Post on 03-Feb-2018
METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH
PEREMPUAN DALAM SALAT
Oleh:
Muhammad Ilyas
NIM: 106043101312
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/ 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Muhammad Ilyas
Tempat/ Tanggal Lahir : Tembilahan, 23 Agustus 1984
NIM : 106043101312
Jurusan : Perbandingan Mazhab Fiqh
Judul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan
dalam Salat
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 Februari 2011
Muhammad Ilyas
METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH
PEREMPUAN DALAM SALAT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
Muhammad Ilyas
NIM: 106043101312
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Noryamin Aini, MA Mu’min Rauf, MA
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/ 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: “Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan dalam
Salat” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1 Maret 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah
(S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 1 Maret 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (...........................) NIP. 196511191998031002 2. Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si (...........................)
NIP. 197421132003121002
3. Pembimbing I : Drs. Noryamin Aini, MA (...........................) NIP. 196303051991031002
4. Pembimbing II : Mu’min Rauf, MA (...........................) NIP. 150281979
5. Penguji I : Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA (...........................)
NIP. 195609061982031004
6. Penguji II : Drs. Sirril Wafa, MA (...........................) NIP. 19600318199103
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan juga melimpah kepada umat Islam
seluruhnya.
Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dorongan
banyak pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Noryamin Aini, MA sebagai pembimbing yang senantiasa
memberikan saran koreksi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat tercapai.
vi
5. Bapak Mu’min Rauf, MA selaku pembimbing kedua yang senantiasa
mengarahkan skripsi ini dapat terwujud.
6. Para Dosen dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.
8. Kedua orang tua tercinta Abah (Syahrul) dan Mama (Nursanah) yang telah
memberikan dorongan baik moril maupun materiil, serta doa dan kasih
sayangnya.
9. Kepada cahaya hatiku, insan yang selalu dicintai dan mencintai, Yiyis Wulan
Purnama Sanoesi (Imut) yang tiada henti memberikan motivasi dan menyediakan
waktu luang untuk membantu proses editing hingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga doamu dan doaku dikabulkan oleh yang Maha Kuasa.
10. Sahabat-sahabatku mahasiswa angkatan 2006 Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya jurusan Perbandingan Mazab dan Hukum
yang selama ini telah menjadi teman yang baik. Semoga ilmu yang kita dapat
bermanfaat dan membawa maslahat bagi kelurga, agama, nusa dan bangsa.
11. Kawan-kawan di komunitas Subuh.net dan Gusti Rahmat (Urang Banjar) yang
telah banyak memberikan bantuan kepada penulis hingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
vii
12. Semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis hingga
terselesaikannnya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Terima kasih atas kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan. Penulis
berdoa semoga Allah SWT memberikan imbalan dan pahala yang setimpal kepada
mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna, khususnya bagi
penulis sendiri dan tentunya bagi para pembaca pada umumnya. Amin
Jakarta, 1 Februari 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... ...............v
DAFTAR ISI ......................................................................................... ...............viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ ...............1
A. Latar Belakang Masalah................................................... ………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... ………...5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... ...............6
D. Review Kajian Terdahulu............... .................................. ...............7
E. Metode Penelitian ........................................................... ...............9
F. Teknik Penulisan ............................................................ ...............12
G. Sistematika Penulisan.........................................................................12
BAB II TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA ..... ...............14
A. Tinjauan Umum tentang Istinbath Hukum ........................ ...............14
B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab ................. ...............20
BAB III PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN
ULAMA .............................................................................. ...............55
A. Imam Salat....................................................................... ...............55
1. Pengertian Imam salat .................................................. ...............55
2. Syarat Imam Salat ........................................................ ...............57
3. Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah
Islam Klasik ................................................................ ...............61
B. Imam Salat dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an................. ...............63
C. Imam Salat dalam Perspektif Al-Hadits ........................... ...............74
BAB IV ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI ULAMA
TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM SALAT....78
A. Dasar Hukum Pendapat Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan
dalam Salat ...................................................................... ...............78
ix
B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan ......... ...............88
C. Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan
Perempuan dalam Salat .................................................... ...............97
BAB V PENUTUP..............................................................................................112
A. Kesimpulan...................................................................... ..............112
B. Saran ............................................................................... ..............114
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ..............116
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada 18 Maret 2005, Amina Wadud Muhsin, seorang feminis Islam
dari Amerika Utara, memimpin salat Jumat yang diikuti oleh 100 orang
jamaah, baik laki-laki maupun perempuan di sebuah gereja Anglikan,
Manhattan, New York, AS. Peristiwa ini mendapatkan kecaman publik,
tidak hanyadi Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan sekelompok
orang di Amerika mengancam akan meledakkan bom di tempat pelaksanaan
salat Jumat yang rencananya akan dilakukan di Sundaram Tagore Gallery.
Namun, dengan pertimbangan keamanan, akhirnya dipindahkan di gereja.1
Berbagai reaksi pun muncul di kalangan para ulama, yang sekaligus
menghadirkan kembali polemik yang selama ini hampir terkubur dalam
pemikiran umat Islam.Tindakan Amina Wadud ini memicu kembali
kontroversi seputar kebolehan-larangan perempuan menjadi imam, terutama
bagi laki-laki. Sebagai agama yang membenarkan dan melengkapi ajaran-ajaran
sebelumnya, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat untuk sekalian
alam. Salah satu ajarannya yang sangat bernilai adalah keadilan antara sesama
1Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas
Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (Juli-Desember 2008): h. 1
2
umat manusia. Tidak sedikit ayat-ayat di dalam al-Qur`an yang menyebutkan
bahwa umat manusia, laki-laki ataupun wanita, siapapun di antara mereka yang
beriman dan beramal shaleh, maka akan mendapatkan ganjaran yang sama dari
Allah swt. Seperti dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Nahl (16): 97
) .97 :16/ النحل(
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-Nahl (16): 97)
Ayat lainnya seperti dijelaskan di dalam QS. Ali Imran (3): 195
)195 : 3/ ال عمران (
Artinya: ”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan". (QS. Ali Imran (3): 195)
Ayat-ayat di atas secara tegas menempatkan kesejajaran antara laki-laki
dan perempuan dalam bekerja dan mendapatkan hak-haknya. Perempuan berhak
mendapat ganjaran yang sama atas amal mereka, baik dalam kehidupan di dunia
maupun di akhirat. Tidak ada diskriminasi dari Allah terhadap hambanya. Karena
itulah kaum laki-laki tidak boleh melecehkan perempuan dan memperlakukan
mereka secara tidak manusiawi. Kaum laki-laki tidak boleh merasa dirinya lebih
3
unggul dan mulia dari perempuan. Kemuliaan seseorang tidak diukur dari jenis
kelamin dan suku bangsa, melainkan dari prestasi dan kepribadian mulia, yang
ditampilkan melalui interaksi sosialnya.
Pada dasarnya, ajaran Islam sangat mendorong kepada kaum perempuan
untuk bekerja secara maksimal sesuai dengan kemampuan dan kodratnya. Karena
itulah, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam
pandangan Islam, antara lain laki-laki dan perempuan mempunyai persamaan hak
dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Perempuan juga mempunyai hak yang
sama untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Bahkan sebagian mereka ada
yang ikut berperang, mendukung tugas laki-laki.2
Posisi perempuan dalam Islam, pada dasarnya sejajar dengan kaum laki-
laki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai dengan kodrat masing-masing.
Tugas dan tanggung jawab perempuan dalam urusan rumah tangga, misalnya,
terutama peran seorang istri, ikut mendukung keberhasilan tugas-tugas suami
sebagai pemimpin keluarga.3
Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat
perempuan. Kalau dalam masyarakat sebelum datangnya Islam, perempuan
diperlakukan sebagai barang yang hampir-hampir tidak mempunyai hak, maka
2 Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-3 h..4. 3 Ibid. h. 4
4
ajaran Islam secara drastis memperlakukan perempuan sebagai “manusia” yang
mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana layaknya laki-laki.4
Prof. Dr. Amina Wadud, intelektual muslim di Amerika Serikat, saat ini
menjadi tokoh kontroversial di kalangan umat muslim dunia. Tidak sedikit yang
menuduhnya sebagai "senjata baru" Amerika Serikat, yang didesain mempertajam
stigmatisasi (pencitraburukan) Islam di mata dunia setelah berbagai stigmatisasi
pasca-Black September 2001 justru membuat George W. Bush banyak mendulang
kecaman dunia internasional.
Banyak juga yang menilai tak ada yang salah dari gebrakan revolusioner
pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat itu
karena secara fiqih tidak ada larangan dalam al-Qur’an bagi seorang perempuan
menjadi imam dalam salat.
Melalui pertimbangan yang panjang, penulis memutuskan untuk meneliti
serta mengkaji metode istidlal ulama tentang imamah perempuan dalam salat
dengan lebih memfokuskan pada kajian ushul fiqh secara komprehensif.
Gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth
University, AS, itu, membuka kembali perdebatan fiqih tentang kebolehan-
larangan perempuan memimpin salat yang disertai makmum laki-laki.
Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin menuangkan masalah tersebut, dalam
4 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Kerjasama Lembaga Kajian
Agama dan Jender, SP Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999), h. 23.
5
sebuah karya ilmiah dengan judul ”METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA
TENTANG IMAMAH PEREMPUAN DALAM SALAT”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis dan mengingat
pembahasan yang begitu luas mengenai imamah perempuan dalam salat,
maka perlu dibatasi ruang lingkupnya agar lebih jelas dan rinci
pembahasannya. Persoalan imamah perempuan dalam salat yang sering terjadi
di kalangan para ulama merupakan perdebatan dalam ruang lingkup kajian
fiqh. Menurut penulis, pembahasan tersebut sudah dianggap selesai. Oleh
sebab itu, penulis memfokuskan tentang metode istidlal atau istinbath ulama
mengenai imamah perempuan dalam salat yang merupakan kajian dalam
ruang lingkup ushul fiqh. Berkenaan dengan latar belakang masalah tersebut
yang berkaitan dengan masalah imamah perempuan dalam salat, maka penulis
membatasi penulisan skripsi ini sebagai berikut:
a. Mengenai metode ulama dalam mengistinbathkan hukum perempuan
menjadi imam salat.
b. Mengenai penilaian sanad dan matan hadits-hadits imamah perempuan
dalam salat
6
2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapatlah dirumuskan masalah-
masalah yang hendak dijawab, yaitu:
a. Apa yang menjadi dasar ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah
perempuan dalam salat?
b. Bagaimana metode ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah
perempuan dalam salat?
c. Bagaimana penilaian ulama terhadap perempuan menjadi imam salat?
d. Apa yang menjadi substansi masalah tentang imamah perempuan dalam
salat?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis rumuskan di atas,
maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan skripsi ini,
yaitu:
a. Untuk mengetahui dasar ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah
perempuan dalam salat
b. Untuk mengetahui metode ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah
perempuan dalam salat
c. Untuk mengetahui penilaian ulama terhadap perempuan menjadi imam
salat
7
d. Untuk mengetahui substansi masalah tentang imamah perempuan dalam
salat
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan
ilmu pengetahuan mengenai kedudukan perempuan sebagai imam salat
b. Kegunaan praktis yaitu membuka transformasi hukum yang mungkin akan
terjadi pada masa-masa yang akan datang.
c. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan lembaga
keagamaan untuk dapat aktif merespon berbagai fenomena keagamaan
aktual yang terjadi di masyarakat.pada masa-masa yang akan datang.
D. Review Kajian Terdahulu
Penelitian tentang imam perempuan dalam salat sudah menjadi tema yang
lazim ditemui. Namun yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam, penulis
hanya mendapati satu penelitian, yaitu. : Pandangan Ulama tentang Imam
Perempuan: Telaah Kritis terhadap Pemikiran Amina Wadud oleh: Kokom
Komariah, PMF- Syari’ah dan Hukum tahun 2006. Penelitian ini mengkaji
pemikiran Amina Wadud tentang imam salat perempuan, pandangan Islam
terhadap peran perempuan, dan pandangan ulama klasik dan kontemporer tentang
imam salat perempuan, serta analisis penulis tentang imam salat perempuan yang
lebih terfokus dalam ruang lingkup fiqh.
8
Dari penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa imamah perempuan
dalam salat dengan makmum laki-laki maupun campuran, akan terus menjadi
pembicaraan hangat dari waktu ke waktu seiring dengan adanya gerakan
kesetaraan gender yang terus menerus diperjuangkan oleh kalangan perempuan.
Hal yang membedakan antara penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya
terletak pada pembahasan yang mengkaji kontroversi imamah perempuan dalam
salat bagi makmum laki-laki dengan lebih fokus meneliti metode istinbath ulama
dalam menetapkan hukum terhadap perempuan yang menjadi imam salat
sehingga nantinya diharapkan dapat mengetahui hal yang melatar belakangi
pendapat yang melarang dan membolehkan perempuan menjadi imam salat
dengan makmum laki-laki.
Penelitian sebelumnya tentang imamah perempuan dalam salat bagi
makmum laki-laki adalah lebih terfokus membahas pemikiran Amina Wadud
menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Kemudian dipaparkan pendapat
ulama klasik dan kontemporer tentang imamah perempuan dalam salat diseputar
kajian fiqh yang kemudian dihubungkan dengan peristiwa Amina Wadud
menjadi imam salat di Amerika Serikat. Tegasnya adalah bahwa analisis skripsi
sebelumnya hanya dalam ruang lingkup kajian fiqh. Sedangkan penelitian penulis
selain memaparkan kontroversi imamah perempuan dalam salat dalam kajian
fiqh, lebih dari itu penulis lebih terfokus meneliti serta mengkaji metode istinbath
ulama tentang imamah perempuan dalam salat yang merupakan kajian ushul fiqh.
9
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah termasuk
penelitian normatif yakni dengan menggunakan pendekatan kualitatif, karena
dalam penelitian ini akan diketahui metode istinbath ulama dalam menetapkan
hukum terutama kaitannya dengan perempuan menjadi imam salat.
Penelitian ini adalah menggunakan metode yang terinci sebagai
berikut:
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu
dengan melakukan analisa isi dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan
isi dari data-data yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan
masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis,
konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam
penulisan skripsi ini.
Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
jenis data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma, atau
aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya
mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai
metode istinbath ulama tentang imamah perempuan dalam salat.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis
sumber data, diantaranya:
10
a. Data Primer
Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahan pustaka
yang berisikan pengetahuan ilmiah tentang metode istidlal atau istinbath
ulama dalam merumuskan dan menetapkan hukum baik berupa kitab ushul
fiqh maupun tentang sejarah ulama mazhab dalam mengistinbathkan
hukum. Di antara sumber primer tersebut adalah Ilmu Ushul al-Fiqh
karya Abdul Wahab Khalaf, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam karya Al-
Syatibi, al-Risalah karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Tarikh al-
Mazahib al-Islamiyyah karya Abu Zahrah, al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-
Islamiy karya Kamil Musa.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder berupa bahan pustaka yang dapat memberikan
informasi, melengkapi dan menguatkan data primer dengan jalan
mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah berupa
tafsir al-Qur’an, hadits, kitab-kitab para ahli dalam bentuk karya ilmiah,
buku-buku serta artikel-artikel dalam jurnal ilmiah yang berkaitan dengan
masalah yang diajukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai oleh penulis dalam
skripsi ini adalah:
11
a. Studi dokumentasi, yaitu dengan cara menghimpun dan menganalisis data-
data pustaka dan relevansinya dengan masalah yang dibahas. Sumber data
tersebut yaitu:
1. Kitab-kitab sumber hukum tafsir al-Qur’an seperti Jami’ al-Bayan ’an
Ta’wil Ay’ al-Qur’an karya Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-
Bagawi karya Abu Muhammad al-Hasan al-Farra al-Bagawi, Tafsir al-
Qur’an al-Azim karya Ibnu Katsir, Tafsir al-Manar karya Rasyid
Ridha, Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dan Tafsir al-
Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab. Selain itu juga merujuk
kepada sumber hukum hadits seperti Sunan Ibnu Majah, Sunan Abi
Daud, Sunan al-Daruquthni.
2. Kitab-kitab yang memuat metode istidlal ulama dalam
mengistinbathkan hukum dan sejarah ushul fiqh ulama mazhab seperti
Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf, Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyyah karya Abu Zahrah, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam
karya Al-Syatibi, al-Risalah karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan
I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin karya Ibn Qayyim al-
Jauziyyah.
3. Kitab-kitab tentang pendapat ulama mengenai imamah
(kepemimpinan) perempuan dalam salat seperti al-Fiqh al-Islam
Waadillatuhu karya Wahbah Zuhailli, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab
karya Syarafuddin al-Nawawi, Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, al-
12
Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi,
al-Mughni karya Ibnu Qudamah dan Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu
Rusyd.
4. Metode Analisa Data
Setelah data tersebut terkumpul, penulis akan menganalisisnya secara
deskriptif-komparatif, objektif dengan memaparkan dan membandingkan metode
istinbath para ulama dalam menetapkan hukum dan aplikasinya dengan
kepemimpinan perempuan dalam salat dengan berusaha menyajikan bahan yang
relevan dan mendukung sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan hukum.
F. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syrif Hidayatullah Jakarta,
2007.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan
menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Meliputi, Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Kajian Terdahulu,
Metode Penelitian, Teknik Penulisan dan Sistematika Penulisan.
13
BAB II : TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA
Meliputi, Tinjauan Umum tentang Istinbath Hukum, Metode
Pembentukan Hukum Ulama Mazhab.
BAB III : PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM
PANDANGAN ULAMA
Meliputi, Pengertian Imam, Syarat Imam Salat, Praktek Pelaksanaan
Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam Klasik, Imam Salat
dalam Perspektif al-Qur’an, Imam Salat dalam Perspektif al-Hadits.
BAB IV : ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI
ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
DALAM SALAT
Meliputi, Dasar Hukum Pendapat Ulama tentang Kepemimpinan
Perempuan dalam Salat, Argumen Ulama Mengenai Imam Salat
Perempuan, Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang
Kepemimpinan Perempuan dalam Salat
BAB V : PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran-saran
14
BAB II
TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA
A. Tinjauan Umum Tentang Istinbath Hukum
Istinbath, dilihat dari sudut etimologi berasal dari nabth atau nubuth
dengan kata kerja nabatha, yanbuthu, yang berarti air yang mula-mula keluar
dari sumur yang digali. Dari kata kerja tersebut diubah menjadi muta’adi
(transitif), sehingga menjadi anbatha dan istanbatha, yang berarti
mengeluarkan air dari sumur. Jadi kata istinbath pada asalnya berarti usaha
mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiannya. Selanjutnya istilah
di atas dipakai sebagai istilah fiqh dan ushul fiqh, yang berarti usaha
mengeluarkan hukum dari sumbernya.1 Sedangkan secara terminologi, kata
istinbath berarti mengeluarkan atau mengambil makna (pengertian) dari nash
dengan mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki.2 Menurut
ilmu ushul fiqh, kata ”ijtihad” identik dengan kata ”istinbath”. Jadi, ijtihad
atau istinbath ialah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara
langsung oleh nash al-Qur’an dan sunnah.3 Kemudian kegiatan istinbath
hukum ini melahirkan ijtihad ulama yang merupakan kegiatan mencurahkan
1 Roibin, Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 87-88. 2 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 1. 3 Tamu Jalaluddin Rahmat, ed., Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1996), h. 25.
15
segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama melalui cara tertentu
dari sumber-sumber hukum Islam.
Dalil dalam kajian ushul fiqh secara etimologi diartikan dengan
”sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.4
Sementara itu, Abdul Wahaf Khalaf menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan dalil ialah:
5 حسي أو معنوي خري أو شراهلادى إىل أي شيء
Artinya: ”Dalil ialah yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau
yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.
