Post on 31-Dec-2015
MEMBENDUNG ARUS LIBERALISASI
PEMIKIRAN ISLAM
A. Pendahuluan
Kehadiran Islam liberal dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini,
khususnya di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang.
Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syari‟at Islam seperti mempertanyakan
kesucian dan otentisitas al-Qur‟an; mengkritik otoritas nabi beserta hadits-hadits
sahih-nya, menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para
„ulama. Umumnya kaum liberalis ini menolak penerapan syari‟at Islam. karena
dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat hari ini. Secara
eksplisit mereka menyatakan beberapa hukum Islam bertentangan dengan prinsip
hak-hak asasi manusia (HAM).
Tren pemikiran Islam Liberal merupakan fenomena global yang belakangan
ini menggejala di hampir seluruh dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap
lini kehidupan masyarakat muslim seiring dengan derasnya ekspansi neo-
imperialisme Barat yang dibuat atas nama globalisasi dan perang melawan
terorisme. Di Indonesia tren ini selalu diidentikkan dengan Jaringan Islam Liberal
(JIL), meskipun tidak seluruh orang-orang yang berfikiran liberal yang ada di
Indonesia tergabung secara formal dalam jaringan ini. Tren ini menyebar di
berbagai institusi-institusi perguruan tinggi, pusat studi-pusat studi, organisasi
keagamaan, dan juga LSM-LSM.1
Sebagai contoh : hukum tentang jilbab, mereka menafsirkan bahwa
menggunakan jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan muslim,
penggunaan jilbab bukanlah bersumber dari ajaran agama Islam tetapi lebih
merupakan tradisi Arab dan telah ada bahkan sejak masa pra Islam2. Pendapat
yang serampangan juga nampak pada orang-orang liberal terkait masalah
pergaulan seperti yang diungkapkan oleh salah seorang tokohnya yang bernama
Ahmad Syokron Amin bahwa : ciuman cowok dan cewek bukan zina, melainkan
shadaqah dan berpahala bila dilakukan secara sukarela. “shadaqah ialah pemberian
secara sukarela tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Ciuman dengan non mahram
termasuk contohnya”.3 Adapun pendapat yang lain tentang hukum berkhalwat,
mereka mengatakan bahwa “laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat
1 Hasan Wildan. 2011. Kejanggalan Pemikiran Ulil Abshar Abdalla tentang Islam.
2 Buklet Islam Seri 1 : benarkah Islam mewajibkan berjilbab?, Hal. 30 3 Syahid Aqse. 2012. Segelintir Bukti Kesesatan Misionaris JIL.
berperan secara aktif sebagai pemimpin atau penolong di masyarakatnya.
Keduanya dapat bekerja bahu membahu dalam rangka menjalankan peran sosial
mereka ditengah masyarakat. Islam, karenanya tidak pernah melarang dan
membatasi hubungan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan.4
Munculnya “Mazhab” Islam Liberal, Kenapa Terjadi?
Agenda-agenda JIL sesungguhnya adalah kepanjangan imperialisme Barat
atas Dunia Islam yang sudah berlangsung sekitar 2-3 abad terakhir. Hanya saja,
bentuknya memang tidak lagi telanjang, tetapi mengatasnamakan Islam. Jadi
istilah Islam Liberal bukanlah suatu kebetulan, namun sebuah istilah yang dipilih
dengan sengaja untuk mengurangi kecurigaan umat Islam dan sekaligus untuk
menobatkan diri (sendiri) bahwa Islam Liberal adalah bagian dari Islam, seperti
halnya jenis-jenis pemahaman Islam lainnya5. Sesungguhnya Islam Liberal adalah
peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan idiom-idiom keislaman.
Islam hanyalah kulit atau kemasan. Namun saripati atau substansinya adalah
peradaban atau ideologi Barat, bukan yang lain. Jika dicermati dalam perspektif
historis, gagasan liberalisasi dalam wacana pemikiran Islam sebenarnya bukanlah
masalah baru.
Penelusuran terhadap asal-usul kemunculannya akan mengantarkan pada
penemuan akar masalahnya, yakni ketika kelemahan dan kemunduran taraf berfikir
merajalela ditengah-tengah masyarakat. Termasuk salah satunya adalah
ditinggalkannya bahasa arab. Walaupun ada diantara umat Islam yang mempelajari
hanya sekedar sebagai ilmu bukan tsaqofah. Hal ini berdampak pada cara pandang
umat Islam, yang awalnya mereka memandang agama Islam sebagai sesuatu yang
suci dan harus dilindungi. Namun kemudian, cara pandang mereka berubah, yakni
justru ingin melepaskan diri dari kendali agama. Pelan namun pasti, sebagian besar
umat Islam mulai masuk kedalam perangkap berfikir pragmatis-sekuler-liberal dan
mulai melupakan sudut pandang hakiki mereka, yakni akidah Islam. Sehingga yang
terjadi pada umat islam adalah pengabaian hukum-hukum Syari‟at dan melakukan
penafsiran nash-nash al-Qur‟an dan Hadits secara bebas tanpa memperhatikan
syarat-syarat seorang mufassir (orang yang melakukan tafsir hukum).
