Post on 17-Nov-2021
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
17
MENYINGKAP TIRAI DEKADENSI
PENGHORMATAN DAN PEMENUHAN HAM
DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh :
Saharuddin Daming
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor
Abstrak
Ketika Tuhan selesai menciptakan bumi ini, maka tuntaslah keberadaan penciptaan,
tanah, air dan segala isinya kecuali ilmu. Manusia yang berbekal potensi akal dan nurani, diberi
amanat untuk mengelola kehidupan dunia yang damai, sejahtera dan bermartabat melalui
penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga sudah pada
tempatnya jika setiap orang tanpa terkecuali diberi kesempatan, kemudahan, penghormatan, dan
perlindungan secara penuh dari negara untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu
sebagai modal dasar untuk berpartisipasi dalam membangun peradaban. Sebagai pemangku
kewajiban (duty barrier) Negara melalui pemerintah harus mampu menjamin pemenuhan hak
setiap warga Negara untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu dalam sistem
pendidikan nasional. Jaminan tersebut mencakup layanan pendidikan yang murah, infra struktur
yang representative, tenaga kependidikan yuang qualified dan berdedikasi tinggi, pelembagaan
sistem pembelajaran yang inklusif dan menghargai perbedaan, serta pencapaian standart
pendidikan yang benar-benar cerdas dan komprehensif. Sayangnya karena dalam realitas,
layanan pendidikan yang bermutu justru terfragmentasi pola layanan dengan tren biaya mahal,
tenaga pendidik yang berdedikasi dan berkualitas rendah, menjamurnya eksklusifisme layanan
pendidikan berlabel SBI dan RSBI, masih berlanjutnya sistem segregasi bagi penyandang
disabilitas dan makin carut marutnya penyelenggaraan UN untuk mengukur standar pendidikan.
Kata Kunci: Dekadensi, HAM, Pendidikan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hak yang paling
fundamental bagi setiap orang di masa kini
adalah hak memperoleh pendidikan. Betapa
tidak karena dalam kehidupan modern yang
ditandai dengan iklim persaingan yang
sangat tinggi berkonsekuensi pada pilihan
SDM yang unggul. Sebagai bagian dari
pelaku modernitas, selain harus mampu
menunjukkan prestasi dan kualitas SDM
yang baik, setiap orang di kekinian juga
dituntut untuk dapat mengintegrasikan diri
dengan iklim persaingan secara wajar
dalam segala aspek kehidupan berbangsa
bernegara dan bermasyarakat.
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh
Bangsa Indonesia pada masa depan adalah
mampu menghadapi persaingan yang
semakin ketat dengan bangsa lain di dunia.
Kualitas manusia Indonesia tersebut
dihasilkan melalui penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu oleh pendidik
profesional. Ini menunjukkan bahwa
pendidikan mempunyai kedudukan yang
sangat urgen dan strategis, sebab hanya
dengan pendidikan setiap orang akan dapat
berekspresi dan berapresiasi secara optimal
dalam segala aspek kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.(Siti
Rokhayah, dkk, 2001)
Hal ini ditegaskan dalam UUD 1945
khususnya pada Pasal 28C (ayat 1) hasil
amandemen ke dua bahwa “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia”. Bahkan
dalam Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 hasil
amandemen ke empat ditentukan bahwa
“Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”.
Karena itu amat tepat jika dalam Pasal
3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
18
Pendidikan Nasional dirumuskan fungsi
dan tujuan pendidikan kita adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertangung jawab.
Sungguh sangat disesalkan karena
jaminan hak warga negara untuk
memperoleh layanan pendidikan yang
begitu konkret dalam sistem konstitusi dan
peraturan hukum kita, namun fakta juga
yang menunjukkan betapa banyaknya
masalah yang melilit penyelenggaraan
pendidikan kita dari generasi ke generasi.
Komnas HAM sendiri cukup kewalahan
melayani tingginya pengaduan warga
tentang indikasi pelanggaran HAM dalam
sistem penyelenggaraan pendidikan.
Menurut data dari unit pengaduan Komnas
HAM per-Oktober 2011 diketahui bahwa
pengaduan warga dalam bidang pendidikan
sebanyak 33 kasus, persis sama jumlahnya
dengan periode yang sama ditahun 2010.
Jumlah ini belum mencerminkan fakta yang
sebenarnya, karena kasus pelanggaran
HAM tentang pendidikan, diduga lebih dari
dua kali lipat dari jumlah yang diadukan
masyarakat ke Komnas HAM.
Hal ini mencerminkan bahwa
tanggung-jawab negara sebagai “duty
barrier” untuk melakukan upaya
penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan HAM dalam bidang
pendidikan, masih penuh dengan bercak-
bercak pelanggaran HAM. Bentuk dan jenis
pelanggaran HAM yang marak diadukan ke
Komnas HAM, relatif beragam dengan
ilustrasi, sebagaimana terurai dalam
makalah ini. Namun maintriggernya, lebih
tertuju pada belum dilakukannya pengarus-
utamaan isu HAM dalam penataan
kebijakan pelaksanaan sistem pendidikan
nasional kita. Akibatnya upaya
pembangunan karakter penyelenggaraan
pendidikan berbasis HAM dalam arti yang
sesungguhnya, hanya muncul dalam
ideologi dan wacana. Sementara jebakan
pragmatisme pendidikan pada semua aspek,
semakin kuat dan mendominasi hingar
bingar ketimpangan sistem pendidikan kita.
(Tim Penyusun Komnas HAM, 2005).
Hal yang dikemuakkan di atas
merupakan fenomena ironis karena secara
idieologis, pendidikan memiliki tugas untuk
menyiapkan sumber daya manusia untuk
pembangunan dari suatu bangsa tersebut.
Setiap langkah dalam pembangunan selalu
diupayakan beriringan dengan tuntutan
kemajuan zaman. Perkembangan zaman
yang selalu selalu berubah dan
memunculkan berbagai permasalahan baru
yang sebelumnya tidak pernah kita pikirkan
sebelumnya.
Indonesia adalah negara memiliki
beraneka ragam dalam kebudayaan dan
Indonesia juga dikenal sebagai negara yang
kaya raya akan sumberdaya alamnya,
namun untuk sumber daya manusianya
dalam hal pendidikan masih sangat rendah.
Hal tersebut telah diakui oleh banyak orang
di dunia, bahkan oleh warga masyarakat
Indonesia itu sendiri. Pendidikan yang ada
di Indonesia merupakan salah satu negara
yang kurang maju di dunia di bidang
pendidikan.
Hal tersebut dikarenakan adanya
masalah pendidikan di Indonesia yang
belum dapat ditangani dengan tuntas.
Adapun masalah pendidikan di Indonesia
ialah :
1. Rendahnya sarana dan prasarana
Telah kita ketahui sebelumnya dari
berita-berita baik di media massa cetak
atau pun elektronik, bahwa sudah
banyak berita tentang sekolah-sekolah
yang roboh, atau sekolah yang telah
rusak karena bangunannya sudah usang,
lapuk dan keropos yang sudah tidak
layak namun tidak memperoleh bantuan
dari pemerintah setempat. Ini merupakan
salah satu bukti bahwa betapa rendahnya
sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
Indonesia.
2. Kurangnya pemerataan pendidikan di
Indonesia
Bagi sebagian orang khususnya orang-
orang yang tinggal di kota besar,
pendidikan merupakan hal yang biasa
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
19
saja, namun jika kita tengok ke daerah-
daerah terpencil dan tempat-tempat
kumuh, pendidikan merupakan suatu hal
yang mewah dan sangat didambakan.
Hal tersebut dikarenakan negara lebih
memfokuskan pendidikan di wilayah-
wilayah pokok yang lebih potensial. Hal
tersebutlah yang membuat pemerataan
pendidikan yang ada di Indonesia
menjadi kurang.
3. Mahalnya biaya pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan mulai dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi
adalah masalah yang paling utama dalam
pendidikan yang ada di Indonesia. Hal
inilah yang membuat banyak anak-anak
yang putus sekolah di kalangan
masyarakat Indonesia yang kurang
mampu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
maka fokus amatan dan kajian penelitian ini
bersandar pada lima (5) masalah pokok
dengan rumusan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah iklim penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia kaitannya
dengan tingkat keterjangkauan
masyarakat?
2. Seberapa jaukah pengembangan sumber
daya manusia khususnya guru untuk
berperan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu?
3. Apakah Upaya peningkatan mutu
pendidikan dalam bentuk
penyelenggaraan sekolah bertaraf
internasional telah memenuhi rasa
keadilan?
4. Bagaimanakah bentuk perlakuan
penyelenggara pendidikan bagi peserta
didik disabilitas?
5. Sejauh manakah penyelenggaraan sistem
evaluasi pendidikan dalam bentuk ujian
nasional menunjang mutu pendidikan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengungkap fakta-fakta empiris
disertai analisis filosofis tentang iklim
penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia kaitannya dengan tingkat
keterjangkauan masyarakat .
2. Untuk mengetahui dan mengkaji secara
komprehensif tentang pengembangan
sumber daya manusia khususnya guru
untuk berperan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu.
3. Untuk mengungkap dan menganalisis
secara sistematis serta filosofis tentang
upaya peningkatan mutu pendidikan
dalam bentuk penyelenggaraan sekolah
bertaraf internasional telah memenuhi
rasa keadilan.
4. Untuk menganalisi dan mengkaji
tentang bentuk perlakuan penyelenggara
pendidikan bagi peserta didik disabilitas.
5. Untuk mengetahui secara komprehensif
dan filosofis tentang penyelenggaraan
sistem evaluasi pendidikan dalam bentuk
ujian nasional menunjang mutu
pendidikan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara filosofis, hasil penelitian ini akan
memberikan sumbangan dalam
memperkaya dan mengembangkan
khasanah ilmu pengetahuan terutama
bidang penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu berbasis HAM.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan referensi dan inspirasi
bagi kalangan yang ingin mempertajam
riset tentang penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu berbasis
HAM.
3. Selain itu juga akan memberikan
rekomendasi dan tawaran solusi kepada
berbagai pihak yang berkompeten untuk
mempertajam riset tentang
penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu berbasis HAM.
II. KAJIAN TEORITIS
A. Ruang Lingkup Pendidikan
Pendidikan bukan hanya sebuah
kewajiban, lebih dari itu pendidikan
merupakan sebuah kebutuhan. Dimana
manusia akan lebih berkembang dengan
adanya pendidikan. Tujuan pendidikan itu
sendiri beragam, tergantung pribadi tiap
individu memandang pendidikan itu sendiri,
ada yang memandang pendidikan yang baik
dapat memperbaiki status kerjanya,
sehingga mendapatkan pekerjaan yang
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
20
nyaman, ada pula yang memandang
pendidikan adalah sebuah alat transportasi
untuk membawanya menuju jenjang itu
semua.
Terlepas dari pandangan itu semua,
sebenarnya pendidikan adalah sesuatu hal
yang luhur.di mana suatu pendidikan tak
hanya sebatas dalam lembaga formal saja
tetapi pendidikan juga ada dilingkungan
informal, karena hakikatnya kita lahir
sampai akhir hayat. Belajar adalah
bagaimana kita berkembang untuk terus
menjadi baik menjadi pemimpin di bumi
ini.
Konsep dasar pendidikan di indonesia
sendiri didefinisikan sebagai berikut :
1. Menurut Notoatmojdo
Pendidikan adalah semua usaha atau
upaya yang sudah direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik
kelompok, individu, maupun masyarakat
sehingga mereka akan melakukan apa
yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan.
2. Menurut Mudyaharjo :
Pendidikan merupakan upaya dasar yang
dilakukan oleh keluarga, masyarakat,
serta pemerintah, dengan melalui
pengajaran atau latihan, kegiatan
bimbingan, yang berlangsung di dalam
sekolah dan di luar sekolah sepanjang
hidupnya, yang bertujuan untuk
mempersiapkan anak didik supaya
mampu memainkan peranan pada
berbagai kondisi lingkungan hidup
dengan tepat di waktu yang akan datang.
3. Menurut Fuad Ihsan:
Pendidikan merupakan upaya dalam
menumbuhkan dan mengembangkan
segala potensi-potensi yang di bawa
sejak lahir baik potensi jasmani ataupun
rohani sesuai dengan nilai-nilai yang di
anut masyarakat dan kebudayaan.
4. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
bahwa pendidikan adalah suatu proses
untuk mengubah sikap dan tingkah laku
seseorang maupun kelompok orang
dengan tujuan untuk mendewasakan
seseorang melalui usaha pengajaran dan
pelatihan.
Dari definsi pendidikan tersebut dapat
dipahami bahwa konsep dasar pendidikan
di Indonesia bertujuan untuk membentuk
sikap yang baik, sesuai nilai yang berlaku.
juga menumbuhkan potensi-potensi yang
dimiliki untuk dikembangkan lebih lanjut
Dengan perkembangan zaman di dunia
pendidikan yang terus berubah dengan
signifikan sehingga banyak merubah pola
pikir pendidik, dari pola pikir yang awam
dan kaku menjadi lebih modern. Hal
tersebut sangat berpengaruh dalam
kemajuan pendidikan di Indonesia.
Menyikapi hal tersebut pakar-pakar
pendidikan mengkritisi dengan cara
mengungkapkan dan teori pendidikan yang
sebenarnya untuk mencapai tujuan
pendidikan yang sesungguhnya
Tujuan pendidikan adalah menciptakan
seseorang yang berkwalitas dan berkarakter
sehingga memiliki pandangan yang luas
kedepan untuk mencapai suatu cita- cita
yang di harapkan dan mampu beradaptasi
secara cepat dan tepat di dalam berbagai
lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri
memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam
segala aspek kehidupan. Pendidikan
berawal dari sebelum bayi lahir seperti
yang dilakukan oleh banyak orang dengan
memainkan musik dan membaca kepada
bayi dalam kandungan dengan harapan ia
bisa mengajar bayi mereka sebelum
kelahiran.
Pada dasarnya penhgertian pendidikan
(UU Sisdiknas No 20 tahun 2003) adalah
usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata
pendidikan berasal dari kata „didik‟ dan
mendapat imbuhan „pe‟ dan akhiran „an‟,
maka kata ini mempunyai arti proses atau
cara atau perbuatan mendidik. Secara
bahasa definisi pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusiamelalui upaya
pengajaran dan pelatihan.
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
21
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia)
menjelaskan tentang pengertian pendidikan
yaiitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam
hidup tumbuhnya anak-anak, adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak itu, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan atau latihan
bagi peranannya di masa yang akan datang.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Sedangkan pengertian pendidikan
menurut H. Horne, adalah proses yang terus
menerus (abadi) dari penyesuaian yang
lebih tinggi bagi makhluk manusia yang
telah berkembang secara fisik dan mental,
yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti
termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional dan kemanusiaan
dari manusia.
Dari beberapa pengertian pendidikan
menurut ahli tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa Pendidikan adalah
Bimbingan atau pertolongan yang diberikan
oleh orang dewasa kepada perkembangan
anak untuk mencapai kedewasaannya
dengan tujuan agar anak cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak
dengan bantuan orang lain. Untuk
memaksimalkan misi pendidikan tersebut,
diperlukan strategi pendidikan yang
inovatif.
Inovasi berasal dari kata latin
“innovation” yang berarti pembaharuan dan
perbuahan. Inovasi ialah suatu perubahan
yang baru yang menuju ke arah perbaikan
yang lain atau berbeda dari yang
sebelumnya, yang dilakukan dengan
sengaja dan berencana (tidak secara
kebetulan saja).
Ibrahim (1988) mengemukakan bahwa
inovsi pendidikan adalah inovasi dalam
bidang pendidikan atau inovasi untuk
memecahkan masalah pendidikan. Jadi,
inovasi pendidikan adalah suatu ide,
barang, metode, yang dirasakan atau
diamati sebagai hal yang baru bagi hasil
seseorang atau kelompok orang
(masyarakat), baik berupa hasil inverse
(penemuan baru) atau discovery (baru
ditemukan orang), yang digunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan atau untuk
memcahkan masalah pendidikan.
Demikian pula Ansyar, Nurtain (1991)
mengemukakan inovasi adalah gagasan,
perbuatan, atau suatu yang baru dalam
konteks social tertentu untuk menjawab
masalah yang dihadapi.Selanjutnya
dijelaskan Bahwa sesuatu yang baru
mungkin sudah lama dikenal pada konteks
sosial lain, tetapi belum dilakukan
perubahan. Dengan demikian, daat
disimpulkan bahwa inovasi adalah
perubahan, tetapi tidak semua perubahan
adalah inovasi.
Pembaharuan (inovasi) diperlukan
bukan saja dalam bidang teknologi, tetapi
juga di segala bidang termasuk bidang
pendidikan.pembaruan pendidikan
diterapkan di dalam berbagai jenjang
pendidikan juga dalam setiap komponen
sistem pendidikan. Sebagai pendidik, kita
harus mengetahui dan dapat menerapkan
inovasi-inovasi agar dapat mengembangkan
proses pembelajaran yang kondusif
sehingga dapat diperoleh hasil yang
maksimal.
Kemajuan suatu lembaga pendidikan
sangat berpengaruh pada outputnya
sehingga akan muncul pengakuan yang rill
dari siswa, orang tua dan masyarakat.
Namun sekolah/ lembaga pendidikan tidak
akan meraih suatu pengakuan rill apabila
warga sekolah tidak melakukan suatu
inovasi di dalamnya dengan latar belakang
kekuatan, kelemahan tantangan dan
hambatan yang ada.
Menurut Santoso (1974), tujuan utama
inovasi adalah, yakni meningkatkan
sumber-sumber tenaga, uang dan sarana,
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
22
termasuk struktur dan prosedur organisasi.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapatlah
dikongkritkan tujuan inovasi pendidikan
adalah meningkatkan efisiensi, relevansi,
kualitas dan efektivitas: sarana serta jumlah
pendidikan sebesar-besarnya (menurut
kriteria kebutuhan peserta didik,
masyarakat, dan pembangunana), dengan
menggunakan sumber, tenga, uang, alat,
dan waktu dalam jumlah yang sekecil-
kecilnya.
Tahap demi tahap arah tujuan inovasi
pendidikan Indonesia:
1. Mengajar ketinggalan-ketinggalan yang
dihasilkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu
dan teknologi sehingga makin lama
pendidikan di Indonesia makin berjalan
sejajar dengan kemajuan tersebut.
2. Mengusahakan terselenggaranya
pendidikan sekolah maupun luar sekolah
bagi setiap warga Negara. Misalnya
meningkatkan daya tampung usia
sekolah SD, SLTP, SLTA, dan
Perguruan Tinggi
B. Mutu Pendidikan
Pengertian mutu memiliki konotasi
yang bermacam-macam tergantung orang
yang memakainya. Kata mutu diambil dari
bahasa latin “Qualis” yang artinya what
kind of (tergantung dengan kata apa yang
mengikutinya). Pengertian mutu sendiri
menurut Deming ialah kesesuaian dengan
kebutuhan. Sedangkan menurut Juran, mutu
ialah kecocokan dengan kebutuhan. Sallis
(2003) mengemukakan bahwa mutu adalah
konsep yang absolut dan relatif. Mutu yang
absolut adalah mutu yang mempunyai
idealisme tinggi dan berstandar tinggi yang
harus dipenuhi, dengan sifat produk
bergengsi yang tinggi. Sedangkan mutu
relatif adalah sebuah alat yang sudah
ditetapkan dan harus memenuhi standar
yang telah dibuat.
Definisi pendidikan menurut undang-
undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional atau Sisdiknas,
pasal 1 ( ayat 1 dan 4), bahwa “pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
akhlak mulia, pengendalian diri,
kecerdasan, keperibadian, serta
keterampilan yang diperlukan untuk
dirinya, masyarakat, bangsa dan juga
negara.”
Sedangkan menurut Husaini Usman
(2006:7), bahwa “Peserta didik adalah
anggota dari masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jenjang,
jalur, dan jenis pendidikan.”
Mutu di bidang pendidikan meliputi 4
mutu input, proses, output, dan outcome,
yaitu :
1. Input pendidikan dinyatakan bermutu
apabila telah berproses.
2. Proses pendidikan bermutu jika mampu
menciptakan suasana yang aktif, kreatif
dan juga menyenangkan.
3. Output dinyatakan bermutu jika hasil
belajar dalam bidang akademik dan non
ademik siswa tinggi.
4. Outcome dinyatakan bermutu apabila
lulusan cepat terserap di dunia kerja, gaji
yang wajar, dan semua pihak mengakui
kehebatannya lulusannya dan merasa
puas.
