Post on 07-Feb-2018
TEMU ILMIAH IPLBI 2015
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | B 071
Layak Huni dan Layak Wisata Pantai
Studi Kasus: Pantai Botutonuo, Provinsi Gorontalo
Pratiwi Mushar(1), Shirly Wunas(2)
(1)Labo. Struktur, bahan bangunan, dan konstruksi, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin. (2)Labo. Perumahan dan Permukiman, Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.
Abstrak
Pengelolaan kawasan wisata pesisir pantai umumnya sudah berbasis masyarakat setempat, dan
status lahan dominan adalah pemilikan masyarakat. Kondisi tersebut umumnya menimbulkan
masalah terhadap tindakan pembangunan dalam wilayah pasang surut air laut. Tujuan pembahasan
ini adalah untuk menjelaskan morfologi pembangunan hunian dan fasilitas penunjang wisatanya
ditinjau dari konsep keberlanjutan di kawasan pesisir pantai. Data diperoleh dengan cara survei
langsung di lapangan, pengamatan lapangan dengan mempergunakan peta dasar, wawancara
dengan mempergunakan kuisioner. Data aspirasi masyarakat diperoleh dengan metode pendekatan
FGD. Teknis analisis secara spasial dengan mempergunakan peta tematik dengan bantuan peta citra
satelit, analisis dibedakan secara sub kawasan yang ditentukan berdasarkan homogenitas dari fungsi
lahan. Hasil analisis menunjukkan pembangunan gazebo, rumah untuk homestay dan kegiatan
wisata serta kenelayanan telah menimbulkan konflik dalam penggunaan lahan, di wilayah pesisir,
ataupun di ruang dataran. Bentuk pembangunan telah mengabaikan kelayakan dan keselamatan
wisatawan dan penduduk lokal itu sendiri.
Kata-kunci : kawasan wisata, morfologi, hunian, pesisir
Pengantar
Saat ini pengembangan kegiatan wisata pantai
telah mengabaikan konsep keberlanjutan. Pen-
duduk lokal mengembangkan bangunan hunian
dan sarana penunjangnya tanpa mengikuti
peraturan tata bangunan dan lingkungan pesisir
pantai. Pembahasan ini mengambil kasus
wilayah pesisir pantai yang terdapat di Provinsi
Gorontalo, yaitu kawasan Wisata Botutonuo
yang terletak dalam wilayah Kecamatan Kabila
Bone, Kabupaten Bone Bolango.
Kawasan wisata tersebut diarahkan sebagai
kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi
dan daya dukung lingkungan. Sesuai hasil revisi
RIPPDA Provinsi Gorontalo 2012, kawasan
wisata Botutonuo diarahkan sebagai kawasan
strategis pengembangan pariwisata dan
diarahkan pengembangan kawasan wisata
pantai.
Kepedulian penduduk untuk mengembangkan
kawasan wisata Pantai sangat kuat, dan kondisi
tersebut didukung dengan model pengelolaan
wisata bahari berbasis masyarakat, dengn
tujuan untuk memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat pesisir ter-
utama yang berada di sekitar kawasan
konservasi laut (RIPPDA, Provinsi Gorontalo,
2012).
Pantai Botutonuo merupakan kawasan yang
sangat potensi sebagai lokasi wisata bagi
penduduk Kota Gorontalo dan sekitarnya (urban
tourism). Jarak 17km, waktu 20-30 menit,
dan biaya transport dengan becak motor
Rp.15.000-Rp20.000 dari Kota Gorontalo.
Terdapat jalan Arteri primer sebagai peng-
hubung dari Kota Gorontalo ke kawasan
pariwisata Botutonuo.
Layak Huni dan Layak Wisata Pantai (Kasus: Pantai Botutonuo, Provinsi Gorontalo)
B 072 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
Gambar 1. potensi alam berupa kerikil aneka warna,
pemandangan pantai luas terbuka, pasir putih, bukit
hijau, laut tenang di sepanjang pantai wilayah Pesisir
pantai Botutonuo.
Pantai Botutonuo mempunyai pemandangan
dengan bentangan alam luas (bukit, laut dan
kebun) dan indah, serta memiliki pantai pasir
putih, halus, luas di sepanjang pesisir, air laut
yang tenang dan memiliki kerikil berwarna dan
keindahan terumbu karang beraneka ragam (di
pantai sekitarnya, utamanya pantai Olele), lihat
gambar 1.
