan posisi peletakan sebuah objek dan menjadi suatu media untuk
memungkinkan objek tersebut bergerak (Munitz dalam Hariyono, 2007). Ruang
sebagai tempat, sebagai penghubung, sebagai penampung berbagai aktivitas
operasional fisik dan sosial yang terbagi atas ruang-ruang publik dan privat. Ruang
juga dapat diartikan sebagai tatanan hirarki yang memiliki tingkat dan nilai makna
tersendiri (Hariyono, 2007: 187).
Pembangunan spasial merupakan suatu cara dan proses yang ditempuh dalam
mewujudkan ruang dalam konteks fisik dan wilayah agar tercapai kehidupan manusia
yang memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan (Worosuprojo, 2009:
5). Tujuan dari pembangunan spasial disesuaikan dengan konsepsi pembangunan
berkelanjutan yakni melalui pembangunan spasial akan terjadi pertumbuhan ekonomi
sekaligus pelestarian lingkungan, dan kebudayaan. Melalui kemampuan masyarakat
dalam mengelola dan memanfaatkan spasial ruang, dapat dicapai apa yang telah
dirumuskan dalam pembangunan berkelanjutan.
Dalam pembangunan spasial terdapat tiga elemen fisik utama yang
menunjukkan kenampakan pembangunan spasial yang didasarkan pada konsep urban
morphology (Smailes dalam Yunus, 2006: 10). Ketiga elemen tersebut antara lain
adalah elemen pemanfaatan lahan, elemen bangunan, dan elemen sirkulasi. Adanya
pembangunan sebagai motor penggerak perubahan memunculkan proses berubahnya
44
ketiga elemen yang telah disebutkan. Berikutnya akan dijelaskan penjelasan dari
masing-masing elemen kenampakan pembangunan spasial.
Elemen pemanfaatan lahan yang dipaparkan Yunus (2006) dalam tulisannya
menekankan pada ekspresi fisiko spasial kegiatan manusia atas sebuah bidang lahan.
Elemen pemanfaatan lahan menunjukkan terjadinya kenampakan atau bentuk-bentuk
pemanfaatan lahan seperti permukiman, persawahan, industri, perdagangan, jasa,
perkantoran dan lainnya. Berbagai bentuk pemanfaatan lahan ini dapat dibagi lagi
menjadi bentuk-bentuk yang lebih rinci.
Sedangkan untuk identifikasi bentuk pemanfaatan lahan yang berasosiasi pada
makna perkotaan, maka dibedakan menjadi dua macam yakni pemanfaatan lahan
agraris dan pemanfaatan lahan non agraris (Yunus, 2006: 12). Pemanfaatan lahan non
agraris adalah bentuk pemanfaatan lahan yang diklasifikasikan sebagai settlement
built up area. Sementara bentuk pemanfaatan lahan agraris disebutkan sebagai daerah
vegetated area, yakni daerah yang berasosiasi dengan sektor pertanian.
Elemen bangunan yang ditekankan dalam penjelasan Yunus (2006) adalah
pada building characteristics. Elemen bangunan melihat pada fungsi dan orientasi
pemanfaatan bangunan. Dalam tinjauan aspek urban, wilayah kota cenderung diisi
oleh dominasi fungsi bangunan berbagai ragam fungsi dengan corak non agraris.
Sedangkan wilayah pedesaan fungsi dan pemanfaatan bangunan cenderung berupa
bangunan permukiman dan fungsi pendukung aktivitas agraris (Yunus, 2006: 15).
Selain berupa fungsi dan orientasi bangunan dalam tinjauan perkotaan, jumlah dan
45
kepadatan bangunan digunakan untuk dikategorikan suatu wilayah telah terjadi
pembangunan spasial.
Berikutnya elemen sirkulasi digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya
pembangunan spasial dari sebuah wilayah. Elemen sirkulasi yang dimaksud adalah
peredaran barang, jasa, dan informasi namun yang menjadi penekanan adalah sarana
dan prasarana yang memfasilitasi yakni jaringan transportasi dan komunikasi (Yunus,
2006: 18). Wilayah yang memiliki kepadatan dan kegiatan penduduk yang cukup
tinggi akan menciptakan infrastruktur dan jaringan transportasi dan komunikasi yang
lebih kompleks. Sebaliknya wilayah dengan aspek pembangunan spasial yang rendah
akan memiliki infrastruktur yang lebih sederhana. Kompleksitas sirkulasi dapat
dilihat dari banyaknya kendaraan yang lalu-lalang, keragaman kendaraan, kepadatan
jaringan jalan, dan aneka rambu lalu lintas.