Mutu dalam konteks manajemen mutu
terpadu atau Total Quality Management
(TQM) bukan hanya suatu gagasan, tetapi
suatu filosofi dan metodologi untuk
membantu lembaga dalam mengelola
perubahan secara sistematik dan totalitas,
melalui suatu perubahan visi, misi, nilai,
serta tujuan. Di dalam dunia pendidikan
untuk menilai mutu lulusan suatu sekolah
dilihat dari keseuaian dalam kemampuan
yang dimilikinya dengan tujuan yang telah
ditetapkan di dalam kurikulum.
Pelembagaan unsur mutu pendidikan
sebagaimana terurai di atas, sebetulnya
sangat bergantung pada seberapa jauh
sistem pendidikan yang dibangun, mampu
mengakomodasi pengembangan unsur
tersebut. Karena itu perlu kiranya diuraikan
tentang konsepsi mengenai sistem
pendidikan. Kata sistem berasal dari bahasa
Yunani yaitu systema yang berarti adalah
“cara atau strategi”. Dalam bahasa Inggris
sistem berarti “system, jaringan, susunan,
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
23
cara”. Sistem juga diartikan “suatu strategi
atau cara berpikir”.
Sedangkan kata pendidikan itu berasal
dari kata “Pedagogi”, kata tersebut berasal
dari Bahasa Yunani kuno, yang jika di eja
menjadi 2 kata yaitu Paid yang artinya anak
dan Agagos yang artinya membimbing.
Dengan demikian Pendidikan bisa di
artikan sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan proses pembelajaran
dan suasana belajar agar para pelajar di
didik secara aktif dalam mengembangkan
potensi dirinya yang diperlukan untuk
dirinya dan masyarakat. Jadi, bisa di
simpulkan bahwa sistem pendidikan adalah
suatu strategi atau cara yang akan di pakai
untuk melakukan proses belajar mengajar
untuk mencapai tujuan agar para pelajar
tersebut dapat secara aktif mengembangkan
potensi di dalam dirinya yang diperlukan
untuk dirinya sendiri dan masyarakat.
Ada pun komponen-komponen yang
terdapat pada sistem pendidikan sebagai
berikut :
1. Tujuan
Tujuan merupakan batasan dari hal-hal
yang hendak di capai. Baiknya tujuan
yang ingin dicapai dalam satu usaha
perlu dikonkritkan terlebih dahulu
sebelum usaha tersebut dimulai, sebab
tujuan mempunyai fungsi yang tertentu
terhadap satu usaha.
2. Pendidik
Pendidik adalah orang yang
melaksanakan pendidikan, orang ini
biasa di sebut guru atau dosen. Orang
tersebut sebagai pihak yang mendidik
dengan norma-norma, pihak yang turut
membentuk anak, pihak yang
memberikan anjuran, pihak yang terlibat
dalam menghumanisasikan anak,
memiliki berbagai macam pengetahuan
dan kecakapan.
3. Peserta didik
Sasaran dari pendidikan adalah peserta
didik, peserta didik dapat dikatakan
sebagai pihak yang dididik, dipimpin,
diarahkan, dan diberi berbagai macam
ilmu pengetahuan dan keterampilan oleh
pendidik. Peserta didik juga bisa
dikatakan sebagai pihak yang
dihumanisasikan yang biasa di sebut
pelajar atau mahasiswa.
4. Alat pendidik
Alat pendidikan adalah sesuatu apa pun
yang membantu terlaksananya proses
belajar mengajar dalam rangka mencapai
tujuannya, baik berupa benda atau pun
bukan berupa benda.
Alat pendidikan sebagaimana
dikemukakan di atas, sering juga disebut
media pembelajaran. Secara umum media
pembelajaran adalah alat bantu dalam
proses belajar mengajar. Sesuatu apa pun
yang dapat dipergunakan untuk merangsang
pikiran, perhatian, perasaan, dan
kemampuan atau ketrampilan pelajar
tersebut sehingga dapat mendorong
terjadinya proses belajar atau kegiatan
pembelajaran. Batasan dari media
pendidikan ini cukup luas dan mendalam
dengan mencakup pengertian sumber,
manusia dan lingkungan setra metode yang
dimanfaatkan dari tujuan pembelajaran atau
pelatihan tersebut.
Singkatnya pengertian media
pembelajaran adalah suatu alat sebagai
perantara untuk pemahaman makna dari
materi yang disampaikan oleh pendidik atau
guru baik berupa media cetak atau pun
elektronik dan media pembelajaran ini juga
sebagai alat untuk memperlancar dari
penerapan komponen-komponen dari
sistem pembelajaran tersebut, sehingga
proses pembelajaran dapat bertahan lama
dan efektif, suasana belajar pun menjadi
menyenangkan.
Proses pembelajaran adalah proses
komunikasi yang berlangsung dalam suatu
sistem, maka dari itu media pembelajaran
tersebut menempati posisi yang cukup
penting sebagai salah satu komponen sistem
pembelajaran. Tanpa adanya media
pembelajaran tersebut, komunikasi tidak
akan terjadi dan proses belajar mengajar
sebagai proses komunikasi juga tidak akan
bisa berlangsung secara efektif dan optimal.
Jadi, media pembelajaran tersebut bisa
dikatakan sebagai komponen integral dari
sistem pembelajaran.
Kesimpulannya, media pembelajaran
adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan
peantara untuk menyalurkan pesan,
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
24
merangsang fikiran, minat, perasaan, dan
kemauan peserta didik sehingga dapat
mendorong terciptanya proses belajar pada
diri peserta didik.
Berikut adalah media pembelajaran di
bagi beberapa jenis, yaitu :
Media Visual : grafik, chart, komik,
diagram, kartun, bagan, dan poster
Media Audial : radio, laboratorium
bahasa, tape recorder, dan sejenisnya
Projected still media, slide, over head
projektor (OHP), in focus dan sejenisnya
Projected motion media : film, video
(DVD, VCD, VTR), televisi, komputer
dan sejenisnya.
Sedangkan tujuan dari media
pembelajaran tersebut adalah untuk
mempermudah proses belajar - mengajar,
untuk meningkatkan efisiensi belajar-
mengajar, menjaga relevansi dengan tujuan
belajar, untuk membantu konsentrasi
mahasiswa dan lain-lain.
Sebagai bagian dari standar dalam
siistem pendidikan yang bermutu,
efektifitas media pembelajaran, juga
ditentukan oleh seberapa jauh kurikulum
yang disusun mampu berkoneksi dan
mengakomodasi unsur-unsur pembelajaran.
Karena itu, perlu kiranya diuraikan secara
singkat tentang konsep kurikulum sebagai
standar pendidikan yang bermutu. Di dalam
mendefinisikan kurikulum para ahli
mengalami perbedaan pendapat, karena
kurikulum memiliki sifat dinamis yang
serba berubah mengikuti perkembangan
pada zaman. Dengan adanya perkembangan
zaman tersebut, maka pemikiran para ahli
juga mengalami pergeseran, namun secara
garis besar pengertian kurikulum
pendidikan terdapat dua macam :
1. Pengertian Tradisional Kurikulum
Roebert M. Hutchin yang
mengatakan, “The curiculum should
include grammar, theoric and logic,
reading, and eddition, and mathematic
at the secondary level introduce the
great books of the western world.”
Dari pengertian tersebut dapat kita
simpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kurikulum menurut pengertian
tradisional yaitu sejumlah dari mata
pelajaran atau ilmu pengetahuan yang
harus ditempuh, dijalani, dipelajari dan
dikuasai oleh para peserta didik untuk
mencapai suatu tingkat tertentu atau
untuk mendapatkan Ijazah atau untuk
mencapai tujuan dari pembelajaran
tersebut.
2. Pengertian Modern Kurikulum
Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu
cepat membawa dampak terhadap
berbagai perubahan di dalam aspek
kehidupan, termasuk dalam bidang
pendidikan yang mengalami perubahan
dalam kurikulum. Dengan mengikuti
kamajuan zaman tersebut, sistem
pendidikan menuntut kita untuk dapat
memenuhi faktor kebutuhan hidup yang
sesuai dengan kebutuhan zaman tersebut.
Dan saat ini peran kurikulum di dalam
sekolah bukan lagi hanya sebagai
pembekalan bagi para peserta didik
tersebut untuk mendapatkan suatu ilmu
pengetahuan, akan tetapi para peserta
didik juga dituntut untuk dapat
mengembangkan bakat atau minatnya,
serta mereka di haruskan untuk
membentuk kepribadian dan moral yang
baik, dan bahkan anak didik dituntut
agar dapat menguasai berbagai macam
keterampilan yang dibutuhkan dalam
dunia pekerjaan. Oleh sebab itu
pengertian kurikulum tradisional
mengalami pergeseran terhadap
pengertian kurikulum modern.
Ada pun Pengertian Kurikulum
modern yang dinyatakan oleh Zakiah
Daradjat bahwasannya, “All activities
that are provided for studied by the
school constitut: is curriculum” atau
dapat juga dikatakan "the term
curriculum…include all of the
experience of children for which the
school accepts responsibity."
Selain kurikulum hal yang penting
juga dalam menunjang mutu pendidikan
adalah evaluasi pendidikan itu sendiri.
Pengertian evaluasi secara luas adalah
suatu proses memperoleh,
merencanakan, dan menyediakan
informasi yang sangat dibutuhkan untuk
membuat alternatif-alternatif keputusan
(Mehrens & Lehmann, 1978:5). Nah,
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
25
dari pengertian tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa setiap kegiatan
evaluasi atau penilaian adalah suatu
proses yang sengaja direncanakan untuk
medapatkan informasi atau data, dan
dengan berdasarkan data tersebut
kemudian akan di coba untuk membuat
suatu keputusan.
Tentunya informasi atau data yang di
kumpulkan tersebut haruslah data yang
sudah sesuai untuk mendukung tujuan
dari evaluasi yang telah direncanakan
tersebut. Ada banyak sekali contoh-
contoh evaluasi yang terdapat di dalam
kehidupan kita sehari-hari. Bahkan tanpa
kita sadari dalam kehidupan sehari-hari
sudah banyak sekali kita melakukan
kegiatan evaluasi, oleh sebab itu
kegiatan evaluasi adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan kita.
Sedangkan pengertian evaluasi
pendidikan menurut Norman E.
Gronlund (1976) adalah: “Evaluation…
a systematic process of determining the
extent to which instructional objectives
are achieved pupils” yang artinya
evaluasi adalah suatu proses secara
sistematis yang berguna untuk
menentukan atau membuat keputusan
yang dapat dijadikan indikator untuk
mengetahui sejauh mana tujuan-tujuan
pengajaran yang telah di tentukan.
Untuk menentukan atau membuat
keputusan sampai sejauh mana tujuan-
tujuan pengajaran telah dicapai oleh
siswa. Dan menurut Wrightstone dan
kawan-kawan (1956: 16) memiliki
maksud yang sama dengan di atas
namun kata – katanya saja yang berbeda,
mereka mengatakan bahwa “Educational
evaluation is the estimation of i‟owih
and progress of pupils toward objectives
or values in the curriculum.” Maksudnya
dari Wrightstone dan kawan-kawan
adalah pendidikan merupakan taksiran
terhadap pertumbuhan dan kemajuan
siswa ke arah tujuan-tujuan atau
nilainilai yang telah di tetapkan di dalam
kurikulum.
Ada pun fungsi evaluasi pendidikan
di bagi ke dalam 4 kelompok fungsi :
a. Untuk mengetahui perkembangan dan
kemajuan serta keberhasilan bagi para
siswa setelah mengalami atau
menjalani kegiatan belajar selama
jangka waktu tertentu.
b. Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan program pengajaran
yang telah dijalankan.
c. Untuk keperluan BK atau Bimbingan
dan Konseling pada para siswa.
d. Untuk keperluan dalam perbaikan dan
pengembangan kurikulum sekolah
yang
bersangkutan tersebut.
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Wilayah yang menjadi ruang lingkup
penelitian ini adalah negara Republik
Indonesia dan beberapa negara sebagai
bahan pertimbangan.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan studi
kepustakaan berupa literatur seperti buku,
laporan hasil penelitian, makalah, jurnal dll
yang terbit dari dalam dari luar negeri.
Sedangkan tulisan dalam bentuk non
literatur seperti majalah koran dll
digunakan sebagai penunjang.
C. Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang menjadi obyek kajian
penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data empiris
yang diperoleh dari hasil telaah berbagai
literature yang sesuai dengan topik
penelitian. Sedangkan data sekunder adalah
data yang bersumber dari hasil telaah non
literature yang relevan dengan topik
penelitian.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer
dilakukan dengan cara observasi dan kajian
literatur secara saksama dengan
menyeleksi bahan sesuai topik penelitian.
Sedangkan teknik pengumpulan data
sekunder dilakukan dengan observasi dan
membaca aneka bahan non literatur yang
terkait dengan topik penelitian.
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
26
E. Analisis Data
Untuk mewujudkan hasil kajian yang
berkualitas, maka penelitian ini perlu
melakukan analisis terhadap data yang telah
dihimpun dengan cara yaitu data primer
dan data sekunder yang berhasil
dikumpulkan selama berlangsungnya
penelitian ini, kemudian disusun secara
sistematis lalu diseleksi validitas dan
reliabilitasnya. Data kualitatif diolah dan
dianalisis secara normatif sosiologis dan
filosofis berdasarkan peraturan hukum yang
berlaku, baik dalam konteks nasional dan
lokal maupun internasional. Mengingat
penelitian ini menggunakan metode telaah
kepustakaan, maka analisis data tersebut
dilakukan berdasarkan pemikiran logis atas
berbagai fakta maupun opini untuk
melahirkan kesimpulan.
Sedangkan bentuk pendekatan yang
dipakai dalam analisis data adalah pola
deduktif, yakni berangkat dari kerangka
teori yang umum untuk selanjutnya
dikorelasikan dengan kenyataan-kenyataan
objektif. Dalam hal ini, analisis data
terfokus pada penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu berbasis HAM.
IV. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Komersialisasi Pendidikan
Mencermati idealisme pendidikan kita
sebagaimana terurai di atas, maka sekiranya
Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan
Nasional masih hidup dan menyaksikan
keadaan tersebut, mungkin beliau
mengekspresikan wajah dengan lambaian
senyum dan tangis secara bergantian.
Simbol senyuman dimaknai dengan
pesatnya kemajuan pendidikan secara
kuantitatif di Indonesia dewasa ini, namun
kegembiraan tersebut tidak berlangsung
lama hingga berganti dengan wajah muram
dan kusam ketika menemukan suasana
pendidikan kita saat ini, terhinggapi
penyakit komersialisasi yang berujung pada
diskriminasi antara yang mampu dan tidak
mampu secara ekonomis.
Secara makro pendidikan kita memang
berhasil mencatat angka-angka signifikan
tentang infra struktur pendidikan yang telah
dibangun bahkan dibanding dengan
beberapa Negara tetangga, peserta didik
yang berhasil kita tamatkan dari tahun ke
tahun mulai dari tingkat Pendidikan Dasar,
Menengah hingga Perguruan Tinggi,
ditambah dengan pengangkatan tenaga
pendidik, maka kitapun berada pada level
terdepan. Namun keadaan paradoksal tentu
terlihat ketika kita menengok out put
pendidikan itu sendiri dimana Human
Devolopment Indeks (HDI) peserta didik
kita dibanding dengan negara tetangga
seperti Malaysia, Singapura dan Thailand,
maka kita sangat tertinggal jauh.
Sejumlah riset telah dilakukan untuk
mencari tahu tentang ketertinggalan
pendidikan kita itu. Semua kesimpulan
mengarah kepada faktor pragmatisme dan
diskriminasi sebagai maintrigger. Kedua hal
tersebut sudah lama menjadi penyakit
kronis yang terus menggerogoti sistem
pendidikan nasional kita dari waktu ke
waktu. Mulai dari kultur pergantian pejabat
tinggi pendidikan yang berimbas pada
pergantian sistem dan mekanisme
pendidikan sampai kepada pola rekruitmen,
promosi, pemberian reward dan funishment
tenaga/pejabat pendidikan, semuanya
dilakukan masih dalam konteks pendekatan
pragmatis dan diskriminatif.
Paradigma penataan pendidikan seperti
itu, tak pelak lagi menyulut terjadinya bias
efek dihampir semua lini. Sampai sekarang,
ada sekitar 20 juta anak usia 7 hingga 15
tahun yang belum/tidak tersentuh layanan
pendidikan dasar, termasuk mereka yang
drop out dari sekolah. 8 juta lebih anak usia
16 hingga 20 tahun yang tidak dapat
mengecap pendidikan tingkat menengah
dan lebih dari 2 juta alumni SMU yang
tidak mampu menginjakkan kaki di
perguruan tinggi akibat sengatan biaya
pendidikan yang dari waktu ke waktu terus
menggila. Padahal dalam Pasal 28C UUD
1945 hasil amandemen, mengamanatkan
bahwa: “setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia”.
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
27
Sayangnya karena nilai luhur yang
tertuang dalam konstitusi tersebut,
mengalami pembiasan kalau bukan
penghianatan akibat mafia komersialisasi
pendidikan. Salah satu produk hukum yang
banyak dituding sebagai atribut kapitalisme
pendidikan adalah UU No. 9 tahun 2009
tentang badan hukum pendidikan. Namun
pada kenyataannya, semua jenjang
pendidikan di Indonesia, nyaris terinfeksi
virus kapitalisme dan komersialisasi.
Jangankan Perguruan Tinggi atau Sekolah
Menengah Umum, anak-anak usia dini
yang didaftar untuk memperoleh
pendidikan jenis TK saja pada umumnya
sudah mengenakan tarif sampai jutaan
rupiah, apalagi jika lembaga tersebut dalam
bentuk play group, maka biayanya tentu
semakin memperlebar jurang diskriminasi.
Tak ayal lagi kebanyakan orang tua dengan
penghasilan hanya cukup sekadar
mengepulkan asap dapur lebih memilih
melantarkan anaknya di berbagai emper-
emper jalan, kerja serabutan dan berbagai
profesi kasar lainnya dari pada
memasukkannya di taman-taman
pendidikan laksana menara gading yang
berdiri megah, anggun dan mempesona di
tengah kemiskinan. (J Drost,, 1999).
Sebenarnya publik sedikit dapat
memahami penarikan tarif dalam dunia
pendidikan jika hal tersebut dikelola oleh
institusi swasta. Sebab dengan tarif tersebut
sudah barang tentu menjadi energi untuk
mensuplay seluruh elemen pengelolaan.
Tetapi publik tidak rela jika hal serupa juga
dilakukan lembaga pendidikan yang
seluruhnya dikelola pemerintah. Sebab
bukankah elemen-elemen penyelenggaraan
pendidikan sebagian besar telah disubsidi,
bahkan pemerintah telah mengklaim
pemenuhan politik anggaran pendidikan
Nasional, telah mencapai 20% sebagaimana
amanat konstitusi. Ironisnya karena peserta
didik yang bersekolah di lembaga
pendidikan pemerintah, terutama saat
masuk, dicekoki dengan rentetan
pembiayaan hingga 17 item (SPP, uang
buku, iuran pramuka dst) yang kesemuanya
konon merupakan kebijakan dari komite
sekolah.
”Pendidikan bermutu itu mahal”.
Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK)
hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan
lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin
tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan
SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, - sampai Rp 1.000.000. Bahkan
ada yang memungut di atas Rp 1 juta.
Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1
juta sampai Rp 5 juta.( Eko Prasetyo, 2006)
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang pernah menerapkan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS
di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi
dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS
selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas
modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah
Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan
uang kadang berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya,
ia tidak transparan, karena yang dipilih
menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan
Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite
Sekolah hanya menjadi legitimator
kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun
hanya menjadi legitimasi dari pelepasan
tanggung jawab negara terhadap
permasalahan pendidikan rakyatnya.
Hal yang lebih mengherankan lagi
selain karena kinerja Komite Sekolah lebih
sering berorientasi pada kepentingan
otoritas sekolah dari pada orang tua peserta
didik sebagai habitat aslinya, juga karena
pembangunan (renovasi/pengadaan sarana
fisik) selalu dibebankan kepada peserta
didik dalam bentuk sumbangan pendidikan
tanpa pernah sedikitpun melibatkan
kalangan guru untuk berbuat sama selaku
pihak yang juga ikut menikmati
kemanfaatannya. Anehnya karena dana
yang dihimpun sebagai sumbangan dari
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
28
peserta didik dimaksud, ternyata relatif
jarang yang benar-benar dialokasikan untuk
pengadaan sarana fisik, malah lebih banyak
dialirkan sebagai honor/insentif kalau
bukan di korup oleh sebagian oknum tenaga
pendidik. Alih-alih untuk kesejahteraan
guru akibat gaji yang dianggap terlalu
kecil.(Zubaedi, 2006)
Fenomena ironis seperti ini semakin
menambah daftar panjang problematika
yang melilit dunia pendidikan kita dewasa
ini. Padahal dalam program pembangunan
nasional dicanangkan jika bangsa kita pada
tahun 2015, konon akan memasuki era
kemakmuran ekonomi, sosial, budaya dan
politik yang di back up oleh pendidikan
yang murah, aksesibel dan bermutu. Itulah
sebabnya penataan pendidikan nasional
kita telah direformasi dari kurikulum
berbasis sekolah menjadi kurikulum
berbasis kompetensi.Tidak heran jika Pasal
11 ayat (1) UU No.20/2003 tentang sistem
pendidikan nasional mengamanatkan bahwa
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga Negara
tanpa diskriminasi”.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan
munculnya program privatisasi pendidikan
yang dilegalkan oleh UU No.9/2009.