Kemudian Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa dalil secara
terminologi ialah:
ما يستدل بالنظر الصحيح فيه على حكم شرعي عملي على سبيل القطع 6أو الظن
Artinya: ”Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan
pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun zhani”.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang
disebut dengan dalil ialah sesuatu yanag dapat dijadikan alasan atau pijakan
4 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 41.
5 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, t.th.), h. 20 6 Ibid., h. 20.
16
dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar
pertimbangan yang benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istinbath hukum persoalan yang paling
mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil
atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara’ dari
sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum harus
didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan
dalil atau pijakan yang jelas.
Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan
kepada dua macam, yaitu:7
1. Dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam
nash. Dalil-dalil hukum yang dikategori kepada bagian ini adalah al-
Qur’an dan al-Sunah.
2. Dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh nash al-
Qur’an dan al-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad
dengan menggunakan penalaran ra’yu.
Ibnu Hazm dalam al-Ihkam memberikan definisi tentang istidlal yaitu:
8 أو من عامل يعلمهاإلستدالل طلب الدليل من طريق العقل ونتائجه
Artinya: “Istidlal itu mencari dalil (menegakkan dalil) dari ketetapan-ketetapan
akal dan natijah-natijahnya, atau dari seseorang yang mengetahuinya”. 7 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 44-45. 8 Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Jil, 1987), Juz I h. 22.
17
Contohnya, kelaziman dari tidak adanya wudhu dengan tidak sah
salatnya. Apabila seseorang mengeluarkan angin dari duburnya, wudhunya
gugur, maka dengan sendirinya salatnya tidak sah lagi.
Lebih lanjut, Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin memberikan
pengertian istidlal yaitu:
9إقامة الدليل على حكم من نص او امجاع او غريمهاArtinya: ”Menegakkan dalil untuk suatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash,
berupa ijma’ ataupun lainnya”.
Sumber-sumber yang telah disepakati jumhur ulama ushul fiqh sebagai
dasar dalam mengistinbathkan hukum meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, al-
Ijma’ dan al-Qiyas.10 Sedangkan sumber yang tidak disepakati meliputi al-
Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishab, al-Urf’, Mazhab shahabi,
Sadd al-dzarai’i dan Syar’u Man Qablana Syar’un Lana.11
Kegiatan istinbath dan ijtihad merupakan pengerahan daya nalar
ulama dalam menemukan dan menetapkan hukum. Ijtihad adalah usaha besar
yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti usaha yang
ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh, maka
tidak dinamakan ijtihad. Cara menemukan hukum syar’i yaitu melalui
istinbath yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dan 9 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (t.t., Amzah, 2005), h. 133. 10 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 23. 11 Ibid., 25.
18
dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha
memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut.12 Jika
persoalan hukum tidak terdapat dalam lafaz, maka ulama mujtahid akan
menggunakan metode istinbath lain seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahat
mursalah dan lain sebagainya dengan tetap bersandarkan kepada lafaz
tersebut. Istinbath mengandung arti lebih menekankan bagaimana cara yang
ditempuh ulama dalam menemukan hukum dari sumbernya. Sedangkan
ijtihad merupakan kegiatan ulama dalam memahami, menemukan, dan
merumuskan hukum dari sumbernya.
Para mujtahid mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk
menemukan dan menetapkan hukum fiqh diluar apa yang dijelaskan dalam
nash al-Qur’an dan hadits. Mereka merumuskan cara atau metode yang
mereka gunakan dalam berijtihad. Meskipun ada beberapa metode istinbath
dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati
penggunaannya oleh ulama.13 Hal ini menunjukkan bahwa cara atau metode
istinbath ulama berbeda-beda dalam menetapkan hukum. Adanya perbedaan
metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum berimplikasi pada
12 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 238-239. 13 Hal ini dapat dilihat Syafi’iyyah menggunakan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum. Hanafiyyah menyetujui semua dalil yang dikemukakan Syafi’iyyah dengan menambahkan istihsan. Malikiyyah menambahkan dua dalil yaitu maslahah mursalah dan sadd al-zari’ah. Hanabilah menerima dalil-dalil yang dikemukakan Syafi’iyyah dengan menambahkan saad al-zari’ah. Zahiriyah menolak qiyas, istihlah dan istihsan, tetapi mereka menggunakan apa yang disebutnya dalil sebagai metode ijtihad. Syiah Imamiyah menolak juga teori keabsahan al-hadits, ijma’ dan konsep qiyas yang dikemukakan Syafi’iyyah, tetapi mereka hanya mengakui ijma’ ulama mereka saja.
19
munculnya perbedaan antara hasil istinbath seorang mujtahid dengan yang
lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan jenis
pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Para mujtahid dalam berijtihad langsung merujuk kepada dalil syara’
dan menghasilkan temuan orisinal. Karena antar para mujtahid itu dalam
berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil
yang mereka capai juga tidak selalu sama. Jalan yang ditempuh seorang
mujtahid dengan menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan suatu
pendapat tentang hukum, kemudian disebut ”mazhab” dan tokoh mujtahidnya
dinamai ”imam mazhab”.14
Pendapat tentang hukum hasil temuan imam mazhab itu disampaikan
kepada umat dalam bentuk ”fatwa” untuk dipelajari, diikuti dan diamalkan
oleh orang-orang yang kemudian menjadi murid dan pengikutnya secara
tetap.15 Selanjutnya para murid dan pengikut imam itu menyebarluaskan
mazhab imamnya. Hal ini menjadikan mazhab tersebut berkembang dan
14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 263. 15 Ibid., h. 263. Hal ini dapat dilihat dari para murid atau pengikut imam mazhab yang menyebarkan mazhab mereka seperti Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Anshary yang merupakan murid Imam Hanafi. Usman ibn al-Hakam al-Juzami yang merupakan sahabat Imam Maliki. Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam merupakan ulama Mesir sangat berpengaruh yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Mesir. Ibnu Qudamah sebagai salah seorang yang memperbaharui, membela, mengembangkan dan membuka mata manusia untuk memperhatikan ajaran-ajaran mazhab Hanbali, terutama dalam bidang muamalah. Ja’far Muhammad ibn Ya’kub al-Khulainiy pengarang kitab al-Kafiy yang merupakan kitab ushul fiqh mazhab Syiah Imamiyah. Abu Khalid Amr ibn Khalid al-Wasithiy mengembangkan mazhab Syiah Zaidiyah melalui kitab-kitab yang dikumpulkannya yakni kitab Majmu’ yang terdiri dari Majmu’ dalam bidang hadits dan Majmu’ dalam bidang fiqh. Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy, dialah yang banyak menegembangkan mazhab Zahiriy.
20
bertahan dalam kurun waktu yang lama. Bahkan perkembangannya sampai
sekarang dan mewarnai umat Islam di seluruh belahan bumi.
Di antara mazhab fiqh yang terkenal adalah:
1. Mazhab Hanafiyyah. Imamnya Abu Hanifah (80-150 H).
2. Mazhab Malikiyyah. Imamnya Malik ibn Anas (93-179 H).
3. Mazhab Syafi’iyyah. Imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H).
4. Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hanbal (164-241 H).
5. Mazhab Zhahiriyyah. Imamnya Dawud ibn Ali al-Ashfahaniy (202-270 H).
6. Mazhab Zaidiyyah. Imamnya Zaid ibn Ali Zainul Abidin (80-122 H).
7. Mazhab Ja’fariyyah. Imamnya Ja’far al-Shadiq (80-148 H).
B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab
Sebagaimana diketahui, sumber ajaran Islam yang pertama adalah al-
Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Al-Qur’an tidak diwahyukan sekaligus tetapi dengan cara
berangsur-angsur dimulai di Mekkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar
wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam
masyarakat Islam ketika itu.
Ketika persoalan yang dijumpai masyarakat Islam saat itu tidak
ditemukan ketetapan hukumnya di dalam al-Qur’an, Nabi menyelesaikannya
dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui
permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan
21
Sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan
tidak menjelaskan secara rinci. Perinciannya, dalam masalah ibadah, diberikan
oleh hadits. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsi-prinsip dasar itu, yang
belum dijelaskan oleh Nabi SAW diserahkan kepada umat untuk
mengaturnya.
Dalam periode Nabi, karena persoalan yang timbul dalam bidang ini
dikembalikan penyelesaiannya kepada Nabi, maka tidak ada persoalan. Tetapi
dalam periode sahabat, ketika daerah yang dikuasai Islam bertambah luas,
sedangkan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks, sedangkan Nabi
sebagai tempat bertanya tidak ada lagi, ummat pun menyelesaikan
persoalannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi. Ternyata pada
prakteknya, tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan pada al-
Qur’an dan hadits Nabi secara eksplisit. Untuk menyelesaikan persoalan yang
tidak dijumpai dari kedua sumber tersebut para ulama melakukan ijtihad.
Karena wahyu sudah tidak turun dan Nabi sudah wafat, maka para mujtahid
tidak ada yang berani menyatakan benar atau tidaknya hasil ijtihad itu. Untuk
mengatasi masalah itu dipakai ijma’. Dengan demikian putusan hukum yang
diambil secara suara bulat bersama oleh para ulama, lebih kuat daripada
putusan hukum yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja.
Ketika kekuasaan Islam semakin bertambah luas, para ulama tinggal
secara berpencar sehingga ijma’ dalam arti di atas tidak mungkin dilakukan
lagi. Akhirnya masing-masing ulama melakukan istinbath hukum sendiri.
22
Maka lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti qiyas,
istihsan, urf, dan lain-lain. Metode-metode istinbath hukum itu selanjutnya
menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh. Pada perkembangannya metode
istinbath hukum tersebut melahirkan mazhab.
Imam mazhab dalam melakukan istinbath hukum telah menyusun
macam-macam sumber dalil secara sistematik. Kenyataannya, macam-macam
sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati. Dengan kata
lain, dalil-dalil yang menjadi sumber penetapan hukum di kalangan ulama
mazhab tersebut di satu pihak terdapat persamaan dan di pihak lain terdapat
perbedaan.
Macam-macam sumber dalil dan sistematika yang menjadi pijakan
berbagai mazhab dalam melakukan istinbath hukum seperti berikut ini:
1. Mazhab Hanafiyyah
Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150 H) dikenal sebagai
ulama Ahl al-Ra’yi.16 Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan
hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an ataupun hadits, beliau
banyak menggunakan nalar. Beliau lebih menggunakan ra’yi dari khabar
ahad. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum
16 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003), h.98.
23
dengan jalan qiyas dan istihsan.17 Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas
kurang tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan,
diambillah ’urf . Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali
mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan
hukum-hukum yang belum terjadi.
Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari
ucapan beliau sendiri yakni:
بسنة رسول اهللا ه فيه أخذتمل أجد فما إذا وجدتهاخذ بكتاب اهللا إىن ذافإ. واالثار الصحاح عنه الىت نشت ىف أيدى الثقاتصلى اهللا عليه وسلم
مل أجد ىف كتاب اهللا والسنة رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم أخذت الأخرج من قوهلم مث من شئت قولبقول أصحابه من شئت وأدع
وابن واحلسنإبراهيم والشعيب إىل فإذا انتهى األمر . ريهمإىل قول غ قد إجتهدوا فلى أن وعد رجاال املسيببن سريين وسعيد
18. اجتهدواكماأجتهد
Artinya: “Sesungguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qur’an) apabila menemukannya. Jika saya tidak menemukannya, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas di kalangan perawi terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka kepada yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn
17 Ibid., h. 98. 18 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kairo: Maktabah wa Matba’ah Ali Sabih wa auladuh, t.th.), h. 91-92
24
al-Musayyab dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad”.
أخذ باالثقة وفرار من القبح والنظر ىف معامالت الناس كالم أيب حنيفةإذا قبح ومااستقاموا عليه وصلح عليه أمورهم ميضى األمر على القياس ف
ميضى له رجع إىل فإذا مل. ياس ميضيها على اإلستحسان مادام ميضى لهالق مث يقيس عليه مادام يوصل احلديث املعروفوكان . بهمايتعامل املسلمون
19 .القياس سائغا مث يرجع إىل اإلستحسان أيهما كان أوفق رجع إليه
Artinya: “Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan
dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada urf manusia. Dan ia mengamalkan hadits yang sudah terkenal kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada hadits itu selama qiyas dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam
melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika
atau tertib urutannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika
atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah
menempatkan al-Kitab atau al-Qur’an pada urutan pertama, kemudian al-
Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat,
19 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987), Juz II, h. 161.
25
qiyas, istihsan dan terakhir adalah urf. Tidak disebutkannya ijma’ dalam
rumusan ini bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan
ijma’ sahabat yang tergambar dalam ucapannnya di atas.20 Jika terjadi
pertentangan qiyas dengan istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan,
maka Imam Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan
karena adanya pertimbangan maslahat. Dengan kata lain penggunaan qiyas
dapat dilakukan sepanjang ia dapat memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak
mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi, maka pilihan
alternatifnya adalah menggunakan istihsan dengan alasan maslahat.21
Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu
dasar hukum adalah:
a. Al-Kitab
Al-Kitab adalah sumber pokok dan sumber pertama ajaran Islam
yang menjadi dasar dalam pembentukan hukum Islam sampai akhir
zaman. Oleh karena itu, jika didalam al-Qur’an dijumpai nash
mengenai suatu hukum, maka nash itu harus diikuti. Dalam
menetapkan hukum Islam yang diistinbathkan dari al-Qur’an, beliau
banyak menggunakan akal (nalar).
b. Al-Sunnah
20 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 106. 21 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 48.
26
Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang
masih bersifat umum (global). Jika dalam al-Qur’an tidak dijumpai
nash mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah.
Apabila di dalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka al-
Sunnah tersebut harus diikuti.
Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan
harus masyhur di kalangan perawi hadits terpercaya.22 Perawi hadits
harus beramal berdasarkan hadits yang diriwayatkan dan tidak boleh
menyimpang dari periwayatannya. Perawi hadits tidak boleh
merupakan seseorang yang aibnya tersebar di kalangan umum.23
c. Aqwalu al-Shahabah (pendapat sahabat)
Para sahabat adalah orang-orang yang membantu Nabi
menyampaikan risalah Allah. Mereka hidup dan bergaul bersama
Nabi. Lantaran kedekatannya dengan Nabi dalam pergaulan sehingga
mampu memahami al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Mereka lebih
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan asbabu al-
wurud hadits Nabi serta bagaimana kaitannya hadits dengan al-
Qur’an yang diturunkan itu.
22 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 94. 23 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 100.
27
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam
pandangan Abu Hanifah.24 Beliau menerima pendapat sahabat dan
mengharuskan umat Islam untuk mengikutinya.25 Jika pada suatu
masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka beliau mengambil
salah satunya sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengikuti
pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak
boleh menentang keseluruhan pendapat sahabat. Oleh karena itu,
penggunaan qiyas masih tidak diperkenankan selama masih ada
pendapat sahabat walaupun hanya mengikuti pendapat salah seorang
sahabat yang dikehendaki. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Abu
Hanifah bahwa apabila ia tidak mendapatkan ketentuan dari al-
Qur’an dan al-Sunnah maka beliau akan mengambil pendapat sahabat
yang dikehendaki dan meninggalkan pendapat sahabat yang tidak
dikehendaki. Beliau tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat
tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat.
d. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas jika dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan ketetapan
hukum.26 Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya
24 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 189. 25 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 160. 26 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz II, h. 162.
28
dengan nash setelah menyamakan illat yang sama diantara keduanya.
Kemampuan Abu Hanifah dalam menerapkan Qiyas menurut Shubhy
Mahmasany sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo
disebabkan profesi beliau sebagai saudagar dan pengetahuannya yang
mendalam di bidang ilmu hukum sehingga menjadikannya ahli dalam
menguasai pendapat dan logika dalam penerapan hukum syari’at.27
e. Al-Istihsan
Istihsan secara etimologi berarti mengangap baik terhadap
sesuatu. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah kepindahan
seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyas khafi
(samar), atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat
dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil fikirannya dan
mementingkan perpindahan hukum.28
Dari pengertian istihsan tersebut dapat dipahami bahwa apabila
seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang sudah tidak ada
nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan untuk menetapkannya
terdapat jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dan
jalan yang lainnya adalah samar-samar, sedangkan pada diri mujtahid
tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk menarjihkan
jalan yang samar-samar, maka ia menempuh jalan yang nyata
27 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 101. 28 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 88.
29
tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar itu. Demikian juga
jika ia menemukan dalil kulli yang menetapkan suatu hukum,
kemudian ia menemukan dalil yang lain yang mengecualikan suatu
hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang
berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli tersebut.
Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan.
Tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari
istihsan yang dilakukannya itu. Istihsan menurut bahasa,
sebagaimana telah dijelaskan, berarti menganggap atau memandang
baik terhadap sesuatu.29 Karena Abu Hanifah tidak menjelaskan
pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka orang mengatakan
bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum menurut
keinginannya saja tanpa menggunakan metode. Hal ini dikarenakan
Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan
itu. Abu Hanifah dalam menetapkan hukum hanya berpatokan pada
apa yang sudah dipandang baik maka sudah bisa menjadi dasar
penetapan hukum.
Setelah timbul kritikan-kritikan terhadap istihsan yang tidak
diketahui definisi hakikinya, maka para sahabat dan murid Abu
Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan.
29 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 43.
30
Mereka berusaha untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya istihsan
itu tidak keluar dari dalil-dalil syara. Sebagian Ulama Hanafiah
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah qiyas
yang wajib beramal dengannya, karena illatnya didasarkan pada
pengaruh hukumnya. Illat yang mempunyai pengaruh hukum yang
kuat dinamakan istihsan dan illat yang mempunyai pengaruh hukum
yang lemah dinamakan qiyas. Istihsan ini seolah-olah satu macam
cara beramal dengan salah satu yang paling kuat. Ini disimpulkan
dari penelitian induksi terhadap masalah-masalah yang ada dalam
istihsan menurut ketentuan-ketentuan mereka.30
f. Urf
Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia
karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan,
perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan
tertentu, sekaligus disebut adat.31
Abu Hanifah berpegang kepada urf dalam menetapkan
hukum.32 Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah
diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan
muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat
bagi manusia. Beliau melakukan segala urusan yakni apabila tidak
30 Ibid., h. 44. 31 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 99. 32 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h., 177.
31
ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau qiyas, dan apabila
tidak baik dilakukan denngan cara qiyas maka beliau kembali ke
istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan
melalui istihsan maka beliau kembali pada urf. Hal ini menunjukan
bahwa beliau memperhatiakn urf manusia apabila tidak ditemukan
nash dalam al-Qur’an, sunnah, ijma, qiyas maupun istihsan.
Tegasnya, Abu Hanifah pun hanya menggunakan urf shahih dengan
meninggalkan urf fasid.
2. Mazhab Malikiyyah
Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik (93-179 H). Imam
Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim
besar dalam ilmu hadits.33 Al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang
merupakan karya Imam Malik. Kitab ini banyak mengandung hadits-
hadits yang berasal dari Rasullullah SAW. atau dari Sahabat dan
Tabi’in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal termasuk
beraliran Ahl al-Hadits.
Adapun metode istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum
Islam berpegang kepada:
a. Al-Qur’an
33 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 105.
32
Imam Malik bersandarkan kepada nash al-Qur’an sebagai
pegangan pokok dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan
hukum itu berdasarkan zahir nash al-Qur’an atau keumumannya.34
b. Al-Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum yang
kedua setelah al-Qur’an, imam Malik tetap mengikuti cara yang
dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i
menghendaki adanya penta’wilan, maka hal yang dijadikan pegangan
adalah arti ta’wil tersebut.35 Apabila sunnah berlawanan dengan zahir
al-Qur’an, baik zahir itu bersifat ’am, ataupun khas, maka Imam
Malik lebih mendahulukan zahir al-Qur’an terkecuali sunnah tersebut
dikuatkan oleh Amal Ahl al-Madinah, ijma’ atau oleh qiyas. Jika
sunnah tersebut dikuatkan oleh Amal Ahl Madinah, ijma’ atau oleh
qiyas, maka Imam Malik lebih mengutamakan makna yang
terkandung dalam sunnah daripada zahir al-Qur’an.
Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadits seperti
yang disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadits. Imam
Malik tidak menolak khabar wahid hanya karena bertentangan
dengan qiyas atau karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan
hadits periwayatannya. Imam Malik tidak mendahulukan qiyas dari
34 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99. 35 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 106.
33
khabar wahid. Selain itu, Imam Malik juga menggunakan hadits
mursal dalam mengistinbathkan hukum. Beliau mensyaratkan dalam
penerimaan khabar ahad yakni khabar ahad tersebut tidak
bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur dalam hadits
adalah hadits yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz.36
c. Amal Ahl al-Madinah
Amal Ahl al-Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl al-
Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah
SAW, bukan dari hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang
penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW atau
tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat
yang tinggi dan lain-lain. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh
Imam Malik.37 Akan tetapi terkadang beliau menolak hadist apabila
ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
d. Khabar Ahad dan al-Qiyas
Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu
konsisten.38 Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas, daripada khabar
ahad. Kadang-kadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.39
Jika khabar ahad tidak dikenal di kalangan masyarakat Madinah,
36 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 101. 37 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab h. 106. 38 Ibid., h. 108. 39 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 215.
34
maka khabar ahad itu tidak dianggap sebagai petunjuk dan tidak
dianggap benar sebagai sesuatu yang berasal yang Rasulullah SAW.
Dengan demikian, khabar ahad tidak digunakan sebagai dasar
hukum, akan tetapi ia menggunakan qiyas dan maslahah. Hal ini
menunjukan bahwa Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai
sesuatu yang datang dari Rasulullah jika khabar ahad itu
bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat
Madinah. Kecuali khabar ahad itu dikuatkan dengan dalil-dalil qat’i.
e. Al-Maslahah al-Mursalah
Al-maslahah al-mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketentuannya secara tersurat atau sama sekali tidak disingung dalam
nash dengan tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan
jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Jadi, maslahah
mursalah itu kembali kepada memelihara syariat yang diturunkan.
Tujuan syariat dapat diketahui melalui al-Qur’an, sunnah, dan ijma’
ulama.
Imam Malik terlalu bebas dalam penggunaan prinsip istishlah,
sehingga prinsip metodologi ini dinisbatkan pada dirinya. Memang,
kadangkala para imam mujtahid menggunakan prinsip ini, tetapi
dalam bentuk lain, misalnya istihsan.40
40 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 102-103.
35
Adapun syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah sebagai
dasar hukum yakni sebagai berikut:41
1. Maslahah harus benar-benar merupakan maslahah menurut
penelitian seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2. Maslahah harus bersifat umum bukan maslahah yang hanya berlaku
untuk orang-orang tertentu.
3. Maslahah tersebut merupakan maslahah yang bersifat umum yang
tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
f. Fatwa Sahabat
Imam Malik berpegang kepada fatwa sahabat besar karena
mereka dianggap memiliki pengetahuan terhadap suatu masalah yang
didasarkan pada al-naql. Menurut Imam Malik,42 para sahabat besar
tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang
difahami dari Rasulullah SAW. Pada perkembangannya di kalangan
muta’akhirin mazhab Maliki, mereka menjadikan fatwa sahabat yang
semata-mata hasil ijtihad mereka sebagai hujjah.
g. Al-Istihsan
Madzhab Maliki sebagaimana dikatakan al-Syatibi
berpendapat bahwa istihsan adalah menurut hukum dengan
41 Ibid., h. 110. 42 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h., 206.
36
mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang
bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan istidlal
al-mursalah daripada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu tidak
berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata,
melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat
syara secara keseluruhan.43 Tegasnya istihsan selalu melihat dampak
suatu ketentuan hukum. Jangan sampai ketentuan hukum membawa
dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus
mendatangkan maslahat atau menghindarkan madharat.
Dalil umum melarang melihat aurat seseorang. Akan tetapi jika
dalil umum itu tetap digunakan sampai melarang melihat seseorang
dokter dalam pengobatan, maka hal itu akan mengakibatkan
hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil tersebut, karena
dalil yang umum bertujuan untuk memelihara kemaslahatan.
Larangan melihat dalam pengobatan menghilangkan kemaslahatan
yang pokok, karena dengan tidak mengadakan pengobatan akan
mengakibatkan kematian. Dasar memelihara jiwa adalah pokok,
sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang
pokok, maka pelengkap itu tidak perlu dipertahankan.
Pendapat Imam Malik dengan penggunaan prinsip istihsan
terdapat pada banyak kasus (persoalan) seperti persoalan saksi yang 43 Al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz. IV, h. 206.
37
melihat langsung dan bersumpah, pemaksaan majikan dan para
pemimpin untuk penyamarataan pemberian upah kerja bagi para
pekerja. Hanya saja, Imam Malik tidak seberani mazhab Hanafiyah
dalam menggunakan prinsip ini.44
h. Sadd al-Zarai’i
Imam Malik menggunakan sadd al-zarai’i sebagai landasan
dalam menetapkan hukum.45 Menurutnya, semua jalan atau sebab
yang menuju kepada yang haram atau terlarang, maka hukumnya
juga haram. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang
halal, maka halalnya juga hukumnya.
i. Istishab
Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam
menetapkan hukum.46 Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasar
keadaan yang berlaku sebelumnya hingga ada dalil yang
menunjukkan adanya perubahan keadaan itu.47 Tegasnya adalah
tetapnya suatu hukum untuk sekarang dan yang akan datang
berdasarkan ketetapan hukum yang sudah ada pada masa lampau.
Yakni jika sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang
keraguan padanya, maka yang menjadi landasan adalah hukum
44 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 103. 45 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 219. 46 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 111. 47 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 102.
38
pertama yang telah diyakini. Misalnya, ketika seseorang yang salat
maghrib yakin bahwa dia sudah melaksanakan salat 2 rakaat,
kemudian datang keraguan 2 rakaat atau 3 rakaat, maka yang menjadi
hukum bagi orang tersebut adalah 2 rakaat.
j. Syar’u Man Qablana Syar’un Lana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky sebagaimana dikutip
oleh Huzaemah Tahido Yanggo, Imam Malik menggunakan kaidah
syar’u man qablana syar’un lana sebagai dasar hukum. Tetapi
menurut Sayyid Muhammad Musa seperti yang dikutip oleh
Huzaemah, kita tidak menemukan secara jelas pernyataan Imam
Malik yang mengatakan demikian.48
Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa apabila al-Qur’an dan
al-Sunnah mengisahkan syariat atau hukum-hukum syara’ bagi umat
sebelum kita melalui utusan-Nya, dan juga dalam nash ditetapkan
sebagai syariat seperti untuk diwajibkan kepada orang-orang sebelum
kita, maka hal itu tidak terdapat perbedaan bahwa syariat itu
merupakan syariat dan undang-undang yang wajib ditaati dengan
menetapkannya sebagai syariat.49 Contohnya antara lain sebagaimana
disebutkan dalam QS. al-Baqarah (1): 183
48 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 112. 49 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 105.
39
)183: 1/البقرة(
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah (1): 183)
Namun, jika al-Qur’an dan al-Sunnah menyatakan bahwa hukum-
hukum tersebut telah dihapus, maka hukum-hukum tersebut sudah
tidak berlaku lagi buat kita. Contoh dari hal tersebut adalah bahwa umat
nabi Musa apabila berbuat maksiat maka harus bunuh diri karena sudah
tidak dapat bertobat lagi. Hukum tersebut pernah diberlakukan bagi
umat nabi Musa, tetapi tidak bagi kita.
3. Mazhab Syafi’iyyah
Mengenai dasar-dasar yang hukum yang dipakai oleh Imam
Syafi’i (150 H- 204 H) dalam menetapkan hukum adalah sebagai
berikut:
وإذا اتصل احلديث . وسنة فإن مل يكن فقياس عليهمااألصل قرانمجاع أكرب من اخلرب واإل. من رسول اهللا وصح اإلسناد فهو املنتهى
منها ظاهره املفرد واحلديث على ظاهره وإذا احتمل املعاين فما أشبهأوالها به وإذا تكافأت االحاديث فأصحها إسنادا أوالها، وليس املنقطع بشيء ما عدا منقطع ابن املسيب وال قياس أصل على أصل
40
سه وإمنا يقال للفرع مل؟ فإذا صح قياوال يقال ألصل مل، كيف؟ 50.على األصل صح وقامت به حجة
Artinya: ”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an dan
Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama. Hadits Munqathi’ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah”.
Dari perkataan Imam Syafi’i tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa pokok-pokok pemikiran beliau dalam
mengistinbathkan hukum adalah:
a. Al-Qur’an dan al-Sunnah
Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah
mempunyai kedudukan yang sama yakni dalam satu martabat. Hal
ini dikarenakan bahwa kedua-duanya berasal dari Allah dan
keduanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam.51
Al-Sunnah menurut beliau adalah menjelaskan al-Qur’an oleh
50 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 105. 51 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 239.
41
karenanya al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an. Akan tetapi beliau
tidak menyamakan hadits ahad dengan al-Qur’an dan hadits
mutawatir karena tidak sama nilainya.
Al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai derajat yang
sama. Untuk menghindari kekeliruan terhadap pandangan yang
mempersamakan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka perlu digaris
bawahi:52
1. Al-Sunnah yang seperingkat dengan al-Qur’an adalah al-Sunnah
al- Mutawatirah (Sabitah), sama-sama qat’i al-wurud. Sedangkan
hadits ahad tidak seperingkat dengan al-Qur’an karena zanni al-
wurud. Akan tetapi, hadits ahad dibolehkan mentakhsiskan ayat-
ayat al-Qur’an yang zanni al-dalalah.
2. Al-Qur’an dan al-Sunnah seperingkat dalam mengistinbathkan
hukum furu’ bukan dalam menetapkan akidah.
3. Kesamaan peringkat tersebut tidak boleh diartikan sebagai
menurunkan al-Qur’an dari posisinya sebagai pokok dan sendi
agama Islam. Demikian juga tidak boleh diartikan sebagai
menaikkan posisi al-Sunnah dari posisinya sebagai cabang dan
penjelas al-Qur’an. Persamaannya hanya dalam hal sama-sama
menjadi landasan istinbath hukum furu’.
52 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 57.
42
Imam Syafi’i mengambil al-Qur’an dengan makna (arti) yang
lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang
lahir itu yang harus dipakai atau dituruti. Dalam hal sunnah, beliau
tidak hanya mewajibkan mengambil hadits yang mutawatir saja, tetapi
beliau juga mengambil dan menggunakan hadits ahad sebagai dalil
selama selama perawi hadis tersebut terpercaya, kuat ingatan dan
bersambung sanadnya langsung sampai kepada Nabi SAW.53
b. Ijma’
Imam Syafi’i menyatakan bahwa ijma’ menjadi hujjah setelah al-
Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas dalam menetapkan hukum.54
Pengertian ijma’ dalam pandangannya ialah bahwa para ulama suatu
masa bersatu pendapat tentang sesuatu persoalan, sehingga ijma’
mereka menjadi hujjah terhadap persoalan yang mereka ijma’kan,
seperti yang dikemukakannya bahwa (”Saya dan tidak seorang pun
dari kalangan ulama pernah mengatakan: ”Ini adalah persoalan
yang telah disepakati”, kecuali menyangkut persoalan yang tidak
seorang ahli pun pernah mempersoalkannya lagi kepada anda dan
meriwayatkannya dari orang-orang yang mendahuluinya, seperti
salat Zuhur empat rakaat, bahwa khamar itu diharamkan dan
sebagainya”).55
53 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 211. 54 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 253. 55 Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah (Kairo: Dar al-Turas, 1979), Juz III, h. 534.
43
Statemennya tersebut mengandung pengertian bahwa mereka
yang berijma’ adalah para ulama karena merekalah yang bisa
menemukan apa yang halal dan apa yang haram atas sesuatu yang tidak
disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka terdiri dari ulama
semasa dari seluruh negeri Islam. Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah
adalah ijma’ yang berasal dari ulama seluruh penjuru Islam bukan ijma’
ulama ahl Madinah. Artinya, ijma’ ahl Madinah tidak dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam Syafi’i
menolak ijma’ ulama yang diakui gurunya, Imam Malik. Hal ini sesuai
dengan pernyataan beliau bahwa Ijma’ adalah ijma’ ulama pada suatu
masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan juga
bukan ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui bahwa
ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.56 Hal ini karena ijma’
mereka menunjukkan bahwa masalah yang diijma’kan itu didengarnya
dari Nabi SAW.
c. Qiyas
Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil dalam
menetapkan hukum setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’. Beliau
adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas. Beliau
adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan
kaidahnya dan menjelaskan alasan-alasannya. Maka pantaslah beliau 56 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 259.
44
diakui sebagai peletak pertama metodologi qiyas sebagai satu disiplin
ilmu dalam menetapkan hukum Islam sehingga dapat dipelajari dan
diajarkan.57 Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah
menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun mereka belum membuat
rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad
secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit
diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disini
Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan
kerangka teoritis dan metodologisnya dalam bentuk kaidah rasional
namun tetap praktis. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad
itu adalah qiyas.58
Beliau menggunakan qiyas berdasarkan pada firman Allah
dalam QS. al-Nisa (4): 59
)59: 4/النساء(
57 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i, h. 96. Contoh qiyas seperti firman Allah dalam QS. al-Zilzal: 7-8 bahwa (”Barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar zarrah, Ia pasti melihatnya. Barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar zarrah, Ia pun pasti akan melihatnya”). Maka jika diqiyaskan bahwa kebaikan yang lebih berat dari satu zarrah, berarti lebih terpuji dan keburukan yang lebih berat dari satu zarrah lebih tercela. 58 Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah, Juz III h. 477.
45
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. al-Nisa (4): 59) Imam Syafi’i berpendapat bahwa maksud ”kembalikan kepada Allah
dan Rasul-Nya” maksudnya adalah kembalikanlah kepada salah satu dari
keduanya yakni al-Qur’an atau al-Sunnah.59
Selain berdasarkan kepada al-Qur’an, imam Syafi’i juga berdasarkan
kepada al-Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, yaitu berdasarkan
hadis tentang dialog Nabi dengan sahabat yang bernama Mua’adz ibn Jabal,
ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur di sana. Mua’dz ibn Jabal
memutuskan masalah berdasarkan al-Qur’an, jika beliau tidak menemukan
dalam al-Qur’an maka diputuskan berdasarkan al-Sunnah. Jika tidak
ditemukan dalam al-Sunnah, maka beliau berijtihad berdasarkan pendapatnya.
4. Mazhab Hanabilah
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) merupakan ahli hadits
sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.60 Akan tetapi terjadi
perselisihan di antara ulama tentang kemampuan beliau sebagai ahli fiqh. Ibn
Jarir al-Thabary berpendapat bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk Ahlu
59 Ibid., Juz I, h. 81. 60 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 323.
46
al-Hadits.61 Oleh karena itu, beliau tidak memperhitungkan pendapat-
pendapat Imam Ahmad dalam menghadapi khilaf dalam persoalan fiqh. Ibnu
Qutaibah memasukkan Ahmad ibn Hanbal dalam bilanggan muhadditsin,
bukan fuqaha.62 Sedangkan Ibn Abdul al-Barr sebagaimana dikutip oleh
Huzaemah Tahido Yanggo hanya memasukkan Abu Hanifah, Malik dan al-
Syafi’i sebagai ahli fiqh.63
Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan
hukum adalah:64
a. Nash dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih
Apabila beliau telah menghadapi suatu nash dari al-Qur’an dan
dari Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum
adalah dengan mengambil dari kedua sumber hukum tersebut.
b. Fatwa para Sahabat Nabi SAW.
Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dengan
mengambil dasar dari fatwa para Sahabat Nabi SAW. yang tidak ada
perselisihan di antara mereka jika beliau tidak menemukan suatu nash
yang jelas dari al-Qur’an dan Rasul yang shahih.
c. Fatwa Sahabat yang diperselisihkan
61 Ibid., h. 323. 62 Ibid., h. 323. 63 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 140. 64 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Ed. Thaha Abd al-Rauf (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1973), Juz I, h. 29-33.
47
Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dari fatwa
Sahabat yang diperselisihkan dengan memilih fatwa Sahabat yang
lebih mendekati al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini beliau lakukan jika
beliau tidak menemukan nash yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah dan
fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka.
d. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Imam Ahmad ibn Hanbal membagi hadits menjadi dua yakni
hadits mursal dan hadits dha’if tidak seperti para ulama yang membagi
hadits menjadi shahih, hasan dan dha’if. Apabila dalam suatu perkara
tidak terdapat penyelesaian, maka hadits mursal dan dha’if digunakan
sebagai hujjah. Akan tetapi hadits dha’if yang digunakan bukan berarti
hadits dha’if yang batil, mungkar dan hadits yang dalam
periwayatannya terdapat perawi yang diragukan kejujurannya. Apabila
hadits dha’if tersebut tidak terdapat atsar yang membantah
keabsahannya, atau pendapat sahabat, tidak pula ijma’, maka lebih
mengamalkan hadits dha’if lebih utama daripada melakukan qiyas.65
Dalam keadaan darurat Imam Ahmad menerima hadits dha’if dan
mendahulukannya dari qiyas. Beliau menetapkan hukum dengan
mengambil dasar dari hadits mursal dan dha’if jika beliau tidak
65 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 107-108.
48
menemukan nash yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah dan fatwa Sahabat
yang disepakati atau diperselisihkan.
e. Qiyas
Imam Ahmad ibn Hanbal walaupun tergolong ulama yang
mengunakan Qiyas dalam menetapkan hukum, akan tetapi beliau tidak
banyak menggunakannya. Beliau hanya menggunakannya dalam
keadaan darurat.
5. Mazhab Syiah Imamiyah
Mazhab syiah asalnya bukan sebagai mazhab dalam bidang
hukum fiqih, tetapi sebagai kelompok politik yang berpendapat bahwa
yang berhak menjadi khalifah setelah nabi wafat adalah Ali bin Ibn Abi
Thalib, bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.66 Pada perkembangannya
mazhab syiah bukan saja menjadi mazhab politik, tetapi juga menjadi
mazhab fiqh.
Syiah Isna Asyariyah, biasa juga dikenal dengan nama
Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok Syiah yang mempercayai
adanya dua belas imam yang kesemuanya dari keturunan Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah al-Zahra, putri Rasulullah SAW.
66 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 145
49
Syiah Imamiyah menetapkan hukum berdasarkan pada al-
Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan al-Ra’yu.67 Imamiyah berpendapat bahwa
pendapat para imam sama nilainya dengan hadits Rasul. Pendapat para
imam tidak dipandang istinbath, tetapi dianggap sunnah yang harus
diikuti. Pendapat para imam dianggap satu kesatuan. Lantaran itu syiah
Imamiyah tidak mengatakan bahwa Ja’far al-Shadiq mempunyai fiqh
yang berdiri sendiri, terpisah dari fiqh imam-imam syiah yang lain.68
Pada mulanya ulama syiah imamiyah melakukan ijtihad
mengikuti metode imam Syafi’i dalam menetapkan hukum, tetapi lama-
kelamaan, mereka menetapkan ushul fiqh sendiri dan beristinbath
dengan caranya sendiri pula. Mereka berijtihad menggunakan maslahat,
bukan dengan cara qiyas.69
Secara terperinci Syiah Imamiyah dalam mengistinbathkan
hukum berdasarkan pada:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjatul Islam pokok yang disepakati
oleh seluruh umat Islam. Al-Qur’an merupakan sumber dari segala
sumber. Al-Qur’an dijamin terpelihara oleh Allah sebagaimana firman-
Nya di dalam QS. al-Hijr (15): 9
67 Ibid., 148. 68 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 409.
69 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 148.
