Lembar kerja mahasiswa 6

Post on 11-Jul-2015

1.543 views 5 download

Transcript of Lembar kerja mahasiswa 6

LEMBAR KERJA MAHASISWA 6

TOPIK : PENILAIAN DALAM KRITIK SASTRA

Melakukan Kegiatan Individual:

a. Menuliakan kembali pengertian penilaian relatif, penilaian absolut, dan penilaian perspektif

dalam kritik sastra.

b. Memberikan contoh penilaian relatif, absolut, dan perspektif dalam praktik kritik sastra

Indonesia Modern.

c. Menuliskan kembali kriteria kritik mimetik, kritik objektif, kritik ekspresif, dan kriteria kritik

pragmatik/reseptif dalam praktik sastra Indonesia Modern.

d. Menuliskan kembali dengan kalimat sendiri apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang

kritikus untuk penulisan karya kritik sastra yang ideal.

Jawaban:

a. Pengertian penilaian relatif, penilaian absolut, dan penilaian perspektif dalam kritik

sastra.

1. Penilaian relatif

Penilaian relativisme ialah penilaian yang dilakukan berdasarkan konteks tempat dan

zaman diterbitkannya suatu karya sastra. Asumsi dasar penilaian relativisme adalah karya sastra

yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu maka karya

sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbeda.

Penilaian relativisme memang mengandaikan transferabilitas kualitas suatu karya sastra. Kaum

relativis berkeyakinan bahwa, karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada

konteks tempat dan zaman tertentu tidak memerlukan penilaian lagi (Periksa Pradopo, 1988:59).

2. Penilaian absolut

Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-

aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-ukuran

yang sifatnya dogmatis. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis baru, Marxis dan

Neo Thomis yang memberikan penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-

ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum tertentu,

standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra

tertentu. Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus judicial menggunakan standar

penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra tertentu

sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Cara-cara begini sedikit banyak

menunjukkan penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut (periksa Pradopo, 1988:61).

3. Penilaian perspektif

Paham penilaian perspektivisme menilai karya sastra dari berbagai perspektif, atau sudut

pandang, yakni menilai suatu karya sastra pada waktu terbitnya, dan bagaimana nilai karya sastra

tersebut untuk masa-masa berikutnya, bahkan menilai karya sastra tersebut pada masa sekarang.

Anggapan dasarnya bahwa karya sastra bersifat abadi dan historisis sekaligus. Abadi artinya

memelihara satu ciri atau konvensi serta sastra Melayu Lama. Historis artinya karya tersebut

telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya, misalnya suatu karya sastra itu telah

mengalami (melewati) masa kesusastraan romantik, realism, dan sebagainya. Dengan pengertian

itu paham perspektivisme mengakui adanya satu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang

masa, berkembang, berubah, penuh kemungkinan. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui

penafsirannya sepanjang masa.

b. Contoh penilaian relatif, absolut, dan perspektif dalam praktik kritik sastra Indonesia

Modern

1. Contoh penilaian relatif

Dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai literer yang

tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu dan pada

saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat

Si Miskin tidak bernilai literer tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu

sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai literer sama

sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si Miskin haruslah

diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman)

dan di mana pun )tempat/lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat

dan zaman tertentu dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang

berbeda.

2. Contoh penilaian absolut

Para kritikus modern memakai hukum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian

drama-drama modern (yang baru). Misalnya, Addington yang memakai standar drama klasik

untuk menilai drama Shakespeare dan Epic Aeneid untuk menilai “Paradise Lost” ciptaan

Milton. Begitu juga Leo Tolstoy yang memakai standar agama sebagai penilaian mutlak untuk

menilai baik buruknya karya sastra. Bagi Tolstoy karya seni (sastra) yang baik adalah yang

selaras, yang cocok, yang dekat dengan apa-apa yang diidealkan oleh agama. Sebaliknya karya

seni atau sastra menjadi buruk apabila menjauhkan orang dari nilai-nilai ideal agama. Padahal,

banyak seni atau sastra yang diakui besar tetapi di dalamnya tidak berhubungan dengan nilai-

nilai ideal keagamaan.

3. Contoh penilaian perspektif

Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya pengaruh zaman

dan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang kini

dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh

Voltaire dianggap tulisan seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian Victor

Hugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine “dewa”

drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatif

itu dianut oleh kebanyakan kritikus.

c. Kriteria kritik mimetik, kritik objektif, kritik ekspresif, dan kriteria kritik

pragmatik/reseptif dalam praktik sastra Indonesia Modern

a. Kriteria kritik mimetik

Kelompok kriteria kedua mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau

tercermin di dalamnya. Kriteria demikian dinamakan kriteria mimetis atau mimetik. Kaum

mimetikus berkeyakinan bahwa sebuah karya sastra bernilai baik apabila suatu kenyataan,

misalnya kenyataan sosial, budaya, alam, lingkungan hidup dsb. Dinyatakan atau diungkapkan

dengan tepat, lengkap atau secara unik sehingga memiliki daya pesona. Bila seorang kritikus

mengharapkan dari sastra supaya kenyataan diperjelas, maka kriteria inilah yang dipergunakan

atau diutamakan. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan Goenawan Moehamad bahwa tugas

sastrawan dan seniman pada umumnya adalah membuat penghayatan terhadap kehidupan

menjadi lebih intens. Dengan kata lain karya sastra atau karya seni yang baik hendaknya

mempunyai intensitas terhadap realitas, bukan sekadar meletakkan kembali realitas tersebut

(Moehamad, 1988: 53).

b. Kriteria kritik objektif

Kelompok kriteria ketiga langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus dan karya sastra.

