Post on 11-Feb-2018
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL SYAHADAT CINTA
KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) Dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
Disusun Oleh:
ALIMUL HUDA NIM : 3102327
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2008
ب
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
a.n Sdr. Alimul Huda
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah Skripsi saudara:
Nama : Alimul Huda
NIM : 3102327
Judul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL
SYAHADAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN
AL-AZIZY.
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, Januari 2008
Pembimbing,
Drs. Abdul Wahib, M.Ag NIP : 150 240 884
Drs. Abdul Wahib, M.Ag
Perum Pandana Merdeka R 35
Ngaliyan Semarang
ج
PENGESAHAN PENGUJI
Tanggal Tanda Tangan
Drs. Karnadi Hasan, M.Pd. _______________ ________________ Ketua Mahfud Siddiq, LC.MA. _______________ ________________ Sekretaris Dra. Muntholi’ah, M.Pd. _______________ ________________ Anggota I Drs. Abdul Rohman, M.Ag. _______________ ________________ Anggota II
د
ABSTRAK
Alimul Huda (NIM: 3102327). Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman al-Azizy. Semarang: Program Strata S1 Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo 2008.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Bagaimana sistem nilai dalam pendidikan Islam, 2) Apa saja kandungan yang terdapat dalam novel Syahadat Cinta karya Taufiqurrahman Al-Aziziy, 3) Bagaimana nilai- nilai pendidikan Islam dalam novel Syahadat Cinta karya Taufiqurrahman Al-Azizy.
Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme semiotik. Strukturalisme pada dasarnya berasumsi bahwa karya sastra merupakan suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda. Sedangkan semiotik atau semiologi adalah ilmu tentang tanda-tanda dalam bahasa dan karya sastra. Dengan demikian strukturalisme semiotik adalah strukturalisme yang dalam membuat analisis pemaknaan suatu karya sastra mengacu pada semiotik.
Sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizi yang secara langsung menjadi obyek dalam penelitian skripsi ini. Data ini ditunjang dengan hasil interview dengan nara sumber yang bersangkutan dalam penelitian ini. Dalam hal ini yang menjadi interviewee-nya adalah pengarang novel Syahadat Cinta yaitu Taufiqurrahman Al-Azizi. Sedangkan Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku dan karya ilmiah yang mengkaji tentang sastra atau yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Setelah data berhasil penulis kumpulkan, tahap selanjutnya adalah analisis data. Adapun metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Interpretasi, yaitu digunakan untuk menyelami karya tokoh dalam rangka menangkap arti dan nuansa yang dimaksudkan tokoh secara khas. 2) Hermeneutik, yaitu metode khusus yang biasanya digunakan untuk analisis pemaknaan suatu karya sastra yang mengacu pada tanda-tanda dalam bahasa. Hermeneutik merupakan telaah pada totalitas atau keseluruhan karya Sastra, yang berupa sajak atau bait-bait syair yang terkait dalam satu tema atau keseluruhan karya itu sendiri.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa nilai-nilai pendidikan Islam dalam Novel Syahadat Cinta secara global dapat dikategorikan dalam 3 aspek, yaitu: 1) Nilai-nilai pendidikan keimanan, terdiri dari nilai Ilahiyah ubudiyah yaitu: ajaran untuk selalu beriman kepada Allah, ajaran untuk beriman kepada kitab Allah. dan Ilahiyah Muamalah yaitu ajaran untuk Bersikap Sabar dan Ikhlas. 2) Nilai-nilai pendidikan syariah, terdiri atas nilai Ilahiyah ubudiyah yaitu ; ajaran tentang shalat dan ajaran tentang thaharoh. 3) Nilai-nilai pendidikan akhlak, terdiri atas nilai insaniyah yaitu; ajaran tentang etika berbicara yang baik-baik, ajaran untuk saling memaafkan, ajaran tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan (khalwat), ajaran untuk saling tolong menolong dan bersedekah.
Selanjutnya penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi guru pendidikan agama Islam untuk bisa menggunakan buku-buku atau novel-novel religius yang memiliki nilai edukatif sebagai media pendidikan.
ه
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, Januari 2008
Deklarator
Alimul Huda NIM : 3102327
و
MOTTO
çµ ø?yŠuρ≡u‘ uρ © ÉL ©9$# uθèδ †Îû $ yγ ÏF÷ t/ ⎯ tã ⎯ ϵš ø ¯Ρ ÏM s) ¯= yñuρ šU≡ uθö/F{$# ôM s9$ s% uρ |M ø‹ yδ š s9 4 tΑ$ s%
sŒ$ yètΒ «! $# ( …çµ ¯Ρ Î) þ’În1 u‘ z⎯ |¡ ômr& y“#uθ÷W tΒ ( … çµ ¯Ρ Î) Ÿω ßxÎ= ø ムšχθßϑ Î=≈©à9$#
)23: يوسف (
Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:
"Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku Telah memperlakukan Aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim
tiada akan beruntung. (QS. Yusuf:23) 1
1 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989),
hlm. 351.
ز
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
• Ayahanda Mashudi dan ibunda Munawaroh tercinta yang dengan penuh
kasih sayang dan tetesan air mata serta doa yang tulus nan suci dalam
mendidik putranya ini. Ananda harapkan dapat terus menyongsong masa
depan untuk menghadapi tantangan hidup, rasa terima kasih tidak dapat
ananda ucapkan walaupun dengan kata-kata yang paling manis sekalipun.
• Kakak-kakakku Khotibul Umam dan Ulwiyah, Adik-adikku David
Muhammad Hatta, Tafrikhatul Walidah dan Sakhiyatul Warda, keponanku
Muhammad Shofa, Angga Firman Hidayatullah, Muhammad Kakhis dan
Ajay yang tersayang, terima kasih atas motivasinya selama ini.
• Seseorang yang menjadi lentera hati, yang selalu setia menemaniku dengan
iringan doa yang tulus nan suci serta perhatian dan kasih sayangnya yang
memberikan semangat kepadaku dalam menyelesaikan skripsi dari awal
sampai akhir.
• Teater Beta, terima kasih atas rumah singgahnya dalam menumpahkan rasa
dan karya.
• Semua sahabatku terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya.
ح
KATA PENGANTAR
الرحيم الرمحن اهللا بسم
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang merupakan tugas dan syarat yang
wajib dipenuhi guna memperoleh gelas kesarjanaan dari Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal hidup
kita, baik di dunia dan di akhirat kelak.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak terselesaikan jika tanpa
uluran tangan, bimbingan dan bantuan dari semua pihak baik bersifat materiil
maupun spirituil. Dengan teriring rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih
kepada mereka yang berjasa, khususnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M.Ed., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang
2. Drs. Abdul Wahib, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
3. Para dosen pengajar dan staf karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang
4. Taufiqurrahman al-Azizy (Muhammad Muhyidin) selaku penulis novel
Syahadat Cinta, yang telah mencurahkan waktunya untuk berdiskusi dan
memberikan sedikit ilmunya.
5. Ayahanda Mashudi dan ibunda Munawaroh tercinta serta seluruh keluarga
yang telah berkenaan memberikan motivasi dan doa yang tulus bagi penulis
selama menyelesaikan studi serta penyusunan skripsi.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
ط
Atas jasa-jasa mereka, penulis hanya dapat memohon doa semoga amal
mereka diterima disisi Allah SWT. dan mendapat balasan pahala yang lebih serta
mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kemudian penyusun mengakui kekurangan dan keterbatasan kemampuan
dalam menyusun skripsi ini, maka diharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari para pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini. Dan akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
bagi para pembaca pada umumnya. Amin.
Semarang, Januari 2008
Penulis
ي
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii
PENGESAHAN ......................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
DEKLARASI ............................................................................................. v
MOTTO ..................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ...................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Penegasan Istilah ..................................................................... 4
C. Perumusan Masalah ................................................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7
E. Kajian Pustaka .......................................................................... 7
F. Metode Penelitian .................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 11
BAB II NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN NOVEL
RELIGIUS .................................................................................... 12
A. Nilai Pendidikan Islam ............................................................. 12
1. Pengertian Pendidikan Islam .............................................. 12
2. Ruang Lingkup Pendidikan Islam ...................................... 15
3. Pengertian dan Macam-Macam Nilai-Nilai Pendidikan
Islam .................................................................................. 20
B. Novel Religius .......................................................................... 28
1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Novel Religius .......... 28
2. Novel Religius Sebagai Media Pendidikan Islam .............. 32
ك
BAB III BIOGRAFI TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY DAN ISI
NOVEL SYAHADAT CINTA .................................................... 42
A. Biografi dan Karya-Karya Taufiqurrahman Al-Azizy .............
1. Biografi Taufiqurrahman Al-Azizy..................................... 42
2. Karya-karya Taufiqurrahman Al-Azizy ............................. 43
B. Isi Novel Syahadat Cinta .......................................................... 44
BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM
NOVEL SYAHADAT CINTA KARYA
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY............................................... 63
A. Nilai-Nilai Pendidikan Aqidah.................................................. 64
B. Nilai-Nilai Pendidikan Syari’ah................................................ 71
C. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak ............................................... 74
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 81
A. Kesimpulan .............................................................................. 81
B. Saran ......................................................................................... 83
C. Penutup ..................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membahas tentang masalah sastra kaitannya dengan pendidikan Islam
merupakan kajian yang masih membubuhkan tanda tanya. Benarkah ada
kaitan antara keduanya? Sastra yang lebih menekankan pada sifat estetiknya
ditempatkan sebagai second part karena diasumsikan hanya berisi tentang
cerita fiktif belaka. Sedangkan dunia pendidikan membutuhkan sesuatu yang
lebih bersifat ilmiah, bukan hanya karangan imaginatif saja.
Lebih ekstrem lagi jika dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan Islam.
Adakah karya sastra yang memiliki peran edukatif, yang mengajarkan tentang
nilai-nilai keislaman? Jadi tidak hanya naratif dan deskriptif tapi juga edukatif.
Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarangnya untuk menerapkan pesan
moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan
pengarangnya tentang konsep moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku
tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-
pesan yang ingin disampaikan.1 Pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah
karya fiksi pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia.
Pembaca diharapkan dapat menghayati pesan-pesan ini dan kemudian
menerapkannya dalam kehidupannya.
Suatu karya sastra bukan semata-mata hanya berisi khayalan belaka.
Tetapi di dalamnya ada pertaruhan nilai-nilai, juga analisis terhadap suatu
masalah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat intelektual bisa juga
ditemukan dalam karya sastra. Faisal Tehrani mengatakan bahwa betapa
pentingnya pendidikan anak-anak yang didasari dengan sastra dan ajaran
Islam. Cerita dan puisi yang baik berdasarkan Islam dapat menumbuhkan
1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1998), hlm. 321.
2
kebaikan bagi anak-anak. Adanya aspek negatif tayangan-tayangan di media
massa, media elektronik dan internet menyebabkan anak-anak lebih mudah
terpengaruh. Media sastra dapat menjadi benteng yang sempurna untuk
menangkal aspek negatif dari perkembangan teknologi.2 Jadi nilai spiritualitas
di dalam karya sastra selalu bermuara pada agama, atau nilai-nilai tradisi.
Karya sastra sebagai sebuah seni, menurut Nasr dalam Estetika Islam
Oliver Leaman di pandang sebagai keindahan yang tercermin dalam
keindahan jiwa sang sastrawan dan dalam tingkat realitas yang lebih tinggi,
yang di dalamnya menggambarkan keindahan wujud ketuhanan itu sendiri.3
Di sini ada korelasi antara tingkat spiritualitas pengarang dengan pesan-pesan
yang akan disampaikan dalam suatu karya sastra. Dimana pesan yang
disampaikan merupakan manifestasi kehidupan religius pengarang yang
tertuang dalam karya sastra, sehingga pembaca dapat mengaplikasikan pesan
tersebut dalam kehidupan nyata.
Perkembangan sastra di Indonesia kaitannya dengan dunia Islam
khususnya yang berisi tentang pendidikan Islam dapat dilihat dalam tradisi
sastra klasik. Karya-karya sastra tersebut mengarah pada sastra didaktis, sastra
yang berpretensi pada masalah pengemban misi pendidikan, tuntunan dan
ajaran. Kenyataan itu bisa ditemui dalam tradisi sastra Jawa Klasik. Mungkin
hal itu bisa dimaklumi, karena dalam tradisi sastra klasik, sastra memang
sebagai alat pendidikan.
Dari sastra-sastra klasik yang bersifat piwulang tersebut dapat
dipahami bahwa transfer of knowledge dan transfer of value dapat dilakukan
melalui media sastra. Seorang sastrawan berperan sebagai pendidik yang
menyampaikan ajarannya melalui komunikasi timbal balik dalam teks.
Lewat pemahaman pokok persoalan yang terdapat dalam suatu karya
prosa fiksi, pembaca akan menemukan nilai-nilai didaktis. Nilai-nilai
2 Faisal Tehrani, “Sastra Kanak-Kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/post
-create.g?blogID 27 April 2006. 3 Oliver Leaman, Estetika Islam; Menafsir Seni dan Keindahan, Terj. Irfan Abubakar,
(Bandung: Mizan, 2005), hlm.157.
3
pendidikan ini bisa saja berhubungan dengan masalah manusia dan kehidupan
serta agama. Hal ini tergantung tema apa yang ingin diusung oleh pengarang
dalam karya fiksi tersebut. Dengan begitu tema-tema pendidikan Islam pun
dapat masuk sebagai pokok pikiran dalam karya tersebut.
Kisah-kisah yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits seringkali
juga digunakan sebagai media menyampaikan ajaran Islam atau pendidikan
kepada pendengarnya. Kisah itu untuk mendidik manusia agar meneladani
yang baik dan menghindari yang buruk. Karena Islam juga mengajarkan untuk
selalu melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk, sehingga
seseorang dapat memiliki akhlak yang baik.
Firman Allah dalam surat al-Qalam ayat 4;
كإنلى ولق لعظيم خ4 :القالم (ع(
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. al-Qalam: 4)4
Karena yang dimaksud dengan kepribadian muslim adalah kepribadian
yang mempunyai corak khusus menurut ajaran Islam yang merupakan cermin,
sifat dan tingkah laku, serta pengabdian kepada Allah sebagai landasannya,
maka kisah-kisah yang berdasarkan atas al-Qur’an maupun al-Hadits
sebenarnya juga mengajak kepada para pendengarnya menuju pembentukan
kepribadian yang islami. Karena dalam kisah-kisah tersebut ditampilkan
berbagai tokoh dengan berbagai bentuk kepribadian, baik yang islami; taat,
tunduk dan pasrah kepada Allah, maupun kepribadian yang menyimpang atau
menentang kepada Allah; syirik, kafir, munafiq dan sebagainya.
Saat ini banyak novel-novel religius yang mengadopsi cerita-cerita al-
Qur'an maupun al-Hadits sebagai tema sentral. Ataupun dengan memberikan
penekanan dan legitimasi terhadap suatu cerita dengan dalil-dalil al-Qur'an
maupun al-Hadits. Dengan begitu pembaca dapat menyerap nilai-nilai
pendidikan Islam yang terkandung dalam cerita tersebut untuk selanjutnya
4 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm 960.
4
diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Sehingga novel-novel tersebut tidak
hanya bernilai estetis tetapi juga edukatif.
Salah satu novel religius yang mengandung nilai pendidikan Islam
adalah novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizi. Novel ini tidak
hanya berisi tentang cerita fiktif belaka, tetapi diperkuat dengan dalil-dalil al-
Qur'an maupun al-Hadits. Sehingga cerita yang dipaparkan tidak hanya
sebatas imaginer, tetapi juga memiliki misi edukatif. Misi edukatif ini bisa
dilihat dari nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam dialog tokoh-
tokoh yang ada di dalam novel Syahadat Cinta. Di antara nilai-nilai
pendidikan Islam yang terkandung di dalam novel ini adalah nilai pendidikan
aqidah, akhlak dan syar’iah, yang dikemas secara estetis dalam bentuk narasi.
Berdasarkan deskripsi di atas penulis tertarik untuk meneliti dan
menelaah kandungan nilai-nilai pendidikan Islam dalam karya sastra, dalam
sebuah skripsi yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Novel
Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizi.
B. Penegasan Istilah
Untuk memudahkan pemahaman agar tidak terjadi kesalahpahaman
tentang judul tersebut maka perlu kiranya ada penegasan istilah yang berkaitan
dengan judul tersebut, yakni:
a. Nilai (value)
Dalam bahasa Inggris nilai adalah “value”, yaitu sesuatu yang
berharga bagi kehidupan manusia.5 Dalam etika dikenal terutama nilai-
nilai rohami, yaitu yang baik, yang benar, yang indah. Nilai-nilai itu
mempunyai sifat supaya direalisir dan disebut nilai aktuil, sedangkan yang
menunggu realisasi disebut nilai ideal. Yang pertama memberi isi pada
kehidupan manusia, yang kedua memberi arah atau jurusan; yaitu jurusan
untuk lebih merealisir nilai.6
5 St. Vembriarto, dkk., Kamus Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 43. 6 Soewandi, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 749.
5
Milton Rekeach dan James Bre seperti yang dikutip Chabib Thoha
menyatakan nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang
lingkup sistem kepercayaan seseorang dalam bertindak atau menghindari
suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang tidak pantas dikerjakan. Nilai
menunjukkan suatu standar atau kriteria untuk menilai atau mengevaluasi
sesuatu seperti industrialisasi yang merupakan sarana kemakmuran. Dalam
pengertian ini terdapat berbagai jenis nilai yaitu nilai individu, sosial
budaya, dan agama.7
Jadi dapat dipahami bahwa nilai adalah sesuatu yang pola normatif
yang bersifat abstrak, ideal, yang dijunjung tinggi oleh manusia dalam
kehidupannya sehari-hari. Sistem nilai yang dijadikan acuan dan menjadi
rujukan cara berperilaku lahiriah dan ruhaniah seorang muslim adalah nilai
yang sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits.
b. Pendidikan Islam
Kata pendidikan menurut pengertian bahasa berasal dari bahasa
Arab yaitu "tarbiyah", dengan kata kerja "raba yarbu" yang berarti
“tumbuh” dan “berkembang”.8
Secara istilah pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari
generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha
menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah
maupun ruhaniah.9
Maksud dari pendidikan dan pengajaran adalah mendidik akhlak
anak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan),
membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan
mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur.
7 Chabib Thoha Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
Cet.I, hlm. 60-61. 8 Musthofa Rahman, “Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Quran”, dalam Ismail SM,
dkk., Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm. 57. 9 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hlm.
214.
6
Maka tujuan pokok dan utama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi
pekerti dan pendidikan jiwa.10
Jadi pendidikan Islam adalah segala usaha yang dilakukan secara
sadar untuk mengembangkan potensi individu dalam dimensi ketuhanan
dan kemanusiaan dalam rangka membentuk pribadi muslim yang
berakhlakul karimah serta bermanfaat di dunia dan akhirat.
c. Novel
Kata novel berasal dari bahasa Itali novella atau dalam bahasa
Jerman novelle. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang
kecil, tapi lebih lanjut diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa
(Abrams, 1981: 119). Kemudian dalam perkembangannya istilah novella
dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia
novelet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan,
tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.11 Novel yang
peneliti gunakan sebagai obyek penelitian adalah novel religi yang
berjudul “Syahadat Cinta” karya Taufiqurrahman Al-Aziziy.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dalam judul
skripsi ini adalah suatu pola normatif yang diambil untuk mengembangkan
pribadi muslim yang berakhlakul karimah yang terdapat dapat novel Syahadat
Cinta karya Taufiqurrahman Al-Aziziy.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran latar belakang tersebut diatas, maka penulis
memberikan batasan pokok permasalahan dalam skripsi yaitu :
1. Apa saja kandungan yang terdapat dalam novel Syahadat Cinta karya
Taufiqurrahman Al-Aziziy?
2. Bagaimana nilai- nilai pendidikan Islam dalam novel Syahadat Cinta karya
Taufiqurrahman Al-Azizy?
10 Muhammad Athiya al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustani A. Terj.
Ghani dan Djohar Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 15. 11 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 9.
7
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Penelitian skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam
Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizy” ini mempunyai
beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam novel Syahadat Cinta
karya Taufiqurrahman Al-Aziziy.
2. Untuk mengetahui nilai- nilai pendidikan Islam dalam novel Syahadat
Cinta karya Taufiqurrahman Al-Azizy.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:
1. Menggali wacana baru tentang karya-karya sastra yang mempunyai nilai-
nilai pendidikan Islam.
2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
pendidikan agama Islam.
3. Membangun kerangka berfikir aplikatif yang bersesuaian dengan kondisi
saat ini.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini digunakan sebagai perbandingan terhadap penelitian
yang sudah ada baik dari segi kekurangan maupun kelebihan yang telah ada
sebelumnya.
Dengan kajian pustaka ini diharapkan dapat mempunyai andil yang
besar dalam mendapatkan suatu informasi tentang teori yang ada kaitannya
dengan judul dalam penelitian ilmiah ini. Sebelum penulis memperlebar
pembahasan tentang nilai- nilai pendidikan Islam dalam Novel Syahadat Cinta
Karya Taufiqurrahman Al-Azizy, maka penulis mencoba menelaah buku yang
ada untuk dijadikan sebagai perbandingan dan acuan dalam penulisannya.
Sebagai acuan dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa
kajian pustaka sebagai rumusan berfikir. Beberapa kajian pustaka tersebut
diantaranya adalah:
8
Pertama, Skripsi Achmad Mudhofar Khanif tahun 2006 tentang
“Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Naskah Teater (Studi Analisis Naskah
Pementasan Teater Beta Periode Tahun 2005 – 2006)”. Dalam penelitian ini
dapat diketahui bahwa terdapat nilai-nilai pendidikan Islam, seperti nilai
kesopanan, nilai kesabaran dan nilai kesederhanaan dalam naskah teater Beta
yang di pentaskan pada tahun 2005 – 2006, seperti naskah teater berjudul
“Emak” karya Hamam dan “Wek -Wek” karya Putu Wijaya.12
Kedua, skripsi Kasmijan tahun 2006 yang berjudul “Manifestasi Cinta
dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi Analisis terhadap Novel Ayat-ayat
Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy)”. Skripsi ini membahas tentang nilai
pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Ayat-ayat Cinta Karya
Habiburrahman El Shirzy. Menurut penelitian dalam skripsi ini manifestasi
cinta dalam frame pendidikan akhlak dapat dilihat dari sikap tokoh Fahri yang
menyikapi persoalan kehidupan dengan berdasar ketakwaan kepada Allah
SWT. Karena pada hakekatnya semua yang ada di dunia ini bermuara pada
Allah SWT.13
Disamping skripsi-skripsi di atas, penulis juga menggunakan buku
utama yang merupakan referensi dalam penelitian sastra, yaitu buku karangan
Burhan Nurgiyantoro yang berjudul "Teori Pengkajian Fiksi". Di dalam buku
ini memuat tentang berbagai hal yang berkaitan dengan fiksi yang tergolong
elementer.
