Post on 13-Apr-2016
description
MAKALAH
UNDANG-UNDANG DAN KEBIJAKAN PETERNAKAN
“Kesehatan Masyarakat Veteriner”
Oleh :
Kelas A
Kelompok :
Siti Marlina Agustina 200110130054
Ezi Masdia Putri 200110130203
Muhammad Luthfi Ibrahim 200110130
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2015
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dunia peternakan adalah salah satu sektor yang sangat berpengaruh terhadap
kebutuhan hidup masyarakat, khususnya warga negara Indonesia. Dalam
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat banyak aturan atau sistem yang mengatur
dalam proses penyedian dan distribusi atau hal lainnya.
...................................................................................................
1.2. Tujuan
1. Mengetahui apa pengertian Kesmavet
2. Mengetahui Undang-undang dan Peraturan Pemerintah mengenai
Kesmavet
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesmavet
Istilah Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) atau dalam bahasa
Inggrisnya dikenal sebagai Veterinary Public Health (VPH) diperkenalkan
pertama kali oleh World Health Organization (WHO) dan Food Agriculture
Organization (FAO) pada laporannya the Joint WHO/FAO Expert Group on
Zoonoses pada tahun 1951.
Menurut Schwabe (1984), istilah Kesmavet mengarah kepada bidang
kesehatan masyarakat yang mana kedokteran hewan berkontribusi secara khusus.
Indonesia memasukkan istilah Kesmavet pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Definisi Kesmavet dalam UU tersebut adalah segala urusan yang berhubungan
dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Selanjutnya pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983.
Kesmavet merupakan penghubung antara bidang pertanian/peternakan dan
kesehatan. Ruang lingkup tugas dan fungsi kesmavet adalah administrasi dan
konsultasi, pencegahan penyakit zoonotik, higiene makanan, riset dan penyidikan
penyakit hewan dan zoonosis, serta pendidikan kesmavet. Secara garis besar,
tugas, dan fungsi kesmavet adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-
produk peternakan, serta mencegah terjadinya resiko bahaya akibat penyakit
hewan/zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat.
2.1.1 Ruang Lingkup dan Fungsi Kesmavet
1. Memberi masukan teknis dalam penyusunan peraturan perundangan,
kebijakan, pedoman, perencanaan strategis dan pelaksanaan dalam bidang
pengendalian dan pencegahan penyakit hewan dan manusia, sanitasi, higiene,
dan lingkungan;
2. Pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik atau zoonosis (penyakit yang
ditularkan Dari hewan ke manusia)
3. Higiene pangan dan keamanan pangan, termasuk pengendalian foodborne
illness (penyakit yang ditularkan melalui makanan).
4. Identifikasi dan evaluasi bahaya-bahaya (hazards) baik biologis, kimiawi, dan
fisik yang menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan
hewan;
5. Pendidikan kesehatan masyarakat.
6. Kerjasama antar instansi/badan dalam rangka menjamin kesehatan hewan,
manusia, lingkungan.
2.1.2 Tantangan Kesmavet :
1. Perubahan demografi (penduduk) dan dampak urbanisasi.
2. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat.
3. Perubahan industri dan teknologi.
4. Pariwisata.
5. Perdagangan bebas/global.
6. Mikrooganisme atau agen patogen baru (emerging disease), serta adaptasi dan
resistensi mikroorganisme.
7. Disaster medicine.
2.1.3 Isu Kesmavet
1. Penyakit zoonotik (zoonotik disease).
Penyakit zoonotik adalah penyakit yang dapat ditularkan antara hewan dan
manusia, seperti rabies, avian influenza, mad cow disease .Saat ini banyak
ditemukan penyakit zoonotik baru atau yang dikenal dengan istilah emerging
zoonotic diseases. Emerging zoonotic diseases didefinisikan sebagai penyakit
yang disebabkan oleh agen penyakit yang baru atau agen penyakit yang sudah
diketahui/dikenal sebelumnya namun muncul pada daerah/tempat yang baru atau
pada spesies lain yang sebelumnya tidak pernah terinfeksi. Pada satu dekade
terakhir ini dilaporkan bahwa 75% penyakit infeksius baru (emerging infectious
diseases) pada manusia disebabkan oleh agen penyakit (patogen) yang berasal
dari hewan atau produknya, yang berarti penyakit tersebut dikategorikan sebagai
penyakit zoonotik.
2. Keamanan Pangan (Food Safety)
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di dunia yang cepat maka
kebutuhan dan ketergantungan terhadap pangan juga meningkat cepat.
Diperkirakan bahwa sebelum tahun 2020 kebutuhan pangan meningkat mencapai
50%. Oleh sebab itu, perlu tindakan untuk menyediakan pangan yang aman dan
cukup bagi populasi dunia (sekitar 7 miliar orang).
3. Kesehatan Masyarakat (Public Health)
Perubahan dalam penggunaan lahan dan air, pengalihan hutan sebagai habitat
satwa liar untuk pertanian dan aktivitas manusia, sampah, polusi dan cemaran
berkontribusi terhadap ancaman dan degradasi sumberdaya alam yang tentunya
akan mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan. Selain itu perdagangan
global, transportasi masal, industrialisasi pengolahan panga, dan perubahan iklim
berkontribusi pula terhadap peningkatan tekanan dan penyebaran penyakit dan
pencemaran. Hal-hal tersebut mengancam kesehatan masyarakat.
