Post on 20-Feb-2018
Nama : Paulina Sie
Program Studi : S-1 Reguler
Jurusan : Akuntansi
NPM : 0811031043
No. Hp : 081977150015
Email : paulinasie@yahoo.co.id
Pembimbing I : Dr.Einde Evana, S.E., M.Si., Akt.
Pembimbing II : Sudrajat, S.E., M.Acc., Akt.
ANALISIS PENGARUH EKSPOSUR RISIKO INSTRUMEN DERIVATIF
TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN PADA PERUSAHAAN
PUBLIK YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA
ABSTRAK
Kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar akibat kegagalan pengelolaan
derivatif menimbulkan pertanyaan apakah auditor sebelumnya sudah secara tepat
mendeteksi dan mengungkapkan keadaan tersebut dalam laporan auditnya.
Pemberian status going concern bukanlah suatu tugas yang mudah. Namun,
apabila kenyataan tersebut tidak diungkapkan, auditor dipandang gagal karena
tidak memberikan peringatan dini sehubungan dengan keberlangsungan usaha
perusahaan kepada stakeholder.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor determinasi opini audit going
concern pada perusahaan publik yang teridentifikasi menggunakan instrumen
derivatif dengan tujuan lindung nilai. Berdasarkan telaah pustaka, diajukan
hipotesis bahwa biaya modal, likuiditas, tingkat utang, dan net open position
berpengaruh terhadap opini audit going concern. Metode pengambilan sampel
yang digunakan adalah metode purposive sampling dan diperoleh 18 perusahaan
sebagai objek penelitian selama periode tahun 2007 hingga tahun 2010.
Hasil uji empiris dengan menggunakan teknik regresi binary logistic ini
menunjukkan bahwa hanya tingkat utang yang diukur dengan DER (Debt to
Equity Ratio) yang berpengaruh positif signifikan terhadap opini audit going
concern. Tingginya tingkat utang sebagai motif perusahaan melakukan lindung
nilai dengan derivatif mencerminkan adanya tingkat risiko keuangan yang ingin
dihindari perusahaan dan menunjukkan adanya kemungkinan bahwa perusahaan
tidak bisa melunasi kewajibannya. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat utang,
semakin besar kemungkinan auditor memberikan opini audit going concern pada
perusahaan yang menggunakan instrumen derivatif.
Kata Kunci: derivatif, eksposur risiko, hedging, opini audit going concern
ABSTRACT
Bankruptcy of large companies due to the failure of the derivatives management
raises the question whether the auditors previously had accurately detected and
disclosed these circumstances in their audit report. Provision of going concern
status is not an easy task. However, if the fact was not disclosed, the auditor is
deemed to fail because they did not give the warning early about sustainability of
the company to stakeholders.
This study aims to examine the determinant factors of going concern audit opinion
on public companies which were identified using derivatives to hedging purposes.
Based on the literature review, this study hypothesized that the cost of capital,
liquidity, debt level, and net open position have impact on the going concern audit
opinion. The sampling method used purposive sampling method and obtained 18
companies as the objects of study during the period of 2007 to 2010.
The results of empirical tests using binary logistic regression techniques showed
that only debt level as measured by DER (Debt to Equity Ratio) that has
significantly positive effect on going-concern audit opinion. The high level of debt
as a motive for companies to hedge with derivatives reflects the level of financial
risk which the company avoided and indicates the possibility that the company
can not pay its liabilities. Therefore, the higher the level of debt, the more likely
the auditor gives a going concern audit opinion on the companies that use
derivative instruments.
Keywords: derivative, risk exposure, hedging, going concern audit opinion
1. Pendahuluan
Penggunaan produk derivatif untuk tujuan lindung nilai diyakini dapat
mengurangi eksposur risiko yang dihadapi perusahaan (Zhang, 2009 dan Bartram,
2011). Namun, dalam implementasinya, ketika transaksi derivatif dengan maksud
hedging tersebut dikelola dengan tidak efektif, dampaknya justru akan sama
dengan transaksi spekulatif. Hal tersebut akan mengakibatkan volatilitas risiko
dan nilai perusahaan menjadi lebih tinggi, sehingga perusahaan bisa mengalami
kerugian yang sangat besar dalam waktu yang singkat.
Kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar akibat derivatif merupakan
contoh nyata kegagalan pengelolaan derivatif sebagai instrumen lindung nilai.
Sayangnya, sebelum kebangkrutan tersebut benar-benar terjadi, pada beberapa
perusahaan tersebut, tidak ditemukan adanya tanda-tanda atau peringatan dini
akan kesulitan keuangan yang sedang dialami perusahaan terkait instrumen
derivatif tersebut. Auditor sebagai pihak independen yang menilai kewajaran
laporan keuangan sebuah perusahaan memiliki suatu tanggung jawab untuk
mengevaluasi status kelangsungan hidup perusahaan dalam setiap pekerjaan
auditnya. Oleh karena itu, hal tersebut dipandang sebagai kegagalan auditor
melaksanakan tugasnya dalam mengevaluasi kondisi keuangan perusahaan dan
mengungkapkan masalah keberlangsungan usaha perusahaan.
Sulitnya memprediksi kelangsungan hidup sebuah perusahaan membuat
auditor mengalami dilema antara moral dan etika dalam memberikan opini audit
going concern mengingat hal tersebut justru dapat mempercepat proses
kebangkrutan (hipotesis self-fulfilling prophecy) (Venuti,2004). Pemberian status
going concern ini bukanlah suatu tugas yang mudah. Namun, seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, apabila kenyataan tersebut tidak diungkapkan, auditor
dipandang gagal karena tidak memberikan peringatan dini sehubungan dengan
masalah keberlangsungan usaha perusahaan kepada pihak-pihak berkepentingan
(stakeholder). Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi auditor untuk dapat
secara tepat mendeteksi salah saji material laporan keuangan klien (Fanny dan
Saputra, 2005; Pambudhi, 2011; Santosa dan Wedari, 2007 ), termasuk risiko
default perusahaan akibat strategi derivatif yang kompleks.
Sebagian besar penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan opini audit going concern di atas belum mempertimbangkan risiko
yang mungkin dihadapi perusahaan sehubungan dengan penggunaan derivatif
terhadap opini audit going concern. Berdasarkan pemaparan di atas maka
penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi opini
audit going concern, terutama eksposur risiko instrumen derivatif berupa (i) biaya
modal, (ii) likuiditas, (iii) tingkat utang, dan (iv) net open position.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam menambah
khasanah ilmu pengetahuan bagi akademisi untuk lebih memahami instrumen
derivatif beserta pengaruhnya terhadap kecenderungan penerimaan opini audit
going concern. Implikasi dari penelitian ini pun diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi praktisi, emiten, dan investor
dalam mengambil keputusan mengenai derivatif dan menjadi suatu masukan bagi
para auditor untuk memperhitungkan risiko instrumen derivatif perusahaan pada
saat proses audit, terutama ketika memberikan pendapat mengenai
keberlangsungan usaha perusahaan.
2. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
2.1. Teori Agensi dan Keberlangsungan Usaha (Going Concern)
Teori agensi menggambarkan hubungan agensi sebagai suatu kontrak di
bawah satu prinsipal atau lebih yang melibatkan agen untuk melaksanakan
beberapa layanan bagi mereka dengan melakukan pendelegasian wewenang
pengambilan keputusan kepada agen. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan
sebagai orang ekonomi rasional dan dan semata-mata termotivasi oleh
kepentingan pribadi. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik keagenan. Untuk itu,
dibutuhkan pihak ketiga yang independen sebagai mediator pada hubungan antara
prinsipal dan agen. Auditor adalah pihak yang dianggap mampu menjembatani
kepentingan pihak prinsipal (shareholders) dengan pihak agen (manajer) dalam
mengelola keuangan perusahaan (Januarti, 2007). Auditor sebagai pihak ketiga
yang independen dibutuhkan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja
manajemen apakah telah bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal melalui
laporan keuangan. Auditor bertugas untuk memberikan opini atas kewajaran
laporan keuangan perusahaan dan mengungkapkan permasalahan going concern
yang dihadapi perusahaan apabila auditor meragukan kemampuan perusahaan
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Suatu perusahaan didirikan dengan harapan akan beroperasi untuk waktu
yang tidak terbatas atau diasumsikan akan melanjutkan usahanya dan tidak akan
dibubarkan. Going concern adalah suatu dalil bahwa kesatuan usaha akan
menjalankan terus operasinya dalam jangka waktu yang cukup lama untuk
mewujudkan proyeknya, tanggung jawab serta aktivitas-aktivitasnya (Noverio,
2011). Dengan adanya going concern, suatu badan usaha dianggap akan mampu
mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu panjang. Dalam SPAP
2011, SA Seksi 341, dijelaskan bahwa auditor bertanggung jawab untuk
mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan entitas
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Auditor dapat mengidentifikasi
informasi mengenai kondisi atau peristiwa tertentu yang menunjukkan adanya
kesangsian besar tentang kemampuan entitas dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, yaitu tidak lebih dari satu
tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang diaudit.
2.2 Risiko Instrumen Derivatif
Derivatif adalah suatu sekuritas yang tercipta sebagai turunan dari sekuritas
lain yang mendasarinya (underlying assets) (Reynolds, 2000; Irfani, 1999; Stice,
2009). Produk derivatif memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai berikut:
1. Hedging (lindung nilai), merupakan suatu tindakan pencegahan terjadinya
risiko atas nilai dan posisi dari suatu aset finansial pada waktu yang akan datang
melalui penggunaan instrumen derivatif atas transaksi underlying asset yang akan
dilindungi nilainya.
2. Spekulasi, merupakan pengelolaan yang salah dalam tujuan derivatif,
sehingga pada saat itu produk derivatif justru berubah menjadi sumber risiko baru
yang bersifat spekulatif dan membahayakan pemegangnya.
Menurut Geraldina dan Rossieta (2011), secara umum, instrumen derivatif
dapat digunakan untuk dua tujuan dengan dampak yang bertentangan terhadap
risiko, yaitu hedging atau lindung nilai, yang mengakibatkan menurunnya
eksposur risiko, dan trading dengan motif spekulatif yang mengakibatkan
meningkatnya eksposur risiko.
Risiko instrumen derivatif bukan merupakan risiko baru atau risiko unik,
melainkan sama dengan risiko-risiko produk atau aset yang mendasarinya. Yang
berbeda hanyalah kompleksitas dan diversitas permasalahannya. Hal ini terjadi
karena banyaknya pengguna instrumen derivatif dengan sifat dan tujuan yang
berbeda-beda (Arifin, 2010). Di samping itu, transaksi instrumen derivatif banyak
dilakukan secara over-counter tanpa persyaratan standar karena disesuaikan
dengan selera nasabah dan jumlahnya sangat besar. Kondisi tersebut
menyebabkan betapa sulitnya mengukur dan mengawasi aktivitas instrumen
derivatif.
Irfani (1999) mengungkapkan adanya beberapa risiko dari instrumen
derivatif, yang di antaranya adalah risiko kredit (credit risk), risiko likuiditas
(liquidity risk), risiko tingkat bunga (interest rate risk), dan risiko nilai tukar
valuta asing (foreign exchange rate risk).
2.3. Opini Audit Going Concern
PSA No.30 (SPAP, 2011) yang membahas mengenai “Pertimbangan
Auditor atas Kemampuan Entitas Dalam Mempertahankan Kelangsungan
Hidupnya” mengindikasikan bahwa auditor harus memberikan warning kepada
pembaca laporan keuangan akan adanya suatu kesangsian mengenai kemampuan
suatu entitas untuk bisa bertahan hidup paling tidak dalam satu periode
mendatang. Laporan audit yang dimodifikasi karena masalah going concern
menjelaskan adanya ketidakpastian di pihak auditor tentang kelangsungan hidup
suatu perusahaan atau karena dalam penilaiannya auditor meyakini terdapat risiko
yang melekat pada auditee yang berupa tidak dapat bertahan dalam bisnis.
Dari sudut pandang auditor, keputusan tersebut melibatkan beberapa tahap
analisis (Elder, 2011). Auditor harus mempertimbangkan hasil operasi, kondisi
ekonomi yang mempengaruhi perusahaan, kemampuan membayar hutang, dan
kebutuhan likuiditas di masa yang akan datang. Selain itu, auditor pun harus
memperoleh informasi tentang rencana manajemen, dan mempertimbangkan
apakah ada kemungkinan bila rencana tersebut dapat secara efektif dilaksanakan,
mampu mengurangi dampak negatif merugikan kondisi dan peristiwa tersebut
dalam jangka waktu pantas.
Pada umumnya, tambahan paragraf penjelas mengenai keberlangsungan
usaha perusahaan tercantum setelah paragraf ketiga laporan auditor dalam laporan
keuangan tahunan perusahaan yang telah terdaftar di BEI. Salah satu contoh
laporan auditor yang berisi opini audit going concern yaitu ditandai dengan
adanya pengungkapan tentang keraguan auditor atas keberlangsungan usaha
perusahaan yang mengalami kerugian yang cukup material di tahun berjalan, yang
dapat berdampak pada kondisi keuangan perusahaan di tahun mendatang. Hal
tersebut biasanya diungkapkan dengan pernyataan sebagai berikut:
“Laporan keuangan konsolidasian yang terlampir telah disusun dengan
asumsi bahwa Perusahaan dan Anak perusahaannya akan melanjutkan
usahanya secara berkesinambungan. Seperti disajikan dalam laporan
keuangan konsolidasi, Perusahaan dan Anak Perusahaan mengalami defisit
sebesar ...............”
(Sumber: Paragraf ke-6 Laporan Auditor Independen untuk Tahun yang
Berakhir 31 Desember 2009 PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.)
