Post on 16-Jan-2016
description
Makalah PBL Blok 21
Sistem Endokrin II
Penatalaksanaan Pasien dengan Graves Disease
Catherine Dorinda
NIM 102011293-A2
Fakultas Kedokteran Ukrida
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 1
Tahun Ajaran 2014-2015
Sistem Endokrin II
Penatalaksanaan Pada Pasien dengan Graves DIsease
Catherine Dorinda
NIM 102011293
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida
* Alamat korespondensi
Catherine Dorinda
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp 087889076189, e-mail : catherinedorindac@hotmail.com
A. PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid, terletak tepat di bawah laring pada kedua sisi dan sebelah anterior trakea,
merupakan salah satu kelenjar endokrin terbesar, normalnya memiliki berat 15 sampai 20 gram
pada orang dewasa. Tiroid mensekresikan dua macam hormone utama, yakni tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3). Kedua hormone ini sangat meningkatkan kecepatan metabolism tubuh.
Kelenjar tiroid juga menyekresikan kalsitonin, hormone yang penting bagi metabolism kalsium.
Kira – kira 93% hormone – hormone aktif metabolism yang disekresikan oleh kelenjar tiroid
adalah tiroksin dan 7% adalah triiodotironin. Akan tetapi, hampir semua tiroksin akhirnya akan
diubah menjadi triiodotironin di dalam jaringan, sehingga secara fungsional keduanya bersifat
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 2
penting. Secara kualitatif, fungsi kedua hormone ini sama, tetapi mereka berbeda dalam
kecepatan dan intensitas kerjanya. Triiodotironin kira – kira empat kali lebih kuat dari tiroksin,
namun jumlahnya di dalam darah jauh lebih sedikit dan keberadaanya di dalam darah jauh lebih
singkat.
Yodium dibutuhkan untuk pembentukan tiroksin. Untuk membentuk tiroksin dalam jumlah
normal, setiap tahunnya dibutuhkan kira – kira 50mg yodium yang ditelan dalam bentuk iodide,
atau kira – kira 1mg/minggu. Agar tidak terjadi deffisiensi iodium, garam dapur yang umum
dipakai diionisasi dengan kira – kira bagian natrium iodide untuk setiap 100.000 bagian natrium
iodide.
Pembentukan dan proses kimia pembentukan tiroksin dan triiodotironin. Sel – sel kelenjar
tiroid merupakan sel kelenjar khas yang menyekresi protein. Retikulum endoplasma dan alat
golgi mensintesis dan menyekresi molekul glikoprotein besar yang disebut tiroglobulin dengan
berat molekul 335.000 ke dalam folikel.
Setiap molekul folikel mengandung sekitar 70 asam amino tirosin dan tiroglobulin
merupakan substrat utama yang bergabung dengan iodide untuk membentuk hormone tiroid.
Jadi, hormone tiroid dibentuk di dalam molekul tiroglobulin. Hormone tiroksin dan triiodotironin
dibentuk dalam asam amino tirosin, yang merupakan sisa bagian dari molekul tiroglobulin
selama sintesis hormone tiroid dan bahkan sesudahnya sebagai hormone yang disimpan di dalam
koloid folikular.
Pelepasan tiroksin dan triiodotironin dari kelenjar tiroid. Tiroglobulin sendiri tidak
dilepaskan ke dalam darah yang bersirkulasi dalam jumlah yang bermakna ; justru pada awalnya
tiroksin dan triiodotironin harus dipecah dari molekul tiroglobulin dan selanjutnya hormone
bebas ini dilepaskan.
Kecepatan sekresi tiroid dan triiodotironin harian. Kira – kira 93% hormone tiroid yang
dilepaskan oleh kelenjar tiroid adalah tiroksin dan hanya 7% triiodotironin. Akan tetapi, selama
beberapa hari berikutnya, separuh dari tiroksin secara perlahan dideionisasikan untuk
membentuk triiodotironin tambahan. Oleh karena itu, hormone yang akhirnya diangkat dan
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 3
dipergunakan oleh jaringan terutama adalah triiodotironin, dengan jumlah total kira – kira 35
mikogram/hari.
