Post on 31-Dec-2016
MAKNA DAN NILAI-NILAI FILOSOFIS DALAM TRADISI NYADRAN
DI DUSUN TRITIS KULON KELURAHAN GIRIKERTO KECAMATAN
TURI KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Disusun oleh:
Muhammad Luqmanul Hakim
NIM : 10510030
JURUSAN FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
- Kedua Orang Tua tercinta, khususnya Ibu Hj Siti Fatimah - Kakak dan mbak semuanya
- Sahabat dan teman-teman seperjuangan - Almamater tercinta, FA/FUSPI/UIN SUKA Yogyakarta
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penyusunan skripsi ini
menggunakan pedoman transliterasi dari Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, tertanggal 22
Januari 1988 No: 158/1987 dan 0543b/U/1987.
I. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
Bā’ B Be ب
Tā’ T Te ت
Ṡā’ Ś es titik di atas ث
Jīm J Je ج
Ḥā’ ḥ ha titik di bawah ح
Khā’ Kh ka dan ha خ
Dāl D De د
Żāl Ż zet titik di atas ذ
Rā’ R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin SY es dan ye ش
Ṣād Ṣ es titik di bawah ص
Ḍād ḍ de titik di bawah ض
vii
Ṭā’ ṭ Te titik di bawah ط
Ẓā’ ẓ zet titik di bawah ظ
Ayn ...‘... Koma terbalik di atas‘ ع
Gayn G ge غ
Fā’ F ef ف
Qāf Q qi ق
Kāf K ka ك
Lām L el ل
Mīm M em م
Nūn N en ن
Wāw W we و
Hā’ H ha ه
Hamzah ...‘.... apostrof ء
Yā’ Y Ye ي
II. Konsonan Rangkap karena tasydĭd ditulis rangkap :
د دة ditulis Muta’addidah متع
ditulis ‘iddah عدة
III. Ta’ Marbutah di akhir kata. 1. Bila dimatikan, ditulis h :
ditulis ḥikmah حكمة
ditulis jizyah جزیة
(Ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke
dalam bahasa Indonesia, seperti zakat, salat dan sebagainya, kecuali bila
dikehendaki lafal aslinya).
viii
2. Bila diikuti dengan kata sandang 'al' serta bacaan kedua itu terpisah, maka
ditulis dengan h.
’ditulis Karămah al-auliyă كرامة األولیاء
3.Bila ta’ Marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah
ditulis t atau h
ditulis Zakăh al-fiṭri زكاة الفطر
IV. Vokal Pendek
ل ع fathah فditulis a
ditulis fa'ala
ر ك kasrah ذditulis i
ditulis żukira
ھب dammah یذditulis u
ditulis yażhabu
V.Vokal Panjang
1. Fathah + alif ditulis ă یة ل اھ ditulis jăhiliyyah ج
2. Fathah + alif maqsur ditulis ă ـسى ditulis tansă تن
3. Kasrah + ya’ mati ditulis ĭ یم ـر ditulis karĭm ك
4. Dammah + wawu mati ditulis ŭ ditulis furŭḍ فروض
VI. Vokal Rangkap
1. Fathah + ya’ mati ditulis ai م ینك ditulis bainakum ب
2. Fathah + wawu mati ditulis au ل و ditulis qaul ق
VII. Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata, dipisahkan dengan apostrof
م ت ن أ ditulis a’antum أ
د ت ع ditulis u’iddat أ
م ت ـر شك ن ئ ditulis la’in syakartum ل
VIII. Kata Sandang Alif +Lam
ix
1. Bila diikuti huruf qamariyyah ditulis al-
ditulis al-Qur’ăn القرآن
ditulis al-Qiyăs القیاس
2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, sama dengan huruf qamariyah.
’ditulis al-Samă السماء
ditulis al-Syamsu الشمس
X. Huruf Besar
Huruf besar dalam tulisan Latin digunakan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
XI. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Di tulis menurut penulisannya.
ditulis żawҐ al-furŭḍ ذوي الفروض
ditulis ahl al-sunnah أھل السنة
vi
MOTTO
“YesterdaY is history tomorrow is future today is
gift”
Berjasalah,tapi jangan minta jasa(KH. Imam Zarkasyi )
Do the best, don’t feel the best (682)
Hidup sekali, hiduplah yang berati agar hidup lebih berarti, dan pastikan tujuan hidupmu
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis mampu selesaikan skripsi ini sesuai harapan. Dalam proses
penyusunan skripsi dihadapan pembaca ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari
dukungan, masukan, serta kritikan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis
perlu sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Akh. Minhaji, MA., Ph.D selaku Rektor UIN Sunan
Kalijaga.
2. Bapak Dr. Alim Roswantoro M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin,
dan Pemikiran Islam. Bapak
3. Dr. Robby H. Abror, S. Ag., M. Hum selaku Ketua Prodi Filsafat Agama.
Dan kepada Bapak Muh. Fatkhan S.Ag., M. Hum selaku Sekretaris
Jurusan Filsafat Agama.
4. Bapak Muh. Fatkhan S.Ag., M. Hum, sebagai sebagai Dosen Pembimbing
Skripsi. Beliau telah banyak melakukan pengarahan, masukan, dan
kritikan yang cukup berarti sehingga dapat merampungkan skripsi ini.
5. Segenap dosen dan tenaga pengajar jurusan Filsafat Agama, dan seluruh
civitas akademika UIN Sunan Kalijaga yang memberi sumbangsih dalam
proses penulisan skripsi ini serta seluruh karyawan-karyawati di Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam.
6. Khususnya kepada Ibu saya Hj. Siti Fatimah, dan alm. bapak H.Ahamd
Djanji SY , serta kakak dan mbak, Hj Elya Musyarofah, Muhammad
Rofiqi,Muhammad Ali Imron,Muhammad Faelasuf,Siti Umi
Zakiyah,Muhamad Imam Zakarsyi,Siti Evy Sofiyah,dan para ponakan
sekalian.
7. Dan tidak lupa keluarga dr.Miftahul Yufie Kurniawan, Ahmad Kholiq
Abdullah,Eric Gama Yudha,Rico Delta Yudha.
viii
8. Tidak lupa teman teman seperjuangan di Pondok Modern Darussalam,
temen satu angkatan 682 The Youth Generation,Temen temen Asia
Online,Pondok Gontor 7 Riyadhotul Mujahidin yang mana banyak
memberikan makna hidup.
9. Tidak lupa temen temen motor classic, JHC( Jogja Honda classic) motor
boleh tua asal hati tetap muda, wanis boros, bojo muring tetep touring.
10. Teman-teman kuliah, kelas, maupun teman diskusi yang tanpa mereka
sadari telah memberikan dorongan untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Kepada Khosim, Imam Rifa’i, Fauzan B R, Abdul Mukti, Sabil Ar-
Rasyad, Miftahul Huda, Lukman Hakim, Imamuddin Ayyub, Supriyatno,
Duha Ali, Dian Sulistina, Dia Intan Timur, Hasriani Mahmud, Ummi
Nurhayati,Reza Boncel, dan masih banyak lagi dan penulis tidak bisa
sebut satu persatu disini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan karena
itu penulis mengharap kritik dan saran kepada pembaca sebagai upaya perbaikan.
Akhirnya penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-
besarnya, semoga Allah Swt., menerima sebagai amal sholeh. Amin.