Gambar 2. Kegiatan berenang, bermain pasir, ban di
Pantai Botutonuo Tujuan pembahasan ini adalah untuk
menjelaskan morfologi pembangunan hunian dan
fasilitas penunjang wisatanya ditinjau dari konsep
keberlanjutan di kawasan pesisir pantai.
Metode
Jenis dan sumber data yang dibutuhkan
mencakup data fungsi ruang sempadan pantai/
daerah manfaat pantai, fungsi dataran, dan
fungsi sungai, bantaran sungai dan muaranya,
data umur bangunan, luas bangunan, status
pemilikan bangunan dan lahan, pertumbuhan
bangunan dalam ruang sempadan bangun-
an/GSB, KDB, KLB, kondisi tapak bangunan, luas
kapling, akses/ jaringan jalan dengan bangunan.
Metode Pengumpulan Data
Data tersebut diperoleh dengan cara survei
langsung di lapangan, pengamatan lapangan
dengan mempergunakan peta dasar, wawancara
dengan mempergunakan kuisioner.
Data Kelembagaan, mencakup jumlah tokoh
masyarakat (ulama, tetua, peran dari aspek
strata sosial, strata ekonomi, MBR, sektor
informal, diperoleh dengan cara wawancara
dengan mempergunakan kuesioner dan data
aspirasi masyarakat diperoleh dengan metode
pendekatan FGD.
Metode Analisis Data
Teknis analisis secara spasial dengan
mempergunakan peta tematik dengan bantuan
peta citra satelit, analisis dibedakan secara sub
kawasan yang ditentukan berdasarkan homo-
genitas dari fungsi lahan, topografi/ kemiringan
lereng dan geografi (sub kawasan Utara
dengan fungsi lahan permukiman, perkebunan
kelapa, pasir putih, krikil berwarna, sub kawasan
Selatan dengan fungsi lahan kebun kelapa,
pasir putih dan sub kawasan pembangunan baru
dengan lahan kosong, perkebunan, dan lereng
bukit, gambar 3).
Gambar 3. Peta yang dipergunakan untuk analisis
secara spatial dari kawasan Wisata Botutonuo.
Analisis dan Interpretasi
Terdapat 5 asas pembangunan wilayah pesisir
pantai yaitu 1)Asas manfaat, 2)Asas
berkelanjutan (alam dan budaya), 3)Asas
kepentingan kesejahteraan masyarakat, dan
kelestarian lingkungan, 4)Asas keamanan, dan
5) Asas komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota.
Namun asas yang dominan berkembang pada
masyarakat lokal saat ini adalah berdasarkan
kepentingan kesejahteraan masyarakat, dan
didukung dengan model pengelolaan wilayah
pesisir berbasis masyarakat (gambar 4).
Pratiwi Mushar
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | B 073
Salah satu kasus wilayah pesisi Botutonuo,
bangunan tempat istrahat berupa gazebo
terdapat di sepanjang pantai dengan biaya sewa
berdasarkan ukuran (Rp.35.000-
Rp.50.000/gazebo/hari).
Gambar 4. Kondisi rumah (homestay) dan gazebo
yang di sewakan kepada wisatawan.
Gazebo dan perumahan (kebutuhan homestay)
dibangun berlapis mendekati batas pasang
tertinggi air laut, mengabaikan keamanan
pengguna dan kelestarian wilayah pantai. Pola
pembangunan gazebo adalah sesuai luas dari
penguasaan lahan dari masyarakat lokal,
dominan dalam 1 tutupan atap konstruksi
sederhana yang bentangan luas bentuk prisma,
terdapat 02unit-30unit gasebo.
Belum ada keterpaduan penggunaan kawasan
pantai, ruang sempadan pantai yang merupakan
ruang publik dikuasai penduduk lokal, nampak
pada pembangunan gazebo yang mengarah ke
laut, kumuh, tanpa sarana cuci dan kakus.