Sebenarnya penafsiran hukum Islam seperti yang dicontohkan di atas adalah
lagu lama kelompok Islam Liberal. Mereka mengatakan jilbab tidak wajib dan
menyebutkan batasan berpakaian bagi perempuan menurut Al Qur‟an adalah
menutup aurat (termasuk kepala, telinga, dada, dan leher) dan mengenakan
pakaian yang sesuai dengan standar dan etika kesopanan yang berlaku. Tetapi
ketika khimar (kerudung) tidak lagi diperlukan sebagai identitas muslimah, maka
khimar menjadi tidak wajib. Selanjutnya dikatakan kalau menutup aurat itu
4 Buklet Islam seri 6 : Benarkah Islam Melarang “Khalwat”?, hal.5
5 www.islamlib.com
merupakan Adat kebiasaan orang Arab. Praktek pemakaian cadar dan penutup
kepala merupakan kebiasaan sebelum Islam. Begitu pula
istilah Zinah (perhiasan), tabarruj, khimar dan jilbab, bahkan masyarakat Romawi
Timur Kuno sudah mengenal bentuk pakaian penutup seluruh tubuh perempuan
agar lekukan tubuhnya tidak tampak.6
Mereka menafsirkan bahwa “jilbab merupakan tradisi atau adat setempat
yang saat itu dipilih oleh Al-Qur‟an (konteks masyarakat arab zaman itu) sebagai
medium (alat) sehingga lebih mudah menyampaikan tujuan syar‟inya, yakni
menjaga kehormatan (maqoshid syariat dalam pandangan jil). Dengan demikian
maqashid at-tasyri‟nya bukanlah terletak pada penggunaan jilbabnya, tetapi pada
perintah menjaga kehormatan dan ini bisa dilakukan dengan beragam cara atau
metode tergantung pada konteks masyarakat di masing-masing tempat dan
zamannya”.7
Dari argumentasi yang dibangun oleh kaum liberal, kita bisa membantahnya
dari beberapa sisi. Pertama, mereka berpendapat bahwa hukum jilbab menjadi
tidak wajib, hal ini dikarenakan maqashid at-tasyri‟nya yaitu menjaga kehormatan
yang menjadi alasan akan kewajiban berjilbab saat ini sudah tidak relevan lagi.
Padahal, bila kita tinjau dari ilmu ushul fiqih, maqoshid syari‟at bukanlah dalil
syari‟at. Sebagaimana yang dikemukakan an-Nabhani yang menegaskan bahwa
maqashid at-tasyri‟ bukanlah dalil syariah, yang tidak bisa digunakan untuk
menarik kesimpulan hukum, layaknya dalil. Dalil syariah bersumber dari al-Qur‟an,
as-Sunnah, Ijma‟ Shahabat dan Qiyas. Kedua, mereka menyesuaikan hukum
syariat dengan kondisi atau konteks masyarakat di masing-masing tempat dan
zamannya, dengan membuat kaidah yang salah seperti “laa yunkaru tagayyuru al-
ahkaami bi taghayyuri az-zamaani” artinya “tidak diingkari perubahan hukum
dengan adanya perubahan zaman” dan “al-„aadatu muhakkamatun” artinya “adat-
istiadat bisa dijadikan patokan hukum”. Ketiga, tentang illat, mereka berpendapat
bahwa “..ada dan tiadanya hukum tergantung pada illatnya atau konteks
kebutuhannya. Hukum berkembang sesuai dengan konteksnya..”8 ini juga
menyimpang dari pemahaman islam. Sebab tidak semua dalil/nash syara‟
mengandung illat didalamnya. Dalam kitab Mafahim Hizbut Tahrir, illat (definisi illat
adalah alasan atau latar belakang ditetapkannya hukum) hanya berkaitan dengan
hukum-hukum mu‟amalah dan uqubat. Sedangkan dalam masalah aqidah,
makanan, pakaian dan akhlaq tidak memiliki illat. Hanya saja tidak setiap hukum
mu‟amalah dan uqubat terdapat illat didalamnya. Nash yang tidak menyebutkan
illatnya, maka illat-nya tidak boleh dicari-cari dan tidak dapat di analogkan kepada
yang lain. „Illat yang sah adalah „illat syar‟iyyah, bukan „illat aqliyah. Dengan kata
lain keberadaan „illat wajib berdasarkan nash, baik diperoleh secara sharahatan
(jelas), maupun dengan dalalah (penunjukkan), atau melalui istinbath
6 Qomariyah Rahma. 2010. Jilbab : Kewajiban, Bukan Sekedar Budaya!
7 Buklet Islam Seri 1 : benarkah Islam mewajibkan berjilbab?, Hal. 23
8 Buklet Islam Seri 1 : benarkah Islam mewajibkan berjilbab?, Hal. 22
(pengambilan) maupun qiyas (analogi).9 Karena jilbab ataupun khimar masuk
dalam kategori pakaian maka nash yang menunjukkan hukum terkait kewajiban
jilbab dan khimar sesungguhnya tidak mengandung „illat dan tidak ada „illat-nya.