Wassalamua’alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, 28 Juni 2015
Penulis,
Muhammad Luqmanul Hakim
ix
ABSTRAK
Penelitian ini berupaya untuk mengetahui ritual tradisi Nyadran di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Pertanyaan pertama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah (1) Apa latar belakang dan perkembangan upacara tradisi nyadran di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman? (2) bagaimanakah prosesi uoacara nyadran berlangsung? (3) Apa makna dan Nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam tradisi upacara nyadran? Untuk menjawab pertanyaan itu, maka penulis mencoba menggunakan dengan pendekatan filsafat Antropologi dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan orang-orang terkait dengan tradisi nyadran, seperti mbah Modin, orang-orang yang bertugas menyiapkan perlengkapan upacara dan orang-orang pendukung tradisi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prosesi ritual dan makna serta nilai filosofisnya dalam tradisi nyadran itu sendiri.
Tradisi nyadran adalah salah satu tradisi yang masih melekat pada masyarakat Dusun Tritis Kulon. Tradisi ini dilaksanakan menjelang puasa Ramadhan atau tepatnya di bulan Sya’ban.Dalam konteks sosil dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana pembangunan jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran penulis akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi, satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, makmur, dan tenteram.
Berdasarkan hasil penelitian analisis pembahasan masalah, landasan teori, data data dan wacana yang berkembang, maupun untuk memenuhi tujuan penelitian ini, peneliti berkesimpulan, (1) bahwa masyarakat Dusun Tritis Kulon memiliki pemahaman yang kental dan kuat mengenai tradisi nyadran sehingga masyarakat dusun secara serempak tetap hingga hari ini melestarikan budaya nenek moyang tersebut. (2) prosesi ritual nyadran di Dusun Tritis Kulon secara umum hampir sama dengan tradisi yang berlangsung di tempat lain. Adapun urutan prosesi ritual nyadran di Dusun Tritis Kulon tersebut adalah membersihkan desa dan makam, tabur bunga, malam tirakatan, kentongan, membaca ayat suci Al-Qur’an, penyembelihan kambing, kenduri rumah, kenduri di bangsal makam, kenduri pelataran rumah, dan makan bersama. (3) adapun makna dan nilai-nilai filosofis tradisi nyadran adalah: melestraikan warisan nenek moyang, wujud terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai wadah silaturahmi, perwujudan sikap rukun, perwujudan sikap hormat, perwujudan kedewasaan kehidupan beragama, dan sebagai perwujudan sikap keseimbangan kehidupan sosial.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN ............................................................................ ii
NOTA DINAS ............................................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB ……………………………………. vi
HALAMAN MOTTO ................................................................................... x
KATA PENGANTAR ................................................................................. xi
ABSTRAK ................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. xvii
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 12
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ...................................... 12
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 13
E. Landasan Teori ……………………………………………………… 16
F. Metode Penelitian ............................................................................. 19
G. Sistematika Pembahasan .................................................................. 21
BAB II. GAMBARAN UMUM DUSUN TRITIS KULON ……………… 23
A. Dusun Tritis Kulon ............................................................................ 23
xi
1. Kondisi Alam .............................................................................. 23
2. Mata Pencaharian Penduduk ....................................................... 25
3. Keadaan Penduduk ...................................................................... 27
4. Kondisi Keberagamaan Masyarakat …………………………… 29
BAB III. TRADISI NYADRAN DAN PROSESI RITUALNYA ................ 33
A. Tradisi Nyadran ................................................................................... 33
1. Pengertian Nyadran ............................................................... 33
2. Asal Usul Sadranan ............................................................... 37
3. Tujuan Tradisi Sadranan ........................................................ 40
4. Fungsi Sadranan ……………………………………………... 43
B. Prosesi Ritual Tradisi Nyadran .......................................................... 44
1. Pelaksanaan Prosesi Ritual Tradisi Nyadran .......................... 44
BAB IV. MAKNA DAN NILAI-NILAI FILOSOFIS TRADISI UPACARA
NYADRAN..................................................................................... 51
A. Makna dan Nilai-Nilai Dalam Ritual Upacara Nyadran ………… 51
1. Membersihkan Desa dan Makam ……………………………. 56
2. Tabur Bunga …………………………………………………. 58
3. Malam Tirakatan …………………………………………….. 60
4. Kentongan …………………………………………………… 61
5. Membaca Ayat Suci Al-Qur’an ……………………………… 62
6. Penyembelihan Kambing ……………………………………. 63
7. Kenduri di Bangsal Makam …………………………………. 65
xii
8. Makan Bersama …………………………………………….... 66
B. Makna dan Nilai-Nilai Filosofis Dalam Makanan Upacara Tradisi
Nyadran …………………………………….................................. 67
C. Makna dan Nilai-Nilai Filosofis Dalam Tradisi Nyadran ………... 69
1. Melestarikan Warisan Nenek Moyang ……….......................... 70
2. Wujud Terima Kasih Kepada Tuhan Yang Maha Esa ………… 74
3. Perwujudan Sikap Rukun .......................................................... 77
4. Perwujudan Sikap Hormat …………………………………….. 78
5. Perwujudan Sikap Keseimbangan Kehidupan Sosial ………….. 83
BAB V. PENUTUP ........................................................................................... 87
A. Kesimpulan .................................................................................. 87
B. Saran-saran .................................................................................. 89
C. Penutup ………………………………………………………….. 90
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 91
LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………..
CURICULUM VITAE ..................................................................................
DAFTAR TABEL
I. Tabel Kondisi Geografis ………………………………… 23
II. Tabel Data Topografi atau Bentangan Alam ……………. 24
III. Tabel Jumlah Penduduk …………………………………. 27
IV. Tabel Jumlah Penganut Agama …………………………... 30
V. Tabel Data Tempat Ibadah ……………………………….. 30
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap suku bangsa memiliki budaya, adat (tradisi) atau kebiasaan yang
berbeda-beda. Hal ini juga berlaku pada negera Indonesia. Indonesia adalah
negara yang terdiri dari berbagai pulau yang dihuni oleh berbagai macam bangsa.
Maka demikian, situasi dan kondisi lingkungan tempat dimana merek tinggal
mempunyai peran yang baik untuk melahirkan ide-ide dalam proses penciptaan
suatu kebudayaan dan tradisi.
Adapun istilah kebudayaan atau culture pada dasarnya berasal dari kata
kerja bahasa Latin, colere yang berarti bercocok tanam (cultivation). Kemudian
pada perkembangan selanjutnya, arti cultivation dalam bahasa Indonesia memiliki
tersendiri, yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upara religius yang
dari diturunkan istilah kultus.1 Dalam bahasa Indonesia sendiri, kebudayaan
berasal dari bahasa Sanskerta, buddayah merupakan bentuk jamak dari kata
buddhi yang memiliki arti budi atau akal.2 Kebudayaan merupakan warisan sosial
yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan
mempelajarinya.3 Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah
1 Sugeng Pujileksono, Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu Antropologi,
(Malang: UMM Press, 2006), hlm. 14. 2 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Aksara Baru,
2000), hlm. 181. 3 Purwadi, Budi Pekerti Jawa: Tuntunan Luhur Budaya Adiluhung, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 1.
2
kebudayaan hendaknya selalu dibina dan dijunjung tinggi demi kelangsungan
masyarakat tertentu.
Dalam perkembangan jaman yang semakin modern, upacara tradisional
sebagai wahana budaya luhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting
dalam kehidupan bermasyarakat. Upacara tradisional yang memiliki makna
filosofis sampai sekarang masih dipatuhi dan dijalani oleh masyarakat
pendukungnya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan
upacara tradisional, bahwa akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.
Sebagai sebuah nilai yang dihayati, sebuah kebudayaan tertentu secara
turun-temurun, dari satu generasi ke generasi selanjutnya akan terus berlangsung.
