Post on 02-Jan-2016
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN Ny.A DENGAN
GUILLAIN BARRĚ SYNDROME (GBS)
Oleh :
PIANIKE WIDIAWATI, S.Kep
070112b060
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NGUDI WALUYO UNGARAN
2013
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep penyakit
1. Definisi
Sindrom guillain barre ( Poliradikuloneuritis) merupakan sindrom
kinik yang penyebabnya belum diketahui dan yang menyangkut saraf perifer
dan kranial. Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan
oleh adanya infeksi ( pernafasan dan gatrointestinal), 1 sampai 4 minggu
sebelum terjadi serangan penurunan neurologis. Pada beberapa keadaan ,
dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Ini juga bisa disebabkan oleh
infeksi virus primer, reaksi imun dan beberapa proses lain atau dalam suatu
kombinasi proses. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus
menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. ( Mielin
merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti akson-akson syaraf
dan bepern penting pada tranmisi impuls syaraf. Bagian proksimal saraf
cenderung paling sering terserangm dan akar syaraf dalam runag subarachnoid
biasanya terpengaruh. Otopsi yang didapat memperlihatkan beberapa infiltrasi
limfositik yang secara khusus menetap dalam akar spinal (Smeltzer and bare,
2006).
Sindrom guillain Barre (GBS) adalah sindrom klinik yangpenyebabnya
tidak diketahui secara pasti yang menyangkut saraf perifer dan cranial
(smeltzer and bare, 2002).
Sindrom Guillain-Barre (GBS dilafalkan ghee-yan bahray) adalah
suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain
yaitu polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati
inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asenden
ssecara primer dengan segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan
neuron motorik bagian bawah dalam saraf perifer, final common pathway
untuk gerakan motorik juga. (Sylvia A. Price, 2006)
Guillain barre sindrome merupakan gangguan kelemahan
neuromuskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah
pada kelumpuhan total, tetapi biasanya paralisis sementara. Pada fase awal
mulai dengan munculnya tanda-tanda kelemahan dan biasanya tampak secara
lengkap dalam 2-3 minggu ( Doengoes, 2000).
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sekelompok gangguan yang
diperantarai sistem imun yang secara umum dicirikan dengan disfungsi
motorik, sensorik dan otonom.
GBS adalah suatu acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
(AIDP), yang dicirikan dengan kelemahan otot simetris ascending progresif,
dan hiporefleks dengan atau tanpa gejala sensorik atau otonom, walaupun
begitu varian yang melibatkan saraf kranialis atau keterlibatan motorik murni
dapat juga dijumpai.
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute
Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut
sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah
suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh,
terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak
yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem
imunitas tubuh menyerang sel saraf. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal
ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial (Ascending Paralysis)
Guillain-Barre Syndrome ( GBS ) yaitu salah satu penyakit ‘
demyelinating saraf (Nolte, 1999) yang juga merupakan salah satu
polineuropati. Merupakan kumpulan gejala gangguan pada saraf spinalis dan
saraf cranialis. Paralisis pada bagian ascenden atau paralisis landry, Penyebab
belum diketahui, umumnya terjadi paska infeksi virus (pernafasan dan saluran
cerna) selama 30 hari, terjadi proses autoimmune dengan respon inflamasi
pada radiks dan saraf tepi (poliradikulopati dan polineuropati), terjadi AIDP
(Acute Inflamatory Demyelinating Poliradiculopathy), defisiensi Motorik dan
Sensori, dapat terjadi pada semua kelompok usia, frekuensi tertinggi pada
dewasa muda, Laki-laki > Perempuan, Kulit putih > kulit hitam.
Menurut Priguna Sidharta (1986) mengungkapkan bahwa GBS
merupakan idiopatik dengan karakteristik jenis infeksi yang bertanggung
jawab tidak ditentukan, yang dikenal sebagi infeksi respiratorius bagian atas
saja atau infeksi GI. Manifestasi polineuropati tersebut mulai timbul 1-3
minggu setelah penderita sembuh dari penyakit primernya. Pemeriksaan liquor
serebrospinalis mengungkapkan adanya disosiasi antara jumlah sel dan
protein, yakni jumlah protein meningkat sedangkan jumlah sel normal. Ini
merupakan ciri khas dari polineuropati subakut yang disebabkan oleh proses
imunologis karena infeksi yang tidak dikenal (idiopatik).