Berubahnya status pendidikan dari milik
publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis
amat besar. Dengan perubahan status itu
pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas
pendidikan warganya kepada pemilik badan
hukum yang sosoknya tidak jelas.
Perguruan Tinggi Negeri pun berubah
menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN). Munculnya BHMN dan MBS
adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya
biaya pendidikan di beberapa Perguruan
Tinggi favorit.
Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional
pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar
(Republika, 10/5/2005) menilai bahwa
dengan privatisasi pendidikan berarti
Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan
menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar.
Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu
saja akan mematok biaya setinggi-tingginya
untuk meningkatkan dan mempertahankan
mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang
mampu untuk menikmati pendidikan
berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status
sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda
kapitalisme global yang telah dirancang
sejak lama oleh negara-negara donor lewat
Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP), pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan
pendidikan kelak akan menjadi badan
hukum pendidikan (BHP) yang wajib
mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari
SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa
PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu
menjadi momok. Jika alasannya bahwa
pendidikan bermutu itu harus mahal, maka
argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di
Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa
negara berkembang lainnya, banyak
perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan
beberapa negara ada yang menggratiskan
biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya
siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap
warganya memperoleh pendidikan dan
menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan
tetapi, kenyataannya Pemerintah justru
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
29
ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan
alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Untunglah UU No.9/2009 telah
dibatalkan oleh MK melalui putusan No.
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 yang
diputus pada tanggal 30 Desember 2009
dan dibacakan dalam sidang MK pada
tanggal 30 Maret 2010. Sampai disini,
dapat dipahami bahwa pemenuhan hak
pendidikan bagi warga negara secara
mudah, murah dan bermartabat, oleh negara
melalui pemerintah, masih terasa sangat
minim. Kualitas siswa masih rendah,
pengajar kurang profesional, biaya
pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU
Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan
yang buruk itu, negeri kita kedepannya
makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat
juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi
anggaran pendidikan baik di tingkat
nasional, propinsi, maupun kota dan
kabupaten
Penyelesaian masalah pendidikan tidak
semestinya dilakukan secara terpisah-pisah,
tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan
yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita
tidak hanya memperhatikan kepada
kenaikan anggaran saja. Sebab percuma
saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia
dan mutu pendidikan di Indonesia masih
rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib
Belajar Sembilan tahun sejatinya masih
menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan
yang dapat kita lihat bahwa banyak di
daerah-daerah pinggiran yang tidak
memiliki sarana pendidikan yang memadai.
Dengan terbengkalainya program wajib
belajar sembilan tahun mengakibatkan
anak-anak Indonesia masih banyak yang
putus sekolah sebelum mereka
menyelesaikan wajib belajar sembilan
tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak
ada perubahan kebijakan yang signifikan,
sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-
masalah pendidikan yang ada, apalagi
bertahan pada kompetisi di era global.
(Muliani : 2011)
Sungguh amat disesalkan karena sudah
hampir dua dasawarsa program tersebut
dicanangkan, hingga saat ini tanda-tanda
untuk mencapai titik kulminasi justru
semakin kabur, suram dan gelap. Sistem
dan mekanisme pengelolaan pendidikan
yang selama ini cenderung dirasakan
diskriminatif dan pragmatis, bukan saja
tidak dapat direduksi apalagi dihilangkan,
malah tampak semakin digalakkan dan
tumbuh subur dalam berbagai elemen
penyelenggaraan pendidikan.
B. Guru dan Masalahnya
Detak putaran kehidupan manusia dari
zaman ke zaman berintikan dinamika
perubahan berlangsung terus menerus
dalam dimensi ruang dan waktu. Sebagai
khalifatul fil ardi yang berbekal potensi
kecerdasan, komunitas anak cucu Adam
telah jauh meninggalkan kompetiternya
sesama makhluk. Kini peradaban manusia
tiba pada past industrial area, dimana
teknologi informasi dan komunikasi telah
mengubah basic karakter dunia. Kesemua
prestasi dan prestise insaniah ini bukanlah
terjadi secara kebetulan, melainkan melalui
sejarah panjang proses transformasi yang
terus dikembangkan dari periode ke
periode.
Kemampuan manusia meninggalkan
dunia kelam memasuki era pencerahan
dengan perangkat high technologi sebagai
hiposentrum peradaban modern dapat
dicapai berkat jasa para transformator yang
di Indonesia disebut guru. Mereka inilah
yang menghabiskan sebagian besar
hidupnya untuk mendidik dan mengajari
generasi ke generasi mulai transfer
knowledge dan Science technologi sampai
pada pembentukan karakter dan perilaku,
bahkan kekuatan spritual sebagai potensi
Ilahiah untuk menerobos keterbatasan
logika, kesemuanya merupakan out put
primer profesi guru. Tidak heran jika John
Locke dan W. Stern menyebut guru sebagai
lokomotif dunia. Sekalipun di Indonesia
guru diposisikan sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa. (Andrias Harefa, 2000).
Djamarah (2000) mengungkapkan,
guru adalah unsur manusiawi dalam
pendidikan. Guru merupakan figur manusia
sebagai sumber yang menempati posisi dan
memegang peranan penting dalam
pendidikan. Ketika semua orang
mempersoalkan masalah dunia pendidikan,
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
30
figur guru mesti terlibat dalam agenda
pembicaraan, terutama yang menyangkut
persoalan pendidikan formal di sekolah.
Guru adalah orang yang memberikan
ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru
dalam pandangan masyarakat Indonesia
merupakan orang yang melaksanakan
pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak
harus di lembaga pendidikan formal, tetapi
bisa juga di mesjid, di rumah, dan
sebagainya.
Guru merupakan profesi, yaitu
pekerjaan yang menuntut keahlian. Artinya,
pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan
oleh orang yang tidak terlatih dan tidak
disiapkan. Kegiatan pendidikan dan
pembelajaran di sekolah terhadap peserta
didik tidak bisa dilakukan sembarang
orang, karena untuk melakukan tersebut
dituntut keahlian atau kompetensi sebagai
guru. Guru adalah orang yang profesional,
artinya secara formal mereka disiapkan oleh
lembaga atau institusi pendidikan yang
berwenang. Mereka dididik secara khusus
memperoleh kompetensi sebagai guru, yaitu
meliputi pengetahuan, keterampilan,
kepribadian, serta pengalaman dalam
bidang pendidikan (Wibowo, 2004).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP No.74
tahun 2008 tentang Guru, merumuskan
bahwa guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Selanjutnya dalam
Pasal 3 ayat (1) ditentukan bahwa
Kompetensi guru merupakan seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan
diaktualisasikan oleh Guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. Pada
ayat (2) dipertegas mengenai Kompetensi
Guru meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional yang diperoleh
melalui pendidikan profesi.
Guru dilekati tanggungjawab untuk
mencerdaskan kehidupan anak didik.
Membimbing dan membina anak didik agar
di masa mendatang menjadi orang yang
berguna bagi nusa dan bangsa (Djamarah,
2000). Wens Tanlain dkk (dalam Djamarah,
2000) mengatakan bahwa guru yang
bertanggungjawab harus memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Menerima dan mematuhi norma, nilai-
nilai kemanusiaan.
2. Memikul tugas mendidik dengan bebas,
berani, gembira.
3. Sadar akan nilai-nilai yang berkaitan
dengan perbuatannya serta akibat-akibat
yang akan timbul.
4. Menghargai orang lain, termasuk anak
didik.
5. Bijaksana dan baik hati.
6. Takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Itulah sebabnya guru di zaman orang
tua peneliti dahulu, adalah sosok yang
mengakar dan berkedudukan tinggi dalam
masyarakat. Mulai dari pengajaran dan
pendidikan formal sampai instruktur bela
diri dan doa selamatan dalam multi event,
semuanya hampir tak bermakna tanpa
sentuhan legitimasi guru, sampai sekarang
ulama besar di tanah Bugis Makassar masih
menyandang predikat “Gurutta” dan hasil
penalaran dan pengkajiannya disebut “Anre
Gurutta”. Jika Gurutta berlalu, serta merta
warga yang kebetulan berpapasan, langsung
mengambil sikap hormat dengan cara
membungkukkan badan atau bersujud
sehingga guru di zaman itu nyaris
disakralkan kalau bukan dikultuskan.
Untuk menjaga nilai keluhuran dan
perilaku guru seperti diungkapkan di atas,
maka sekelompok guru yang tergabung
dalam Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), telah mendeklarasikan Kode etik
Guru dengan rumusan sebagai berikut:
1. Guru berbakti membimbing anak didik
seutuhnya untuk membentuk
pembangunan yang ber-Pancasila.
2. Guru memiliki kejujuran professional
dalam menerapkan kurikulum sesuai
dengan kebutuhan anak didik masing-
masing.
3. Guru mengadakan komunikasi, terutama
dalam memperoleh informasi tentang
anak didik, tetapi menghindarkan diri
dari segala bentuk penyalahgunaan.
4. Guru menciptakan suasana kehidupan
sekolah dan memelihara hubungan
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
31
dengan orang tua murid dengan sebaik-
baiknya bagi kepentingan anak didik.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan
masyarakat di sekitar sekolahnya
maupun masyarakat yang lebih luas
untuk kepentingan pendidikan.
6. Guru secara sendiri-sendiri dan atau
bersama-sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu profesinya.
7. Guru menciptakan dan memelihara
hubungan antar sesama guru baik
berdasarkan lingkungan kerja maupun di
dalam hubungan keseluruhan.
8. Guru secara bersama-sama memelihara,
membina, dan meningkatkan organisasi
guru profesional sebagai sarana
pengabdiannya.
9. Guru melaksanakan segala ketentuan
yang merupakan kebijaksanaan
pemerinah dalam bidang pendidikan.
Kebesaran dan kehormatan citra diri
guru di zaman lalu, sungguh amat paradoks
dengan fenomena destruktif yang dicitrakan
oleh performance segelintir oknum guru di
masa kini, nilai pencitraan diri guru
tampaknya telah mengalami pergeseran
kalau bukan penjungkir balikkan nilai.
Betapa tidak karena dalam beberapa kasus
dijumpai dan dialami oleh kita sebagai
stakeholder dalam pendidikan, sudah
merupakan lalapan sehari-hari banyaknya
guru yang mangkir atau bolos dari tugas,
terlambat datang cepat pulang. Demikian
pula fenomena guru terlibat praktek
pungli/pemerasan yang dilegalkan dengan
modus operandi, penjualan buku paket,
seragam sekolah, uang pramuka dan lain-
lain terutama uang bangku, uang meja dan
seribu satu nama yang kini diakreditasi
dalam gaya Eufemisme dengan nama
komite Sekolah yang dalam prakteknya,
ternyata hanya berubah nama tanpa action.
(Joni,T.Raka. dkk.1985).
Untuk lebih lengkapnya, berikut ini
dikemukakan 12 penyakit yang kerap
dilekatkan pada guru yaitu:
1. Tipes : Tidak punya selera (monoton dan
membosankan)
2. Mual : mutu amat lemah (mutu lemah
mau jadi guru bersertifikat pendidik?
jangan ngimpi)
3. Kudis : Kurang disipiln (murid disuruh
disiplin, namun kalau kita tidak disiplin?
4. Asma : Asal masuk kelas (kewajiban
guru kepada peserta didik, bukan
rutinitas)
5. Kusta : Kurang Strategi (hoaammm… di
kelas siswa bakal ngantuk berat
6. TBC : Tidak Bisa Computer (Jaman Gini
ga bisa komputer? haddeeeeehhhhh…)
7. KRAM : Kuram Terampil
8. Asam Urat : Asal Sampaikan materi
urutan kurang akurat (kualitas bos,,
bukan kuantitas….)
9. Lesu : Lemah Sumber (cuma pake 1
referensi, LKS pula ; pake internet… ga
kenal internet? NDESO (by tukul
arwana)
10. Diare : Dikelas Anak-anak remehkan
(Guru hanya menang belajar 1 malam
dari siswa, apa masih meremehkan
siswa?)
11. Ginjal : Gajinya nihil jarang aktif dan
terlambat (Penyakit yang paling parah ,
guru bukan cari uang, tapi cari nafkah
batin .. ingat semboyan Pahlawan tanpa
tanda jasa)
12. Sakaw: Status Kalaw (baca: Galau)
bukan karena narkotika tapi karena
gambar di bawah ini, ya…karena social
network kita jadi semakin
galau…ajarkan murid untuk menulis
status cerdas, ingat kata
Mark Zuckerberg di Film “The Social
Network”: You Don‟t Get To 500
Million Friends Without Making A Few
Enemies
Guru sering disebut sebagai fasilitator,
dalam arti guru harus memberi kemudahan
bagi muridnya untuk belajar dan
menemukan sumber belajar. Termasuk
tugas fasilitator ialah membuat ilmu yang
“sulit” bagi murid menjadi “mudah” setelah
ada intervensi guru. Sayangnya, banyak
sekali murid justru menjadi bingung dan
tidak mengerti setelah mengikuti pelajaran
guru mereka. Bahkan saat ini, ketika
teknologi informasi sudah maju, murid
sendiri lebih mampu mencari sumber
belajarnya, lebih banyak difasilitasi oleh
teknologi internet. Sementara itu, guru-guru
malah banyak yang gagap teknologi,
menyentuh komputer pun tidak pernah
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
32
(Atau tidak mau!?), apalagi menjangkau
internet. (Hendro Martono, 2006)
Karena itu sebutan guru sebagai
pengembang ilmu patut diragukan bagi
sebagian besar guru. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa pengetahuan guru
seringkali hanya sebatas materi yang ada
dalam kurikulum plus buku pegangan bagi
guru dan bagi murid. Apa yang diajarkan
dari hari ke hari, dan tahun ke tahun, ya
hanya itu-itu saja, bahkan penyajiannya pun
dengan cara yang tak pernah berubah.
Buku-buku ilmu pengetahuan di bidangnya
yang cukup tersebar tidak pernah tersentuh,
karena budaya membaca di kalangan guru
juga sangat rendah. Dalam hal seperti itu
guru tampaknya sulit menjadi menyandang
predikat sebagai teladan bagi murid
mereka. (Sumarsono: 2011)
Hal ini dapat terjadi disebabkan banyak
faktor antara lain pola rekruitmen guru
(dosen) belakangan ini, sangat berbau
administratif birokratis dan lebih
mengedepankan aspek kognitif. Tengoklah
prosesi penerimaan guru dari tahun ke
tahun, terlihat dengan sangat gamblang
betapa liniernya kriteria penerimaan guru
yang hanya menekankan pada kemampuan
intelektualitas melalui tes tertulis. Kalaupun
ada tes wawancara dan lain-lain, sering
hanya dilakukan sekadarnya demi
memenuhi prasyarat. Sementara materi tes
tertulis, sering sekali tidak berbasis pada
dimensi kualitas saintifik, tetapi justru sarat
dengan muatan-muatan pragmatisme
administrasi birokrasi, mengingat
guru/dosen kelak akan berstatus sebagai
PNS.
Tragisnya karena guru yang
mengemban tugas mulia dan sangat
strategis dalam membangun karakter dan
transformasi nilai, justru direkrut tanpa
pengukuran terhadap kecerdasan emosional
(IQ) maupun kecerdasan spiritual (ESQ).
Padahal dua hal tersebut terakhir, justru
merupakan bagian esensial dari potensi
kekuatan guru yang berkarakter. Sayangnya
karena dua hal vital tersebut, sering tidak
menjadi prioritas dalam rangkaian proses
rekruitmen guru selama ini. Tidak heran
jika performa guru belakangan ini melintas
di atas sebuah jurang pertarungan nilai yang
berkolaborasi antara pragmatisme birokrasi
dan pragmatisme pengabdian. .( Anita Lie,
2005)
Pada sisi lain, keterpurukan citra guru
dengan bias-bias makna yang terus
menggerogoti keluhuran guru dewasa ini,
juga kemungkinan disumbangkan dari
pragmatisme pendidikan keguruan yang
berlangsung di tingkat perguruan tinggi.
Betapa tidak karena paradigma pencetakan
guru dari perguruan tinggi keguruan,
memang dihimpit banyak masalah. Mulai
pada proses rekruitmen calon mahasiswa
yang menggunakan jalur seleksi
penerimaan mahasiswa baru atau apapun
namanya juga didominasi pendekatan
kognitif semata. Soal latar belakang calon
yang bertemperamen tinggi, egois, tidak
sensitif, bahkan mungkin mempunyai
perilaku yang menyimpang dari sisi moral,
kesantunan agama hingga hukum dan lain-
lain, nyaris tak menjadi penilaian jika calon
mampu menjawab dengan baik soal dalam
seleksi penerimaan mahasiswa.
Begitu juga dalam proses pembelajaran
di kampus, mahasiswa calon guru dalam
menerima materi perkuliahan, lagi-lagi
terjebak dengan tradisi kampus dengan
motto “Yang Penting Selesai”. Dosen
hanya masuk ke kelas sekadar untuk
menggugurkan kewajiban, mahasiswa hadir
di kelas, juga sekadar formalisme.
Pemberian tugas oleh dosen maupun
kualitas pengerjaannya oleh mahasiswa,
tidak begitu penting ketika proses harus
berhadapan dengan jebakan pragmatisme.
Akibatnya lahirlah sarjana calon guru yang
hanya berbekal nafsu memperoleh
pekerjaan dengan penghasilan tetap, tetapi
miskin idelisme dan sensitifitas maupun
respon terhadap dedikasi luhur seorang
guru.
Persoalan lain yang turut berkontribusi
pada rendahnya kualitas guru adalah pola
pembinaan yang bersifat struktural, hanya
terkonsentrasi pada fakta administratif.
Sedangkan fakta moral, kepatutan, dan
dedikasi luhur yang dulu sangat melekat
kuat pada profesi ini, justru kerap ditutup-
tutupi. Herannya lagi karena jika ada kasus
penyimpangan yang dilakukan oleh oknum
guru, terlebih kalau kasus itu terkait dengan
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
33
kepentingan lembaga, maka terjadilah
solidaritas korps yang membela secara
membabi buta koleganya dari segala bentuk
cemoohan publik maupun tuntutan hukum
sekalipun. Hal ini terlihat pada tragedi
pengusiran Ny. Siami dari kampung
kediamannya di Jl. Gadel Sari Barat Kec.
Tandes Surabaya, Kamis 9 Juni 2011,
hanya karena ibu Siami dipersalahkan oleh
guru dan orang tua murid lantaran ibu
Siami berani membongkar kecurangan yang
berlangsung dalam ujian Nasional pada
sekolah dasar tempat anaknya bersekolah.
Anehnya karena kalaupun ada
pembinaan fungsional misalnya penataran
guru dan sejenisnya, materi penataran, lagi-
lagi hanya terfokus pada penguasaan
akademik atau metode pembelajaran serta
berbagai tetek bengek pengetahuan tentang
administrasi pendidikan dan sejenisnya.
Sedangkan materi tentang bagaimana
membangun karakter, moral, nilai
kepatutan, dan keluhuran profesi guru dan
lain-lain tampaknya merupakan meteri yang
sangat langka kalau bukan asing dalam
program penataran dan sejenisnya yang
diselenggarakan oleh instansi yang
berkompeten. Parahnya lagi karena guru
yang hadir dalam peserta dalam penataran
seminar dan lain-lain sering bukan karena
motivasi luhur untuk menyerap tambahan
pengetahuan, melainkan lebih tertuju pada
sertifikat kegiatan untuk digunakan sebagai
bahan pengajuan peningkatan karier.
Perhatikan saja serangkaian penataran
atau seminar yang diselenggarakan untuk
guru, panitia melaporkan jumlah peserta
lebih banyak dari pada fakta sesungguhnya.