2.4. Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti telah menguji secara empiris faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi opini audit going concern. Hasil penelitian oleh Setyarno et al
(2006) memberikan bukti empiris bahwa variabel kondisi keuangan perusahaan
dan opini audit tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
opini audit going concern. Untuk variabel kualitas audit dan pertumbuhan
perusahaan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan
opini audit going concern.
Januarti (2009) meneliti mengenai pengaruh faktor perusahaan, kualitas
auditor, kepemilikan perusahaan terhadap penerimaan opini audit going concern
pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa variabel yang mempengaruhi pemberian opini audit going concern adalah
variabel default, ln sales (size), lamanya perikatan (audit client tenure), opini
tahun sebelumnya (prior opinion), dan kualitas auditor (specialization), sedangkan
variabel financial distress meskipun signifikan tetapi arah tandanya berkebalikan
dengan yang dihipotesakan.Variabel yang tidak mempengaruhi pemberian opini
going concern adalah audit lag, opinion shopping, kepemilikan manajerial dan
kepemilikan institusional.
Prayitno (2010) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi auditor dalam pemberian opini audit going concern dengan
menggunakan variabel opini audit tahun sebelumnya, pertumbuhan perusahaan
(penjualan dan laba), quick ratio, current ratio, return on investment, total debt
to equity ratio, return on equity, total asset turnover, dan kualitas audit. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari sembilan variabel yang digunakan,
hanya pertumbuhan perusahaan, return on investment, return on equity, total
asset turnover, dan kualitas audit yang berpengaruh terhadap kemungkinan
auditor dalam pemberian opini audit going concern.
Geraldina dan Rossieta (2011) meneliti tentang eksposur risiko instrumen
derivatif, volatilitas nilai perusahaan, dan opini audit going concern. Volatilitas
nilai perusahaan sebagai variabel antara, diproksikan dengan volatilitas return
saham. Penelitian menggunakan 13 perusahaan publik non-keuangan di Indonesia
yang menggunakan instrumen derivatif selama 2001 hingga 2008. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa dari beberapa eksposur risiko instrumen derivatif, yaitu
eksposur risiko kebangkrutan, likuiditas, fluktuasi tingkat laba, risiko pelanggaran
debt covenant, dan pergerakan nilai tukar mata uang asing, hanya eksposur risiko
pelanggaran debt covenant dan pergerakan nilai tukar mata uang asing yang
berpengaruh positif signifikan terhadap opini audit going concern melalui
volatilitas nilai perusahaan di Indonesia.
Noverio (2011) menganalisis pengaruh kualitas auditor, likuiditas,
profitabilitas, dan solvabilitas terhadap opini audit going concern pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kualitas auditor dan solvabilitas berpengaruh signifikan
terhadap opini audit going concern, sedangkan likuiditas dan profitabilitas tidak
berpengaruh signifikan.
2.5. Pengembangan Hipotesis
2.5.1 Eksposur Risiko Tingkat Suku Bunga
Risiko yang sering dihadapi perusahaan terhadap perubahan suku bunga
pasar terutama terkait dengan arus kas untuk pembayaran bunga atas hutang
jangka panjang dengan suku bunga mengambang. Biaya modal (cost of capital)
merupakan biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan untuk mendapatkan
pendanaan eksternal. Salah satu upaya perusahaan untuk mendapatkan dana yaitu
pendanaan dengan utang, dimana biaya modal yang harus ditanggung berupa
biaya bunga yang berkaitan dengan peminjaman uang.
Dalam suatu penyusunan anggaran modal, biaya modal dapat dianggap
sebagai suatu tingkat diskonto yang digunakan untuk mengevaluasi proyek-proyek
jangka panjang. Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan dana,
semakin sedikit proyek jangka panjang yang menguntungkan bagi perusahaan
untuk dilakukan. Suatu proyek yang memberikan ekonomi bagi perusahaan
dengan biaya modal yang rendah akan menjadi tidak menguntungkan bagi
perusahaan dengan biaya modal yang tinggi.
Salah satu faktor penting dalam menentukan biaya modal suatu perusahaan
adalah risiko yang berkaitan dengan perusahaan. Untuk suatu perusahaan yang
sangat berisiko, para peminjam dan investor akan meminta suatu tingkat
pengembalian yang cukup tinggi sehingga memungkinkan mereka untuk
memberikan pinjaman itu. Oleh karena itu, semakin tinggi risiko yang berkaitan
dengan perusahaan, akan semakin tinggi pula tingkat biaya modal.
Aktivitas lindung nilai dapat mengurangi variabilitas nilai perusahaan di
masa depan, sehingga menurunkan probabilitas timbulnya biaya kebangkrutan
akibat meningkatnya biaya modal karena perubahan tingkat suku bunga
(Geraldina dan Rossieta, 2011 dan Utomo, 2000). Sebaliknya, risiko akibat
tingkat suku bunga akan meningkat bila penggunaan instrumen derivatif
digunakan untuk tujuan trading karena semakin tinggi biaya modal, akan semakin
besar kemungkinan sebuah perusahaan akan benar-benar bangkrut.
Biaya modal yang tinggi akan meningkatkan peluang risiko kebangkrutan
perusahaan semakin besar, sehingga meningkatkan opini audit going concern.
Berdasarkan argumentasi di atas, maka disusun hipotesis (H1) berikut ini:
H1 : Biaya modal berpengaruh positif terhadap penerimaan opini audit going
concern pada perusahaan yang melakukan transaksi derivatif.
2.5.2 Eksposur Risiko Likuiditas
Likuiditas mengacu pada ketersediaan sumber daya (kemampuan)
perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang jatuh tempo
secara tepat waktu. Likuiditas suatu perusahaan sering ditunjukkan oleh current
ratio. Makin rendah nilai current ratio menunjukkan semakin rendah kemampuan
perusahaan dalam menutupi kewajiban jangka pendeknya. Apabila perusahaan
tidak mampu memenuhi klaim kreditor jangka pendek maka hal tersebut dapat
memengaruhi kredibilitas perusahaan dan dapat dianggap sebagai suatu sinyal
bahwa perusahaan sedang menghadapi masalah yang dapat mengganggu
kelangsungan usahanya.
Manajer sebagai agen dari pemegang saham berhadapan dengan masalah
konflik kepentingan antara pemegang saham dan bondholders (Berkman dan
Bradbury, 1996; Geraldina dan Rossieta, 2011). Proyek NPV yang bernilai positif
tidak selalu dapat direalisasikan oleh manajer ketika terdapat masalah likuiditas
jangka pendek. Hal tersebut karena bondholders selalu memperoleh bagian tetap
hasil investasinya berupa bunga, sedangkan pemegang saham belum tentu
memperoleh sisanya. Hedging dapat memitigasi konflik antara pemegang saham
dan debtholders dengan mengurangi fluktuasi arus kas (menjaga stabilitas arus
kas), mengurangi risiko default, dan menciptakan arus kas masa depan bagi
pemegang saham, sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Berkman dan
Bradbury, 1996; Geraldina dan Rossieta, 2011).
