Post on 14-Feb-2015
A. MASALAH GIZI TERKAIT DEFISIENSI ZAT GIZI MIKRONUTRIEN
Mikronutrien adalah zat gizi (nutrien) yang diperlukan oleh tubuh manusia selama
hidupnya dalam jumlah kecil untuk melaksanakan fungsi-fungsi fisiologis, tetapi tidak
dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh. Mikronutrien terdiri dari vitamin dan mineral yang
tidak dapat dibuat oleh tubuh tetapi dapat diperoleh dari makanan. Walaupun
dibutuhkan dalam jumlah kecil, tetapi berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan manusia.Kekurangan gizi mikro (micronutrient) biasanya disebut
sebagai kelaparan yang terselubung (hidden hunger). Kondisi ini juga terkait dengan
kerawanan pangan dan keragaman pangan, terutama jika makanan yang dikonsumsi
memiliki kualitas diet rendah.
B. VITAMIN MINERAL DEFICIENCY
1. Iron Deficiency Anaemia (IDA)
IDA atau di Indonesia dikenal dengan Anemia Gizi Besi (AGB) disebabkan
karena asupan zat besi/Fe dalam makanan sehari-hari tidak mencukupi kebutuhan
yang seharusnya dalam waktu yang lama. IDA menyebankan penurunan aktifitas dan
produktifitas seseorang. Pada anak usia 6 – 24 bulan, kekurangan zat besi ini dapat
mengganggu kenormalan perkembangan otak. Efek pada anak-anak antara lain
stunting, mudah sakit, kehadiran sekolah kurang, konsentrasi belajar dan memori
rendah. Kekurangan zat besi yang sangat juga bisa menyebabkan tingginya
kematian selama kehamilan maupun persalinan.
a. Prevalensi Global IDA
IDA ternyata menjadi masalah gizi tingkat dunia, karena masih banyak
Negara-negara yang prevalensi kejadian IDA-nya tinggi. Pengkajian prevalensi ini
dibedakan menurut kelompok populasi : usia sebelum sekolah, usia sekolah. Bumil,
WUS, Laki-laki dan Lansia. Secara global prevalensi IDA sebagai berikut.
Tabel 1.
Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia sebelum sekolah yaitu sebanyak
47,4% dan jumlah tertinggi terjadi pada WUS yaitu sebanyak 468 juta jiwa. Hal ini
perlu menjadi perhatian karena meskipun tidak secara langsung, masa tersebut
merupakan usia penting terkait dengan mempersiapkan “Windows of opportunity”.
Berikut ini gambaran beberapa Negara yang masih mengalami IDA.
Tabel 2. Estimasi Prevalensi Iron Deficiency pada Balita
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa prevalensi IDA di berbagai Negara cukup
tinggi, hampir semuanya diatas 20%. Dan prevalensi tertinggi di Sierra Leone, Afrika
sebesar 86%. Sedangkan untuk persebaran IDA di berbagai belahan dunia dapat
dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1. Persebaran Anemia pada Anak Usia Belum Sekolah
Negara-negara yang masuk kategori severe IDA (parah) untuk kelompok
Anak usia belum sekolah antara lain : sebagian besar Amerika Selatan, sebagian
besar Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara termasuk Indonesia dan juga Papua
Nuguenea.
Gambar 2. Persebaran Anemia pada Ibu Hamil
Negara-negara yang masuk kategori severe IDA (parah) untuk kelompok ibu
hamil antara lain : sebagian kecil Amerika Selatan, sebagian besar Afrika, Asia
Selatan, Asia Barat, Asia Tenggara termasuk Indonesia dan juga Papua Nuguenea.
Gambar 3. Persebaran Anemia pada Wanita Usia Subur (WUS)
Negara-negara yang masuk kategori severe IDA (parah) untuk kelompok
WUS antara lain : sebagian kecil Amerika Selatan, sebagian besar Afrika, Asia
Selatan, sebagian kecil Asia Tenggara dan Papua Nuguenea.
b. Prevalensi IDA di Indonesia
Menurut WHO Global Database in Vitamin A Deficiency, prevalensi estimasi
anemia pada pra-sekolah 44,5% termasuk Severe(parah), bumil 44,3% termasuk
Severe(parah), dan pada WUS 33,1% termasuk Moderate (sedang). Namun, ada
perbedaan dengan data prevalensi anemi pada bumil menurut Riskesdas 2001
(40,1%) dan menurun di Riskesdas 2007 (24,5%).
Sedangkan menurut Unicef ( DI Indonesia), prevalensi anemia pada tahun 2008
sebesar 33% pada WUS, 44% pada Bumil, dan 45% pada Usia Pra-sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian anemia di Indonesia masih sangat perlu mendapat
perhatian yang lebih.
c. Tingkat Keparahan yang Ditimbulkan
Dari data tersebut bisa dikatakan rata-rata 40%-60% populasi anak indonesia
usia 6-24 bulan beresiko gangguan perkembangan otak. Kematian tiap tahun-nya
pada wanita muda Indonesia diperkirakan 1826 orang selama kehamilan dan
persalinan. Rata-rata 20.852 bayi tiap tahunnya beresiko kematian setelah lahir
ataupun sebelum lahir. Dan terjadi penurunan produktifitas 1,1% GDP pada dewasa
usia kerja.
2. Iodine Deficiency Disorder (IDD)
a. Prevalensi Global IDD
Fenomena IDD seperti fenomena gunung es dapat dilihat pada gambar
berikut. Dari 1,6 milyar penduduk dunia yang mengalami IDD dan beresiko retardasi
mental, 655 juta jiwa mengalami goiter, 26 juta jiwa mengalami kerusakan otak, dan
pada puncaknya sekitar 6 juta jiwa mengalami kretinisme.
Gambaran persebaran IDD secara global menurut WHO Global database of
Iodine Deficiency 2004 dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Negara- Negara yang mengalami IDD kategori severe(parah) adalah
sebagian Asia selatan. Indonesia termasuk dalam kategori moderate (sedang).
b. Prevalensi IDD di Indonesi
Persebaran IDD di Indonesia menurut WHO Global database of Iodine
Deficiency 2004 seperti pada gambar di atas, menunjukkan bahwa kepulauan
Maluku dan Nusa Tenggara Timur memiliki prevalensi yang sangat tinggi (≥ 30%),
Sulawesi Tenggara dan Sumatra Barat prevalensi IDD tinggi (20-29,9%). Aceh,
Sumut, Bengkulu, Jambi, Lampung, Kalteng, Sulteng, Sulsel, dan Papua termasuk
prevalensi sedang (5-19,9%), dan selain itu masih dalam prevalensi < 5%.
c. Tingkat keparahan yang Ditimbulkan
IDD menyebabkan penurunan kapasitas mental dan potensial kerja. Pada
kehamilan, IDD dapat mengakibatkan kematian bayi, cacat fisik, atau kerusakan
parah pada otak. Rata-rata 499.070 bayi lahir di Indonesia dengan tingkat intelegensi
yang kurang dikarenakan defisiensi iodine selama kehamilan. Pada usia sekolah
manifestasi yang muncul antara lain kemampuan belajar yang rendah, ketrampilan
berbicara dan mendengar yang kurang, presentasi kehadiran kurang. Hal tersebut
juga mengakibatkan penurunan 10%-15% rata- rata IQ pointnya. Bahayanya
berbagai dampak yang ditimbulkan ini bersifat permanen.
3. Vitamin A Deficiency (VAD)
VAD dapat merusak system imun sehingga mudah terkena penyakit dan lebih
parah, hal ini juga meningkatkan rata-rata kematian balita meningkat. Estimasi
kematian anak 23.735 jiwa setiap tahunnya karena meningkatnya kejadian infeksi
yang disebabkan VAD. Rata-rata 25% anak Indonesia tumbuh dengn system imun
yang lemah, sehingga mengakibatkan tingginya frekuensi kesakitan dan
pertumbuhan yang tidak optimal.
a. Prevalensi Global VAD
Prevalensi global VAD pada anak usia < 3 tahun menurut The Micronutrient
Database Project tahun 2003 terlihat pada gambar di atas menunjukkan bahwa dari
tahun 1995 – 2000 terjadi perkembangan yang baik karena terlihat penurunan
prevalensi pada masing- masing Region meskipun sangat sedikit. Data tersebut
menggambarkan masi tingginya VAD di berbagai region. Prevalensi tertinggi terjadi
di India yaitu 58% pada tahun 2000 sedangkan prevalensi terendah terjadi di region
Amerika Tengah dan kep. Karibia yaitu sebesar 16% pada tahun yang sama.
Persebaran Night Blindness pada Anak Pra-sekolah Tahun 1995-2005
Persebaran Defisiensi Serum Retinol Pasa Usia Pra-Sekolah Tahun 1995-
2005
Persebaran Night Blindness Pada Bumil Tahun 1995-2005
Persebaran Defisiensi Serum Retinol Pada Bumil Tahun 1995-2005
b. Prevalensi VAD di Indonesia
Prevalensi VAD di Indonesia menurut WHO Global Database Vitamin A
Deficiency tahun 2005 adalah 26% pada anak dibawah 6 tahun dengan manifestasi
sub klinis.
c. Tingkat Keparahan Yang Ditimbulkan
50,1% balita usia 6-59 bulan akibat VAD sub klinis
Kematian balita akibat VAD 1,75x lebih tinggi. 1 dari 4 balita meninggal
karena VAD dan hampir terjadi 70 kematian setiap harinya.
Hamir 200.000 kematian ibu akibat VAD (3,85x lebih tinggi)
VAD menyebabkan penurunan system imun terutama pada paru-paru dan
usus.
VAD menyebabkan kebutaan dan buta senja pada penglihatan.
VAD menyebabkan kurangnya konsentrasi dan meningkatkan absensi
4. Zinc Deficiency
a. Prevalensi di Indonesia
Di Indonesia, belum diperoleh data lengkap mengenai masalah defisiensi
zinc. Akan tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa apabila di suatu masyarakat
prevalensi defisiensi zat besi (Fe) tinggi, biasanya pada masyarakat tersebut
prevalensi defisiensi zinc juga tinggi. Untuk diketahui, defisiensi zat besi (anemia
kurang besi, AKB) merupakan salah satu masalah gizi kurang di Indonesia, dengan
rata-rata prevalensi sebesar 48,86 %. Hasil sementara penelitian Puslitbang Gizi dan
Direktorat Gizi pada tahun 2006 di tujuh provinsi di Indonesia menunjukkan
prevalensi defisiensi zinc berkisar antara 7,96 sampai 44,74 %.
Studi masalah gizi mikro di 10 provinsi oleh P3GM Kemenkes pada 2006
mengungkapkan, prevalensi balita yang mengalami kekurangan zinc mencapai
sebesar 32 persen. Asupan zinc pada balita hanya mencapai 30 persen dari angka
kecukupan gizi (AKG)
b. Tingkat Keparahan Yang Ditimbulkan
Defisiensi zinc akan terjadi bila: asupan zinc tidak cukup, penyerapan zinc
oleh usus terganggu, tingginya kehilangan zinc dari tubuh, dan kebutuhan tubuh
akan zinc meningkat (misalnya pada anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui).
Tanda-tanda defisiensi zinc antara lain: pertumbuhan terhambat, rambut
rontok, diare, terhambatnya kematangan seksual dan impotensi, luka pada mata dan
kulit, serta hilangnya nafsu makan. Individu yang mudah mengalami defisiensi zinc
termasuk: bayi dan anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui, terutama ibu muda,
pasien yang memperoleh ‘total parenteral nutrition’ (intravenous feeding), individu
kurang gizi (termasuk penderita PEM), individu yang mengalami diare berat atau
diare persisten, individu yang mempunyai sindrom mal-absorpsi, individu penderita
penyakit radang lambung, individu penderita penyakit hati akibat keracunan minuman
beralkohol (akan mensekresikan lebih banyak zinc dalam urine, dan kadar zinc
dalam hatinya rendah), individu penderita anemia, manula atau lansia (berumur lebih
dari 65 tahun), serta mereka yang tergolong ‘strict vegetarians’.
Defisiensi mikronutrien zinc dapat mengganggu pertumbuhan fisik,
kemampuan mental, system imun, dan meningkatkan resiko penyakit malaria, diare
dan Infeksi pernafasan. Defisiensi zinc juga turut menyumbangkan kematian 1 juta
jiwa penduduk dunia tiap tahunnya.
C. KESIMPULAN
Di indonesia, malnutrisi mikronutrien ini menjadi masalah tersendiri karena
ketiadaan data yang valid mengenai hal itu. Padahal, diketahui jumlah anak balita
saat ini sekitar 12 persen (sekitar 28,5 juta jiwa) dari total penduduk, yang
berdasarkan Sensus Penduduk 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa. Kelompok penduduk
ini juga rentan terhadap masalah nutrisi dan kesehatan. Sementara untuk membuat
sebuah program intervensi nutrisi terkait pengembangan anak dan kekurangan gizi,
tentu diperlukan sebuah survei dasar untuk memperoleh informasi mengenai
masalah nutrisi, terutama kekurangan nutrisi mikronutrien. Sedangkan Data-data
mengenai kekurangan mikronutrien seperti vitamin A, B, D, asam folat, atau zinc di
Indonesia sangat terbatas
Perwakilan UNICEF di Indonesia, Di Indonesia, 1 dari setiap 3 anak di bawah
usia lima tahun masih menderita kekurangan gizi. Malnutrisi mikro maipun makro
adalah penyebab dari separuh kematian anak Indonesia, lanjutnya, dan bagi mereka
yang bertahan hidup, kekurangan gizi masih menyebabkan masalah jangka panjang
seperti terhambatnya perkembangan otak yang mempengaruhi kecerdasan dan
potensi belajar, pertumbuhan fisik berkurang yang pada gilirannya dapat
menyebabkan kekebalan terhadap penyakit melemah dan rendah produktivitas, dan
peningkatan risiko berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes, penyakit obesitas,
jantung dan stroke. Selain dampak pada perorangan, studi terakhir membeberkan
bahwa kekurangan gizi juga menyebabkan Indonesia kehilangan Rp 62 triliun setiap
tahun dalam produktivitas yang hilang melalui standar pendidikan yang buruk dan
kemampuan fisik berkurang. (http://www.unicef.org).