Maka dari itu, kita dilarang untuk mencari-cari illat hukum. Perlu dipertegas
bahwa tidak semua nash-nash syara‟ mengandung illat dan „illat yang dipakai
adalah „illat syar‟iyyah bukan „illat aqliyyah. Seperti dalam kaidah syara‟ yang
ditabbani (diadopsi) oleh Hizbut Tahrir, yaitu :
Anna Al‟ibaadaati walmat‟uumaati walmalbuusaati walmasyruubaati wal
akhlaaqi laa tu‟allalu wayaltadzimu fiiha binnassi.
Artinya : “Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian,
minuman dan akhlaq tidak dapat direka-reka (dicari-cari „illat hukumnya), semua
ketentuannya berdasarkan nash saja”.10
Itulah kekeliruan pendapat mereka terkait hukum berjilbab, adapun terkait
dengan khalwat mereka menggunakan kaidah :
Artinya : “Menolak suatu kemudharatan harus lebih didahulukan daripada meraih
kemaslahatan (kebaikan)”.
Mereka mengatakan bahwa “khalwat akan berdampak pada pembatasan
kebebasan dan kemerdekaan perempuan untuk berperan aktif diwilayah publik.
Dan bila kembali pada kaidah diatas, jika pun khalwat itu katakanlah benar
dilarang-karena dalam hadits-hadits nabi ataupun sejarah awal Islam, justru
digambarkan sebaliknya-maka akan menjadi boleh, karena aturan ini jelas sangat
berpotensi mengundang kemudharatan, yaitu terjadinya pembatasan-pembatasan
khususnya terhadap perempuan. Perempuan menjadi pasif kembali, penuh
ketidakberdayaan, dan selalu bergantung kepada orang lain di sepanjang
hidupnya”11. Dari penafsiran tersebut mereka mengambil kaidah mendatangkan
maslahat (kebaikan) dan menolak mudharat (keburukan) sebagai illat dalam
menetapkan hukum kebolehan khalwat. Seperti pendapat mereka bahwa hukum
ketidakbolehan khalwat, akan mengundang kemudharatan, sehingga mereka
membolehkan khalwat. Sementara itu didalam nash syara‟ tidak pernah
ditunjukkan bahwa kaidah tersebut adalah illat. Padahal bila kita kaji lebih jauh
sebuah illat harus berupa illat syar‟iyah yaitu yang sudah tercantum dalam nash
baik Qur‟an maupun hadits, bukan sesuatu yang didasarkan pada mendatangkan
9Mafahim Hizbut Tahrir, hal. 64
10Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Hal. 61, 62
11 Buklet Islam seri 6 : Benarkah Islam Melarang “Khalwat”?, Hal. 19, 20
maslahat dan menolak mudharat. Hal ini sungguh sangat berbahaya, sebab nilai
kemaslahatan dan kemudharatan itu bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan
waktu dan tempat. Bila kaidah ini dijadikan sandaran, dengan sendirinya hukum-
hukum syara‟ akan berubah-ubah mengikuti perkembangan yang terjadi. Sehingga
jelas bahwa pendapat JIL diatas terkait kaidah ini sangat bertentangan dengan
syari‟at.
Kenapa kondisi di atas bisa terjadi? Setidaknya ada Dua faktor penyebab.
Pertama, faktor internal umat Islam yang lemah secara akidah sehingga tidak
memiliki visi-misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan lemahnya
pemahaman mereka terhadap aturan-aturan Islam, termasuk tentang cara
berpakaian seorang muslimah yang seharusnya. Serta lemahnya penguasaan
tsaqofah bahasa arab diantara umat Islam. Kedua, faktor eksternal, berupa
adanya upaya konspirasi asing untuk menghancurkan umat Islam melalui serangan
berbagai pemikiran dan budaya sekuler yang rusak dan merusak, terutama paham
liberal yang menawarkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku,
beragama maupun dalam kepemilikan. Paham ini secara langsung telah
mengeliminir peran agama dari pengaturan kehidupan manusia, sekaligus
menjadikan manusia menjadi “Rabbul „Alamin” yang bebas menentukan arah dan
cara hidupnya.