FUNGSI FISIOLOGIS HORMON TIROID
1. Hormone tiroid meningkatkan transkripsi sejumlah besar gen
2. Hormone tiroid meningkatkan aktivitas metabolic selular
3. Hormone tiroid berefek pada pertumbuhan
4. Efek hormone tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik
a. Efek pada metabolism lemak
Hormone tiroid meningkatkan metabolism lemak, konsentrasi asam lemak bebas di
plasma dan sangat mempercepat oksidasi asam lemak bebas oleh sel
b. Efek pada plasma dan lemak hati
Meningkatnya hormone tiroid menurunkan konsentrasi koleterol, fosfolipid, dan
trigliserida dalam darah. Walaupun sebenarnya hormone ini juga meningkatkan asam
lemak bebas dalam darah
c. Meningkatkan kebutuhan vitamin
d. Meningkatkan laju metabolise basal
e. Menurunkan berat badan
Bila produksi hormone tiroid sangat meningkat maka hampir selalu menurunkan berat
badan, dan bila produksinya sangat berkurang maka hampir selalu timbul kenaikan berat
badan. Efek ini tiak selalu terjadi karena hormone tiroid juga meningkatkan nafsu makan,
dan keadaan ini dapat menyeimbangkan kecepatan metabolism
f. Hormone tiroid meningkatkan aliran darah dan curah jantung
Meningkatnya metabolism jaringan, mempercepat pemakaian oksigen dan
memperbanyak pelepasan jumlah produk akhir metabolism di jaringan.Efek ini
menyebabkan vasodilatasi di sebagian besar jaringan tubuh, sehingga meningkatkan aliran
darah
g. Meningkatkan frekuensi denyut jantung
h. Meningkatkan keuatan jantung
i. Tekanan arteri normal
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 4
j. Meningkatkan pernapasan
k. Meningkatkan motilitas saluran cerna
l. Merangsang sister saraf pusat
m. Efek pada fungsi otot
Sedikit peningkatan hormone tiroid biasanya menyebabkan otot bereaksi dengan kuat,
namun bila jumlah hormone terlalu meningkat maka otot akan mengalami kelemahan
karena kataabolisme protein yang berlebihan. Sebaliknya, kekurangan hormone tiroid
menyebabkan otot sangat lamban dan otot tersebut berelaksasi dengan perlahan setelah
kontraksi.
n. Menyebabkan tremor otot
o. Efek pada tidur
p. Efek pada kelenjar endokrin lain
q. Efek pada fungsi seksual
Pada pria berkurangnya hormone tiroid menyebabkan hilangnya libido sednagkan
meningkatnya hormone tiroid sering kali menyebabkan impotensi. Pada wanita kekurangan
hormone tiroid menyebabkan menoragia (darah menstruasi berlebihan) dan polimenore
(frekuemnsi menstruasi lebih sering)
PENGATURAN SEKRESI HORMON TIROID
Untuk menjaga agar tingkat aktiitas metabolism dalam tubuh tetap normal, maka setiap
saat harus disekresikan hormone tiroid dengan jumlah yang tepat, an agar hasil dapat tercapai,
ada mekanisme umpan balik spesifik yang bekerja melalui hipotalamus dan kelenjar hipofisis
anterior untuk mengatur kecepatan sekresi tiroid. Mekanisme ini adalah sebagai berikut :
TSH (dari kelenjar Hipofisis Anterior) meningkatkan sekresi tiroid
TSH yang juga dikenal sebagai tirotropin, merupakan salah satu hormone kelenjar
hipofisis anterior yang meningkatkan sekresi tiroksin dan triiodotironin oleh kelenjar tiroid.
Efeknya terhadap kelenjar tiroid adalah :
- Meningkatkan proteoglisis tiroglobulin
- Meningkatkan aktivitas pompa yodium
- Meningkankan iodinasi tirosin
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 5
- Meningkatkan ukuran dan aktivitas sekretorik sel – sel tiroid
- Meningkatkan jumlah sel – sel tiroid
Ringkasnya, TSH meningkatkan semua aktivitas sekresi sel kelenjar tiroid.
Efek umpan balik hormon tiroid dalam menurunkan sekresi TSH oleh hipofisis anterior.