Oleh karena itu, likuiditas yang tinggi mendorong suatu perusahaan untuk
mengurangi penggunaan instrumen derivatif dengan maksud lindung nilai,
sehingga meningkatkan potensi arus kas masa depan dan sebaliknya. Berdasarkan
argumen tersebut maka disusun hipotesis (H2) sebagai berikut:
H2 : Likuiditas jangka pendek perusahaan berpengaruh negatif terhadap
penerimaan opini audit going concern pada perusahaan yang melakukan
transaksi derivatif.
2.5.3 Eksposur Risiko Kredit
Kegagalan dalam memenuhi kewajiban hutang dan atau bunga merupakan
indikator going concern yang banyak digunakan oleh auditor dalam menilai
kelangsungan hidup suatu perusahaan. Dapat dikatakan bahwa status hutang
perusahaan merupakan faktor pertama yang akan diperiksa oleh auditor untuk
mengukur kesehatan keuangan perusahaan. Ketika jumlah hutang perusahaan
sudah sangat besar, maka aliran kas perusahaan tentunya banyak dialokasikan
untuk menutupi hutangnya, sehingga akan mengganggu kelangsungan operasi
perusahaan. Apabila hutang ini tidak mampu dilunasi, maka kreditor akan
memberikan status default. Status default dapat meningkatkan kemungkinan
auditor mengeluarkan laporan going concern. Seperti yang tercantum dalam PSA
30, indikator going concern yang banyak digunakan auditor dalam memberikan
keputusan opini audit adalah kegagalan dalam memenuhi kewajiban hutangnya
(default).
Kebijakan manajer dapat dibatasi melalui derivatif untuk tujuan lindung
nilai dengan cara menjaga varian angka akuntansi untuk menghindari risiko
default atas pelanggaran debt covenant. Contohnya, setiap proyek dengan NPV
positif akan dipertimbangkan oleh manjer dengan cara memperhatikan dampaknya
terhadap stabilitas arus kas dan nilai perusahaan (Geraldina dan Rossieta, 2011).
Dengan demikian, instrumen derivatif dapat digunakan untuk mengakomodasi
kepentingan manajer untuk menghindari debt covenant dengan menjaga risiko
fluktuasi laba, sehingga menurunkan probabilitas penerimaan opini audit going
concern, dan sebaliknya. Berdasarkan argumen tersebut maka diajukan hipotesis
(H3) sebagai berikut:
H3 : Besarnya tingkat utang berpengaruh positif terhadap penerimaan opini audit
going concern pada perusahaan yang melakukan transaksi derivatif.
2.5.4 Eksposur Risiko Nilai Tukar Mata Uang Asing
Perusahaan yang memiliki bisnis dalam lingkup global tidak terlepas dari
risiko pergerakan nilai tukar mata uang asing. Apabila perusahaan tidak memiliki
aset dalam mata uang asing yang cukup untuk menutupi liabilitas dalam mata
uang asing (net open position yang memadai), maka pergerakan tukar mata uang
asing ini akan meningkatkan risiko default perusahaan. Oleh karena itu,
perusahaan yang terlibat dalam bisnis global akan lebih berisiko terhadap
perubahan nilai mata uang asing dibandingkan dengan perusahaan domestik murni
(Geraldina dan Rossieta, 2011).
Eksposur risiko yang berasal dari pergerakan nilai tukar mata uang asing
dapat dikurangi dengan menggunakan instrumen derivatif untuk tujuan lindung
nilai, sehingga meningkatkan nilai perusahaan (Berkman dan Bradbury, 1996).
Semakin besar net open position perusahaan, maka semakin besar risiko
pergerakan nilai tukar mata uang sehingga meningkatkan penerimaan opini audit
going concern. Berdasarkan argumen di atas, disusun hipotesis (H4) sebagai
berikut:
H4 : Besarnya net open position berpengaruh positif terhadap penerimaan opini
audit going concern pada perusahaan yang melakukan transaksi derivatif.
3. Metode Penelitian
3.1. Data dan Sampel Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Seluruh
data bersumber dari laporan keuangan auditan perusahaan publik selain perbankan
dan lembaga keuangan tahun 2007 sampai tahun 2010 yang telah dipublikasi
secara lengkap di BEI, serta data-data perusahaan di ICMD. Seluruh sumber data
tersebut diperoleh melalui akses langsung ke www.idx.co.id dan Indonesian
Capital Market Directory (ICMD).
Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive
sampling berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1. Perusahaan publik yang terdaftar di BEI selama periode tahun 2007 sampai
tahun 2010 secara berturut-turut, kecuali yang bergerak pada industri keuangan
dan perbankan, karena perusahaan di sektor keuangan mempunyai kecenderungan
untuk menggunakan instrumen derivatif sebagai sarana berspekulasi mencari
keuntungan dan bukan melakukan lindung nilai. Untuk menghilangkan bias hasil
penelitian maka penelitian kali ini hanya menyelidiki instrumen derivatif dalam
fungsi hedging.
2. Berturut-turut melaporkan laporan keuangannya pada Bursa Efek Indonesia
selama periode tahun 2007 sampai 2010.
3. Perusahaan menggunakan instrumen derivatif, dengan ditunjukkan oleh
adanya aset dan kewajiban instrumen derivatif yang dilaporkan oleh perusahaan
dalam laporan keuangan tahun berjalan.
3.2. Definisi dan Operasionalisasi Variabel Penelitian
a. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam model penelitian ini adalah opini audit going
concern. Opini audit going concern dalam penelitian ini berupa variabel dummy,
dimana kategori 1 untuk perusahaan yang menerima opini audit going concern
dan 0 untuk yang tidak menerima opini audit going concern. Geraldina dan
Rossieta (2011) menyatakan bahwa opini audit going concern yang diberikan
auditor dapat berbentuk pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf
penjelas berkaitan dengan kelangsungan hidup entitas atas penekanan suatu hal,
pendapat wajar dengan pengecualian, pendapat tidak wajar, atau tidak
memberikan pendapat.
b. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini adalah:
1 . Biaya Modal (Cost)
Biaya modal merupakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan akibat
memperoleh sumber dana berupa pinjaman atau obligasi. Biaya modal
diukur dengan rasio beban bunga terhadap total utang. (Stice, 2009)
Cost = Beban Bunga
Total Utang
2. Likuiditas
Current Ratio (rasio lancar) merupakan proksi yang akurat untuk mengukur
risiko likuiditas jangka pendek sebagai dampak penggunaan instrumen derivatif
dalam rangka mengatasi risiko masalah keagenan (underinvestment problem).
Variabel ini diukur dengan rasio aset lancar terhadap liabilitas lancar periode
berjalan. (Stice, 2009; Geraldina dan Rossieta, 2011)
CR= Aset Lancar
Utang Lancar
3. Tingkat utang
Tingkat utang (Debt to equity ratio - DER) merupakan proksi untuk
mengukur eksposur risiko pelanggaran debt covenant pada perusahaan yang
menggunakan instrumen derivatif (Geraldina dan Rossieta, 2011). DER diukur
dengan rasio total utang dibagi dengan total ekuitas.