Proses pewarisan kebudayaan disebut sebagai proses inkulturasi. Proses ini
berlangsung mulai dari kesatuan yang terkecil, yakni keluarga, keraat, masyatakat,
suku bangsa, hingga kesatuan yang lebih besar lagi. Proses ini berjalan dari masa
kanak-kanak hingga masa tua. Melalui proses ini pula, maka dalam benak
sebagian besar anggota masyarakat akan memiliki pandangan, nilai yang sama
tentang persoalan-persoalan yang dianggap baik dan buruk, mengenai apa yang
harus dikerjakan dalam hidup bersam, dan mengenai apa yang tidak harus
dikerjakan.
Jadi dengan begitu, budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan warisan
sosial yang dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib yang
teratur, biasanya terdiri dari kebendaan, kemahiran teknik, pikiran dan gagasan,
3
kebiasaan, dan nilai-nilai tertentu.4 Wujud kebudayaan selain sebagai
kompleksitas ide, nilai dan norma maupun sebagai peraturan, juga mencerminkan
pola tingka laku manusia dalam masyarakat. Pola tingkah laku ini terjadi karena
ekspresi atau manifestasi hasil proses belajar. Ekspresi ini juga terwujud dalam
hasil karyanya sebagai buah budi daya. Wujud tingkah laku tersebut juga
berbentuk lambang tertentu, misal upacara keagamaan yang merupakan
manifestasi dari tingkah laku religius.5
Dalam sejarah perkembangan kebudayaan Jawa mengalami akulturasi
dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya
diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang beraneka macam. Setiap masyarakat
memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial
budaya masyarakat antara yang satu dengan lainnya berbeda. Kebudayaan sebagai
cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidpan
kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam ruang dan waktu.
Salah satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen.6
Kebudayaan selalu memberikan sesuatu yang berkhas, karena pada umumnya
diartikan sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam
menjawab tantangn kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya.7
Upacara tradisi merupakan salah satu bentuk realisasi wujud kebudayaan
dalam masyarakat yang hampir dimiliki setiap daerah. Upacara tradisi termasuk
4 Abdul Basir Salissa (dkk.), Al-Qur’an dan Pembinaan Budaya: Dialog dan
Transformasi, (Yogyakarta: LESFI, 1993), hlm. 47. 5 Musa Asy’ari, Agama, Kebudayaan dan Pembangunan, (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988), hlm. 92-93. 6 A. Sayahri, Implementasi Agama Islam pada Masyarakat Jawa, (Jakarta: DEPAG,
1985), hlm. 2. 7 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 1.
4
wujud kebudayaan yang berupa suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat atau sering disebut sebagai sistem sosial. Sistem ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi dari waktu ke
waktu dan selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat kelakuan.8
Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat
yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama.9
Adalah keyakinan bahwa suatu tindakan atau tingka laku merupaka cara berpikir
seorang individu yang sering dikaitkan dengan adanya kepercayaan atau
keyaninan terhadap kekuatan ghaib yang ada di alam semesta. Kekuatan alam
semesta dianggap memiliki ada di atas segalanya. Selanjutnya dikatakan bahwa
dalam masyarakat Jawa kekuatan manusia dianggap lemah bila dibandingkan
dengan alam semesta itu sendiri.10 Pandangan hidup orang Jawa merupakan
paduan dari alam pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu, dan ajaran Islam.11
Masyarakat Jawa pada dasarnya pula adalah masyarakat yang masih
mempertahankan budaya atau tradisi upacara, serta ritual apapun yang
berhubungan dengan peristiwa alam atau bencana, yang masih dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Upacara tradisi Jawa dilaksanakan dalam peristiwa
kelahiran, perkawinan, dan kematian.12
Bentuk dan nama upacara tradisi sangat beragam sesuai dengan latar
belakang dan tujuan dilaksanakannya upacara tradisi. Masyarakat melaksanakan
8 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, hlm. 187. 9 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 4. 10 Depdikbud, Aneka Ragam Khazanah Budaya Nusantara III, (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan, 1991), hlm. 103. 11 Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Hanindita, 2000)
hlm. 67. 12 Purwadi, Budi Pekerti Jawa: Tuntunan Luhur Budaya Adiluhung,hlm. 3.
5
dan memelihara upacara tradisi itu memiliki berbagai kepentingan. Masyarakat
pendukung tradisi itu memelihara upacara tradisi sebagai hal yang sudah lumrah
atau biasa karena sejak lahir pun mereka telah mengikuti kebiasaan tersebut.
Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat Jawa adalah tradisi
Nyadran. Secara filosofis Nyadran adalah ritual simbolik yang sarat dengan
makna. Menurut adat kejawen, sadranan berarti berziarah ke kubur atau pergi ke
makam nenek moyang dengan membawa kemenyan, bunga dan air doa. Sadran
berarti kembali atau menziarahi makan atau tempat yang dianggap sebagai cikal
bakal suatu desa, biasanya masyarakat menamakan tempat tersebut sebagai
punden13 yaitu makam cikal bakal Dusun setempat. Sebelum berziarah kubur
biasanya masyarakat terlebih dahulu membersihkan makam secara bersama-sama.
Dalam makna lain, kata sandran berasal dari bahasa Arab yaitu sod’ru
berarti suatu doa yang ditujukan kepada leluhur yang sudah berada di alam kubur
atau yang sudah meninggal duna. Kemudian kata tersebut dilafalkan oleh lidah
Jawa menjadi sadran/nyadran.
Upacara tradisi nyadran memiliki makna dan nilai yang tinggi bagi
kehidupan masyarakat dan budaya bangsa Indonesia. Upacara nyadran yang
dilakukan masyarakat Jawa khususnya yang berada di daerah Solo, Yogyakarta,
dan sekitarnya, merupakan ritual tahunan yang berlangsung padat saat menjelang
Hari Raya Lebaran atau Ramadhan. Begitu pula, tradisi nyadran adalah sala satu
tradisi yang masih melekat kuat pada masyarakat Dusun Tritis Kulon, Girikerto,
Turi Sleman Yogyakarta.
13 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 72.
6
Sebelum Islam datang kepercayaan Animisme dan Dinamisme serta
agama Hindu dan Budha telah terlebih dahuku berkembang di Indonesia
khususnya di pulau Jawa. Islam diterima di masyarakat Jawa dengan muda dan
damai, karena para da’i memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap kebudayaan
Jawa. Islam tidak perlu mengubah struktur budaya dan kepercayaan yang ada,
melainkan tinggal melestarikan dengan siraman Islam. Keadaan demikian
memberikan dampak pada pandangan yang tidak mempersoalkan suatu agama itu
benar atau salah, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada
dasarnya berbeda bahkan berlainan.14
Tradisi nyadran intinya berupa ziarah kubur pada bulan syaban atau
Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa itu
sendiri. Ziarah dengan cara membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa
permohonan ampun, dan tabur bunga. Bersih kubur yang dikenal dengan naman
sadranan atau besik merupakan salah satu bentuk akulturasi Islam dengan
Kebudayaan Jawa. Pandangan hidup orang Jawa merupakan perwujudan dari
kepercayaan terhadap adi kodrati, selain itu masyarakat Jawa juga menghormati
nenek moyang yang sudah meninggal. Sikap hormat tersebut diungkapkan dengan
cara mengunjungi nenek moyang untuk minta berkah atau doa agar mendapat
kemudahan dalam menjalani lingkaran kehidupan. Mengunjungi makam biasanya
dilakukan sebelum mengadakan salah satu upacara lingkaran hidup dalam
keluarga atau upacara yang berhubungan dengan hari besar Islam. Dalam
masyarakat Jawa umumnya, ketika mengunjungi makam yang penting ketika
14 Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranga Warsito: Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 2.
7
masa nyadran. Pada waktu nyadran, makam-makam dibersihkan dan ditaburi
bunga (nyekar) yang kemudian diacakan doa sambil membakar dupa.