Meningkatnya hormone tiroid di dalam cairan tubuh akan menurunkan sekresi TSH oleh
hipofisis anterior.1
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada
wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah
adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/
hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.(1,2,3)
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian,
diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui
secara pasti meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya,
penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-
Ab) dengan kadar bervariasi. 2,3
SKENARIO
Seorang wanita berusia 35 tahun berobat ke poliklinik karena sering berdebar – debar,
sesak, keringat banyak terutama di leher, kepala, punggung meskipun pasien berada di ruangan
berAC. Os mengatakan banyak makan, tetpi berat badannya menurun.
B. ANAMNESIS
Pada anamnesis, ditanyakan nama, umur, jenis kelamin, keluhan utama, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat sosial, riwayat keluarga, dan riwayat obat.
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 6
Pertanyaan yang berkaitan dengan kalainan pada kelenjar tiroid adalah :
- Apakah banyak berkeringat?
- Berkeringat biasanya pada bagian mana?
- Apakah terasa berdebar – debar?
- Bagaimana onset berdebar- debar?
- Apakah tangan rasa gemetar?
- Apakah badan terasa panas?
- Apakah badan lebih enak di udara dingin?
- Apakah penglihatan double?
- Apakah leher terasa membesar?
- Apakah ada rasa mengganjal? Terutama saat menelan
- Apakah berat badan turun?
- Apakah banyak / kurang makan?
- Apakah sesak bila bekerja?
- Apakah terasa cepat lelah?
- Apakah penglihatan kabur?
- Apakah mata menonjol?
- Apakah mudah gugup / gelisah?
- Apakah susah tidur?
HASIL ANAMNESIS DARI SKENARIO
- Nama : wanita , 35tahun
- Keluhan utama : sering berdebar – debar, sesak, keringat banyak terutama di leher, kepala,
punggung meskipun pasien berada di ruangan berAC.
- Riwayat penyakit sekarang :
o os banyak makan tetapi berat badan menurun
o penglihatan kabur (ganda saat menonton TV)
o kelopak mata kanan tidak menutup
o kedua kelopak mata bergetar
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 7
o perbesaran leher yang bergerak saat menelan ludah
- Riwayat penyakit dahulu : -
- Riwayat pengobatan dan minum obat : -
- Riwayat sosial dan ekonomi : -
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dimulai dari pengamatan umum, menilai status gizi pasien,
mengukur tanda-tanda vital, kemudian pemeriksaan leher lengkap (inspeksi, palpasi, auskultasi)
Inspeksi
Amati posisi kepala. Apakah kepala ditegakkan? Apakah ada bagian muka yang
asimetris? Apakah besar kepala proporsional terhadap bagian tubuh yang lain? Periksa kulit
kepala terhadap adanya lesi. Periksa rambutnya. Apakah teraba adanya masa? Jika ya, periksa
ukuran, konsistensi dan simetrinya. Amati mata terhadap kemungkinan proptosis (menonjol bola
mata). Proptosis dapat disebabkan oleh disfungsi tiroid atau oleh mass adalam orbita. Periksa
leher terhadap kemungkinan asimetri. Minta pasien menjulurkan lehernya. Cari jika ada luka
parut, asimetri atau massa. Tiroid normal hamper tidak tampak. Persilahkan pasien untuk
menelan sambil mengamati gerakan naik tiroid. Pembesaran tiroid secara difus seringkali
menyebabkan pembesaran leher secara merata. Apakah tampak benjolan-benjolan pada leher?
Apakah tampak bendungan vena superfisialis?
Palpasi
Palpasi kepala dan leher
Palpasi untuk memastikan keterangan yang telah diperoleh dari inspeksi. Kepala dalam
sikap sedkit fleksi dan “terbuai” dalam tangan si pemeriksa. Semua daerah tengkorak harus
dipalpasi terhadap adanya yang nyeri atau massa. Bantalan jari-jari pemeriksan harus meraba
kulit di atas cranium secara melingkar-lingkar untuk menilai konturnya dan mencari adanya
kelenjar limfe atau massa. Dimulai dari daerah oksipital, tangan digerakkan ke daerah aurikularis
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 8
posterior yang terdapat superfisialis terhadap prosesus mastoideus, ke bawah ke trigonum
posterior untuk meraba untai servikalis posterior, sepanjang muskulus sternokleidomastoideus
untuk meraba untai servikalis superfisialis, melinasi muskulus sternokleidomastoideus untuk
meraba rantai servikalis profunda di sebelah dalam muskulus; ke dalam trigonum anterior; ke
atas tepian rahang untuk meraba kelompok tonsilaris; sepanjang rahang untuk meraba rantai
submaksilaris; ke ujung rahang untuk kelenjar submentalis; dan ke atas ke untai aurikularis
anterior didepan telinga.