2. Manifestasi Klinis
Gejalanya awitan neurologik diawali dengan: Parastesia ( kesemutan
dan kebas), dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas
atas, batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat
adanya paralisis yang lengkap.Saraf kranial yang paling sering terserang, yang
menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan juga
menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan. Disfungsi
autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan
atau kurang bereaksinya sistem syaraf simpatis dan parasimpatis, seperti
dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan
tekanan darah (hipertensi transien, hipotensi ortostatik) dan gangguan
vasomotor lainnya yang bervariasi. Keadaan ini juga dapat menyebabkan
nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki, seringkali pasien
menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti
keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori
dimanifestasikan dengan parestesia ( Smeltzer and bare, 2002)
3. Patofisiologi
Patofisiologi guillain barre syndrome mekanisme bagaimana infeksi,
vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya
demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak
ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa
merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini
adalah: Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler
(celimediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi, adanya auto
antibodi terhadap sistem saraf tepi, didapatkannya penimbunan kompleks
antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang
menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan
seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag.
Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell
yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid
dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi
antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag
yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau
bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen
(antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan
padalimposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena
aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon
serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar
darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag .
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin
disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
Menurut ( Muttaqin Arif , 2008) Konduksi sel-sel secara normal ,sel
saraf terbentuk dari sebuah badan sel yang dikelilingi dendrit-dendrit dan
sebuah axon yang terdapat sepanjang tubuh sel yang berakhir pada ujung
axon. Sel-sel Schwan terletak diantara/interval sepanjang axon dan membran
sel tersebut membungkus sekeliling axon dari lapisan myelin. Nodes rainver
(ruang-ruang di antara lapisan-lapisan) memiliki konduksi yang cepat
sepanjang axon. Perubahan kimia listrik tidak hanya terjadi pada nodes
tersebut namun juga sepanjang axon. Pada GBS, selaput myelin yang
mengelilingi axon hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cedera karena
banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik, hypoksia, toksik kimia,
insufisiensi vaskuler, dan reaksi imunologi demyelinisasi adalah respon yang
umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merugikan. Axon
bermyelin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibandingkan axon tak
bermyelin. Kehilangan selaput myelin pada GBS membuat konduksi saltatori
tidak mungkin terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
Perkembangan yang cepat dari GBS
Enam puluh persen pasien GBS dilaporkan adanya infeksi demam
yang ringan, biasanya merupakan infeksi pernafasan atau
gastrointestinal (lebih sedikit) yang terjadi 2 minggu sebelum
terjadinya GBS. Ada tiga tahapan GBS:
a) Initial Onset
Pada awalnya biasanya muncul gejala-gejala yang terjadi secara
mendadak,yaitu adanya parathesia (hilang rasa), nyeri dan atau
kekauan dari anggota badan yang diikuti dengan kelemahan
anggota badan. Pasien-pasien ini tidak hanya menderita kelemahan
dan parathesia,namun juga terjadi kelembekan dan nyeri otot. Hal
ini seperti apabila kita tidur dengan tangan tertekan sepanjang
malam sehingga saat bangun tangan kita terasa kaku, parathesia,
terasa lumpuh dan nyeri. Pasien mungkin tidak menjadi lebih
buruk dan hanya menderita GBS ringan, namun bagaimana pun
tahap ini dapat terjadi sampai 3 minggu dan pasien menjadi
semakin lemah dan mengakibatkan: arefleksia (tidak ada reflek),
menurunnya atau tidak berfungsinya otot-otot diafragma dan
intercosta, hilangnya sensani secara total, quadraplegia penuh.
b) The Plateu Stage (tahap Mendatar)
Pada tahap ini tidak terjadi kemerosotan atau penambahan gejala.
Tahap ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu.
c) Recovery Stage (tahap penyembuhan)
Terjadi remyelinisasi dan penambahan konduksi. Hal ini dapat
terjadi dari 4 bulan sampai 3 tahun.