Sebagian peserta yang tercatat dalam
panitia adalah fiktif karena memang hanya
ingin sertifikatnya saja. Ironisnya lagi
karena panitia yang harusnya menolak
praktek tidak terpuji itu, justru meloloskan
karena menerima upeti alias pelicin dari
oknum guru yang memang sangat
menginginkan sertifikat saja. Tak ayal lagi,
seminar atau penataran yang harusnya
benar-benar meningkatkan kualitas guru
dalam tugas dan pengabdian, ternyata
hanya menjadi ajang formalisme dan bisnis
sertifikat oleh oknum penyelenggara yang
tidak sedikitpun merasa malu dan risih atas
perilakunya yang menggiring guru di
lembah kecurangan. (Baskoro
Poedjinoegroho E., 2006)
Fenomena tragis lain yang
ditampakkan oleh generasi Ki Hajar
Dewantoro ini mencakup pula praktik jual
beli nilai, sogok menyogok, untuk masuk
dan tamat dengan “Letjend” (lewat
jendela). Sikap lebih mendahulukan
pekerjaan nyambi dari pada tugas
reguler/pokok. Belum lagi banyaknya
oknum guru yang masuk di ruang kelas
kalau bukan tinggal membaca (mendikte)
peserta didik dari buku paket, ia juga
kadang-kadang menyuruh satu dua peserta
didik untuk menulis materi salinan di papan
tulis. Sang guru sendiri keluar ruang kelas
untuk urusan yang sering tidak ada
kaitannya dengan kepentingan peserta didik
seperti: mengobrol di kantor atau dipojok
sekolah/kelas dengan sesama guru yang
umumnya adalah urusan pribadi kalau
bukan ngerumpi.
Di zaman kini sudah sulit kita jumpai
seorang guru/dosen mengajar dengan
persiapan penuh, misalnya, penguasaan/
pembacaan literatur 2 – 3 hari sebelumnya
disertai alat peraga atau media
pembelajaran yang comfortable, umumnya
tiba masa tiba akal. Bahkan tidak sedikit
lupa jika bahan referensinya telah
kadarluarsa sehingga setiap ada reaksi kritis
dari peserta didik, maka sang gurupun
langsung kebakaran jenggot dan
mengalihkan kesalahan itu pada peserta
didik seraya berkata ” anak baru kemaren
sore tahu apa, saya ini sudah kenyang
makan asam garam”. (M.Basuki Sugita,
2006).
Sampai disini citra diri guru sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa sungguh-
sungguh telah terdistorsi oleh amukan
budaya materialisme dan hedonisme. Gejala
ini semakin tampak ketika beberapa waktu
yang lalu sejumlah oknum guru PNS
menggelar aksi unjuk rasa di beberapa
tempat menuntut kenaikan gaji atau
tunjangan lain yang lebih tinggi. Anehnya
lagi karena tokoh yang memimpin aksi
unjuk rasa guru dimaksud, dalam catatan
investigasi peneliti ternyata adalah oknum
guru yang punya mobil dan rumah relatif
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
34
megah yang terletak di kawasan elit.
Sepintas lalu aspirasi seperti ini di era
keterbukaan dan kebebasan tentu saja
adalah hal yang sangat logis dan sah. Tetapi
bila kita amati lebih jauh, substansi tuntutan
mereka menurut hemat peneliti sangat
kontras dengan realitas yang terjadi.
Tengoklah sosok pegawai honorer atau
aktivis LSM serta buruh-buruh kasar
lainnya yang hanya berpenghasilan tak
lebih dari sepertiga gaji guru PNS. Dalam
kondisi demikian, mereka ini yang lebih
pantas dan patut melakukan aksi unjuk rasa
menuntut kenaikan upah.
Jika benar penghasilan guru PNS itu
kecil, lalu mengapa setiap penerimaan
CPNS untuk guru, masih selalu ditandai
dengan pelamar yang sangat membludak ?.
Bahkan dalam penerimaan sekadar guru
kontrak dengan gaji kurang dari Rp 500.000
per bulan juga ternyata sangat diminati
puluhan bahkan ratusan ribu pelamar meski
yang diterima sangat sedikit. Walaupun
dalam realitas lain tampak juga
penghidupan segelintir guru PNS yang jauh
dari kemakmuran. Penyebabnya bukan
karena gaji yang tidak cukup, melainkan
karena kultur konsumerisme dan mis-
managemen income yang tidak
proporsional. Jadi apakah pantas tingkat
penghasilan dari seorang guru PNS yang
kemudian dirasakan tak mencukupi, lebih
karena kesalahan individu dalam menata
penghasilannya, lalu merengek-rengek
menuntut tambahan gaji?. Apakah patut
seorang guru yang menyandang predikat
pahlawan tanpa tanda jasa rela mengurangi
dedikasinya dalam mengantar dan
mempertahankan kualitas generasi pelanjut
dalam bidang pendidikan hanya karena
penghasilan diterima sama saja dengan PNS
pada umumnya ?
Ditinjau dari aspek keadilan, tuntutan
kenaikan gaji oleh para guru juga sangat
memperlihatkan arogansi komunitas dan
previlage profesi sebab banyak keluarga,
relasi, dan tetangga peneliti yang juga
adalah PNS di instansi lain, hampir tidak
pernah terdengar suara menggerutu yang
berlebihan seperti itu. Bahkan tidak sedikit
diantara PNS lain dimaksud, nyeletuk
seraya berkata, “PNS memang adalah
lembaga pengabdian tidak terkecuali guru,
kalau ingin kaya silahkan jadi pengusaha
atau jadi pejabat, karena PNS tidak
mungkin bisa kaya kecuali kalau korupsi .”
(Paul Suparno, 2002).
Masih segar dalam ingatan peneliti
bagaimana gaji para hakim ditingkatkan
hingga 100 persen, tentu dengan maksud
untuk menghalau sogokan demi menjaga
independensi hakim dalam memutus
perkara. Celakanya, karena sejak kebijakan
itu diterapkan, sampai sekarang kinerja
hakim dan pengadilan ternyata masih tetap
sama dengan yang dulu, keadilan yang
didamba-dambakan oleh masyarakat
ternyata masih jauh dari harapan bahkan
lembaga peradilan dewasa ini lebih tampak
laksana bursa, dimana para pialang
peradilan hampir tidak punya rasa malu lagi
menjadikan keadilan sebagai komoditas
yang dapat diakses hanya oleh mereka yang
berduit dan berkuasa.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan
penghargaan peneliti kepada ide perbaikan
taraf kesejahteraan guru sebagai solusi
untuk meningkatkan mutu pendidikan,
peneliti terus terang sangat skeptis kedua
variabel itu dapat tegak berbanding lurus.
Peneliti berkeyakinan bahwa pada akhirnya
gagasan itu betapapun baiknya akan
kembali berujung pada pengulangan sejarah
kenaikan gaji di lingkungan kehakiman.
Inilah sebagian kecil potret realitas
yang kerap kita jumpai di balik sisi
kemuliaan dan urgensi nilai pencitraan diri
seorang guru. Sikap pragmatis dan
hedonistik segelintir guru sebagaimana
yang terdeskripsikan di atas, laksana Nila
setitik merusak susu sebelanga. Walau tidak
ada data yang akurat tentang prosentase
guru yang diindikasikan berpengabdian
rendah, tapi setidaknya menurut estimasi
peneliti jumlahnya lebih dari 70 %. Namun
yang pasti bahwa fenomena destruktif itu
sudah merupakan Conditio zine qua non
sebagai variabel pemacu dan pemicu
keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia.
Meski kenyataan tersebut ditimbulkan
oleh begitu banyak faktor mulai dari tingkat
kesejahteraan guru yang rendah, kebijakan
pendidikan dan kurikulum yang tumpang
tindih, sampai kepada budget pendidikan
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
35
yang sangat tidak memadai, namun
maintrigger keterpurukan mutu pendidikan
di Indonesia menurut peneliti adalah pada
performance guru yang tidak lagi
memaknai tugas yang luhur itu dalam
konteks panggilan profesi, padahal
bukankah wilayah bahkan bangsa yang
menikmati layanan mutu pendidikan yang
baik adalah karena komitmen para tenaga
pengajarnya yang sadar akan tugas dan
tanggung jawab.
Jadi tidak seharusnya hal tersebut
digantungkan pada ketersediaan sarana dan
fasilitas yang serba wah, mereka sebagai
seorang pendidik, perlu mengedepankan
pencitraan diri seorang guru yang
kharismatik, profesional, tulus dan
mendahulukan sikap keteladanan untuk
hidup dalam kesederhanaan, kesabaran dan
berakhlak mulia sebagaimana yang tertuang
dalam kode etik guru, bukan berlomba-
lomba memperkaya diri dengan
menghalalkan segala cara yang dilegalkan
oleh atribut pendidikan dan gaji yang
rendah. Tanpa kesadaran dan komitmen riil
untuk mereaktualisasi semangat pahlawan
tanpa tanda jasa, maka cita-cita pemerintah
untuk meningkatkan mutu pendidikan
hanyalah sebuah ilusi dalam retorika kalau
bukan utopia.
Menyadari kondisi keterpurukan guru
dari segi prestasi dan dedikasi, maka
lahirlah sertifikasi guru sebagai suatu
proses pemberian pengakuan bahwa
seseorang telah memiliki kompetensi untuk
melaksanakan pelayanan pendidikan pada
satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh
lembaga sertifikasi. Dengan kata lain,
sertifikasi guru adalah proses uji
kompetensi yang dirancang untuk
mengungkapkan penguasaan kompetensi
seseorang sebagai landasan pemberian
sertifikat pendidik.(Winarno Surakhmad,
2004)
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan
dilakukan oleh Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) yang
terakreditasi dan ditetapkan pemerintah.
Pelaksanaan sertifikasi bagi guru dalam
jabatan ini merupakan amanat peraturan
perundang-undangan. Sertifikasi guru
merupakan kebijakan yang sangat strategis,
karena langkah dan tujuan melakukan
sertifikasi guru untuk meningkat kualitas
guru, memiliki kompetensi, mengangkat
harkat dan wibawa guru sehingga guru
lebih dihargai dan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia (Sanaky,
2004).
Menurut Mulyasa (2007), Sertifikasi
guru merupakan proses uji kompetensi bagi
calon guru atau guru yang ingin
memperoleh pengakuan dan atau
meningkatkan kompetensi sesuai profesi
yang dipilihnya. Representasi pemenuhan
standar kompetensi yang telah ditetapkan
dalam sertifikasi guru adalah sertifikat
kompetensi pendidik. Sertifikat ini sebagai
bukti pengakuan atas kompetensi guru atau
calon guru yang memenuhi standar untuk
melakukan pekerjaan profesi guru pada
jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Dengan kata lain sertifikasi guru
merupakan pemenuhan kebutuhan untuk
meningkatkan kompetensi profesional.
Oleh karena itu, proses sertifikasi
dipandang sebagai bagian esensial dalam
upaya memperoleh sertifikat kompetensi
sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
National Commision on Education
Services (NCES) menilai sertifikasi guru
sebagai prosedur untuk menentukan apakah
seorang calon guru layak diberikan izin dan
kewenangan untuk mengajar. Hal ini
diperlukan karena lulusan lembaga
pendidikan tenaga keguruan sangat
bervariasi, baik di kalangan perguruan
tinggi negeri maupun swasta (NCES dalam
Mulyasa, 2007). Jadi program sertifikasi
guru lebih merupakan upaya sistematis
yang dilakukan oleh pemerintah dibawah
kuasa Dinas Pendidikan Indonesia dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan
di Indonesia, yang dilaksanakan melalui
LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan
pemerintah dengan pemberian sertifikat
kepada guru yang telah berhasil mengikuti
program tersebut.
Untuk mencapai hasil yang maksimal,
maka sertifikasi guru Menurut Jalal (2007),
mengacu pada 5 prinsip yaitu:
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
36
1. Dilaksanakan secara objektif, transparan,
dan akuntabel.
Objektif yaitu mengacu kepada proses
perolehan sertifikat pendidik yang
imparsial, tidak diskriminatif, dan
memenuhi standar pendidikan nasional.
Transparan yaitu mengacu kepada proses
sertifikasi yang memberikan peluang
kepada para pemangku kepentingan
pendidikan untuk memperoleh akses
informasi tentang proses dan hasil
sertifikasi. Akuntabel merupakan proses
sertifikasi yang dipertanggungjawabkan
kepada pemangku kepentingan
pendidikan secara administratif,
finansial, dan akademik.
2. Berujung pada peningkatan mutu
pendidikan nasional melalui peningkatan
guru dan kesejahteraan guru.
Sertifikasi guru merupakan upaya
Pemerintah dalam meningkatkan mutu
guru yang dibarengi dengan peningkatan
kesejahteraan guru. Guru yang telah
lulus uji sertifikasi guru akan diberi
tunjangan profesi sebesar satu kali gaji
pokok sebagai bentuk upaya pemerintah
dalam meningkatkan kesejahteraan guru.
Tunjangan tersebut berlaku, baik bagi
guru yang berstatus pegawai negeri sipil
(PNS) maupun bagi guru yang berstatus
non-pegawai negeri sipil (non
PNS/swasta). Dengan peningkatan mutu
dan kesejahteraan guru maka diharapkan
dapat meningkatkan mutu pembelajaran
dan mutu pendidikan di Indonesia secara
berkelanjutan.
3. Dilaksanakan sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan.
Program sertifikasi pendidik
dilaksanakan dalam rangka memenuhi
amanat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
dan Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
4. Dilaksanakan secara terencana dan
sistematis.
Agar pelaksanaan program sertifikasi
dapat berjalan dengan efektif dan efesien
harus direncanakan secara matang dan
sistematis. Sertifikasi mengacu pada
kompetensi guru dan standar kompetensi
guru. Kompetensi guru mencakup empat
kompetensi pokok yaitu kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional, sedangkan standar
kompetensi guru mencakup kompetensi
inti guru yang kemudian dikembangkan
menjadi kompetensi guru TK/RA, guru
kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran.
Untuk memberikan sertifikat pendidik
kepada guru, perlu dilakukan uji
kompetensi melalui penilaian portofolio.
5. Jumlah peserta sertifikasi guru
ditetapkan oleh pemerintah.
Untuk alasan efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan sertifikasi guru serta
penjaminan kualitas hasil sertifikasi,
jumlah peserta pendidikan profesi dan
uji kompetensi setiap tahunnya
ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan
jumlah yang ditetapkan pemerintah
tersebut, maka disusunlah kuota guru
peserta sertifikasi untuk masing-masing
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Penyusunan dan penetapan kuota
tersebut didasarkan atas jumlah data
individu guru per Kabupaten/ Kota yang
masuk di pusat data Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan
sebagai upaya meningkatkan
profesionalisme guru dan meningkatkan
mutu layanan dan hasil pendidikan di
Indonesia, diselenggarakan berdasarkan
landasan hukum sebagai berikut (Samani,
2007):
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2008 tentang Guru;
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Standar
Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik.
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
37
6. Fatwa/Pendapat Hukum Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Nomor
I.UM.01.02-253.
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 18 Tahun 2007 tentang
Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan
sebagaimana telah diubah dengan
Permendiknas No.11 tahun 2008 yang
kemudian diubah dengan Permendiknas
No.10 tahun 2009 yang kemudian
diubah lagi dengan Permendikbud No.11
tahun 2011 dan terakhir diubah dengan
Permendikbud No. 5 tahun 2012‟.
Menurut Jalal (2007), sertifikasi guru
memiliki beberapa tujuan diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kelayakan guru dalam
melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional
2. Meningkatkan proses dan mutu hasil
pendidikan
3. Meningkatkan martabat guru
4. Meningkatkan profesionalitas guru
Menurut Fajar (2006), manfaat uji
sertifikasi guru adalah sebagai berikut:
1. Melindungi profesi guru dari praktik-
praktik layanan pendidikan yang tidak
kompeten sehingga dapat merusak citra
profesi guru itu sendiri.
2. Melindungi masyarakat dari praktik-
praktik pendidikan yang tidak
berkualitas dan profesional yang akan
dapat menghambat upaya peningkatan
kualitas pendidikan dan penyiapan
sumber daya manusia di negeri ini.
3. Menjadi wahana penjaminan mutu bagi
LPTK yang bertugas mempersiapkan
calon guru dan juga berfungsi sebagai
kontrol mutu bagi pengguna layanan
pendidikan.
4. Menjaga lembaga penyelenggaran
pendidikan dari keinginan internal dan
tekanan eksternal yang potensial dapat
menyimpang dari ketentuan-ketentuan
yang berlaku.
5. Memperoleh tunjangan profesi bagi guru
yang lulus ujian sertifikasi sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan guru.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Permendikbud No.5 tahun 2012 tentang
Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, mengatur
bahwa Sertifikasi dilaksanakan melalui
pola:
a. Penilaian portofolio;
b. Pendidikan dan latihan profesi guru;
c. Pemberian sertifikat pendidik secara
langsung; atau
d. Pendidikan profesi guru
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1)
Permendikbud tersebut di atas menegaskan
bahwa Sertifikasi sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 ayat (1) diikuti oleh guru
dengan ketentuan:
a. Memiliki kualifikasi akademik sarjana
(S-1) atau diploma empat (D-IV); atau
b. Belum memiliki kualifikasi akademik S-
1 atau D-IV dengan syarat:
1. Mencapai usia 50 (lima puluh) tahun
dan mempunyai pengalaman kerja 20
(dua puluh) tahun sebagai guru; atau
2. Mempunyai golongan iv/a, atau yang
memenuhi angka kredit kumulatif
setara dengan golongan iv-a.
Dalam ketentuan Pasal 6 Permendiknas
No.18 tahun 2007 mengatur:
(1) Guru Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat oleh Pemerintah Daerah yang
telah memiliki sertifikat pendidik,
nomor registrasi guru dari Departemen
Pendidikan Nasional, dan
melaksanakan beban kerja guru
sekurang-kurangnya 24 (dua puluh
empat) jam tatap muka dalam satu
minggu berhak atas tunjangan profesi
pendidik sebesar satu kali gaji pokok
yang dibayarkan melalui Dana Alokasi
Umum terhitung mulai bulan Januari
pada tahun berikutnya setelah
memperoleh sertifikat pendidik.
(2) Guru Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat oleh Pemerintah yang telah
memiliki sertifikat pendidik, nomor
registrasi guru dari Departemen
Pendidikan Nasional, dan
melaksanakan beban kerja guru
sekurang-kurangnya 24 (dua puluh
empat) jam tatap muka dalam satu
minggu berhak atas tunjangan profesi
pendidik sebesar satu kali gaji pokok
yang dibayarkan melalui APBN
terhitung mulai bulan Januari pada
tahun berikutnya setelah memperoleh
sertifikat pendidik.
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
38
(3) Guru Non Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat oleh badan hukum
penyelenggara pendidikan yang telah
memiliki sertifikat pendidik, nomor
registrasi guru dari Departemen
Pendidikan Nasional, dan
melaksanakan beban kerja guru
sekurang-kurangnya 24 (dua puluh
empat) jam tatap muka dalam satu
minggu berhak atas tunjangan profesi
pendidik setara dengan satu kali gaji
pokok guru Pegawai Negeri Sipil yang
dibayarkan melalui Dana
Dekonsentrasi terhitung mulai bulan
Januari pada tahun berikutnya setelah
memperoleh sertikat pendidik.
(4) Guru yang melaksanakan beban kerja
di luar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) memperoleh tunjangan profesi
setelah mendapat persetujuan tertulis
dari Menteri Pendidikan Nasional atau
pejabat yang ditunjuk.
Berdasarkan uraian tersebut diatas,
maka teranglah sertifikasi guru tidak lain
dimaksudkan untuk memacu kualitas
pendidikan kita dengan meningkatkan
kompentensi dan kesejahteraan profesi
guru. Namun amat disesalkan karena
berkaca dari pelaksanaan sertifikasi guru
selama ini, sedikit sekali yang dapat
dikatakan mencapai target. Betapa tidak
karena sekian banyak guru yang mengikuti
ujian sertifikasi guru, sebagian besar masih
terinfeksi 12 penyakit guru sebagaimana
tersebut diatas dengan semboyan pada judul
lagu yang pernah dipopulerkan oleh Dian
Pisesa: “Aku Masih Seperti Yang Dulu”‟.
Setiap kali diselenggarakan seleksi yang
didahuli diklat sertifikasi, hampir sebagian
besar kalau bukan seluruhnya dinyatakan
lulus, lagi-lagi dengan pertimbangan
pragmatisme. Sebagian karena inisiatif
oknum guru menghalalkan segala cara
untuk memperoleh kelulusan,
penyelenggara sertifikasi guru juga turut
berkontribusi dengan memperjual-belikan
kewenangannya untuk meluluskan oknum
guru yang mampu membayar.