Setiap kelenjar yang diperiksa harus diperhatikan mobilitas, konsistensi, dan nyeri tekan.
Kelenjar limfe yang nyeri akan memberi petunjuk kemungkinan terapat radang, sementara
kelenjar yang padat dan sukar digerakan seringkali terdapat pada keganasan.
Palpasi kelenjar tiroid
Terdapat 2 cara palpasi kelenjar tiroid. Cara anterior dilakukan dengan pasien dan
pemeriksan duduk berhadapan. Dengan memfleksi leher pasien atau memutar dagu sedikit ke
kanan, pemeriksa dapat merelaksasi muskulus sternokelidomastoideus pada sisi itu, sehingga
memudahkan pemeriksaan. Tangan kanan pemeriksa menggeser laring ke kana atas dan selama
menelan, lobus tiroid kanan yang tegeser dipalpasi dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri.
Kemudian pemeriksa harus berdiri dibelakang pasien untuk meraba tiroid melalu cara
posterior. Pada cara posterior ini, pemeriksa meletakkan kedua tangannya pada leher pasien,
yang posisi lehernya sedikit ekstensi. Pemeriksaan memakai tangan kirinya mendorong trakea ke
kanan. Pasien diminta menelan sementara tangan kanan pemeriksa meraba tulang rawan tiroid.
Saat pasien menelan, tangan kanan pemeriksa meraba kelenjar tiroid berlatar belakang muskulus
sternokleidomastoideus kiri dengan tangan kiri. 4
Auskultasi
Auskultasi, bagian corong stetoskop diletakkan di atas lobus tiroid untuk mendengar adanya
bruit (bising yang terdengar bila terjadi percepatan aliran dalam pembuluh).4
PEMERIKSAAN OFTALMOPATI
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 9
1. Exophtalamus
2. Stellwag sign : jarang berkedip
3. Von Graefe sign : palpebra mengikuti bulbus okuli waktu melihat ke bawah.
4. Morbius sign : sukar konvergensi
5. Jeffroy sign : tak dapat mengerutkan dahi
6. Rossenbach sign : tremor palpebra jika mata ditutup.
PEMERIKSAAN FISIK PADA SKENARIO
- TD : 140/90
- Nadi : 110x, irregular
- RR : 26x
- Suhu : 37oC
- BJ : irregular murmur sistolik di apex
- Paru : normal
- Tangan tremor
- Lingkar leher : 36cm
- Bruit (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dan radiologic yang mendukung diagnosis penyakit grave dan
membantu membedakannya dari penyebab hipertiroidisme lain adalah berikut ini:
Laboratorium
T4 total, T4 bebas, dan T3: kadar T4, T3 atau keduanya dapat meningkat
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 10
Thyroid stimulating hormone (TSH): TSH secara signifikan tersupresi dan sering tidak dapat di
deteksi.
Thyroid stimulating immunoglobulin
Antibodi tiroid. Antibody antitiroglobulin danmikrosomal mungkin dapat dideteksi tetapi jarang
meningkat sampai pada derajat yang dijumpai pada CLT. Jika kadarnya dangat tinggi, dokter
sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan adanya hipertiroidisme CLT.