4. Pathway
(Terlampir)
5. Penatalaksanaan Diagnostik
Uji Diagnostik yang dapat dilakukan:
a. Riwayat pasien
Riwayat pasien merupakan hal yang sangat penting, perlu dicatat tidak
hanya demam pada 2-3 minggu sebelumnya.
b. Lumbal Punctie
Adanya kenaikan protein pada cairan serebrospinal namun tidak
ditemukan peningkatan Leukosit.
c. Tes Fungsi Paru
Dilihat kapasitas vital parunya, cek setiap jamuntuk melihat adanya
kelemahan. Jika kapasitas menurun sampai 20 mls/kg atau 1,5 liter,
pindahkan pasien ke ICU.
d. Gambaran Kondusif Saraf
Terlihat adanya penurunan pada kecepatan konduksi saraf-saraf.
e. Elektro Myelogram
Pada rekaman elektro myelogram, kontraksi otot-otot dihasilnya dari
rangsangan listrik. Tidak adanya kontraksi menandakan hilangnya lapisan
myelin
6. Penatalaksanaan Medis
a. Plasmaferisis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksiantobiotik kedalam
sirkulasi sementara, yang dapat digunakan padaserangan berat dan dapat membatasi
keadaan yang memburuk padapasien dan demielinasi.
b. Pemberian immunoglobulin IV.
Imunoglobulin (Antibodi) adalah protein-protein pelindung yangterbentuk untuk
melawan sel-sel asing yang masuk dalam tubuh. Didalam tubuh imunoglobulin yang
diproduksi terdiri dari berbagai tipe antara lain : IgA, IgE, IgD, IgG, IgM .( Buku
Saku Patofisiologi, 200. Tujuan terapi immunologi ada imunoglobulin yang
sengaja diproduksi untuk pengobatan. Pada pasien dengan GBS penggunaan terapi
imunoglobulin sangat bermanfaat selain plasmafaresis, terapi imunoglobulin bertujuan
untuk menghambat terbentuknya antibodi dari dalam tubuh yang merusak saraf dan
meningkatkan kekebalan tubuh. Immunoglobulin dapat menetralisasi autoantibodi
patologis yang ada atau menekan produksi autoantibodi tersebut, IVIg
juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari
virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Tujuan pemberian
imunoglobulin adalah untuk menormalkankembali sistem pertahanan tubuh.
c. GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis sehingga Pasien diatasi/dirawat di
unit perawatan intensif. Amati fungsi respirasi secara ketat, ukur kapasitas vital untuk
mengetahui kekuatan otot paru.
d. Karena gagal pernapasan merupakan problema utama pada sindroma Guillain-Barre.
Pasien yang mengalami masalah pernafasan memerlukan ventilator, kadang-kadang
untuk periode yang lama.Ventilasi mekanik mungkin diperlukan jika volume ekspirasi
paksaadalah < 12-15 mL/kg, kapasitas vital cepat menurun atau < 1000 mL dan
Pao2 < 70 mmHg, atau jika pasien sangat sukar mengeluarkan dahak dan diaspirasi.
Sekitar 10% sampai 20% pasien memerlukan ventilasi. Jika melakukan intubasi
endotrakeal, hindari obat-obatan yang menimbulkan paralisis (misalnya suksinilkolin)
karena meningkatnya resiko hiperkalemia yang membahayakan hidup.
e. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau
ritme jantung
f. Pemasangan NGT untuk mengatasi kekurangan nutrisi akibat kesulitan mengunyah
dan menelan.
g. Distrimia jangan dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan
propanonol untuk mencegah takikardia dan hipertensi.
h. Atropine dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan
endotrakeal dan terapi fisik.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
1. Pengkajian emergency & kritis
2. Intervensi Keperawatan Gawat Darurat
No Diagnosa kep. Tujuan dan Kriteria
hasil
Intervensi Rasional Ttd
1 Resiko tinggi
terhadap pola nafas/
bersihan jalan nafas tak
efektif berhubungan
dengan kelemahan/
paralisis otot
pernafasan, kerusakan
refleks menelan.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan klien
dapat mendemonstrasikan
ventilasi adekuat, dengan
kriteria hasil :
1) Tak ada tanda
distress pernafasan
2) Bunyi nafas bersih
3) GDA dalam batas
normal.
Mandiri
1. Pantau frekuensi, kedalaman, dan
kesimetrisan pernafasan. Catat
peningkatan kerja nafas dan
observasi warna kulit dan membran
mukosa
2. Kaji adanya perubahan
sensasi terutama penurunan
respons pada T8 atau daerah lengan
atas/bahu.
3. Catat adanya kelemahan pernafasan
selama berbicara.