Sertifikasi guru yang semula menjadi
sarana kontrol untuk menyeleksi dan
mempertahankan kualitas guru, kini tampak
kebablasan dan murahan. Ujian sertifikasi
yang diselenggarakan, tak lebih hanyalah
formalisme semata. Asalkan peserta telah
memenuhi syarat formil, maka syarat
materiil dalam bentuk kompetensi materi
dan strategi pembelajaran, hanyalah
berkedudukan sebagai pelengkap penderita.
Motivasi tertinggi kebanyakan guru untuk
mengikuti sertifikasi, bukan pada tujuan
esensialnya yaitu mempertinggi kualitas
dan martabat profesi guru, tapi lebih pada
tujuan pragmatisme yaitu memperbesar
pundi-pundi penghasilan. Akibatnya pos
anggaran dalam APBN semakin
membengkak hanya untuk membayar
tunjangan sertifikasi guru dengan jumlah
yang sama dengan gaji pokok sebagai PNS.
Dari sisi pemerataan, kebijakan
sertifikasi guru dengan imbalan
kesejahteraan seperti itu, dirasakan tidak
adil dan diskriminatif. Karena ratusan ribu
guru yang masih berstatus sebagai honorer,
justru dihargai hanya dengan ucapan terima
kasih. Guru honorer yang diangkat oleh
Kepala Sekolah atau Yayasan, hanya
menerima penghasilan sekitar Rp. 200.000
hingga Rp.300.000,-/perbulan, itupun
sering terlambat pembayarannya, bahkan
ada yang terkena sunatan massal.
Penghasilan mereka ini, dibayarkan dari
dana yang dikelola sekolah atau yayasan
yang sebagian besar bersumber dari BOS.
Bagi sekolah yang mempunyai murid yang
relatif banyak, maka suply BOS yang
diterima dari pemerintah juga besar.
Dengan kondisi seperti ini, pengelola
dana BOS mampu mendistribusikan
sebagian dana tersebut menjadi honorarium
bagi guru non PNS dengan jumlah yang
sedikit lumayan. Namun tentu sulit hal
tersebut dilakukan oleh sekolah dengan
murid yang sedikit dimana BOS yang
diterimanya juga sedikit. Kenyataan seperti
ini, banyak sekali menimpa sekolah-sekolah
swasta maupun sekolah negeri sendiri yang
berlokasi diwilayah pinggiran atau
terpencil. Sekolah-sekolah tersebut sering
kekurangan guru baik PNS maupun tenaga
honorer. Selain karena sebagian besar guru
lebih senang mengabdi diperkotaan, juga
karena honor yang mereka terima, sangat
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
39
kecil lantaran sumber pendanaannya yaitu
BOS memang kecil.
Keadaan sedikit berbeda pada
seseorang yang berstatus sebagai guru
bantu PNS yang diangkat oleh pemerintah,
jumlah penghasilan mereka terbilang
cukup, meski masih di bawah ketentuan
upah minimum rata-rata. Hal ini terlihat
pada Permendiknas No. 034/U/2003
menetapkan jumlah honor bagi seorang
guru bantu hanya sebesar Rp.460.000,-
(empat ratus enam puluh ribu rupiah). Hal
tersebut berlangsung selama 3 tahun hingga
keluarnya Permendiknas No.7 tahun 2006
menambah jumlah honor untuk guru bantu
dari Rp.460.000 menjadi Rp.710.000,-
(54,35%). Lima tahun kemudian jumlah
tersebut ditingkatkan menjadi
Rp.1.000.000,- (40,85%) setelah keluarnya
Permendikbud No.7 tahun 2011.
Meski mengalami kenaikan rata-rata
47,6%, namun jumlah tersebut ternyata
masih dibawah Upah Minimum rata-rata
propinsi. Jika kelompok guru seperti ini
menjerit dan terpaksa harus nyambi atau
turun kejalan untuk berunjuk rasa menuntut
kenaikan gaji, tentu sangat wajar. Karena
hak dan kebutuhan minimumnya sebagai
seorang yang menjalankan tugas sebagai
guru dengan kualitas yang kadang-kadang
melebihi guru PNS tidak dihargai. Namun
tentu tidak layak jika hal itu dilakukan oleh
guru PNS, apalagi yang telah menjalani
sertifikasi. Bagaimanapun guru harus lebih
mengedepankan keluhuran martabat yang
melekat pada profesi. Sehingga kata kunci
dari ini semua adalah menjunjung tinggi
semangat profesionalisme guru melalui
peningkatan peran dan dedikasi tanpa
pamrih. (S.Prasetyo Utomo, 2006)
Djamarah (2000) menyatakan ada 13
peranan yang harus dijalani oleh seorang
guru, diantaranya yaitu korektor, inspirator,
informator, organisator, motivator, inisiator,
fasilitator, pembimbing, demonstrator,
pengelola kelas, mediator, supervisor, dan
evaluator. Sementara menurut Mulyasa
(2007) merangkum peranan guru menjadi 4
peranan penting, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Guru sebagai fasilitator; Seorang guru
bertugas untuk memberikan kemudahan
belajar kepada seluruh peserta didik,
agar mereka dapat belajar dalam suasana
yang menyenangkan, gembira, penuh
semangat, tidak cemas, dan berani
mengemukakan pendapat secara terbuka.
2. Guru sebagai motivator; Guru dituntut
untuk membangkitkan motivasi belajar
peserta didik.
3. Guru sebagai pemacu; Guru harus
mampu melipatgandakan potensi peserta
didik, dan mengembangkannya sesuai
dengan aspirasi dan cita-cita mereka di
masa yang akan datang.
4. Guru sebagai pemberi inspirasi; Guru
harus mampu memerankan diri dan
memberikan inspirasi bagi peserta didik,
sehingga kegiatan belajar dan
pembelajaran dapat membangkitkan
berbagai pemikiran, gagasan, dan ide-ide
baru.
Harus diingat bahwa bagaimanapun
guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Semua itu harus
dikemas dengan bingkai profesionalitas
yaitu pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu
atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi (Komara, 2007).
Dalam menjalankan tugasnya, guru
memiliki prinsip-prinsip profesionalitas
yang harus dipenuhi dan dijalankannya
(Dikdas DKI, 2005). Prinsip-prinsip
tersebut diantaranya:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa,
dan idealisme.
2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan
mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan,
dan akhlak mulia.
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar
belakang pendidikan sesuai dengan
bidang tugas.
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan
sesuai dengan bidang tugas.
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
40
5. Memiliki tanggung jawab atas
pelaksanaan tugas keprofesionalan.
6. Memperoleh penghasilan yang
ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
7. Memiliki kesempatan untuk
mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang
hayat.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.
9. Memiliki organisasi profesi yang
mempunyai kewenangan mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru.
Selain prinsip profesionalitas di atas,
Wibowo (2002) juga menyatakan bahwa
seorang guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Kualifikasi yang
dimaksud di sini adalah kualifikasi
akademik yang diperoleh dari pendidikan
tinggi program sarjana atau diploma empat.
Sedangkan yang dimaksud dengan
kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai
oleh guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan. Kompetensi yang harus
dimiliki seorang guru meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi.
Tukiman Taruna (2002), yang
tampaknya dekat dengan pandangan Freire,
mengemukakan empat alasan yang patut
dijadikan pegangan oleh guru dalam
mendedikasikan profesinya: (1) Mengenal
dan menata kelas dengan baik akan
mengajarkan guru dan murid mengenali
batas-batas dirinya; (2) di kelas guru perlu
mengembangkan kerendahan hati; (3) Guru
perlu mempunyai beberapa indikasi tentang
bagaimana siswa memahami realitas
mereka yang memang berbeda dibanding
realitas guru; (4) guru dan murid perlu
berkembang kecakapannya, dan kunci
pengembangan itu ada di kelas.
Tukiman Taruna (2002) mengutip
pandangan Ira Shor dan Paulo Freire
(2001). Kedua peneliti ini mengharapkan
guru yang merdeka, dan mempertanyakan
“bagaimana menjadi guru yang merdeka”,
dan “bagaimana menjadi guru sebagai
pendidik yang membebaskan”. Jawabnya
antara lain ialah: guru perlu menemukan
dirinya sendiri; guru harus rela belajar
bersama dan belajar dari siswanya; rela
melakukan dialog (mendekatkan diri)
dengan siswanya. Jika ada dialog, guru dan
murid harus pada posisi sejajar, yang
menurut bahasa Raka Joni (1985) guru dan
siswa itu dalam kedudukan seimbang dan
yang membedakan adalah fungsinya (guru
mengajar dan murid belajar). Bahwa guru
itu antidialog tampak pada keadaan
sekarang ini, yaitu kebanyakan guru di
kelas mendominasi murid, dan tiap
dominasi pasti membawa kekuasaan atau
“kekuatan” yang dapat mengarah kepada
penindasan atau penjajahan guru terhadap
murid. Karena itu murid yang selalu
tercekam itu harus dibebaskan.
Harapan berikutnya ialah tentang
perlunya guru terus belajar. Buku terbitan
UNESCO, Lifelong Education dan
Learning to Be, yang masing-masing terbit
tahun 1970-an dan 1080-an, pastilah
berlaku bagi guru juga. Begitu juga buku
Andrias Harefa (2000), Menjadi Manusia
Pembelajar. Drost (2002) mengusulkan
agar guru melakukan on going formation
(membentuk dirinya sendiri secara terus-
menerus) dan bukan sekadar remedial
teaching (memperbaiki cara mengajarnya),
dan itu harus dimulai satu minggu setelah
guru meulai mengajar. “Belajar”, katanya,
adalah “satu-satunya cara memperoleh
pembentukan; bagi seorang profesional
harus dalam suasana bebas mutlak.” On
going formation yang paling berguna ialah
pengalaman, yaitu “hasil sikap tanggap atas
setiap kejadian selama 24 jam sehari.“
Kalau begitu, tentunya Drost juga tidak
menolak adanya pengalaman guru di depan
kelas. (Sumarsono: 2011).
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
41
C. Sekolah Bertaraf Internasional
Secara historis yuridis, SBI maupun
rintisannya terbangun melalui rumusan
Pasal 50 (3) Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) yang berbunyi: Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf
internasional adalah dasar eksistensi apa
yang sekarang disebut sebagai rintisan
sekolah bertaraf internasional (RSBI).
Setelah memenuhi persyaratan dan kriteria
tertentu, RSBI akan menjadi sekolah
bertaraf internasional (SBI). RSBI pertama
dibentuk pada tahun ajaran 2006/2007.
Menurut Pasal 1 butir 8 Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) No. 78 tahun 2009, tentang
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf
Internasional Pada Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah, SBI adalah sekolah
yang sudah memenuhi seluruh standar
nasional pendididkan (SNP) yang diperkaya
dengan keunggulan mutu tertentu yang
berasal dari negara anggota OECD atau
negara maju lainnya. Sebelum lahir
Permendiknas itu, ketentuan-ketentuan dan
kriteria teknis tentang RSBI/SBI pada
umumnya dituangkan dalam bentuk
Kebijakan Departemen Pendidikan
Nasional (yang kemudian diubah menjadi
Kementerian Pendidikan Nasional,
Kemendiknas). Belakangan, Permendiknas
-yang diterbitkan beberapa tahun setelah
RSBI pertama dibentuk- menegaskan
secara hukum ketentuan-ketentuan teknis
dan kriteria RSBI/SBI itu ke dalamnya. Ini
seperti kriteria delapan unsur SNP bagi
penyelenggaran SBI semisal standar proses
pembelajaran, sarana dan prasarana,
pendidik dan tenaga kependidikan, dan
seterusnya yang semuanya harus diperkaya
dengan standar negara anggota negara
OECD atau negara maju di luar negara
anggota OECD. Juga persyaratan calon
peserta didik, pembiayaan, perizinan
penyelenggaraan, sampai kultur sekolah.
Pemuatan defenisi dan kriteria SBI pada
Permendiknas ini dapatlah dinilai sebagai
interprestasi resmi pemerintah dalam hal ini
Kemendiknas akan frasa satuan pendidikan
yang bertaraf internasional dari Pasal 5 (3)
UU Sisdiknas.
RSBI/SBI diselenggarakan oleh
pemerintah pusat atau pemerintah daerah
atau keduanya. Dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah pula, sekolah ini
mendapat dana khusus di luar dana yang
didapat oleh sekolah pada umumnya
sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No.48 tahun 2008. Selain
dana hibah dari pemerintah ini, sekolah
juga memungut biaya pendidikan dari
peserta didik yang besarnya secara normatif
umumnya ditentukan dalam Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah.
Biaya pendidikan yang dibebankan kepada
orang tua untuk SPP terendah dari SD
hingga SMA/SMK sebesar Rp 0. dan SPP
tertinggi berkisar antara Rp 150.000 hingga
Rp 600.000. Sumbangan sukarela pertama
masuk terendah dari SD hingga SMA/SMK
sebesar Rp 0. dan tertinggi berkisar antara
Rp 1.000.000 sampai Rp 15.000.000.
(“Sekolah Bertaraf Internasional”, dikutip
dari salah satu publikasi yang dibuat oleh
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah Kementerian
Pendidikan Nasional, tanpa tahun.). Selain
itu, sekolah juga menerima donasi dari
pihak lain.
Secara singkat kriteria SBI itu dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
1. Telah memenuhi Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yang terdiri dari
delapan unsur: a. standar isi; b. standar
proses; c. standar kompetensi lulusan; d.
standar pendidik dan tenaga
kependidikan; e. standar sarana dan
prasarana; f. standar pengelolaan; g.
standar pembiayaan;dan h. standar
penilaian pendidikan sebagaimana diatur
dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Standar ini
ditambah dengan standar pendidikan dari
salah satu negara anggota Organisation
for Economic Co-operation and
Development (OECD) atau negara yang
tidak tergabung ke dalam negara-negara
anggota/peserta Konvensi OECD tapi
merupakan negara maju;
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
42
2. Berakreditasi A dari BAN
Sekolah/Madrasah;
3. Pembelajaran Matematika, IPA, dan
kejuruan (SMK) dilakukan dalam bahasa
Indonesia dan/atau bahasa Inggris atau
bahasa asing lainnya yang digunakan
dalam forum internasional;
4. Nilai rata-rata UN 8,0.
Sebelum menjadi SBI, sekolah terlebih
dahulu berstatus RSBI yakni sekolah
dengan:
1. Sudah menjadi Sekolah Standar
Nasional (SSN);
2. Berakreditasi A dari BAN Sekolah/
Madrasah;
3. Pembelajaran Matematika, IPA, dan
kejuruan (SMK) dilakukan dalam bahasa
Indonesia dan/atau bahasa Inggris atau
bahasa asing lainnya yang digunakan
dalam forum internasional
4. Nilai rata-rata UN 7,0.
Selain memberikan sejumlah dana
hibah, menentukan kriteria, serta memberi
dan sekaligus mencabut izin
penyelengaraan SBI, pemerintah secara
khusus memberikan pembinaan,
pengendalian, pengawasan, pemantauan,
pada berbagai dimensi penyelenggaraan
sekolah ini. Itu mulai dari proses
pembelajaran; manajemen sekolah;
pengendalian mutu; ujian nasional; jalin
kerja sama dengan sekolah lain baik di
dalam maupun di luar negeri; memfasilitasi
sertifikasi sekolah baik dari dalam maupun
luar negeri. Sementara itu, untuk dapat
menjadi peserta didik di RSBI/SBI, calon
peserta harus menempuh ujian seleksi
masuk. Ini karena jumlah peminat jauh
melebihi jumlah kapasitas daya tampung
sekolah. (Irfan Hutagalung: 2012)
Begitulah gambaran singkat tentang
SBI dan RSBI yang sedang digalakkan
Pemerintah dan masyarakat dengan motif
penjaminan mutu pendidikan. Namun
dibalik itu semua sejumlah kalangan
pesimis dan vulgar menyampaikan kritik
tajam terhadap program ini. Di surat kabar
online terkenal dalam salah satu kolom
edukasi beberapa waktu lalu membahas
tentang sekolah yang berkategori RSBI dan
SBI. Proyek ini sudah jalan beberapa tahun
yang lalu, beberapa sekolah negeri di kota-
kota besar Indonesia. Walau dalam sekolah
RSBI dan SBI hanya ada beberapa kelas
saja, namun perlakuan terhadap kelas RSBI
dan SBI dengan kelas reguler sangat
mencolok perbedaannya. Fasilitasnya serba
wah dan serba full. Bahkan Luki Aulia
dalam tulisannya di kompas.com (Kamis, 3
Juni 2010) sekolah telah membentuk
masyarakat paria dalam di tengah
“masyarakat bentukan” yang berlabel
internasional itu. Paria adalah kasta
terendah dalam budaya Hindu India,
bahkan golongan ini di jamah saja tidak
boleh saking hinanya.
Lebih lanjut menurut Luki Aulia,
bahkan kursinya saja dibedakan. Di SMP
Negeri 19 DKI Jakarta, misalnya,
perbedaan itu sudah terlihat dari kursi yang
digunakan. Siswa kelas reguler “hanya”
duduk di kursi kayu yang keras dan kaku.
Siswa kelas internasional? Mereka lebih
nyaman duduk di kursi plastik dengan
rangka stainless steel dan meja terpisah,
seperti yang kerap ditemui di tempat-tempat
bimbingan belajar. Bukan hanya itu. Siswa
kelas internasional juga memiliki ruangan
khusus yang digunakan sebagai klinik,
berikut dokter umum dan dokter spesialis
gigi, yang siap sedia setiap Senin hingga
Kamis. Siswa kelas reguler? Jauh panggang
dari api! (Yunizar Noor Milanta :2011).
Tidak dapat disangkal jika program
SBI dan/atau RSBI merupakan produk
kebijakan Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas) yang paling kontroversial dan
menimbulkan banyak masalah sejak awal
sampai saat ini. Betapa tidak karena
program ini memang sudah bermasalah
sejak dari Undang-undangnya. Dalam Pasal
50 ayat (3) UU No.20/2003 berbunyi sbb :
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.
Ada 4 (empat) masalah yang muncul
dari pasal ini:
1. Masalah pertama yang muncul adalah
ambiguitas dari istilah „Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah‟ pada pasal
tersebut. Teks dalam UU yang
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
43
menyatakan bahwa penyelengggara
pendidikan ini adalah Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah jelas
menimbulkan kerancuan dalam
operasionalnya. Frase pemerintah pusat
dan/atau pemerintah daerah
menimbulkan ketidakjelasan otoritas
siapa sebenarnya yang bertanggung
jawab atas program SBI ini, apakah
cukup pemerintah pusat saja ataukah
pemerintah daerah ataukah kedua-
duanya! Penafsiran kata dan/atau ini bisa
ditafsirkan sebagai bersama atau salah
satu. Jadi program ini bisa dijalankan
bersama atau salah satu di antara
keduanya.
Berdasarkan hasil evaluasi Balitbang
pada program ini ternyata ada
keengganan dari beberapa daerah untuk
membiayai program satuan pendidikan
yang bertaraf internasional inii. Tidak
jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa
amanat ini masih belum diterima dengan
baik oleh daerah-daerah yang menolak
untuk membiayainya atau mungkin juga
karena UU tersebut diinterpretasikan
cukup sebagai tanggung jawab
pemerintah pusat semata karena adanya
penafsiran dari kata dan/atau tersebut.
Bukankah jika pemerintah pusat telah
membiayainya dan menganggap
program ini adalah program pusat maka
daerah tidak perlu lagi turut
bertanggungjawab? Dan itu sesuai
dengan makna dari UU tersebut. Jadi
frase dan/atau ini bisa berarti :
a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah =
kedua-duanya
b. Pemerintah atau pemerintah Daerah =
salah satunya
Jadi penyelenggara program SBI ini bisa
salah satu atau kedua-duanya.
Bagaimana sebenarnya konsep yang
dikehendaki oleh Kemdiknas dalam
masalah penyelenggaraan ini? Bisa salah
satu (Pemerintah Pusat saja atau
Pemerintah Daerah saja) atau mesti
kedua-duanya (Pemerintah Pusat dan
Pemda)?
2. Masalah kedua adalah tidak jelasnya
istilah „satuan pendidikan yang bertaraf
internasional‟. itu sendiri. Tidak jelas
apa yang dimaksud dengan „satuan
pendidikan yang bertaraf internasional‟
tersebut. Definisi tentang „satuan
pendidikan yang bertaraf internasional‟
yang ada dalam UU Sisdiknas 2003
Pasal 50 ayat (3) tersebut yang kemudian
diterjemahkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal
1 No 35 menjadi : “Pendidikan bertaraf
internasional adalah pendidikan yang
diselenggarakan setelah memenuhi
Standar Nasional Pendidikan dan
diperkaya dengan standar pendidikan
negara maju.”