Pemeriksaan ambilan I123 : peningkatan ambilan isotope dalam waktu 6 dan 24 jam setelah
pemberian mendukung penyakit graves, sedangkan penurunan ambilan dijumpai pada CLT dan
tiroiditis subakut.5
USG
Peranan USG pada pemeriksaan tonjolan tiroid :
o Dapat menentukan apakah tonjolan tersebut di dalam atau di luar tiroid
o Dapat membedakan lesi kistik dan lesi solid
o Dapat dikenali apakah tonjolan tersebut tunggal atau lebih dari satu
o Dapat membantu penilaian respon pengobatan pada terapi supresif
o Dapat membantu mencari keganasan tiroid pada metastasis yang tidak diketahui tumor
primernya
o Sebagai pemeriksaan penyaring terhadap golongan risiko tinggi untuk menemukan keganasan
tiroid
o Sebagai pengarah pada biopsy aspirasi tiroid
Biopsy jarum halus6
E. DIAGNOSIS KERJA
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme
adalah suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki
kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 11
hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,
oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.1,7,8,9
F. DIAGNOSIS BANDING 10,11
Pembeda Struma difusa toksik
(graves disease)
Struma Uninodular
Toksik (morbus
plummer)
Karsinoma Tiroid
Definisi merupakan penyebab
tersering hipertiroidisme
Adalah pembesaran dari
kelenjar tiroid yang
berbatas jelas tanpa
gejala-gejala hipertiroid
Keganasan pada
kelenjar tiroid
Etiologi gangguan autoimun yang
biasanya ditandai dengan
produksi autoantibody yang
mirip kerja TSH pada
kelenjar tiroid
Kekurangan iodium
Kelebihan iodium
Genetic
Radiasi
Gejala klinis - Struma difusa toksik
dapat asimetrik dan
lobuler. Adanya bruit
- oftamopati pada
penyakit graves
- oftamolpegia
eksoftalmik mengacu
pada kelemahan otot
okuler yang
menyebabkan gangguan
pada pandangan melihat
- Penderita mungkin
mengalami aritmia dan
gagal jantung yang
resisten terhadap terapi
digitalis.
- Penderita dapat pula
memperlihatkan bukti-
bukti penurunan berat
badan, lemah, dan
pengecilan otot.
- Biasanya ditemukan
goiter multi nodular pada
- Tidak ada
gejala yang khas
untuk kanker tiroid,
- penderita pada
umumnya datang
dengan keluhan
benjolan yang
tidak nyeri pada
leher atau
ditempat lain
tergantung apakah
yang didapat
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 12
ke atas dan konvergensi
dan strabismus dengan
derajat diplopia yang
bervariasi.
- Eksoftalmus dapat
unilateral pada saat awal
tetapi biasanya
berkembang menjadi
bilateral.
- Dermopati biasanya
terjadi didorsal tungkai
atau kaki dan disebut
miksedema local atau
pretibial.
- kulit di daerah tersebut
meningkat, menebal,
dan memiliki gambaran
peau d’orange (kulit
jeruk) dan dapat pruritic
dan hiperpigmentas
- Pembesaran jari dan ibu
jari dengan perubahan
tulang yang khas
pasien-pasien tersebut
yang berbeda dengan
pembesaran tiroid difus
pada pasien penyakit
Graves.
- Penderita goiter
nodular toksik mungkin
memperlihatkan tanda-
tanda mata (melotot,
pelebaran fisura
palpebra, kedipan mata
berkurang) akibat
aktivitas simpatis yang
berlebihan.
- Tidak ada manifestasi
dramatis oftalmopati
infiltrat seperti yang
terlihat pada penyakit
Graves
- Gejala disfagia dan
sesak napas mungkin
dapat timbul. Beberapa
goiter terletak di
retrosternal
pertama kali
tumor primer atau
Metastasis
- Pembengkakan
kelenjar tiroid
berupa modul
padat.
- Suara parau karena
perluasan tumor
pada jaring atau
tekanan terhadap
n. rekueren.
- Disfagi karena
tumor meluas ek
oesofagus
- Berat badan
menurun
- keganasan
berkembang
dengan cepat
G. EPIDEMIOLOGI
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 13
Diantara penyebab dari spontan tiroksitosis, grave disease merupakan penyebab yang
paling sering. Grave disease menampilkan sebanyak 60-90% dari penyebab dari tiroksitosis pada
beberapa tempat yang berbeda didunia. Pada study wickham di Inggris, kejadian ini dilaporkan
sebanyak 100-200 kasus per 100.000 populasi pertahunnya. Kejadian ini pada perempuan Inggris
tercatat sebanyak 80% kasus per 100.000 per tahunnya. Grave disease sering ditemukan pada
wanita muda tapi juga dapat berefek pada usia masing-masing individu. Rentang usia yang
biasanya dijumpai adalah 20-40 tahun. Paling banyak mengenai wanita berusia 30-60 tahun.