4. Auskultasi bunyi nafas, catat tidak
adanya bunyi/suara tambahan seperti
ronki, mengi
5. Tinggikan kepala tempat tidur atau
1. Peningkatan distress pernafasan
menandakan adanya kelelahan
pada otot pernafasan
2. Penurunan sensasi seringkali
mengarah kepada kelemahan
motorik: seperti kehilangan pada
tingkat T8 dapat mempengaruhi
otot interkostal. Oleh karenanya
tangan/lengan yang terkena
seringkali mengarah pada
masalah gagal nafas.
3. Indikator yang baik terhadap
gangguan fungsi pernafasan/
menurunnya kapasitas vital paru
4. Peningkatan resistensi jalan nafas
letakkan pasien pada posisi duduk
bersandar.
6. Evaluasi refleks batuk,
refleks gag, atau refleks menelan
secara periodik. :
7. Lakukan penghisapan sekret, catat
warna dan jumlah dari sekret
(sputum).
Kolaborasi
1. Lakukan pemantauan terhadap
dan atau akumulasi sekret akan
mengganggu proses difusi gas
dan mengarah pada komplikasi
pernafasan (pneumonia).
5. Meningkatkan ekspansi paru dan
usaha batuk,menurunkan kerja
pernafasan dan membatasi
terjadinya risiko aspirasi sekret
6. Jika otot kepala dan otot leher
terkena, makaevaluasi ulang
terhadap refleks tersebut
harusdilakukan untuk mencegah
aspirasi, infeksi pulmonia, dan
gagal nafas.
7. Kehilangan kekuatan dan fungsi
otot mungkin mengakibatkan
ketidakmampuan pasien
untuk mempertahankan dan
atau membersihkan jalan nafas
1. Menentukan keefektifan dari
ventilasi sekarang dan kebutuhan
analisa gasdarah, aksimteri nadi
secara teratur.
2. Tinjau ulang foto ronsen
3. Berikan terapi suplementasi oksigen
sesuai indikasi, dengan
menggunakan cara pemberian yang
sesuai kanula, masker oksigen, atau
ventilator mekanik.
4. Berikan obat/bantu dengan
tindakan pembersihan pernafasan,
seperti latihan pernafasan, perkusi
dada, vibrasi, dan drainase postural.
5. Siapkan untuk/mempertahankan
inkubasi,ventilator mekanik sesuai
kebutuhan..
6. Berikan perawatan trakeostomi jika
ada
untuk keefektifan dari intervensi.
2. Adanya perubahan merupakan
indikasi dari kongesti paru dan
atau atelektasis
3. Mengatasi hipoksia. Pelembaban
terhadap sekret (agar mudah
dikeluarkan) dan menjaga
kelembaban membran mukosa
karena hal tersebut
dapatmenurunkan iritasi jalan
nafas
4. Mempebaiki ventilasi dan
menurunkan atelektasis dengan
memobilisasi sekret dan
meningkatkan ekspansi alveoli
paru
5. 10%-20% pasien mengalami
gangguan pernafasan yang cukup
berarti yang memerlukan
intervensi yang terus-menerus
6. Mungkin diperlukan untuk
penatalaksanaan jalan nafas dan
sekresi
2. Kerusakan mobilitas
fisik berhubungan
dengan kerusakan
neuromuskuler
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan klien
mampu mempertahan mobilitas
fisik tanpa ada komplikasi
dengan kriteria hasil:
1. Tidak ada laporan
kontraktur,dekubitus.
2. Meningkatkan
kekuatan ototdan
fungsi bagian yang
sakit.
3. Mendemonstrasikan
teknik/perilaku yang
memungkinkan
melakukan kembali
aktivitas yang
diinginkan
Mandiri:
1. Kaji kekuatan motorik dengan
menggunakan skala 0-5. Lakukan
pengkajian secara teratur.
2. Berikan posisi pasien
yang menimbulkan rasa nyaman.
Lakukan perubahan posisi dengan
jadwal yang teraur sesuai kebutuhan
secara individual.
3. Sokong ekstremitas dan persendian
dengan
bantal, crochanter roll, papan kaki..
4. Lakukan latihan rentang
gerak positif. Hindari latihan aktif
selama fase akut.
5. Koordinasikan asuhan
yang diberikan dan periode istirahat
tanpa gangguan.
6. Anjurkan untuk melakukan latihan
yang terus dikembangkan, seperti
duduk di sisi tempat tidur dengan
1. Menentukan
perkembangan/munculnya
kembali tanda yang menghambat
tercapainya tujuan.