Jadi frase „satuan pendidikan yang
bertaraf internasional‟ dalam UU
Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3)
kemudian dalam PP no 17 tahun 2010 ini
telah berubah menjadi Pendidikan
bertaraf internasional dan kemudian
dijelaskan dengan tambahan keterangan
Pendidikan bertaraf internasional adalah
pendidikan yang diselenggarakan setelah
memenuhi Standar Nasional Pendidikan
dan diperkaya dengan standar
pendidikan negara maju.”
Pada tahap ini saja telah terjadi
penyimpangan definisi di mana pada
awalnya pernyataan dalam UU Sisdiknas
adalah merujuk kepada sebuah tingkatan
kualitas yang harus dicapai sedangkan
pada PP No 17 tahun 2010 telah berubah
makna menjadi sebuah sistem
pendidikan dan kemudian berkembang
dalam sebuah peraturan menteri (Permen
78 Tahun 2009). Sistem ini berpotensi
bertentangan dengan amanat yang ada
dalam Sistem Pendidikan Nasional yang
dinyatakan dalam pertimbangan sbb :
bahwa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang;
Definisi yang dimunculkan dalam PP No
17 tahun 2010 ini sendiri dapat
ditafsirkan sebagai sebuah sistem
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
44
pendidikan tersendiri yang terpisah dari
sistem yang dimaksud dalam Sisdiknas.
Jadi seolah ada sebuah sistem
pendidikan yang bertaraf nasional dan
ada sebuah sistem pendidikan yang
bertaraf internasional. Hal ini bisa kita
lihat dari adanya keinginan dari beberapa
sekolah nasional yang tidak ingin
mengikuti evaluasi atau ujian nasional
dengan alasan bahwa sekolahnya
bertaraf internasional.
3. Masalah Ketiga adalah ketidak-jelasan
konsep yang hendak dikerjakan oleh
Undang-undang ini. Sebenarnya apa
yang dikehendaki oleh Pemerintah
dengan adanya UU ini? Mengapa
muncul istilah „Sekolah Bertaraf
Internasional‟? Bukankah maksud dari
semua itu adalah agar Indonesia
memiliki sekolah khusus bagi anak-anak
yang memiliki tingkat kecerdasan
tertentu atau yang disebut „the gifted and
the most talented‟ yang akan dapat
dididik dan diberi proses pembelajaran
yang sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan keberbakatan mereka? Lantas
mengapa menggunakan istilah „Sekolah
bertaraf Internasional‟ yang tidak punya
landasan akademik tersebut?
Nampak sekali bahwa konseptor dari
program ini belum memiliki gambaran
yang jelas tentang jenis sekolah apa yang
diinginkan. Apakah yang diinginkan
oleh program ini adalah :
a. Sebuah jenjang kualitas pendidikan
yang lebih tinggi dari pada SNP
(Standar Nasional Pendidikan) dalam
standar kualitas pendidikan nasional,
atau
b. Sebuah satuan pendidikan khusus
bagi anak-anak yang memiliki tingkat
kecerdasan dan bakat menonjol
tertentu?
Tentu saja dua jenis sekolah tersebut
memerlukan disain yang berbeda dan
tidak bisa dijadikan satu. Jadi jenis dan
macam sekolah yang manakah
sebenarnya yang hendak didirikan dan
diselenggarakan dengan munculnya UU
tersebut…?!
4. Masalah keempat adalah otoritas lingkup
kerja Pemerintah (Kemdiknas) dalam
menyelenggarakan program SBI ini.
Sampai di mana sebenarnya lingkup
kerja pemerintah dan pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan pendidikan yang
bertaraf internasional ini? Apakah ini
berarti HANYA pada sekolah publik
(negeri) yang menjadi tanggungjawab
pemerintah dan pemerintah daerah atau
TERMASUK sekolah swasta (private
school)? Dengan mengikutkan beberapa
sekolah swasta dalam program RSBI
nampaknya pemerintah pusat
menganggap bahwa sekolah swasta
masuk dalam lingkup kerja dari program
ini. Sikap ini menimbulkan kerancuan
dalam lingkup kerja pemerintah. Jika
sekolah swasta masuk dalam lingkup
kerjanya (dengan memasukkan mereka
dalam program RSBI ini) maka
sebenarnya beberapa kota besar TELAH
memiliki pendidikan yang bertaraf
internasional yang berstatus swasta
karena sebenarnya sekolah-sekolah
swasta inilah sebenarnya yang memulai
adanya program ini dan memberi ide
pada pemerintah untuk mengadopsinya
ke sekolah publik. Jika sekolah swasta
dapat dianggap sebagai ruang lingkup
otoritas dan tanggung jawab pemerintah
dan pemerintah daerah maka sebetulnya
pemerintah dan pemerintah daerah,
utamanya di kota-kota besar, TIDAK
PERLU mengadopsinya ke sekolah
(publik). Tugas dan tanggungjawab
mereka telah terpenuhi dengan adanya
sekolah swasta yang memiliki
pendidikan yang bertaraf internasional.
Tapi jika lingkup kerja pemerintah dan
pemerintah daerah adalah pada sekolah
publik (yang memang merupakan unit
kerjanya) maka sebenarnya pemerintah
dan pemerintah daerah tidak perlu
membiayai program RSBI di sekolah-
sekolah swasta. Kerancuan ini
menimbulkan munculnya kontroversi
tentang ruang lingkup tugas pemerintah
dan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pendidikan yang
bertaraf internasional ini. (Satria
Dharma: 2011)
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
45
Dunia pendidikan kita dari waktu
kewaktu tampaknya tak kunjung dirundung
malang. Salah satu bentuk layanan
pendidikan yang kini masih menyisakan
sejumlah masalah adalah SBI yang dulu
dikenal dengan istilah Sekolah Unggulan.
Pasalnya karena, mulai dari soal
terminologi, pola pengelolaan, efek sosial
psikologis siswa hingga output-nya bagi
percepatan dan pemerataan pembangunan,
sarat dengan bias-bias apresiasi HAM.
Dari segi istilah, Sekolah Unggulan
sebagai cikal bakal SBI, terpetik dari istilah
Excellent School. Secara sosiolinguistik
sebetulnya kurang tepat. Sebab menurut
Susan Albers Mohrman (1994: 81) :
penyelenggaraan sekolah yang baik di
negara-negara maju, tidak menggunakan
kata unggul (excellent) melainkan effective,
develop, accelerate, dan essential.
Penciptaan bentuk pelayanan pendidikan
seperti ini pun, justru untuk mereduksi
hambatan-hambatan yang beraroma
diskriminatif.
Hal tersebut dapat kita jumpai melalui
Effectif School yang dikembangkan awal
1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard
University adalah untuk membela anak dari
kalangan miskin karena prestasinya tak
kalah dengan anak kaya. Demikian pula
dengan School Development Program yang
dikembangkan oleh James Comer ditujukan
untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa
yang berasal dari keluarga miskin.
Accellerated School yang diciptakan oleh
Henry Levin dari Standford University juga
memfokuskan untuk memacu prestasi yang
tinggi pada siswa kurang beruntung atau
siswa beresiko. Essential school yang
diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown
University, ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan siswa kurang mampu. (Rose,
Collin dan M.J.Nicholl, 2002).
Adapun definisi effective school
adalah: AnEffective School is a school that
can, in measured student achievement
terms, demonstrate the joint presence of
quality and equity. Said another way, an
Effective School is a school that can, in
measured student achievement terms and
reflective of its “learning for all”
mission,demonstrate high overall levels of
achievement and no gaps in the distribution
of that achievement across major subsets of
the student population. (Terry Mc.
Laughlin, Effective Schools Research and
The Role Of Professional Learning
Communities). Oleh karena itu, sekolah
unggulan pada prinsipnya lebih
menekankan kepada kemampuan sekolah
untuk mencapai prestasi siswanya secara
terukur serta mampu menunjukkan kualitas
hasil belajar yang telah diraihnya. Pada sisi
lain, tingkat pencapaian prestasi belajar
yang tinggi tidak hanya dimiliki oleh
sebagian siswa, akan tetapi juga dimiliki
oleh sebagian besar siswa tanpa ada
kesenjangan (standar deviasi) yang tinggi
dalam pencapaian prestasi belajar.
Di negara-negara maju, untuk
menunjukkan sekolah yang baik dan
berkualitas tidak menggunakan kata unggul
(excellent) melainkan digunakan kata
effective, develop, accelerate, dan essential
(Susan Albers Mohrman :1994). Kunci
utama sekolah unggul adalah keunggulan
dalam pelayanan kepada siswa dengan
memberikan kesempatan untuk
mengembangkan potensinya. Menurut
Profesor Suyanto (Kompas, 29/4/2002),
program kelas (baca: sekolah) unggulan di
Indonesia secara pedagogis menyesatkan,
bahkan ada yang telah memasuki wilayah
malpraktik dan akan merugikan pendidikan
kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas
unggulan diciptakan dengan cara
mengelompokkan siswa menurut
kemampuan akademisnya tanpa didasari
filosofi yang benar. Pengelompokan siswa
ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan
akademis, tidak sesuai dengan hakikat
kehidupan di masyarakat. Kehidupan di
masyarakat tak ada yang memiliki
karakteristik homogen
Keadaan tersebut di atas, tampaknya
relatif berbeda dengan SBI yang
dipraktikkan di Indonesia. Sebab dari segi
parameter multi dimensional, SBI tidak
memenuhi syarat. Karena hanya mengukur
sebagian kemampuan akademis. Padahal
dalam konsep yang sesungguhnya, SBI
adalah sekolah yang secara terus menerus
meningkatkan kinerjanya dan menggunakan
sumber daya yang dimilikinya secara
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
46
optimal untuk menumbuh-kembangkan
prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti
bukan hanya prestasi intelektual (IQ) saja
yang perlu diperhatikan, tetapi juga
kecerdasan emosional (EQ), maupun
kecerdasan spritual (SQ) harus memperoleh
porsi yang sama.
Dalam Pasal 50 ayat (3) UU No.
20/2003 sebagai basis eksistensi SBI
maupun Rintisannya, memang perlu di
Implementasikan dengan formulasi yang
tidak terjebak pada dimensi pelanggaran
HAM. Karena bagaimanapun, spirit utama
penyelenggaraan pendidikan dalam
Undang-Undang tersebut justru terletak
pada Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan
bahwa setiap orang berhak mendapat
pendidikan yang bermutu. Jadi bukan orang
tertentu saja, melainkan semua orang.
Namun penghargaan dalam bentuk SBI,
menurut peneliti sangat berlebihan dan
cenderung mubazir serta mempertajam
ketidakadilan dalam dunia pendidikan.
Sebab, bukankah hal yang sangat indah dan
alami jika di dalam kelas, terdiri dari
peserta didik dengan latar belakang sosial
dan kemampuan yang berbeda-beda, tetapi
proses pembelajaran tetap terkelola secara
harmonis dan seimbang ?.
Peserta didik yang sedikit tertinggal
dari kemampuan akademik dari peserta
didik lainnya dapat mengukur dan
mengoreksi diri serta berkesempatan untuk
belajar dari rekannya yang memiliki
kemampuan lebih. Demikian pula peserta
didik yang memiliki kemampuan lebih,
semakin kaya dengan keperbedaan tanpa
perlu dengan superioritas .
Disini terjadi interaksi dan kompetisi
yang sangat luhur di kalangan peserta didik
yang saling menghargai diferensiasi minat
dan kemampuan masing-masing. Alangkah
ironi dan kejamnya dunia jika anak didik
dengan IQ biasa atau kurang, harus
dikelompokkan terpisah dalam kelas yang
berbeda dengan kelompok excellent.
Sebaliknya SBI yang disetting untuk
peserta didik secara homogen yaitu mereka
yang mempunyai tingkat intelektualitas di
atas rata-rata. Selain mengindikasikan
terjadinya ekslusifisme dan pendewaan
yang luar biasa terhadap kemampuan
intelektualitas secara linier dan membabi
buta, layanan pendidikan jenis ini juga
sangat berpotensi menimbulkan
kesombongan besar-besaran. Bukan hanya
dari kalangan peserta didik yang tentu
sangat bangga terpilih sebagai siswa SBI.
Guru-guru bahkan kepala sekolahnya pun
terinfeksi penyakit sombong lantaran
memenuhi kriteria yang sangat ketat untuk
ditempatkan di SBI.
Bukan hanya itu kecemburuan sosial
pun rentan terjadi akibat penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan yang serba wah
untuk memenuhi tuntutan kualifikasi SBI,
hal mana tentu tidak terjadi pada sekolah
biasa. Begitu eksklusifnya SBI ini, maka
biaya pengadaan fasilitas dan operasional
dalam mencapai target kualifikasi SBI tidak
disangsikan lagi tentu jauh lebih besar dari
sekolah biasa. Tingkat perhatian otoritas
pendidikan dalam bentuk kunjungan kerja
hingga kemudahan akses beasiswa dan
promosi bagi peserta didik maupun tenaga
pendidiknya, pasti lebih intensif dari pada
sekolah biasa.
Tragisnya karena meski disebut sebagai
SBI, namun keunggulan intelektuliatas para
peserta didiknya, ternyata sering tidak
selalu diametral dengan predikat yang
disandangnya, bak indah kabar dari rupa,
karena tidak kurang 5 orang yang peneliti
kenal sebagai alumni SBI yang sempat
studi di beberapa perguruan tinggi ternyata
mempunyai prestasi akademik yang biasa-
biasa saja. Bahkan ada beberapa
diantaranya sekarang ini justru menggeluti
profesi yang sangat jauh dari nuansa
intelektualitas unggul.
Albert Einstein yang kita kenal sebagai
manusia paling cerdas abad ke 20 dari
berbagai biografi tentang dirinya, ternyata
juga bukanlah sosok yang cerdas secara
akademik sejak semula. Malah ketika
menamatkan studi sekolah Tinggi
Teknologi jurusan fisika di Zurich, Swiss
tahun 1900, ia berada pada ranking
keempat dari 4 orang yang diwisuda dalam
periodenya yaitu Marcel Grossmann,
Mileva Maric dan Michele Angelo Besso.
Semua ini makin membuktikan jika SBI
dan pendewaan terhadap keunggulan
intelegensia dengan pengukuran secara
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
47
linier makin kehilangan integritas dan
relevansinya dengan kenyataan.
Kita memang tidak dapat memungkiri
jika peradaban modern sebagaimana
dicapai dunia barat adalah karena SDM
dengan intelektual unggul, tapi pembinaan
intelektualitas dengan cara pragmatis, linear
dan diskriminatif sebagaimana dikemukan
di atas hanya akan melahirkan jargon
intelektualitas unggul dalam ranah
eksebhisi dan kontes semata. Peneliti
berkeyakinan bahwa sebuah peradaban
yang bagaimanapun mapannya bukanlah
prakarsa orang perorang dari kalangan elite
maupun intelektual tertentu, melainkan
hasil kontribusi secara komulatif dari
seluruh anak negeri tanpa kecuali.
Sebab jangan pernah diremehkan,
seorang anak yang dengan intelegensia
biasa bahkan kurang menurut metode
pengukuran standar, jika diberi kesempatan
pemberdayaan secara arif, adil dan
bermartabat, maka sangat boleh jadi tampil
sebagai penyumbang terbesar dalam
kemajuan pembangunan dari pada mereka
yang dimanjakan dengan berbagai fasilitas
akibat pendewaan intelegensia unggul yang
sangat linear dan bias apresiasi.
Karena itu, sudah sangat jelas jika SBI
sejatinya secara tidak langsung dapat
menghasilkan lulusan atau siswa yang
berkualitas dan setara dengan kualitas siswa
di negara maju. Namun alih-alih demikian,
SBI ternyata hanya menghamburkan uang
negara. Sebab, biaya yang dikeluarkan
APBN jauh di atas SSN, meski jumlah
sekolah „standar internasional‟ jauh lebih
sedikit.
Menurut rencana anggaran 2012 bidang
pendidikan yang dikutip Forum Indonesia
Untuk Transparansi Anggaran (FITRA),
alokasi anggaran pada tahun 2012 sebesar
Rp 242 miliar (sekolah standar
internasional), dan Rp 108 miliar untuk
sekolah standar.
Pemerintah memang tidak adil, dan
sangat diskirminasi dalam menerapkan
kebijakan anggaran pendidikan untuk
masyarakat. Untuk sekolah „orang-orang
kaya‟ yang bernama sekolah dasar bertaraf
internasional, pemerintah menyediakan
alokasi anggaran untuk satu SD sebesar Rp
306 juta untuk satu sekolah. Sedangkan,
pendidikan untuk sekolah „orang-orang
miskin‟, yang bernama sekolah dasar
bertaraf nasional, pemerintah hanya
menyediakan alokasi anggaran sebesar Rp
216 juta untuk SD.
Akibat diskriminasi anggaran tersebut,
banyak sekolah standar nasional berlomba-
lomba menaikkan standar bukan karena
mengejar kualitas melainkan supaya
mendapat anggaran lebih banyak.
Akibatnya Pemda berlomba-lomba
membuat sekolah yang bertaraf
internasional (SBI/RSBI) agar mendapat
alokasi anggaran berbentuk “block grant”
dari pemerintah pusat. Dan, hal ini akan
mengakibatkan Pemda lebih mengutamakan
memberikan alokasi anggaran (APBD)
untuk sekolah bertaraf internasional dan
mengabaikan sekolah-sekolah yang sangat
terpencil yang sebetulnya sangat
membutuhkan. (Suwayuwo: 2012)
Untuk mengeliminasi bias-bias
kehormatan, perlindungan dan pemenuhan
HAM warga negara untuk memperoleh
layanan pedidikan bermutu melalui sekolah
unggulan yang berbentuk SBI maupun
RSBI, maka konsep sekolah unggulan,
perlu direstrukturisasi dengan beberapa
alternatif: pertama, program sekolah
unggulan tidak perlu memisahkan antara
anak yang memiliki bakat keunggulan
dengan anak yang tidak memiliki bakat
keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen
sehingga anak yang memiliki bakat
keunggulan bisa bersosialisasi dengan
semua siswa dari tingkatan dan latar
berlakang yang beraneka ragam.
Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu
dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang
memiliki bakat keunggulan tertentu
disalurkan dan dikembangkan bersama-
sama dengan anak yang memiliki bakat
keunggulan serupa. Misalnya anak yang
memiliki bakat keunggulan matematis tetap
masuk dalam kelas reguler, namun diberi
pengayaan pelajaran matematika.
Kedua, konsep pengembangan sekolah
unggulan didasari atas upaya sadar untuk
mendidik anak belajar berpikir, belajar
hidup, belajar menjadi diri sendiri, dan
belajar untuk hidup mandiri. Sebagaimana
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
48
yang telah dituangkan oleh UNESCO
dalam visi pendidikannya. Oleh karena itu,
sekolah unggulan seyogyanya mampu
menginternalisasi serta mengembangkan
Learning How to Learn (Murphi: 1992)
atau belajar bagaimana belajar, artinya
belajar tidak hanya berupa transformasi
pengetahuan tetapi jauh lebih penting
adalah mempersiapkan keterampilan belajar
siswa (learningskill) sehingga mampu
memanfaatkan sumber-sumber belajar yang
mereka temukan dari pengalaman sendiri,
pengalaman orang lain maupun dari
lingkungan dimana dia tumbuh guna
mengembangkan potensi, perkembangan
diri, serta kemandirian belajarnya.
Ketiga, sekolah unggulan hendaknya
dikembangkan dan dilandasi atas tiga
idealisme (Mochtar Buchori: 2001), yang
selama ini kurang dieksplorasi substansi
dan implementasinya. Pertama,
employability yaitu idealisme untuk
memperebutkan peluang dalam suasana
ekonomi kompetitif di era globalisasi (baca:
generasi kompetitif). Kedua, humanizing
capitalism yaitu idealisme pendidikan yang
menekankan pada orientasi humanistik
universal untuk memanusiakan kapitalisme.
Pendidikan humanisme diarahkan untuk
memupuk rasa kemanusiaan dan
kesetiakawanan sosial. Keunggulan fisik
dan prestasi di sekolah unggulan tidak akan
bermakna, manakala tidak ada rasa
kemanusiaan antar sesama. Inilah yang
dimaksud Mochtar Buchori sebagai
humanizing capitalism yang menjadi salah
satu idealisme sekolah unggulan. Ketiga,
idealisme yang menekankan pada
pandangan hidup keagamaan untuk
mencegah penyalahgunaan sains dan
teknologi pada masa mendatang.
Keempat, dasar pemilihan keunggulan
tidak hanya didasarkan pada kemampuan
intelegensi dalam ruang lingkup sempit
yang berupa kemampuan logika-
matematika seperti yang diwujudkan dalam
test IQ. Keunggulan siswa dapat dijaring
melalui berbagai keberbakatan seperti yang
dikenal dengan kecerdasan majemuk
(multiple intelligence) .