Dengan paham liberal, umat Islam dikondisikan untuk „merasa malu‟ terikat
dengan hukum-hukum Islam. Terlebih, hukum-hukum Islam memang sengaja
dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam sebagai aturan-aturan yang kolot, anti
kemajuan, ekslusif, bias gender dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sehingga
sebagai gantinya, saat ini umat Islam justru menuntut penerapan berbagai aturan
yang menjamin kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa aturan-aturan
itu bertentangan dengan syari‟at agama mereka.
B. SOLUSI untuk Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam
Sekulerisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam saat ini tidak hanya merusak
kehidupan dan struktur sosial kaum Muslim, lebih jauh dari keduanya juga
mengubah mainstream berpikir mayoritas umat Islam. Bahkan sebagian mereka
tidak lagi memandang akidah Islam sebagai perkara penting yang harus dijaga dan
dilindungi. Mereka telah hanyut diterjang arus sekulerisasi dan liberalisasi.
Akibatnya ditengah-tengah umat terjadi liberalisasi pemikiran kaum muslim, dan ini
juga diperparah dengan munculnya islam liberal seperti gambaran diatas. Karena
itu sebagai seorang muslim kita harus mampu memahami kekeliruan liberalisasi
pemikiran islam dan tentu saja memahamkan kepada umat Islam solusi terbaik dari
problematika tersebut.
Kekeliruan Metode dalam Menafsirkan nash Qur’an dan Hadits
Liberalisasi pemikiran Islam yang terjadi di kalangan umat Islam saat ini
sangat berbahaya, sebab akan berakibat pada pengabaian aqidah dan hukum-
hukum Islam,maka diperlukan counter. Sehingga sebagai seorang muslim kita
harus mampu memahami dengan benar kekeliruan liberalisasi pemikiran Islam. Hal
ini diperlukan agar umat tidak semakin terjerumus dengan cara berfikir liberal yang
merusak. Kekeliruan ini terjadi karena pemikir liberal telah menafsirkan nash-nash
al-Qur‟an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode-metode berikut :
1. Kebebasan Akal sebagai Asas
Para pemikir liberal dalam menafsirkan nash menggunakan kerangka berfikir
liberal, dimana mereka berdalih bahwa fiqih merupakan hasil
pemikiran/penentuan manusia. Walhasil penafsiran nash disesuaikan dengan
pendapat dan keyakinan mereka. Menurut mereka manusia itu lemah dan
mudah terpengaruh kondisi social masyarakatnya ketika menentukan suatu
hukum. Karena itu, bila sesesorang memiliki hak menentukan status hukum
dari perbuatan, maka orang lain pun juga memiliki hak yang sama, baik
mujtahid maupun bukan.
Sebagai contoh (untuk melegalisasi bahwa pendapat mereka diambil dari al-
Qur‟an), mereka menggunakan ayat berikut :
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari lelaki dan
perempuan, dan kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku-
puak, supaya kamu berkenal-kenalan (beramah mesra antara satu dengan
yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang
lebih taqwanya di antara kamu (bukan yang lebih keturunan atau
bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi amat mendalam
pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu)”
QS. al-Hujurât [49]: 13
Dari ayat ini mereka menafsirkan bahwa pergaulan dan hubungan antara
manusia, laki-laki dengan perempuan merupakan fitrah yang tidak
terelakkan, sehingga mereka membolehkan adanya khalwat.
Kita dapat melihat kekeliruan pendapat mereka, bahwa tanpa
memperhatikan makna keseluruhan ayat dan ilmu serta kaidah apapun
dalam penafsiran yang shahih, mereka langsung mengklaim bahwa al-Qur‟an
dan as-sunnah membawa pesan kebebasan akal (berfikir) dan bersikap bagi
semua manusia. Sehingga dengan dalil ini mereka mengklaim tidak adanya
pelarangan berkhalwat.
Oleh karena itu, ketika akal dibiarkan secara bebas menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an sangatlah berbahaya. Sebab, hal itu berarti memposisikan akal
manusia yang serba lemah sebagai penilai al-Qur‟an. Padahal posisi akal
hanya untuk memahami nash dan menentukan hukum yang terkandung
didalamnya bukan menilai suatu nash. Dengan membiarkan kebebasan
dalam penafsiran tersebut, maka ketika nash al-Qur‟an menunjukkan makna
yang tidak sesuai dengan keinginan akalnya, muncullah penolakan terhadap
sebagian ayat, keraguan terhadap sebagian ayat (sekalipun ayat tersebut
qath‟i), yang ujung-ujungnya menganggap al-Qur‟an tidak relevan lagi untuk
diterapkan saat ini.