Tujuan upacara tradisi nyadran, yaitu untuk mengenang roh leluhur,
mengirim doa untuk arwah leluhur dan keluarga yang mendahului kita. Dalam
upacara tradisi nyadran tersebut khususya di dalam berbagai bentuk jenis aktivitas
dan makanan yang disajikan tersirat nilai-nilai atau berupa nasihat untuk
masyarakat dan bangsa. Nasihat tersebut dibungkus dalam bentuk simbol-simbol
atau lambang-lambang , sehingga perlu diungkapkan agar lebih mudah dipahami
dan dimanfaatkan oleh masyarakat pendukungnya. Selain berupa lambang-
lambang, terdapat pula unsur religi yang mendasari perilaku masyarakat
melaksanakan upacara tradisi nyadran di Dusun Tritis Kulon, Girikerto, Turi,
Sleman.
Upacara nyadran dalam waktu yang bersamaan sering disebut Ruwah
Rasul. Upacara sakral ini dilaksanakan secara teratur yaitu setahun sekali. Jadi
secara periodik, tradisi nydran pada umumnya dilaksanakan ketika menjelang
puasa, tepatnya sehari sebelum puasa Ramadhan. Pelaksanan upacara sakral ini
biasanya berlangsung dari pagi sampai sore hari. Berbagai ritual dilaksanakan
dalam upacara ini, antara lain: menyiapkan makanan, upacara kenduri rumah,
kenduri bangsal makam dan diakhiri kenduri di perempatan jalan atau di pelataran
rumah warga. Setiap kali diadakan acara ini, setiap keluarga menyiapkan sesajen
pokok yang berupa ingkung (ayam), nasi, dan pisang raja. Perlengkapan tersebut
berupa lauk-pauk dan jajan pasar. Semua makanan ditata di dalam tenong yang
terbuat dari anyaman bambu, kemudian dikumpulkan dan didoakan oleh Modin
8
(tokoh agama). doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak
lainnya mengamini. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang
digelar. Pada saat itu ada yang berbagi makanan, ada yang asyik ngobrol dengan
orang di samping kanan-kirinya. Acara begitu meriah dan berlangsung tertib.
Berdasarkan pengamatan awal, diperoleh informasi bahwa masyarakat
Dusun Tritis Kulon, Girikerto, Turi Sleman hingga saat ini masih menjaga
kelangsungan upacara tradisi nyadran. Masyarakat Dusun Tritis Kulon dengan
rutin menyelenggarakan upacara tradisi nyadran setiap tahun sekali. Masyarakat
Dusun ini memandang bahwa upacara tradisi nyadran sebagai salah satu
kebudayaan yang diwariskan oleh para leluhur dan harus dilestarikan . tradisi ini
sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak nenek moyang mereka. Bahkan sudah
sejak kapan dimulainya tradisi nyadran juga belum diketahui secara jelas karena
terlampau lama.
Tradisi nyadran di Dusun Tritis Kulon dilaksanakan diberbagai tempat
khusus, yaitu di rumah penduduk yang memiliki hajatan, di makam para anggota
keluarga dan di tempat-tempat yang dianggap keramat di Dusun Tritis Kulon.
Namun, lebih utama diadakan di makam-makam tua. Perlengkapan yang
digunakan ketika tradisi nyadran memiliki makna-makna khusus. Masyarakat
Dusun Tritis Kulon memiliki keyakinan bahwa jika tidak melakukan tradisi
tersebut maka proses apapun yang berlangsung di desa tersebut akan terganggu
dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Di samping hal di atas, upacara nyadran pada umumnya diselenggarakan
untuk kepentingan bersama seluruh warga, sehingga oleh masyarakat
9
diselenggarakan secara besar-besaran dengan gotong-gotong. Tempat-tempat yang
yang akan dijadikan pusat upacara dibersihkan secara bersama-sama oleh semua
warga. Masyarakat percaya bahwa melalui upacara nyadran masyarakat akan
diberi keselamatan, ketentraman, dan perlindungan kepada mereka. Tradisi
nyadran juga mengandung makna simbolik dan nilai-nilai filofosis yang perlu
dipahami oleh masyarakat yang bersangkutan.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah.
Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah.
Dalam pandangan falsafah jawa, bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat
yang tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur.
Selama bulan Ruwah itu masyarakat Jawa mengadakan upacara Nyadran
(berasal dari kata Sraddha), mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan
makam dan menabur bunga. Upacara Sraddha ini sudah dilakukan sejak jaman
Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga
mengisahkan upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya
Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah
Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga
dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap
bulan Ruwah.
Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakan
dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya
menyelenggaran upacara Nyadran secara umum (komunal) yang diselenggarakan
pada siang hari hingga sore. Masingmasing warga membuat tumpeng kecil yang
10
kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk sama-sama mengadakan do’a dan
makan bersama (kenduri). Ada juga yang langsung dibawa ke makam dan
mengadakan do’a bersama di makam.
Menu makanan yang dipersiapkan biasanya berupa nasi gurih dan lauknya.
Sebagai sesaji, terdapat makanan khas yaitu ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis
makanan ini dipercaya memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang
kesalahan (khotho’an), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem
sebagai simbol permintaan maaf. Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di
Yogyakarta dan sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir
dalam setiap upacara/slametan yang terkait dengan kematian. Makna yang
terkandung dalam sesaji ini adalah agar arwah mendapatkan tempat yang damai di
sisi-Nya.
Bertolak dari sejarah yang melatarbelakangi dilaksanakannya upacara
tradisi nyadran, yaitu berupa cerita rakyat yang masih bersifat lisan, maka sangat
diperlukan adanya pendokumentasian terhadap cerita tersebut. Apabila tidak
segera didokumentasikan, dikhawatirkan cerita tersebut mengalami perubahan
sesuai dengan pengetahuan penceritanya. Hal ini sangat penting guna menjaga
kelestarian upacara tradisi nyadran di masa mendatang. Apalagi, untuk Dusun
Tritis Kulon, ini merupakan langkah pertama dalam usaha mendokumentasikan
upacara nyadran dalam bentuk bahan penelitian ini.
Tradisi nyadran merupakan upacara sakral yang di dalamnya terdapat
berbagai jenis aktivitas dan makanan yang mengandung pesan dan nasihat untuk
masyarakat, khususnya untuk penyelenggara. Pesan atau nasihat tersebut dikemas
11
dalam bentuk simbol-simbol (lambang), baik dalam bentuk maupun kativitas atau
tindakan, bisa saja berupa makanan yang disajikan dalam upacara tersebut. Bagi
penulis simbol-simbol tersebut merupakan suatu hal yang unik dan menarik untuk
diteliti karena terdapat nilai-nilai filosofis yang dapat digali di dalamnya, nilai-
nilai filosofis dalam simbol-simbol dalam upacara nyadran tersebut perlu
diungkapkan agar lebih dipahami dan manfaatkan oleh masyarakat Dusun Tritis
Kulon. Penelitian ini khususnya akan mengungkap nilai-nilai filosofis berupa
kegiatan atau aktivitas yang dilakukan dalam upacara tersebut.
Selain dasar-dasar latar belakang di atas, penulis juga menemukan sisi
menariknya nyadran di Dusun Triris Kulon, yaitu mengenai unsur-unsur religi
(kepercayaan) yang mendasari masyarakat Dusun Triris Kulon untuk
melaksanakan upacara sakral tersebut. Unsur-unsur religi tersebut berupa nilai-
nilai yang berhubungan dengan Tuhan. Namun, ada juga nilai-nilai yang berupa
kepercayaan terhadap para leluhur Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto,
Kecamatan Turi Kabupaten Sleman. Meskipun mayoritas masyarakat Dusun Tritis
Kulon memeluk agama Islam, mereka sangat menjunjung tinggi budaya Kejawen
dan masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap roh para leluhur sebagai
makhluk yang hidup berdampingan dengan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
12
1. Apa latar belakang sejarah dan perkembangan upacara tradisi
nyadran di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan
Turi, Kabupaten Sleman?