Kelima, sekolah unggulan lebih
menekankan pada penciptaan iklim belajar
yang positif di lingkungan sekolah. Sekolah
unggulan adalah sekolah yang dapat
menerima dan mampu memproses siswa
yang masuk sekolah tersebut (input) dengan
prestasi belajar minimum menjadi lulusan
(output) yang bermutu tinggi.
Keenam, sekolah unggulan harus
memiliki model manajemen sekolah yang
unggul yaitu memiliki budaya sekolah yang
kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa,
menghargai prestasi setiap siswa berdasar
kondisinya masing-masing, terpenuhinya
harapan siswa dan berbagai pihak terkait
dengan memuaskan. (Iqbal Fari: 2011)
D. Diskriminalisasi Penyandang Disabilitas
Dalam pengembangan sains dan
teknologi modern, unsur yang paling urgen
tidak lain adalah unsur intelektualitas.
Sehingga sangat wajar jika proses seleksi
penerimaan maupun promosi kenaikan dan
kelulusan dalam sistim pendidikan
ditentukan berdasarkan hasil kemampuan
intelegensia atau kecerdasan lain yang
disejajarkan dengan itu. Tetapi sungguh hal
yang sangat tidak adil dan melanggar HAM
jika tahap penerimaan dan promosi dalam
dunia pendidikan ditentukan atas dasar jenis
dan derajat Disabilitas, sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 dan 12 UU No.4/ 1997
tentang Penyandang Disabilitas (PD).
Hal tersebut dapat terjadi karena
mungkin pembuat undang-undang
berpendapat bahwa pengaturan rinci
tentang pendidikan yang mencakup pula
kepentingan para PD dapat dirujuk dalam
undang-undang tentang pendidikan.
Masalahnya karena UU No. 2/1989 yang
kemudian diperbaharui dengan UU No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, ternyata tidak cukup
mengakomodasi persoalan substansial yang
dialami dan dihadapi oleh PD dalam dunia
pendidikan.
Dari hasil pemantauan terhadap
undang-undang tentang Sisdiknas
disimpulkan bahwa secara prinsipil, tidak
ada yang baru dan berbeda dengan
paradigma pendidikan formal bagi PD di
masa lalu. Dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-
Undang No. 20/2003 tentang SISDIKNAS
diatur bahwa : ”warga Negara yang
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
49
memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual dan atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus”. Hal
serupa juga tertuang pada Pasal 32 ayat (1)
yang antara lain berbunyi : ” Pendidikan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental,”.
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa
undang-undang Sisdiknas yang baru
rupanya masih terjebak dalam konstalasi
segregatif antara sekolah regular dengan
sekolah luar biasa.
Padahal sudah sangat banyak bukti
yang menunjukkan bahwa polarisasi yang
mendikotomikan antara sekolah khusus dan
sekolah umum bagi peserta didik kalangan
PD, lebih banyak membawa mudhorat dari
pada manfaat, baik bagi pemerintah terlebih
lagi bagi PD sendiri. Sebab dengan cara
seperti itu, setiap tahun pemerintah
menyediakan anggaran untuk membangun,
memelihara dan mengoperasikan SLB
dengan jumlah yang hampir sama banyak
dengan jumlah kabupaten/kota ditanah air,
hal mana sampai detik ini tak pernah dapat
diwujudkan. Sehingga sebagian besar SLB
dimaksud tidak efektif menjalankan visi
dan misi pendiriannya.
Jika dianalisis dengan pendekatan
sosiolinguistik, sebenarnya istilah
Pendidikan Luar Biasa (PLB) dalam
kepustakaan pendidikan di Indonesia, telah
melembagakan parsialitas pendidikan bagi
PD. Sebab melalui sistem segregasi
pendidikan yang dilegalkan oleh warisan
doktrin pendidikan klasik, otoritas
pendidikan telah menciptakan diskriminasi
bagi PD karena secara awam setiap orang
yang berbicara mengenai pendidikan bagi
PD, maka pemahaman awal yang timbul
tentu adalah PLB, di sini PD identik dengan
PLB. Sehingga pendidikan umum, tabu
bagi peserta didik PD.
Jika pemahaman ini dapat diterima,
lalu bagaimana dengan PD yang ingin
melanjutkan studi setelah menamatkan
pendidikan formalnya setingkat SMP pada
PLB?. Haruskah yang bersangkutan
melanjutkan pendidikan di tingkat SMU
dalam lingkup PLB sehingga perlu
dibangun atau didirikan lembaga
pendidikan seperti itu di setiap tempat ?.
Jika demikian halnya, maka PD yang ingin
melanjutkan studi setelah tamat pada PLB
tingkat SMU harus memilih perguruan
tinggi PLB lagi, sehingga kalau tamat dan
ingin kerja tentu logikanya harus bekerja di
lingkungan luar biasa, bukan?. Jika ini
diteruskan, maka PD yang ingin menikah
itu berarti harus dengan komunitas luar
biasa dan kalau ia nanti mati berarti ia harus
dikubur di kompleks pemakaman luar biasa
juga. Peneliti tidak tahu apakah Tuhan juga
menciptakan neraka atau surga luar biasa
sehingga proyek lokalisasi PD semakin
sempurna.
Dari uraian tersebut di atas tampak
dengan jelas image destruktif dibalik
penggunaan istilah PLB. Salah satu
diantaranya adalah karena proses
pembauran antara PD dengan lingkungan
sosialnya dari kalangan non PD, tidak
terbangun. PLB ternyata justru membuat
sekat pembeda dan diskriminasi yang tajam
antara peserta didik PD dan non PD. Ini
kemudian turut berimbas pada buruknya
apresiasi penguasa dan masyarakat terhadap
penyaluran tenaga kerja PD yang selalu
dipahami sebagai figur yang tidak sehat
jasmani. Selain itu terminologi PLB
ternyata menyebabkan biaya layanan
pendidikan bagi PD menjadi mahal dan
eksklusif, karena hanya untuk komunitas
peserta didik PD yang tidak seberapa
jumlahnya dalam satu distrik, terpaksa
harus dibangun/didirikan SLB dengan
anggaran dua kali lipat dari sekolah biasa.
Lebih tragis lagi, karena pembentukan
PLB dan SLB sesungguhnya lebih
menguntungkan kalangan non PD dari pada
PD itu sendiri sebab dalam kenyataan
pengelola lembaga dimaksud sebagian
besar kalau bukan seluruhnya adalah
kalangan non PD. Sudah banyak bukti yang
menunjukkan bahwa kebanyakan oknum
guru yang konon berlatar belakang sarjana
dari PLB, tetapi sungguh tidak dapat
menunjukkan figur guru luar biasa yang
profesional dengan kultur PLB yang
original, proporsional, dan komprehensif.
Sebab bukankah unsur pembeda yang
paling menonjol antara guru PLB dan non
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
50
PLB hanyalah pada segi metode
pengajaran/pendidikan yang tidak lain
kedekatan yang bersangkutan untuk secara
proaktif membimbing dan mengarahkan
anak didiknya di luar jam formal.
Sayangnya, karena kebanyakan diantara
mereka menjadi guru di lingkungan SLB
adalah sesungguhnya lebih karena target
PNS yang notabene berpenghasilan absolut,
dan bukan karena panggilan profesi.
Sebaliknya di kalangan PD sendiri
sebetulnya tidak begitu enjoy dan respek
terhadap eksistensi sekolah khusus baginya
sejauh memang tersedia peluang untuk
berintegrasi di sekolah umum. Sebab SLB
sekarang ini, tampaknya lebih mirip sebagai
camp konsentrasi yang mengisolasi kaum
PD dari pergaulan sosial, padahal sebagai
makhluk yang tercipta dalam keadaan tidak
normal secara fisik dan atau mental,
seyogianya berinteraksi secara dini dengan
lingkungan sosial di luar komunitasnya
dalam rangka mencegah atau menghindari
terjadinya imperioritas kompleks atau besar
katak dalam tempurung.
Upaya pembinaan kesejahteraan para
Penyandang Disabilitas khususnya
tunanetra senatiasa berpijak pada etika
persamaan hak, kesederajatan dan
kemandirian sehingga pelaksanaan
pendidikan yang memperagakan dikotomi
antara SLB dan sekolah-sekolah umum
adalah diskriminatif dan merupakan bentuk
penyimpangan terang-terangan dari SKB
Mendikbud, Mensos, Mendagri dan
Menteri Agama Yaitu, NO: 0318/P/1984,
NO: 43/HUK/KEP/VII/1984 NO : 45
Tahun 1984 NO : 04 Tahun 1984
Tertanggal 23 Juli 1984, Tentang : Bantuan
Terhadap Anak Kurang Mampu, Anak
Disabilitas dan Anak Bertempat Tinggal Di
Daerah Terpencil Dalam Rangka
Pelaksanaan Wajib Belajar Jo. SK
Mendikbud NO: 002/U/1986 Tertanggal 4
Januari 1986, Tentang : Pendidikan
Terpadu Bagi Anak Disabilitas. JO Surat
Edaran Dirjen Dikdasmen NO: 6718/C/I/89
Tertanggal 15 Juli 1989 Tentang: Perluasan
Kesempatan Belajar Bagi Anak
Berkelainan di Sekolah Umum.
Bahwa dalam kenyataan ada beberapa
kalangan Penyandang Disabilitas yang
berhasil meraih prestasi akademik, namun
fenomena itu belum dapat menjadi
representasi komitmen otoritas pendidikan
untuk memberikan akses bagi Penyandang
Disabilitas secara adil dan proporsional.
Karena selain hal tersebut jumlahnya masih
dapat dihitung jari, juga kadang-kadang
mereka mengalami Disabilitas pada masa
pasca pengangkatan / promosi yang belum
tentu mewakili korps Disabilitas. Yang
terbanyak justru adalah terjadinya praktek
diskriminasi dengan berbagai argumen
yang sangat tidak membangun proses
integrasi dan humanisasi. Terlebih lagi di
daerah-daerah yang jauh dari pusat-pusat
advokasi Penyandang Disabilitas,
diskriminasi dalam bentuk penolakan,
pembatasan, pengurangan hak-hak
Penyandang Disabilitas untuk menikmati
layanan pendidikan adalah fakta yang sudah
menjadi rahasia umum.
Sebagai alternatif solusi di balik wajah
buram dunia pendidikan bagi kaum PD,
maka dalam filsafat pendidikan
kontemporer diintrodusir strategi
pendidikan inklusi untuk menggantikan
sistem segregasi. Dalam berbagai literatur,
dipahami bahwa inklusi pendidikan adalah
penatalaksanaan sistim pendidikan
berdasarkan prinsip “education for all”
yang tidak membedakan peserta didik
berdasarkan keadaan fisik atau
intelektualnya. Dengan inklusi pendidikan
setiap peserta didik tidak terkecuali dari
kalangan PD harus diperlakukan sama
dalam sistem pendidikan nasional yang
proporsional, adil dan bermartabat. Karena
itu pelembagaan sekolah regular untuk
peserta didik umum dan sekolah luar biasa
bagi peserta didik PD sudah saatnya
dikurangi, dibatasi dan dihilangkan menuju
inklusi pendidikan dimana semua sekolah
dapat menerima PD sebagai peserta didik
dengan prinsip kesamaan hak untuk
mengikuti proses pembelajaran dalam
ruang kelas maupun bahan pengajaran yang
sama.
Hal tersebut telah diakomodasi dalam
Permendiknas No 70 tahun 2009. Idealnya
kelas inklusi terdiri atas seorang guru utama
(mainteacher) mengantarkan bahan
pengajaran yang dikuasainya dihadapan
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
51
peserta didik inklusi. Pada tingkat awal
sesuai kebutuhan peserta didik dari
kalangan PD dalam kelas tersebut
didampingi oleh guru bantu (shadow
teacher). Apabila peserta didik PD tersebut
lamban atau kesulitan menerima bahan
pengajaran sebagaimana peserta didik pada
umumnya maka diperlukan bimbingan dari
seorang guru khusus (special teacher).(
Moch. Sholeh YA Ichrom, Prof. Phd;
2002).
E. Problematika Ujian Nasional
Mencermati kontroversi
penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) yang
memakan korban lebih dari 10% peserta
UN yang dinyatakan tidak lulus serta
terkuaknya kasus perjokian dalam
penyelenggaraan Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) Perguruan Tinggi
Negeri dari tahun ke tahun, keduanya
merupakan miniatur yang mendistorsi
sekaligus perlunya langkah korektif
terhadap pola rekruitmen kita di segala
bidang. Betapa tidak karena, upaya
rekruitmen yang dilakukan selama ini, baik
untuk bidang pendidikan maupun bidang
penerimaan pegawai, sebagian besar kalau
bukan seluruhnya menggunakan pola yang
sangat parsial, pragmatis, formalistis,
sektoral serta sering melembagakan sifat
adhesi antara kebutuhan dan
kompetensi/spesifikasi.
Polemik penyelenggaraan Ujian
Nasional dengan angka ketidaklulusan yang
cukup fantastis, secara historis
sesungguhnya merupakan problematika
yang cukup krusial dan berulang dalam
dunia pendidikan kita dari waktu ke waktu.
Sejak zaman kolonial maupun fase
kemerdekaan hingga masa reformasi
sekarang ini penyelenggaraan ujian
nasional dengan sejumlah nama yang
serupa dengannya nyaris tak pernah luput
dari panggung kontroversi. Sebab ujian
nasional yang semula berfungsi sebagai
sarana pemantauan dan evaluasi kualitas
pendidikan nasional, namun output yang
dihasilkannya ternyata dirasakan penuh
dengan subjektifitas, ketidakadilan,
sektoral, parsial bahkan cenderung disusupi
kepentingan politik dan bisnis. (Awan
Sundiawan, 2010 )
Secara historis yuridis,
penyelenggaraan UN merupakan
manifestasi dari Pasal 35 UU No 20/2003
tentang Sisdiknas Dalam ayat 1 ketentuan
tersebut diatur bahwa :“ standar pendidikan
nasional terdiri atas isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan
penilaian pendidikan, yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala”.
Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut
pada PP No 19 tahun 2005 dan
Permendikbud No 59 tahun 2011 tentang
Kriteria Kelulusan Peserta Didik Dari
Satuan Pendidikan Dan Penyelenggaraan
Ujian Sekolah/Madrasah Dan Ujian
Nasional.
Berdasarkan ketentuan dimaksud,
seorang peserta didik dapat dinyatakan
lulus apabila memenuhi standar kelulusan
UN maupun ujian sekolah dll. Sayangnya
karena standar kelulusan sebagian besar
kalau bukan seluruhnya masih didominasi
penilaian kemampuan akademik (kognitif),
Sedangkan penilaian terhadap sikap dan
perilaku (apektif) maupun aplikasi
knowledge (psikomotorik) sebagai bagian
penting dari pilar pendidikan, nyaris luput
sebagai kriteria penilaian.Jadi pengukuran
mutu pendidikan dengan mengacu pada
penyelenggaraan UN dari sudut yuridis
formal ternyata sangat bias, linier dan
otoriter.(Hayadin, 2009)
Hal ini sungguh sangat berbeda dengan
suasana penentuan kelulusan pra UN.
Seorang peserta didik yang dinyatakan lulus
dalam suatu jenjang pendidikan dimasa itu,
selain didasarkan pada hasil ujian akhir
terhadap seluruh bidang studi yang
diselenggarakan oleh sekolah, juga
mengacu pada hasil evaluasi prestasi
peserta didik dari buku raport yang merujuk
seluruh hasil pembelajaran dari tingkat
sebelumnya. Standar kelulusan pada masa
itu tidak hanya diorientasikan pada
kompetensi di bidang knowledge (kognitif),
tetapi juga pada aspek sikap dan perilaku
(apektif) maupun penjabaran ilmu dalam
realitas (psikomotorik)
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
52
Tak hanya itu, kriteria kelulusan masa
itu mencakup standar penilaian berbasis 3
kecerdasan yaitu Intelectual, Emotional,
and Spiritual Quetion. Hal yang disebut
terakhir menjadi determinator kelulusan,
sebab seorang peserta didik yang hanya di
back up oleh kemampuan IQ (Intelectual
Quetion), tetapi mempunyai perangai atau
sikap dan perilaku yang kurang terpuji atau
EQ (Emotional Quetion) bernilai rendah,
terlebih jika nilai agamanya atau SQ
(Spiritual Quetion) juga rendah, maka
kelulusan baginya adalah hal yang sangat
mustahil.
Itulah sebabnya penyelenggaraan
Ebtanas yang berubah nama menjadi UAN
dan kini disebut UN cenderung
mengkhianati dan mengeleminasi sistem
evaluasi yang berbasis pada pencerdasan
secara komprehensif. Betapa tidak karena
menurut teori kecerdasan majemuk dari
Howard Gardner yang mengemukakan ada
9 jenis kecerdasan yaitu kecerdasan verbal,
logika, spasial/visual, tubuh/kinestetik,
musikal/ritmik, Interpersonal, intrapersonal,
Naturalis, dan kecerdasan Spiritual.(Anne
Ahira, 2010)
Kriteria penyelenggaraan UN
sebagaimana diuraikan di atas selain
menimbulkan kerancuan dalam
mengaplikasikan sistem penilaian dan
evaluasi UN juga tidak memenuhi target
pencapaian kurikulum dan manajmen
berbasis kompetensi (KBK). Betapa tidak
karena menurut Buana (15 Februari 2005)
menjelaskan bahwa : Penilaian memerlukan
data, yang salah satu sumbernya adalah
hasil pengukuran. Meskipun penilaian tetap
dapat dilakukan tanpa didahului oleh
kegiatan pengukuran. Penilaian juga sering
diartikan sama dengan evaluasi. Padahal
istilah penilaian bukan alih bahasa dari
istilah evaluation. Penilaian adalah alih
bahasa dari istilah assessment. Meski
demikian kedua istilah ini (penilaian
/assessment dan evaluasi/evaluation)
sebenarnya memiliki persamaan dan
perbedaan.
Persamaannya adalah keduanya
mempunyai pengertian penilaian atau
menentukan nilai sesuatu. Sementara
perbedaannya terletak pada konteks
penggunaannya. Penilaian digunakan dalam
konteks yang lebih sempit dan biasanya
dilaksanakan secara internal. Sementara
evaluasi digunakan dalam konteks yang
lebih luas dan biasanya dilaksanakan secara
eksternal. Dalam hal pengambilan
keputusan, penilaian dan evaluasi
diperlukan. Tetapi hasil penilaian dan
evaluasi tidaklah selalu menjadi (apalagi
sebagai satu-satunya) landasan bagi
pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan
pengambilan keputusan biasanya
merupakan fungsi dari perhitungan tentang
hasil dan resiko dari tindakan atau
keputusan tersebut.
Dalam kurikulum 2004 yang berbasis
kompetensi menekankan pada pencapaian
yang berbasis kebulatan pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Sementara UN
lebih berorientasi pada aspek pengetahuan
karena semata-mata menjawab soal-soal
ujian. Demikian pula ketidaksinkronan
dengan program KBK, karena KBK
dikontrol secara sentralistik. Ini berarti UN
“merampas” otonomi sekolah karena
bersifat sentralistik (khususnya dalam
penentuan kelulusan peserta didik).
Pada sisi yang lain, penyelenggaraan
UN terdistorsi aroma neoliberalisme karena
kompetisi cenderung dieksploitasi sebagai
komoditas. Tidak heran jika tujuan UN
sebagai ajang pencerdasan secara multi
dimensional,kini berubah menjadi bursa
transaksi nilai dan kepentingan. Nilai-nilai
ideal seperti kejujuran, patriotis, keluhuran,
dan keikhlasan, telah tergadai oleh
semangat pragmatisme yang kian
melembaga di kalangan elite dan aparatus
penyelenggara pendidikan Peserta didik
tersetting seperti robot untuk tunduk pada
remote kontrol dari UN melalui aneka
program yang sering dimanfaatkan berbagai
kalangan sebagai ajang bisnis soal atau
bimbingan belajar lantaran model tantangan
UN masih belum beranjak dari sistem
multiple choice.(Hermawih Hasan, 2006)
Konsekuensi logis yang timbul adalah
masing-masing satuan pendidikan,
terserang syndrome perpacuan tidak sehat
demi mempertaruhkan gengsi. Maklum
mereka hanya dihadapkan pada 2 opsi yaitu
reward karena berprestasi atau funishment
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
53
karena eliminasi. Akibatnya banyak satuan
pendidikan memanipulasi identitas
kemampuan dengan menyelenggarakan
berbagai program akselerasi secara intensif.
Untuk melakukan drilling agar peserta
didik dapat menaklukkan ancaman dari
soal-soal UN, Orang tua peserta didik pun
tersandera iming-iming kelulusan maksimal
sehingga rela berkorban apa saja , meski
harus membentur dinding moral bahkan
hukum.