Penulis juga menggunakan sumber-sumber lain yang mendukung
dalam penulisan karya ilmiah ini seperti buku-buku relevan dengan penelitian
ini, majalah, dokumentasi, dan surat kabar.
12 Achmad Mudhofar Khanif, skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Naskah Teater
(Studi Analisis Naskah Pementasan Teater Beta Periode Tahun 2005 – 2006)”, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006).
13 Kasmijan, skripsi “Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi Analisis terhadap Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy)”, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006).
9
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan
Sebuah karya sastra adalah karya seni dalam kata-kata. Agar
peneliti sanggup menghayati keindahannya dan mampu menangkap
makna yang dikandung secara menyeluruh, maka seorang peneliti harus
peka terhadap segala isyarat atau tanda-tanda linguistik (bahasa) khusus
yang digunakan oleh pengarang dalam karangannya. Karena obyek
material dalam penelitian ini adalah sebuah karya sastra, maka penelitian
ini termasuk jenis penelitian naskah, yang mengambil memfokuskan
penelitian pada data kepustakaan (library research). Sedangkan untuk
pendekatan penelitian penulis menggunakan metode Strukturalisme
Semiotik.
Strukturalisme pada dasarnya berasumsi bahwa karya sastra
merupakan suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda. Sedangkan semiotik
atau semiologi adalah ilmu tentang tanda-tanda dalam bahasa dan karya
sastra. Dengan demikian strukturalisme semiotik adalah strukturalisme
yang dalam membuat analisis pemaknaan suatu karya sastra mengacu
pada semiotik.14
2. Sumber Data
a. Data Primer
Sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah Novel
Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizi yang secara langsung
menjadi obyek dalam penelitian skripsi ini. Data ini ditunjang dengan
hasil interview dengan nara sumber yang bersangkutan dalam
penelitian ini. Dalam hal ini yang menjadi interviewee-nya adalah
pengarang novel Syahadat Cinta yaitu Taufiqurrahman Al-Azizi.
14 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. IV, hlm. 96.
10
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku
dan karya ilmiah yang mengkaji tentang sastra atau yang membahas
tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang berkaitan dengan judul
skripsi ini. Di antaranya adalah buku Teori Pengkajian Fiksi karya
Burhan Nurgiyantoro dan buku Perihal Sastra dan Religiusitas dalam
Sastra karya Subijanto Atmosuwito.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah:
a. Metode penelitian kepustakaan (library research)
Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mencari
data dan informasi dengan bantuan macam-macam materi yang
terdapat di perpustakaan, misalnya beberapa buku, majalah, naskah,
catatan dan lain-lain.15 Metode kepustakaan ini diambil karena dalam
hal ini penulis mencoba untuk menelusuri karya sastra yang perlu
ketelitian dan kejelian dalam mendalaminya, sehingga diperlukan
membaca dan memahami literatur-literatur yang ada kaitannya dengan
judul. Lalu dengan melalui metode ini pula data-data tersebut penulis
susun menjadi karya ilmiah.
b. Metode Interview
Metode interview atau wawancara yaitu dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi atau data dari orang
yang diwawancarai.16 Dalam metode interview ini peneliti mengajukan
pertanyaan secara langsung kepada informan dan jawaban informan
dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder).17 Interview
ini dilakukan dengan pengarang novel Syahadat Cinta. Hal- hal yang
15 Kartini Kartono, Pengantar Metode Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.
33. 16 Suharsimi Arikunto, Pendekatan Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka
Cipta 2002), hlm. 126 17 Irawan Suhartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999),
hlm. 67
11
diungkapkan dalam wawancara ini berdasarkan atas draf yang telah
dibuat.
4. Metode Analisis Data
Setelah data berhasil penulis kumpulkan, tahap selanjutnya adalah
analisis data. Adapun metode analisis data yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah :
a. Interpretasi
Interpretasi adalah pencarian pengertian yang lebih luas
tentang data yang dianalisis. Atau dengan kata lain, interpretasi
merupakan penjelasan yang terinci tentang arti yang sebenarnya dari
data yang telah dianalisis atau dipaparkan. Dengan demikian,
memberikan interpretasi dari data berarti memberikan arti yang lebih
luas dari data penelitian.18 Metode interpretasi digunakan untuk
menyelami karya tokoh dalam rangka menangkap arti dan nuansa
yang dimaksudkan tokoh secara khas.
b. Hermeneutik
Metode hermeneutik adalah metode khusus yang biasanya
digunakan untuk analisis pemaknaan suatu karya sastra yang mengacu
pada tanda-tanda dalam bahasa. Hermeneutik merupakan telaah pada
totalitas atau keseluruhan karya sastra, yang berupa sajak atau bait-
bait syair yang terkait dalam satu tema atau keseluruhan karya itu
sendiri.19 Menurut Howard yang dikutip Alex Sobour, hermeneutik
merujuk pada teori dan praktek penafsiran. Kemahiran menafsirkan
ini dikembangkan untuk memahami teks-teks yang tidak lepas dari
persoalan karena pengaruh waktu, karena perbedaan kultural, atau
karena kebetulan-kebetulan sejarah.20
18 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 137.
19 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Serasin, 1996), hlm. 166.
20 Alex Sobur, op.cit., hlm. 105.
12
BAB II
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN NOVEL RELIGIUS
A. Nilai Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam kehidupan manusia, pendidikan memiliki peranan yang
sangat penting. Karena dengan pendidikan manusia dapat maju dan
berkembang menciptakan kebudayaan dan peradaban positif yang dapat
mengantarkan kebahagiaan bagi hidup manusia itu sendiri. Hal itu sangat
wajar mengingat semakin tinggi tingkat pendidikan manusia, maka
semakin maju pulalah kebudayaan dan peradabannya. Pendidikan dalam bahasa Arab disebut tarbiyah dari kata kerja
rabba dan pengajaran disebut ta’lim dari kata ‘allama. Kata lain yang
mengandung pendidikan adalah addaba yang lebih tertuju pada
penyempurnaan akhlak.1
Dalam arti luas, pendidikan berisi tiga pengertian, yakni
pendidikan itu sendiri, pengajaran dan latihan.2 Secara sepintas bagi
orang awam ketiga istilah tersebut akan dianggap sama artinya. Ketiga
istilah tersebut akan lebih jelas kalau dilihat konteks kata kerjanya, yaitu
mendidik, mengajar dan melatih. Istilah mendidik merupakan usaha yang
lebih ditujukan kepada pengembangan budi pekerti, semangat, kecintaan,
rasa kesusilaan, ketakwaan. Istilah mengajar diartikan sebagai pemberi
pelajaran tentang berbagai ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan
kemampuan intelektualnya. Istilah melatih, merupakan suatu usaha untuk
memberi sejumlah keterampilan tertentu yang dilakukan secara berulang,
sehingga akan terjadi suatu pembiasaan dalam bertindak.3
1 Musthafa Rahman, “Pendidikan Islam dalam Perspektif”, dalam Ismail SM (eds.);
Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. I, hlm. 57-65. 2 Burhanuddin Salam, Pengantar Paedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta;
Rineka Cipta, 1997), Cet. I, hlm. 5. 3 Ibid.
13
John Dewey mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:
“Education is thus a fostering, a nurturing, a cultivating process”4
(Pendidikan adalah sebuah proses perkembangan, pengasuhan,
penanaman). Dengan kata lain pendidikan dilakukan untuk
mengembangkan kepribadian siswa serta mengasuh dan menanamkan
nilai-nilai kehidupan hingga membentuk pribadi yang baik.
Syaiful Bahri Djamarah, memberi pengertian bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia.
Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam
pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam
setiap jenis dan jenjang pendidikan.5 Sedangkan dalam Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.6
Mustofa al-Ghulayani mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:
ادشرإل ااءما بهيقس ونيئاش النوسفى ن فةلاض الفقالخأل اسر غي هةيبرتالوصالنيةحح ىتت بصحمةكل م ناتكل مثسف الن مك تثنو مراتضاالفهةلي الوخيرو حبالع للم اعفن 7 .نطلو
Menanamkan akhlak utama kepada generasi muda, dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga mampu membentuk watak yang akhirnya membuahkan keutamaan dan kebajikan serta cinta berbuat baik untuk kepentingan tanah air.
4 John Dewey, Demokrasi and Education, (New York: the Macmillan Company, 1964),
hlm. 10. 5 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm. 22. 6 Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003), hlm. IV. 7 Syekh Mustafa al-Ghulayani, Idhatun Naasyi’in, (Beirut: Maktubah Ahlyah, tth.), hlm.
198.
14
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dengan selalu
mengembangkan potensi yang ada pada setiap anak didik, sehingga
terbentuk pribadi yang baik. Semuanya bermuara kepada manusia, sebagai
suatu proses pertumbuhan dan perkembangan secara wajar dalam
masyarakat yang berbudaya.
Sedangkan pengertian pendidikan Islam menurut Arifin, adalah
studi tentang proses kependidikan yang bersifat progresif menuju ke arah
kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas landasan nilai-
nilai ajaran Islam.8 Sementara Achmadi memberi pengertian, pendidikan
Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah
manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma
Islam.9
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam sebagai
konsep-konsep yang bertalian satu sama lain dalam rangka fikiran yang
satu yang bersandar pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dibawa oleh
Islam dan yang telah menentukan berbagai prosedur dan cara-cara praktis
yang kalau dilaksanakan pelakunya akan bertingkah laku sesuai dengan
aqidah Islam.10 Dan menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam
adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang
tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam
kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan Islam merupakan
kebutuhan mutlak untuk dapat melaksanakan Islam sebagaimana yang
dikehendaki oleh Allah. Pendidikan Islam bertujuan mempersiapkan diri
manusia guna melaksanakan amanat yang dipikulkan kepadanya. Ini
8 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 4. 9 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28-29. 10 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT
Alma’arif, 1980), hlm. 189.
15
berarti, sumber-sumber Islam dan pendidikan Islam itu sama, yakni yang
terpenting, al-Qur’an dan Sunnah Rasul.11
Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara
berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud
secara operasional dalam satu sistem yang utuh. Konsep dan teori
kependidikan Islam sebagaimana yang dibangun atau dipahami dan
dikembangkan dari al-Qur’an dan As-sunnah, mendapatkan justifikasi dan
perwujudan secara operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan
serta pengembangan ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari
generasi ke generasi, yang berlangsung sepanjang sejarah umat Islam.12
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa pendidikan
Islam adalah semua upaya untuk mempersiapkan dan menumbuhkan anak
didik atau individu yang berakhlakul karimah yang prosesnya berlangsung
secara terus-menerus sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Yang
dipersiapkan dan ditumbuhkan itu meliputi aspek jasmani, ruhani dan akal
sebagai suatu kesatuan tanpa mengesampingkan salah satu aspek, dan
melebihkan aspek yang lain. Persiapan dan pertumbuhan itu diarahkan
agar ia menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain,
serta dapat memperoleh kehidupan yang sempurna dunia dan akhirat.
2. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Untuk menjelaskan ruang lingkup Pendidikan Islam, berikut ini
dikemukakan beberapa bidang pembahasan pengajaran agama yang sudah
menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Dan tentu mempunyai
metodik khusus untuk masing-masing pelajaran, karena pembahasan ilmu
selalu dalam perkembangan dan perubahan menuju kesempurnaan.
Dengan demikian pembahasan yang sudah menjadi mata pelajaran ini
tidak abadi, dalam arti bisa diperbanyak atau dipersempit, tetapi prinsip
11 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam
Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV. Diponegoro, 1996), hlm. 41. 12Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 30.
16
pokok dan sumbernya tidak akan mengalami perubahan, karena wahyu
dan sabda Rosul tidak akan berubah atau bertambah lagi.13 Hal ini
menunjukkan bahwa ruang lingkup pendidikan Islam itu sangat luas sekali
yaitu meliputi seluruh aspek kehidupan.
Menurut Marasuddin Siregar ruang lingkup pengajaran agama
Islam meliputi keserasian, keselarasan dan keseimbangan yang antara lain
meliputi:
a. Hubungan manusia dengan Allah swt
b. Hubungan manusia dengan manusia
c. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
d. Hubungan manusia dengan mahluk lain dan lingkungannya.14
Adapun luasnya jangkauan wawasan Islam telah disampaikan
oleh Rasulullah saw, bahwa dalam pendidikan Islam terdapat rangka atau
cabang-cabang, yang dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu
aqidah, syariat dan akhlak.15 Adapun uraian tentang ruang lingkup
pendidikan Islam tersebut adalah sebagai berikut:
a. Akidah
Akidah adalah aspek ajaran Islam yang membicarakan pokok
keyakinan tentang Allah sang pencipta (Al-Khalik) dengan alam
semesta sebagai ciptaan Allah atau makhluk, termasuk bagaimana
hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan makhluk lain
berupa lingkungan, rohani, sosial, maupun jasad.16 Tiap-tiap pribadi
pasti memiliki kepercayaan, meskipun bentuk dan pengungkapannya
berbeda-beda. Pada dasarnya manusia memang membutuhkan
kepercayaan, dan kepercayaan itu akan membentuk pandangan hidup
dan sikap. Dalam sejarah umat manusia, akan selalu dijumpai berbagai
13 Zakiah Daradjat, et.all, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), hlm. 59. 14 Marasuddin Siregar, “Pengelolaan Belajar” Dalam PBM PAI di Sekolah, (Yogyakarta:
Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Bekerjasama Dengan Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 183. 15 Abu Su’ud, Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat
Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 141. 16 Ibid, hlm. 144.
17
bentuk kepercayaan. Proses pencarian kepercayaan oleh manusia tidak
akan berhenti (selalu ada) selama manusia ada.17
Manusia yang beriman kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa
mengandung pengertian percaya dan meyakini akan sifat-sifat-Nya
yang sempurna dan terpuji. Dasar-dasar kepercayaan ini digariskan-
Nya melalui Rasul-Nya, baik langsung dengan wahyu, atau dengan
sabda Rasul.18 Akidah dengan demikian adalah iman, kepercayaan
atau keyakinan sungguh-sungguh dan murni yang tidak dicampuri
oleh rasa ragu, sehingga kepercayaan dan keyakinan itu mengikat
seseorang di dalam segala tindak lanjutnya, sikap dan perilakunya.19
Dengan demikian pendidikan yang pertama dan utama dalam
pendidikan Islam untuk dilakukan adalah pembentukan keyakinan
kepada Allah yang diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku
dan kepribadian anak didik.20 Tanpa adanya benteng keyakinan yang
kuat dalam hati seseorang akan mudah goyah dan terpengaruh dengan
segala godaan jelek atau berbuat yang tidak baik.
b. Akhlak
Akhlak dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan “tingkah
laku” atau “budi pekerti”. Menurut Imam Ghozali, akhlak ialah suatu
istilah tentang bentuk batin yang tertanam dalam jiwa seseorang yang
mendorong ia berbuat (bertingkah laku), bukan karena suatu
pemikiran dan bukan pula karena suatu pertimbangan.21 Etika yang
berarti’’ adat kebiasaan, yaitu sebuah pranata perilaku seseorang atau
kelompok orang, yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma
yang diambil dari gejala-gejala alamiah masyarakat tersebut’’.22
17 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. II, hlm. 42-43. 18 Zakiah Daradjat, et.al, Zakiah Daradjat. et. al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), Cet. III, hlm. 65. 19 Kaelany HD, Islam dan Aspek – Aspek Masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.
44. 20 Zuhairini, op. cit., hlm. 156. 21 Zakiah Daradjat, et.al, Ilmu Pendidikan…, op.cit, hlm. 68. 22 Kaelany, HD, op. cit, hlm. 50-51.
18
Akhlak atau etika menurut ajaran Islam meliputi hubungan
dengan Allah (Khaliq) dan hubungan dengan sesama makhluk (baik
manusia maupun non manusia) yaitu kehidupan individu, keluarga
rumah tangga, masyarakat, bangsa, dengan makhluk lainnya seperti
hewan, tumbuh-tumbuhan, alam sekitar dan sebagainya. Dengan
ajaran akhlak yang merupakan indikator kuat bahwa prinsip-prinsip
ajaran Islam sudah mencakup semua aspek dan segi kehidupan
manusia lahir maupun batin dan mencakup semua bentuk
komunikasi, vertikal dan horisontal. 23
Akhlak juga sangat diutamakan dalam pendidikan Islam,
dengan mendidik akhlak dan jiwa mereka menanamkan rasa fadilah
(keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi,
mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya,
ikhlas, dan jujur.24
Akhlak yang dibangun atas dasar tata nilai Al Qur’an dan
sunnah yang mencerminkan ihsan (serba keindahan perilaku dan
tindakan yang dilandasi iman). Itulah yang dikenal akhlakul karimah
(akhlak mulia), contoh dari macam akhlak seperti akhlak kepada
Allah swt , akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada orang lain
(misal akhlak kepada orang tua) dan akhlak kepada alam semesta.
Jadi akhlak tidak dapat dipisahkan dari iman dan Islam atau akidah
syariah. Apabila seseorang telah menjalankan akidah dan syariah
sudah sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah maka akan tampilah ia
sebagai seorang muslim-mukmin yang berakhlak al karimah atau
seorang yang telah mencapai muhsin.25
c. Syariah
Kata syariah adalah bahasa arab yang diambil dari kata
syara’a, yasyra’u, syar’an. Kata syar’an (syari’at hukum-hukum
yang diperintahkan oleh Allah). Syari’ah jamaknya syara’i (syari’at),
23 Zuhairini, op. cit, hlm. 50 – 51. 24 Muh. Athiyah Al Abrasyi, op. cit., hlm. 15. 25 Kaelany, HD, op. cit, hlm. 58-61.
19
syir’ah jamaknya syira’ (ada kebiasaan, jalan ke sumber mata air).
Dari kata tersebut di temukan juga syar’iy (yang sesuai dengan
syara’), masyru’ (yang dibolehkan oleh syara’ bisa pula berarti
rencana atau proyek) sedang syari’ (jamaknya syawari’) artinya jalan
raya. Term syariah baik dalam arit jalan (raya), maupun hukum
(aturan undang-undang) memberi arti jalan hidup yang harus
ditempuh oleh seseorang muslim.26
Kemudian pengertian syariat dalam istilah (usage custom)
yang sering dipakai di kalangan para ahli hukum Islam ialah “hukum-
hukum yang diciptakan oleh Allah swt untuk segala hamba-Nya agar
mereka itu mengamalkannya untuk kebahagiaan dunia akhirat, baik
hukum-hukum itu bertalian dengan perbuatan, aqidah dan akhlak”.
Berdasarkan tingkatan daya pengikatnya, hukum Islam terdiri dari 5
(lima) macam yaitu :
1) Perintah yang keras, disebut dengan wajib / fardu
2) Perintah yang lunak, disebut dengan sunnah
3) Larangan yang keras, disebut haram
4) Larangan yang lunak, disebut makruh
5) Netral, tidak diperintah dan tidak dilarang melakukannya disebut
dengan mubah.27
Untuk memudahkan pemahaman terhadap syari’ah Islam
yang luas dan global, ulama membagi syariah dalam dua bagian
mendasar yaitu :
1) Segi amalan sebagai sarana bagi orang-orang muslim mendekatkan
diri kepada Tuhanya (hablun minallah) disebut ibadah
2) Segi amal usaha dalam menjalin hubungan sesama manusia
(hablun minannas) dan hubungannya dengan lingkungan, alam
semesta disebut muamalah.28 Segi muamalah adalah hubungan
manusia dengan sesamanya dan terhadap lingkungannya, termasuk
26 Ibid, hlm. 32. 27 Zuhairini, op. cit. hlm. 44-45. 28 Kaelany, HD, op. cit, hlm. 33.
20
urusan kekeluargaan, pusaka dan warisan pendidikan, harta benda
dan tukar menukar (jual beli), kemasyarakatan, hukum pidana,
politik, pemerintahan, keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pengertian dan Macam-macam Nilai-nilai Pendidikan Islam
Segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini disadari atau
tidak, mengandung nilai-nilai yang abstrak seperti cinta, kejujuran,
kebajikan, dan lain-lain yang merupakan perwujudan dari bentuk nilai-
nilai di dalam dunia budaya manusia.
Dalam bahasa Inggris nilai adalah “value”. Sedangkan dalam
kamus Bahasa Indonesia nilai mempunyai beberapa pengertian yaitu
“harga (dalam artian taksiran harga), harga sesuatu (uang misalnya), jika
ditukarkan atau di ukur dengan yang lain. Angka potensi, kadar, mutu,
sedikit banyaknya isi, dan sifat-sifat (hal-hal) yang berguna bagi
manusia.29
Perlu dijelaskan bahwa apa yang disebut "nilai" adalah suatu pola
normatif yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem
yang ada kaitannya dengan lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi-
fungsi bagian-bagiannya.30 Nilai lebih mengutamakan berfungsinya
pemeliharaan pola dari sistem sosial.
Berbagai nilai yang sudah ada tersebut perlu dan penting untuk
dapat dikembangkan semaksimal mungkin. Adapun dorongan utama untuk
menekankan pelaksanaan pendidikan nilai antara lain karena dialami
adanya pergeseran dan perubahan-perubahan sistem nilai maupun nilai itu
sendiri dalam masyarakat yang akibatnya dapat menimbulkan berbagai
ketegangan, gangguan dan dapat keseimbangan atau konflik-konflik.31
29 W.J.S. Poerwadimarta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1999), hlm. 677. 30 Ibid, hlm. 127. 31 Komisi Pendidikan KWI/WNPK, Sekolah dan Pendidikan Nilai, Editor Em. K.
Kaswardi. Pendidikan Nilai Menghadapi Tahun 2000, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana, 1993), hlm. 73-74.
21
Jika perbenturan nilai dalam masyarakat masih terus berkembang
tanpa adanya penyelesaian, maka timbullah apa yang diidentifikasikan
oleh ahli ilmu sosial sebagai krisis nilai. Krisis ini sangat mengganggu
harmonisasi kehidupan masyarakat, karena sendi-sendi normatif dan
tradisional mengalami pergeseran dan belum menemukan pemecahan.
Krisis nilai tersebut akan menimbulkan adanya sikap menilai perbuatan
baik dan buruk, bermoral dan amoral, sosial dan asosial, pantas dan tidak
pantas, benar dan tidak benar, serta perilaku lainnya yang diukur atas dasar
etika pribadi dan sosial.32
Untuk membentuk pribadi masayarakat yang memiliki moral atau
nilai yang baik maka diperlukan adanya suatu pendekatan penanaman nilai
dalam diri masyarakat. Pendekatan penanaman nilai (inculcation
approach) adalah suatu pendekatan yang memberikan penekanan pada
penanaman nilai sosial dalam diri siswa pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya. Pendekatan penanaman nilai ini mempunyai dua tujuan
yaitu: pertama, dapat diterimanya nilai-nilai oleh peserta didik. Kedua,
berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
sosial yang diinginkan mengarahkan pada perubahan yang lebih baik.33
Pendekatan penanaman nilai menurut Ansori terbagi atas dua cara
yang dapat menentukan pada nilai-nilai pendidikan Islam yaitu sebagai
berikut:
a) Pendekatan kajian ilmiah tentang sikap dan perilaku orang-orang
muslim, pendekatan semacam ini bermanfaat untuk mengetahui sejauh
mana seorang muslim mengikuti ajaran atau nilai islami; dan,
b) Pendekatan yang merujuk pada sumber asli yaitu al-Qur’an dan hadist,
validitas dari hasil ini sangat jelas, namun masih terbatas karena tidak
32 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara,
1998), hlm. 65. 33 Teuku Ramli Zakaria, Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi
dalam Pendidikan Budi Pekerti, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994), hlm. 9.
22
semua nilai islami dapat digali dari kedua sumber tersebut, maka perlu
adanya pendukung lain yaitu al-qiyas dan ijtihad.34
Nilai dan moralitas Islami adalah bersifat menyeluruh, bulat dan
terpadu, tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lain
berdiri sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek
normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal
perbuatan).
Sedangkan sistem nilai dalam pendidikan Islam mempunyai
keunggulan universal. Ada tiga ciri utama, yaitu:
a. Keridhaan Allah SWT merupakan tujuan hidup muslim yang utama
b. Ditegaskan nilai-nilai Islami berkuasa penuh atas segala aspek
kehidupan manusia
c. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan
berdasarkan atas norma-norma kebajikan dan jauh dari kejahatan.35
Sistem nilai yang dijadikan acuan, yang menjadi rujukan cara
berperilaku lahiriah dan ruhaniah seorang muslim adalah nilai yang sesuai
dengan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits. Secara filosofis, nilai sangat
terkait dengan masalah etika. Dalam konteks pendidikan Islam maka
sumber nilai atau etika yang paling sahih adalah Al Qur’an dan sunnah
Nabi. Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi
nilai-nilai Al Qur’an dalam pendidikan Islam meliputi tiga dimensi atau
aspek kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan oleh pendidikan
Islam, yaitu :
Pertama, dimensi spiritual yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia
yang tercermin dalam ibadah dan muamalah.
Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan
mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini
secara universal menitikberatkan pada pembentukan kepribadian muslim
sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan
34 Ahmad Judjito, “Filsafat Nilai dalam Islam”, Chabib Thoha dkk. (Eds), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 23.
35 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 128-129.
23
faktor dasar (bawaan) dan faktor ajar (lingkungan) dengan berpedoman
kepada nilai-nilai keislaman.
Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan,
yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, profesional, inovatif dan
produktif. Dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman nilai-nilai
Al Qur’an dalam pendidikan.36
Simpulannya, nilai dalam pendidikan Islam bermuara pada
pembentukan pribadi yang bertakwa kepada Allah, dengan jalan
mengembangkan segenap dimensi secara menyeluruh yang tidak hanya
terkait dengan kehidupan pribadi seseorang dengan masyarakat, namun
juga mengarahkan manusia kepada pribadi yang diridhai oleh Allah.
Nilai-nilai yang hendak dibentuk atau diwujudkan dalam pribadi
anak didik agar fungsional dan aktual dalam perilaku muslim, adalah nilai
Islami yang melandasi moralitas (akhlak).Adapun nilai-nilai dapat dilihat
dari berbagai sudut pandangan, yang menyebabkan terdapat bermacam-
macam nilai, dan bila dilihat dari sumbernya, dibedakan menjadi dua yaitu
nilai ilahiah dan nilai insaniah.
1) Nilai Ilahiyah
Nilai Ilahiah adalah nilai yang bersumber dari Tuhan yang
dititahkan melalui para rasul-Nya yang berbentuk takwa, iman, adil
yang diabadikan dalam wahyu Ilahi. Nilai-nilai selamanya tidak
mengalami perubahan, nilai-nilai Ilahi yang fundamental mengandung
kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan anggota
masyarakat, serta tidak berkecenderungan untuk berubah mengikuti
hawa nafsu manusia dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan
perubahan sosial, dan tuntutan individual.37 Nilai ini bersifat statis dan
kebenarannya mutlak. Firman Allah:
36 Said Agil Hussin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. II, hlm. 7-10. 37 Muhaimin dan Abd. Mujid, op. cit, hlm. 111.
24
ü“ Ï%©! $#uρ !$uΖ øŠ ym÷ρ r& y7 ø‹ s9Î) z⎯ÏΒ É=≈tGÅ3 ø9$# uθèδ ‘, ysø9$# $ ]% Ïd‰|ÁãΒ $ yϑ Ïj9 t⎦ ÷⎫t/ ϵ ÷ƒy‰tƒ 3 ¨β Î)
©!$# ⎯ Íν ÏŠ$ t6ÏèÎ/ 7Î6sƒ m: ×ÅÁt/ ) 31:الفاطر(
Dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur’an) itulah yang benar dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui Lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya (QS. Fathir: 31)38
Ayat di atas memulai firman Allah ini dengan kata Al ladzi
( yang penggunaan kata itu untuk menunjukkan kesempurnaan ( الذي
yang Haq yang menyertainya, yakni sifat wahyu-wahyu Allah swt
yang terkumpul dalam kitab suci Al-Qur’an adalah sesuatu yang telah
mencapai kesempurnaan pada setiap kandungan wahyu itu.39
Nilai ilahiah adalah nilai yang bersumber pada agama
(Islam). Menurut Noeng Muhajir, nilai Ilahiah terdiri atas nilai
ubudiah dan nilai muamalah.40
a. Nilai Ubudiah
Nilai Ubudiah merupakan nilai yang timbul dari
hubungan manusia dengan khalik, hubungan ini membentuk
sistem ibadat, segala yang berhubungan dengan Tuhan, yang diatur
di dalam ibadah dan mengandung nilai utama.
Agama atau kepercayaan adalah nilai-nilai yang
bersumber pada Tuhan. Manusia menerima nilai-nilai agama,
beriman, taat pada agama / Tuhan demi kebahagiaan manusia
sesudah mati. Manusia bersedia memasrahkan diri dan hidupnya
kepada Tuhan demi keselamatan dan kebahagiaan yang kekal.41
38 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 700. 39 M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 472. 40 Chabib Thoha, op. cit, hlm. 65. 41 Moh. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya :
Usaha Nasional, 1983), hlm. 133.
25
Nilai-nilai ubudiah pada intinya adalah nilai-nilai
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan iman ini akan
mewarnai seluruh aspek kehidupan (berpengaruh pada nilai yang
lain).
b. Nilai Muamalah
Muamalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau
hubungan antar manusia. Dalam pengertian bersifat umum,
muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar
ibadah.42 Seperti hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia
dengan dinnya, manusia dengan orang lain dan manusia dengan
lingkungan sekitar.
Segala sesuatu yang menjaga hubungan dengan Tuhan
dan manusia adalah baik, bagus dan benar. Sasaran dari agama
adalah dunia dan akhirat, sedangkan sasaran kebudayaan adalah
dunia, kedua-duanya mengandung nilai yang saling berkaitan,
akhirat sebagai ujung mengendalikan dunia sebagai pangkal
kehidupan. Akhirat sebagai ujung mengendalikan dunia juga
sebagai pangkal kehidupan, nilai baik dan buruknya di dunia
mengarah kepada ketentuan nilai di akhirat.43
2) Nilai Insaniyah
Adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria
yang diciptakan oleh manusia pula, dengan kata lain nilai insaniah
adalah nilai yang lahir dari kebudayaan masyarakat baik secara
individu maupun kelompok.44 Walaupun Islam memiliki nilai samawi
yang bersifat absolut dan universal, Islam masih mengakui adanya
tradisi masyarakat. Hal tersebut karena tradisi merupakan warisan
42 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 3. 43 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), Cet. III, hlm. 471. 44 Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001),
hlm. 98.
26
yang sangat berharga dari masa lampau, yang harus dilestarikan
selama-lamanya, tanpa menghambat timbulnya kreativitas individual.
a.) Nilai Etika
Etika lebih cenderung ke teori dari pada praktik yang
membicarakan bagaimana seharusnya, yang menyelidiki,
memikirkan dan mempertimbangkan baik dan buruk, etika
memandang laku perbuatan manusia secara universal. Dalam
pengertian lain etika adalah ilmu yang membahas tentang
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.45
Nilai etika dalam Islam sangat berpengaruh, setiap tingkah
laku atau perbuatan diberi nilai etika, baik, buruk, halal, dan haram.
Dalam inti ajaran Islam diajarkan amar ma’ruf nahi munkar yang
artinya berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.
b.) Nilai Sosial
Nilai sosial menyangkut hubungan antara manusia dan
pergaulan hidup dalam Islam, banyak terdapat anjuran maupun
tatanan bagaimana pergaulan manusia dengan sesamanya, nilai
sosial lebih terpengaruh kepada kebudayaan, dalam prakteknya,
nilai sosial tidak terlepas dari aplikasi nilai-nilai etika, karena nilai
sosial merupakan interaksi antar pribadi dan manusia sekitar
tentang nilai baik buruk, pantas dan tidak pantas, mesti dan
semestinya, sopan dan kurang sopan.46
Contoh dari etika sosial, seperti menghormati orang yang
lebih tua dan menyayangi yang muda, mendidik, menyantuni dan
membina keluarga, bersikap adil, jujur, dan bijaksana terhadap
anak-anak, saudara dan keluarga serta menjalin silaturahmi.
45 Kealan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2000), hlm. 173. 46 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 123.
27
c.) Nilai Estetika
Nilai keindahan atau estetis, bersumber pada unsur
perasaan manusia semenjak Aristoteles sampai dengan abad ke 18,
yang dimasukkan kedalam estetika biasanya sebagian besar filsafat
atau psikologi seni.47 Nilai estetika mutlak dibutuhkan manusia,
karena merupakan bagi hidup yang tidak terpisahkan, yang dapat
membangkitkan semangat baru dan dapat menghilangkan rasa
pusing akibat menghadapi masalah hidup.
Nilai estetika tidak hanya berlaku pada institusi, tetapi
berlaku dimana saja, baik itu agama, pendidikan, sosial, politik,
hukum, ekonomi, ideologi dan sebagainya. Nilai estetika ini
merupakan fenomena sosial yang lahir dari rangsangan cepat
dalam ruhani seseorang. Rangsangan tersebut untuk memberikan
ekspresi dalam bentuk cipta dari suatu emosi atau pemikiran yang
agung, karya estetika akan melahirkan rasa yang disebut
keindahan.
Islam tidak hanya sekedar dogma ubudiyah, tetapi juga
mengandung unsur-unsur estetika yang mulia, agung dan luhur,
karena Islam diciptakan dari dzat yang maha al-jamil, yaitu Dzat
yang mampu menampilkan karya seninya kedalam alam dan
angkasa raya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing
nilai mempunyai keterkaitan dengan nilai yang satu dengan lainnya,
misalkan nilai ilahiah mempunyai relasi dengan nilai insani, nilai ilahi
(hidup etis religius) mempunyai kedudukan vertikal lebih tinggi daripada
nilai hidup lainnya. Di samping secara hierarki lebih tinggi, nilai
keagamaan mempunyai konsekuensi pada nilai lainnya dan sebaliknya
nilai lainnya mempunyai nilai konsultasi pada nilai etis religius.
47 Sidi Gazalba, op. cit, hlm. 568.
28
B. Novel Religius
1. Pengertian Novel Religius
Pada awal mula segala sastra adalah religius.48 Yang dimaksud
religius disini bukan hanya agama, tetapi lebih menitikberatkan pada aspek
yang di dalam lubuk hati, getaran hati nurani, sikap personal yang
merupakan misteri bagi orang lain. Religiusitas tidak hanya dihubungkan
dengan ketaatan ritual tetapi lebih mendasar lagi dalam pribadi manusia.
Sebelum penulis membahas lebih dalam, perlu kiranya di jabarkan
terlebih dahulu mengenai definisi novel religius. Kata novel berasal dari
bahasa Itali novella atau dalam bahasa Jerman novelle. Menurut Abrams
seperti yang dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, secara harfiah novella
berarti sebuah barang baru yang kecil, tapi lebih lanjut diartikan sebagai
cerita pendek dalam bentuk prosa. Kemudian dalam perkembangannya
istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan
istilah Indonesia novelet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang
panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu
pendek.49 Dalam Kamus Kesusastraan disebutkan bahwa novel adalah
prosa baru yang melukiskan puncak kehidupan tokoh cerita dan ditandai
dengan perubahan nasib tokoh itu.50
Sedangkan kata religius berasal dari bahasa latin relego yang
berarti memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati
nurani. Atau ada juga yang berpendapat bahwa religio berasal dari kata re-
ligo yang berarti menambatkan kembali.51
Religi diartikan lebih luas dari pada agama. Kata religi menurut
asal kata berarti ikatan atau pengikatan diri. Dari sini pengertiannya lebih
pada masalah personalitas, hal yang pribadi. Oleh karena itu, ia lebih
dinamis karena lebih menonjolkan eksistensinya sebagai manusia.
48 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiusitas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 11. 49 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 9. 50 Muhammad Ngafenan, Kamus Kesusastraan, (Semarang: Dahara Prize, 1990), hlm.
113. 51 W.J.S. Poerwadarminta dkk., Kamus Latin – Indonesia, (Jakarta: Kanisius, 1969), hlm.
272.
29
Subijantoro Atmosuwito menambahkan bahwa kata religi berarti
menyerahkan diri, tunduk, taat.52 Dalam hal ini berserah diri, tunduk dan
taat kepada Tuhan.
Jadi novel religius dapat dipahami sebagai sebuah karya sastra
berbentuk prosa yang didalamnya menggambarkan perasaan batin
seseorang yang berhubungan dengan Tuhan. Dan pada pembahasan
selanjutnya penulis akan memfokuskan pada kajian novel religius yang
berisi tentang ajaran Islam.
Istilah novel religius juga dapat dipahami dari ungkapan Subijanto
Atmosuwito bahwa munculnya sastrawan-sastrawan yang mengusung
tema keagamaan dalam karya sastra telah mendatangkan genre baru dalam
dunia sastra, yaitu:53
a. Sastra religius
Dalam sastra religius, pengarang tidak membuat kehidupan
beragama sebagai latar belakang, namun sebaliknya lebih
menitikberatkan kehidupan beragama untuk pemecahan masalah.
Agama menurut sastra religius, adalah bukan sesuatu kekuasaan,
melainkan sebagai alat pendemokrasian.
b. Sastra Falsafi
Yang pokok dalam sastra falsafi adalah supaya pengarang
mencerna masalah kehidupan dengan filsafat. Jika pengarang telah
mencerna permasalahan yang timbul secara filosofis maka karya sastra
yang dihasilkan akan berbobot.
Baik sastra religius maupun sastra falsafi sebenarnya saling
menunjang. Bahkan jika diamati lebih lanjut, baik sastra religius maupun
sastra falsafi mengarah ke apa yang dinamakan sastra transendental. Sastra
transendental membebaskan diri dari aktualitas dan peralatan indrawi
manusia. Yang dimaksud dalam sastra yang membebaskan diri dari
52 Subijanto Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung: CV..
Sinar Baru, 1989), hlm.123. 53 Lihat Subijanto Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, hlm. 126-
128.
30
aktualitas dan peralatan indrawi manusia adalah: pertama, bahwa angan
tidak dibatasi ruang, waktu dan peristiwa keseharian. Kedua, ada
hubungannya dengan makna, yang abstrak, yang spiritual, dan
mendalam.54
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil sebuah catatan bahwa
novel religius merupakan bagian dari sastra religius, karena salah satu
bentuk karya sastra adalah novel, dan secara subtansinya, sama-sama
memiliki muatan keagamaan.
2. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Novel Religius
Secara universal nilai-nilai pendidikan Islam dapat
ditransformasikan dalam bentuk apapun, termasuk dalam sebuah karya
sastra. Banyak karya sastra yang memiliki visi ketarbiyahan. Karena unsur
estetika dalam karya sastra menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca.
Di Indonesia khususnya di Jawa, dalam tradisi sastranya sarat
dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Karya-karya sastra tersebut mengarah
pada sastra didaktis, sastra yang berpretensi pada masalah pengemban misi
pendidikan, tuntunan dan ajaran. Hal itu bisa dimaklumi, karena dalam
tradisi sastra klasik, sastra memang sebagai alat pendidikan.
Dalam karya sastra yang lebih modern seperti novel, juga
ditemukan kandungan nilai pendidikan Islam sebagai pokok pikirannya.
Novel-novel religius ini tidak hanya karya fiktif belaka, tetapi juga
diperkuat dengan dalil-dalil dari al-Qur'an maupun hadits. Sehingga cerita
yang dipaparkan tidak hanya sebatas imaginer, tetapi juga memiliki misi
edukatif.
Ada beberapa karakteristik yang menonjol dari novel-novel religius
ini dibanding dengan karya ilmiah lainnya. Menurut Andy Wasis, seorang
pengarang novel sejarah, sebuah karya sastra memiliki tutur bahasa yang
indah, alur cerita yang mengalir, bentukan konflik yang tajam namun tetap
realistis dan faktual berpegang pada fakta sejarah, sehingga enak dibaca,
54 Ibid, hlm. 128.
31
mudah dicerna dan tidak menjemukan.55 Konversi dari fakta sejarah
menjadi bentuk novel sejarah (Islam) ini diambil untuk memikat pembaca
yang kurang interest dengan buku-buku yang sifatnya ilmiah, monoton dan
tidak variatif, sehingga muncul niat dalam diri pembaca untuk belajar dan
mendalami ajaran Islam.
Salah satu novel religius yang mengandung nilai-nilai pendidikan
Islam adalah novel “Ayat-ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy.
Secara global novel ini berisi tentang manifestasi cinta yang secara
lahiriah memang antara manusia dengan manusia, tapi sebenarnya
bermuara pada kecintaan terhadap Sang Khaliq.
Novel “Ayat-ayat Cinta” ini tidak hanya berbicara tentang cinta,
melainkan juga berisi juga tentang ajaran keimanan, diantaranya keimanan
kepada hari akhir. Adanya keimanan terhadap hari akhir ini akan
berimplikasi terhadap kontrol hidup manusia di dunia, untuk selalu berbuat
baik, menjalani kehidupan dengan jalan kebenaran, memberikan motivasi
untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dengan
tujuan mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat Al-Qamar ayat 8:
سرع موذا يون هقول الكافراع يإلى الد طعنيه8: القمر . (م(
Dengan patuh mereka segera datang kepada Penyeru itu. Orang-orang kafir itu berkata, “Inilah hari yang sulit itu”. (QS. Al-Qamar: 8)56
Nilai pendidikan Islam dalam novel “Ayat-ayat Cinta”, dalam hal
ini nilai pendidikan keimanan terlihat dari dialog tokoh Fahri. Keyakinan
akan datangnya hari kiamat menjadikan Fahri lebih bersemangat menuntut
ilmu, menunaikan amanat, dan menggunakan waktu luang untuk selalu
55 Andy Wasis, Rasul (Sebuah Novel Sejarah), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004), hlm.iv 56 Depag RI, dkk, op.cit., hlm. 879.
32
beribadah kepada Allah SWT, melakukan sesuatu atas dasar keridhaan
Allah SWT.
“Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di padang Mahsyar dengan mata hari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala. Kalau tidak ingat, bahwa keberadaanku di kota Seribu Menara ini adalah amanat, dan amanat akan dipertanggungjawabkan dengan pasti. Kalau tidak ingat, bahwa masa muda yang sedang aku jalani ini akan dipertanggungjawabkan kelak. Kalau tidak ingat, bahwa tidak semua orang diberi nikmat belajar di bumi para Nabi….”57
Pengarang mencoba memberikan interpretasi mengenai ciri-ciri
keadaan hari kiamat dan hari pembalasan kelak. Dimana saat itu panas
matahari akan melebihi panas di dunia karena Matahari hanya berjarak
satu jengkal di atas kepala manusia. Kemudian Manusia akan
dikumpulkan di padang Mahsyar, dan dimintai pertanggungjawabannya
atas segala tindakan yang telah dilakukan di dunia.