2. Menurunkan kelelahan,
meningkatkan relaksasi,menurun
kan risiko terjadinya
iskemia/kerusakan pada kulit.
3. Mempertahankan ekstremitas
dalam posisifisiologis, mencegah
kontraktur dan kehilangan fungsi
sendi
4. Menstimulasi sirkulasi,
meningkatkan tonus ototdan
meningkatkan mobilisasi sendi.
5. Penggunaan otot secara
berlebihan dapat meningkatkan
waktu yang diperlukan
untuk remielinisasi, karenanya
dapat memperpanjangwaktu
sokongan, bangkit dari kursi, dan
kemudian ambulasi sesuai
kemampuan.
7. Berikan lubrikasi/minyak artifisial
sesuai kebutuhan.
Kolaborasi :
1. Konfirmasikan dengan atau rujuk ke
bagian terapi fisik/terapi okupasi.R
penyembuhan
6. Kegiatan latihan pada bagian
tubuh yang terkena yang
ditingkatkan secara bertahap,
meningkatkan fungsi organ
normal dan memiliki efek
psikologis yang positif
7. Mencegah kekeringan dari
jaringan tubuh yang halus ketika
pasien tidak dapat
menutup/mengedipkan mata
secara memadai.
1. Bermanfaat dalam
menciptakan kekuatan otot
secara individual/ latihan
terkondisi dan program
latihan berjalan dan
mengidentifikasi alat bantu.
3 Resiko tinggi
terhadap perubahan
nutrisi kurang
kebutuhan
tubuh berhubungan
dengan kerusakan
neuromuscular yang
mempengaruhi refleks
gagal/batuk/menelanda
n fungsi GI
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan tidak
terjadi perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan, dengan
kriteria hasil klien mampu:
1. Mendemonstrasikan
berat badan stabil.
2. Normalisasi nilai-nilai
laboratorium.
3. Tidak
ada tanda malnutrisi
(mata cekung,
konjungtiva
anemis,kurus, tilang
dada menonjol)
Mandiri:
1. Kaji kemampuan untuk
mengunyah, menelan, batuk, pada
keadaan yang teratur.
2. Auskultasi bising usus, evaluasi
adanya distensi abdomen..
3. Catat masukan kalori setiap hari.
4. Catat makanan yang disukai atau
tidak disukai oleh pasien dan
termasuk dalam pilihan diet yang
dikehendaki.
5. Berikan makanan setengah
padat/cair
6. Anjurkan untuk makan sendiri.
Izinkan untuk makansesuai waktu
yang diinginkan atau yang
memungkinkan bagi pasien untuk
terus berusaha sendiri.
Beri bantuan/beri makan kebutuhan.
7. Anjurkan orang terdekat ikut
berpartisipasi pada waktu makan,
seperti memberi makan dan
1. Kelemahan otot dan refleks yang
hipoaktif/hiperaktif dapat
mengindikasikan kebutuhan akan
metode makasi alternatif, seperti
melalui selang NG dan
sebagainya
2. Perubahan fungsi lambung sering
terjadi akibat dari paralisis/
imobilisasi
3. Mengidentifikasi kekurangan
makanan dan kebutuhannya.
4. Meningkatkan rasa kontrol dan
mungkin juga dapat
meningkatkan usaha untuk
makan
5. Makanan lunak/setengah padat
menurunkan risiko terjadinya
aspirasi
6. Derajat hilangnya kontrol motorik
mempengaruhi kemampuan
membawa makanan kesukaan
pasien dari rumah.
8. Timbang berat badan setiap hari.
Kolaborasi :
1. Berikan diet tinggi kalori atau protein
nabati.
2. Pasang/pertahankan selang NG.
berikan makananenteral/parenteral.
untuk makan sendiri.
7. Memberikan waktu
bersosialisasi yang
dapatmeningkatkan jumlah
masukan makanan pada pasien.
8. Mengkaji keefektifan aturan diet
1. Makanan suplementasi dapat
meningkatkan pemasukan nutrisi
2. Dapat diberikan jika pasien tidak
mampu untuk menelan, untuk
pemasukan makanan kalori,elektrolit
dan mineral
4. Resiko tinggi
konstipasi/
diare berhubungan
dengan kerusakan
neuromuskuler
(kehilangan sensasi dan
refleks anal),
imobilitas, perubahan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan klien
mampu mempertahankan pola
eliminasi usus tanpa ileus
Mandiri :
1. Anjurkan pasien untuk minum
paling sedikit 2000ml/hari (jika
pasien dapat menelan)
2. Berikan privasi dan posisi fowler
pada tempat tidur dengan teratur.