H. ETIOLOGI
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat,
dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang
sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid
didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria,
dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun
sampai 40 tahun.3,9
I. PATOGENESIS
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada
didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi
terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam
membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan
TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg),
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 14
thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu
protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang
diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid
penderita penyakit Graves. Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas
dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan
antigen pada limfosit T.
Gambar 1 :
Patogenesis Penyakit Graves
Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-
DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada orang kulit
hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti
penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4
pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama
interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan
enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 15
terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada
membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang
tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik
sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid otoimun. Dosis
terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat
pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid
otoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun
sampai saat ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut. Terjadinya oftalmopati
Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang
akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-
otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan
inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola
mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam
jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikans. Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas
katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor
katekolamin didalam otot jantung.3
J. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi penyakit graves mudah dibedakan, struma hiperfungsi difusa, oftalmipati dan
dermopasti, tampak pada kombinasi yang bermacam-macam dan dengan frekuensi yang
bermacam-macam, struma merupakan yang paling sering. Rambut memutih premature dan
bercak-bercak vitiligo tidak spesifik untuk penyakit graves dan lazim pada penyakit autoimun
lainnya.
Struma difusa toksik dapat asimetrik dan lobuler. Adanya bruit pada kelnjar biasanya
menandai bahwa pasien menderita tiroksitosis, tetapi hal ini karang terdapat kelainan lain dengan
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 16
tiroid yang menjadi hiperplastik. Bising vena dan hembusan airan karotis harus dibedakan
dengan tiroid bruit yang asli. Pembesaran lobus pyramidal tiroid dapat dipalpasi. Tanda klinis
yang dikaitkan dengan oftamopati pada penyakit graves dapat dibagi menjadi 2 komponen:
spastik dan mekanis. Yang disebut pertama mata melotot, kelelahan kelelahan kelopak mata,
kerja kelopak mata yang mengikuti tiroksitoksik dan berpengaruh terhadap muka yang ketakutan
dan tanda-tanda pada mata yang telah dideskripsikan. Temuan ini ridak perlu dikaitkan dengan
proptosis, yang mungkin disebabkan oleh antagonis adrenergic dan biasanya kembali normal
setelah koreksi tirositoksik. Komponen mekanis meliputi proptosis dengan derajat yang
bermacam-macam dengan oftalmoplegia dan okulopati kongestif yang ditandai oleh kemosis,
konjungtivitis, pembengkakakn periorbita dan komplikasi potensial ulserasi kornea, neuritis
optic, dan atrofi optic. Jika eksoftalmus berkembang cepat dan menjadi hal utama dalam
penyakit graves, hal itu disebut progresif dan jika berat eksoftalmus maligna. Istilah
oftamolpegia eksoftalmik mengacu pada kelemahan otot okuler yang menyebabkan gangguan
pada pandan melihat ke atas dan konvergensi dan strabismus dengan derajay diplopia yang
bervariasi. Eksoftalmus dapat unilateral pada saat awal tetapi biasanya berkembang menjadi
bilateral.
Dermopati biasanya terjadi didorsal tungkai atau kaki dan disebut miksedema local atau
pretibial. Hal ini muncul pada pasien dengan riwayat atau sedang menderita penyakit graves dan
bukan merupakan manifestasi dari hipotiroidisme. Sekitar setengah dari kasus terjadi selama
stadium aktif tiroksikosis. Daerah yang kena biasanya dibatasi dari daerah normal dengan fakta
bahwa kulit di daerah tersebut meningkat, menebal, dan memiliki gambaran peau d’orange (kulit
jeruk) dan dapat pruritic dan hiperpigmentasi. Lesi biasanya diskrit, mengamsumsikan
konfigurasi seperti plak atau noduler tetapi pada beberapa keadaan, konfluen. Pembesaran jari
dan ibu jari dengan perubahan tulang yang khas dapat berbeda dari gambaran pada osteoartropati
hipertrofik paru yang dapat menemani perubahan dermis.9
K. KOMPLIKASI
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 17
Krisis tiroid (Thyroid storm) Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis
yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis
tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
Terapi yodium radioaktif
Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.
Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut, alergi obat yang
berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan
respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai dengan
flushing dan hiperhidrosis.
Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.
Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid
didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3
didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya
pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis
tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi
terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin,
sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam
sirkulasi.
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan
dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran
prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan
preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 18
pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan angka kematian
perinatal.3
L. PENATALAKSANAAN
Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam
patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan
untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan
terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi
Yodium Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi
terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.
Obat Antitiroid
Golongan Tionamid Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek intra
dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis
hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,
menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat
sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar
kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis
tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan
metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU,
sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal. Belum ada kesesuaian pendapat diantara para
ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 19
terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya
diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis
pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah
4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat
konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase
akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal
sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan,
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. 3 Ada juga pendapat ahli yang
menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya
dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40
mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau
dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat
diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang
masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal.
Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di
naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab
lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. 2
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu
agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan
fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi
perlu diberikan antibiotika.
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 20
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti
Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan
Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai
terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan
diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping,
penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan
selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. 2,3
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis
yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya. (1) Evaluasi pengobatan perlu
dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa
dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan
untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis
dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu
mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai
remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan
Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :
1.Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis),
karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap
rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai.
Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar
tiroid, dan mata.
Obat Golongan Penyekat Beta
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 21
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk
mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor,
cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3
melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari.7,12
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja
lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50
mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat
terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang
terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat
beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang
jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan
bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase.
Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium
perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid,
tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat
tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau
setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran
kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT)
mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan
sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah
angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai
90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 22
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam
makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons terapi,
dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara kombinasi
OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka
kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi
kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang
hanya mendapatkan terapi methimazole.
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut: Pertama kali penderita diberi
methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 μg
perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok
kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar
TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi
kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama
pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat
antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH.
Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen
eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu
dengan mengurangi presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT
dan tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu
dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan OAT dosis tinggi.
Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang
besar.Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT
(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan
Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 23
vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat
mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati
Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan ,
dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami
tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus
recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang
lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta
dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa
efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis
seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik.
Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat
radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini
(dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan
sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi
didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman ,
tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak
ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan
yodium radioaktif. Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu
dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada
kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif
merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena
padakelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 24
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi
terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang
diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang.
Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan / atau
OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis
I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam
makanan sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme.
Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang
diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid, didapatkan angka
kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun
berikutnya.
memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid dan
peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan pemberian
kortikosteroid sebelum pemberian I131
hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang terjadi)
gastritis radiasi (jarang terjadi)
eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage) pasca
pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif
diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6
bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12
bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme. 3
Pengobatan oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 25
dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang
sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan
untuk mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat.
Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan
siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan
pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi
kelopak mata. Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien
yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody antireseptor TSH
dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan
untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya.
Pengobatan krisis tiroid
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat
produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3,
pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi
homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan hipertiroidisme-
nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati
tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan
obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka
normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada
wanita hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit,
dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan
memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan masuk
ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 26
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada
periode tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan
kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan
keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita
melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman. 2
M. PROGNOSIS
Pada umumnya penyakit graves mengalami periode remisi dan eksaserbasi, namun pada
beberapa penderita setelah terapi teteap pada kondisi eutiroid dalam jangka lama, beberapa
penderita dapat berlanjut ke hipotiroid. Follow up jangka panjang diperlukan untuk penderita
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 27
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton & hall. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2008. h. 978 – 991
2. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis
Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001. h. 1-5
3. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002,
PIKKI, Jakarta, 2002. h. 9-18
4. Swartz, mark H. Buku ajar diagnostic fisik. Jakarta : penerbit buku kedokteran
EGC.2002. h. 78 – 87
5. Schwartz, M. William. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2005. h. 342 - 344
6. Rasad sjahriar. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008.
h. 528 – 515
7. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001. h. 263 – 265
8. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3, EGC,
Jakarta, 2000. h. 606 – 630
9. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie,
Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000 . h. 2144-2151
10. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
11. Grace, pierce & neil R. piere. At a glance ilmu bedah. Jakarta : PT. Gelora Aksara
Pratama. 2006. h. 134 – 135
12. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah
P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995. h. 1040 - 1080
Blok 21 – Metabolik Endokrin 2 Page 28