Sikap pengarang terhadap pendidikan keimanan (iman pada hari
akhir) itu terbaca dalam ucapan Fahri, tokoh yang diciptakan untuk
membimbing pembaca. Fahri berusaha menjelaskan tentang keadaan hari
kiamat dan mengajarkan untuk selalu ingat terhadap hari akhir dan hari
pembalasan kelak, dengan menjalankan perintah Allah SWT. Salah satu
aplikasi keimanan ini adalah melaksanakan amanat Allah dengan sebaik-
baiknya karena akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hari
kiamat. 58
Nilai-nilai pendidikan Islam juga terkandung dalam beberapa novel
sejarah, yang berisi tentang riwayat Nabi Muhammad SAW yang
membawa risalah Islam, salah satunya berjudul “Sesungguhnya Dialah
Muhammad” karya Idrus Shahab. Al-Quran sendiri menganjurkan kita
57 Habiburrahman El Shirzy, Ayat-ayat Cinta, (Semarang: Asy-Syifa, 2007), hlm. 6. 58 Kasmijan, Skripsi Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi
Analisis terhadap Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy), (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2006), hlm. 75-76.
33
untuk mencontoh perilaku Nabi yang mulia. Seperti yang disebutkan
dalam firman Allah surat al-Ahzab ayat 21;
ô‰s) ©9 tβ%x. öΝ ä3 s9 ’Îû ÉΑθ ß™u‘ «! $# îο uθó™ é& ×π uΖ |¡ ym ⎯yϑ Ïj9 tβ%x. (#θã_ö tƒ ©! $# tΠöθ u‹ ø9$#uρ tÅz Fψ$#
tx. sŒuρ ©! $# # ZÏVx. ) 21: االحزب(
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)59
Pesan yang ingin disampaikan dalam novel ini adalah tentang
kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah SAW. Melalui dialog antara
Syaikh (guru), Syaiful (murid) dan pengarang yang ikut melibatkan diri
dalam cerita dan menyebut dirinya sebagai “saya”, digambarkan tentang
relasi antara guru dan murid. Melalui interaksi edukatif dengan
menggunakan metode tanya jawab, pengarang memberikan narasi yang
melukiskan tentang relasi guru dan murid dalam pendidikan, khususnya
pendidikan di pondok pesantren.
Interaksi edukatif antara guru dan murid ini ditandai dengan
pertanyaan tokoh “saya” tentang kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah
SAW kepada gurunya.
“Dapatkah Tuan sedikit menjelaskan kepada saya akan maksud dari judul tersebut (Kesabaran dan Ketabahan Hati Rasulullah SAW)?” Pinta saya
Kemudian Syaikh menjawab: “Begini anakku, tulisan ini menceritakan sedikit tentang
kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah SAW. Di dalam perjuangannya menegakkan kalimat Allah. Sebenarnya, ya …, tak akan cukup kalimat-kalimat untuk menceritakan kesabarannya, keteguhannya, keuletannya, ketabahannya, dalam segala hal dan peristiwa wahai anakku, tak ada manusia satu pun yang dapat dijadikan bandingan dengan Nabi besar ini, salawat dan salam Allah terlimpah atasnya. Ia berjuang menegakkan kalimat Allah di tengah masyarakat yang waktu itu sebagian besar berjiwa gersang
59 Depag RI, dkk, op.cit., hlm. 670.
34
dan tandus, dengan harus menghadapi bermacam-macam kesukaran yang memerlukan ketabahan yang luar biasa…”60
Pengarang ingin memberikan contoh proses pendidikan Islam
melalui sebuah karangan narasi kepada pembaca. Disamping ceritanya
yang mengambil setting pesantren, penokohan dan plot atau alur cerita
juga mengidentifikasikan adanya proses edukatif dalam lingkungan
pondok pesantren, dengan indikasi adanya tanya jawab antara murid dan
guru, penjelasan guru tentang suatu masalah, tugas paper bagi santri, dan
diskusi-diskusi ilmiah.
2. Novel Religius Sebagai Media Pendidikan Islam
Berbicara mengenai novel berarti berbicara mengenai sebuah karya
sastra. Dalam dunia Islam dikenal juga istilah sastra sufistik, yaitu karya
sastra yang didalamnya dijabarkan paham-paham, keyakinan, dan sifat-
sifat yang diambil dari dunia tasawuf.61
Dalam sastra sufistik ditemukan suatu ajaran, ungkapkan
pengalaman, simbolisasi, parable, dan kiasan paham sufistik. Para sufi
sering menggunakan cerita-cerita yang khas dalam memberikan pelajaran
dan dakwah Islam. Isi ceritanya beragam dan sering pula merupakan
kompilasi dari berbagai cerita yang ada. Sumber cerita berasal dari al-
Qur'an, hadits, dan kisah ulama. Namun, cerita tersebut kadang-kadang
sudah mengalami amplifikasi dengan berbagai sumber cerita yang tidak
jelas asal-usulnya, atau mungkin dari legenda-legenda setempat yang
sudah diberi warna Islam. Bagi para sufi sumber cerita memang bukan
merupakan hal yang penting. Mereka memberi pelajaran agar murid
mendapatkan hikmah sebagai salah satu aspek yang ditekankan dalam
tasawuf.62
60 Idrus Sahab, Sesungguhnya Dialah Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002),
hlm. 52. 61 Bani Sudardi, Sastra Sufistik; Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia,
(Solo: Tiga Serangkai , 2003), hlm. 2. 62 Ibid, hlm. 29.
35
Cerita yang sering mengalami seleksi dan kompilasi yang
disesuaikan dengan pokok-pokok ajaran sufi adalah cerita tentang Nabi
Muhammad. Judul teks yang bertemakan Nabi Muhammad diantaranya
adalah Hikayat Nabi Mengajar Ali. Cerita ini berisi pelajaran Nabi
Muhammad kepada anak angkatnya yang bernama Ali Bin Abi Thalib.
Nabi mengajarkan Ali untuk sabar ketika marah dan merendahkan diri
kepada sesama manusia.63 Inti ajaran dari hikayat ini adalah tentang etika
dan akhlak islami.
Sebuah karya sastra memiliki hubungan yang khas dengan
kenyataan.64 Oleh karena itu melalui karya sastra dapat diperlihatkan
dunia-dunia lain dengan norma-norma yang dianutnya. Pembaca secara
interpretative dapat menggali norma-norma dan ajaran yang terkandung di
dalam sebuah karya sastra.
Dengan begitu ada konsepsi bahwa sastra dapat digunakan sebagai
media pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Nilai-nilai pendidikan
Islam tersebut dapat ditransformasikan melalui media sastra (novel).
Karena salah satu metode pengajaran agama Islam adalah dengan
menggunakan metode cerita, maka melalui media sastra (novel) ajaran-
ajaran Islam dapat disampaikan kepada siswa dengan lebih kreatif.
Metode cerita merupakan metode pengisahan peristiwa sejarah
hidup manusia masa lampau yang menyangkut ketaatannya atau
kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah Allah yang dibawa oleh
Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka.65
Dalam pendidikan Islam, metode kisah (cerita) mempunyai fungsi
edukatif yang tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian lain selain
bahasa. Hal ini disebabkan kisah memiliki beberapa keistimewaan yang
membuatnya mempunyai dampak dan implikasi psikologis dan edukatif.
63 Jumsari Jusuf, dkk., Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam, (Jakarta: Pusat
Pembinaan Dan Pengembangan Bahada Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984), hlm. 48. 64 Jan van Luxemburg, dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, (Jakarta :
Gramedia, 1986), Cet.II, hlm. 85. 65 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet.V, hlm. 70.
36
Di samping itu kisah dapat melahirkan kehangatan perasaan dan vitalitas
serta aktivitas di dalam jiwa, yang selanjutnya memotivasi manusia untuk
mengubah perilakunya dan memperbaharui tekadnya sesuai dengan
tuntunan, pengarahan, dan akhir kisah itu, serta pengambilan pelajaran
(‘ibrah). Terlebih kisah yang ada dalam al-Qur’an dan hadits Nabawi.
Menurut Abdurahman an-Nahlawi, kisah Qur’ani dan Nabawi
mempunyai beberapa keistimewaan, yaitu diantaranya:
a. Kisahnya memikat, menarik perhatian pembaca dan tanpa memakan
waktu yang lama
b. Kisah Qur’ani dan Nabawi menyentuh dan mengetuk hati nurani
manusia
c. Kisah Qur’ani dan Nabawi menumbuhkan rasa ilahiyyat, seperti rasa
khauf, ridha, ikhlas, cinta, tunduk dan sebagainya.66
Kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi ini dapat diadopsi ke dalam
bentuk lain seperti karya sastra berbentuk novel, ataupun dengan
mengambil dalil al-Qur'an dan hadits sebagai landasan ceritanya. Dengan
begitu nilai-nilai pendidikan Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan hadits
dapat ditransfer kepada pembaca dengan lebih estetis.
Pernyataan narasi bagi umat Islam oleh penulis harus berubah dari
sebagai tujuan dasar menjadi sebuah media yang penting untuk
merealisasikan tujuan Islam yang murni yang tidak hanya semata-mata
memuaskan cita rasa seni saja, melainkan dapat digunakan sebagai sarana
untuk berpikir tentang isi pesan yang disampaikan, lalu mencari pelajaran
tentang keimanan, akhlak, syariat ataupun ajaran Islam lainnya.
Metode kisah tersebut dapat disampaikan melalui media buku atau
bahan bacaan lainnya, termasuk di antaranya adalah novel. Karena salah
satu media pengajaran agama Islam adalah melalui bahan bacaan atau
66Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bayi wa
al-Madrasah wa al-Mu’tama’, terj. Hery Noer Aly, (Bandung: Diponegoro, 1992), Cet. II, hlm. 404.
37
bahan cetak.67 Melalui buku-buku yang berorientasi pada pendidikan
agama Islam, siswa dapat menyerap nilai-nilai pendidikan Islam yang
terkandung di dalamnya. Dengan membaca buku-buku atau novel-novel
yang bernilai edukatif siswa dapat memperoleh pengalaman dan belajar
melalui simbol-simbol dan pengertian-pengertian dengan menggunakan
indra penglihatan.
Menurut Zaid Akhtar, sudah sewajarnya jika seorang penulis
muslim mengangkat Islam lewat karya kreatif seperti cerpen atau novel,
meskipun penulis Muslim mempunyai latar belakang pendidikan dan
sosial budaya yang berbeda, Zaid Akhtar tetap yakin bahwa mereka tetap
memiliki tanggungjawab sosial mendidik pembaca. Penulis
bertanggungjawab dalam pembentukan kepribadian dan pembangunan
rohani pembaca serta tidak hanya menghasilkan karya yang bertujuan
memberi hiburan semata. Penulis perlu mempertimbangkan apakah karya
kreatif yang mereka hasilkan berisi tentang konsep menyeru ke arah
kebaikan dan mencegah kemungkaran.68 Oleh karena itu karya kreatif
dalam bentuk novel yang berisi tentang ajaran Islam tersebut bisa juga
digunakan sebagai media dalam pendidikan.
Faisal Tehrani mengatakan bahwa betapa pentingnya pendidikan
anak-anak yang didasari dengan sastra dan ajaran Islam. Cerita dan puisi
yang baik berdasarkan Islam dapat menumbuhkan kebaikan kepada anak-
anak. Adanya aspek negatif tayangan-tayangan di media massa, media
elektronik dan internet menyebabkan anak-anak lebih mudah terpengaruh.
Media sastra harus dapat menjadi benteng yang sempurna untuk
menangkal aspek negatif dari perkembangan teknologi.69
Untuk menjadi benteng tersebut sastra harus dekat dengan aspek
pendidikan. Sastra menurut pendekatan Islam tersebut memiliki
67 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Metodologi Pengajaran Agama,
(Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 133. 68 Zaid Akhtar, “Karya Kreatif Medan Penulis Dakwah”, http://www.blogger.com/post-
create.g?blogID. 18 Mei 2006. 69 Faisal Tehrani, “Sastra Kanak-Kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/post
-create.g?blogID 27 April 2006
38
tanggungjawab dan berperanan untuk menunaikan tujuh aspek pendidikan
yaitu: 70
a. Pendidikan iman
Asas paling penting dalam pendidikan Islam ialah untuk
menanamkan pada diri anak falsafah tauhid yang terkandung dalam
dua kalimah syahadah.
Kepercayaan kepada Allah mestilah disuguhkan dalam sastra
secara bijaksana. Persoalan ini misalnya dapat ditampilkan bahwa
perwujudan alam yang indah ini karana ada dan wujudnya Tuhan yang
satu. Oleh karena itu karya sastra berbentuk cerpen, novel atau puisi
yang mengesakan Allah haruslah diperbanyak. Disamping itu
persoalan pemberantasan kesyirikan atau menduakan Allah juga perlu
ditekankan. Pendidikan keimanan ini dapat disampaikan dalam karya
sastra dengan cara yang kreatif dan halus.
b. Pendidikan akhlak
Persoalan akhlak juga merupakan persoalan terpenting setelah
penekanan aspek tauhid. Untuk tujuan itu model paling sempurna
dalam pembinaan akhlak dan pribadi tentu saja baginda agung Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu perlu kiranya diperbanyak karya
sastra dalam bentuk novel atau prosa yang berisi tentang sejarah Nabi
SAW, sehingga pembaca dapat meneladani akhlak Nabi dengan baik.
Disamping itu perlu adanya pendidikan akhlak dengan
memberikan pengawasan dan menanamkan prinsip muraqabah, bahwa
Allah Maha Besar dan sedang memperhatikan segala amal baik atau
buruk yang manusia lakukan. Setiap amalan sekecil apapun pasti
dinilai oleh Allah. Konsep muraqabah ini yang akan ditekankan dalam
karya sastra (novel) untuk mengajarkan bahwa manusia tidak terlepas
dari pandangan Allah. Justru orang-orang yang berbuat kejahatan akan
dihukum di hari akhirat nanti.
70 Ibid
39
c. Pendidikan fisikal
Dalam memberi pendidikan fisikal anak-anak dibiasakan
supaya mencintai kesehatan dan melakukan aktivitas yang
menyehatkan, serta terbiasa dengan kesederhanaan. Pendidikan ini jika
disalurkan dalam karya sastra akan mempermudah orang tua
mengawasi anak-anak terhadap pelbagai hal baru seperti mainan,
teknologi dan lain-lain.
Pemahaman terhadap dasar ini jika diterapkan dengan baik
dalam karya sastra bisa menjadikan anak-anak sadar akan pentingnya
kesehatan dan dapat menjaga dirinya dari perbuatan tercela serta
termotivasi untuk melakukan perbuatan terpuji.
d. Pendidikan intelektual
Aspek pendidikan yang paling dekat dengan dunia sastra ialah
tanggungjawab pendidikan intelektual. Pengarang memiliki kewajiban
untuk memberikan pendidikan intelektual lewat karya sastra. Dengan
menampilkan suatu penemuan baru dan memberikan deskripsi tentang
suatu masalah, pengarang dapat membangun pengetahuan pembaca,
sehingga muncul ide-ide baru yang bisa mengembangkan
intelektualitas pembaca. Sehingga perlu kiranya novel-novel
pembangun intelektualitas, yang menyajikan narasi berdasarkan fakta-
fakta di lapangan.
e. Pendidikan psikologi
Salah satu aspek terpenting dalam dunia pendidikan adalah
menanamkan dasar-dasar psikologi. Karya sastra bisa menjadi medium
untuk menanamkan pendidikan psikologi, sehingga pembaca memiliki
gambaran untuk dapat mengontrol emosi dan menata diri dengan cara
menghindari sifat penakut, sifat merendahkan diri sendiri, sifat hasad
dan sifat pemarah.
f. Pendidikan sosial
Salah satu ajaran Islam yang sama sekali tidak boleh diabaikan
adalah amar makruf nahi mungkar. Konsep ini merupakan tugas sosial
40
yang tidak terlepas dari siapa pun. Dengan menampilkan cerita-cerita
yang mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar, pengarang telah
menanamkan pendidikan sosial. Karena konsep amar ma’ruf nahi
munkar berkaitan dengan akhlak seseorang terhadap lingkungannya di
masyarakat.
g. Pendidikan seksual
Islam sangat menjaga pergaulan antara lelaki dan wanita. Di
antara aspek yang sering ditekankan dalam ajaran Islam ialah adab
memandang muhrim dan bukan muhrim. Aspek kedua yang harus
dituangkan dalam sastra ialah aspek penjagaan aurat. Batas-batas aurat
lelaki dan perempuan harus diajari sejak awal, supaya apabila tiba usia
baligh mudah untuk melenturkan pemahaman anak. Aspek seterusnya
dalam pendidikan seksual ialah percampuran lelaki dan perempuan.
Persoalan seksual bisa ditampilkan secara bijak dalam karya sastra
dengan pertimbangan al-Quran sendiri mengungkapkan dengan halus
persoalan-persoalan seks. Al-Quran sebagai firman Allah yang
bijaksana diturunkan untuk semua orang dan semua golongan. Hukum
dan pemahaman terhadapnya berlaku bagi siapa saja. Meskipun begitu
seorang pengarang haruslah bijaksana dalam menggambarkan
persoalan ini. Pengajaran dasar-dasar hubungan seks misalnya tentulah
tidak etis untuk dituangkan dalam karya sastra secara vulgar.
Dari ketujuh aspek pendidikan Islam dalam karya sastra yang
dikemukakan oleh Faisal Tehrani, dapat di ringkas lagi menjadi tiga
kategori pendidikan Islam yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak
dan pendidikan syariah. Karena ketiga aspek tersebut sesuai dengan
jangkauan wawasan Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw,
yaitu bahwa dalam pendidikan Islam terdapat cabang-cabang, yang
dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu aqidah, syariat dan
akhlak.71
71 Abu Su’ud, op.cit., hlm. 141.
41
Bertolak dari pendapat Faisal Tehrani tersebut, maka karya sastra
Islam dapat dijadikan sebagai media dalam pendidikan Islam. Karena
menurut A.A Navis sastra Islam bertendensi untuk melukiskan kebenaran,
kesempurnaan dan keindahan yang mengandung kaedah menurut syariat,
yang ditulis oleh sastrawan Islam yang saleh dan memahami teologi Islam
dan berfaedah untuk manusia.72 Sehingga nilai-nilai yang terkandung
dalam sastra Islam didasarkan pada syariat Islam dengan al-Quran dan
hadits sebagai dasar hukumnya.
72 A.A. Navis, Yang Berjalan Sepanjang Jalan, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999), hlm. 356-
357.
42
BAB III
BIOGRAFI TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
DAN ISI NOVEL SYAHADAT CINTA
A. Biografi dan Karya-Karya Taufiqurrahman Al-Azizy
1. Biografi Taufiqurrahman Al-Azizy
Taufiqurrahman Al-Azizy, lahir pada tanggal 9 Desember 1975 di
Boyolali dengan nama asli Muhammad Muhyidin. Anak kedua dari dua
bersaudara dari Sunaim Ibnu Abu Darda’ dan Robiyatun ini besar di
Wonosobo dan menghabiskan waktunya untuk menulis.
Pengalaman pendidikannya diawali di SD Impres Seworan
Boyolali kemudian dia hijrah ke Wonosobo dan melanjutkan pendidikan
di SMP N 1 Wonosobo. Selepas dari SMP dia mengambil pendidikan di
SMA Islam Sudirman Wonosobo. Selesai menamatkan studinya di kota
Wonosobo dia hijrah lagi ke Jakarta dan sempat kuliah di Institut Ilmu
Qur’an (IIQ) dan mondok di Pesantren Ilmu al-Quran Hidayatul Qur’an
selama tiga tahun. Karena tanggung jawab keluarga dia kembali lagi ke
Wonosobo dan melanjutkan studinya di Universitas Sains Qur’an
(UNSIQ). Dia juga aktif di beberapa organisasi kampus baik intra maupun
ekstra, diantaranya pernah menjadi ketua senat mahasiswa Fakultas
Dakwah di UNSIQ, , kemudian ketua lembaga dakwah mahasiswa
UNSIQ, ketua HMI Cabang Wonosobo selama dua periode tahun 1999
dan 2000. terlibat di berbagai Penelitian Sosial Ekonomi, Interfaith
Committee (IFC), dan fasilitator pada Bagian Pemberdayaan Perempuan
Setda Wonosobo. Disamping itu, karena produktifitasnya dalam menulis
dia juga diangkat sebagai Ketua Ikatan Penulis Wonosobo.
Sebagian besar idealismenya terefleksi dalam setiap buku yang
dihasilkannya. Karena backgroundnya dalam ilmu dakwah,
Taufiqurrahman mencoba mengajak pembacanya untuk kembali kepada
Allah secara kaffah, dengan berusaha mengkaji lebih dalam ajaran-ajaran
43
Islam, sehingga tidak terkesan kaku dan dapat diterima seluruh umat
Islam.
Menurutnya, Allah memberikan akal dan pikiran untuk digunakan
dengan sebaik-baiknya, mengkaji ayat-ayat al-Quran agar dapat
diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Pemikirannya ini teraktualisasi
dalam setiap karyanya yang kebanyakan membahas masalah psikologi
agama.
2. Karya-karya Taufiqurrahman Al-Azizy
Sebagai seorang penulis, dia tergolong seorang penulis yang
produktif. Selama kurun waktu lima tahun, sudah seratus buku lebih yang
ia hasilkan. Dan beberapa diantaranya termasuk dalam kategori best seller.
Karya-karya Taufiqurrahman Al-Azizy yang sudah dipublikasikan antara
lain adalah:
- Mengajar Anak Berkahlak al-Quran (2004)
- Buku Pinta Mendidik Anak Soleh dan Solehah Sejak dalam
Kandungan sampai Remaja (2006)
- Nggak Kaya Duit Asal Kaya Hati (2006)
- Misteri Energi Istighfar (2006)
- Kasidah-kasidah Cinta (2007)
- Keajaiban Shodaqoh (2007)
- Misteri Energi Wudlu (2007)
- Sejuta Keajaiban Sholawat Nabi (2007)
- Membelah Lautan Jilbab (2007)
- Syahadat Cinta (2007)
- Musyafir Cinta (2007)
- Ma’rifat Cinta (2007)
- Kitab Cinta Yusuf dan Zulaikhah (2007)
- Misteri Shalat Tahajud (2007)
- The Truth Power of Heart (2007)
- Menagih Janji Tahajut (2007)
44
- Bibir Tersenyum Hati Menangis (2007)
- Orang Kota Mencari Allah (2008)
- dll.
Sedangkan buku-bukunya yang belum dipublikasikan diantaranya:
- Madah Rindu Ruwaydah (buku I dan II)
- Berislamlah, dan Bebaskan Dirimu
- Berguru Pada Muhammad
- dll.