Padahal pengkajian ilmu-ilmu syari‟at dan tafsir harus memperhatikan
sejumlah syarat dan adab. Hal ini bertujuan agar pengkajiannya dapat
bersifat jernih dan memelihara posisi nash-nash al-Qur‟an sebagai wahyu
Allah yang mulia.12
Beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir antara lain
adalah: (1) keyakinan yang benar terhadap al-Quran sebagai wahyu Allah
Swt.; (2) Bersih dari hawa nafsu; (3). Terlebih dulu menafsirkan al-Quran
dengan al-Quran; (4) Mencari penafsiran dari as-Sunnah; (5) Apabila tidak
didapatkan penafsiran dalam as-Sunnah, ditinjau pendapat para sahabat,
karena mereka yang lebih mengetahui tentang tafsir al-Quran dan
menyaksikan langsung berbagai indikator (qarînah)-nya; (6) Pengetahuan
Bahasa Arab dengan segala cabangnya; (7) Pengetahuan tentang pokok-
pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Quran—seperti qirâ„ah, ilmu ushul,
asbâb an-nuzûl, nâsikh mansûkh, dll—disertai dengan adanya pemahaman
yang cermat dalam mengukuhkan suatu makna atas yang lain.
Selain persyaratan-persyaratan di atas, seorang mufassir juga harus sangat
memperhatikan adab-adab seperti niat yang baik, tujuan yang benar, jujur,
taat, tawadhu, mulia, berani menyampaikan kebenaran sekaligus
mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.13
Fakta membuktikan, para „mufassir‟ liberal sangat jauh dari syarat dan adab
ini sebagai penafsir. Akibatnya, tafsirnya pun tidak layak disebut tafsir.
2. Historis Sosiologis sebagai Kaidah
Ada kaidah—yang sering dianggap sebagai kaidah syariat—yang
menyatakan, “Tidak bisa ditolak adanya perubahan hukum karena perubahan
zaman.” Para mufassir liberal sering menggunakan kaidah ini dengan alasan
bahwa penafsiran para mufassir sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis
zamannya. Adanya perubahan historis-sosiologis sampai pada era ini
mengharuskan revisi penafsiran yang telah lalu. Penafsiran klasik dianggap
tidak sesuai lagi dengan kondisi sosiologis masyarakat saat ini.
12
Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”. 13 Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”.
Dengan kaidah yang keliru ini, sebenarnya yang mereka lakukan
adalah melakukan aktivitas berdasarkan realitas yang ada. Apa yang
dilakukan disesuaikan dengan keadaan. Hukum jilbab tidak lagi menjadi
suatu kewajiban, karena dianggap hanya sebagai budaya arab dan wanita
mampu menjaga dirinya walapun tidak menggunakan jilbab. Menurut
penafsiran mereka penggunaan jilbab pada masa nabi disebabkan situasi
perempuan mukmin saat itu yang rentan terhadap pelecehan atau gangguan
laki-laki. Dan mereka berpendapat bahwa “laki-laki maupun perempuan
sama-sama dapat berperan secara aktif sebagai pemimpin atau penolong di
masyarakatnya”14. Begitu pula dengan masalah kepemimpinan suami dalam
rumah tangga dan pemerintahan. Kepemimpinan suami atas istri menjadi
tidak perlu karena wanita sekarang dianggap mampu mandiri secara
ekonomi. Wanita boleh menjadi kepala negara karena zaman telah memberi
peluang wanita untuk tampil dan menguasai sektor publik (luar rumah)
sebagaimana laki-laki. Demikian seterusnya.
Realitas yang seharusnya diupayakan pemecahannya sesuai dengan
hukum Islam akhirnya berbalik menjadi acuan sumber pemikiran yang
mereka anggap tak mungkin diubah lagi. Akhirnya, hukum dipaksa harus
sesuai dengan realitas yang bobrok dan rusak. Padahal, seharusnya yang
dilakukan adalah mempelajari realitas yang ada, kemudian mencari hukum
Allah yang berkaitan dengan masalah itu dengan cara menggalinya dari al-
Quran dan as-Sunnah atau dari sumber yang telah disahkan oleh keduanya.
Langkah selanjutnya adalah mengubah realitas tersebut agar sesuai dengan
yang diinginkan oleh Allah yang menurunkan wahyu berupa al-Quran dan as-
Sunnah.15
3. Sejarah sebagai Sumber Rujukan
Sejarah digunakan sebagai sumber rujukan oleh sebagian penafsir
liberal. Padahal, sejarah tidak dapat digunakan sebagai sumber rujukan. Oleh karena itu sejarah Cina maupun Rusia tidak dapat digunakan untuk
memahami system komunis. Begitupula dengan sejarah Inggris tidak bisa
digunakan untuk memahami perundang-undangan Inggris. Kaidah ini berlaku
untuk setiap sistem dan undang-undang.
Demikian halnya dengan sejarah Islam yang tidak dapat digunakan
sebagai rujukan hukum Islam. Hukum Islam harus dipahami dari sumber
yang dapat dipastikan berasal dari Allah, yaitu al-Quran dan as-Sunnah, dan
apa saja yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma Sahabat dan Qiyas16.
Seperti pendapat pemikir liberal dalam masalah khalwat, yang kami ambil
dari buklet seri-6-benarkah islam melarang khalwat? Yang berpendapat
14
Buklet Islam seri 6 : Benarkah Islam Melarang “Khalwat”?, Hal. 5 15
Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”. 16 Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”.
bahwa “Dalam melihat soal khalwat ini, perlu dilihat bahwa sejarah
pembentukan masyarakat Islam, terlihat adanya perbedaan antara budaya
kaum Quraisy (Mekkah) yang cenderung keras, seperti sering ditampilkan
melalui karakter `Umar dan sering merendahkan perempuan; dan di sisi lain
berbeda dengan kondisi kaum Anshar (Madinah) yang lebih maju, termasuk
hubungan antara laki-laki dan perempuan, jauh lebih seimbang, yaitu ada
musâwâ (baca buklet seri 2 tentang imamnya perempuan).”
Menurut pemikir liberal ini dilihat dari sejarah Islam, wanita anshar
lebih maju daripada wanita quraisy, mereka bisa bergaul dengan lawan jenis
maupun tidak perlu ditemani muhrim jika ingin berpergian. Mereka juga
mengeluarkan dalil untuk mendukung peristiwa sejarah tersebut, namun
tentu saja dalil-dalil tersebut dimaknai hanya sebatas pada keharfiahan
(teks) nash saja, tidak dilihat dari sisi makna-makna nash (kontekstual).
Inilah yang menjadi legalisasi hukum bagi mereka akan kebolehan khalwat.
Sementara itu, sejarah sendiri, kalaupun mau kita lirik, hanya sekadar
untuk mengetahui bagaimana penerapannya; bukan dijadikan dasar
penggalian hukum. Sejarah yang diambilpun hanya yang ditulis oleh
sejarahwan Muslim saja, bukan yang berasal dari musuh-musuh Islam; itu
pun setelah diteliti dengan cermat. Sebab, tidak semua sejarah bisa diterima
sebagai sumber sejarah. Catatan-catatan sejarah, misalnya, tidak bisa
dijadikan sumber sejarah, karena selalu dipengaruhi oleh situasi politik di
setiap zaman dan senantiasa tercampur dengan kepalsuan. Sering didapati
catatan-catatan sejarah mendukung orang-orang tertentu pada masa
penulisannya, kemudian menentang orang-orang yang didukungnya pada
masa sesudah mereka tidak berkuasa lagi.17
Khilafah Penjaga Umat dari Liberalisasi Pemikiran Islam
Keterpurukan umat ini sesungguhnya merupakan hasil dari sebuah proses
yang panjang. Pertama: secara internal umat ini mengalami kemunduran berpikir.
Kedua: secara eksternal ada upaya-upaya dari luar untuk meracuni pemikiran
umat Islam dengan memasukkan ke tubuh umat berbagai paham yang bukan dari
Islam seperti filsafat Yunani dan India, paham nasionalisme, dan lain-lain. Ketiga:
ketika Khilafah Islamiyah yang lemah mulai memasukkan hukum-hukum sipil Eropa
ke dalam undang-undang di negara tersebut dengan fatwa Syaikhul Islam bahwa
hal itu tidak bertentangan dengan Islam. Keempat: runtuhnya sistem Khilafah
sebagai penjaga Islam dan umat Islam.18 Dengan tidak adanya system Khilafah
Islamiyah, umat Islam tidak memiliki penjaga dari derasnya arus liberalisasi yang
17
Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”. 18
Mahyuni. Desember 2007. Akar Masalah Umat.
terjadi. Karena pada hakekatnya Khilafah merupakan pemersatu umat Islam dalam
ikatan al-ukhuwwah al-Islâmiyyah dan menyebarkan ajaran Islam ke seluruh
pelosok bumi, Negara Khilafah juga berperan sebagai kiyânut-tanfîdz (institusi
pelaksana) sekaligus hâris (penjaga) bagi keberlangsungan syari‟at Islam
secara kâffah (menyeluruh) di tengah-tengah kehidupan manusia. Tentunya juga
penjaga Jiwa, Harta dan Kehormatan umat Islam dimanapun mereka berada.
Dalam hal ini, al-Ghazâli menyatakan:
"Agama adalah asas, sedangkan sulthan (imam atau khalifah) adalah penjaga; Apa
saja yang (tegak) tanpa asas, pasti akan runtuh, sedangkan apa saja yang (ada)
tanpa penjaga, pasti juga akan hilang."
Khilafah Islam akan mengadopsi hukum Islam untuk menjadi UUD dan
perundang-undangan negara. Dengan cara itulah, hukum-hukum Islam tersebut
bisa diterapkan.
Sementara untuk menjaga Islam, sistem sanksi (nizhâm al-'uqûbat) yang
dilaksanakan oleh khalifah sebagai bagian dari hukum Islam, benar-benar terbukti
mampu menjaga keutuhan ajaran Islam. Mengingat sanksi ini berfungsi sebagai
zawâjir (preventif) dan jawâbir (kuratif); preventif bagi orang lain, supaya tidak
melakukan kesalahan yang sama, sebagamana firman Allah:
"Dan dalam qishaas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa." (Q.s. al-Baqarah: 179)
Dan kuratif bagi orang-orang yang dijatuhi sanksi, sehingga di akhirat tidak akan
dijatuhi lagi hukuman oleh Allah, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan:
"Dan siapa saja yang melakukan sesuatu dari perbuatan (dosa) itu, kemudian
dikenakan sanksi di dunia, maka itu merupakan tebusan baginya (di
akhirat)." (H.r. al-Bukhâri).
Maka, dengan diterapkannya sanksi tersebut, bukan hanya Islam saja yang
terjaga, tetapi juga kemaslahatan vital (al-mashlahah ad-dharûriyyah) ummat
manusiapun akan terjaga, baik berkaitan dengan agama, keturunan, akal, jiwa,
harta, kehormatan, keamanan maupun negara.19
Dengan pemahaman Islam yang utuh seperti inilah, aqidah dan pemikiran
umat akan terjaga dari sekularisasi dan liberalisasi. Karena akan ada sanksi hukum
bagi penyebar pemikiran liberal dan ini hanya dapat dilakukan oleh negara. Untuk
itulah sangat penting dan wajib mengembalikan Daulah Khilafah Islamiyah
ditengah-tengah Umat.
Seruan untuk Para Pengemban Dakwah
19
Jaka. Oktober 2009. Islam sebagai Sebuah Ideologi (2).
Penegakkan kembali Daulah Khilafah merupakan perjuangan yang sangat
berat di tengah-tengah kondisi sistem sekuler yang diterapkan saat ini, Untuk itu
perlu adanya strategi dalam mendakwahkan Islam ditengah-tengah umat yang
semakin terliberalkan. Dan para pengemban dakwah harus memahami bahwa,
kebenaran Islam tidak akan pernah tegak tanpa adanya tekad yang membaja
dalam jiwa para pejuangnya. Maka bagi para pengemban dakwah perlu adanya
langkah-langkah strategis sbb :
1. Adanya Penguasaan Tsaqofah Islam bagi Pengemban Dakwah
Islam menjadi harapan bagi solusi seluruh problematika umat. Harapan ini
tumbuh dan bersemi dalam diri para pengemban ideologi Islam, yaitu
harapan terwujudnya sistem Islam yang menyelamatkan umat manusia.
Seorang pengemban dakwah haruslah menjadi orang yang berperan dalam
perubahan yang di harapkannya, yaitu menjadikan ummat ini kembali
melanjutkan kehidupan islam. Perjuangan ini memerlukan militansi yang
kuat dari para pengembannya. Namun hal ini tidak bisa diharapkan dari
mereka yang belum memahami kedalaman ideologi dan bagaimana langkah
mewujudkannya. Untuk itu para pengemban dakwah harus memahami
seperti apa mabda Islam dan bagaimana menerapkannya. Gambaran sistem
yang utuh yang meliputi struktur negara, sistem ekonomi, sistem peradilan,
sistem sosial, dan berbagai urusan kemaslahatan masyarakat harus
tergambar dalam benak para pengemban dakwah. Gambaran penerapan
Islam yang utuh ini telah diteladankan oleh Rasulullah Saw dan Khulafa‟ur
Rasyidin dalam bentuk Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Untuk itu
diperlukan adanya pembinaan Tsaqofah Islam dalam bentuk yang utuh dan
integral. Penguasaan tsaqofah ini menjadi modal bagi para kader untuk
memahami hukum-hukum syara‟. Jangan sampai ketidaktahuan terhadap
hukum-hukum syara menyebabkan para kader dakwah sendiri tergelincir
pada kefasadan. Tidak sekadar itu, masyarakat akan salah kaprah karena
menganggap apa yang dilakukan para pengemban dakwah bukan suatu
kesalahan. Sehingga penguasaan tsaqofah islam harus terus menerus
dilakukan. Dan karakteristik tsaqofah Islam menuntut seorang muslim untuk
membenarkan, meyakini, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan
khususnya bagi pengemban dakwah.
Penguasaan tsaqofah Islam harus didukung dengan penguasaan bahasa
arab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu
termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib,
karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang
bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah
kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab),
maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab,
diantaranya ada yang fardhu „ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho,
Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon).20 Sehingga
mempelajari bahasa arab hukumnya adalah wajib karena akan
menghantarkan kita kepada pemahaman Islam secara sempurna.