DER = Total Utang
Total Ekuitas
4. Net Open Position
Net open position absolut (NOP) merupakan proksi untuk mengukur risiko
pergerakan nilai tukar mata uang asing akibat instrumen atau kontrak dengan
pihak luar negeri. Net open position (NOP) merupakan posisi bersih keuangan
perusahaan dalam bentuk mata uang asing untuk mengelola eksposur risiko
pergerakan nilai tukar mata uang asing. Variabel ini diukur dengan proporsi
absolut selisih aset dan liabilitas dalam mata uang asing terhadap total nilai buku
ekuitas perusahaan. (Geraldina dan Rossieta, 2011)
NOP = Abs(Aset – Liabilitas) (dalam mata uang asing)
Ekuitas Perusahaan
4. Analisis Hasil Uji Statistik dan Interpretasi Hasil Pembahasan
Berdasarkan kriteria sampel dan prosedur penyampelan yang telah
dilakukan 18 perusahaan yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini dengam
72 sampel dalam tahun pengamatan. Data yang diperoleh dalam penelitian
mengindikasikan hal-hal sebagai berikut.
1. Dari 72 sampel perusahaan, terdapat sebesar 33% atau 24 perusahaan yang
mendapatkan opini audit going concern.
2. Sebagian besar dari 24 perusahaan yang mendapat opini audit going concern
tersebut, yaitu sebesar 83%, menerima laporan auditor independen yang berisi
pernyataan wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan mengenai
kemampuan kesatuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
3. Dan sebesar sebesar 4% menerima laporan auditor independen yang berisi
pendapat wajar dengan pengecualian.
4. Sedangkan, sisanya sebesar 13% dari seluruh perusahaan yang mendapatkan
opini audit going concern menerima laporan auditor independen yang berisi
pernyataan tidak memberikan pendapat.
4.1. Analisis Statistik Deskriptif
Hasil statistik deskriptif pada Tabel 4.1 menunjukkan nilai rata-rata dan
deviasi standar masing-masing variabel, baik variabel dependen maupun variabel
independen.
1. Nilai rata-rata opini audit going concern (Opini_Audit) dari seluruh
perusahaan sampel adalah 0,33 dengan standar deviasi sebesar 0,475. Hal ini
menunjukkan bahwa dari 72 perusahaan sampel, hanya 24 perusahaan yang
memperoleh opini audit going concern, dan sisanya menerima opini audit non
going concern/ wajar tanpa pengecualian (unqualified).
2. Nilai biaya modal (Cost) yang diukur menggunakan rasio beban bunga
terhadap total utang memiliki nilai rata-rata sebesar 0,0386532 dengan standar
deviasi sebesar 0,02668401. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa variabel biaya
modal memiliki penyebaran data yang baik karena nilai standar deviasinya lebih
kecil dari nilai rata-ratanya. Nilai tertinggi sebesar 0,10818 dimiliki oleh PT
Mobile 8 Telecom Tbk pada tahun 2010 (menerima opini audit going concern),
sedangkan nilai terendah sebesar 0.00256 dimiliki oleh PT Unilever Indonesia
Tbk pada tahun 2009 (menerima opini audit non going concern).
3. Nilai rata-rata current ratio dari 72 sampel yang diteliti adalah sebesar
1,58256. Hal ini menunjukkan bahwa likuiditas perusahaan sampel secara rata-
rata baik. Angka rata-rata current ratio tersebut menunjukkan bahwa perusahaan
sampel memiliki aktiva lancar di atas kewajiban lancar sehingga sampel
diharapkan akan mampu untuk menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya yang
jatuh tempo. Dilihat dari besarnya standar deviasi yaitu sebesar 1,38947,
mengindikasikan bahwa variabel current ratio memiliki penyebaran data yang
baik karena nilai standar deviasinya lebih kecil dari nilai rata-ratanya. Nilai
tertinggi sebesar 8,01653 dimiliki oleh PT Aneka Tambang (Persero) Tbk pada
tahun 2008 (menerima opini audit non going concern) dari nilai aset lancar
Rp5.819.531.944.000 dan utang lancar Rp725.941.574.000, sedangkan nilai
terendah sebesar 0,17102 dimiliki oleh PT Mitra International Resources Tbk
pada tahun 2010 (menerima opini audit going concern) dari nilai aset lancar
Rp1.530.347.791.998 dan utang lancar Rp8.948.107.812.410.
4. Nilai tingkat utang yang dihitung dengan rasio utang terhadap ekuitas
(DER) menunjukkan nilai rata-rata sebesar 3,02463 dengan nilai standar deviasi
sebesar 4,26444156. Dengan nilai standar deviasi yang lebih besar dari nilai rata-
rata, mengindikasikan bahwa variabel ini memiliki penyebaran data yang kurang
baik. Nilai terendah tingkat utang sebesar 0,21452 berasal dari PT Aneka
Tambang (Persero) Tbk pada tahun 2009 (menerima opini audit non going
concern), sedangkan nilai tertinggi sebesar 27,03928 berasal dari PT Indomobil
Sukses Internasional Tbk pada tahun 2007 (menerima opini audit going concern).
5. Nilai net open position menunjukkan perbandingan nilai absolut aset bersih
dalam mata uang asing dengan total ekuitas perusahaan. Nilai rata-rata NOP dari
72 sampel adalah sebesar 1,1169 dengan standar deviasi sebesar 1,80549. Nilai
tertinggi 10,62 dimiliki oleh PT Bayan Resources Tbk pada tahun 2007
(menerima opini audit going concern), sedangkan nilai terendah sebesar 0,01
dimiliki oleh PT Indomobil Sukses Internasional Tbk pada tahun 2010 (menerima
opini audit non going concern).
4.2. Hasil Uji Model Penelitian
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan model regresi
logistik. Hasil uji kelayakan model menggunakan Hosmer and Lemeshow’s
Goodness of Fit Test dan diperoleh nilai signifikansi Chi-Square di atas 5%
(0,799>0,05), dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa model regresi logistik
yang digunakan telah memenuhi kecukupan data (Fit).
Uji model Fit ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai antara -2 log
likehood pada awal (block number= 0) dengan nilai -2 log likehood pada akhir
(block number = 1). Adanya pengurangan nilai -2 LL awal (initial -2 LL function)
yaitu sebesar 91,658 menjadi 68,317 pada -2 LL akhir mengartikan bahwa model
tersebut fit dengan data (Ghozali, 2005). Hal tersebut karena adanya
penambahan-penambahan variabel bebas yaitu Cost, CR, DER, dan NOP ke
dalam model penelitian tersebut akan memperbaiki model fit penelitian ini.
Uji validitas model dilihat dari nilai Negelkerke R. Square. Berdasarkan
hasil estimasi, nilai Negelkerke R. Square adalah sebesar 38,5%. Sehingga
disimpulkan variabilitas variabel bebas dapat menjelaskan variabel terikat sebesar
38,5%, sedangkan sisanya sebesar 61,5% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di
luar model.