B. Isi Novel Syahadat Cinta
Novel syahadat cinta ini merupakan buku pertama dari trilogi
“Makrifat Cinta”. Dua novel yang lain adalah “Musyafir Cinta” dan “Ma’rifat
Cinta”. Novel trilogi ini berisi tentang semangat pencarian Kebenaran Islam
yang kaffah, dengan basis laku syariat, tarekat dan makrifat: impian terbesar
para Abdullah untuk berjumpa dengan Wajah Sang Kekasih.
Trilogi ini mulai di garap seusai menafakuri salah satu ayat al-Qur'an
yang mengisahkan tentang pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim as. Inspirasi
besar itulah yang mendorong Taufiqurrahman al-Azizy mengarang buku
bacaan islami, ringan, mudah dicerna namun tidak instan, penuh hikmah, yang
dikemas dalam bentuk novel spiritual pembangun iman.
Novel spiritual ini menjadi kesaksian (syahadat) pengembaraan
religius seorang anak metro dalam tempias wajah Ilahiyah yang sarat gesekan
paham spiritual dan pertarungan ragam tradisi. Perjalanan spiritual tokoh
utama (Iqbal) dalam mencari cinta dan agama menimbulkan pergolakan
pemikiran Islam dalam setting pondok pesantren.
Ada beberapa sub judul yang termuat dalam novel religius ini. Lebih
jelasnya penulis akan menguraikan satu persatu dari tiap sub judul dalam
novel ini untuk menemukan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di
dalamnya.
45
1. Dua Peristiwa
Waktu demikian aneh memintal benangnya dan menggulung-gulung nuraniku. Sejak peristiwa itu, aku tidak lagi ke luar rumah untuk bersenang-senang seperti dulu. Bagiku, tidak ada waktu yang menyenangkan kecuali bila berada disanding ibu. Tetapi kenapa anggrekku bisa layu?
Aku masih sering bertanya-tanya. Semakin bertanya, semakin tidak ketemu jawabannya. Pak Kardi tidak mungkin membuatnya layu. Dia telah bersumpah atas nama Allah. Bik Inah apalagi-dia tidak pernah mengurusi kebun, sebab urusannya bukan kebun, tetapi dapur. Apalagi ibu, sebab anggrek adalah bagian dari cinta yang dimilikinya.
Lalu siapa yang telah membuat anggrekku layu? Ketika semakin lama ku bertanya kepada diriku sendiri, aku
mendapatkan kesadaran bahwa demikianlah anggrek. Demikian pula bunga-bunga yang lain. Juga pepohonan, binatang-binatang, dan…manusia. Suatu saat, semuanya akan layu. Suatu saat, semua akan menuju pada satu titik akhir: kematian. Ketika semua telah sampai di titik akhir, lalu apakah yang akan tersisa? Hanya sepi. Hanya kematian. Hanya sendiri. Semuanya akan kembali kepada Ilahi.
Ya, Allah, bagaimana bisa selama ini aku gunakan waktuku untuk hal yang sia-sia? Untuk hal-hal yang justru menjauhkanku dari-Mu...?
"Ibu, aku ingin berubah..." Kata-kata inilah yang aku lontarkan kepada ibu di pagi yang cerah itu.
"Berubah? Maksud Iqbal?" "Aku ingin belajar agama, ibu. Aku malu kepada diriku
sendiri. Juga kepada ibu, kepada Pak Kardi, kepada bik Inah. Dan...aku malu kepada Allah, ibu. Aku ini seorang muslim, tetapi aku tidak bisa shalat. Wudlu pun aku tak tahu. Betapa kotornya aku ini, ibu. Aku ingin berubah..."1
Petikan dialog di atas merupakan refleksi tentang hakikat hidup di
dunia, yang fana dan sebentar, hanya menunggu waktu untuk kembali
pada-Nya. Layaknya bunga yang awalnya tumbuh berkembang dan
akhirnya layu, ‘semua akan menuju pada satu titik akhir: kematian’. Itulah
siklus kehidupan, segala yang hidup akan mati, tidak ada yang kekal di
dunia ini. Dan betapa ruginya manusia, jika menyia-nyiakan waktu yang
1 Taufiqurrahman al-Azizy, Syahadat Cinta, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. XVIII,
hlm. 22-23.
46
sesaat untuk sesuatu yang tak bermanfaat. Maka manusia dianjurkan untuk
bertaubat dan menata hidupnya lebih baik tertuju pada Allah SWT.
Taufiqurrahman al-Azizy atau yang sering dikenal dengan nama
Muhammad Muhyidin menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai pintu-
pintu atau jalan-jalan menuju Allah Swt. di dalam hatinya. Jalan menuju
Allah adalah sebuah kecenderungan yang bersifat fitri dan alami pada diri
manusia. Akan tetapi, seringkali tirai dosa menutupinya. Pada saat-saat
manusia menghadapi kesulitan, biasanya tirai ini terbuka, dan manusia pun
tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah Swt.2
2. Setan Masih Menggoda
Aku segera menuju ke tempat wudlu. Sebelum tanganku kubasuhkan ke air, aku mengulang lagi niat wudlu yang telah diajarkan oleh para sahabat, supaya nanti aku tidak lupa. Aku baca niat tersebut keras-keras di dalam hati: Aku berniat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil, wajib karena Allah, Yapp! Aku tidak mengalami kesulitan. Lalu, setelah aku yakin bahwa aku telah hafal, kuniatkan dengan sungguh-sungguh bahwa diriku tengah mengambil air wudu. Aku bergetar. Serasa ada sesuatu yang menjalar di wajahku ketika aku membaca doa wudlu. Sesuatu ini bergerak dari perutku, kemudian memenuhi dada, lalu menjalar ke leher, kemudian menyelimuti wajah, hingga sampai ke ubun-ubunku. Aku bertanya-tanya sendiri: ada apa denganku? Inikah bukti bahwa aku sungguh-sungguh meniatkan diri untuk mengambil air wudlu?
Sungguh, menyadari apa yang terjadi denganku ini, aku tidak jadi mengambil air wudlu. Aku mengalami ketakutan; jangan-jangan ini adalah ulah setan. Setan telah merasuk dalam diriku sedemikian rupa sehingga membuat aku merasa takut mau mengambil air wudlu.
Aku coba sekali lagi. Aku lebih berkonsentrasi lagi. Kutetapkan dalam hati bahwa aku ingin melakukan kebaikan, ingin mendapatkan kesucian, dan ingin mendekatkan diri kepada Allah untuk mengerjakan shalat dzuhur. Aku ingin menghadap Tuhan Yang Maha Pencipta, maka aku tidak boleh main-main. Aku tidak boleh kalah dengan setan. Aku harus konsentrasi"
Masyaallah, apa yang aku rasakan ini. Kenapa tiba-tiba tubuhku menggigil seperti ini? Ilahi, berilah kekuatan kepadaku
2 Muhammad Muhyidin, Orang Kota Mencari Allah, (Yogyakarta: Diva Press, 2008),
hlm. 232-233.
47
untuk mengambil air wudlu, seiring dengan air wudlu yang aku ambil. Ku cuci kedua telapak tanganku, sela-sela jariku, dan kuku-kukuku. Kubasuh wajahku. Kuusap kedua tanganku. Kuusap rambutku dan telingaku. Lalu terakhir, kubasuh kedua kakiku.3
Sub bab kedua ini menggambarkan tentang godaan-godaan
manusia dalam menjalankan ibadah. Karena setan selalu menggoda
manusia untuk keluar dari syariat Allah Swt., supaya lalai terhadap
perintah-Nya, dan membayangi manusia dengan kecemasan, sehingga
ibadah mereka tidak khusuk dan meninggalkan perintah Allah Swt. Setan
selalu membayangi langkah manusia, mencoba menggoda ibadah yang
dilakukan manusia. Oleh karena itu setiap muslim dianjurkan untuk selalu
meminta perlindungan dari Allah agar dijauhkan dari godaan setan.
3. Dua Bulan Lagi
Kata-kata kiai Subadar membasahi hatiku, dan mengeluarkan air mataku. Ketakutanku akan mendapatkan penghinaan dan perendahan di pesantren ini benar-benar tidak ada. Iblislah yang telah membuatku takut itu.
"Lalu apa yang mesti aku lakukan, kiai?" "Kamu harus belajar, dan terus belajar." "Apa yang harus saya pelajari terlebih dahulu?" "Dirimu...!" tiba-tiba terdengar suara kiai sepuh.4
Pada penggalan dialog di atas mengisyaratkan bahwa musuh sejati
manusia yang sesungguhnya adalah diri mereka sendiri. Sumber persoalan
yang menimpa kehidupan itu berasal dari diri manusia sendiri. Bisa
tidaknya manusia mengatasi keadaan dilematis yang dihadapi dan
dirasakan, tergantung pada seberapa kuat mereka mampu mengalahkan
kekuatan destruktif dalam jiwa.5 Oleh karena itu manusia harus mampu
memahami diri sendiri, mengontrol hawa nafsu, menahan diri dari laku
yang dilarang agama, sehingga dapat menghilangkan berbagai macam
perasaan negatif.
3 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 61. 4 Ibid, hlm. 70. 5 Muhammad Muhyidin, Bibir Tersenyum Hati Menangis, (Yogyakarta: Diva Press,
2007), hlm. 42-43.
48
4. Gadis Galak
“Tetapi, menurutku nich, Kang—kang Iqbal jangan marah, kamu mempunyai beberapa ketidakbenaran…”
“Maksudmu kesalahan gitu…?” “Maksudku ketidakbenaran. Aku lebih suka mengatakan
demikian. Pertama, kang Iqbal merasa jengkel dengan kyai. Jengkel itu sendiri merupakan penyakit, Kang. Penyakit yang menggerogoti hati kang Iqbal. Kedua, kejengkelan tersebut kamu tujukan kepada kyai kita, padahal kyai kita tidak jengkel kepadamu. Ketiga, kejengkelan itu kamu lampiaskan kepada orang yang salah, walaupun dia juga bersalah kepadamu. Keempat, dan ini yang paling parah, kang Iqbal mencaci maki neng Aisyah. Demi Allah kang Dia telah berfirman: “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui…”6
Dalam sub bab ini Taufiqurrahman memberikan legitimasi tentang
larangan menyakiti hati orang lain dengan ayat-ayat al-Quran. Orang harus
bisa menahan amarah agar tidak mudah tersulut emosi. Karena amarah
merupakan kekuatan destruktif hati yang ada dalam jiwa. Emosi yang
menempel dalam hati merupakan faktor utama kekuatan hati. Jika hati
tidak didominasi oleh sifat-sifat yang memungkinkan amarah, maka
kemarahan tidak akan muncul dalam hati. Dan salah satu penyebab
timbulnya amarah adalah ucapan buruk yang menyakiti hati.
5. Menenangkan Diri
Duhai hati, apa yang bisa aku lakukan sekarang untuk menenangkanmu?
Yupp! Kutemukan jawabannya: shalat! Shalatlah yang bisa menenangkan hatiku. Lalu aku keluar.
Menuju tempat wudlu. Mengambil air wudlu dengan pelan. Berwudlu.7
Novel Syahadat Cinta ini memuat beberapa ajaran syariat, salah
satunya yang digambarkan pada bagian kelima yaitu tentang ibadah shalat.
6 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 96-97. 7 Ibid., hlm. 111.
49
Untuk menghilangkan rasa susah, gelisah di dalam menghadapi
problematika hidup ini maka senjata yang paling ampuh, obat yang sangat
mujarab tidak lain adalah dengan memperbanyak sujud kepada Allah Swt.
bertaqorrub, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Memohon kepada-Nya
agar diberikan ketenangan jiwa, sehingga mampu menjalani kehidupan
penuh keyakinan dan ridlo Allah Swt.
Di antara ibadat dalam Islam, salatlah yang membawa manusia
dekat kepada Tuhan. Di dalamnya terdapat dialog antara manusia dengan
Tuhan. Dalam dialog dengan Tuhan itu seseorang meminta supaya rohnya
disucikan.8
6. Gadis Itu Bernama Priscillia
Indah. Kutemukan keindahan dalam bus yang tidak terlalu indah ini. Priscillia, gadis Kristiani ini, tampaknya, memiliki kebajikan dan kebijakan Kristen yang dianutnya. Aduhai, andaikan saja semua Kristiani seperti dia, betapa indahnya silaturrahmi antar agama.9
Pada bagian ini Taufiqurrahman ingin menjelaskan bahwa Islam
mengajarkan kerukunan antar umat beragama, saling hormat
menghormati, dan beribadah menurut kepercayaannya masing-masing.
Perbedaan keyakinan tidak harus merenggangkan hubungan silaturahmi
antara sesama manusia. Karena pada hakaketnya semua manusia
diciptakan untuk saling mengenal dan saling berinteraksi dan
berkomunikasi dalam kehidupan sosial.
7. Seorang Ibu dan Balitanya
Timbul niatku untuk menyeberang jalan, mendekati ibu dan balitanya itu, dan memberikan shadaqah uang yang aku miliki. Aku pun bangkit, menunggu nyala lampu merah, lalu melintas. Kurogoh saku celanaku. Kudapatkan uang lima ribu. Kuberikan uang itu kepada si ibu.
8 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,
1985), Cet. V, hlm. 37. 9 Ibid, hlm. 136.
50
“Alhamdulillah, mas. Terima kasih banyak. Semoga Allah Swt melapangkan dada dan memberikan rejeki yang banyak kepadamu...” kata si ibu. Terhadap anaknya dia berkata, “Anakku, mari kubelikan makan dengan rejeki ini. Oh, anakku-seharian kamu belum makan.” Dia menoleh kepadaku sekali lagi dan berucap, “sekali lagi terimakasih...”
Dadaku bergetar mendengar doanya dan mendengar perkataan itu kepada anaknya. Kuambil dompetku dari saku belakang celananya. Kuambil uang sepuluh ribu, dan kupanggil ibu tersebut, “Ibu tunggu”. Aku mendekatinya dan berkata, “Terimalah ini, Semoga Allah memaafkanku dan mengabulkan doamu tentang diriku.”10
Pada bagian ini, secara tersurat Taufiqurrahman menjelaskan
bahwa harta adalah amanah (titipan) yang harus difungsikan sebagaimana
yang diperintahkan oleh yang memberinya, yaitu Allah Swt. Dengan
zakat, infaq dan sedekah, sebagian amanah itu telah dilaksanakan dengan
baik oleh pemiliknya. Selain itu zakat, infaq dan sedekah merupakan
media interaksi antara kaum yang kuat (kaya) dengan yang lemah (fakir-
miskin) yang nantinya akan berimplikasi pada kehidupan yang seimbang,
merata dan sejahtera dalam hidup bermasyarakat.11
8. Tidak Jadi Ke Hotel
Segera ku buka dompetku. Kuambil uang dua juta, dan kusegera persiapkan untuk memberikannya kepada bu Jamilah. Ilahi, semoga apa yang aku lakukan ini bisa meringankan beban hidup bu Jamilah, dan semoga Engkau mencatatnya sebagai amal untuk meringankan dosa dan kesalahanku.12
Masih berkaitan dengan sub judul sebelumnya, pada bagian ini
juga berisi tentang anjuran untuk bersedekah. Bahwa dalam kehidupan
bermasyarakat manusia itu harus saling tolong menolong. Orang yang
memiliki kelebihan rezeki, dianjurkan untuk mensedekahkan sebagian
hartanya. Dengan begitu kehidupan bermasyarakat menjadi lebih balance,
10 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 144-145. 11 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2006), hlm. 291-292. 12 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 177.
51
yang miskin akan terangkat kesejahteraannya, sedang yang kaya tidak
menjadi sombong dengan kekayaannya.
9. Alif-Mu Kemuliaan-Mu
Demikianlah, satu per satu aku baca dan aku hafalkan huruf-huruf hijaaiyah. Dan Allahu akbar, aku tidak mengalami kesulitan untuk menirukan Irsyad mengeja huruf-huruf ini. Bahkan, saat ini juga, aku telah hafal seluruh huruf hijaiyah yang berjumlah 30 buah itu [apabila huruf hamzah dan lam alif dimasukkan], Irsyad mengujiku: dia memintaku membaca huruf-huruf ini dari berbagai arah. Dari awal, dari belakang, dari tengah, dari ra, dari wau, dari mim, dari mana saja. Dan aku tetap bisa menyebut huruf-huruf yang dimintanya untuk aku baca tanpa kesalahan.
"Hebat, kak...!" seru lrsyad. "Aku tidak menyangka kak Iqbal sehebat ini. Aku tidak mengerti kenapa sekali mendengar, menirukan, mengulangi sekali lagi, lalu kak Iqbal telah hafal semuanya? Banyak teman-temanku yang mengaji huruf-huruf al-Qur'an, tetapi susahnya minta ampun. Tetapi kakak?"
"Alhamdulillah, ini adalah berkah dari Allah SWT kepadaku. Aku yakin, apabila kita berniat sungguh-sungguh dengan kebaikan yang ingin kita lakukan, Allah akan mempermudah jalan bagi kita...."13
Dalam Novel ini Taufiqurrahman mencoba memberi interpretasi
secara tersirat bahwa sesungguhnya manusia diberi potensi nafsani oleh
Allah Swt. untuk mengetahui segala sesuatu, agar dengan pengetahuannya
ia dapat berbuat baik. Untuk melengkapi dan menyempurnakan
pengetahuan manusia, sangat diperlukan petunjuk (hidayah) dari Allah.
Seluruh petunjuk-Nya terhimpun dalam kitab suci al-Quran, meskipun
muatannya masih bersifat global yang perinciannya diserahkan penuh pada
ijtihad (kreativitas berpikir) manusia.14 Oleh karena itu setiap muslim
dianjurkan untuk mempelajari al-Quran dan mengamalkan ajarannya.
13 Ibid, hlm. 193. 14 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 223.
52
10. I love you because Allah
Kututup buku kecil itu, dan kucoba merenungkan potongan kisah yang telah aku baca tadi. Apa yang salah dengan kalimat I Love You Because Allah?! Kenapa laki-laki itu harus merasa bersalah dengan ungkapan tertulisnya itu, jika memang dia mencintai ukhti tersebut karena Allah? Ibu mencintaiku karena Allah. aku, walau baru beberapa bulan ini, juga belajar untuk mencintai ibu dan ayah karena Allah. Kusayangi Fatimah karena Allah; kukasihi Irsyad karena Allah; dan aku merasa kasihan kepada bu Jamilah, juga karena Allah. Lalu apa salahnya I Love You Because Allah?15
Pada bagian ini Taufiqurrahman mengkritisi tentang konsep cinta
karena Allah, menurutnya cinta manusia kepada makhluk bisa
mendekatkan seseorang pada Allah. karena salah satu fitrah manusia
adalah pemberian asma’ dan sifat-sifat ketuhanan yang dihembuskan pada
diri manusia, sehingga secara potensial manusia memiliki asma’ dan sifat-
sifat ketuhanan yang apabila diaktualisasikan akan menimbulkan
kepribadian rabbani.16
Salah satu fitrah rabbani yang ada dalam diri manusia adalah
mencintai dan dicintai. Ciri-ciri dari kepribadian rabbani ini adalah
mencintai orang lain didasarkan atas adanya maslahah (memiliki
kebaikan), dicintai karena memiliki keistimewaan, menebarkan cinta pada
yang lain; melapangkan dada untuk mencintai yang baik dan
mengosongkan jiwa dari menyintai yang buruk; mengutamakan orang lain
dengan dasar cinta; banyak menyebut kebaikan yang lain karena rasa
cinta.17
11. Pesantren di Hatiku
Kepada bu Jamilah, kepada Irsyad, dan kepada Fatimah, ucap terimakasihku tiada henti. Bu Jamilah telah ikhlas menampungku di sini, selama ini. Sepuluh hari bersama bu Jamilah, seakan-akan seperti sepuluh hari bersama ibuku sendiri. Sepuluh hari bersamanya, tak pernah sekali pun aku melihat kesedihan dan
15 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 299-230. 16 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 191 17 Ibid, hlm. 208.
53
keputusasaan di wajah oleh sebab tekanan hidup dan beban yang harus dipikulnya. Dan Irsyad—dialah yang telah mengajariku alif, ba', ta', hingga ya', sehingga sekarang ini aku sudah bisa membaca kitab suci. Dan Fatimah—kesucian hatinya telah membakar semangatku untuk mengejar ketertinggalan seorang pemuda dari kitab sucinya. Fatimahlah yang selama ini menemani siang-siangku, dan mempercepat pemahamanku terhadap huruf-huruf al-Qur'an, walau dia sendiri sekarang telah tertinggal dariku. Aku berdoa kepada Allah SWT, semoga Dia berkenan mempercepat hafalan dan pemahamannya terhadap huruf-huruf al-Quran, sehingga Fatimah segera bisa membaca kitab suci seperti aku.18
Novel syahadat cinta ini syarat dengan pesan-pesan edukatif,
tentang motivasi dan semangat belajar. Seperti yang digambarkan pada
bagian ini, bahwa manusia dapat belajar apa saja dari lingkungannya,
bahwa nilai-nilai Islam bisa ditemukan dimana saja. Islam merupakan
sebuah ajaran yang komprehensif dan komplit dengan berbagai peraturan
dan tatakrama dan juga selalu menganjurkan kepada segenap umatnya
untuk memperoleh pendidikan atau mencari ilmu pengetahuan tanpa batas. 19 Dan mencari ilmu pengetahuan tidak harus di lembaga pendidikan,
dalam kehidupan bermasyarakat dan keluarga juga bisa didapatkan ilmu
pengetahuan (baik ilmu umum maupun ilmu agama). Karena secara
substansinya ilmu itu bersifat universal, dan dimanapun manusia berada ia
dapat menemukan ilmu pengetahuan.
12. Korban Fitnah
…Kutatap kembali yang disebut Ridlo itu dan aku pun berkata, “Anda telah menuduh saya yang tidak-tidak. Dan menuduh sama dengan memfitnah, dan tentu anda tahu bahwa fitnah adalah haram bagi seorang muslim…”20
Banyak kritik konstruktif yang dilontarkan dalam novel ini salah
satunya tentang fenomena fitnah. Pada bagian ini Taufiqurrahman
memberikan interpretasi bahwa kecurigaan yang tak berdasar dapat
18 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 241. 19 Muhammad AR, Pendidikan di Alaf Baru, (Yogyakarta: Prismashopie, 2003), hlm. 43. 20 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 247.