2. Bagaimanakah prosesi upacara nyadran berlangsung?
3. Apa makna dan nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam tradisi
nyadran yang dapat diwariskan kepada penerus selanjutnya?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian tersebut adalah:
1. Untuk mengetahui proses/tata cara ritual tradisi nydran di Dusun Tritis
Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.
2. Mengetahui latar belakang dan perkembangan upacara tradisi nyadran
di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi,
Kabupaten Sleman.
3. Mengetahui makna dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam
upacara tradisi nyadran di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto,
Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.
Sedangkan kegunaan penelitian tersebut adalah:
1. Menambah wawasan tentang tradisi yang berkembang di Jawa.
2. Mengingatkan kembali bahwa masih banyak budaya Indonesia yang
masih terpendam dan layak untuk dikembangkan.
3. Diharapkan penulisan tersebut dapat diambil manfaat khususnya oleh
pihak yang bersangkutan, dan masyarakat pada umumnya.
13
4. Sebagai usaha memenuhi syarat yang diberlakukan untuk meraih gelar
kesarjanaan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, Filsafat Agama Dan
Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang tema nyadran, secara pustaka sudah banyak yang
menuliskannya. Beberapa penulis hasil penelitian mengenai upacara tradisi
nyadran adalah: tulisan skripsi Runtung Priyadi, dari Fakultas Adab jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul
Budaya Nyadran pada Masyarakat Gerbosari, Samigaluh, Kulonprogo, D.I.
Yogyakarta pada tahun 1995.15 Dalam skripsi ini dapat diketahui kesimpulannya
mengenai pandangan masyarakat Gerbosari terhadap tradisi nyadran.
Menurutnya, terdapat perbedaan mengenai tradisi sakral tersebut yaitu golongan
yang mendukung dan golongan yang kurang mendukung. Golongan yang
mendukung adalah kelompok Nahdhatul Ulama (NU) yang menganggap bahwa
tradisi nyadran merupakan warisan nenek moyang yang masih dijlankan sampai
sekarang, karena tradisi tersebut mengalami perubahan dengan adanya masuknya
unsur-unsur Islam, sedangkan golongan yang kurang mendukung kelompok
Muhammdiyah yang beranggapan bahwa tradisi nyadran merupakan perbuatan
bid’ah dan merupakan bukan budaya Islam melainkan budaya Hindu.
15 Runtung Priyadi, “Budaya Nyadran Pada Masyarakat Gerbosari, Samigaluh,
Kulonprogo, D.I. Yogyakarta”, skripsi Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995.
14
Skripsi lain tentang nyadran ditulis oleh Nur Wahyuningrum dari Fakultas
Adab Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga tahun 2005. Skripsi
ini berjudul Tradisi Sadranan di Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Kabupaten
Boyolali.16 Dalam tulisan ini diperoleh informasi mengenai tradisi upacara
nyadran di Boyolali dengan menggunakan perspektif sosial-keagamaan.
Hal senada di atas juga di tulis oleh Riyadi dari Fakultas Adab Jurusan
Sejarah Kebudayaan Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Aspek-
Aspek Budaya Nyadran di Makam Sewu Wirirejo Pondok Bantul (1992-2000)
pada tahun 2000.17 Dalam skripsi ini Riyadi mencatat tentang berbagai aspek
perubahan yang ada dalam budaya nyadran dengan melihat berbagai aspek, baik
aspek sosial, budaya, keagamaan, serta mengalisis tentang perubahan-perubahan
yang ada.
Jauh lebih lain dari skripsi di atas, terdapat tulisan skripsi Yustina Dian
Parmadi yang berjudul, Upacara Tradisi Nyadran di Desa Bulusan Kecamatan
Karangdowo Kabupaten Klaten (Kajian Makna Simbolik dan Nilai Religius)
tahun 2003.18 Dalam skripsi ini,Yustina menguraikan secara detail aspek penting
dalam upacara nyadran di Desa Bulusan tersebut. Hingga pada kesimpulan,
bahwa tradisi nyadran yang dilaksanakan di desa penelitiannya tersebut memiliki
beberapa karakter berbeda dari segi pelaksanaan nyadran itu sendiri. Bagi Desa
Bulusan, nyadran dilaksanakan tidak hanya di makam saja, tetapi di tempat-
16 Nur Wahyuningrum, “Tradisi Sadranan di Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali”, skripsi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005. 17 Riyadi, “Aspek-Aspek Budaya Nyadran di Makam Sewu Wirirejo Pondok Bantul (1992-
2000)” skripsi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2000. 18 Yustina Dian Parmadi, “Upacara Tradisi Nyadran Di Desa Bulusan Kecamatan
Karangdowo Kabupaten Klaten (Kajian Makna Simbolik Dan Religius)” Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013.
15
tempat lain yang bernilai sakral dan keramat. Selain itu, pelaksanaan nyadran
tidak hanya ketika menjelang puasa Ramadhan, tetapi ketika ada uapacara
pernikahan, upacara nyadran pun mengikutinya.
Perbedaan penting dari hasil skripsi di atas dengan penelitian penulis
adalah terletak pada objek kajiannya. Hasil penelitian Yustina di atas mengurai
tradisi nyadran dari aspek makna simbol dan nilai religius semata, sementara
penelitian penulis lebih kepada makna dan nilai-nilai filosofis yang terkandung
dalam semua aspek tradisi nyadran.
Dari skripsi di atas, maka bahan penelitian penulis dengan skripsi di atas
memiliki perbedaan yang mencolok. Baik segi tempat penelitian, fokus kajian,
dan hasil kajian. Dalam penelitian ini, penulis akan lebih memfokuskan pada
prosesi upacara dan makna dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam
upacara nyadran di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi,
Kabupaten Sleman.
E. Landasan Teori
Scheler berpendapat bahwa etika yang mendasarkan diri pada nilai
material di luar perintah moral itu tidak harus bersifat relatif. Perintah moral
bukanlah forma kosong, melainkan berelasi dengan nilai di luarnya. Maka nilai di
luar itulah yang sebenarnya mendorong tindakan etis. Perbuatan baik bukan
sekedar menuruti perintah bukta, melainkan perbuatan yang ditarik kepada nilai
material di luar kita. Obyek yang menjadi pamrih seperti yang dinilai Kant bisa
saja bersifat independen, tak berubah, obyektif yang dapat menempati obyek
16
apapun. Nilai itu disebut indah, baik, benar. Dsb. Di dalam teori nilai scheler
mengkelompokan menjadi empat tipologi nilai yaitu, Nilai Kesenangan, Nilai
Vitalitas/ Kehidupan, Nilai Spiritual dan Nilai Kesucian.19
Agama berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul dan
tidak bisa dipecahkan secara empiris, adanya keterbatasan dan ketidakpastian.
Agama mempunyai peran dalam masyarakat, untuk mengetahui peran agama
harus mengetahuai tiga aspek yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian,
sehingga agama dan aspek-aspek itu saling berhubungan.20 Tradisi nyadran yang
dilaksanakan di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi,
Kabupaten Sleman merupakan kegiatan yang dianggap sakral yang dilaksanakan
oleh sebagian besar masyarakat di Kecamatan Turi, tradisi tersebut tidak bisa
lepas dari peran sosial agar tetap bisa berkembang dalam masyarakat.
Menurut adat Kejawen, Sadranan berarti berziarah ke kuburan atau pergi
ke makam nenek moyang dengan membawa kemenyan, bunga dan air doa.21
Sebelum berziarah ke kubur biasanya masyarakat terlebih dahulu membersihkan
makam secara bersama-sama.