3. Auskultasi bising usus, catat
adanya/tidak atau perubahan bising
4. Makanan suplementasi dapat
meningkatkan pemasukan nutrisi.
5. Meningkatkan usaha evakuasi
feses.
6. Penurunan/hilangnya bising usus
dapat merupakan indikasi adanya
ileus paralitik yang berarti
pada masukan diet/
cairan
usus..
4. Catat adanya distensi abdomen, nyeri
tekan. Ukur lingkar perut sesuai
kebutuhan..
5. Pantau adanya mual, muntah,
penghentian feses.
Kolaborasi:
1. Beri obat pelembek feses,
supositoria, laksatif,
atau penggunaan selang cektal sesuai
kebutuhan.
2. Tingkatkan diet makanan yang
berserat atau perubahan kecepatan
dan jenis dari makanan sonde jika
ada kebutuhan..
3. Pasang/pertahankan selang
NGT jika ada kebutuhan.
hilangnya motilitas usus dan atau
ketidakseimbangan elektrolit
7. Dapat mencerminkan
perkembangan ileus paralitik atau
adanya impoksi fekal
8. Kecepatan perkembangan pada
ileus yang komplit dapat
bervariasi tetapi dapat
diperkirakan.
1. Mencegah konstipasi,
menurunkan distensi abdomen
dan membantu dalam keteraturan
fungsi defekasi.
2. Membantu dalam mengatur
konsistensi fekal dan menurunkan
konstipasi
3. Menurunkan mual dan muntah
dan melakukan dekompresi pada
distensi abdomen
yang berhubungan dengan
hilangnya peristaltik,munculnya
ileus paralitik
5 Ansietas/ ketakutan
berhubungan
dengankrisis
situasional,ancaman
kematian/ perubahan
dalam status kesehatan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan
ansietas klien berkurang sampai
tingkat yang dapat diatasi,
dengan kriteria hasil klien
mampu:
1. Menerima dan
mendiskusikan rasa
takut.
2. Mengungkapkan
pengetahuan yang
akurat tentang situasi.
3. Tampak rileks dan
melaporkan ansietas
berkurang sampai
tingkatdapat diatasi.
Mandiri:
1. Tempatkan pasien dekat dengan
ruang perawat, periksa pasien secara
teratur.
2. Berikan bentuk komunikasi alternatif
jika diperlukan.
3. Diskusikan adanya perubahan citra
diri, ketakutan akan hilangnya
kemampuan yang menetap,
kehilangan fungsi, kematian masalah
mengenai
kebutuhan penyembuhan..
4. Berikan penjelasan singkat mengenai
perawatan,rencana perawatan
dengan orang terdekat.
1. Memberikan keyakinan bahwa
bantuan segera dapat diberikan.
2. Menurunkan perasaan
tidak berdaya dan perasaan
terisolasi.
3. Membawa perasaan takut
secara terbuka,memberikan
kesempatan untuk
mengkaji persepsi/informasi yang
salah dari pasien dan memberikan
pemecahan masalah
4. pemahaman yang baik dapat
meningkatkan kerjasama pasien
dalam kebutuhan akan
melakukan aktivitas. Pelibatan
pasien dan orang terdekat dapat
mempertahankan beberapa
perasaan kontrol yang akan
meningkatkan harga diri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd
ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Alih Bahasa, Yayasan Ikatan Alumni pendidikan
Keperawatan Padjadjaran.YPKAI: Bandung
Price A.S. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC:
Jakarta.
Smeltzer,S.C & Bare B.G. (2006) . Buku ajar keperawatan medical bedah , Edisi
8. EGC : Jakarta
Mansjoer,dkk. ( 2000). Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga jilid 2.Media
Aesculapis : Fakultas kedokteran Universitas Indonesia
Sartono, dkk. (2013). Basic Trauma Cardiac Life Suport- BTCLS. GADAR
MEDIK INDONESIA
Hudak, Gallo. (1996). Keperawatan kritis , pendekatan holistik, edisi IV. EGC :
Jakarta
Muttaqin, Arif.(2008). Buku ajar keperawatan dengan gangguan sistem
persyarafan. Salemba Medika : Jakarta. Diakses pada tanggal 24
agustus 2013 dari http://books.google.co.id/books