54
mengakibatkan fitnah. Dan Islam melarang umatnya untuk melakukan
fitnah, karena fitnah laksana dua mata pedang yang tajam, yang dapat
melukai siapapun.
13. Penghuni Kamar 14
“Sekarang, kira-kira jam berapa?” tanyaku. “Mungkin sebentar lagi shubuh,” jawab Nugroho. “Bagaimana kalau kita shalat tahajjud saja, sekalian menunggu
shubuh?” “Ah, selama ini kami tidak pernah shalat. Percuma…! “Jangan begitu sahabat. Kepada siapa lagi kita mau minta
pertolongan apabila Dia Yang Maha Menolong kita jauhi? Kita ini mazhlum, dan insyaallah, doa mazhlum akan dikabulkan Allah SWT.”21
Pesan yang ingin disampaikan pada sub judul ini adalah tentang
ikhtiar. Bahwa apa yang terjadi pada setiap manusia adalah apa yang
menjadi ikhtiar dari manusia itu sendiri, sebab Allah Swt. telah
menetapkan batasan dari ikhtiar-ikhtiar manusia tersebut.22 Oleh karena itu
diperintahkan untuk berusaha dan beribadah kepada Allah, karena antara
lahir dan batin harus seimbang. Jika seseorang menjauhi Sang Pencipta,
maka Dia juga akan menjauhinya.
14. Terpujilah Nama-Mu, Duhai Allah-ku…!
Walau mereka bergurau, kutemukan bahwa memang aku sempat meragukan kehendak-Nya; aku sanksi kepada-Nya. Aku hampir putus asa dari kasih sayang-Nya. Aku kurang sabar. Aku kurang ikhlas. Hatiku masih kotor dengan penyakit keputusasaan, penyakit kekurangsabaran. Separuh hatiku masih gelap. Separuh hatiku masih dikuasai nafsu. Dan nafsulah yang barangkali telah menghalangi doa permohonanku.23
Otokritik yang ingin disampaikan pada bagian ini adalah bahwa
manusia sering terperangkap dengan nafsunya sendiri, karena hasrat di
dalamnya hatinya manusia bisa melupakan Allah. Dan sesungguhnya
21 Ibid, hlm. 293-294. 22 Muhammad Muhyidin, Orang Kota Mencari Allah, op.cit., hlm. 134. 23 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 314.
55
nafsu selalu menyuruh manusia kepada kejahatan. Oleh karena itu Allah
memerintahkan untuk tidak mengikuti hawa nafsu, hati yang tertutup nafsu
akan menghalangi doa seseorang kepada Sang Khaliq.
Al-Hujwiri dalam bukunya Amin Syukur “Menggugat Tasawuf”
menjelaskan bahwa tabir (hijab) yang paling dahsyat ialah jiwa rendah
(nafsu) dan ajakan-ajakannya, mengikutinya berarti ketidaktaatan kepada
Tuhan, yang menjadi hijab antara manusia dengan Allah.24
15. Haru Biru Perpisahan
“Sahabat, nikmat apalagi yang melebihi terbakarnya jiwa oleh sebab mengingat Allah dan membesarkan namanya? Shalat, puasa, haji, dan zakat—semuanya merupakan bentuk-bentuk dari cara kita mengingat Allah. Semua itu memiliki waktu sendirisendiri. Kita tidak bisa mengerjakan shalat shubuh di waktu zhuhur, atau shalat zhuhur di waktu isya. Mengapa ramadhan harus disebut bulan ramadhan dan bukan bulan yang lain? Sebab ia memiliki waktu sendiri-sendiri. Namun sahabatku, selama nafas masih bersatu dengan diri kita, selama itu pula kita memiliki waktu. Sebanyak kita hidup, sebanyak itu pula waktu yang kita miliki, dan seharusnya sebanyak itu pula kita gunakan untuk selalu ingat kepada-Nya. Aduh sahabat, ketahuilah bahwasanya saya selama ini terlalu banyak menyia-nyiakan waktu dan saya sungguh menyesal karenanya. Entah azab apa yang akan ditimpakan Allah kepadaku kelak di negeri akhirat sebab kelalaian ini. Saya sedih jika harus mengingat hal itu. Namun, saya selalu terhibur bahwa Allah itu Dzat Yang Maha pengampun. Untuk itu, marilah kita memohon ampunan-Nya selagi waktu masih tersisa…”25
Salah satu ciri karya-karya Taufiqurrahman al-Azizy adalah
kentalnya nuansa dakwah. Pada sub judul “Haru Biru Perpisahan” ini,
secara eksplisit dia mengajak pembacanya untuk memiliki sifat ihsan.
Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan
kemadharatan merupakan perilaku yang ihsan. Sifat ihsan bermuara pada
peribadatan dan muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan diri
pada-Nya, seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma’iyyah)
24 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet.2, hlm. 68.
25 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 327.
56
dengan-Nya, sehingga perilakunya menjadi baik dan bagus.26 Orang yang
selalu mengingat Allah akan terhindar dari perilaku yang tercela, berusaha
untuk beribadah dengan sepenuh hati dan melakukan segala sesuatu hanya
karena Allah.
16. Syahadat Cinta
“Sebelum syahadah ini kita lakukan, sebelum ukhtina Priscillia berbaiat terhadap Islam, saya ingin bertanya kepada ukhti, apakah ukhti memilih Islam karena keterpaksaan, karena desakan, karena ketakutan, atau karena kesadaran?”
“Perjalanan sayalah yang menyebabkan saya memilih Islam. Saya mengetahui, saya memahami dan saya sadar untuk memilih Islam.”27
Bagian ini berisi tentang hakikat keimanan. Di dalam agama Islam
prinsip-prinsip dasar terletak kepada ketauhitan (ke esaan Tuhan secara
mutlak). Oleh karena itu yang disebut sebagai orang-orang yang beriman
ialah orang-orang yang telah terlebih dahulu menyatakan percaya kepada
segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yaitu mereka-
mereka yang telah berjuang karena imannya.
Menurut Taufiqurrahman iman itu harus dicari,28 karena kebenaran
yang sejati selalu datang dari dirinya sendiri. Pencarian terhadap Tuhan
merupakan manifestasi atas kesungguhanya untuk memasuki agama Allah.
Dan pada hakekatnya keimanan tidak hanya dibuktikan dalam bentuk
verbal, karena ada konsekuensi atas persaksiannya tersebut. Abdul Majid
mengemukakan bahwa pengucapan kalimat syahadat itu hanya sebatas
dataran kognitif, sedangkan ucapan syahadat itu harus didasari dengan
kesadaran hati yang tulus, dan konsekuensinya dengan melakukan semua
perintah Allah SWT.29
26 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 305. 27 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 340. 28 Hasil wawancara dengan Taufiqurrahman al-Azizy tanggal 7 Januari 2008 di
Wonosobo 29 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 251.
57
17. Sambutan yang Tak Terduga
Kuhirup kembali udara di kamar ini. Aku bahagia, sungguh amat bahagia. Ternyata, sambutan para sahabat terhadapku tidak seperti yang aku duga. Mereka baik semua. Mereka semua sayang terhadapku. Mereka bahkan mencemaskanku. Mereka bahkan memintaku untuk melupakan perbuatan salah dan dosa yang pernah aku lakukan kepada ‘Aisyah dan kepada pesantren ini. Kini, mereka dengan hati ikhlas dan dada lapang menerimaku lagi, dan lebih dari itu, mereka telah menganggapku sebagai bagian dari pesantren ini.30
Salah satu pesan yang ingin disampaikan pada bagian ini adalah
bahwa orang yang memiliki hati yang dipenuhi cinta kasih akan
memandang dengan mata penuh kasih, baik kepada kawan maupun kepada
lawan, baik kepada sahabat maupun kepada musuh. Bagi mereka, semua
manusia adalah kawan, semua adalah sahabat. Hati yang penuh cinta kasih
adalah hati yang paling puncak memiliki kekuatan konstruktif, yang bersih
dan tenang. Dan itu semua bersumber dari sifat Rahmat dan Rahim-Nya.
18. Aisyah, Maafmu Semangatku
“Apa dia memberi maaf?” “Tidak. Dia terlalu angkuh untuk memaafkan aku. Kang,
bagaimana hukumnya orang yang tidak mau memberi maaf?” “Aduh, bagaimana hukumnya ya? Yang aku tahu, Allah telah
berfirman: perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Dia juga berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf…”31
Pada bagian ini Taufiqurrohman mencoba mengkritisi sikap
manusia yang kadang sulit untuk memberi maaf. Karena keangkuhan
kadang mengalahkan rasio untuk memaafkan kesalahan orang lain.
Sedangkan agama menganjurkan setip muslim untuk memberi maaf, jika
seseorang memohon maaf.
30 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 362. 31 Ibid., hlm. 371-372.
58
Sebagai legitimasi atas pendapat tersebut, Taufiqurrahman
memberikan dalil-dalil al-Quran tentang anjuran pemberian maaf. Hal ini
ditujukan agar pembaca lebih memahami dan melaksanakan ajaran agama
dengan benar, bisa menerima permintaan maaf orang lain, karena pada
hakekatnya pemberian maaf juga memiliki tendensi bagi si peminta maaf
untuk berubah menjadi lebih baik.
19. Mann –Perasaan Hati
“Perasaan itu sulit dijelaskan. Jika perasaan berbicara, surat sederhana akan dirasakan lain? Jika perasaan sudah dikedepankan, maka sesuatu yang tidak berkaitan akan dilihat bersambungan. Aku khawatir terjadi kesalah-pahaman antara antum dengan kang Rahmat.”32
Menurut Taufiqurrahman, kita harus bisa penjaga perasaan orang
lain. Karena perasaan berasal dari dalam hati, maka kita harus menjaga
hati dari kejelekan. Seseorang yang perasaannya disakiti, dapat melakukan
tindakan destruktif, sehingga bisa menimbulkan perselisihan dan
kesalahpahaman. Dan hal itu terefleksi pada sub judul “Mann –Perasaan
Hati”
20. Surat Pricillia
Hari dimana aku bersyahadah adalah hari yang paling indah yang pernah aku miliki, sebab pada hari itu Allah membuka pintu hidayah-Nya untukku. Kumasuki Islam dengan sepenuh jiwaku, sepenuh ragaku. Jika mas ingin tahu, ketika aku menulis surat ini, aku sudah mengenakan jilbab, untuk menjalankan syariat Islam sebagaimana difirmankan, "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Hari ini aku sadar apa artinya cemburu. Sahabat-sahabat muslimah telah membuatku cemburu sebab mereka mengenakan jilbab tanpa ada halangan sedikit pun, sedang aku mengenakannya
32 Ibid, hlm. 383.
59
melalui siksaan hati dan fisik. Hatiku terluka mendengar perkataan kedua orang tuaku yang menghina agamaku, sedangkan fisikku terluka sebab pukulan dan tamparan ayah ke wajahku.33
Sesuai dengan judulnya, bahwa novel ini adalah novel spiritual
pembangun iman, maka substansi dari isi novel ini adalah tentang
keimanan. Ajaran yang terpenting dalam Islam ialah ajaran tauhid, maka
sebagai halnya dalam aga monoteisme atau agama tauhid lainnya, yang
menjadi dasar dari segala dasar disini ialah pengakuan tentang adanya
Tuhan yang Maha Esa.34 Namun konsekuensi yang diambil dari keimanan
itu juga besar. Seperti yang digambarkan Taufiqurrahman dalam
penggalan Novelnya di atas. Seseorang yang mencari kebenaran Islam
akan mengalami cobaan baik fisik maupun batin. Orang-orang kafir akan
selalu menghalangi setiap orang yang ingin memasuki Islam dengan
berbagai cara, bahkan kadang dengan menggunakan kekerasan. Hal ini
merupakan konsekuensi yang harus ditanggung, untuk menapaki jalan
yang benar yang diridloi Allah SWT.
21. Gadis Berkerudung Biru
“San, ini benar-benar aneh. Benar-benar pengalaman yang amat aneh yang pernah aku miliki. Gadis berkerudung biru itu telah membuatku menjadi laki-laki yang aneh. Entah, apakah ini yang namanya tertarik? Atau, ini hanya keterpesonaanku sesaat? Aduhai, cantiknya masyaallah. Aku menemukan keindahan Tuhan di dalam wajahnya. Zaenab, oh Zaenab. Maha Besar Allah yang telah menampakkan keindahan pada dirinya!”35
Pada bagian ini secara tersirat Taufiqurrahman menjelaskan bahwa
adalah Fitrah manusia untuk menyukai segala sesuatu yang indah, dan itu
manusiawi, karena manusia pun diciptakan dalam bentuk yang paling
indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki keindahan seperti
manusia. Ini merupakan bukti kebesaran Allah SWT, yang telah
33 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 409. 34 Harun Nasution, op.cit, hlm. 30. 35 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 416-417.
60
menciptakan manusia dalam bentuk yang perfect. Oleh karena itu
kecintaan manusia terhadap makhluk Allah tidak melebihi kecintaan
manusia terhadap Khaliqnya. Dan mencintai makhluk harus didasari
kecintaan terhadap Allah SWT.
22. Rahasia Qalbu
“Jiwaku bergetar ketika memandang Zaenab, maka adalah aneh apabila yang disalahkan itu kedua mataku. Kedua mataku bisa terpejam; kedua mataku bisa aku tutup dari penglihatanku terhadap Zaenab, tetapi bagaimana bisa aku menutup jiwaku sendiri untuk melihatnya?! Salahkah aku apabila mengungkapkan rasa kekagumanku terhadap Zaenab? Salahkah aku untuk mencintainya?!”36 Cinta adalah anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT
kepada setiap hamba-Nya. Karena pada dasarnya manusia diciptakan
untuk saling mengenal dan mencintai. Maka menurut Taufiqurrahman
pada penggalan dialog di atas adalah bahwa orang yang menolak
kehadiran cinta sama juga dengan mengkufuri nikmat Allah SWT. Dan
cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang didasari atas kecintaan kepada
Allah SWT.37
23. Cintai Dia dengan Cintamu
“Cintai dia karena Allah, sebab Dia telah meletakkan rasa cinta kepada diri ‘Aisyah terhadapmu…”38
Sub judul ini mengidentifikasikan tentang manifestasi cinta
terhadap Allah. Hati yang dipenuhi oleh cinta kasih adalah cinta kasih
yang murni kepada Allah SWT. inilah tujuan yang dicari oleh para ahli
makrifat, para khurafat, para mistikus, para sufi, atau para penempuh irfan.
Kemurnian cinta dalam hati kepada Allah SWT akan mendatangkan ridlo-
36 Ibid., hlm. 427. 37 Hasil wawancara dengan Taufiqurrahman al-Azizy tanggal 7 Januari 2008 di
Wonosobo. 38 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 459.
61
Nya dalam derajat yang paling tinggi.39 Mencintai makhluk karena Allah
itu merupakan fitrah, karena Allah yang memberikan perasaan kasih dan
sayang kepada setiap hamba-Nya melalui sifat Rahman dan Rahim-Nya.
24. Ziarahi Hatiku
“Marah hanya akan menghilangkan keindahan saja, San—jika kamu mengerti maksudku. Tentunya kamu boleh memiliki keindahan wajah Zaenab, tetapi bukan Zaenab yang berkerudung biru itu, sebab keindahannya hanya dinampakkan kepada diriku saja. Kamu harus mencari keindahan Illahi pada wajah yang lain, bukan wajah Zaenab, sebab jika kamu memilih wajah Zaenab, berarti kamu telah menzalimi hatiku.”40
Secara implisit bagian ini menunjukkan perilaku ma’rifah. Bahwa
keindahan yang sebenarnya akan muncul saat ekstasi kecintaan kepada
Allah memuncak. Menurut Dzunnun al-Mishri dalam Amin Syukur
menjelaskan bahwa ma’rifah adalah anugerah Allah kepada seseorang
yang telah dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena
cinta yang suci dan ikhlas itulah akhirnya Tuhan menyingkapkan tabir dari
pandangan hamba-Nya. Dengan terbukanya tabir tersebut, akhirnya ia
dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan, sehingga dapat melihat
keindahan yang abadi.41
25. Kiai, Ijinkan Aku Menciumnya
“…Saya mencintai Zaenab dengan hati saya. Saya menyentuh Priscillia dengan jiwa saya. Saya meminta ijin untuk mencium Zaenab sebagaimana saya mencium mushaf al-Quran al-karim; sebagaimana para tamu Allah yang mencium ka’bah…”42
Seseorang yang dapat menangkap cahaya ma’rifah dengan mata
hatinya, maka kalbunya akan dipenuhi oleh rasa cinta yang mendalam
39 Muhammad Muhyidin, The True Power of Heart, op.cit., hlm. 232. 40 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 477-478. 41 Amin Syukur, op.cit., hlm. 55. 42 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 509.
62
kepada Tuhan.43 Sehingga apa yang dilakukan semata-mata karena
kecintaannya kepada Allah.
Pada bagian ini Taufiqurrahman memberikan interpretasi bahwa
manusia jangan sampai terjebak dengan simbol-simbol agama saja, karena
pada esensinya ibadah yang dilakukan merupakan sarana mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
26. Jemput Mereka Tiga Tahun Lagi
Dulu aku datang kesini untuk belajar agama. Lalu kiai sepuh mengajarkan kesabaran dan keikhlasan pada diriku melalui perintahnya untuk mengambil air. Berlalunya waktu sedikit demi sedikit menunjukkan kepadaku betapa belajar ikhlas dan sabar itu memerlukan hari.
Pesantren ini juga telah mengajariku akan Islam dan perbedaan. Di sini, kemarin, aku bertemu dan terus bersua dengan para sahabat yang baik-baik. Dan aku yakin sampai hari ini pun mereka sesungguhnya memiliki hati yang baik. Bahwa mereka begitu keras dan begitu kasar terhadap diriku, ini semua merupakan bukti kecintaan mereka kepada Islam, agama mereka dan agamaku juga.44
Pada sub judul terakhir ini, Taufiqurrahman melemparkan otokritik
tentang idealisme beragama. Secara tersirat dijelaskan bahwa idealisme
kadang membuahkan kepahitan. Karena idealisme tidak jarang seseorang
harus terbuang, terasing dan tersingkirkan. Termasuk dalam idealisme
beragama, perbedaan pendapat kadang menimbulkan perselisihan dan
membuat seseorang terusir dari tempat tinggalnya. Oleh karena itu
manusia harus memiliki kebesaran hati untuk dapat menerima perbedaan.
Karena dengan perbedaan, manusia dapat menemukan kebenaran yang
hakiki, kebenaran yang tertuju pada laku peribadatan yang kaffah, hanya
kepada Allah SWT.
43 Loc.cit. 44 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 513.
63
BAB IV
ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM
DALAM NOVEL SYAHADAT CINTA
Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk
dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis ini karya
sastra diuraikan sesuai dengan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian,
makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat bahwa
karya sastra itu adalah sebuah karya sastra yang utuh. Disamping itu, sebuah
struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya bila
diketahui unsur-unsur pembentuknya dan hubungan antara keseluruhannya.1
Teks sastra dari sudut pandang teori komunikasi, mempunyai tiga lapisan
komunikasi yang dapat dikenali, yaitu; berkenaan dengan hubungan komunikasi
antara pengarang, teks, dan pembaca; adanya komunikasi antara narator dan
pembaca implisit (implied reader, menunjuk pada peran pembaca dalam teks);
dan hubungan komunikasi timbal balik antar-pelaku dalam teks. Dalam konteks
ini teks sastra dilihat sebagai suatu pesan yang dicerna (decoded) oleh pembaca
(Receiver) dan dikirim (encoded) oleh pengirim (sender).
Begitu juga dalam dunia pendidikan, ada tiga komponen utama yang harus
ada agar proses pendidikan itu bisa berjalan, yaitu pendidik, materi, dan anak
didik. Ketiga komponen ini merupakan syarat utama agar bisa disebut sebagai
‘kegiatan mendidik’. Ketiga komponen ini secara substansinya sama dengan
ketiga komponen yang ada pada teori komunikasi dalam konteks sastra, dimana
pengarang diposisikan sebagai pendidik, teks sastra sebagai materinya dan
pembaca sebagai yang terdidik. Jadi melalui karya sastra seorang pengarang bisa
mendidik pembacanya agar memahami pesan yang disampaikan melalui teks
sastra.
Hubungannya dengan pendidikan Islam, Zaid Akhtar mengatakan bahwa
meskipun penulis muslim memiliki latar belakang pendidikan dan sosial yang
1 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metodik Kritik, dan Penerapannya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 108.
64
berbeda tetapi mereka tetap mempunyai bertanggungjawab dalam pembentukan
keperibadian dan pembangunan rohani pembaca.2 Melalui karya sastra penulis
harus bisa mendidik pembaca untuk lebih dewasa dalam berfikir dan
menghadirkan pengalaman rohani yang dapat memperkuat keimanan pembaca.
Pendidikan dalam arti luas adalah pengembangan pribadi dalam semua
aspeknya,3 dengan penjelasan dari Ahmad tafsir bahwa yang dimaksud dengan
pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri,
pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Termasuk
bimbingan oleh kebudayaan dimana seni atau karya sastra ada di dalamnya.
Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.4 Hal ini sesuai dengan yang
disampaikan Muhamad Athijah Al-Abrasy bahwa metode pendidikan dapat
dilakukan secara langsung dengan menggunakan petunjuk, tuntunan, nasehat,
dimana hal itu bisa mendorong orang untuk berbudi pekerti tinggi dan
menghindari hal-hal tercela dan dapat pula secara tidak langsung, atau dengan
menggunakan media-media seperti karya sastra atau seni.5
Oleh karena itu buku-buku atau novel-novel religi bernuansa Islami yang
memiliki misi edukatif dapat dijadikan sebagai media dalam pendidikan. Salah
satu novel religi yang membangkitkan ghiroh penulis untuk meneliti kandungan
nilai-nilai pendidikan Islam, adalah novel “Syahadat Cinta” karya Taufiqurrahman
al-Azizy. Dari pengkajian secara seksama, ada beberapa nilai pendidikan Islam
yang penulis temukan dalam novel ini. Secara general penulis membaginya dalam
tiga bagian yaitu nilai pendidikan aqidah, syariah dan akhlak.
A. Nilai-Nilai Pendidikan Aqidah
Nilai pendidikan aqidah dalam novel Syahdat Cinta secara visual dapat
dilihat dalam cover buku yang menyebut novel ini sebagai novel spiritual
pembangun iman. Konsep keimanan yang terdapat dalam novel ini
2 Zaid Akhtar, “Karya Kreatif Medan Penulis Dakwah”, http://www.blogger.com/post-
create.g?blogID. 18 Mei 2006. 3 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1994), Cet.II, hlm. 25. 4 Ibid., hlm. 25. 5 Muhammad Athijah Al-Abrasiy, Attarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Bustami A. Gani,
“Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 111-112.
65
diaplikasikan dalam bentuk keyakinan akan kuasa Allah, akan sifat Rahman
dan Rahim-Nya, yang dalam kacamata pengarang dimanifestasikan dalam
kecintaan terhadap makhluk-Nya dan keteguhan dalam memegang aqidah
Islam.
Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Manusia
memiliki keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Secara
terminologi aqidah adalah iman kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab,
Para Rosul, Hari Akhirat, dan keimanan kepada takdir Allah baik dan buruk,
itu semua disebut rukun Iman. Syariat Islam terdiri dua pangkal utama,
pertama, Aqidah, yang letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-
cara perbuatan (ibadah), dan bagian ini disebut sebagai pokok atau azaz.
Kedua, perbuatan (muamalah), yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat,
puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Perbuatan
baik atau buruk, diterima atau tidaknya suatu ibadah bergantung kepada unsur
yang pertama, yaitu keteguhan mempertahankan aqidahnya.
Nilai pendidikan akidah ini termasuk nilai Ilahiyah. Pada Bab II sudah
dijelaskan bahwa nilai Ilahiyah ada dua yaitu nilai ubudiyah dan nilai
muamalah. Secara spesifik nilai ubudiyah dalam novel ini ada dua yaitu ajaran
untuk selalu beriman kepada Allah dan beriman kepada kitabullah (al-Quran).
Sedangkan nilai muamalahnya adalah ajaran untuk bersikap sabar.
1. Nilai Ubudiyah
a. Ajaran untuk Selalu Beriman Kepada Allah.
Iman menurut pengertian bahasa Arab adalah attashdiqu bil
qalbi, membenarkan dengan (dalam) hati. Sedangkan iman menurut
syara’ adalah mengucapkan dengan lisan membenarkan dengan hati
dan mengerjakan dengan anggota tubuh. Dan menurut batasan syara’
ialah memadukan ucapan dengan pengakuan hati dan prilaku.6
Iman yang hakiki adalah iman yang tumbuh karena kesadaran
atas dasar pengetahuan. Dan iman dalam kategori ini adalah iman yang
6 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra) hlm.17.
66
teguh karena terhujam jauh ke dalam lubuk hati, dan iman yang di
tuntut harus di miliki ialah yang hakiki.
Dalam novel Syahadat Cinta ini Taufiqurrahman menjelaskan
tentang hakekat iman yang sebenarnya, yang dilandasi atas pencarian
kebenaran yaitu Islam.
“Sebelum syahadah ini kita lakukan, sebelum ukhtina Priscillia berbaiat terhadap Islam, saya ingin bertanya kepada ukhti, apakah ukhti memilih Islam karena keterpaksaan, karena desakan, karena ketakutan, atau karena kesadaran?”
“Perjalanan sayalah yang menyebabkan saya memilih Islam. Saya mengetahui, saya memahami dan saya sadar untuk memilih Islam.”7
Tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam, manusia
memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak Islam. Karena
sesungguhnya orang yang mendapatkan hidayah Allah akan dapat
melihat kebenaran Islam. Menurut Taufiqurrahman iman itu harus
dicari. Sebelum seseorang masuk Islam, dia harus terlebih dahulu
mempelajari tentang Islam, memahami ajaran Islam dan menyadari
konsekuensi yang harus diterima karena keislamannya itu, diantaranya
adalah menjalankan syariat Islam dengan benar. Firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah ayat 256.
Iω oν#tø. Î) ’Îû È⎦⎪ Ïe$! $# ( ‰s% t⎦ ¨⎫ t6? ߉ô©”9$# z⎯ ÏΒ Äc© xö ø9$# 4 ⎯yϑ sù öà õ3 tƒ ÏNθäó≈©Ü9$$ Î/
-∅ ÏΒ÷σ ãƒuρ «!$$ Î/ ωs) sù y7 |¡ ôϑ tGó™ $# Íο uρ óãèø9$$ Î/ 4’s+øO âθø9$# Ÿω tΠ$|Á ÏΡ $# $ oλ m; 3 ª! $#uρ
ìì‹ Ïÿ xœ îΛ⎧ Î=tæ . ) 256: البقرة( Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus, dan
7 Taufiqurrahman al-Azizy, Syahadat Cinta., (Yogyakarta: Diva Press, 1997), Cet. VIII,
hlm. 340.
67
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)8
Seseorang yang ingin memasuki Islam harus dibait terlebih
dahulu dengan dua kalimat syahadat. Syahadat (syahadatain) berasal
dari kata “syahida” yang berarti syahadatain kemudian dinisbatkan
pada satu momen di mana individu mengucapkan dua kalimat
syahadat. Kalimat syahadat ini terdiri atas dua kesaksian. Kesaksian
yang pertama berkaitan dengan keyakinan bahwa tiada Tuhan selain
Allah, sedang kesaksian yang kedua berkaitan dengan kepercayaan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.9
Mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan persyaratan
formal untuk memasuki agama Allah. Taufiqurahman menjelaskan hal
ini dengan jelas di dalam novelnya.
“Baiklah ikhwan wa akhwat rakhimakumullah. Pada hari ini, dengan seijin Allah SWT, kita ummat Islam di dunia akan memiliki saudara yang baru. Allah menjadi saksi atas peristiwa agung dan insyaallah penuh berkah ini. Marilah ukhti mengikuti saya untuk membaca kalimat syahadah tiga kali, dimulai dengan membaca basmalah. Tirukan saya. Bismillah ar-Rahman ar-Rahim.”
“Bismillah ar-Rahman ar-Rahim.” “Asyhadu an laa ilaa ha illallah” “Asyhadu an laa ilaa ha illallah” “Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah…” “Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah…” Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah…10
b. Ajaran untuk Beriman Kepada Kitab Allah (al-Qur'an)
Salah satu rukun iman adalah iman kepada kitab-kitab Allah,
dan sebagai umat Muhammad kita diwajibkan untuk mengikuti al-
Quran yang telah diwahyukan kepada Nabi.
8 Departemen Pendidikan RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 63.
9 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 250-251.
10 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 341.
68
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabiullah Muhammad
Saw. berupa perintah tegas, dengan mengandung muatan tugas yang
wajib untuk ditunaikan oleh setiap pribadi muslim, yaitu Iqra
(bacalah). Perintah pertama yang disampaikan Allah Swt. melalui
Malaikat Jibril kepada Nabi sangat universal dan tidak terikat oleh
batasan-batasan apapun yang bertujuan untuk mempersiapkan
cakrawala keilmuan dan rasionalitas seorang muslim dalam memahami
kebenaran wahyu dan menguak pintu hidayah.11
Setiap muslim dianjurkan untuk mempelajari al-Quran dan
mengkaji ayat-ayatnya, karena seluruh ajaran Islam bersumber dari al-
Quran dan al-Hadits. Dengan mempelajari dan memahami ayat al-
Quran, ajaran Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dan
langkah awal untuk bisa memahami ayat al-Quran adalah belajar
membaca huruf-huruf hijaiyah.
Melalui tokoh-tokoh dalam novel Syahadat Cinta,
Taufiqurrahman ingin menjelaskan bahwa tidak ada batasan untuk
belajar agama (al-Quran), baik tua ataupun muda diwajibkan untuk
mempelajari al-Quran, dan usia bukan faktor penghambat untuk
belajar. Orang yang belum bisa membaca al-Quran bisa belajar kepada
orang yang lebih tahu, yang memiliki kompetensi di bidang ilmu al-
Quran.
Demikianlah, satu per satu aku baca dan aku hafalkan huruf-huruf hijaaiyah. Dan Allahu akbar, aku tidak mengalami kesulitan untuk menirukan Irsyad mengeja huruf-huruf ini. Bahkan, saat ini juga, aku telah hafal seluruh huruf hijaiyah yang berjumlah 30 buah itu [apabila huruf hamzah dan lam alif dimasukkan], Irsyad mengujiku: dia memintaku membaca huruf-huruf ini dari berbagai arah. Dari awal, dari belakang, dari tengah, dari ra, dari wau, dari mim, dari mana saja. Dan aku tetap bisa menyebut huruf-huruf yang dimintanya untuk aku baca tanpa kesalahan.
"Hebat, kak...!" seru lrsyad. "Aku tidak menyangka kak Iqbal sehebat ini. Aku tidak mengerti kenapa sekali mendengar,
11 Iip Wijayanto, Menuju Revolusi yang Qur’ani, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm.
2.
69
menirukan, mengulangi sekali lagi, lalu kak Iqbal telah hafal semuanya? Banyak teman-temanku yang mengaji huruf-huruf al-Qur'an, tetapi susahnya minta ampun. Tetapi kakak?"
"Alhamdulillah, ini adalah berkah dari Allah SWT kepadaku. Aku yakin, apabila kita berniat sungguh-sungguh dengan kebaikan yang ingin kita lakukan, Allah akan mempermudah jalan bagi kita...."12
Dengan kesungguhan hati setiap orang bisa mempelajari al-
Quran dengan cepat. Niat yang tulus dan ikhlas akan dapat membantu
mempercepat proses pembelajaran tersebut. Karena follow up dari
mempelajari al-Quran adalah mengkaji ayat-ayat al-Quran untuk
diaplikasikan dalam kehidupan. Karena dengan mengkaji al-Quran,
manusia akan menemukan kepribadian yang saleh, firman Allah Swt.
surat al-Isra’ ayat 9
¨β Î) # x‹≈yδ tβ#u™öà) ø9$# “ ωöκ u‰ ©ÉL ¯= Ï9 š†Ïφ ãΠuθø% r& çÅe³ u; ãƒuρ t⎦⎫ ÏΖÏΒ ÷σ ßϑ ø9$# t⎦⎪ Ï% ©! $# tβθ è= yϑ ÷ètƒ
ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# ¨β r& öΝ çλm; # \ô_r& # ZÎ6x. )9:االسراء(
Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (QS. Al-Isra’: 9)13
2. Nilai Muamalah (Ajaran untuk Bersikap Sabar dan Ikhlas)
Nilai muamalah yang penulis identifikasi dalam novel Syahadat
Cinta terdapat dalam sub judul “Jemput Mereka Tiga Tahun Lagi”, yaitu
ajaran untuk bersikap sabar dan ikhlas.
Sebagian ulama membagi kesabaran dalam tiga hal: sabar atas
menjalankan perintah dan ketaatan, sabar dalam larangan untuk
meninggalkannya dan tidak terjatuh di dalamnya, dan sabar atas qadha dan
qadar dengan tidak menyesalinya.14
12 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 193. 13 Depag RI, op.cit., hlm. 425. 14 Abdul Hamid Jasim al Bilaly, Rambu-Rambu Tarbiyah dalam Sirah Nabawiyah, (Solo:
Citra Islami Press, 1996), Cet. II, hlm. 37.
70
Dalam novelnya tersebut Taufiqurrahman ingin mengungkapkan
bahwa belajar sabar itu tidak mudah, banyak cobaan dan godaan yang
selalu hadir menguji kesabaran seseorang.
Dulu aku datang kesini untuk belajar agama. Lalu kiai sepuh mengajarkan kesabaran dan keikhlasan pada diriku melalui perintahnya untuk mengambil air. Berlalunya waktu sedikit demi sedikit menunjukkan kepadaku betapa belajar ikhlas dan sabar itu memerlukan hari.15
Dari penggalan paragraf di atas dapat diketahui bahwa keikhlasan
dan kesabaran itu sulit dicapai dalam setiap laku kehidupan manusia.
Karena ikhlas dan sabar harus didasarkan pada pencarian ridlo Allah
semata. Taufiqurrahman mengungkapkan bahwa ‘perlu hari’ untuk bisa
bersikap ikhlas dan sabar, maksudnya kesabaran dan keikhlasan itu harus
dipupuk sedikit demi sedikit, karena konsekuensinya adalah pengorbanan
yang tidak sedikit, dan butuh waktu untuk bisa melepaskan apa-apa yang
kita cintai. Seseorang harus berani berkorban untuk bisa mencapai
kesabaran dan keikhlasan yang hakiki, serta ketaatan terhadap perintah
Allah SWT.
Setiap muslim harus bersabar atas ketaatannya, karena jiwa itu
bertabiat bosan, dan kesabaran tidak akan terwujud jika manusia tidak
sering merenungi tujuan dirinya diciptakan, yaitu beribadah. Kita
merenungi akibat akhir dari kesabaran dalam taat. Allah telah berfirman
dalam al-Quran surat ar-Ra’du ayat 23-24:
… èπ s3Í× ¯≈n= yϑ ø9$#uρ tβθ è= äz ô‰tƒ Ν Íκ ön=tã ⎯ÏiΒ Èe≅ ä. 5>$ t/ . íΝ≈n= y™ /ä3 ø‹ n= tæ $ yϑ Î/ ÷Λän ÷y9 |¹ 4 zΝ ÷èÏΨsù
© t<ø) ãã Í‘# ¤$! )24- 23: الرعد ( #$
…sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan): "keselamatan atasmu berkat kesabaranmu ". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar-Ra’du:23-24)16
15 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 513. 16 Depag RI, op.cit., hlm. 372.
71
B. Nilai-Nilai Pendidikan Syari’ah
Novel Syahdat Cinta ini mengambil setting Pondok Pesantren yang
disebutkan sebagai pondok pesantren salaf, yang secara historis memiliki
kedudukan sebagai basis pendidikan agama. Sehingga penanaman nilai-nilai
syariat sangat ditekankan disini. Meskipun secara hierarkis pendidikan di
pondok pesantren bercorak sentralistik, yaitu berpusat pada otoritas seorang
kyai, namun dalam aplikasinya santri bisa belajar agama dari teman sendiri.
Begitu juga yang digambarkan oleh Taufiqurrahman dalam novel ini,
santri yang belum memiliki basic agama bisa belajar terlebih dahulu dari
senior-seniornya yang sudah lama mondok. Hal ini dimaksudkan agar santri
tersebut tidak tertinggal jauh dengan teman-temannya yang lain.
Dalam kaitannya dengan pendidikan syariah, seperti yang penulis
paparkan pada Bab II bahwa ulama membagi syariah ke dalam dua bagian
yaitu segi ibadah (ubudiyah) dan segi muamalah. Pada novel ini penulis hanya
mengidentifikasi nilai pendidikan syariah dalam segi ubudiyah, yaitu tentang
shalat dan thaharah.
1. Ajaran Tentang Shalat
Keimanan individu pada sesuatu yang gaib atau kepada Tuhan
membawa konsekuensi penghambaan, penyerahan dan ketundukan yang
ketiganya dirangkai dalam satu kegiatan yang disebut dengan ibadah
(ritual prayer). Ibadah merupakan bentuk aktualisasi diri yang fitri dan
hakiki, sebab penciptaan manusia didesain untuk beribadah kepada
Tuhannya. Ibadah dalam Islam banyak jenisnya, tetapi ibadah yang
merepresentasikan seluruh kepribadian manusia adalah shalat, karena ia
yang membedakan hamba yang muslim dan yang kafir.17
Ajaran agama Islam yang harus dipelajari setelah seseorang
mengucapkan kalimat syahadat adalah ibadah sholat. Karena bukti dari
keimanan tersebut harus diaplikasikan dengan laku ibadah sholat. Dalam
sholat ini setiap muslim berinteraksi dengan Allah SWT, dan melalui
sholat pendakian spiritual dapat mencapai puncaknya.
17 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 256.
72
Dalam novel Syahadat Cinta secara jelas digambarkan tentang
proses pembelajaran seseorang yang ingin mempelajari agama Islam.
Belajar agama bisa dengan siapapun, meskipun ia teman sendiri, asalkan
memiliki pemahaman agama yang matang.
“Kalau shalat gimana?” “Shalat dzuhur ada berapa rekaat?” tanya Amin. “Apa itu rekaat?” tanyaku. Kang Rusli yang menjawab, “Rekaat itu bilangan atau jumlah
masing-masing shalat. Shalat itu terdiri dari berdiri, lalu rukuk, berdiri kembali, sujud, duduk di antara dua sujud, kemudian sujud kembali. Ini dihitung satu rekaat.”
“Apa itu rukuk sujud?” Dawam mencontohkannya. Aku memperhatikannya. Lalu, aku
mencoba meniru gerakan-gerakan shalat yang diperagakan Dawam. Lalu, aku bertanya, apakah gerakanku sudah benar. Para sahabat ini menganggukkan kepala.
“Lho kok mudah ya?” tanyaku kegirangan dan dijawab oleh para sahabat dengan senyuman.
“Jangan lupa, akhî, setiap gerakan shalat itu ada bacaannya. Sejak dari niat, kemudian membaca takbiratul ihram, lalu membaca doa iftitah, al-fatikhah diikuti dengan membaca salah satu surah pendek atau ayat dalam al-Quran. Lalu membaca takbiratul ihram lagi, kemudian dalam rukuk membaca doa, berdiri dan membaca doa lagi; kemudian sujud sambil membaca doa, duduk di antara dua sujud membaca doa, sujud lagi membaca doa lagi. Pada saat berdiri untuk rekaat kedua membaca seperti pada rekaat yang pertama, kecuali doa iftitah…”18
Penggalan dialog di atas memberikan gambaran tentang pendidikan
shalat yang dilakukan secara individual. Pada prinsipnya mempelajari
agama harus dimulai dari yang mudah dulu, dan Islam memberi
kemudahan bagi umatnya dalam mempelajari ajaran-ajarannya. Jika
seseorang belum dapat membaca bacaan shalat dengan bahasa Arab, maka
diperbolehkan terlebih dahulu membaca niat shalat dengan menggunakan
bahasa Indonesia yang dilafalkan dalam hati. Untuk bacaan-bacaan shalat
yang lain dapat dipelajari secara bertahap. Perhatikan dialog berikut:
18 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 57-58.
73
“Yang penting, antum niat shalat itu dulu. Seperti hanya wudlu, antum niatkan dalam hati: aku berniat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil, wajib karena Allah. Shalat pun demikian: Aku berniat shalat fardlu dzuhur—atau ashar, maghrib, isya’ atau subuh—empat rekaat—sesuai dengan bilangan rekaat masing-masing shalat—menghadap kiblat karena Allah SWT. Ini saja sudah cukup, kalau memang antum belum hafal semua bacaan shalat…”19
Niat merupakan syarat utama dalam mengerjakan sesuatu ibadah,
dan dari niat juga dapat diketahui ketulusan seseorang dalam menjalan
perintah Allah. Shalat merupakan salah satu sarana untuk mengingat
Allah, karena didalamnya merupakan doa-doa yang dipanjatkan kepada
Allah SWT. Perintah untuk melaksanakan shalat ini salah satunya tercover
dalam al-Quran surat Thaha ayat 14.
û©Í_ ¯Ρ Î) $ tΡ r& ª! $# Iω tµ≈s9Î) HωÎ) O$tΡ r& ’ÎΤ ô‰ç6ôã$$ sù ÉΟ Ï% r& uρ nο 4θn=¢Á9$# ü“ Ìò2 Ï% Î! ) 14:طه(
Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha: 14)20
2. Ajaran tentang Thaharah
Untuk mencapai kedekatan kepada Allah SWT, setiap orang harus
dalam keadaan suci, baik lahir maupun batin. Laku batin dibarengi dengan
niat yang tulus ikhlas karena Allah SWT, sedangkan laku batin
teraktualisasi dengan kesucian jasmani dan menghilangkan hadas dalam
dirinya. Salah satunya dengan thaharah.
Bersuci merupakan salah satu syarat utama sebelum kita
mengerjakan suatu ibadah. Dan diantara macam-macam thaharah adalah
wudlu. Wudlu adalah syarat sahnya shalat. Shalat yang tidak didahului
dengan wudlu adalah shalat yang batil. Tetapi, wudlu itu sendiri
merupakan ibadah. Sebagian ulama menyebutnya sebagai alat dan tujuan.
19 Ibid, hlm. 59. 20 Depag RI, op.cit., hlm. 477.
74
Wudlu adalah “alat” atau lebih tepatnya “syarat” menjalankan shalat. Di
sisi lain, wudlu juga merupakan ibadah.21
Oleh karena itu setiap muslim harus mengetahui cara berwudlu
dengan benar, jika wudlunya tidak sempurna, maka shalatnya pun juga
tidak syah. Orang yang belum bisa berwudlu harus belajar wudlu terlebih
dahulu sebelum dia mempelajari ibadah yang lain. Hal ini dijelaskan
secara ringkas oleh Taufiqurrahman dalam novelnya:
Lalu, Kang Rakhmat meminta Amin untuk mengajarkan cara berwudlu kepadaku. Aku meminta sekalian praktik di tempat wudlu sana, tetapi Amin berkata di sini saja. Praktiknya di sini saja, tidak harus di sana. Yang penting aku tahu caranya. Ambil air wudlu, lalu basuh muka, tangan sampai ke siku, lalu usap rambut sedikit, lalu telinga, lalu kedua kaki sampai di atas mata kaki. Semuanya dibasuh atau diusap sebanyak tiga kali.22
C. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak
Term terbesar kaitannya dengan pendidikan Islam dalam novel ini
adalah nilai-nilai pendidikan akhlak. Namun penulis hanya mengambil
beberapa bagian saja, yang diilustarikan secara jelas dalam novel ini. Sudah
sewajarnya jika pendidikan akhlak mengambil porsi yang lebih besar
ketimbang yang lain, karena aplikasi pendidikan akhlak ini berkaitan dengan
aktivitas kehidupan manusia sehari-hari, mulai dari bangun tidur hingga tidur
lagi.