Untuk mendongkrak prestasi peserta
didik maupun sekolah agar memenuhi
standar kelulusan atau akreditasi yang
tinggi, maka sejumlah pengawas UN yang
notabene adalah kalangan guru kerap
bermain mata dengan siswanya yang
mengikuti UN. Tidak sedikit pula orang tua
memberikan upeti pada oknum guru yang
telah membantu anaknya lulus dalam UN
dimaksud. Akibatnya motivasi dan
semangat belajar siswa lebih tertuju pada
target kelulusan UN dari pada esensi
pembelajaran dalam konteks pencerdasan
dalam arti sesungguhnya. (Anita Lie. 2005)
Adapun varian motivasi stakeholder
dibalik penyelenggaraan UN, tertuju paling
tidak pada 6 kemungkinan :
1. Tolak ukur tingkat efektivitas dan
efisiensi proses pembelajaran, sekaligus
mendapatkan gambaran kasar mutu
penyelenggaraan pendidikan skala
nasional sehingga pengambilan
kebijakan untuk tahun berikutnya tepat
sasaran;
2. Melatih siswa mandiri, disiplin, jujur dan
percaya diri dalam mengambil keputusan
yang tepat;
3. Kebanggaan, keberhasilan dan prestasi
kerja suatu sekolah atau suatu daerah,
jika peserta didiknya dinyatakan lulus
100%;
4. Kebanggaan bagi sekolah jika nilai rata
– rata UN tinggi;
5. Kebanggaan bagi siswa jika nilai rata –
rata UN tinggi;
6. Penambah nilai dan tidak menghambat
siswa untuk lulus 100%.
Dari ke-enam tujuan inilah yang
memicu timbulnya pro dan kontra serta
kecurangan sebelum pelaksanaan UN atau
pada saat UN berlangsung. Pelaksanaan UN
dan prosentasi kelulusan tahun 2012 akan
lebih baik dari tahun – tahun sebelumnya,
karena rumus kelulusan yang diatur dalam
Permendikbud No. 59 tahun 2011 memberi
porsi 60% dari UN dan 40% nilai sekolah
yang diperoleh dari rata-rata raport dan
nilai ujian sekolah. Tetapi mutu/ kualitas
kelulusan belum bisa dikatakan baik karena
terindikasi ada kecurangan-kecurangan
yang dilakukan, yaitu sebelum pelaksanaan
UN, pada saat pelaksanaan UN maupun
setelah pelaksanaan UN. Bentuk
kecurangan yang terjadi dalam
penyelenggaraan UN selama ini antara lain:
1. Sebelum pelaksanaan UN
a. Mengganti nilai raport
b. Meninggikan KKM
c. Meninggikan nilai ujian sekolah
d. Pengawas yang dikirim bisa dinego
e. Tempat duduk siswa direkayasa
f. Siswa diajak untuk membantu
temannya
2. Pada saat pelaksanaan UN
a. Pengawasan UN tidak ketat
b. Siswa dibiarkan mengorpe/
menyontek dan bekerja sama
c. Siswa diberi jawaban oleh pengawas /
pihak sekolah
3. Setelah pelaksanaan UN
a. Mengisi jawaban siswa yang masih
kosong
b. Mengganti jawaban siswa
(Badaruddin, 2011)
Pada bagian lain, penyelenggaraan UN
cenderung memposisikan tenaga pendidik
sebagai alat dan korban permainan elite
pendidikan. Sebab setiap UN
diselenggarakan, maka tenaga pendidik
khususnya guru, sebagian besar kalau
bukan seluruhnya hanya bertindak sebagai
satpam dengan honor ala kadarnya.
Sedangkan proses perencanaan,
pengorganisasian khususnya perumusan
soal dan penilaian hasil UN, semuanya
dikelola dan menjadi kewenangan segelintir
elite pendidikan di Pusat, setidaknya
petinggi otoritas pendidikan di tingkat
provinsi, kabupaten/kota justru menangguk
“keuntungan lebih besar”.
Karena itu Peneliti berkeberatan jika
kualitas pendidikan hanya diukur pada hasil
UN apalagi jika kelulusan peserta didik
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
54
masih digantungkan pada determinator UN.
Ini bertentangan dengan HAM, karena
upaya perbaikan mutu pendidikan tidak
pada tempatnya jika hanya membebani
peserta didik dalam mengikuti UN tanpa
memperhitungkan faktor lain. Betapa tidak
karena UN tersandera oleh kultur
uniformitas. UN tidak dapat membedakan
antara peserta didik di perkotaan dan di
pedalaman. Padahal tekanan kepada bahan,
metode, frekwensi, suplay pembelajaran
kesemuanya terdiskriminasi sejak lama
Banyak faktor yang dapat menjadi
penyebab antara lain tidak sinkronnya
materi dan pemahaman yang disajikan oleh
guru dengan materi dan pemahaman soal
yang dibuat oleh tim penyusunnya, bisa
juga karena faktor kekeliruan baik oleh
peserta ketika mengisi lembaran jawaban
dan input data, maupun oleh perangkat
komputer yang mengalami gangguan kecil
yang tidak terdeteksi ketika out put data
hasil pemeriksaan. Bahkan seorang peserta
didik yang mempunyai reputasi sebagai
siswa terpandai di sekolahnya selama ini
tiba-tiba kehilangan kemampuan
optimalnya dalam menjawab soal-soal UN
lantaran ia sedang mengalami tekanan
psikologis misalnya problem serius dalam
lingkungan keluarga (musibah) atau broken
heart dll.
Meski semua ini cukup signifikan
mempengaruhi degradasi insidental
ekspresi kemampuan seorang peserta didik
dalam menjawab/menghadapi UN, namun
sayangnya karena hal tersebut tidak ada
satu pun yang dapat menjadi bagian yang
diperhitungkan dan dipertimbangkan oleh
otoritas pendidikan dalam menentukan
kelulusan selain hasil UN sebagai
determinasi tunggal.Tidak adilnya lagi
karena otoritas pendidikan mulai dari
Menteri, Dirjen, Kepala Dinas hingga
Kepala Sekolah dan guru-guru jarang sekali
yang melakukan auto kritik kecuali
melempar kesalahan kepada peserta didik
yang kurang belajar atau orang tua didik
yang kurang berperan.
Herannya karena atas nama
pengukuran standar pendidikan UN
memaksa semua peserta didik tunduk pada
patron nasional. Padahal betapa banyak
peserta didik kehilangan kemampuan
mengakses sumber belajar secara optimal
lantaran negara lalai memenuhi
tanggungjawabnya untuk menyediakan
infra struktur pendidikan dan fasilitas
pendukungnya sesuai standar (PP No 19
tahun 2005) Tak ayal korban
ketidaklulusan terbanyak dalam UN selama
ini adalah peserta didik dari pedalaman,
maka penyebabnya tentu tidak lain adalah
karena standar kelulusan dan kesempatan
mengakses sumber pembelajaran yang tidak
adil. (Pallupi Panca Astuti, 2008)
Mencermati fenomena destruktif di atas
terlihat jelas bahwa pragmatisme kalangan
pendidik yang ditimbulkan oleh depresiasi
penyelenggaraan UN, tidak mempunyai
korelasi bahkan amat jauh dari upaya
meningkatkan kualitas pendidikan padahal
secara konseptual, modernisasi pendidikan
kita, sesungguhnya telah meletakkan
kualitas pendidikan dengan dimensi yang
amat luas dan komprehensif serta mengakar
pada budaya nasional. Ini terlihat jelas pada
rumusan Pasal 3 UU N0 20/2003 yang
berbunyi : “ pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggungjawab”.
Membangun pendidikan yang bermutu,
memang membutuhkan biaya besar namun
yang tak kalah besarnya dari semua itu
adalah komitmen dan political will seluruh
komponen pendidikan untuk menata dan
menyelenggarakan elemen-elemen sistem
pendidikan secara sistemik, terarah, terpadu
dan berdaya guna. Sayangnya karena meski
UN telah dinyatakan tidak sah oleh
Mahkamah Agung dengan perkara
No.register 2596 K/PDT/-2009, namun
pemerintah masih juga mempertahankan
bahkan berupaya untuk melanjutkan
program mubazir itu.
Semoga dengan banyaknya keberatan
publik terhadap penyelenggaraan UN, dapat
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
55
menjadi titik awal bagi otoritas pendidikan
untuk mengakhiri petualangan pendidikan
yang cenderung mubazir dan sia-sia. Sebab
sudah terlalu lama dan terlalu banyak
persoalan yang mendera bangsa dan anak
negeri ini, janganlah lagi ditambah dengan
berbagai kebijakan pendidikan seperti UN
yang dari Hulu hingga ke Hilir lebih
berimplikasi pada tumbuhnya pragmatisme
yang berujung menjadi beban rakyat.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas,
tibalah peneliti pada kesimpulan :
1. Penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu di Indonesia, di nodai oleh
praktik bisnis dan komersialisasi.
Hampir semua lembaga pendidikan yang
bermutu identik dengan biaya mahal.
Akibatnya layanan pendidikan tersebut
tidak dapat dijangkau oleh masyarakat
yang sebagian besar masih hidup rentan
dan miskin.
2. Bentuk pengembangan sumber daya
manusia khususnya guru, lebih banyak
terkooptasi kekuatan pragmatisme.
Kebanyakan program pelatihan,
penataran dan berbagai upaya
peningkatan mutu tenaga pendidik,
diselenggarakan untuk menghabiskan
anggaran. Peserta pun dari kalangan
guru antusias untuk berpartisipasi lebih
karena mengejar peningkatan status
penghasilan. Apalagi dengan program
sertifikasi guru semuanya terkesan hanya
untuk menambah pundi-pundi income di
kalangan guru penyelenggara. Karena
sekalipun guru yang menjadi pesderta
tidak kafabel dan kredibedel, panitia
tetap meloloskannya berkat lambaian
upeti amplop pelicin dll. Akibatnya
pengembangan, SDM tidak berkorelasi
dengan mutu tenaga pendidik.
3. Penyelenggaraan pendidikan bermutu
dalam bentuk sekolah bertaraf
internasional tidak menjamin kualitas
luaran. Karena kebanyakan yang meraih
prestasi akademik di berbagai forum
regional, nasional dan internasional,
justru berasal dari sekolah yang tidak
bertaraf internasional. Tragisnya karena
pengelolaan sekolah bertaraf
internasional cenderung eksklusif dan
berbiaya tinggi. Hal ini menciptakan
diskriminasi baik dari segi penerimaan
peserta didik dan tenaga pendidik
maupun dari perhatian pemerintah.
4. Bentuk perlakuan penyelenggara
pendidikan kepada peserta didik
disabilitas, penuh dengan anasir
diskriminatif. Selain karena
termarginalisasi di sekolah-sekolah luar
biasa, peserta didik disabilitas yang
berintegrasi di sekolah regular sangat
dibatasi dan dipersulit. Sedangkan
sekolah inklusi yang diselenggarakan
oleh pemerintah, terkesan setengah hati
ditandai dengan minimnya perhatian dan
fasiliatas penunjang yang disediakan
sesuai standar.
5. Penyelenggaraan ujian nasional, sama
sekali tidak menunjang peningkatan
mutu pendidikan. Selain karena hanya
sebagai ajang menarik keuntungan
melalui berbagai proyek pengadaan,
kebanyakan peserta ujian nasional
menerima bocoran soal hingga kunci
jawaban bahkan respon dalam bentuk
bantuan jawaban dari guru sebagai
pengawas demi mempertinggi tingkat
kelulusan sekolah maupun daerah
setempat.
B. Saran
1. Untuk menghindari praktik bisnis dan
komersialisasi dalam penyelenggaraan
pendidikan sehingga terjangkau, maka
pemerintah perlu meningkatkan subsidi
disertai pengawasan yang ketat. Selain
itu pemerintah juga perlu memberi
intensif berupa pengurangan pajak
penghasilan di kalangan guru maupun
transaksi pengadaan yang terkait dengan
pendidikan serta berb agai kebijakan
yang mempermudah dan mempermurah
pengelolaan pendidikan pada semua
tingkatan, jalur, jenis dan satuan
pendidikan.
2. Agar program pengembangan SDM di
kalangan tenaga pendidik, dapat lebih
efektif dan terhindar dari kekuatan
pragmatisme, maka perlu dilakukan
desain ulang terhadap program tersebut.
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
56
Proses assesment khususnya pada
sertifikasi guru dan dosen seharusnya
tidak hanya mengacu pada hasil
penilaian secara kuantitatif dan
kualitatif, tetapi perlu juga mengacu
pada tingkat kapasitas regular maupun
kontribusinya bagi pengembangan dan
pengayaan Iptek dalam arti yang
sesungguhnya.
3. Agar penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu dapat dinikmati secara adil dan
bermartabat bagi masyarakat tanpa
diskriminasi, maka semua program
akselerasi khususnya dalam bentuk
sekolah bertaraf internasional harus
segera dihapus dan digantikan oleh
program pendidikan bermutu tanpa
diskriminasi dan eksklusif.
4. Agar peserta didik penyandang
disabilitas dapat berkompetisi secara fair
dalam bursa kerja, maka segala bentuk
perlakuan diskriminatif harus di hapus
dalam penyelenggaraan pendidikan pada
setiap satuan, jenis, jalur dan jenjang
pendidikan. Untuk itu siistem pendidikan
inklusi perlu semakin digalakkan
dibarengi dengan kebijakan pemerintah
yang lebih memihak pemenuhan hak
pendiidkan bagi penyandang disabilitas
dalam arti yang seluas-luasnya.
5. Agar proses evaluasi pendidikan lebih
efektif dan efisien dalam menunjang
mutu pendidikan, maka penyelenggaran
ujian nasional harus segera dihentikan.
Proses evaluasi pembelajaran perlu
diserahkan kembali kepada masing-
masing sekolah disertai pengawasan
ketat dan intensif. Bukankah hal seperti
ini sudah lama dipraktikkan di perguruan
tinggi negeri maupun yang berstatus
disamakan dalam bentuk ujian akhir
semester (final test) sebagai instrumen
evaluasi pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrias Harefa. 2000. Menjadi
Manusia Pembelajar. Jakarta:
KOMPAS.
2. Anita Lie. 2005. “Guru sebagai
Pekerja Budaya”. KOMPAS. 3 Mei
2005.
3. Anita Lie. 2005. “UAN Untuk
Kepentingan Siapa?. Blog KID.com
4. Anne Ahira, 2010. Penyimpangan
Pengertian Ujian Nasional. Blog
AnneAhira.com
5. Arcaro, Jerome S. 1995. Quality in
Education: An Implementation
Handbook, St. Licle Press
6. Awan Sundiawan, 2010. Masalah
Ujian Nasional Tiap Tahun
Dibicarakan. Blog Awan Sundiawan
7. Badaruddiin, 2011. Masalah Ujian
Nasional (UN) dan Solusinya. Blog
Badaruddin.com.
8. Barbara MacGilchrist, 2004. The
Intelligent School, London: Sage
Publictionc.
9. Baskoro Poedjinoegroho E., 2006.
“Guru Profesional,Adakah?”.
KOMPAS. 5 Januari 2006.
10. Bogdan, R.C and Biklen, S.K.
Qualitative Research for Education, An
Introduction To Theory and Methode.
Boston Allyn and Bacon. Inc.
11. Eko Prasetyo, 2006, Orang Miskin
Dilarang Sekolah, Yogyakarta, Ressist
Book.
12. Hadisubroto, Subino. 1988. Pokok-
Pokok Pengumpulan Data, Analisis
Data, Penafsiran Data dan
Rekomendasi Data Penelitian
Kualitati. Bandung: PPS IKIP
Bandung.
13. Hayadin, 2009. Memaknai Ujian
Nasional (Momok UN2). Blog Hayadin
14. Hendro Martono, 2006.”Batas
Kreativitas”. KOMPAS. 13 Februari
2006.
15. Hermawih Hasan, 2006. Menghadapi
Ujian Nasional. Blog Hermawih
Hasan.
16. Ibrahim Bafadal , 2003, Manajemen
Peningkatan Mutu Sekolah Dasar,
Jakarta: Bumi Aksara.
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
57
17. Irfan Hutagalung, 2012, Analisis
Hukum Terhadap Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional dan Sekolah
Bertaraf Internasional. Blog Irfan
Hutagalung.com.
18. Iqbal Fari, 2011. Sekolah Unggulan
Dalam Tinjauan. Blog Iqbal Fari.
19. J Drost,, 1999, Proses Pembelajaran
Sebagai Proses Pendidikan, Jakarta,
Grasindo.
20. J.Drost, 2002. “On Going Formation
bagi Seorang Guru”. KOMPAS. 14
Februari 2002.
21. Joni,T.Raka. dkk.1985. Wawasan
Kependidikan Guru. Jakarta: Ditjen
Dikti, P3G.
22. Kunandar. 2007. Guru Profesional,
Jakarta, PT. Rajawali Pers.
23. Lexy.J Moleong, 2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rosda
Karya.
24. Nadjamuddin Ramly, 2005.
Membangun Pendidikan yang
Memberdayakan dan Mencerahkan,
Jakarta: Grafindo.
25. M.Basuki Sugita, 2006. “Kreativitas
Guru (Telah) Dipasung”. KOMPAS 30
Januari 2006.
26. Moch. Sholeh YA Ichrom, Prof. Phd;
2002. Proses Menciptakan Pendidikan
Inklusi dan Lingkungan Pembelajaran
yang Akrab di Sekolah Dasar, makalah
dalam Lokakarya Gabungan Tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus tingkat
Nasional; September 2002, Mataram
27. Muliani, 2011, Masalah Pendidikan di
Indonesia. Blog Muliani.com
28. Palupi Panca Astuti, 2008. Sebuah
Pembahasan “UN Jangan Jadi
Acuan..... . Blog Lifesupportalchem
29. Paul Suparno, 2002. “Guru dan
Reformasi Pendidikan”. KOMPAS 22
Agustus 2002.
30. Paul Suparno, 2004. Teori Inteligensi
Ganda dan Aplikasinya di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius.
31. Ralph W Tyler, 2005. Basic Principles
of Curriculum and Instruction,
Chicago: The University of Chicago
Press.
32. Roddman.B Webb,. 1981. Schooling
and Society. New York: McGraw-Hill
Book Company.
33. Rose, Collin dan M.J.Nicholl.2002.
Accelerated Learning. Terjemahan
Dedy Ahimsa, Cet.ke-3. Bandung:
Nuansa.
34. S.Prasetyo Utomo,.2006.
“Mengajarlah dengan Kreativitas”.
KOMPAS, 23 Januari 2006.
35. Satria Dharma, 2012, Kritik dan
Usulan Perbaikan Sekolah Bertara
Internasional Ditinjau dari UU
Sisdikan dan Revisi Permendiknas,
Blog Satriadharma.com.
36. Siti Rokhayah, dkk, 2001, Pengantar
Ilmu Pendidikan, Jakarta, UNJ
37. Sri Ambar Arum, Wahyu, 2007.
Manajemen Sarana dan Prasarana
Pendidikan. Jakarta: Multi Karya
Mulia.
38. Sugiyono, 2006. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan ROD,
Bandung: Alfabeta.
39. Sumarsono. 2005. Otonomi
Pendidikan. Jakarta: Komisi
Pendidikan/KWI.
40. Sumarsono, 2011. Peningkatan
Profesionalisme Guru: Kendala Pada
Guru. Blog Sumarsono.
41. Suwayuwo, 2012. Sekolah Berembel-
Embel “Standar Internasional”
Boroskan Uang Negara. Blog
Suwayuwo.
42. Syaiful Sagala, 2004. Manajemen
Berbasisi Sekolah dan Masyarakat,
Jakarta: Nimas Multima.
43. Taruna,J.C.Tukiman. 2002.
“Mengubah Guru”. KOMPAS 9 Juli
2002.
44. Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto
Pendidikan Nasional, Jakarta: PT.
Kompas.
45. Tim Penyusun; 2005. Perlindungan
dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan;
Komnas HAM, Jakarta
46. Yunizar Norr Milanta, 2011. RSBI
(Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional) Versus RSBK (Rintisan
Sekolah Bertaraf Kampunag), Blog
Yunizar Noor Milanta.com
YUSTISI Vol. 4 No. 1 Maret 2017 ISSN: 1907-5251
58
47. Winarno Surakhmad, 2004. “Guru
Berkualitas Tak Harus seperti
Malaikat”. KOMPAS 1 Mei 2004.
48. Zubaedi, 2006, Pendidikan Berbasis
Masyarakat; Upaya Menawarkan
Solusi Terhadap Berbagai Problem
Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
49. ................2002. Membenahi
Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineke
Cipta.
50. …………2004. Manajemen
Pendidikan Nasional, Bandung: Rosda
Karya..