50
)9: 15/احلجر(
Artinya: ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr (15): 9)
Imam Ja’far al-Shadiq berpendapat bahwa al-Qur’an adalah
kitab yang mencakup segala hukum, sedangkan al-Sunnah tidak
mendatangkan sesuatu yang baru. Al-Sunnah tidak diterima dan
diamalkan sebelum dirujuk kepada al-Qur’an.70
b. Al-Sunnah
Syiah Imamiyah berpendapat bahwa sunnah terbagi dua
macam yakni sunnah mutawatirah dan sunnah yang tidak
mutawatirah.71 Sunnah mutawatirah ada yang mutawatir dari Nabi dan
ada yang mutawatir dari imam yang ma’shum. Sunnah bagi mereka
termasuk fatwa imam. Mereka berpendapat bahwa mengingkari sunnah
mutawatirah akan menjadi kafir dan menolak fatwa imam akan menjadi
fasik.
c. Ijma’
Jumhur Syiah Imamiyah berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan suatu golongan yang kesepakatan mereka menyingkapkan
70 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 32. 71 Ibid., h. 45.
51
pendapat imam yang ma’shum.72 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa
ijma’ di kalangan Syiah Imamiyah hanya dapat terjadi ketika tidak ada
imam dari golongan mereka. Ijma’ dalam pandangan Syiah Imamiyah
hanyalah menyingkap pendapat imam. Imamlah yang menjadi pokok
dasar. Apabila murid-murid imam sepakat menetapkan suatu hukum,
maka hal itu dianggap pendapat imam-imam mereka.
d. Al-Ra’yu
Syiah Imamiyah mempergunakan ra’yu (akal) untuk
mengetahui hal baik yang merupakan sesuatu yang dituntut syara’ dan
hal buruk yang merupakan sesuatu yang dilarang oleh syara’. Golongan
imamiyah berpendapat bahwa segala yang diperintah akal harus
dikerjakan. Segala yang dilarang akal harus ditinggalkan. Akal menurut
mereka tidak menyuruh dan melarang akan sesuatu. Akal hanya
menyingkap perintah dan larangan Allah.73
Al-Zaidiyah adalah adalah kelompok syiah pengikut Zaid bin
Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra.
Beliau lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Beliau dikenal
sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas
sekaligus revolusioner.74
72 Ibid., 53. 73 Ibid., h. 59. 74 Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Ciputat: Lentera Hati, 2007), h. 78.
52
Al-Zaidiyah dalam konteks menetapkan hukum menggunakan
al-Qur’an, sunnah dan nalar.75 Mereka tidak membatasi penerimaan
hadits dari keluarga Nabi semata-mata, tetapi mengandalkan juga
riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain.76
6. Mazhab Zhahiriyah
Pendiri mazhab Zhahiriyah adalah Daud ibn Ali al-Ashfaniy
yang dilahirkan pada tahun 202 H. di Kufah dan wafat pada tahun 270
H. di Baghdad. Mazhab Zhahiriyah adalah suatu mazhab yang
menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada zahir nash saja, tidak
memberikan ta’wil atau tafsir terhadap nash, baik al-Qur’an maupun
sunnah Rasul. Mereka menafsirkan ayat al-Qur’an atau hadits dengan
menggunakan ayat al-Qur’an atau hadits yang lain dan tidak
menafsirkan dengan selain itu.77Kemudian mazhab Zhahiriyah ini
dikembangkan oleh Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy (384-456 H) yang
dikenal dengan ibn Hazm. Ibn Hazm sebagaimana diterangkan dalam
kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam mengistinbathkan hukum berdasarkan
4 sumber yakni al-Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat dan dalil.78
75 Kamil Musa, al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islamiy (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1989), h. 166. 76 Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, h. 82. 77 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 152. 78 Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Jil, 1987), Juz I h. 69.
53
Secara terperinci dasar Ibnu Hazm dalam menetapkan suatu
dasar hukum adalah:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber. Tidak ada
sesuatu dalil syar’i melainkan diambil dari al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah asal dari setiap asal. Ibn Hazm hanya mengambil zahir al-
Qur’an dalam menetapkan hukum. Apabila zahir al-Qur’an
memerintah wajib, maka wajib segera dilaksanakan kecuali terdapat
dalil yang menetapkan tidak demikian. Lafaz umum harus dimaknai
umum karena berdasarkan zahir keumuman lafaz tersebut kecuali
terdapat keterangan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan zahir.79
b. Al-Sunnah
Ibn Hazm berpendapat bahwa al-Sunnah merupakan nash yang
turut membina syariat walau hujjahnya diambil dari al-Qur’an.
Keduanya merupakan wahyu dari Allah.80 Al-Qur’an dan al-Sunnah
merupakan satu dalam bidang istidlal, tidak didahulukan yang satu
atas yang lain. Keduanya dipandang senilai dan semartabat dalam
bidang istidlal.
c. Ijma’ Sahabat
Ijma’ yang ditetapkan oleh ibn Hazm adalah ijma’ mutawatir
yang bersambung sanadnya kepada Rasul dan harus bersandarkan 79 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 324. 80 Ibid., 326.
54
kepada nash. Ijma’ yang tidak bersandarkan kepada nash bukan
termasuk ijma’. Ijma’ ulama Madinah oleh ibn Hazm tidak dapat
dikatakan sebagai ijma’ dan tidak dijadikan hujjah dalam
mengistinbathkan hukum.
d. Dalil
Ibn Hazm menggunakan apa yang ia sebut dengan ”dalil”
sebagai pengganti qiyas dalam mengistinbathkan hukum setelah al-
Qur’an, sunnah dan ijma’ sahabat.81 Dalil diambil dari nash atau
ijma’.
81 Ibid., h. 349.
55
BAB III
PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN ULAMA
A. Imam Salat
1. Pengertian Imam Salat
Imamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Imam artinya
“pemimpin”, seperti “ketua” atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk
ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah yaitu penguasa dan
pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga bisa digunakan untuk Al-Qur’an
karena Al-Qur’an itu adalah imam (pedoman) bagi umat Islam. Demikian
pula, bisa digunakan untuk Rasulullah SAW karena beliau adalah pemimpin.
Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu,
untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya.1
Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata imamah, yang ada imam
(pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin),2 seperti dalam firman Allah
SWT QS. Al-Baqarah (1): 124
)124: 1/البقرة(
1 Ali Ahmad al-Salus, Imamah dan Khalifah dalam Tinjauan Syar’i. Penerjemah Asmuni Solihin Zamarkhsyari (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 15 2 Ibid., h. 15
56
Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al-Baqarah (1): 124)
)73: 21/االنبياء(
Artinya: ”Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah”. (QS. al-Anbiya (21): 73)
)12: 09/التوبة(
Artinya: ”Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji,
dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. al-Taubah (9): 12)
)41: 28/القصص(Artinya: ”Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru
(manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (QS. al-Qashash (28): 41)
57
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, arti imam terbagi menjadi dua
bagian yaitu imam dalam pengertian luas dan sempit. Pengertian yang luas
berarti hak pengendalian yang menyeluruh atas manusia atau memberi
ketaatan pada ketua dalam perkara agama dan dunia.3 Al-Mawardi
mengatakan imamah ditujukan untuk mengantikan tugas kenabian dalam
memimpin urusan agama dan dunia.4
Dalam pengertian sempit, maksudnya adalah imam salat, yang berarti
hubungan salat seseorang dengan imamnya.5 Imam adalah orang yang
memimpin pelaksanaan salat jamaah.
2. Syarat Imam Salat
Persoalan tentang kepemimpinan dalam salat (imam) telah
menjadi salah satu topik kajian para ulama dalam f iqh ibadah.
Signifikasi konsep imamah ini terlihat dengan adanya berbagai kriteria
yang ditetapkan ulama bagi orang-orang yang akan didaulat sebagai
imam salat. Para ulama menetapkan beberapa syarat imam salat, yang
terkadang antara ulama satu dengan yang lainnya berbeda pendapat.
Mainstream ulama memberikan beberapa kriteria yaitu muslim, berakal,
baligh, pria, suci dari hadas dan kotoran, bacaannya baik, alim, dan
3 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), jilid II h. 1191-1192 4 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 5.
5 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu, h. 1192
58
sebagainya.6
Wahbah Zuhaili menerangkan bahwa untuk menjadi imam salat ada 9
syarat yakni:
a. Muslim, maka tidak boleh imam dari golongan kafir.
b. Berakal, maka tidak boleh salat di belakang orang gila.
c. Baligh. Menurut jumhur ulama tidak sah imam mumayyiz (anak kecil)
bagi orang yang sudah baligh, baik bagi salat fardu maupun salat sunnah,
dan bagi salat fardu saja menurut mazhab Maliki dan Hanbali.
d. Laki-laki yang sempurna. Apabila makmumnya laki-laki atau khunsa
(banci), maka tidak sah yang menjadi imam itu wanita atau banci, baik
dalam salat fardu maupun salat sunnah.
e. Suci, maka tidak sah imam itu seorang yang berhadas.
f. Pandai membaca al-Qur’an. Menurut jumhur, tidak sah imamah itu
seorang yang ummi (bodoh) dalam bacaan.
g. Keadaannya bukan makmum, maka tidak sah mengikuti makmum.
h. Mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan bahwa imam itu harus
terpelihara dari uzur (halangan).
i. Imam itu orang yang bagus lidahnya (bahasanya/tidak cadel).7
6 Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas
Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (Juli-Desember 2008): h. 2
7 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu, h. 1192-1198
59
Secara terperinci, Abu Hanifah mendahulukan mereka yang lebih
atas pengetahuan hukum-hukum, kemudian yang paling baik bacaannya,
kemudian mereka yang wara’, muslim, berumur, memiliki akhlak mulia,
tampan wajahnya, baik nasabnya, dan paling bersih pakaiannya. Apabila
terdapat sejumlah orang yang sama kriterianya, maka diadakan undian
untuk memilih salah seorang yang berhak menjadi imam.8 Senada
dengan pandangan Hanafiyah, Malikiyah memberikan syarat-syarat
kepemimpinan shalat secara agak luas, mencakup ke arah imamah
kubra, dan memperluas syarat-syaratnya. Adapun persyaratan secara
rinci yang dikemukakan Malikiyah adalah lebih mendahulukan sultan
(penguasa) atau wakilnya, imam masjid, penghuni rumah, yang paling
tahu tentang masalah salat, yang paling baik bacaannya, yang paling
banyak ibadahnya, yang lebih dulu Islamnya, suci nasabnya, memiliki
akhlak mulia, bagus pakaiannnya dan jika sama akan diadakan undian
untuk menentukannya.9
Sementara itu, Syafi’iyah memberikan persyaratan penguasa dan
imam masjid lebih didahulukan daripada mereka yang lebih paham
terhadap masalah salat dan baru kemudian mereka yang paling baik
bacaannya. Hanabilah berpandangan bahwa orang yang berhak
menjadi imam adalah yang seseorang yang paling paham dan paling
8 Ibid., h. 1201-1202.
9 Ibid., h. 12021203.
60
baik bacaannya, kemudian orang yang paling baik bacaannya saja, dan
jika tidak ada maka baru mereka yang paling paham tentang masalah
salat. Namun, jika masih ditemukan ada yang sama, maka ditentukan
melalui undian. Berbeda dengan tradisi Sunni, kalangan Syi’ah lebih
mendahulukan para imam mereka untuk pimpinan salat. Apabila terdapat
kesamaan, maka yang didahulukan adalah yang lebih paham terhadap
ajaran agama, lebih baik bacaannya dan lebih tua umurnya.10
Secara umum, dari pendapat para ulama di atas terdapat beberapa
kriteria yang bersifat substansial, yang disepakati oleh mereka, untuk
seseorang yang dapat menjadi imam yakni kemampuan bacaan dan
kapasitas ilmu agama yang baik.
Sementara kriteria-kriteria lain, seperti umur, kedudukan, akhlak,
dan lain sebagainya, menjadi tidak terlalu substansial dibandingkan kedua
kriteria di atas. Namun, beberapa ulama memberikan persyaratan khusus
terkait dengan kriteria jenis kelamin, yang hanya membolehkan
laki-laki sebagai imam. Sementara itu, perempuan hanya diperbolehkan
imam bagi kaumnya saja.
Sedangkan Hasbi as-Shiddieqy mengemukakan bahwa syarat minimal
imam salat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:11
10 Ibid., h. 1203-1205. 11 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001),
h. 455
61
a. Sanggup menunaikan salat. Maka jika dengan tiba-tiba datang ganguan,
hendaklah ia menggantikan dirinya dan mundur ke dalam shaf.
b. Mengetahui ketentuan salat. Mengetahui sah tidaknya salat dalam segala
sudut. Karena itu, tidak sah diikuti orang yang tidak sedikit juga
mengetahui Al-Qur’an dan tidak mengetahui fiqh. Dikehendaki dengan
mengetahui fiqh di sini, ialah mengetahui hukum-hukum bersuci dan
hukum-hukum salat.
c. Mempunyai hafalan yang kuat.
d. Tidak cacat bacaan Al-Qur’an (Al-Fatihah dan surat, dan dzikir)
3. Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam
Klasik
Permulaan Nabi Muhammad SAW. mengerjakan salat berjamaah
secara terang-terangan dan terus-menerus, ialah di Madinah. Di kala masih di
Mekkah, Nabi SAW. tidak mengerjakan salat dengan berjamaah di Masjid,
karena sahabat Nabi kala itu masih lemah. Nabi SAW. salat berjamaah di
rumahnya, terkadang-kadang dengan sayyidina Ali ra. dan terkadang-kadang
dengan sayyidatina Khadijah ra. Jika Nabi SAW. salat berjamaah dengan para
sahabat di luar rumah, maka Nabi SAW. melaksanakannya di tempat-tempat
yang sepi. Para sahabat Nabi SAW. pun demikian halnya, yakni berjamaah di
rumah atau di tempat-tempat yang tersembunyi.12
12 Ibid., h. 432
62
Orang-orang yang menghadiri jamaah bersama-sama lelaki adalah
kebajikan. Sejarah dan riwayat membuktikan bahwa orang-orang perempuan
di masa Nabi SAW. turut salat bersama-sama Nabi SAW. baik di waktu siang
maupun di malam hari. Bahkan Nabi SAW. melarang para sahabat melarang
istri-istri mereka pergi salat berjamaah ke mesjid pada malam hari. Hal ini
sebagaimana sabda Nabi SAW:
13بالليلال متنعوا النساء من اخلروج إىل املساجد Artinya: ”Janganlah kalian melarang istri-istri kalian pergi ke mesjid di
malam hari”. (HR Muslim). Jika orang-orang perempuan salat berjamaah bersama-sama
perempuan, mereka diimami oleh seorang perempuan, maka ini pun dianggap
baik karena tidak ada nash yang melarangnya. Aisyah ra. mengimami orang-
orang perempuan pada salat Maghrib. Beliau berdiri di tengah-tengah (pada
shaf pertama) dengan menjaharkan bacaan. Aisyah juga pernah menjadi imam
bagi orang-orang perempuan dalam salat Tathauwwu’. Beliau menjadi imam
bagi sesama perempuan. Ummu Salamah mengimami orang-orang perempuan
pada salat Ashar. Beliau berdiri di tengah-tengah mereka (shaf pertama).
Ummu Salamah juga menjadi imam bagi orang-orang perempuan di bulan
Ramadhan.14
13 Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007), Vol. IV, h. 383.
14 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, h. 444-445.
63
Dalam kitab Fiqh Sunnah, karangan Syeikh Sayyid Sabiq terdapat bab
kebolehan perempuan menjadi imam bagi perempuan. Dalam bab ini
dijelaskan bahwa Aisyah dan Ummu Salamah pernah mengimami jamaah
perempuan, dan Ummu Waraqah pernah diperintah oleh Nabi untuk menjadi
imam bagi keluarganya dalam salat fardhu, sedang di antara mereka ada
seorang laki-laki.15
B. Imam Salat dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an
Al-Qur’an menginformasikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki
hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah dalam seluruh aspek
kehidupannya. Al-Qur’an menyebutkan asas egalitarianisme Islam. Kelebihan
manusia atas manusia yang lain hanya berlaku pada soal kwalitas ibadahnya
kepada Allah (taqwa). Hal ini dijelaskan di dalam QS. al-Hujurat (49): 13
)13: 49/ الحجرات(
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat (49): 13)
15 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973) Cet. II Jilid. I h. 237
64
Lihat pula firman Allah yang menyatakan imbalan yang sama diberikan
Allah kepada hamba-Nya yang melakukan amalan shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam surat al-Nahl (16): 97
)97: 16/النحل(
Artinya: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-Nahl (16): 97)
Begitu pula kesamaan laki-laki dengan perempuan dalam memperoleh
hak dan bagian dari hasil usahanya, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Nisa (4):
32
)32: 4/النساء(
Artinya: ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. al-Nisa (4): 32)
65
Persoalan perizinan atau pelarangan imamah perempuan dalam salat
dengan makmum laki-laki tampaknya tidak ada ayat yang secara tegas menyebut
demikian. Imam al-Syafi’i (w. 204 H) dalam al-Umm membuat satu bahasan
dengan topik إمامة المرأة للرجال (keimaman perempuan untuk laki-laki). Kemudian
beliau mengatakan:
وإذا صلت املرأة برجال ونساء وصبيان ذكور فصالة النساء جمزئة وصالة الرجال والصبيان الذكور غري جمزئة ألن اهللا عزوجل جعل الرجال قوامني
ذلك وال جيوز أن تكون امرأة على النساء وقصرهن عن أن يكن أولياء وغري 16إمام رجل يف صالة حبال أبدا
Artinya: Apabila wanita salat menjadi imam untuk kaum laki-laki, perempuan,
dan anak laki-laki, maka salat para makmum yang wanita sah. Sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal itu karena Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan, Allah juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain. Perempuan dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.
Mayoritas ulama salaf dan khalaf telah sepakat akan ketidakbolehan
perempuan memegang tampuk pimpinan terlebih lagi kepemimpinan negara
Islam.17 Begitu juga kepemimpinan perempuan dalam salat Alasan yang sering
digunakan antara lain adalah firman Allah SWT QS. al-Nisa (4): 34
16 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm (Beirut: Dar al-Wafa, 2005), Juz II Cet. III h. 320.
17 Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Ceria, 2008) h. 114.
66
)34: 4/النساء(
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. al-Nisa (4): 34)
Dari ayat 34 Surat Al-Nisa ini, secara khusus yang dibahas di sini
adalah qawwamun. Kata ini seperti tersebut di atas merupakan potongan kalimat
dari ayat al-rijal qawwamun ala al-nisa (kaum lelaki adalah qawwamun bagi
perempuan). Kata qawwamun adalah bentuk jamak (plural) dari al-qawwamu
yang berarti menjamin, mampu berdiri, dan raja.18 Menurut al-Mu’jam al-
Wasith, kata al-qawwamu berarti bagus pendirian, dan mempunyai ide yang
bagus dalam setiap pekerjaan.19 Namun menurut al-Munawwir, kata al-
Qawwamu berarti yang menanggung, bertanggung jawab, amir, kepala,
pemimpin.20
Tafsir besar klasik populer menjelaskan hal ini secara etimologi
kebahasaan dimulai oleh Al-Thabari. Ia mengartikan kata itu dengan arti Ahl al-
Qiyam (penegak). Ini berarti bahwa laki-laki sebagai penegak derajat kaum
perempuan bertanggung jawab mendidik dan membimbing istri agar
menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun suami dalam keluarganya. Al-
Tabari memaparkan:
18 Abdul Lois Ma’luf, Al-Munjid (Beirut: Dar al-Masyrik, 2002), h. 664 19 Anis Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasith (Qahirah: Dar al-Qalam, t.th.), h. 786 20 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1174
67
يعين بقوله جل ثناؤه الرجال قوامون على النساء الرجال أهل قيام على نسائهم يف تأديبهن واألخذ على أيديهن فيما جيب عليهن اهللا وألنفسهم
على أزواجهم من مبافضل اهللا به الرجال مبافضل اهللا بعضهم على بعض يعين 21سوقهم إليهن مهورهن وإنفاقهم عليهن أمواهلم وكفايتهم إياهن مؤن
Artinya: ”Yang dimaksud dengan para lelaki qawwamun atas perempuan, lelaki
itu Ahl al-Qiyam (penegak) untuk kaum perempuannya dalam tugas mendidik dan mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan kaum perempuan terhadap Allah serta hak diri kaum laki-laki sendiri, disebabkan keunggulan yang diberikan Allah di atas yang lainnya. Maksudnya karena Allah mengunggulkan kaum laki-laki di atas para isterinya berupa pemberian maharnya kepada para isteri, kewajiban memberi nafkah harta bendanya kepada isteri, dan jaminan para suami terhadap perbekalan hidup para isteri”.