Seorang kritikus dapat mempergunakan kriteria politik, religious atau moral. Misalnya saja

sebuah karya dinilai baik bila karya itu mengambil sikap yang diharapkan oleh kritikus, atau bila

karya itu menyoroti situasi-situasi yang dianggap penting oleh kritikus, sekalipun itu tidak

ditekankan oleh pengarangnya sendiri. Kriteria itu dijunjung tinggi bila fungsi sastra ditempatkan

dalam pendidikan atau emansipasi, ataupun bila diharapkan agar sastra mengambil sikap yang

tegas terhadap keadaan-keadaan tertentu, melibatkan diri dalam situasi itu (bandingkan dengan

paham sastra terlibat. Rendra pernah mengkritik para penyair salon yang bersajak tentang

anggur dan rembulan di tengah-tengah jerit kehidupan).

c. Kriteria kritik ekspresif

Kembali pada persoalan kriteria dalam penilaian, sering kriteria itu tidak dikemukakan

secara eksplisit, namun kadang-kadang masih dapat dilacak kriteria penilaian mana yang

dipergunakan atau dianut. Penilaian terhadap suatu karya sastra juga sangat dipengaruhi oleh

pandangan seseorang mengenai fungsi sastra. Fungsi yang berlainan juga menimbulkan kriteria

lain atau bahkan mempengaruhi hirarki criteria,mana yang paling dipentingkan (Lexemburg,

1984: 70).

Terdapat kriteria penilaian yang mengaitkan kualitas karya sastra dari sudut pengarang,

hal itu tampak dalam kriteria ekspresivitas. Suatu karya sastra dinilai baik apabila ekspresi

pribadi dan emosi pengarang diungkapkan dalam karya sastra dengan nyata. Diukur dari kriteria

intense sebuah karya sastra dinyatakan baik apabila intense (maksud) pengarang atau penyair

diungkapkan dengan baik atau selaras dengan norma-normanya (ingat kembali tentang norma-

norma sastra). Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi sebagaimana dilakukan

oleh kaum romantikus, maka kriteria ekspresivitas akan dipentingkan dalam menilai kualitas

suatu karya sastra.

d. Kriteria kritik pragmatik/reseptif

Di samping kriteria di atas, masih ada kriteria-kriteria penilaian dalam studi kritik sastra.

Kriteria yang dimaksud adalah kriteria yang di dasarkan atas teori pragmatis. Tercakup ke dalam

teori ini ialah kriteria (a) kesenangan (pleasure), (b) kemudahan pemahaman (intelligibility), (c)

permasalahannya berada di luar pengetahuan atau pengalaman pembaca (kritikus) yang disebut

novelity,dan familiarity, yaitu permasalahan berada dalam pengetahuan dan pengalaman sehari-

hari pembaca/kritikus.

e. Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kritikus untuk penulisan karya kritik

sastra yang ideal

Akhirnya, apat disebut beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi oleh sebuah laporan

evaluasi atau karya kritik sastra yang ideal.

1. Kritikus harus menunjukkan dalam kritik dan dalam suatu uraian umum, fungsi yang mana

yang diharapkan dari sastra dan kriteria mana yang dipergunakannya.

2. Kritikus harus menjelaskan kriteria dengan menunjukkan contoh-contohnya. Misalnya,

kriteria “orisinalitas” harus diperjelas, orisinalitas jika dibandingkan dengan apa; sebuah

penilaian seperti “memikat” harus ditolak karena tidak dapat dikontrol.

3. Kritik harus dapat dibuktikan dengan menunjukkan data dati teks sastra yang dikaji.

4. Menggunakan kriteria sedapat mungkin sehingga saling melengkapi. Sebuah penilaian

negative yang menitikberatkan pada moral, seharusnya diperkuat dengan argumentasi

structural, misalnya dengan mengamati pemakaian bahasanya.

5. Kritik harusnya memeperhatikan argumentasi structural: bentuk karya seni yang disebut sastra

itu menuntut agar isi dengan sadar dituangkan ke dalam bentuk tertentu.

6. Kritik terhadap karya hendaknya didukung dengan menempatkan karya itu di dalam

keseluruhan karya-karya pengarang yang sama, ataupun di dalam suatu jenis sastra tertentu

aliran tertentu (Lexemburg, 1984: 73).