Akhlak adalah keadaan rohaniah yang tercermin dalam tingkah laku,
atau dengan kata lain yaitu sikap lahir yang merupakan perwujudan dari sikap
batin. Baik sikap tersebut diarahkan terhadap sang khaliq, terhadap manusia,
maupun terhadap lingkungan. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang penulis
temukan dalam novel ini diantaranya adalah etika berbicara yang baik-baik,
ajaran untuk saling memaafkan, hubungan antara laki-laki dan perempuan,
serta ajaran untuk saling tolong menolong.
21 Muhammad Muhyidin, Orang Kota Mencari Allah, (Yogyakarta: Diva Press, 2008),
hlm. 268. 22 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 56-57.
75
Nilai pendidikan akhlak disini lebih mengarah pada nilai insaniyah.
Ada dua macam nilai insaniyah yaitu:
1. Nilai Etika
a. Etika Berbicara yang Baik-Baik
Secara eksplisit dapat diketahui bahwa di dalam novel ini
terkandung pesan-pesan edukatif yang ingin disampaikan pengarang
melalui dialog antar tokoh. Salah satu nilai pendidikan akhlak yang
terkandung didalamnya adalah etika untuk berbicara yang baik-baik.
Nilai pendidikan akhlak ini dapat dilihat saat dialog antara
Iqbal dan Ihsan, ketika Iqbal melakukan kesalahan karena telah
mencaci maki Aisyah putri Kyai dari pondok pesantren dimana mereka
belajar.
“Tetapi, menurutku nich, Kang—kang Iqbal jangan marah, kamu mempunyai beberapa ketidakbenaran…”
“Maksudmu kesalahan gitu…?” “Maksudku ketidakbenaran. Aku lebih suka mengatakan
demikian. Pertama, kang Iqbal merasa jengkel dengan kyai. Jengkel itu sendiri merupakan penyakit, Kang. Penyakit yang menggerogoti hati kang Iqbal. Kedua, kejengkelan tersebut kamu tujukan kepada kyai kita, padahal kyai kita tidak jengkel kepadamu. Ketiga, kejengkelan itu kamu lampiaskan kepada orang yang salah, walaupun dia juga bersalah kepadamu. Keempat, dan ini yang paling parah, kang Iqbal mencaci maki neng Aisyah. Demi Allah kang Dia telah berfirman: “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui…” 23
Dari dialog tersebut dapat diketahui ajaran tentang akhlak
kepada sesama dan etika berbicara yang baik-baik, serta bersikap sabar
terhadap segala keburukan yang ditimbulkan oleh orang lain.
Kemarahan merupakan penyakit hati yang menggeroti hati manusia.
Oleh karena itu setiap muslim dianjurkan untuk menahan amarah dan
bersikap sabar. Sehingga tidak muncul ucapan-ucapan yang
23 Ibid., hlm. 96-97.
76
menyakitkan hati. Allah berfirman dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat
148:
ω =Ït ä† ª! $# tôγ yfø9$# Ï™þθ¡9$$ Î/ z⎯ÏΒ ÉΑöθs) ø9$# ωÎ) ⎯ tΒ zΟ Î=àß 4 tβ%x. uρ ª! $# $ ·è‹ Ïÿ xœ
$ϑŠ Î=tã ) 148: النساء(
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nisa’: 148).24
b. Etika tentang Hubungan Laki-Laki dan Perempuan (Khalwat)
Dalam novel Syahadat Cinta ini terdapat beberapa perbedaan
pemikiran tentang memahami suatu masalah dalam Islam. Salah satu
masalah yang menjadi perdebatan dalam novel ini adalah tentang
hubungan antara laki-laki dan perempuan (khalwat). Meskipun ada
perbedaan pandangan dalam memahami makna khalwat, namun
Taufiqurrahman ingin menjelaskan bahwa Islam mengatur hubungan
antara laki-laki dan perempuan secara jelas. Bahwa khalwat dengan
perempuan yang bukan muhrimnya dilarang oleh agama, tetapi
khalwat yang bagaimana yang tidak diperbolehkan? Itu yang menjadi
perdebatan dalam novel ini.
Menurut Taufiqurrahman khalwat yang tidak diperbolehkan
adalah khalwat yang dilandasi dengan hawa nafsu. Karena ini yang
menjadi illat adanya hukum khalwat.
“…bahwa aku tidak menerima perkataan yang mengatakan aku telah berkhalwat dengannya? Bahwa khalwat bagiku adalah berdua-duaan di tempat sepi dimana nafsu syahwat yang menjadi landasannya, sedangkan antara aku dan ‘Aisyah tidak ada syahwat seperti itu?!”25
24 Depag RI, op.cit., hlm. 147. 25 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 455.
77
Ada tiga kekuatan syahwat (nafsu) di mana banyak orang telah
menjadi pelayanannya, yakni syahwat terhadap harta benda, syahwat
terhadap lawan jenis, dan syahwat terhadap kedudukan dan kekuasaan.
Pengaruh syahwat ini dapat dilihat dalam perilaku, sikap dan gerak
gerik dalam kehidupan manusia.26
Dan syahwat yang menjadi bahasan dalam novel ini adalah
syahwat terhadap lawan jenis. Menurut Tufiqurrahman kebanyakan
manusia dikendalikan oleh nafsunya, dan bukan manusia yang
mengendalikan hawa nafsunya. Oleh karena itu Islam mengajarkan
untuk tidak menuruti hawa nafsunya, karena menuruti hawa nafsu itu
laksana meminum air laut, semakin banyak diminum maka semakin
haus. Allah berfirman dalam al-Quran surat al-Qashash ayat 50:
… ô⎯ tΒuρ ‘≅|Ê r& Ç⎯ £ϑÏΒ yì t7 ©? $# çµ1uθyδ ÎötóÎ/ “W‰èδ š∅ÏiΒ «! $# 4 χ Î) ©! $# Ÿω “ ωöκ u‰ tΠöθ s) ø9$# t⎦⎫ Ïϑ Î=≈©à9$# ) 50: القصص(
…Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Qashash:50)27
2. Nilai Sosial
a. Ajaran Untuk Saling Memaafkan
Tendensi dari pemberian maaf adalah harapan hidayah. Dengan
maksud supaya orang yang berbuat salah dapat memperbaiki
kesalahannya dan mendapat hidayah dari Allah untuk kemudian mau
mendalami ajaran Islam secara kaffah.
Memang tidak mudah untuk memberikan maaf kepada orang
yang pernah berbuat salah pada diri kita. Dalam novel Syahadat Cinta
ini Taufiqurrahman memberikan interpretasi terhadap hubungan antar
26 Muhammad Muhyidin, Orang Kota Mencari Allah, op.cit., hlm. 101. 27 Depag RI, op.cit., hlm. 618.
78
sesama manusia, bahwa jadi orang itu harus bisa legowo menerima
kesalahan orang lain dan dapat memaafkan kesalahan itu.
“Apa dia memberi maaf?” “Tidak. Dia terlalu angkuh untuk memaafkan aku. Kang,
bagaimana hukumnya orang yang tidak mau memberi maaf?” “Aduh, bagaimana hukumnya ya? Yang aku tahu, Allah
telah berfirman: perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Dia juga berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf…”28
Salah satu yang mendasari ajaran untuk memberi maaf adalah
surat al-Baqarah ayat 263 dan surat asy-Syuura ayat 37 di atas, yang
oleh Taufiqurrahman dijadikan sebagai hujjah dan dimasukkan dalam
dialog novel tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam
menganjurkan umatnya untuk bisa memaafkan orang lain dengan
berdasar dalil al-Quran tersebut.
×Αöθ s% Ô∃ρã÷èΒ îο tÏ øótΒuρ ×ö yz ⎯ÏiΒ 7π s% y‰|¹ !$yγ ãèt7 ÷Ktƒ “]Œr& 3 ª! $#uρ ;© Í_ xî ÒΟŠ Î=ym
)263: البقرة(
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah: 263)29
Dalam surat yang lain Allah SWT juga berfirman:
t⎦⎪ Ï% ©! $#uρ tβθç7 Ï⊥tGøg s† u È∝≈t6x. ÄΝ øOM} $# |·Ïm≡uθ x ø9$#uρ #sŒÎ)uρ $tΒ (#θç6ÅÒxî öΝ èδ tβρ ãÏ øótƒ
)37: السراء (
28 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 371-372. 29 Depag RI, op.cit., hlm. 66
79
Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. (QS. Asy-Syuura: 37)30
b. Ajaran untuk Saling Tolong Menolong dan Bersedekah
Sebagai sesama makhluk Allah, setiap manusia diharuskan
untuk saling membantu satu sama lain. Sekalipun status dan strata
sosialnya berbeda, masing-masing individu pada prinsipnya saling
membutuhkan. Yang kaya membantu yang miskin dengan hartanya
dan yang miskin membantu si kaya dengan tenaganya.
Pada dasarnya harta yang diterima manusia merupakan titipan
dari Tuhan, yang di dalamnya terdapat hak-hak orang lain. Oleh karena
itu orang yang diberi kelebihan rezeki harus mensedekahkan sebagian
hartanya bagi orang yang tidak mampu. Taufiqurrahman memberikan
gambaran yang jelas melalui novelnya tentang anjuran untuk saling
tolong menolong dan bersedekah.
Timbul niatku untuk menyeberang jalan, mendekati ibu dan balitanya itu, dan memberikan shadaqah uang yang aku miliki. Aku pun bangkit, menunggu nyala lampu merah, lalu melintas. Kurogoh saku celanaku. Kudapatkan uang lima ribu. Kuberikan uang itu kepada si ibu. 31
Akhlak yang baik adalah yang timbul dari dalam hatinya, tanpa
didasari tendensi apa-apa, seseorang ingin membantu karena itu
panggilan dalam hati. Tidak ada rasa sesal ataupun takut kalau-kalau
harta yang dikeluarkan akan membuatnya miskin. Dengan bersedekah
seseorang akan memiliki rasa empati terhadap penderitaan orang lain,
merasakan betapa resahnya orang yang tidak memiliki uang ketika
membutuhkan sesuatu, dan betapa sakitnya orang yang hidup
termarjinalkan. Hal ini juga direfleksikan pada halaman yang lain dari
novel ini.
30 Ibid, hlm. 789. 31 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 144-145.
80
Segera ku buka dompetku. Kuambil uang dua juta, dan kusegera persiapkan untuk memberikannya kepada bu Jamilah. Ilahi, semoga apa yang aku lakukan ini bisa meringankan beban hidup bu Jamilah, dan semoga Engkau mencatatnya sebagai amal untuk meringankan dosa dan kesalahanku.32
Secara eksplisit Taufiqurrahman ingin mengajak pembacanya,
agar memiliki sikap dermawan, lapang dada dan ikhlas memberikan
hartanya untuk meringankan beban hidup orang lain yang
membutuhkan. Dengan bersedekah orang akan memiliki landasan
iman yang kuat, karena menganggap harta hanyalah sarana untuk
mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat al-Bayyinah ayat 5 yang menyebutkan :
!$ tΒuρ (# ÿρâ É∆é& ωÎ) (#ρ ߉ç6÷èu‹ Ï9 ©! $# t⎦⎫ÅÁÎ= øƒ èΧ ã& s! t⎦⎪ Ïe$! $# u™!$x uΖ ãm (#θßϑ‹ É) ãƒuρ nο 4θn=¢Á9$#
(#θè? ÷σ ãƒuρ nο 4θx.“9$# 4 y7Ï9≡sŒuρ ß⎯ƒÏŠ Ïπ yϑÍhŠ s) ø9$# ) 5: البيناه(
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)33
32 Ibid, hlm. 177. 33 Depag RI, op.cit., hlm. 1084.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mengkaji dan menganalisis nilai-nilai pendidikan
Islam dalam novel “Syahadat Cinta” karya Taufiqurrahman al-Azizy maka
dapat penulis simpulkan bahwa :
1. Novel Syahadat Cinta ini merupakan novel religius yang berisi tentang
pencarian cinta dan Tuhan. Di dalamnya termuat pesan-pesan sosial
keagamaan, yang mengarah pada kehidupan ma’rifatullah. Novel ini
terdiri dari 26 episode, secara rinci isi dari masing-masing episode adalah
sebagai berikut:
• Episode 1 berisi tentang penyesalan
• Episode 2 berisi tentang godaan dalam ibadah
• Episode 3 berisi tentang belajar memahami diri sendiri
• Episode 4 berisi tentang anjuran untuk berkata yang baik-baik
• Episode 5 berisi tentang mencari ketenangan diri dengan shalat
• Episode 6 berisi tentang perbedaan beragama
• Episode 7 berisi tentang sikap tolong menolong dan bersedekah
• Episode 8 berisi tentang sikap tolong menolong dan bersedekah
• Episode 9 berisi tentang anjuran mempelajari al-Quran
• Episode 10 berisi tentang melakukan sesuatu karena Allah
• Episode 11 berisi tentang belajar pada kehidupan
• Episode 12 berisi tentang bahaya fitnah
• Episode 13 berisi tentang untuk selalu berserah diri dan memohon
pertolongan kepada Allah
• Episode 14 berisi tentang hidayah dan pertolongan Allah kepada
hamba-Nya
• Episode 15 berisi tentang perpisahan
• Episode 16 berisi tentang keimanan
• Episode 17 berisi tentang persahabatan dan cinta kasih
82
• Episode 18 berisi tentang pemberian maaf
• Episode 19 berisi tentang perasaan hati
• Episode 20 berisi tentang cobaan dalam memeluk agama Islam
• Episode 21 berisi tentang kecintaan manusia terhadap keindahan
• Episode 22 berisi tentang anugerah Allah yang berbentuk “cinta”
• Episode 23 berisi tentang cinta karena Allah
• Episode 24 berisi tentang perilaku ma’rifah
• Episode 25 berisi tentang perilaku ma’rifah
• Episode 26 berisi tentang perbedaan pendapat
2. Sedangkan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam novel
“Syahadat Cinta” secara garis besar dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu
nilai Ilahiyah dan nilai Insaniyah. Nilai-nilai pendidikan tersebut secara
rinci adalah:
a. Nilai Ilahiyah Ubudiyah
• Ajaran untuk selalu beriman kepada Allah SWT, nilai-nilai
pendidikan keimanan ini dapat dilihat pada episode 16 dan 20.
• Ajaran untuk beriman kepada kitab Allah (al-Quran), dapat dilihat
pada episode 9
• Ajaran tentang shalat, pada episode 2 dan 5.
• Ajaran tentang thoharoh, pada episode 2
Nilai Ilahiyah Muamalah
• Ajaran untuk bersikap Sabar dan Ikhlas dapat dilihat pada episode
4 dan 26
b. Nilai Insaniyah
• Ajaran tentang etika berbicara yang baik-baik, pada episode 4
• Ajaran untuk saling memaafkan, pada episode 18
• Ajaran tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan (khalwat),
pada episode 24, 25 dan 26.
• Ajaran untuk saling tolong menolong dan bersedekah, pada episode
7 dan 8.
83
2. Saran-saran
Lembaga pendidikan pada umumnya dan lembaga pendidikan Islam
khususnya, ketika melakukan kegiatannya hendaklah jangan hanya bersifat
transfer of knowledge saja, tetapi lebih menekankan penanaman nila-nilai
terhadap peserta didiknya. Karena dengan nilai yang ia yakini, seseorang akan
bersikap dan melakukan tindakan. Kalau nilai tersebut nilai positif maka
positif pula tindakan yang ia lakukan, tetapi sebaliknya bila negatif nilai yang
ia yakini maka negatif pula sikap dan tindakan yang akan ia realisasikan.
Sumber nilai yang dapat digali dalam kehidupan salah satunya adalah
melalui cerita ataupun novel-novel religius. Karena sifatnya yang estetis,
maka akan lebih mudah dicerna dan diterima anak didik. Oleh karena itu
sudah saatnya guru melakukan inovasi dalam proses pembelajaran dengan
menggunakan novel-novel religius sebagai media pendidikan.
Dengan pesatnya pembangunan dan hebatnya arus modernisasi saat
ini, guru harus bersikap open minded terhadap segala perkembangan,
termasuk segi-segi negatifnya. Guru harus bisa memposisikan diri sebagai
filter terhadap segala macam informasi yang diterima siswa. Salah satu
caranya, dengan mencoba menulis karya-karya yang memiliki nilai edukatif
untuk selanjutnya bisa dikonsumsi siswa, agar siswa bisa belajar mandiri
dengan buku-buku yang berkualitas dan tidak terjebak dengan idealisme yang
menyesatkan. Karena intensitas belajar dengan guru lebih sedikit ketimbang
belajar dengan buku, siswa bisa belajar melalui buku dimana saja dan kapan
saja, tanpa harus menunggu jam tatap muka di kelas.
3. Penutup
Puji syukur kembali penulis panjatkan kehadiran Allah, Tuhan yang
telah menciptakan langit, bumi beserta isinya diperuntukkan bagi
kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia bahwa penulisan skripsi ini
telah selesai.
84
Sebagai penutup penulis sadar bahwa skripsi ini hanya sebuah kajian
Islam yang terkecil dan sederhana dari bahasan Islam yang sangat
komprehensip. Oleh karena itu kritik konstruktif dan saran yang membangun
senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan dimasa yang akan datang.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi
pembaca. Amin.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Akhtar, Zaid, “Karya Kreatif Medan Penulis Dakwah”, http://www.blogger.com/post-create.g?blogID. 18 Mei 2006.
Al Bilaly, Abdul Hamid Jasim, Rambu-Rambu Tarbiyah dalam Sirah Nabawiyah, Solo: Citra Islami Press, 1996, Cet. II.
Al Munawar, Said Agil Hussin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005, Cet. II,
Al-Abrasiy, Muhammad Athiya al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustani A. Terj. Ghani dan Djohar Bahri, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Al-Azizy, Taufiqurrahman, Syahadat Cinta, Yogyakarta: Diva Press, 2007, cet. XVIII.
Al-Ghulayani, Syekh Mustafa, Idhatun Naasyi’in, Beirut: Maktubah Ahlyah, tth.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Terj. Hery Noer Aly, Bandung: CV. Diponegoro, 1996.
Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
__________, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
__________, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, Cet.V.
__________, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Arikunto, Suharsimi, Pendekatan Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta 2002.
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Al Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1982.
Atmosuwito, Subijanto, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, Bandung: CV.. Sinar Baru, 1989.
Daradjat, Zakiah, et.al, Zakiah Daradjat. et. al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, Cet. III,
__________, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam Jakarta: Bumi Aksara, 1995,
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989.
Dewey, John, Demokrasi and Education, New York: the Macmillan Company, 1964.
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
El Shirzy, Habiburrahman, Ayat-ayat Cinta, Semarang: Asy-Syifa, 2007.
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Metodologi Pengajaran Agama, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 1999.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Cet. III,
Hasan, M. Iqbal, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002,
Ismail SM (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I.
Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001, 98.
Jusuf, Jamsuri, dkk., Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam, Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahada Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984.
Kaelany HD, Islam dan Aspek – Aspek Masyarakat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Kartono, Kartini, Pengantar Metode Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju, 1990.
Kasmijan, skripsi “Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak Studi Analisis terhadap Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy”, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006.
Kealan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2000.
Khanif, Achmad Mudhofar, skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Naskah Teater Studi Analisis Naskah Pementasan Teater Beta Periode Tahun 2005 – 2006”, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006.
Komisi Pendidikan KWI/WNPK, Sekolah dan Pendidikan Nilai, Editor Em. K. Kaswardi. Pendidikan Nilai Menghadapi Tahun 2000, Jakarta: Gramedia Widia Sarana, 1993.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT Alma’arif, 1980.
Leaman, Oliver, Estetika Islam; Menafsir Seni dan Keindahan, Terj. Irfan Abubakar, Bandung: Mizan, 2005,
Luxemburg, Jan Van, dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, Jakarta : Gramedia, 1986, Cet.II..
Mangunwijaya, Y. B., Sastra dan Religiusitas, Jakarta: Sinar Harapan, 1982,
Mas’adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Serasin, 1996.
Muhammad AR, Pendidikan di Alaf Baru, Yogyakarta: Prismashopie, 2003.
Muhammad Athijah, Attarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Bustami A. Gani, “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam”, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, 111-112.
Muhyidin, Muhammad, Bibir Tersenyum Hati Menangis, Yogyakarta: Diva Press, 2007.
__________, Orang Kota Mencari Allah, Yogyakarta: Diva Press, 2008.
Mujib, Abdul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985, Cet. V.
Navis A.A., Yang Berjalan Sepanjang Jalan, Jakarta: PT. Grasindo, 1999.
Ngafenan, Muhammad, Kamus Kesusastraan, Semarang: Dahara Prize, 1990.
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998,
Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.
Poerwadarminta, W.J.S. dkk., Kamus Latin – Indonesia, Jakarta: Kanisius, 1969.
__________, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Pradopo, Rachmat Djoko, Beberapa Teori Sastra, Metodik Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995,
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,
Sahab, Idrus, Sesungguhnya Dialah Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Paedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, Jakarta; Rineka Cipta, 1997, Cet. I.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. III,
Siregar, Marasuddin, “Pengelolaan Belajar” Dalam PBM PAI di Sekolah, Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Bekerjasama Dengan Pustaka Pelajar, 1998.
Sobur, Alex, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, Cet. IV.
Soewandi, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Su’ud, Abu, Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Sudardi, Bani, Sastra Sufistik; Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia, Solo: Tiga Serangkai , 2003,
Suhartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Syam, Moh. Noor, Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1983.
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet.II.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994, Cet.II.
Tehrani, Faisal, “Sastra Kanak-Kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/post -create.g?blogID 27 April 2006.
Thoha, Chabib dkk. Eds, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
__________, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet.I, 60-61.
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003,
Vembriarto, St., dkk., Kamus Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 1994.
Wasis, Andy, Rasul Sebuah Novel Sejarah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Wijayanto, Iip, Menuju Revolusi yang Qur’ani, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Zakaria, Teuku Ramli, Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti, Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994,
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, Cet. II.