Al-Bagawi menafsirkan qawwamun dengan pelindung kaum
perempuan, penguasa dan pengatur pendidikan para perempuan.22 Al-
Zamakhsyari menekankan arti kata itu pada kaum lelaki untuk menegakkan amr
bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar kepada istrinya. Seperti apa yang
dilakukan pemimpin kepada rakyatnya.23 Demikian juga pendapat Abdullah
Yusuf Ali menerjemahkan dengan arti pelindung.24 Serasi dengan pendapat
21 Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay’ al-Qur’an (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Vol. IV, h. 59. 22 Abu Muhammad al-Hasan al-Farra al-Bagawi, Tafsir al-Bagawi (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1993), vol. 1 h. 335 23 Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju
Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, h. 116 24 Abdullah Yusuf Ali, Quran. Penerjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.
190
68
Rasyid Rida, kata itu berarti pemimpin tetapi menempuh jalan bimbingan dan
penjagaan bukan melalui pemaksaan.25
Sementara al-Zamaksyari menegaskan bahwa ayat tersebut
menunjukkan keunggulan laki-laki adalah alami, bukan karena hasil paksaan.
Kemudian pemikir Mu’tazilah ini mengemukakan bahwa kelebihan laki-laki itu
karena umumnya memiliki kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan,
kekuatan, kemampuan tulisan, dan keberanian. Karena itu dari kaum laki-laki ini
lahir para nabi, ulama, dan pemimpin. Mereka juga berperan dalam jihad, azan,
khutbah, i’tiqaf, takbir, persaksian, dalam hudud dan qisas. Juga mereka
menerima bagian lebih dalam waris dan lain-lain. Selain itu laki-laki juga dapat
menjadi wali nikah, menentukan talaq dan ruju’.26
Ibnu Katsir secara panjang lebar membahas ayat ini.27 Menurut beliau
ayat al-rijal qawwamun ala al-nisa berarti bahwa laki-laki lebih dibanding
wanita dalam empat hal, yaitu: memimpin, besar/kuat, hakim dan mengajar
akhlaknya jika akhlaknya tidak baik. Karena laki-laki lebih baik daripada
perempuan, itulah sebabnya para Nabi hanya dari jenis laki-laki. Begitu pula
pengendalian kekuasaan yang lebih besar, dengan mengutip sabda Rasulullah
SAW bahwa (”tidak akan beruntung bagi suatu kaum/golongan yang
menyerahkan urusannya kepada wanita”).
25 Rasyid Rida, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), vol. 5 h. 68 26 Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju
Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, h. 118 27 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim (Riyadh: Dar Thayibah, 2007), Juz I h. 292.
69
Namun menurut Ibnu Katsir, kelebihan tersebut dalam masalah rumah
tangga dengan alasan kelanjutan ayat itu yang menyatakan bahwa laki-lakilah
yang harus mengeluarkan harta untuk mereka. 28
Rasyid Rida menekankan,29 bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan
terjadi karena dua sebab: fitri dan kasbi. Sebab fitri (bawaan) sudah ada sejak
penciptaan. Menurutnya, laki-laki sejak penciptaan sudah diberi kelebihan
kekuatan (al-Quwwah), dan kemampuan (al-Qudrah). Laki-laki katanya lebih
tegap (ajmal), lebih sempurna (atamm wa akmal) dan lebih kuat (aqwa).
Kelebihan laki-laki atas perempuan bukan hanya berlaku pada manusia
melainkan juga pada binatang. Binatang jantan adalah lebih tegap dan lebih
sempurna (ajmal wa akmal) daripada betinanya. Sebagai akibat dari
kesempurnaan sejak penciptaan itu, laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan
kejernihan pandangan. Rasyid Rida mengemukakan kenyataan itu merupakan
sesuatu yang wajar karena pribahasa sendiri menyatakan ’akal yang sehat ada
pada tubuh yang sehat’. Kemudian kelebihan akal katanya, menyebabkan
kelebihan kasbi. Laki-laki lebih mampu berusaha, berinovasi, dan bergerak.
Karena itu, laki-laki dituntut memberi nafkah pada perempuan, menjaga, dan
memimpinnya.
Abdullah al-Mirgani mengartikan qawwamun sebagai pelindung yakni
laki-laki pelindung bagi perempuan, sebagaimana seorang pemimpin mengurus
28 Ibid., h. 293. 29 Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 5 h. 69-70
70
rakyatnya. Hal ini dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-
laki) atas sebagian yang lain (perempuan) yakni karena kaum laki-laki yang
mengatur urusan perempuan berkat kelebihan yang mereka miliki, di antaranya
kesempurnaan akal, kemampuan manajemen, dan hak perwalian serta hak
lainnya. Selain itu karena laki-laki telah menafkahkan kepada perempuan
sebagian dari harta mereka seperti kewajiban memberi nafkah dan mahar.30
Sedangkan Nashir al-Sa’adi menafsirkan bahwa kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum perempuan, maksudnya dengan cara mengharuskan
mereka untuk menunaikan hak-hak Allah berupa pemeliharaan akan kewajiban-
kewajiban dari-Nya dan melarang mereka dari berbuat kerusakan, laki-laki wajib
untuk menekankan hal tersebut kepada mereka, dan laki-laki juga adalah
pemimpin mereka dengan memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian
dan tempat tinggal.31
Kemudian al-Sa’adi mengemukakan tentang kelebihan laki-laki atas
perempuan disebabkan dari berbagai segi. Segi kekuasaan adalah dikhususkan
bagi laki-laki, kenabian, karasulan, dan pengkhususan mereka dalam berbagai
macam ibadah seperti jihad, salat hari raya dan salat jumat, dan apa yang telah
berikan secara khusus bagi mereka berupa akal pikiran yang matang, kesabaran,
dan ketegaran yang tidak dimiliki oleh perempuan. Demikian juga Allah telah
mengkhususkan mereka dengan kewajiban memberikan nafkah kepada istri,
30 Muhammad Usman Abdullah al-Mirgani, Taj al-Tafasir (Dar al-Fikr, t.th.), Juz I h. 90. 31 Abdurrahman bin Nashir al-Sa’adi, Tafsir al-Sa’adi. Penerjemah Muhammad Iqbal, dkk
(Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999), h. 76
71
bahkan pada sebagian besar nafkah laki-laki dikhususkan untuknya dan
diistimewakan dengannya daripada perempuan. Laki-laki adalah seperti wali dan
tuan bagi istrinya, sedangkan istrinya adalah sebagai pendamping, tawanan, dan
pelayan. Maka tugas laki-laki adalah menunaikan apa yang telah Allah
perintahkan untuk dilindungi, dan tugas perempuan adalah melakukan ketaatan
kepada Rabb-Nya dan kepada suaminya.32
Amina Wadud Muhsin menyatakan kalimat ”Laki-laki adalah
qawwamun atas perempuan” tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu
melekat pada setiap laki-laki secara otomatis sebab hal itu hanya terjadi secara
fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an
memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku
bagi laki-laki melainkan juga untuk perempuan. Ayat ini sendiri tidak menyebut
semua laki-laki superior atas perempuan. Hal yang dinyatakan Kitab Suci adalah
bahwa ”Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki (ba’dahum) atas
sebagian yang lain.33
Selanjutnya Asghar Ali Engineer menjelaskan pernyataan al-Qur’an
”laki-laki adalah qawwam atas perempuan” sesungguhnya merupakan
pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat
rendah dan pekerjaan domestik dianggap pekerjaan perempuan. Sementara laki-
laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan
32 Ibid., h. 77 33 Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 121 dan 123.
72
mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan. Al-Qur’an
menggambarkan situasi sosial itu. Hal yang perlu diperhatikan, menurutnya
ialah bahwa al-Qur’an hanya mengatakan ”Kaum laki-laki adalah qawwamun
(pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa
laki-laki harus menjadi qawwam. Menurutnya, laki-laki merupakan pernyataan
kontekstual, bukan normatif.34
Mahmud Yunus menerjemahkan qawwamun dengan tulang punggung
(pemimpin).35 Quraish Shihab berpendapat bahwa kata qawwamun adalah
bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama artinya berdiri
atau tegak. Perintah salat misalnya, juga menggunakan akar kata itu. qawwam
artinya bukan mendirikannya semata akan tetapi juga melaksanakannya dengan
sempurna, memenuhi segala syarat,dan sunnahnya. Seseorang yang
melaksanakan tugas itu sesuai dengan harapannya dinamai qaim. Baru dinamai
qawwam seandainya pelaksanaan suatu tugas dilaksanakan sesempurna
mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang. Kata yang digunakan dalam
ayat itu adalah kata qawwam untuk makna kata banyak laki-laki (al-rijal).36
Namun, pertanyaan kemudian adalah kenapa al-Qur’an menyatakan
adanya keunggulan laki-laki atas perempuan karena nafkah yang mereka
berikan?. Masalah sesungguhnya di sini adalah masalah kesadaran sosial dan
34 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 701 35 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2004), h.113 36 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 402
73
penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada masa itu tidak diragukan lagi,
sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan.
Lebih dari itu, laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena
kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakan untuk
perempuan. Al-Qur’an mencerminkan kondisi sosial itu. Al-Qur’an hanya
mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemberi nafkah atau pengatur
urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus harus menjadi
qawwam. Dapat dilihat bahwa ”qawwam”merupakan sebuah pernyataan
kontekstual, bukan normatif. Seandainya al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki
harus menjadi qawwam, maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normatif dan
pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaaman dan dalam
semua keadaan.37
Mengenai QS. al-Nisa (4): 34 yang telah dikemukakan di atas, dapat
diketahui bahwa terdapat dua penafsiran yang berbeda. Kelompok pertama
menyatakan bahwa QS. al-Nisa (4): 34 hanya berkaitan dalam ruang lingkup
rumah tangga. Laki-laki dalam hal ini adalah sebagai pemimpin, pelindung,
pendidik dan pengayom perempuan dalam rumah tangga karena laki-laki
mempunyai kelebihan atas perempuan dan laki-lakilah yang memberikan nafkah
bagi perempuan. Ayat tersebut tidak lepas dalam konteks realitas sejarah
masyarakat arab saat itu. Derajat perempuan sangat rendah dan pekerjaan
domestik hanya menjadi tugas perempuan. Keadaan perempuan saat ini sungguh
37 Abdulmanan Syafi’i, “Memahami Ayat al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala al-Nisa Secara
Tekstual dan Kontekstual”, Harakat an-Nisa’, vol. 1 no. 1 (Januari 2001): h. 35-36
74
sangat berbeda dengan kondisi perempuan dalam sejarah arab jahili. Perempuan
era sekarang sudah dapat mengakses dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi sama seperti laki-laki. Bahkan banyak perempuan yang dapat
mengungguli prestasi laki-laki. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa
QS. al-Nisa (4): 34 menyatakan bahwa laki-laki adalah syarat mutlak sebagai
pemimpin bagi perempuan dalam segala bidang, tidak terkecuali imamah
perempuan dalam salat.
C. Imam Salat dalam Perspektif Al-Hadits
Secara umum, tidak ada hadits Nabi yang membedakan aturan dan
tatacara salat antara perempuan dan laki-laki. Hampir bisa dipastikan, hadits-
hadits yang berkaitan dengan salat memiliki ketentuan yang sama. Perlakuan
yang berbeda muncul dalam konteks pelaksanaan salat berjamaah, menyangkut
posisi perempuan dalam salat tersebut dan dibolehkannya perempuan bertindak
menjadi imam salat berjamaah.
Pandangan paling umum dalam masyarakat muslim sepanjang
sejarahnya sepakat menolak kepemimpinan perempuan bagi jamaah salat laki-
laki. Pandangan ini menyatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi
imam salat bagi makmum laki-laki. Perempuan menurut mereka, hanya
dibolehkan menjadi imam bagi jamaah perempuan.38
Abu Hamid al-Isfirayini, tokoh utama aliran fiqh Iraqi dari mazhab
Syafi’i (Syaikh al-Iraqiyyin), menyatakan bahwa (”Seluruh ulama fiqh dari 38 Husein Muhammad, “Perempuan dalam Fiqh Ibadah”, Harkat vol. 5, no. 1 (Oktober 2004): h. 4.
75
berbagai mazhab fiqh Islam, kecuali Abu Tsaur, salah seorang mujtahid besar,
sepakat berpendapat bahwa kepemimpinan perempuan dalam salat bagi jamaah
kaum laki-laki adalah tidak sah”).39
Akan tetapi, pernyataan Abu Hamid ini dibantah oleh Qadhi Abu
Thayyib dan al-Abdari. Kedua tokoh ini menyatakan bahwa (”Kebolehan
perempuan menjadi imam salat bagi kaum laki-laki bukan hanya dikemukakan
oleh Abu Tsaur saja, melainkan juga Ibn Jarir al-Thabari dan imam al-
Muzani”).40 Al-Thabari adalah seorang mufassir terkemuka, sejarawan, dan
pendiri mazhab fiqh, sementara al-Muzani adalah murid utama imam al-Syafi’i
Argumen yang dikemukakan untuk pandangan yang pertama ini adalah
hadits Nabi SAW. antara lain adalah:
التؤمن امرأة رجال وال أعرايب : عن جابر عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال 41 )اخرجه ابن ماجه(مهاجرا واليؤمن فاجر مؤمنا
Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin”.
Sementara pandangan kedua yakni pandangan minoritas ulama fiqh (Abu
Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari) mendasarkan pendapatnya pada hadits Ummu
Waraqah yang diriwayatkan Abu Daud sebagai berikut:
39 Syarafuddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-
Arabiy, 2001), Juz IV, h. 107. 40 Ibid., h. 107.
41 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), h. 122.
76
وكان رسول : وعن أم ورقة رضي اهللا عنها بنت عبد اهللا بن احلارث قالاهللا صلى اهللا عليه وسلم يزورها يف بيتها وجعل هلا مؤذنا يؤذن هلا وامرها
اخرجه (فأنا رأيت مؤذا شيخا كبريا : قال عبد الرمحن. أن تؤم أهل دارها 42)ابو داود
Artinya: Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau
menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.
Nama lengkap Ummu Waraqah adalah Ummu Waraqah binti Abd
Allah bin al-Harits bin Uaimir bin Naufal al-Anshari.43 Al-Asqalani menyatakan
bahwa (“Nabi SAW. Mengunjungi Ummu Waraqah dan menamakannya
Syahidah. Beliau memerintahkannya untuk mengimami keluarganya, kemudian
ia menjadi imam mereka dan ia mempunyai muazin. Maka kedua anak didiknya
membunuh Ummu Waraqah. Hal ini terjadi pada masa khalifah Umar bin al-
Khattab. Umar datang kepada keduanya, kemudian mensalib keduanya.
Keduanya adalah orang yang pertama disalib di Madinah. Maka Umar berkata:
“Benar Rasulullah bersabda: Mari kita mengunjungi Syahidah (Ummu
Waraqah)”.44
Itulah kisah Ummu Waraqah yang kemudian menjadi imam salat
jamaah untuk penghuni rumahnya. Kisah ini diriwayatkan oleh sejumlah ahli
42 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th), Juz I, h. 100
43 Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (India: Majlis Da’irat al-Ma’arif al-Nizhamiyah, t.th), Juz X, h. 533. 44 Ibid., h. 534.
77
Hadits sebagaimana yang dikutip oleh Husein Muhammad yaitu imam Ahmad
bin Hanbal (w. 241 H) dalam kitabnya al-musnad, imam Abu Daud (w. 275 H)
dalam kitabnya Sunan Abi Daud, dan imam Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dalam
kitabnya Shahih Ibnu Khuzaimah.45
Selanjutnya diriwayatkan oleh imam al-Tabrani (w. 360 H) dalam
kitabnya al-Mu’jam al-Kabir, imam al-Daruqutni (w. 385 H) dalam kitabnya
sunan al-Daruqutni, imam Ibnu al-Jarud (w. 307 H) dalam kitabnya al-
Muntaqa, imam al-Hakim (w. 407 H) dalam kitabnya al-Mustadrak, dan imam
al-Baihaqi dalam kitabnya Kitab Sunan al-Shagir.46
Hadits-hadits di atas menyatakan bahwa terdapat dua pendapat ulama
yang kontradiktif tentang imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-
laki. Pendapat mayoritas ulama mazhab tidak membolehkan perempuan menjadi
imam salat bagi makmum laki-laki. Pendapat ini berpatokan kepada hadits Jabir
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan bahwa perempuan tidak
boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Sedangkan minoritas ulama
seperti yang dikemukakan oleh Abu Tsaur, Muzani dan al-Thabari berpendapat
bahwa perempuan dibolehkan menjadi imam bagi makmum laki-laki. Mereka
berpendapat bahwa hadits Ummu Waraqah riwayat Abi Daud secara zahir
menyatakan bahwa Ummu Waraqah diizinkan menjadi imam penghuni
rumahnya sedangkan di situ terdapat laki-laki.
45 Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, h. 28 46 Ibid., h. 29-29
78
BAB IV
ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI
ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM
SALAT
A. Dasar Hukum Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat
Permasalahan mengenai kepemimpinan perempuan dalam salat bukan hal
yang baru. Bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW pun praktek imam
perempuan dalam salat sudah pernah terjadi. Sebut saja misalnya Ummu Waraqah
yang pernah menjadi imam salat di kalangan keluarganya, padahal di situ ada
laki-laki.1 Siti Aisyah bertindak sebagai imam bagi kaum perempuan dan berdiri
bersama mereka dalam barisan. Demikian pula halnya Ummu Salamah pernah
menjadi imam salat dengan makmum perempuan. Bahkan Rasulullah SAW.
mengangkat seorang muadzin untuk Ummu Waraqah dan diperintahkannya
supaya ia menjadi imam bagi keluarganya dalam salat-salat fardhu.2
Akan tetapi kisah-kisah itu sering dilupakan. Terutama dengan kehadiran
beberapa ayat al-Quran yang ditafsirkan menurut pandangan laki-laki, ungkapan
hadits maupun pandangan ulama yang secara harfiah memiliki makna yang
berbeda dengan keadaan di atas. Karenanya, diperlukan banyak rekonstruksi baru
untuk menilai hal yang bertentangan dengan redaksi tersebut.
1 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th), Juz I, h. 100. 2 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973), Cet. II Jilid I, h. 237.
79
Keseluruhan pandangan ulama tentang perempuan menjadi imam salat
dengan makmum laki-laki terdapat dua pendapat yakni ada yang membolehkan
dan ada yang melarang. Untuk mencapai satu pemikiran yang utuh, kiranya perlu
dikritisi dasar-dasar pandangan keduanya dengan mentelaah lebih lanjut
kekurangan dan kelebihannya.