Pada penelitian ini teori pembangunan spasial dilihat sebagai alat untuk
melihat implikasi yang ditimbulkan akibat realisasi program Musrenbang. Dalam
ranah spasial, implikasi realisasi program dapat berupa aspek pemanfaatan lahan,
aspek bangunan maupun aspek sirkulasi. Berbagai macam implikasi realisasi program
pembangunan memiliki keterkaitan dengan masing-masing elemen dalam
kenampakan pembangunan spasial.
2.3.3 Teori Partisipasi Masyarakat
Konsep partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam mendukung
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tanpa partisipasi dan dukungan
46
masyarakat sangat mustahil pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat
berhasil dan memiliki manfaat bagi masyarakat. Keberadaan partisipasi masyarakat
sebagai syarat dalam mendukung pembangunan di daerah merupakan sebuah hal
yang diharuskan di era kebebasan dan keterbukaan informasi. Terutama pada
kegiatan Musrenbang, konsep partisipasi masyarakat merupakan jiwa dan semangat
yang mendasari kegiatan tersebut.
Beberapa ahli memiliki pengertian yang beragam mengenai konsep partisipasi
masyarakat. Partisipasi adalah ’take a part’ atau ikut serta (Pei dalam Salain, 2001:
9). Partisipasi masyarakat adalah proses ketika warga sebagai individu maupun
kelompok sosial dan organisasi yang bertujuan untuk mengambil peranan serta ikut
serta dalam mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan
terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi langsung kehidupan masyarakat
(Sumarto, 2009: 37). Dari berbagai pengertian tentang partisipasi masyarakat pada
intinya adalah adanya keterlibatan dan gotong royong masyarakat dalam
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pembangunan, sehingga keseluruhan
hasil yang diperoleh dalam proses pembangunan memiliki makna di mata
masyarakat.
Substansi partisipasi merupakan makna terdalam yang ada pada konsep
partisipasi itu sendiri (Sutoro, 2004: 152). Terdapat tiga hal substansi dari partisipasi
yakni voice, akses dan kontrol, sebagai berikut:
a. Voice, merupakan hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan
aspirasi, kebutuhan, kepentingan dan tuntutan terdapat komunitas
47
terdekatnya maupun pemerintah. Voice dapat disampaikan warga dalam
berbagai cara misalnya opini publik, referendum, media massa dan
berbagai forum warga.
b. Akses, memiliki pengertian ruang dan kapasitas masyarakat untuk
masuk dalam area governance yakni mempengaruhi dan menentukan
kebijakan serta terlibat aktif dalam mengelola barang-barang publik.
Terdapat dua hal penting dalam akses yakni: keterlibatan secara terbuka
(inclusion) dan keikutsertaan (involvement).
c. Kontrol masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun
kebijakan pemerintah. Terdapat kontrol internal (self-control) dan
kontrol eksternal (external control). Artinya kontrol atau pengawasan
tidak hanya terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah tetapi juga
kemampuan warga untuk melakukan penilaian secara kritis dan reflektif
terhadap lingkungan dan perbuatan yang dilakukan mereka sendiri.
Keseluruhan substansi dalam partisipasi masyarakat dapat diukur melalui
suatu teori yang telah dirumuskan Arnstein (1969) yang disebut dengan teori The
Ladder of Participation yakni suatu tahapan partisipasi masyarakat (Arnstein, 1969).
Kedelapan tahapan ini merupakan alat analisis untuk mengidentifikasi partisipasi
masyarakat:
Kontrol masyarakat (citizen control).
Pelimpahan kekuasaan (delegated power)
Kemitraan (partnership).
Penentraman (placation).
Konsultasi (consultation).
Informasi (information).
Therapi (theraphy).
Manipulasi (manipulation).