2. Adanya Pengembanan Dakwah ditengah-tengah Masyarakat
Saat ini Ideologi Islam masih berupa benih subur yang tumbuh bersemi
dalam jiwa mayoritas umat Islam. Ideologi Islam belum terwujud dalam
bentuk mabda (prinsip ideologis dan sistem hidup). Umat Islam masih hidup
dalam cengkeraman sistem kapitalisme liberal. Sistem inilah yang
menyebabkan manusia hidup pada kenistaan, kerusakan moral, dan jiwa.
Sistem Kapitalisme yang jahat dan keji telah kasat mata diakui kerusakannya
bagi sebuah peradaban manusia. Dan Islam menjadi harapan pengentasan
umat manusia dari penderitaannya yang dalam.
Sehingga diperlukan perjuangan yang kuat agar ideologi Islam kemudian
terwujud dalam sistem yang nyata. Prinsip ideologi yang menghunjam dalam
jiwa pengemban dakwah tidak akan dengan sendirinya mengubah sistem
hidup yang ada. Karena itu diperlukan adanya pengembanan dakwah
ditengah-tengah masyarakat, sehingga umat mau kembali melanjutkan
kehidupan Islam. Sebab hanya Da‟wahlah yang mampu menggerakkan
ummat untuk tetap terikat dengan aturan Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan Allah juga berfirman :
“Serulah manusia ke jalan Rabb-mu (Allah) dengan jalan hikmah (hujjah
yang benar dan kuat) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka denga
nbaik” (QS. An-Nahl: 125)
“(Dan) Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka menjadi penolong kepada sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh
kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
akan diberi rahmat oleh Allah dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana” (QS At-Taubah: 71)
“Dan siapakah yang lebih baik perkataanya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata sesungguhnya aku ini
termasuk orang-orang muslim” (QS. Al-Fushilat: 33)
Dari sebagian ayat diatas, dapat difahami ketegasan perintah Allah
SWT dalam hal dakwah. Karena itu dakwah merupakan perkara wajib yang
harus dikerjakan baik laki-laki maupun perempuan, sendiri-sendiri maupun
berjama‟ah/kelompok.
20 http://www.tdwclub.com/f124/pentingnya-belajar-bahasa-arab-1875/
PENUTUP
Pemikiran liberal pada saat ini sudah menjangkiti umat Islam. Hal ini diperparah
dengan penafsiran-penafsiran hukum Islam yang dilakukan secara bebas oleh para
pemikir liberal yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itu, sangat
berbahaya karena pemikiran ini rusak dan merusak umat Islam. Sehingga sebagai
pengemban dakwah kita harus mampu memahamkan umat tentang kekeliruan
pemikiran liberal dengan melakukan dakwah secara kontinu di tengah-tengah
masyarakat. Agar umat mampu memahami bahwa solusi satu-satunya untuk
membendung arus liberalisasi adalah dengan diterapkannya syari‟ah Islam secara
kaffah. Dan tidak akan tegak syari‟ah Islam tanpa adanya institusi yang
menaunginya yaitu Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallâhu „alam bi ash-shawâb.
Referensi :
Qomariyah Rahma. 2010. Jilbab : Kewajiban, Bukan Sekedar Budaya!
www.rumahkusurgaku.com (9 Juni 2012)
Hasan Wildan. 2011. Kejanggalan Pemikiran Ulil Abshar Abdalla tentang Islam.
www.voa-islam.com (9 juni 2012)
Syahid Aqse. 2012. Segelintir Bukti Kesesatan Misionaris JIL.
www.facebook.com (15 April 2012)
An-Nabhani Taqiyuddin. 1953. Mafahim Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir Indonesia
www.islamlib.com
Batara Munti Ratna. 2011. Benarkah Islam Mewajibkan Berjilbab?. The Wahid
Institute, KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), Federasi LBH
APIK Indonesia, PSI UII (Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia)
Batara Munti Ratna. 2011. Benarkah Islam Melarang “Khalwat”?. The Wahid
Institute, KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), Federasi LBH
APIK Indonesia, PSI UII (Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia)
Mahyuni. Desember 2007. Akar Masalah Umat. http://mahyuni-bjm.blogspot.com (5 Juni 2012)
Al-wa’ie, no. 32 Tahun III 1-30 April 2003, “Menggugat Metodologi TAFSIR
FEMINIS oleh Lathifah Musa”.
Jaka. Oktober 2009. Islam sebagai Sebuah Ideologi (2).
http://www.suara-islam.com/read106-Islam-Sebagai-Sebuah-Ideologi-(2).html
http://www.tdwclub.com/f124/pentingnya-belajar-bahasa-arab-1875/