1. Pendapat yang menolak kepemimpinan perempuan dalam salat dengan
makmum laki-laki
Pandangan umum masyarakat muslim sepanjang sejarah sepakat menolak
kepemimpinan perempuan bagi jamaah laki-laki dalam salat. Pandangan ini
menyatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi imam salat bagi
makmum laki-laki. Perempuan menurut mereka, hanya dibolehkan menjadi imam
bagi jamaah perempuan.
Para ulama dalam menanggapi masalah perempuan menjadi imam dalam
salat adalah:
a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi imam salat
dengan makmum laki-laki dalam salat fardhu maupun salat sunnah. Mereka
membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum perempuan,
tetapi hukumnya makruh.3
3 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), Jilid II, h. 1194.
80
b. Mazhab Maliki berpendapat bahwa laki-laki merupakan syarat mutlak imam
salat. Perempuan tidak sah menjadi imam dengan makmum laki-laki maupun
perempuan.4
c. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa syarat menjadi imam adalah laki-laki
yang sempurna (tidak banci). Apabila di antara makmum terdapat laki-laki
atau khunsa (banci), maka perempuan atau banci tidak sah menjadi imam
dengan makmum laki-laki baik di dalam salat fardhu maupun salat sunnah.
Jika makmum terdiri dari para perempuan saja, maka tidak menjadi syarat
imam mereka harus laki-laki, tetapi perempuan juga sah menjadi imam bagi
perempuan.5
d. Mazhab Hanbali berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi imam
dengan makmum laki-laki baik dalam salat fardhu maupun salat sunnah.6
Secara umum, ada beberapa argumentasi yang digunakan para ulama
untuk menolak imam perempuan bagi laki-laki:
1) Surat al-Nisa ayat 34 menyatakan bahwa (“Laki-laki adalah pemimpin
bagi perempuan”). Kepemimpinan laki-laki dalam ayat ini, kemudian
dijadikan legitimasi haknya untuk memimpin dalam bidang apapun tidak
terkecuali ibadah sehingga imamah salat menjadi kewenangan laki-laki.
4 Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ala al-Madzahibil al-Arba’ah (Kairo: al-Sakafa al-Dinayah, 2005), h. 409. 5 Ibid., h. 409 6 Ibid., h.409.
81
Konsekuensinya, perempuan hanya berhak menjadi makmum dalam
semua aspek kehidupannya termasuk dalam salat.
2) Ummu Waraqah hanya diizinkan oleh Nabi untuk mengimami jamaah
perempuan penghuni rumahnya. Hal ini dapat dilihat dari hadits riwayat
Daruquthni yang menyatakan bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan
Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni
rumahnya”).7
3) Dalam Hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, (“Janganlah sekali-kali
perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang
Muhajir, dan orang jahat bagi orang mukmin”).8 Hadits pelarangan perempuan
menjadi imam salat dijadikan dalil oleh para ulama untuk menolak imamah
perempuan dalam salat.
4) Argumentasi lain yang digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan
dalam salat adalah bahwa perempuan dianggap sebagai “pembangkit birahi
kaum laki-laki”. Alasan ini menyiratkan bahwa eksistensi perempuan
dikonsepsikan hanya sebagai makhluk sensual, di mana tubuhnya hanya dimaknai
sebagai perangsang nafsu laki-laki. Konsepsi ini kemudian dijadikan legitimasi
untuk membatasi gerak perempuan terbatas pada ruang-ruang domestik karena
kebebasan untuk mengakses dunia publik justru akan menimbulkan fitnah.
7 Imam al-Daraquthni, Sunan al-Daruquthni (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1993), Jilid I, h. 304.
8 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), h. 122.
82
5) Dalam banyak persoalan yang terkait dengan persoalan relasi laki-laki dan
perempuan, baik yang menyangkut bidang ibadah maupun sosial, di mana
berlangsung pertemuan antara perempuan dan laki-laki, baik secara bersama-sama,
berhadap-hadapan, maupun aktivitas perempuan yang mengundang perhatian laki-
laki, para ulama fiqh selalu mengaitkannya dengan alasan khauf al-fitnah (menjaga
jangan sampai terjadi fitnah, yakni suasana yang menganggu atau menggoda hati
dan pikiran laki-laki). Dengan alasan seperti ini pula maka dalam banyak masalah,
seperti urusan shaf dalam salat berjamaah, posisi perempuan dan laki-laki haruslah
terpisah dan shaf perempuan di belakang laki-laki. Selain itu, perempuan juga tidak
diwajibkan melaksanakan salat jum’at,9 dilarang menyampaikan khutbah, atau
mengumandangkan azan dengan suara yang dapat didengar laki-laki. Bahkan
perempuan yang keluar rumah untuk mengikuti salat berjamaah di mesjid dianggap
kurang baik. Bahkan Abu Hanifah dan dua orang murid utamanya berpendapat
bahwa makruh bagi perempuan-perempuan muda menghadiri salat berjamaah
bersama laki-laki karena khawatir akan terjadi fitnah. Mazhab Syafi’i dan Hanbali
juga sepakat dengan pendapat ini.10
2. Pendapat yang menerima kepemimpinan perempuan dalam salat dengan
makmum laki-laki.
Inti dari pandangan ini adalah upaya untuk meletakkan kesetaraan
kedudukan laki-laki dan perempuan, sehingga kemudian keduanya memiliki hak
9 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996), Juz I, h. 171. 10 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 44-45.
83
yang berimbang. Mereka berupaya menjelaskan bahwa Islam mengandung
keadilan melalui interpretasi-interpretasi baru.
Golongan ini menganggap bahwa tradisi-tradisi Islam yang secara letterlejk
redaksinya menolak perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki
bersifat kontekstual tidak berlaku umum. Akibatnya, perlu diadakan interpretasi-
interpretasi baru menurut konteks zamannya, tanpa harus menjadikannya sebagai
hukum yang baku.
Berikut ini akan diungkapkan tanggapan-tanggapan dan dalil-dalil yang
digunakan golongan ini. Sebelumnya perlu diketahui bahwa mereka yang
menerima kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki
berarti telah menolak keputusan jumhur ulama dan tradisi yang telah lama
berjalan di masyarakat.
a. Al-Qur’an
)34: 4/النساء( Artinya:
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. al-Nisa (4): 34)
Pendapat yang mengambil landasan terjemah firman Allah SWT QS. Al-
Nisa (4): 34 bahwa (”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.”)
merujuk kepada asbab al-nuzul ayat tersebut. Ayat tersebut diturunkan dalam
84
konteks istri Sa’ad bin al-Rabi’ yang membangkang, lalu ditampar oleh Sa’ad.
Kemudian istri Sa’ad mengadu kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi berkata:
”Balaslah suamimu! Ketika si istri beranjak pergi, Rasulullah memanggilnya
kembali dan mengatakan, ”Begini, Jibril datang kepadaku, lalu Allah menurunkan
firman-Nya; dengan terjemahan: ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan.” (QS. Al-Nisa: 34). Kata Rasulullah lebih lanjut, ”Aku menghendaki
suatu hal dan Allah menghendaki hal lain.11
Quraish Shihab berpendapat bahwa QS. al-Nisa: 34 hanya berkaitan
dengan kepemimpinan laki-laki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh
keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini tidak
mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi kehidupan.12 Tegasnya bahwa
ayat di atas hanya berbicara`dalam ruang lingkup keluarga. Lebih lanjut,
rumah tangga sebagai institusi memerlukan seorang pemimpin dalam rangka
menjaga kelestarian institusi tersebut. Hukum dan Undang-Undang
perkawinan di Indonesia menetapkan bahwa pemimpin rumah tangga adalah
laki-laki.13 Secara tekstual, kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga
tersebut merujuk pada QS. al-Nisa ayat 34. Ayat ini lebih lanjut menjadi alat
legitimasi bagi pendapat yang menyatakan bahwa kepemimpinan rumah
tangga berada di tangan suami.
11 Qomaruddin Saleh , dkk, Asbab al-Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 33. 12 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Mizan, 1997), h. 274. 13 UU No. 1 Tahun 1974 bab VI pasal 31 ayat 3.
85
Menanggapi ayat tersebut, Asghar Ali berpendapat bahwa QS al-Nisa
ayat 34 tersebut tidak dapat difahami lepas sosial pada saat ayat tersebut
diturunkan. Menurutnya, pada saat itu, struktur sosial yang ada tidak benar-
benar mengakui adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Oleh karena
kondisi yang semacam itu, orang tidak dapat menilai ayat tersebut semata-
mata dalam pandangan teologis, tetapi harus menggunakan perspektif sosio-
teologis.14 Keunggulan laki-laki yang diungkapkan dengan kata fadala dalam
ayat tersebut menurut pandangan Asghar Ali bukanlah keunggulan jenis
kelamin yang bersifat absolut, tetapi keunggulan tersebut lebih bersifat
fungsional karena laki-laki bertanggung jawab atas nafkah serta
membelanjakan hartanya untuk perempuan sebagai isterinya. Fungsi sosial
laki-laki sebagai pemberi nafkah ini seimbang dengan fungsi sosial yang
diemban oleh perempuan yaitu melakukan tugas-tugas domestik dalam rumah
tangga. Namun demikian, al-Quran menyatakan keunggulan laki-laki atas
perempuan adalah karena nafkah yang mereka berikan kepada perempuan.15
Tidak ada satu teks pun dalam al-Qur’an yang melarang perempuan
memimpin laki-laki dalam salat . Al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki bukan hanya
dalam urusan ibadah mahdah, tetapi juga bidang-bidang pengabdian
14 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 61 15 Siti Habibah Jazila, “ Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga: Telaah atas Pemikiran
Asghar Ali Engineer”, Justitia Islamica. Vol. 3, no.2 (Juni-Desember 2006): h. 34 -35.
86
(ibadah) dalam pengertian yang luas, yakni amal-amal saleh yang lain.
Al-Qur’an menyebutkan asas egalitarianisme Islam. Kelebihan manusia
atas manusia yang lain hanya berlaku pada kwalitas ibadahnya kepada
Allah. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Hujurat (49): 13
)13: 49/احلجرات(
Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat (49): 13)
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam datang untuk membebaskan
manusia dari diskriminasi dan subordinasi. Sejarah masyarakat Arab
sebelum kedatangan Islam menginformasikan bahwa diskriminasi dan
subordinasi terhadap perempuan merupakan ciri khas mereka. Perempuan
pada masa itu bukan hanya terdiskriminasi dan tersubordinasi, tetapi juga
dipandang dengan kebencian dan merupakan sumber fitnah. Perempuan
dikonotasikan kepada hal-hal yang bersifat negatif (stereotype) yang
tampaknya mempunyai pengaruh atau imbas yang sangat besar. Dengan
adanya diskriminasi dan subordinasi, maka pemahaman ulama atau
mufasir pendahulu kita sesuai dengan zamannya, di mana perempuan
87
memang belum bisa banyak berkiprah seperti kaum laki-laki, sehingga
muncul penafsiran yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu.16
Melalui ayat ini Islam ingin menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah
dalam seluruh aspek kehidupannya.
b. Al-Hadits
Abu Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari mendasarkan pendapat mereka
tentang kebolehan perempuan menjadi imam dengan makmum laki-laki pada
hadits Ummu Waraqah yang diriwayatkan Abu Daud sebagai berikut:
وكان رسول : وعن أم ورقة رضي اهللا عنها بنت عبد اهللا بن احلارث قالاهللا صلى اهللا عليه وسلم يزورها يف بيتها وجعل هلا مؤذنا يؤذن هلا وامرها
اخرجه (فأنا رأيت مؤذا شيخا كبريا : قال عبد الرمحن. أن تؤم أهل دارها 17 )ابو داود
Artinya: “Dari Ummu Waraqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau
menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.
Al-Syaukani mengatakan bahwa menurut lahiriyahnya Ummu
Waraqah jelas melakukan salat sementara sang muazzin, pembantu laki-laki
dan penghuni rumahnya yang lain menjadi makmumnya.18 Pendapat yang
16 Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam: Agenda Sosio-Kultural dan Politik Peran Perempuan (Ciputat: el-Kahfi, 2002), h. 60. 17 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz I, h. 100 18 Al-Syaukani, Nail al-Authar (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th.), Juz III, h. 187.
88
sama juga dikemukakan oleh al-Shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam yang
mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan perempuan
menjadi imam dengan makmum laki-laki. Secara eksplisit hadits ini
memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi laki-laki
tua, laki-laki hamba sahaya, dan perempuan hamba sahaya.19
c. Perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah menunjukkan adanya bias
laki-laki dalam memandang perempuan. Fitnah atau gangguan itu seakan-akan
hanya muncul dari pihak perempuan terhadap laki-laki.20 Padahal fitnah atau
gangguan juga bisa muncul dari pihak laki-laki terhadap perempuan. Sebab,
ketertarikan dan ketergodaan dapat terjadi pada masing-masing pihak. Jadi,
jika alasan khauf al-fitnah yang diutarakan oleh ulama tidak cukup beralasan
dengan konteks kekinian. Apalagi jika dengan mekanisme tertentu atau dalam
situasi dan ruang serta waktu tertentu, pertemuan/kebersamaan laki-laki dan
perempuan dapat dipastikan tidak akan membawa fitnah.21
B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan
Ketika kita memperbincangkan soal kepemimpinan dalam salat maka kita
menjumpai para ulama fiqih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali
sepakat bahwa perempuan tidak dibenarkan memimpian salat kaum laki-laki. Ia
hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya sendiri. Bahkan Imam Malik bin Anas,
19 Al-Shan’ani, Subul al-Salam (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 35. 20 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 47. 21 Ibid., h. 46.
89
pendiri mazhab Maliki, sama sekali tidak membenarkan perempuan menjadi
imam salat, termasuk bagi jama’ah kaumnya sendiri, baik untuk salat fardu
(wajib) maupun salat sunnah.22 Sedangkan Imam Muzani, Abu Tsaur dan al-
Thabari membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-
laki.23
Para ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat dengan makmum
laki-laki berdasarkan hadits riwayat Jabir:
التؤمن امرأة رجال وال أعرايب : عن جابر عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال 24 )اخرجه ابن ماجه( مهاجرا واليؤمن فاجر مؤمنا
Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah
sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin”.
Sedangkan ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan
makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Abi Daud:
وكان رسول : وعن أم ورقة رضي اهللا عنها بنت عبد اهللا بن احلارث قالاهللا صلى اهللا عليه وسلم يزورها يف بيتها وجعل هلا مؤذنا يؤذن هلا وامرها
اخرجه (فأنا رأيت مؤذا شيخا كبريا : قال عبد الرمحن. أن تؤم أهل دارها 25)ابو داود
22 Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah, h. 409. 23 Ahmad Abd al-Rahman al-Banna, al-Fathu al-Rabbany (al-Qahirah: Dar al-Syihab, t.th.), Juz V, h. 234.
24 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122. 25 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz I, h. 100.
90
Artinya: Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin al-Harits, beliau menyatakan
bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.
Wahbah al-Zuhaili, ahli fiqh kontemporer dari Syiria dalam ensiklopedi
fiqhnya, al-Fiqh Islam Waadillatuhu, mengatakan bahwa perempuan hanya sah
menjadi imam salat bagi jama’ah kaum perempuan. Perempuan tidak sah menjadi
imam bagi jama’ah kaum laki-laki. Ia menyebutkan alasan larangan perempuan
menjadi imam salat jama’ah laki-laki antara lain hadits Nabi SAW. dari Aisyah,
Ummu Salamah dan Atha:
أن املرأة تؤم النساء: عن عائشة وأم سلمة وعطاءروي Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha’: bahwa perempuan
(hendaklah) menjadi imam bagi kaum perempuan”.
Pernyataan ini juga diperkuat oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh al-
Daruquthni dari Ummu Waraqah:
ا أن تؤم نساء هل أنه صلى اهللا عليه وسلم أذن: الدارقطين عن أم ورقةوروي 26دارها
Artinya: “Al-Daruquthni meriwayatkan dari Ummu Waraqah bahwa Nabi
Muhammad SAW. menperkenankan dia menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”.
Ibnu Qudamah, yang terkenal dengan sebutan syeikhnya para pengikut
Hanbali, dalam Al-Mughni,27 menjelaskan penafsirannya atas hadits Ummu
26 Wahbah Zuhailli, Al-Fiqh Al-Islam Waadillatuhu, Jilid II, h. 1194.
91
Waraqah tersebut. Pertama Ummu Waraqah diizinkan Nabi untuk mengimami
jamaah perempuan. Hal ini, misalnya diperkuat oleh hadits riwayat
Daruquthni bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk
menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).28 Kedua, kalaupun
di antara jamaahnya ada laki-laki, maka sesungguhnya peristiwa ini berkaitan
dengan salat sunnah karena sebagian dari fuqaha mazhab Hanbali memang
membolehkan perempuan menjadi imam dalam salat tarawih. Ketiga,
apabila kasus Ummu Waraqah benar-benar berkaitan dengan salat wajib, maka
ketentuan itu harus dimaknai bersifat kasuistik dan khusus untuk Ummu
Waraqah, sebab ketentuan tersebut tidak pernah disyari’atkan kepada perempuan
lain. Atas dasar analisis tersebut, Ibnu Qudamah tetap berkesimpulan bahwa
perempuan tidak boleh menjadi imam bagi makmum laki-laki. Padahal Ibnu
Qudamah tidak mengatakan bahwa hadits Ummu Waraqah itu dhaif.
Ibnu Qudamah hanya mengatakan bahwa hadits riwayat Abu Daud
pengertiannya umum dan harus diartikan dengan riwayat Imam al-Daruquthni
yang menyatakan bahwa Nabi SAW. menyuruh Ummu Waraqah untuk
mengimami salat jamaah untuk kaum perempuan penghuni rumahnya. Ini juga
berarti bahwa hadits Ummu Waraqah menurut Ibnu Qudamah adalah shahih,
baik dalam riwayat Abu Daud maupun riwayat al-Daruquthni.29
Al-Syaukani mengungkapkan hadits tentang larangan perempuan menjadi
imam salat bagi jama’ah laki-laki dengan lebih lengkap sebagai berikut: 27 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Ed. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki dan Abd al-Fattah Muhammad al-Hilwu (Riyadh: Hajar, 1987), Jilid III, h. 33-34. 28 Imam al-Daraquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304. 29 Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 35.
92
ؤمن امرأة رجال وال أعرايب الت: عن جابر عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قالاخرجه (مهاجرا واليؤمن فاجر مؤمنا إال أن يقهره بسلطان خياف سوطه وسيفه
30 )ابن ماجه
Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-
kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin kecuali karena paksaaan dari penguasa yang ditakuti cambuknya atau pedangnya”.
Al-Syaukani kemudian mengemukakan penilaian ulama ahli hadits mengenai
kwalitas hadits ini. Katanya:
: قال البخارى. حديث جابر ىف إسناده عبداهللا بن حممد التميمى وهو تالفيضع احلديث : وقال وكيع. وز االحتجاج بهجيال: وقال ابن حبان. منكر احلديث
وقد تابعه عبد امللك بن حبيب ىف الواضحة ولكنه متهم بسرقة احلديث وختليط ور أفسد إسناد هذا املذك وقد صرح ابن عبد الرب بأن عبد امللكاألسانيد 31 .احلديث
Artinya: ”Hadits Jabir dalam rantai sanadnya ada Abdullah bin Muhammad al-
Tamimi, dia adalah rusak. Al-Bukhari berkata: munkar al-hadits. Ibn Hibban berkata: (yang diriwayatkan) orang itu tidak bisa dijadikan dasar hukum. Waki’ berkata: dia sering memalsukan hadits. Abdul Malik memasukkan hadits itu dalam kitab al-Wadhihah, namun dia juga dituduh mencuri hadits, mencampur rantai sanad. Ibn Abdul Barr menegaskan bahwa Abdul Malik itu telah merusak sanad hadits di atas.