4.3. Pembahasan Hasil Penelitian
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini untuk menguji pengaruh variabel-
variabel bebas yaitu biaya modal, likuiditas, tingkat utang, dan net open position
terhadap penerimaan opini audit going concern dengan menggunakan hasil uji
regresi logistik yang ditunjukkan dalam variables in the equation. Pengujian
hipotesis dengan regresi logistik cukup dengan melihat Variables in the Equation,
pada kolom Significant dibandingkan dengan tingkat kealphaan 0.05 (5%).
Apabila tingkat signifikansi < 0.05, maka Ha diterima. Tabel 4.5 menunjukkan
hasil pengujian dengan regresi logistik. Dari pengujian persamaan regresi logistik
tersebut maka diperoleh model regresi sebagai berikut :
Ln GC = -3,055 - 0.083 Cost + 0.695 CR + 0,608 DER – 0,249 NOP
1 – GC
Keterangan:
Ln GC : Probabilitas mendapatkan opini audit going concern
1-GC
Cost : Biaya modal
CR : Current Ratio
DER : Debt to Equity Ratio
NOP : Net Open Position
Konstanta sebesar -3,055 mempunyai arti bahwa dengan tidak melakukan
perhitungan nilai biaya modal (Cost), likuiditas (CR), tingkat utang (DER), dan
net open position (NOP) maka penerimaan terhadap opini audit going concern
sebesar -3,055. Variabel biaya modal (Cost), likuiditas (CR), tingkat utang (DER),
dan net open position (NOP) memiliki koefisien masing-masing sebesar –0,083;
0,695; 0,608; dan –0,249. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap
kenaikan 1 unit Cost dan NOP akan mempengaruhi penurunan penerimaan opini
audit going concern sebesar 0,083 dan 0,249. Sedangkan setiap kenaikan 1 unit
CR dan DER akan mempengaruhi kenaikan penerimaan opini audit going concern
sebesar 0,695 dan 0,608, begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan hasil pengujian dengan regresi logistik, maka keempat
hipotesis yang diajukan dapat diinterprestasikan sebagai berikut:
1. Pengujian Hipotesis Pertama (H1)
Hasil pengujian regresi logistik menunjukkan bahwa variabel biaya modal
(Cost) yang dihitung dengan rasio beban bunga terhadap total utang memiliki
koefisien regresi negatif sebesar -0,083 dengan tingkat signifikansi 0,973 yang
lebih besar dari α 5% (0,05). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
biaya modal tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern pada
perusahaan yang melakukan transaksi derivatif atau dengan kata lain H1 ditolak.
Hasil tersebut tidak mendukung hipotesis pertama penelitian ini yang menyatakan
terdapat pengaruh positif biaya modal terhadap opini audit going concern. Hal
tersebut dapat dikarenakan pada sebagian sampel penelitian dengan biaya modal
yang tinggi memiliki nilai aset yang besar dan nilai current ratio yang tinggi,
sehingga menjadi pertimbangan kembali bagi auditor untuk menerbitkan opini
audit going concern.
2. Pengujian Hipotesis Kedua (H2)
Hasil pengujian menunjukkan bahwa variabel likuiditas yang dihitung
menggunakan current ratio dengan cara membagi total aset lancar dengan total
utang lancar mempunyai koefisien regresi positif sebesar 0,695 dengan
signifikansi 0,085 lebih besar dari α 5% (0,05). Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa likuiditas tidak berpengaruh terhadap opini audit going
concern pada perusahaan yang melakukan transaksi derivatif atau dengan kata lain
H2 ditolak.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa auditor dalam menerbitkan opini
audit going concern tidak hanya mempertimbangkan kemampuan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya, tetapi lebih melihat pada
kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya. Hal tersebut
tidak mendukung hipotesis kedua dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Widyantari (2011), Noverio (2011), Geraldina dan
Rossieta (2011), dan Prayitno (2010) yang menunjukkan bahwa likuiditas tidak
berpengaruh pada pemberian opini audit going concern. Hal ini berarti besar
kecilnya current ratio, belum cukup menentukan apakah perusahaan termasuk
opini audit going concern atau opini audit non going concern.
3. Pengujian Hipotesis Ketiga (H3)
Hasil pengujian menunjukkan bahwa variabel debt covenant yang dihitung
dengan menggunakan rasio utang terhadap ekuitas (DER) mempunyai koefisien
regresi positif sebesar 0,608 dengan signifikansi 0,020 lebih kecil dari α 5%.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa debt covenant berpengaruh
terhadap opini audit going concern pada perusahaan yang melakukan transaksi
derivatif atau dengan kata lain H3 diterima, semakin besar debt covenant
perusahaan maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini
audit going concern.
Apabila utang tidak mampu dilunasi, maka kreditor akan memberikan status
default kepada perusahaan. Auditor dalam memberikan opini audit going concern
akan mempertimbangkan status default tersebut seperti yang tercantum dalam
PSA 30. Kesulitan dalam mentaati persetujuan utang, fakta-fakta yang lalai atau
pelanggaran akan memperjelas masalah going concern (Januarti, 2009). Pengaruh
signifikan tingkat utang dalam penelitian ini konsisten dengan penelitian yang
telah dilakukan Geraldina dan Rossieta (2011) dan Januarti (2009) yang juga
secara empiris membuktikan adanya pengaruh signifikan positif antara tingkat
utang terhadap opini audit going concern.
4. Pengujian Hipotesis Keempat (H4)
Hasil pengujian menunjukkan bahwa variabel risiko nilai tukar mata uang
asing yang dihitung menggunakan net open position (NOP) dengan cara membagi
nilai absolut aset bersih mata uang asing dengan total ekuitas mempunyai tingkat
signifikansi lebih besar dari α 5% (0,05), yaitu sebesar 0,502. Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa eksposur risiko nilai tukar mata uang asing
tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern pada perusahaan yang
melakukan transaksi derivatif atau dengan kata lain H4 ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa auditor dalam menerbitkan opini audit going
concern tidak hanya mempertimbangkan risiko default atas utang dalam mata
uang asing saja, tetapi lebih melihat pada kemampuan perusahaan untuk
membayar seluruh kewajibannya. Hal tersebut juga dikarenakan adanya faktor-
faktor lain yang membuat auditor mempertimbangkan kembali untuk menerbitkan
opini audit going concern.
Berdasarkan uraian di atas dan dengan memperhatikan kerangka berpikir
serta model penelitian, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model
regresi logistik. Hasil regresi logistik pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa besarnya
nilai statistik Hosmer and Lemeshow Goodness of Fitness sebesar 4.605 dan
degree of freedom=8 dengan probabilitas signifikansi 0,799 (0,799>0,05). Dengan
demikian Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model regresi
logistik yang digunakan telah memenuhi kecukupan data (Fit).
Tabel 4.5 menginformasikan hasil pengujian dengan model regresi logistik.
Cost, CR, dan NOP signifikansinya lebih besar dari 5%. Hal ini memberi makna
bahwa hipotesis ke-1, ke-2, dan ke-4 dalam penelitian ini tidak dapat diterima.
DER pada Tabel 4.5 mempunyai nilai wald sebesar 5,422; df sebesar 1;
signifikansi sebesar 0,020. Nilai signifikansi ini lebih kecil dari 0,05 (5%), dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa tingkat utang (DER) mempengaruhi opini audit
going concern. Dengan demikian suatu perusahaan dengan tingkat utang yang
tinggi, yang merupakan suatu sinyal yang kurang baik, akan cenderung menerima
opini audit going concern dari auditor.
Dari data penelitian yang diperoleh, dapat diketahui bahwa sebagian besar
instrumen derivatif memang digunakan perusahaan untuk tujuan mengelola risiko
perubahan nilai tukar mata uang asing dan suku bunga yang berasal dari hutang
jangka panjang dalam mata uang asing. Debt To Equity Ratio (DER)
menggambarkan posisi antara kewajiban yang dimiliki dan seluruh kekayaan yang
dimiliki. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang yang
diukur dalam prosentase. Semakin tinggi hasil prosentasenya, semakin besar
risiko keuangan bagi kreditur maupun pemegang saham. Semakin besarnya
hutang jangka panjang suatu perusahaan, maka perusahaan tersebut akan
cenderung mengalami kesulitan keuangan.
Selain dapat mengganggu kegiatan operasional perusahaan akibat
kesulitan keuangan, tingginya DER juga menunjukkan bahwa risiko distribusi
laba usaha perusahaan akan semakin besar terserap untuk melunasi kewajiban
perusahaan. Rasio ini menunjukkan perbandingan antara klaim keuangan jangka
panjang yang digunakan untuk mendanai kesempatan investasi jangka panjang
dengan pengembalian (rate of return) jangka panjang pula (Stice, 2009).
Tingginya tingkat DER sebagai motif perusahaan melakukan lindung nilai dengan
derivatif mencerminkan adanya tingkat risiko keuangan yang ingin dihindari
perusahaan. Tingginya risiko ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa
perusahaan tidak bisa melunasi kewajiban atau bunganya. Risiko perusahaan yang
tinggi mengidentifikasi bahwa perusahaan merupakan berita buruk yang akan
mempengaruhi kondisi perusahaan di mata stakeholder. Hal-hal tersebut di atas
dapat mendorong auditor untuk meningkatkan kewaspadaan bahwa laporan
keuangan kurang dapat dipercaya sehingga perlu diaudit dengan lebih seksama.
Hal inilah yang memicu keraguan auditor mengenai kelangsungan usaha
perusahaan dan mengeluarkan opini audit going concern.
5. Kesimpulan dan Keterbatasan
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini pada dasarnya menjelaskan pengaruh eksposur risiko terhadap
opini audit going concern. Hasil pengujian regresi logistik secara empiris
menunjukkan bahwa eksposur risiko yang dikelola oleh instrumen derivatif,
berupa risiko kredit berpengaruh positif signifikan terhadap opini audit going
concern perusahaan di Indonesia. Dengan demikian suatu perusahaan dengan
tingkat utang yang tinggi, yang merupakan suatu sinyal yang kurang baik, akan
cenderung menerima opini audit going concern dari auditor.
5.2. Implikasi dan Keterbatasan
Hasil penelitian ini berimplikasi bahwa penggunaan instrumen derivatif
untuk tujuan lindung nilai terhadap utang (kredit) seharusnya dapat dikelola
seefektif mungkin oleh manajemen perusahaan agar mencapai tujuan lindung nilai
sebagaimana mestinya sehingga dapat mengurangi eksposur risiko perusahaan dan
terhindar dari risiko kebangkrutan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap
publik, sudah menjadi suatu keharusan bagi manajemen untuk mengungkapkan
informasi mengenai risiko perusahaan terkait transaksi derivatif dalam laporan
tahunannya. Hal tersebut dapat mendorong terciptanya upaya pencegahan dini
ketika keberlangsungan hidup perusahaan mulai terganggu.
Pihak auditor sebagai pihak independen yang berkewajiban menilai
kewajaran informasi keuangan perusahaan (client) pun sebaiknya dapat lebih
seksama dalam memperhitungkan risiko penggunaan instrumen derivatif
perusahaan. Auditor dituntut untuk dapat menelusuri sejauh mana pengelolaan
eksposur risiko perusahaan, terutama risiko kredit, dengan instrumen derivatif
diterapkan oleh perusahaan. Hal ini dikarenakan ketika derivatif dikelola dengan
tidak efektif, ia justru akan meningkatkan eksposur risiko seperti dampak
penggunaan derivatif untuk spekulasi. Tingginya tingkat utang sebagai motif
perusahaan melakukan lindung nilai dengan derivatif mencerminkan adanya
tingkat risiko keuangan yang ingin dihindari perusahaan dan menunjukkan adanya
kemungkinan bahwa perusahaan tidak bisa melunasi kewajiban atau bunganya.
Hal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan auditor ketika
mengeluarkan opini auditnya.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini hanya menggunakan empat variabel eksposur risiko instrumen
derivatif, yaitu biaya modal, likuiditas, tingkat utang, dan net open position.
2. Periode pengamatan hanya empat tahun yaitu tahun 2007, 2008, 2009, dan
2010 sehingga belum bisa melihat kecenderungan trend penerbitan opini audit
going concern oleh auditor dalam jangka panjang.
3. Jumlah sampel yang kurang banyak dapat menyebabkan kurang akuratnya
hasil penelitian ini.
Melihat keterbatasan penelitian sebagaimana dijelaskan di atas, penulis
menyadari bahwa penelitian ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengajukan saran-saran perbaikan untuk penelitian-penelitian yang akan
dilakukan selanjutnya mengenai pengaruh eksposur risiko intrumen derivatif
terhadap opini audit going concern, antara lain:
1. Periode sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebaiknya meliputi
periode yang lebih lama agar penelitian dapat mengikutsertakan sampel yang lebih
banyak sehingga hasil penelitian dapat lebih mampu menangkap gambaran
sebenarnya mengenai pengaruh eksposur risiko instrumen derivatif terhadap opini
audit going concern.
2. Dalam penelitian selanjutnya, sebaiknya ditambahkan variabel-variabel lain
yang memiliki pengaruh terhadap opini audit going concern atau mengubah
proksi untuk mengukur variabel eksposur risiko instrumen derivatif. Misalnya
menganti proksi Current Ratio dengan Devidend Payout Ratio, menambahkan
variabel kontrol seperti kondisi keuangan perusahaan, kualitas auditor, dan
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Agus Zainul. 2010. Mengenal Pasti Aktiva Derivatif. Bahan Ajar,
Modul 13 Aktiva Derivatif. Pusat Pengembangan Bahan Ajar- UMB.
Bartram, Söhnke M. & Brown, Gregory W. & Conrad, Jennifer, 2011. The Effects
of Derivatives on Firm Risk and Value. Journal of Financial and
Quantitative Analysis, Cambridge University Press, vol. 46(04), pages 967-
999.
Berkman, H., & Bradbury. 1996. Empirical Evidence on The Corporate
Use of Derivatives. Financial Management, 5-13.
Elder, J. Randal, Mark S. Beasley, Alvin A. Arens, dan Amir Abadi Jusuf.
2011. Jasa Audit dan Assurance: Pendekatan Terpadu (Adaptasi
Indonesia). Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Fanny, M., & Saputra, S. 2005. Opini Audit Going Concern: Kajian
Berdasarkan Model Prediksi Kebangrutan, Pertumbuhan Perusahaan,
dan Reputasi Kantor Akuntan Publik (Studi pada Emiten Bursa Efek
Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo.
Geraldina, Ira & Rossieta, Hilda. 2011. Eksposur Instrumen Derivatif, Volatilitas
Nilai Perusahaan, dan Opini Audit Going Concern. Simposium Nasional
Akuntansi XIV. Aceh.
Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Institut Akuntan Publik Indonesia. 2011. Standar Profesional Akuntan Publik.
Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Irfani, Agus S. 1999. Bagaimana Mengendalikan Risiko dengan Instrumen
Derivatif?. Panutan Bisnis Volume 2, ISSN 1410-7805.
Januarti, Indira. 2009. Analisis Pengaruh Faktor Perusahaan, Kualitas Auditor,
Kepemilikan Perusahaan Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern
(Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia).
Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang.
Nahdi, Muhamad. 2008. Perdagangan Derivatif: Menguntungkan atau Merugikan?
Artikel: Perdagangan Derivatif. Diakses tanggal 11 Maret 2012 melalui
http://muhamadnahdi.blogspot.com/2008/01/artikel-perdagangan-
derivatif.html
Noverio, Rezkhy. 2011. Analisis Pengaruh Kualitas Auditor, Likuiditas,
Profitabilitas dan Solvabilitas Terhadap Opini Audit Going Concern Pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia. Skripsi,
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang.
Pambudhi, Nurcahyo Agung. 2011. The Effect of Bankruptcy Prediction of Model
Analysis, Financial Leverage, and Opinions in The Previous Year Audit
Revenue Audit to Opinion Going Concern. Skripsi. Universitas Gunadarma.
Prayitno. Mokhamad Yogi. 2010. Analisis Faktor – Faktor yang Dapat
Mempengaruhi Auditor dalam Pemberian Opini Audit Going Concern.
Skripsi, Fakultas Ekonomi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.
Yogyakarta.
Reynolds, Bob. 2000. Memahami Derivatif. Penerbit Interaksa. Batam.
Santosa, Arga Fajar & Wedari, Linda Kusumaning. 2007.Analisis Faktor-Faktor
yang mempengaruhi kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going
Concern. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia Volume 11 No. 2: 141-
156.
Setyarno, Eko Budi, Januarti Indira, & Faisal. 2006. Pengaruh Kualitas Audit,
Kondisi Keuangan Perusahaan, Opini Audit Tahun Sebelumnya,
Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Opini Audit Going Concern. Simposium
Nasional Akuntansi IX. Padang.
Stice, Earl K., Stice, James D., Skousen K. Fred. 2009. Akuntansi Keuangan.
Buku 2 Edisi 16. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Utomo, Lisa Linawati. 2000. Instrumen Derivatif: Pengenalan dalam Strategi
Manajemen Risiko Perusahaan. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol.2, No. 1,
Mei 2000: 53-68.
Venuti, Elizabeth K 2004. The Going-Concern Assumption Revisited: Assessing a
Company's Future Viability, CPA JOURNAL ONLINE, diakses 22 Maret
2012 http://www.nysscpa.org/cpajournal/2004/504/essentials/p40.htm.
Widyantari, Ayu Putri. 2011. Opini Audit Going Concern dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi: Studi pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek
Indonesia. Tesis. Universitas Udayana. Denpasar
Zhang, H. (2009). Effect of Derivative Accounting Rules on Corporate Risk
Management Behavior. Journal of Accounting and Economics , 244–264.
LAMPIRAN 1
Tabel 2.1
KERANGKA PENELITIAN
LAMPIRAN 2
Tabel 3.1
Pemilihan Sampel Penelitian
No. Kriteria Jumlah Akumulasi
1 Jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI periode
2007-2010 384 384
2 Bergerak pada industri keuangan, perbankan, dan
sekuritas 164 220
3 Tidak terindikasi menggunakan instrumen derivatif 191 29
4 Terindikasi menggunakan derivatif untuk spekulatif 11 18
5 Perusahaan yang memenuhi kriteria pemilihan
sampel 18 perusahaan
Jumlah tahun pengamatan 4 tahun
Total sampel penelitian 72 perusahaan
Tabel 3.2
Daftar Sampel Perusahaan Periode Tahun 2007-2010
No
Kode
Perusaha
an
Nama Perusahaan
1 ANTM PT Aneka Tambang
(Persero) Tbk
2 APOL PT Arpeni Pratama Ocean
Line Tbk
3 ASII PT Astra International Tbk
4 AUTO PT Astra Otoparts Tbk
5 BRPT PT Barito Pacific Tbk
6 BTEL PT Bakrie Telecom Tbk
7 BYAN PT Bayan Resources Tbk
8 ELTY PT Bakrieland Development Tbk
9 EXCL PT XL Axiata Tbk
No
Kode
Perusaha
an
Nama Perusahaan
10 FASW PT Fajar Surya Wisesa Tbk
11 FREN PT Mobile‐8 Telecom Tbk
12 IMAS PT Indomobil Sukses
Internasional Tbk
13 ISAT PT Indosat Tbk
14 MIRA PT Mitra International Resources
Tbk
15 PGAS PT Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk
16 SMDR PT Samudera Indonesia Tbk
17 UNVR PT Unilever Indonesia Tbk
18 VOKS PT Voksel Electric Tbk
Biaya Modal (Cost)
Likuiditas (CR)
Tingkat Utang (DER)
Net Open Position
(NOP)
OPINI AUDIT
GOING CONCERN
-
+
+
+
LAMPIRAN 3
Tabel 4.1.
Hasil Uji Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
OPINI_AUDIT 72 0 1 .33 .475
Cost 72 .00256 .10818 .0386532 .02668401
CR 72 .17102 8.01653 1.5825643E0 1.38947273
DER 72 .21452 27.03928 3.0246356E0 4.26444156
NOP 72 .01 10.62 1.1169 1.80549
Valid N (listwise) 72
Tabel 4.2
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 4.605 8 .799
Tabel 4.3
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 23.341 4 .000
Block 23.341 4 .000
Model 23.341 4 .000
Tabel 4.4
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell
R Square
Nagelkerke R
Square
1 68.317a .277 .385
Tabel 4.5
Hasil Uji Koefisien Regresi
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a
Cost -.083 2.512 .001 1 .973 .920
CR .695 .404 2.962 1 .085 2.004
DER .608 .261 5.422 1 .020 1.837
NOP -.249 .370 .452 1 .502 .780
Constant -3.055 .939 10.589 1 .001 .047
a. Variable(s) entered on step 1: COST, CR, DER, NOP.