Gambar 2. 2 Delapan Tangga Partisipasi Arnstein
Sumber: Arnstein dalam Salain, 2001
Penghargaan atau mengalah. Keinginan dan gagasan
didengar akan tetapi keputusan oleh
pemerintah/Tokenisme
Peran serta tidak terjadi. Masyarakat menjadi objek
kegiatan dengan kata lain tidak ada partisipasi
masyarakat pada tingkatan ini/ Non partisipasi
Lemah
Kuat Peran serta masyarakat terwujud, terjadi pembagian hak, tanggung jawab
dan wewenang antara masyarakat dan
pemerintah dalam pengambilan
keputusan/ Kekuasaan masyarakat.
48
Berdasarkan Gambar 2.2 di atas terdapat jenjang partisipasi masyarakat dalam
keikutsertaan dalam pembangunan. Masyarakat akan mengikuti alur dari tangga
pertama hingga tangga kedelapan. Dari kedelapan tingkatan partisipasi masyarakat
dapat digolongkan menjadi tiga tahapan peranan, yakni:
a. Tahapan pertama yaitu non partisipasi yang terdiri dari dua tangga yakni
manipulasi dan terapi. Manipulasi dan tangga kedua terapi/perbaikan tidak
termasuk dalam konteks partisipasi yang sesungguhnya. Pada tingkatan ini
masyarakat terlibat dalam suatu program, akan tetapi sesungguhnya keterlibatan
mereka tidak dilandasi oleh suatu dukungan mental, psikologis, dan disertai
konsekuensi yang memberikan kontribusi dalam program tersebut. Masyarakat
pada posisi ini hanyalah menjadi objek dalam pembangunan, tidak terjadi peran
serta dalam pembangunan.
b. Tahapan kedua yakni Tokenisme dimana terdapat tangga partisipasi ketiga,
keempat dan kelima yaitu pemberian informasi, konsultasi dan
penentraman/peredaman kemarahan. Pada tahapan ini sesungguhnya adalah suatu
bentuk usaha untuk menampung ide, saran, masukan dari masyarakat untuk
sekedar meredam keresahan masyarakat. Oleh karena itu tangga ini masuk dalam
kategori tokenisme. Konsultasi yang yang disampaikan hanyalah upaya untuk
mengundang ketertarikan publik untuk mempertajam legitimasi. Selanjutnya
Arnstein menyebutnya sebagai tingkat penghargaan atau formalitas. Pada titik ini
49
konsultasi publik berupa masukan dan gagasan dilakukan pemerintah, namun
pengambilan keputusan pembangunan tetap dilakukan pemerintah.
c. Berikutnya pada tahapan ketiga yakni kekuasaan masyarakat yang dimulai dari
tangga keenam yakni kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan
masyarakat. Menurut Arnstein baru pada tangga keenam inilah terjadi partisipasi
atau kemitraan masyarakat. Pada tahap ini masyarakat telah mendapat tempat
dalam suatu program pembangunan. Pada tangga ketujuh sudah terjadi
pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada masyarakat. Terakhir masyarakat
sudah dapat melakukan kontrol terhadap program pembangunan. Tahap inilah
yang disebut dengan partisipasi atau dalam istilah Arnstein sebagai kekuasaan
masyarakat.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan
permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar. Berikut di bawah
ini akan diperlihatkan model penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
pada Gambar 2.3.
50
Gambar 2. 3 Model Penelitian
Implikasi Musywarah Perencanaan
Pembangunan Desa terhadap
Pembangunan Spasial
Dinamika Pembangunan
Desa Ditinjau dari Proses
Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa
Faktor yang berpengaruh
pada perumusan program
dan pembangunan
9 Lingkungan
Permukiman (13
Banjar) Kelurahan Kesiman
Program dan realisasi
pembangunan spasial
Implikasi
Program serta rencana
pembangunan spasial apa sajakah
yang terdapat dalam Musrenbang
desa di Kelurahan Kesiman dan bagaimana realisasinya?
Faktor-faktor apakah yang
berpengaruh pada perumusan
program dan kegiatan
pembangunan dalam Musrenbang
Desa di Kelurahan Kesiman?
Bagaimana implikasi pelaksanaan
program dan kegiatan
pembangunan Musrenbang Desa
terhadap pembangunan spasial di
Kelurahan Kesiman?
1. Teori Partisipasi Masyarakat 2. Teori Pembangunan Spasial
3. Teori Ideologi
Teori Ideologi
Teori Partisipasi Masyarakat
Teori Pembangunan Spasial