Imam al-Busyairi dalam kitab Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah
menyebutkan bahwa hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi
30 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122. 31 Al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz III, h. 185.
93
imam salat bagi makmum laki-laki adalah dhaif (lemah) karena di dalam sanadnya
terdapat dua orang perawi yang lemah periwayatannya. Dua orang itu adalah Ali bin
Zaid bin Ju’dan dan Muhammad bin Abdullah al-’Adawi.32 Imam Nawawi dalam al-
Majmu’ Syarah al-Muhazab berpendapat bahwa hadits Jabir yang diriwayatkan Ibnu
Majah dan al-Baihaqi dengan sanad yang dhaif.33
Hadits riwayat Ibnu Majah yang menjadi dasar hukum mayoritas ulama,
antara lain diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad al-Adawi al-Tamimi.
Mengenai hadits ini para ulama ahli hadits melakukan penilaiannya masing-masing:
1. Al-Bukhari dan Abu Hatim al-Razi mengatakan bahwa ”Hadits Abdullah
bin Muhammad al-Adawi munkar”. Abu Hatim selanjutnya
menambahkan: ”Abdullah bin Muhammad al-Adawi guru yang tidak
dikenal”.
2. Ibnu Adi mengatakan: ”Hadits yang dimiliki Abdullah bin Muhammad
al-Adawi sedikit”.
3. Imam al-Daruquthni mengomentari hadits yang diriwayatkan Abdullah
bin Muhammad al-Adawi sebagai hadits yang ditinggalkan.
4. Imam Waki’ bin al-Jarrah mengatakan bahwa Abdullah bin Muhammad
al-Adawi suka membuat hadits palsu.
32 Ahmad bin Abu Bakar al-Busyairi, Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah, Ed. al-Syeikh Muhammad Mukhtar Husain (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 167.
33 Syarafuddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabiy, 2001), Juz IV, h. 107.
94
5. Ibnu Hibban mengatakan ”Hadits yang Abdullah bin Muhammad al-
Adawi riwayatkan tidak boleh menjadi dasar hukum”.
6. Ibn Abdu al-Barr mengatakan segolongan ulama mengatakan bahwa
hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah ini adalah bikinan Abdullah bin
Muhammad al-Adawi. Menurut mereka, orang ini terkenal pendusta.34
Kemudian, untuk hadits Abu Daud yang menjadi dasar kebolehan perempuan
menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang merupakan pendapat Abu Tsaur, al-
Muzani dan al-Thabari, terdapat seorang perawi yang perlu dilihat kualifikasinya,
yaitu al-Walid bin Abdullah bin Jumayyi’ al-Zuhri al-Maliki. Mengenai orang ini,
para ulama hadits memberikan komentarnya sebagai berikut:35
1. Ahmad dan Abu Daud mengatakan: ”Dia tidak bermasalah”. Begitu juga
yang dinyatakan oleh Abu Zur’ah.
2. Ibn Ma’in dan al-Ijli mengatakan bahwa dia terpercaya.
3. Abu Hatim mengomentari: ”Hadits yang diriwayatkannya bagus”.
4. Ibn Hibban memasukkan dia dalam kelompok orang-orang yang dapat
dipercaya.
5. Ibnu Sa’ad juga mengatakan bahwa dia dapat dipercaya, dia mempunyai
banyak hadits.
34 Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (India: Majlis Da’irat al-Ma’arif al-Nizhamiyah, t.th), Juz VI, h. 21.
35 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 41.
95
6. Al-Uqaili memandang bahwa hadits yang diriwayatkannya
membingungkan.
Selanjutnya, terhadap perawi Abdurrahman bin al-Khalad, Ibn Hibban
memasukannya ke dalam golongan orang yang dapat dipercaya.36 Sementara
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, penulis kitab Aun al-
Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan bahwa Abu al-Hasan ibn al-
Qaththan berpendapat bahwa hal ihwalnya tidak diketahui.37
Dari penilaian ulama terhadap hadits riwayat Ibnu Majah dan Abu
Daud, jelas terlihat bahwa hadits yang menjadi argumen pandangan minoritas
(yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki)
ternyata memiliki nilai lebih tinggi dibanding hadits yang menjadi argumen
pandangan mayoritas (yang melarang perempuan menjadi imam kaum laki-
laki).
Persoalan imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki
dalam perspektif hadits, terdapat hadits-hadits yang bersifat umum dan
khusus. Lebih lanjut, Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa jika ada ayat
yang bersifat mutlak dan muqayyad (terbatas), ada ayat yang pengertiannya
umum dan ada ayat yang pengetiannya khusus, maka kedua ayat tersebut
harus digabung (dijamak), sehingga pengertian mutlak itu dibatasi dengan
36 Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz VI, h. 168
37 Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), Jilid II, h. 212.
96
pengertian muqayyad. Begitu pula apabila dalam suatu masalah terdapat ayat
yang pengertiannya umum dan ayat yang pengertiannya khusus, maka ayat
yang pertama digabung dengan ayat kedua, sehingga pengertian umum itu
menjadi pengertian khusus.38 Kajian ini dalam ilmu ushul fiqh dan tafsir al-
Qur’an disebut takhsish.
Apabila ada riwayat hadits yang pengertiannya umum dan ada riwayat
yang pengertiannya khusus, maka kedua pengertian tersebut harus
digabungkan (dijamak) sehingga riwayat yang berpengertian umum itu
menjadi berpengertian khusus.
Hadits Ummu Waraqah tentang imamah perempuan dalam salat
terdapat dua pengertian. Dalam salah satu riwayat al-Daruquthni terdapat
pengertian khusus bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu
Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni
rumahnya”).39 Sementara dalam riwayat lain seperti riwayat Abi Daud
pengertiannya adalah umum yakni bahwa Nabi mengizinkan Ummu
Waraqah menjadi imam salat berjamaah bagi penghuni rumahnya.
Lebih lanjut Ali Mustafa Yaquf berpendapat bahwa dengan
metode jamak (penggabungan riwayat), maka pengertian hadits Ummu
Waraqah secara keseluruhan adalah bahwa Ummu Waraqah diizinkan
Nabi untuk mengimami salat bagi perempuan penghuni rumahnya.40
38 Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, h. 44-45. 39 Imam al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304. 40 Ibid., h. 46.
97
Pernyataan hadits Daruquthni jelas berbeda dengan hadits Abi
Daud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Ummu
Waraqah. Hadits Daruquthni menyebutkan bahwa yang menjadi
makmum dari Ummu Waraqah adalah kaum perempuan penghuni
rumahnya. Sedangkan hadits riwayat Abi Daud menyebutkan bahwa
yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah penghuni
rumahnya, tanpa menyebutkan laki-laki atau perempuan.
C. Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan
Perempuan dalam Salat
Perdebatan para ulama tentang imam perempuan atas laki-laki dalam
salat telah melahirkan dua kelompok yang berseberangan. Pertama,
kelompok yang melarang imam perempuan bagi laki-laki diwakili oleh
para imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), yang
kemudian berlanjut pada para ulama belakangan, seperti Yusuf Qardhawi,
dan sebagainya. Kedua, adalah kelompok yang membolehkan imam
perempuan bagi laki-laki, yang diwakili oleh para ulama salaf seperti
Tabari, Abu Tsaur, Muzani dan lain-lain, yang kemudian berlanjut pada
ulama kontemporer, seperti Muhammad Hasbi al-Shiddieqy.41
41 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 447.
98
Kontroversi seputar kebolehan-larangan perempuan sebagai imam telah
ada dalam pemikiran-pemikiran ulama terdahulu. Keempat imam mazhab secara
tegas menolak imam perempuan atas laki-laki. Imam Malik dan Abu Hanifah
menolak perempuan sebagai imam laki-laki karena imamah merupakan posisi
yang terhormat dan agung yang hanya menjadi kewenangan laki-laki. Hal ini
berlaku secara mutlak. Sementara itu, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal,
membolehkan perempuan menjadi imam terbatas pada sesama perempuan saja.
Diskursus para ulama tentang imamah perempuan t e r s e b u t
mencerminkan keberpihakan mereka kepada kepentingan patriarki. Hal ini
terlihat dari adanya inkonsistensi rasional dalam pemikiran mereka, di satu sisi
dalam persyaratan imam secara umum, pemahaman agama dan bacaan al-
Qur’an dijadikan sebagai kriteria utama. Namun, di sisi lain ketika membahas
tentang imamah perempuan, kriteria yang substansial yakni kemampuan
bacaan dan kapasitas ilmu agama yang baik itu justru tidak diterapkan.
Penolakan mereka tidak didasarkan pada pertimbangan apakah perempuan
memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan, tetapi justru pada “karena ia
perempuan”. Sementara itu, Abu Tsaur, al-Thabari dan Muzani, merupakan
wakil ulama yang membolehkan secara mutlak perempuan sebagai imam.
Namun, pandangan kelompok ini, tidak muncul ke permukaan, bahkan hampir
tenggelam dalam diskursus pemikiran Islam. Dalam konteks ini, seperti
99
ditegaskan oleh Ibnu Rusyd bahwa wacana imamah perempuan memang
sengaja diredam dalam diskursus pemikiran Islam.42
Persoalan imamah perempuan dalam salat perlu dikaji lebih
dalam lagi. Pemaknaan perempuan mengatributkan sifat-sifat negatif,
seperti kurang akal, lemah agama, dan pembangkit nafsu laki-laki, telah
dijadikan legitimasi untuk membatasi otoritas dan kewenangannya pada
wilayah-wilayah tertentu. Hal ini tentu bertentangan dengan gagasan tauhid
yang mengimplikasikan adanya kesetaraan manusia universal. Manusia, apapun
jenis kelamin, etnik, ras, kulit, bangsa dan bahasa, memiliki posisi setara di
hadapan Tuhan. Keterangan ini mengimplikasikan penolakan terhadap
subordinasi dan penindasan antara sesama manusia apapun motif dan
kepentingan ideologisnya.
Diskursus pemikiran ulama yang menolak kepemimpinan perempuan
dalam salat tampaknya masih berada dalam kerangka tradisi patriarki, sehingga
pembahasan tentang perempuan dalam kajian fiqh selalu ditempatkan dalam
posisi marginal atau ’berbeda’. Berbagai persyaratan khusus selalu
diatributkan kepada perempuan dalam berbagai status legalnya, yang
kemudian dikaitkan dengan kelemahan-kelemahan yang dianggap inheren
dalam diri perempuan.
Sementara itu, adanya beberapa teks agama yang melegitimasi
konsepsi perempuan lebih rendah dari laki-laki, pembangkit birahi laki-laki, 42 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz I, h. 161.
100
pembuat fitnah, kurang agama dan akal, harus dipahami secara kontekstual
dengan melihat background kultural masyarakat Arab saat itu. Bukan hal
yang tidak mungkin bahwa para ulama dahulu akan memberikan penafsiran
yang berbeda ketika mereka hidup pada situasi sekarang, di mana perempuan
dapat mengakses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
dapat meningkatkan kwalitas keilmuannya.
Kalau hadits Ummu Waraqah dianalisis lebih jauh, pada dasarnya
kesempatan untuk mendapatkan posisi imam dapat diperoleh siapapun, baik
laki-laki maupun perempuan, sepanjang ia memiliki kualifikasi sebagai
imam. Namun, karena di antara orang-orang yang ada di rumah Ummu
Waraqah, hanya ia yang memiliki kwalitas dan kemampuan dalam agama dan
membaca al-Qur’an dengan baik, maka Nabi mengizinkannya menjadi imam.
Dalam hal ini, pertimbangan Nabi didasarkan bukan pada apa jenis
kelaminnya, t e tapi bagaimana kemampuannya. 43
Hal yang menunjukkan inkonsistensi ulama adalah sikap mereka
terhadap hadits Ummu Waraqah. Hadits tersebut dalam berbagai jalurnya
telah memenuhi kualifikasi hadits sahih. Oleh karenanya, ia dapat diterima
sebagai hujjah atas kebolehan perempuan menjadi imam laki-laki. Namun,
sebagian ulama menolak hadits ini sebagai dalil, dengan mengajukan
hadits lain yang melarang perempuan menjadi imam laki-laki. Sebagian
43 Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (Juli-Desember 2008): h. 1
101
ulama lain mengakui keotentikan hadits tersebut, namun mereka berupaya
memberikan interpretasi yang membatasi batasan dan otoritas imam
perempuan, seperti tercermin dalam pandangan ibnu Qudamah di atas.
Padahal, kalau dianalisis lebih jauh interpretasi Ibnu Qudamah
terhadap hadits Ummu Waraqah, dapat ditemukan beberapa kelemahan yang
mendasar, yang sekaligus dapat menggugurkan analisisnya. Analisis pertama:
bahwa Ummu Waraqah hanya mengimami jamaah perempuan tidak
berdasar, sebab tingkat kesahihan hadits Ummu waraqah yang menyebutkan
bahwa di antara makmumnya ada laki-laki, diakui oleh para sarjana hadits.
Analisis kedua: bahwa kebolehan perempuan sebagai imam hanya sebatas pada
salat sunnah, juga lemah, sebab salat sunnah tidak disyari’atkan adanya
adzan. Sementara itu, dalam hadits Ummu Waraqah di atas, dinyatakan
bahwa Nabi menunjuk seseorang mengumandangkan adzan. Lebih-lebih
jika posisi imam harus di belakang makmum laki-laki, tentu bukan disebut
sebagai imam lagi. Analisis ketiga: bahwa peristiwa Ummu Waraqah bersifat
khusus, juga memiliki kelemahan. Jika hanya karena terjadi pada Ummu
Waraqah sendiri, bukankah banyak peristiwa hukum syari’ah yang diderivasi
dari peristiwa tertentu. Dalam kaidah ushuliyah dikenal suatu prinsip bahwa al-
’ibrah bi ’umum al-lafdz la bi khusus al-sabab(ketentuan hukum itu diambil dari
keumuman lafadz, bukan dari kekhususan sebab).44 Jadi ketentuan hukum yang
44 Masykuri Abillah dan Mun’im A. Sirri, “Hukum yang Memihak Kepentingan Laki-laki: Perempuan dalam Kitab Fikih”, dalam Ali Munhanif (Ed.), Perempuan dalam Literatur Islam
102
diambil adalah Ummu Waraqah mengimami penghuni rumahnya dengan
terdapat makmum laki-laki.
Persoalan perizinan atau pelarangan imamah perempuan dalam salat dengan
makmum laki-laki tampaknya tidak ada ayat yang secara tegas menyebut demikian.
Ayat yang dijadikan hujjah oleh ulama dalam QS. al-Nisa (4): 34 juga tidak secara
jelas berbicara tentang larangan atau kebolehan perempuan menjadi imam salat
dengan makmum laki-laki. Bahkan para mufasir berbeda pendapat mengenai tafsir
ayat tersebut. Bagi para mufasir yang berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan
hak kepemimpinan yang hanya diberikan kepada laki-laki secara mutlak, maka
kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki dilarang. Akan
tetapi jika merujuk kepada pendapat mufasir yang menyatakan bahwa ayat tersebut
hanya berkaitan dengan urusan rumah tangga, maka kepemimpinan perempuan dalam
salat dengan makmum laki-laki bukan tidak mungkin dibolehkan. Jika ayat tersebut
dikaitkan dengan semangat ayat lain yang menjunjung kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, maka secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama
dalam seluruh aspek kehidupan termasuk hak perempuan menjadi imam salat bagi
makmum laki-laki.
QS. al-Nisa: 34 menurut analisis penulis hanya berkaitan dengan urusan
rumah tangga. Karena itu pernyataan ayat tersebut adalah tepat sesuai konteks
zamannya. Karena itu merupakan kesalahan besar apabila perempuan masa kini
selalu diposisikan dalam setting budaya masa lampau seperti pandangan diskriminatif Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 107-108.
103
masyarakat Arab jahili yang memandang perempuan tidak berharga. Kemaslahatan
dan keadilan akan dapat terwujud jika menempatkan sesuatu pada secara tepat dan
proporsional. Penerapan QS. al-Nisa: 34 harus memperhatikan kemaslahatan pada
situasi riil saat ayat tersebut diturunkan. Untuk menghadapi kasus tertentu yang
secara substansial berbeda dengan kondisi masa lampau, maka perlu dikaji ulang
penerapan ayat tersebut dengan memperhatikan kemampuan yang dimiliki
perempuan serta kesepakatan mereka dalam mewujudkan kemaslahatan bersama.
Menurut penulis, para ulama dalam menetapkan hukum perempuan menjadi
imam salat bagi makmum laki-laki tidak beristidlal kepada QS. al-Nisa: 34 kecuali
Imam Syafi’i. Imam Syafi’i dalam al-Umm menyatakan bahwa (”Apabila wanita
salat menjadi imam untuk kaum laki-laki, perempuan, dan anak laki-laki, maka salat
para makmum yang wanita sah. Sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak
laki-laki tidak sah. Hal itu karena Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin
perempuan, Allah juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain.
Perempuan dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh menjadi imam salat bagi
makmum laki-laki”).45 Nampaknya Imam Syafi’i menjadikan QS. al-Nisa: 34 sebagai
istidlal larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Bahkan
imam salat hanya berhak diberikan kepada laki-laki.
Dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam pelarangan perempuan
menjadi imam salat bagi makmum laki-laki sebagaimana disebutkan dalam al-Umm
hanya berdasarkan QS. al-Nisa: 34 tanpa berdasarkan hadits Nabi tentang 45 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm (Beirut: Dar al-Wafa, 2005), Juz II, Cet. III h. 320.
104
kepemimpinan perempuan dalam salat. Ayat ini tidak menjelaskan tentang imam salat
perempuan bagi laki-laki. Ayat ini hanya menyatakan bahwa laki-laki menjadi
pelindung, pengayom dan pemimpin bagi perempuan. Hal ini sesuai dengan metode
istinbath Imam Syafi’i yang hanya mengambil al-Qur’an dengan makna (arti) yang
lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu yang
harus dipakai atau dituruti. Imam Syafi’i juga beristidlal kepada hadits, ijma’ dan
qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
Dalam satu kesempatan, beliau pernah berkata:
46 فهو مذهيب احلديثإذا صح Artinya: ”Apabila hadits itu shahih maka itu adalah mazhabku”.
Dalam hal pelarangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-
laki, Imam Syafi’i tidak mendasarkan pendapatnya kepada hadits riwayat Ibnu
Majah. Ini berarti hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah tentang larangan
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki kwalitasnya menurut
Imam Syafi’i adalah dhaif. Sedangkan hadits yang membolehkan perempuan
menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dinilai shahih oleh para ulama.
Dalam pernyataanya, jika Imam Syafi’i menemukan dua hadits yang sama
tingkatannya, maka beliau akan mengambil hadits yang lebih shahih sebagai
dasar mengistinbathkan hukum.47 Mengenai hadits tentang kepemimpinan
46 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz II, h. 272. 47 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 105.
105
perempuan dalam salat, hadits riwayat Abi Daud berkwalitas shahih sedangkan
hadits riwayat Ibnu Majah dinilai dhaif. Hadits riwayat Ibnu Majah yang
digunakan sebagai alasan untuk menunjukkan bukan arti yang lahir dari QS. al-
Nisa: 34 juga tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum karena kwalitas hadits
tersebut dhaif. Artinya hadits dhaif tentang larangan perempuan menjadi imam
salat bagi makmum laki-laki yang digunakan untuk menentang arti zahir QS. al-
Nisa: 34 tidak dapat dipakai sebagai hujjah.