Manusia senantiasa hidup berorietasi dengan alam dan lingkungannya.
Hubungan tersebut timbal-balik dan saling mempengaruhi, interaksi sosial ini
merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas yang disebut juga
19 Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologi Max Scheler, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
hlm.34.
20 Dadang Rahmat, Sosiologi Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2002), hlm. 130-131. 21 Rahmat Subagyo, Agama dan Alam Kerohanian Asli Indonesia, (Jakarta: Yayaysan
Cipta Loka Caraka, tt), hlm. 130.
17
“sistem sosial”. Di dalamnya mengikuti pola dan aturan tertentu, misalnya dalam
upacara tradisi.22
Tradisi-tradisi yang masih berkembang pada masyarakat Jawa merupakan
salah satu kebudayaan yang tetap terpelihara setelah Islam masuk. Tradisi adalah
kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun yang masih dikerjakana dalam
masyarakat melalui penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan cara yang paling baik dan benar.23 Penyelenggaraan upacara adar atau
aktivitas riual mempunyai arti bagi warga yang bersangkutan, selain sebagai
permohonan terhadap roh leluhur dan rasa syukur terhadap Tuhan juga sebagai
sarana sosialisasi dan pengukuhan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan berlaku
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.24
Penelitian ini berusaha membahas tentang proses atau tata cara
pelaksanaan tradisi nyadran dan makna dan nilai-nilai filosofis dalam tradisi
nyadran di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman sehingga penulis menggunakan teori Fungsionalisme. Dalam teori ini,
memiliki paradigma mengenai fungsi sosial, yaitu:25
1. Fungsi sosial dari adat, pranata sosial dan unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi pertamanya mengenai pengaruh atau efek terhadap ada, pranata
sosial dalam masyarakat.
22 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 17. 23 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bali Pustaka, 1990), hlm. 959. 24 Tashadi, Upacara Tradisional DIY, (Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Daerah, 1992), hlm. 2. 25 Koentjaraningrat, Seajarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1981), hlm. 167.
18
2. Fungsi sosial dari adat, pranata sosial dan unsur kebudayaan yang hendak
memberikan pengaruh terhadap kebutuhan suatu adat, pranata sosial guna
mencapai maksud-maksud tertentu.
3. Fungsi sosial dari adat atau pranata sosial untuk berlangsungnya suatu sistem
sosial tertentu.
Dari penjelasan di atas, maka penulis dapat mengatakan bahwa
kebudayaan muncul dari berbagai aspek dan mengandung banyak aspek. Adapun
aspek tersebut adalah aspek sosial, agama, dan ekonomi. Di Dusun Tritis Kulon,
Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman,, Mengacu pada teori di
atas, maka dalam tradisi nyadran di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto,
Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman memilki tujuan, yaitu untuk mempererat rasa
sosial terhadap sesama dan juga adanya pengaruh yang ditimbulkan dari tradisi
tersebut.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu
penelitian yang memfokuskan diri pada gejala-gejala umum yang ada dalam
kehidupan manusia. Secara praktek, penelitian ini juga menggunakan nilai
aksiologi Max Scheller.26 Masalah mengenai nilai dipelajari dalam cabang filsafat
yang disebut dengan aksiologi.
Nilai menurut Max Scheller adalah kualitas yang tidak tergantung pada
pembawaannya yang telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman
26 Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheller, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
hlm. 1-2.
19
inderawi dahulu.27 Dengan begitu, kajian nilai juga masuk dalam kajian
kebudayaan, maka dalam penelitian kebudayaan sebagai upaya menemukan hasil
yang objektif, memiliki beberapa teknk sebagai berikut:
1. Teknik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data tersebut akan dilakukan melalui:
a. Observasi langsung
Observasi langsung atau pengamatan langsung dilakukan untuk
memberikan informasi atau suatu kejadian yang tidak dapat
diungkapkan dan telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat. Selain
iu juga dapat dipergunakan untuk memperoleh fakta nyata tentang
tradisi nyadran yang dilakukan menjelang mendekati bulan puasa
Ramadhan.
b. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu cara pengalisaan terhadap fakta-fakta yang tersusun
secara logis dari dokumen tertulis maupun tidak tertulis yang
mengandung petunjuk-petunjuk tertentu.
c. Interview (Wawancara)
Untuk mengumpulkan sumber tulisan, penulis menggunakan metode
wawancara dengan masyarakat, pejabat pemerintah, serta orang-orang
yang terlibat dan mengetahui acara nyadran. Wawancara adalah suatu
kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan data dengan cara
27 www.cacingabangan.blogspot.com
20
melakukan tanya jawab lisan secara bertatap muka dengan siapa saja
yang dikehendaki.28
2. Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan analisa kualitatif yang berupa deskripsi
mendalam terhadap fenomena yang terjadi dibalik tradisi nyadran. Dalam kaitan
ini diterapkan konsep analisa dengan mengadakan pengamatan terlibat, kemudian
menanyakan kepada masyarakat pendukung kebudayaan terebut untuk
mengungkap makna dan nilai-nilai filosofis, sesuai dengan kategori masyarakat
setempat.29 Peneliti selanjutnya melakukan refleksi dengan informan terhadap
sikap, ucapan, dan tindakan ritual, sehingga terjadi penafsiran intersubjektif.
Sajian data analisis di lakukan secara deskriptif yang medalam. Proses
analisis data dilakukan terus menerus baik di lapangan maupun setelah di
lapangan. Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode, dan mengkategorikan data. Setelah itu baru
dicari tema-tema budaya yang menjadi fokus penelitian. Fokus penelitian ini
diperdalam melalui pengamatan dan wawancara berikutnya.
Dalam analisis ini yang berbicara adalah data dan peneliti tidak melakukan
penafsiran. Jika ada penafsiran, adalah hasil pemahaman dari interpretasi
informan terhadap beberapa hal yang berkenaan dengan tradisi nyadran. Dengan
cara ini akan terlihat makna dan nilai filosofis dalam tradisi nyadran bagi
masyarakat pendukungnya tanpa intervensi peneliti. Hal ini dilandasi asumsi,
28 Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Karnia Kalam
Semesta, 2003), hlm. 58. 29 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2003), hlm. 35.
21
karena mereka yang masih mempertahankan dan melaksanakan tradisi diharapkan
dapat mengetahui makna dan nilai filosofis bagi individu sebagai anggota
masyarakat.30
3. Penulisan Laporan
Penulisan laporan merupkan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan
hasil penelitian budaya yang telah dilakukan. Penulis berusaha menyajikan secara
sistematis agar mudah dimengerti dan dipahami oleh pembaca. Penulisan laporan
yang berupa menyeleksi, pemfokusan, simplikasi, pengabstraksian dan
transformasi data mentah yang ditulis dala catatan lapangan.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan mengenai studi tentang tradisi nyadran di Dusun Tritis
Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, akan disajikan
dalam bentuk sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Dalam pembahasan ini terdiri dari subbahasan
mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab II gambaran umum Dusun Tritis Kulon. Dalam bahasan ini terdapat
pembahasan mengenai letak geografis, sosial budaya, keagamaan dan kondisi
pendidikan.
30 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, hlm. 242-243.
22
Bab III tradisi Nyadran dan proses ritual. Dalam hal ini membahas tentang
pandangan umum tentang tradisi nyadran dan diakhiri dengan pembahasan
prosesi ritual nyadran.
Bab IV makna dan nilai-nilai filosofis dalam tradisi nyadran. Dalam hal
ini penulis membahas tentang makna dan filosofis yang terkandung dalam tradisi
nyadran yang terdiri dari pembahasan mengenai simbol-simbol dalam ritual
nyadran dan makna dan nilai-nilai filosofis dalam ritual nyadran.
Bab V kesimpulan. Dalam bagian ini terdiri dari dari penutup dan saran-
saran singkat berdasarkan pada hasil pembahasan yang dilakukan selama proses
awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang diperoleh penulis maka terjawblah
permasalahan-permasalan yang diteliti oleh penulis tentang tradisi nyadran di
Dusun Tritis Kulon. Jawaban-jawaban dari permasalahn tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Tradisi nyadran merupakan salah satu tradisi yang masih berkembang
di Dusun Tritis Kulon, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi,
Kabupaten Sleman. Nyadran dilaksanakan setahun sekali pada hari
Minggu, setelah tanggal 20 bulan Ruwah. Nyadran berasal dari kata
sadran yang maknanya ziara kubur. Upacara tradisi nyadran memiliki
latar belakang sejarah berupa cerita lisan yang diturunkan dari generasi
ke generasi melalui media lisan. Sesuai dengan perkembangan
masyarakat saat ini memandang tradisi nyadran sebagai wujud
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan, kesehatan, dan
rejeki yang telah diterima selama ini.
2. Rangkaian acara yang dilaksanakan dalam upacara tradisi nyadran
antara lain bersih desa dan makam, tabur bunga, malam tirakatan,
kentongan, pembacaan Al-Qur’an, penyembelihan kambing, kenduri
rumah, kenduri bangsal makam, dan kenduri pelataran rumah. Selain
88
itu, ada pula aktivitas makan bersama setelah kenduri didoakan
bersama.
3. Beberapa makna dan nilai-nilai filosofis dalam tradisi -nilai filosofis
dalam tradisi nyadran terdiri dari makna dan nilai filosofis dalam ritual
upacara nyadran. Dalam hal ini terdiri: 1) makna membersihkan desa
dan makam yang berarti agar memupuk rasa kebersamaan dan
mengasah rasa gotong royong masyarakat. 2) Tabur bunga bermakna
sebagai peringatan kepada para leluhur yang sudah mendahului. 3)
malam tirakatan bermakna sebagai kesempatan untuk mendoakan para
leluhur agar berada di sisi Tuhan di tempat yang baik. 4) kentongan,
bermakna untuk memanggil masyarakat guna memulai acara. 5).
Membaca ayat suci Al-Qur’an yang berarti untuk menjaga kesucian
tradisi upacara dan memberikan ketenangan bagi pembacanya. 6)
penyembelihan kambing, bermakna sebagai syukuran dan bentuk kerja
sama dan sama kerja dalam masyarakat. 7) kenduri rumah, bermaksud
untuk rasa syukur kepada Tuhan dan membagikan sedekah kepada
orang lain. 8) kenduri di bangsal makam bermakna untuk masyarakat
mengetahui akan ajal yang akan menjemput dan sebagai bentuk rasa
kebersamaan dengan saling berbagi dan bersedekah.9) makan bersama,
bermakna sebagai bentuk sedekah kepada orang lain, berbagi
kebahagiaan, dan saling bertoleransi.
Selanjutnya makna dan nilai-nilai filosofis dalam makanan upacara
tradisi nyadran. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
89
bahwa: tumpeng sebagai tanda penghormatan kepada yang dituakan
dan sekaligus sebagai rasa syukur bersama. Nasi ambeng, sebagai
permohonan keselamatan. Nasi putih, melambangkan kesucian.
Ingkung ayam, sebagai rasa pasrah diri kepada Tuhan. Bubur sebagai
ajang mencari nafkah agar tidak terhalangi oleh apapun. Bunga,
sebagai lambang permohonan dari keharuman. Pisang raja bermakna,
sebagai seorang raja yang hidup terhormat. Jajan pasar, bermakna
sebagai gambaran keinginan manusia. Buah-buahan bermakna sebagai
ucapan rasa terima kasih kepada Tuhan. Daun pisang bermakna
sebagai kesuburan, dan air tawar sebagai lambang keselamatan.
Terakhir, makna dan nilai-nilai filosofis dalam tradisi nyadran. Dalam
hal ini memiliki makna diantaranya: 1) melestarikan warisan nenek
moyang. 2) wujud terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. 3)
perwujudan sikap rukun, 4) membangkitkan kedewasaan kehidupan
beragama, 5) perwujudan sikap keseimbangan kehidupan sosial.
B. Saran-Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengemukakan saran sebagai
berikut:
1. Nyadran merupakan salah satu tradisi yang masih berkembang di
Kabupaten Sleman, khususnya di Dusun Tritis Kulon. Hendaknya
masyarakat Dusun Tritis Kulonn saat ini memberikan pemahaman
tentang tradisi nyadran kepada generasi muda dusun secara
90
menyeluruh agar upacara nyadran dapat terus dilaksanakan dan
dilestarikan.
2. Upacara tradisi nyadran memiliki latar belakang yang panjang.
Hendaknya guru mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya yang
berada di Dusun Tritis Kulon dapat memanfaatkan cerita tersebut
sebagai alternatif bahan ajar sastra di sekolah.
3. Upacara tradisi nyadran merupakan salah satu bentuk kebudayaan
lokal yang turun temurun dan memiliki nilai dan makna filosofis
tertentu. Pemerintah daerah Sleman dapat lebih mempublikasikan hal-
hal yang berkaitan dengan nyadran, karena upacara tradisi nyadran di
Dusun Tritis Kulon ini dapat dijadikan aset wisata yang menarik.
C. Penutup
Demikian skripsi ini saya buat dengan sungguh-sungguh, mohon maaf jika
terdapat kesalahan, manusia hanyalah berusaha dan kesempurnaan hanya milik
Allah SWT.
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Rusli Karim (ed.). Metodologi Penelitian Agama: Sebuah
Pengantar.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991.
Abdurrahman, Dudung. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Karnia Kalam
Semesta, 2003.
Amin, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa.Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Anomim, http://Noviana Wijayati.Blogspot.com/2011/04/tradisi-Nyadran-
sebagai-Transformasi Agama-sosial-dan-budaya-html. Diakses 20 Juni
2015 jam 20.47 WIB.
Anton, dkk. Laporan Akhir Kelompok KKN IAIN angkatan ke 48.Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Asy’ari, Musa. Agama, Kebudayaan dan Pembangunan. Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988.
Bilal, M. Wasim. Sinkretisme Dalam Kontak Agama dan Budaya di Jawa, Jurnal
Al-Jami’ah, No. 55, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994.
Bilal, M. Wasim. Penyebaran Agama di Jawa dan Problematika-Problematika
Sinkretisme, Jurnal Dakwah, No. 1 Edisi Juli-Desember, 2000.
Cock, Tim G Bab. Kampung Jawa Tondano, Religion and Cultural Identity.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984.
Data Monograf Kelurahan Girikerto Tahun 2003.
Depdikbud. Aneka Ragam Khazanah Budaya Nusantara III, (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan, 1991.
---------------. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Bali Pustaka, 1990.
92
Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2003.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1983.
Tri Handayani, “Tradisi Nyadran dan Perubahannya (Studi Kasus di Desa
Daleman Jurangjero, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten)”
Laporan Penelitian. Semarang: Lemabaga Penelitian Universitas
Diponogoro, 1995.
Herawati. Wacana Humor Dalam Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai Pustaka, 2007.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.Yogyakarta: Hanindita,
2000.
Hidayah, Nurul. Budaya Jawa. Yogyakarta: Idea Press, 2009.
Khoiriyah, “Budaya Nyadran dalam Proses Adat Jawa Islam” At-Tarbiyah. Vol.7
No.1, Mei-Oktober 2008.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Aksara
Baru, 2000.
------------------------ Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
-----------------------. Seajarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press, 1981.