4. Kesehatan Satwa Liar (Wildlife Health)
Sekitar 75% dari agen penyakit infeksius berasal dari infeksi endemis pada
satwa liar. Gangguan manusia terhadap habitat satwa liar mengundang agen
infeksius pada satwa liar menjadi patogen untuk populasi manusia. Dengan
demikian, sangatlah penting untuk mengidentifikasi "rute" agen penyakit tersebut
sampai menginfeksi manusia dan mengetahui dampaknya pada hewan sebagai
induk semang utama atau induk semang antara. Pentingnya peran satwa liar
dalam ekosistem memerlukan manajemen kerjasama yang peka dan terampil.
5. Resitensi Antimikrobial (Antimicrobial Resistance)
Kemunculan dan penyebaran resistensi antimikrobial diantara bakteri, virus
dan organisme penyebab sakit lainnya menjadi ancaman terhadap usaha melawan
penyakit infekius. Penyalahgunaan dan pemahaman yang kurang tentang
antimikroba di masa lalu telah menyebabkan evolusi alami organisme patogen
menjadi resisten. Hal ini yang menyebabkan kemampuan untuk melawan
organisme-organisme tersebut berkurang. Walau resistensi antimikrobial ini
belum diketahui pasti seberapa besar masalahnya.
2.2 Undang – undang Kesmavet
Undang-Undang dan Peraturan-peraturan pemerintah Tentang Kesehatan
masyarakat Veteriner, Pemotongan Ternak dan Kesehatan Daging. Merupakan
landasan hukum bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dalam kehidupan
masyarakat. Merupakan pedoman dan semua penduduk harus taat dan tunduk
terhadap semua pasal yang tertera di dalamnya.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang diberikan sanksi-
sanksi/hukuman yang setimpal. Dengan demikian maka kesehatan daging dan
kesehatan masyarakat pada umumnya dapat terlaksana secara baik. Berikut
undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur hal tersebut:
2.2.1 UU No. 6 Tahun 1967: ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan
kesehatan hewan.
a. Pasal 1 butir j: Kesmavet adalah segala urusan yang berhubungan langsung
dengan hewan dan bahan-bahan asal hewan yang secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan
manusia.
b.Pasal 1 butir k:Anthropozoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari
hewan ke manusia dan sebaliknya.
c. Pasal1butir l:Penyakit Hewan Menular adalah penyakit hewan yang
membahayakan oleh karena secara cepat dapat menjalar dari
hewan kepada hewan atau kepada manusia dan disebabkan oleh
virus, bakteri, cacing, protozoa dan parasit.
d.Pasal 19 ayat 2: Urusan-urusan kesmavet meliputi antara lain: urusan kesehatan
bahan makanan asal hewan dan urusan-urusan penyakit-
penyakit hewan yang termasuk anthropozoonosis.
e. Pasal 21 :Untuk kepentingan pemeliharaan kesehatan manusia dan
ketentraman bathin masyarakat sebagaimana termaksud pada
Pasal 19 ayat 2, maka dengan Peraturan Pemerintah diatur
ketentuan-ketentuan tentang:
I. a. Pengawasan Pemotongan Hewan.
b. Pengawasan Perusahaan Susu, Perusahaan Unggas dan Perusahaan Babi.
c. Pengawasan dan Pengujian Daging.
d. pengawasan Pengolahan Bahan Makanan yang berasal dari Hewan.
e. Pengawasan dan pengujian Bahan Makanan Asal Hewan yang Diolah.
f. Pengawasan terhadap “Bahan-bahan Hayati” yang ada sangkut pautnya
dengan hewan, bahan- bahan pengawetan makanan dan lain-lain.
II.a. Pemberantasan rabies pada anjing, kucing dank era, dan lain-lain
anthropozoonosis yang penting.
b. Pengawasan terhadap bahan-bahan dari hewan yaitu: kulit, bulu, tulang, kuku,
tanduk dan lain-lain.
c. Dalam pengendalian anthropozoonosis diadakan kerjasama yang baik antara
instansi-instansi yang langsung atau tidak langsung berkepentingan.
2.2.2. Staatsblad 1936 No. 614: Pemotongan ternak besar Betina Bertanduk.
Menurut PP ini, ternak besar betina bertanduk yaitu sapi dan kerbau
dilarang dipotong. Sapi dan kerbau betina dapat dipotong bila sudah diafkir oleh
petugas Dinas Peternakan. Sapi dan kerbau tersebut diafkir dengan memberikan
tanda cap bakar “S” pada salah satu pahanya, karena hal-hal berikut:
1. Ternak tersebut kebetulan memiliki sifat-sifat ras yang tidak sesuai dengan
jurusan peternakan yang dituju oleh penduduk di daerah tempat tinggal ternak
tersebut.