Penulis berpendapat bahwa Imam Syafi’i tidak konsisten dengan
metodologi istidlal yang dirumuskannya dalam mengistinbathkan hukum. Hal ini
terlihat dari pendapat beliau yang melarang perempuan menjadi imam salat bagi
makmum laki-laki. Padahal QS. al-Nisa: 34 secara zahir hanya menerangkan
bahwa laki-laki pemimpin bagi perempuan. Dalam ayat tersebut tidak ada
larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Apalagi hadits
yang digunakan untuk mendukung pelarangan imam perempuan dalam salat bagi
makmum laki-laki juga dhaif. Jika Imam Syafi’i konsisten dengan metode
istinbath hukum yang dibuatnya sendiri, seharusnya beliau berpatokan dengan
zahir QS. al-Nisa dan hadits shahih yang diriwayatkan Abi Daud tentang
kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.
Ijma’ menurut Imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di
seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan juga bukan ijma’ kaum
tertentu saja. Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah menurut beliau adalah ijma’ ulama
pada suatu masa di seluruh dunia Islam. Ijma’ sahabat dalam pelarangan
106
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki juga tidak pernah terjadi.
Padahal Imam Syafi’i menjadikan ijma’ sahabat sebagai ijma’ yang paling kuat.
Ini terbukti dari sahabat Nabi yakni Ummu Waraqah pernah diidzinkan oleh
Nabi untuk menjadi imam salat penghuni rumahnya sedangkan di sana terdapat
makmum laki-laki.
Dalam hal qiyas, Imam Syafi’i mengqiyaskan perempuan sebagai fitnah
yang dapat menganggu fikiran dan hati laki-laki. Perempuan diqiyaskan hanya
sebagai sumber fitnah yang dapat menganggu kekhusyukan laki-laki dalam salat.
Kehadiran perempuan dalam salat apalagi menjadi imam salat bisa dianggap
bahkan diyakini menganggu fikiran dan hati laki-laki. Akibatnya perempuan
tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.
Penulis berpendapat bahwa jika Imam Syafi’i menqiyaskan ”fitnah”
sebagai hujjah pelarangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-
laki adalah tidak tepat dan hanya merupakan pandangan kebudayaan patriarki.
Laki-laki juga bisa menganggu fikiran dan hati perempuan. Ini berarti laki-laki
juga bisa menjadi sumber fitnah bagi perempuan. Jika dengan mekanisme
tertentu laki-laki dan perempuan salat berjamaah dan hal itu dipastikan tidak
akan membawa fitnah, maka laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang
sama untuk menjadi imam salat berjamaah meskipun terdapat makmum laki-laki
dan perempuan.
Satu hal yang dapat penulis simpulkan adalah bahwa Imam Syafi’i tidak
konsisten dengan metode istinbath yang dibuatnya sendiri. Imam Syafi’i
107
beristidlal kepada al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dalam mengistinbathkan
hukum. Artinya, sistematika atau tertib urutan sumber dalil yang beliau gunakan
dalam mengistinbathkan hukum adalah al-Qur’an pada urutan pertama,
kemudian sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan ijma’ dan
qiyas. Dalam hal pelarangan imam salat perempuan bagi makmum laki-laki,
Imam Syafi’i beristidlal kepada al-Qur’an dan qiyas tanpa menggunakan hadits
Nabi sebagai sumber dalil. Padahal, jika masih terdapat hadits yang dapat
dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum maka penggunaan qiyas tidak
dibenarkan.
Metode istidlal Imam Hanafi dalam mengistinbathkan hukum secara
berurutan adalah melalui al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat, qiyas, istihsan
dan urf. Dalam mengistinbathkan hukum perempuan menjadi imam salat bagi
makmum laki-laki, beliau melarang perempuan menjadi imam salat bagi
makmum laki-laki dalam salat wajib dan salat sunah. Dasar hukum yang beliau
pakai adalah hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi
imam salat bagi makmum laki-laki dan qiyas bahwa perempuan akan menjadi
fitnah bagi laki-laki.
Inkonsistensi Imam Hanafi juga terlihat dalam mengistinbathkan hukum
tentang imam salat perempuan bagi makmum laki-laki. Imam Hanafi dikenal
sebagai ulama yang sangat selektif dalam penerimaan hadits. Beliau hanya
menerima hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya).
Hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi
108
makmum laki-laki ternyata diriwayatkan oleh perawi yang tidak tsiqah. Menurut
para ulama, hadits riwayat Ibnu Majah ini dhaif. Sedangkan hadits riwayat Abi
Daud diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah sehingga hadits ini shahih
kwalitasnya. Jika Abu Hanifah konsisten dengan metode istidlal yang
digunakannya dalam mengistinbathkan hukum, maka beliau akan membolehkan
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dengan berdasarkan
hadits riwayat Abi Daud.
Ummu Waraqah adalah seorang sahabat Rasulullah yang diidzinkan oleh
Nabi mengimami salat berjamaah penghuni rumahnya walaupun terdapat
makmum laki-laki. Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam
pandangan Abu Hanifah. Beliau menerima pendapat sahabat dan mengharuskan
umat Islam untuk mengikutinya. Perkataan Ummu Waraqah tentang kebolehan
perempuan menjadi Imam salat bagi makmum laki-laki tidak dijadikan Imam
Hanafi sebagai hujjah. Beliau bahkan memperkuat argumennya tentang larangan
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dengan alasan khauf al-
fitnah. Padahal, qiyas dalam pandangan Abu Hanifah hanya bisa dilakukan jika
tidak terdapat ketetapan hukum dalam al-Qur’an, sunnah dan perkataan sahabat.
Perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki merupakan
sesuatu yang dianggap baik dan tidak keluar dari dali-dalil syara’. Sesuatu yang
dianggap baik maka sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum. Perempuan
menjadi imam salat bagi makmum laki-laki sudah pernah dicontohkan Ummu
109
Waraqah. Hal ini sesuai dengan konsep istihsan dan urf dalam pandangan Imam
Hanafi.
Ummu Waraqah adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Izin bagi
Ummu Waraqah mengimami penghuni rumahnya oleh Nabi SAW. sedangkan di
situ terdapat makmum laki-laki merupakan salah satu amal ahlu Madinah yang
langsung mendapatkan legitimasi dari Nabi SAW. Hadits Nabi tentang
kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang
dikuatkan amal ahlu Madinah lebih kuat dari hadits larangan perempuan menjadi
imam salat bagi makmum laki-laki kedudukannya sebagai hujjah walaupun
bertentangan dengan makna zahir QS. al-Nisa: 34. Ketika Imam Malik tidak
membolehkan perempuan menjadi imam salat secara mutlak, maka beliau tidak
konsisten dengan metode istidlal yang telah diterapkannya dalam
mengistinbathkan hukum tentang kepemimpinan perempuan dalam salat bagi
makmum laki-laki..
Imam Ahmad bin Hanbal beristidlal kepada al-Qur’an, sunnah, fatwa para
sahabat, fatwa para sahabat yang diperselisihkan, hadits mursal dan hadits dhaif
dan qiyas. Inkonsistensi Imam Ahmad terlihat ketika beliau tidak berpatokan
kepada hadits Abu Daud yang berkwalitas shahih dalam mengistinbathkan
hukum perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Dalam hal ini,
Imam Hanbali hanya berpatokan kepada hadits dhaif riwayat Ibnu Majah dan
qiyas bahwa perempuan hanya akan menjadi fitnah bagi laki-laki dalam salat
berjamaah. Padahal Imam Ahmad beristidlal kepada hadits shahih dalam metode
110
istinbath yang telah ditentukannya, bukan kepada hadits riwayat yang
berkwalitas dhaif. Penggunaan hadits dhaif hanya beliau pakai apabila hadits
dhaif itu tidak bathil, munkar dan hadits yang dalam periwayatannya terdapat
perawi yang diragukan kejujurannya. Sedangkan hadits riwayat Ibnu Majah
terdapat perawi yang bathil, munkar dan diragukan kejujurannya. Penggunaan
qiyas pun hanya digunakan dalam keadaan darurat.
Sebaliknya, penulis berpendapat bahwa ulama minoritas yang
membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki ternyata
konsisten dengan metode istinbath yang mereka rumuskan. Al-Tabari
menafsirkan bahwa QS. al-Nisa: 34 hanya berbicara dalam ruang lingkup
keluarga dan urusan sosial. Ini berarti bahwa kepemimpinan perempuan dalam
salat bagi makmum laki-laki menurutnya adalah boleh. Kemudian beliau
memperkuat argumennya dengan hadits riwayat Abi Daud dalam hal kebolehan
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Hanya saja, pendapat al-
Tabari tentang kebolehan kepemimpinan perempuan dalam salat bagi makmum
laki-laki tengelam bersamaan dengan punahnya mazhab ini.
Imam Muzani ternyata konsisten mengikuti metode istinbath yang telah
Imam Syafi’i rumuskan dalam mengistinbathkan hukum. Penulis berpendapat
bahwa Imam Muzani membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi
makmum laki-laki berdasarkan penafsiran QS. al-Nisa: 34 yang hanya berkaitan
dalam ruang lingkup rumah tangga. Kemudian beliau merujuk kepada hadits
riwayat Abi Daud dalam hal kebolehan kepemimpinan perempuan dalam salat
111
bagi makmum laki-laki. Akan tetapi, pendapat Imam Muzani tenggelam karena
kebesaran gurunya yakni Imam Syafi’i. Begitu juga dengan pendapat Abu Tsaur
yang tenggelam karena beliau tidak meninggalkan kitab yang berisi pemikiran-
pemikirannya. Pendapat-pendapat Abu Tsaur hanya dapat ditemukan pada kitab-
kitab lain yang bukan kitab karya beliau. Ini berarti, kita tidak dapat menemukan
kitab karya Abu Tsaur.
Penulis berpendapat bahwa pendapat minoritas ulama tentang kebolehan
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang telah tenggelam
menunjukkan bahwa perempuan pernah menjadi imam salat bagi makmum laki-
laki seperti yang terjadi pada kasus Ummu Waraqah yang mengimami penghuni
rumahnya sedangkan di situ terdapat makmum laki-laki. Hal ini bukan berarti
pendapat yang telah tenggelam tentang kebolehan perempuan menjadi imam
salat bagi makmum laki-laki dapat dijadikan dasar untuk melegitimasi larangan
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.
112
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-
laki berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah yang menyatakan bahwa
(“Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang
Arab Badui bagi orang-orang Muhajir, dan orang jahat bagi orang mukmin”)
kemudian diperkuat dengan hadits riwayat Daruquthni yang menyatakan
bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk
menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).
Sedangkan ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat
bagi makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Abi Daud yang
menyatakan bahwa Rasulullah bersabda (”Dari Ummu Waraqah bintu
Abdillah bin al-Haarits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah
mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin
yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami
keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya
seorang lelaki tua”).
2. Secara umum, metode istinbath ulama yang melarang perempuan menjadi
imam salat bagi makmum laki-laki adalah beristidlal kepada QS. al-Nisa:
113
34 yang ditafsirkan bahwa pemimpin dalam salat adalah hak mutlak laki-
laki. Kemudian mereka memperkuat argumennya kepada hadits riwayat
Ibnu Majah. Sedangkan metode istinbath ulama yang membolehkan
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki juga berdasarkan
QS. al-Nisa: 34 yang ditafsirkan bahwa ayat ini hanya berbicara dalam
konteks rumah tangga yakni mengenai kepemimpinan suami terhadap
istrinya. Kemudian mereka memperkuat pendapatnya dengan hadits
riwayat Abi Daud.
3. Persoalan imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki telah
melahirkan dua pendapat yang saling bersebrangan. Mayoritas ulama
(Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) sepakat bahwa perempuan
dilarang menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Imam Malik dan
Abu Hanifah menolak perempuan sebagai imam laki-laki karena
imamah merupakan posisi yang terhormat dan agung yang hanya
menjadi kewenangan laki-laki. Hal ini berlaku secara mutlak.
Sementara itu, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, membolehkan
perempuan menjadi imam terbatas pada sesama perempuan saja.
Sedangkan kelompok minoritas (Imam Abu Tsaur, Muzani dan Thabari)
membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.
4. Substansi masalah tentang imamah perempuan dalam salat adalah bahwa
perempuan sering dikaitkan dengan alasan khauf al-fitnah. Perempuan
seakan-akan dianggap mempunyai unsur-unsur inheren yang membuat
114
laki-laki tergoda. Oleh karena itu, untuk menghindarkan laki-laki dari
godaan dan fitnah, perempuan sebaiknya dilarang melakukan aktivitas
bersama-sama laki-laki, apalagi dalam persoalan ibadah salat yang
merupakan ibadah yang membutuhkan konsentrasi penuh. Padahal
ketertarikan atau ketergodaan lawan jenis bisa dimiliki laki-laki atau
perempuan. Pesoalan yang tersisa adalah mengenai ada atau tidaknya
faktor fitnah sebab proses kebudayaan dan tradisi dapat membentuk
ideologi tertentu berupa ideologi laki-laki maupun perempuan.
B. SARAN-SARAN
1. Adanya perbedaan ulama dalam metode istinbath hukum menunjukkan
bahwa ulama terkadang berbeda dalam memahami, merumuskan dan
menetapkan hukum. Ini semua merupakan sebuah rahmat bagi umat
muslim yang patut kita tiru. Perbedaan dalam menaggapi sebuah persoalan
merupakaan sebuah kenyataan yang selalu akan kita hadapi dalam hidup
ini. Jadi, sikap yang elegan adalah bagaimana kita menghadapi perbedaan
tersebut dengan bijaksana yakni dengan tidak menyalahkan bahkan
dengan mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat dengan
kita. Apalagi, mengklaim bahwa pendapatnya adalah paling benar dengan
menafikan pendapat orang lain. Toleransi adalah solusi terbaik dalam
menghadapi setiap perbedaan.
115
2. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, ini menunjukkan bahwa
setiap ayat al-Qur’an yang diturunkan mempunyai latar belakang (asbab
al-nuzul) atau faktor sosiologis yang mempengaruhinya. Sudah saatnya
kita memahami ayat al-Qur’an secara kontekstual, bukan hanya secara
tekstual. Hal ini bertujuan agar terdapat pemahaman yang mengedepankan
kesetaraan dengan terbebas dari budaya patriarki dalam memahami ayat
al-Qur’an yang merupakan ruh tauhid. Begitu juga ketika kita memahami
hadits Nabi, harus melihat asbab al-wurud sehingga didapatkan penafsiran
yang tidak diskriminatif dan subordinatif. Konsep pemahaman terhadap
teks al-Qur’an dan hadits yang memperhatikan asbab al-nuzul dan asbab
al-wurud akan melahirkan pemahaman teks yang menunjukkan elastilitas
ajaran agama Islam. Ini berarti, ajaran Islam tidak kaku dan jumud.
116
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri dan Mun’im A. Sirri, “Hukum yang Memihak Kepentingan Laki-laki: Perempuan dalam Kitab Fikih”. Dalam Ali Munhanif, ed. Perempuan dalam Literatur Islam Klasik . Jakarta: Gramedia, 2002.
Abdullah, Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian
Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996. Ali, Abdullah Yusuf. Quran. Penerjemah Ali Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Asqalani, al, Ibnu Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. India: Majlis Da’irat al-Ma’arif al-
Nizhamiyah, t.th. Azhim, al, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq. Aun al-Ma’bud Syarh Sunan
Abi Daud. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990. Bagawi, al, Abu Muhammad al-Hasan al-Farra. Tafsir al-Bagawi. Beirut: Dar al-
Ma’rifah, 1993. Banna, al, Ahmad Abdurrahman. Fathu al-Rabbany. Kairo: Dar al-Syihab, t.th., Cet. Ke-5. Busyairi, al. Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993. Daruquthni, al, Imam. Sunan al-Daruquthni. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi,
1993. Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan
Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Bentang, 1994. Firdaus, Endis. Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju
Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Ceria, 2008.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Ibrahim, Anis. Al-Mu’jam al-Wasith. Qahirah: Dar al-Qalam, t.th. Indra, Hasbi. dkk. Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Penamadani, 2004. Jauziyyah, al, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. (ed.). Thaha
Abd al-Rauf. Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1973.
117
Jazila, Siti Habibah. “ Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga: Telaah atas Pemikiran Asghar Ali Engineer.” Justitia Islamica. Vol. 3, No.2 (Juni- Desember 2006): h. 34 -35. Juzairi, al, Abdurrahman. al-Fifqh ala al-Madzahibil al-Arba’ah. Kairo: al-Sakafa al-Dinayah, 2005. Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Azim. Riyadh: Dar Thayibah, 2007. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulul Fiqh. Kairo: Dar al-Hadits, t.th. Mawardi, al. al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. Ma’luf, Abdul Lois. Al-Munjid. Beirut: Dar al-Masyrik, 2002. Mirgani, al, Muhammad Usman Abdullah. Taj al-Tafasir. Dar al-Fikr, t.th. Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta: LKiS, 2009. --------------. “Perempuan dalam Fiqh Ibadah.” Harkat Vol. 5 No. 1 (Oktober 2004):
h. 1-9. Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Munfarida, Elya. “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif
atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat.” Studi Anak dan Gender vol. 3. No. 2 (Juli-Desember 2008).
Musa, Kamil. al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islamiy. Beirut: Muassasah al-Risalah,
1989. Muslim, Abu al-Husain. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007. Mustafa Yaqub, Ali. Imam Perempuan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. Nawawi, al, Syarafuddin. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Beirut: Dar Ihya al- Turas al-Arabiy, 2001. Qozwini, al, Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah. Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004. Qudamah, Ibnu. Al-Mughni. Ed. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki dan Abd al-
Fattah Muhammad al-Hilwu. Riyadh: Hajar, 1987.
118
Rahmat, Tamu Jalaluddin (ed.). Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996. Rida, Rasyid. Tafsir al-Manar.Beirut: Dar al-Fikr, 1973. Roibin. Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i.
Malang: UIN Malang Press, 2008. Romli SA. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973. Saleh, Qomaruddin. Dkk. Asbab al-Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat al-
Qur’an. Bandung: Diponegoro, 1996. Salus, al, Ali Ahmad. Imamah dan Khilafah dalam Syar’i. Penerjemah Asmuni
Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Sayis, al, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: Maktabah wa Matba’ah
Ali Sabih wa auladuh, t.th. -------------. Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad.
Penerjemah M. Ali Hasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Sa’adi, al, Abdurrahman bin Nashir. Tafsir al-Sa’adi. Penerjemah Muhammad Iqbal,
dkk. Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999. Shan’ani, al. Subul al-Salam. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Shiddieqy, ash, Muhammad Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. ------------------. Pedoman Salat. Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001. Shihab, Quraish. Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah Sampai
Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
---------. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Jakarta: Mizan, 1997.
119
---------. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Ciputat: Lentera Hati, 2007.
----------.Tafsir al-Mishbah: Pesaan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Ciputat:
Lentera Hati, 2000. Sijistani, al, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th. Subhan, Zaitunah .Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam: Agenda Sosio-
Kultural dan Politik Peran Perempuan. Ciputat: el-Kahfi, 2002. Syafi’i, Abdulmanan. “Memahami Ayat al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala al-Nisa Secara
Tekstual dan Kontekstual.” Harakat an-Nisa’, vol. 1 no. 1 (Januari 2001): h. 35-36.
Syafi’i, al, Muhammad bin Idris. al-Risalah. Kairo: Dar al-Turas, 1979. ------------.al-Umm. Beirut: Dar al-Wafa, 2005. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Syatibi, al. al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Syaukani, al, Ali. Nail al-Authar. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th. Tabari, al, Muhammad bin Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay’ al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005. Umar, Nasaruddin. Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: Kerjasama Lembaga
Kajian Agama dan Jender, PS Perempuan dan The Asia Foundation, 1999. Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994. Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan. Penerjemah Abdullah Ali. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2006. Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003. Yunus, Mahmud. Tafsir Quran Karim. Jakarta: Hidakarya Agung, 2004, Cet. Ke-73.
120
Zahiri, al, Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Jil, 1987.
Zahrah, Abu. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy,
1987. Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islam Waadillatuh. Kairo: Darul Fikar, 2004.