Laksono, P.M. Tradisi Dalam Struktrur Masyarakat Jawa Kerajaan Dan
Pedesaan: Alih-Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1985.
Mumfangati, Titi. “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa”,
Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. II, No. 3 Juni 2007.
Murdiajati dan Lily, Serba-Serbi Tumoeng Kehidupan Masyarakat Jawa, (Jakarta:
Gramedia, 2010.
93
Marsono, Waridi Hendosaputra. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.Yogyakarta:
Yayasan Studi Jawa, 1999.
Mulder, Zoet J.P, Old Javanese, English Dictionary, 2 Vols S (Grahenhage:
Martinus Nijhoff, 1982.
Parmadi, Yustina Dian. “Upacara Tradisi Nyadran Di Desa Bulusan Kecamatan
Karangdowo Kabupaten Klaten (Kajian Makna Simbolik Dan Religius)”.
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2013.
Partokusmo, Karkono Kamajaya. Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam.
Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia, 1995.
Pujileksono, Sugeng. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu
Antropologi.Malang: UMM Press, 2006.
Purwadi. Budi Pekerti Jawa: Tuntunan Luhur Budaya Adiluhung. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
-------------- Sejarah Walisanga.Yogyakarta: Ragam Media, 2009.
Priyadi, Runtung. “Budaya Nyadran Pada Masyarakat Gerbosari, Samigaluh,
Kulonprogo, D.I. Yogyakarta”. Skripsi Fakultas Adab IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1995.
Rahmat, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Rosdakarya, 2002.
Riyadi.“Aspek-Aspek Budaya Nyadran di Makam Sewu Wirirejo Pondok Bantul
(1992-2000)” Skripsi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2000.
Salissa, Abdul Basir (dkk.). Al-Qur’an dan Pembinaan Budaya: Dialog dan
Transformasi. Yogyakarta: LESFI, 1993.
Sayahri, A. Implementasi Agama Islam pada Masyarakat Jawa. Jakarta: DEPAG,
1985.
94
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju, 2003
------------- Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranga Warsito: Suatu Studi
Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati.Jakarta: UI Press, 1988.
Sofwa, Ridin Wasit dan Mudiri. Islamisasi di Jawa: Wali Songo Penyebar Islam
di Jawa Menurut Penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Solikhin, Muhammad Ritual Kematian Islam Jawa.Yogyakarta: Narasi, 2010.
------------------------------- Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi,
2010.
Subagyo, Rahmat. Agama dan Alam Kerohanian Asli Indonesia. Jakarta:
Yayaysan Cipta Loka Caraka, tt.
------------------------------- Agama Asli Indonesia. Jakarta: PT Sinar Harapan,
1981.
Suyitno. Mengenal Upacara Tradisional Masyarakat Suku Tengger. Tengger:
Satu Buku, 2001.
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS, 2005.
Sylado, Remy. Novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifah. Solo: Tiga
Serangkai, 2008
Tashadi. Upacara Tradisional DIY, (Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Daerah, 1992.
Moh. Turmudi, “Sikap Masyarakat Muslim Terhadap Pengaruh Budaya Nyadran
(Analisis Positvisme Sosiologi August Comte di Wilayah Kecamatan
Rejoso Kabupaten Nganjuk)” Laporan Penelitian (Jakarta: Diktia Depag
RI, 2006.
Wahana, Paulus Nilai Etika Aksiologis Max Scheller. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
95
Wahyuningrum, Nur. “Tradisi Sadranan di Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali”. Skripsi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2005.
Wawancara dengan Bapak Suparjono, 12.35 WIB, Dusun Tritis Kulon, 22 Mei
2015.
Wawancara dengan K.H. Maimun Zubair, 18 Juni 2004 di akses di www.Al
Mihrab.com.
Wawancara dengan Bapak Jumadi, pada 13 Juni 2015.
Wawancara dengan Bapak Damyanto pada 17 Juni 2015.
Wawancara dengan Ibu Pawiro Sumarto pada 18 Juni 2015.
Wawancara dengan Bapak Ngadimin pada 18 Juni 2015.
Wawancara dengan Bapak Suharto pada 17 Juni 2015.
Wawancara dengan Bapak Eko, pada 23 Juni 2015.
Wawancara dengan Bapak Wiknyo pada 20 Juni 2015.
Wawancara dengan Bapak M. Ridwan, pada 25 Juni 2015.
Wawancara dengan Bapak Syamsul Arif, pada 21 Juni 2015.
www.suryadeputra.blogspot.com
www.cacingabangan.blogspot.com
Zoetmulder, P.J. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:
Djambatan 1983.
.
PANDUAN WAWANCARA
1. Bagaimana letak geografis Dusun Tritis Kulon?
2. Bagaimana keadaan sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan keagamaan
masyarakat Dusun Tritis Kulon?
3. Apa yang dimaksud dengan tradisi Nyadran yang ada di Dusun Tritis
Kulon?
4. Siapa yang melaksanakan Tradisi Nyadran?
5. Apa tujuan pelaksanaan Tradisi Nyadran?
6. Kapan dan dimana tradisi Nyadran itu biasa dilakukan?
7. Bagaimana prosesi tradisi Nyadran?
8. Apa saja perlengkapan atau sesaji yang digunakan pada tradisi ini?
9. Apa makna dari sesaji-sesaji itu?
10. Apa makna dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam semua upacara
Nyadran?
11. Apa doa yang dibaca saat melaksanakan tradisi Nyadran?
12. Bagaimana dampak tradisi Nyadran terhadap kehidupan keseharian Dusun
Tritis Kulon?
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Suparjo Umur : 51 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Jetis RT 06, Girikerto Turi
2. Nama : Pawiro Sumarto Umur : 75 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Tritis RT 04 Girikerto Turi
3. Nama : Jumadi Umur : 25 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Ngandong RT 01 Girikerto Turi
4. Nama : Damyanto Umur : 35 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Ngandong RT 04 Girikerto Turi
5. Nama : Ngadimin Umur : 51 tahun Pekerjaan : Bapak Dukuh Alamat : Ngandong RT 02 RW 01 Girikerto Turi
6. Nama : Suharto Umur : 64 tahun Pekerjaan : Pensiunan Alamat : Tritis RT 06 Girikerto Turi
7. Nama : Eko Umur : 25 tahun Pekerjaan : Mahasiswa Alamat : Ngandong RT 03 Girikerto Turi
8. Nama : Wiknyo Umur : 80 tahun
Pekerjaan : Petani Alamat : Ngandong RT 03 Girikerto Turi
9. Nama : M. Ridwan Umur : 23 tahun Pekerjaan : Pelajar/Mahasiswa Alamat : Ngandong RT 05 Girikerto Turi
10. Nama : Syamsul Arif Umur : 18 tahun Pekerjaan : Pelajar Alamat : Ngandong RT 05 Girikerto Turi
88
CURICULUM VITAE
Nama : Muhammad Luqmanul Hakim
TTL : Rembang,14 April 1988
Alamat Asal : Ds Tasikharjo RT 01 RW 01 Kec. Kaliori Kab Rembang
Alamat di Yogyakarta: Jln Brotowali 291a Catur Tunggal,Depok Sleman Yogyakarta
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Mahasiswa
No. Hp : 085747111963
Email : luqman46elhakim@gmail.com
Pendidikan :
1994-2000 : SD Negeri Tasikharjo,Kaliori,Rembang
2000-2003 : MTs Walisongo, Kaliori, Rembang
2003-2008 : Pondok Modern Darussalam , Gontor Ponorogo
2010-Sekarang: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Riwayat Organisasi :
2007-2008: Pengurus OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern)
2010-2011: Wakil ketua KRY (Keluarga Rembang Yogyakarta)
2012-2014; Pengurus IKPM cabang Jateng