Konflik pemanfaatan lahan di dataran, seperti
akses masuk keluar pantai, ataupun kebun
kelapa dipergunakan untuk parkir. Terdapat
enam pintu masuk dan pada setiap pintu
terdapat area parkir yang dikelola oleh
masyarakat sekitar (gambar 5).
Selain itu terdapat konflik pemanfaatan ruang
pantai, seperti ruang berpasir putih dan laut
yang digunakan untuk kegiatan renang,
dimanfaatkan juga untuk tambatan perahu,
rawan pencemaran air laut (gambar 5).
Gambar 5. Kondisi konflik guna lahan di wilayah
sempadan pantai (lahan untuk perumahan penduduk,
parkir dan kebun kelapan), dan konflik guna lahan
pantai (tambatan perahu, kegiatan renang, dan
rekreasi lainnya di sepanjang pantai wilayah pesisir
Botutonuo.
Perilaku perkembangan guna lahan tersebut
adalah secara natural, karena guna lahan pada
kawasan wisata pantai Botutonuo adalah 90%
lahan adalah milik masyarakat, bersertifikat.
Selain itu kawasan tersebut belum terdapat
perencanaan berbasis masyarakat.
Kondisi prasarana lingkungan untuk kegiatan
hunian dan wisata juga belum memperhatikan
aspek ramah lingkungan, dan kelayakan hunian.
Di wilayah pesisir pantai Botutonuo, masyarakat
sekitar pesisir membuang air limbah dan air
kotornya ke laut, atau dibiarkan tergenang di
sekitar rumah, atau dengan cara menggali
lubang.
Pengelolaan sampah dilakukan secara individu oleh penduduk lokal yaitu dengan sistem gali timbun. Belum ada sistem 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Air bersih berasal dari sumur galian dan memompanya dengan menggunakan tenaga energy surya. Oleh sebab itu diharapkan pengembangan instalasi listrik bersumber dari energi alternatif.
Selain prasarana lingkungan yang layak huni
dan layak wisata, wilayah pantai Botutonuo
belum dilengkapi jalur penyelamatan kecelakaan
lalu lintas ataupun evakuasi bencana alam.
Kawasan sangat rawan terhadap tsunami mem-
butuhkan perencanaan jaringan jalur
penyelamatan.
Kesimpulan
Pembangunan gazebo, rumah untuk kebutuhan
homestay dalam wilayah pasang surut air laut,
serta terdapat konflik penggunaan lahan, baik di
wilayah pesisir, maupun ruang dataran,
menunjukkan pembangunan belum mem-per-
timbangkan konsep keberlanjutan. Bentuk pem-
bangunan telah mengabaikan kelayakan dan
keselamatan wisatawan dan penduduk lokal itu
sendiri. Prasarana lingkungan belum mem-
perhatikan aspek ramah lingkungan, seperti air
kotor dibuang langsung ke laut, atau sungai,
dan sampah dilakukan secara individu tanpa
konsep 3R.
Layak Huni dan Layak Wisata Pantai (Kasus: Pantai Botutonuo, Provinsi Gorontalo)
B 074 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
Regulasi tata bangunan dan lingkungan perlu
disusun dan diterapkan di wilayah pesisir
Botutonu, agar dapat mendukung pelestarian
kawasan dan dapat mengendalikan per-
kembangan hunian pada keterbatasan lahan
dengan cara vertikal.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah.
Masterplan Teluk Tomini 2013-2033.
Edmund,B.1979. A Participatory Approach to Urban
Planning. Human Sciences Press
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Nomor
06/PRT/M/2007. Tanggal 16 Maret 2007. tentang
Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan
Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan
di Kawasan Tepi Air. Direktorat Jenderal Cipta Karya
Departemen Pekerjaan Umum. 2000
Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo NO 2 Tentang
Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah
Provinsi Gorontalo Tahun 2014.
Revisi rencana induk pembangunan kepariwisataan
Daerah (RIPPDA) Provinsi Gorontalo, 2012.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone
Bolango 2011-2031.
Rencana Strategis Wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil Provinsi Gorontalo 2013.
Revisi rencana induk pembangunan kepariwisataan
Daerah (RIPPDA) Kab. Bone Bolango 2011.
Undang-Undang No.09 Tahun 1990 tentang Pariwisata,
1990. Jakarta
Yulianda, 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif
Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir Berbasis
Konservasi. Makalah. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.