2. Ternak termaksud mempunyai cacat atau bentuk sedemikian rupa sehingga
pada waktu melahirkan kelak akan mengalami kesulitan, hambatan dan
sebagainya.
3. Ternak tersebut ternyata majir atau ada kemungkinan besar akan majir.
4. Ternak tersebut mempunyai warna yang menyimpang dari warna ras-nya.
5. Ternak tersebut menurut gigi-geliginya berumur lebih dari 8 tahun.
6. Ternak tersebut menurut lingkaran tanduknya sudah beranak/melahirkan
sekurang-kurangnya 5 kali.
7. Ternak tersebut bereksterior jelek.
Kemungkinan lain adalah bila ternak betina tersebut dipotong terpaksa
(Noodslacht) karena hal-hal berikut:
1. Mengamuk sehingga membahayakan orang dan barang.
2. Ditimpa kecelakaan berat.
3. Pencegahan kemungkinan meluasnya penyakit hewan menular.
4. Oleh suatu penyakit, jiwa hewan itu terancam.
Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk:
a. Melindungi populasi ternak sapid an kerbau.
b. Sedang dari aspek kesehatan, daging tersebut dapat diteruskan kepada
masyarakat konsumen bila dapat dipenuhinya syarat-syarat hygiene daging.
2.2.3 Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No.
18/1979 dan No. 5/Ins/Um/3/1979: Pencegahan dan pelarangan
pemotongan Ternak Sapi/Kerbau betina Bunting dan atau susu
Sapi/kerbau Betina Bibit.
Inti materi Instruksi bersama ini merupakan penegasan hal-hal yang
terkandung dalam Staatsblad 1936 No.614. Penegasan ini dianggap penting
karena terjadi kecendrungan penurunan populasi ternak sapid an kerbau periode
10 tahun terakhir.
2.2.4 Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Direktorat
Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian 1978-1985 Jilid I-VII.
Pedoman ini dikeluarkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen
Pertanian, Jilid I-VII tahun 1978-1985.
Pedoman ini memuat:
1. Pengenalan penyakit hewan menular
2. Penolakan, pencegahan, pemberantasan, pengobatan dan perlakuan hewan dan
daging.
Pedoman ini dimaksudkan sebagai bagian dari peraturan pelaksanaan yang
bersumber dari Undang-undang No. 6 tahun 1967.
Khusus bagi hygiene daging: Bab tentang perlakuan pemotongan hewan dan
daging merupakan pedoman yang sangat berharga.
2.2.5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1983: Tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Peraturan Pemerintah ini terdiri atas 8 Bab dan 30 pasal.
1. Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1)
Butir b: Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih atau dibunuh
dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara
lain daripada pendinginan.
Butir d: Usaha Pemotongan Hewan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
perseorangan dan/ atau badan yang melaksanakan pemotongan hewan di
rumah potong hewan milik sendiri atau milik pihak ketiga atau menjual
jasa pemotongan hewan.
Butir f: Zoonosa adalah penyakit yang dapat berjangkit dari hewan kepada
manusia atau sebaliknya.
2. Bab II : Pengawasan Kesehatan masyarakat Veteriner (Pasal 2-15)
Pasal 2:
Ayat 1: Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa
kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
Ayat 3: Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah pemotongan
hewan (RPH) atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh
pejabat yang berwenang.
Ayat 4: Perkecualian dari ayat 3 yaitu pemotongan hewan untuk keperluan:
keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan secara
darurat dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang
ditunjuknya.
Ayat 5:Syarat-syarat RPH, pekerja, pelaksanaan pemotongan , dan cara
pemeriksaan kesehatan dan pemotongan hrus memenuhi ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 3:
Ayat 1 butir a: Usaha pemotongan hewan untuk ppenyediaan daging kebutuhan
antar propinsi dan ekspor harus memperoleh surat izin usaha pemotongan
hewan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
Ayat 1 butir b: Antar kabupaten/kotamadya daerah TK.II dalam suatu daerah
TK.I: Surat izin dari Gubernur.
Ayat 1 butir c: Wilayah kabupaten/Kotamadya daerah TK. II: Surat Ijin dari
Bupati/walikota.
Pasal 4:
Ayat 1: Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperiksa
kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
Ayat 2:Daging yang lulus dalam pemeriksaan, baru dapat diedarkan setelah
terlebih dahulu dibubuhi cap atau stempel oleh petugas pemeriksa yang
berwenang.
Ayat 4:Larangan mengedarkan daging yang tidak berasal dari RPH kecuali pasal
2 ayat 4.
Ayat 5:Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.
3. Bab III : Pengujian (Pasal 16-20)
(cari....................................)
4. Bab IV : Pemberantasan Rabies (Pasal 21-25)
(cari....................................)
5. Bab V : Pengawasan dan Pengendalian Zoonosa lainnya (Pasal 26-27)
(cari....................................)
6. Bab VI : Ketentuan Pidana (Pasal 28)
(cari....................................)
7. Bab VII : Ketentuan Peralihan (Pasal 29)
(cari....................................)
8. Bab VIII : Ketentuan Penutup (Pasal 30)
(cari....................................)
III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA