Post on 20-Nov-2014
description
BAB I
LATAR BELAKANG
Sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa
Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa
reformasi sekarang. Para founding father bangsa telah merumuskan secara
seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini
tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu.
Sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami
perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan sistem yang
baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks.
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini menyajikan pembahasan ini sebagai
dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem politik
Indonesia. Walaupun tidak secara spesifik membahas mengenai sistem politik
sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem
pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Namun sedikit banyaknya dapat memberi gambaran tentang
pembahasan politik di Indonesia masa Orde Baru hingga Era Reformasi.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi
pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari
pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa
pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan
integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan
keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem.
Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan
dan tantangan.Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi
tantangan ini berbeda diantara para pakar politik.Ahli politik zaman klasik
seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19
melihat prestasi politik dari sudut moral.Sedangkan pada masa modern
sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu
seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar
masyarakat dan lingkungan internasional.
Sistem pemerintahan Orba di mulai pada tanggal 11 Meret 1966 sampai
dengan 21 mei 1998. Selama 32 tahun pemerintah Soeharto memimpin negara
RI, telah terjadi pemusatan kekuasaan negara di tangan presiden. Secara
1
formal memang anggota MPR di pilih melalui pemilu, namun sesungguhnya
pemilu itu hanya mengisi 40% anggota MPR. Selebihnya 60% anggota sangat
bergantung kepada presiden.Selaku panglima tertinggi ABRI presiden
mempunyai kuasa untuk menentukan utusan ABRI di DPR/MPR. Presiden pun
mempunyai kuasa untuk menentukan wakil-wakil dari berbagai kelompok
masyarakat ke dalam utusan golongan di MPR. Presiden melaui Mendagri juga
mempunyai pengaruh dalam penentuan wakil dari daerah ke dalam Utusan
Daerah di MPR. Dan para anggota DPR hasil pemilu serta anggota tambahan
untuk partai peserta pemilu di MPR, yang mayoritas berasal dari partai Golkar,
juga tidak terlepas dari pengaruh presiden selaku ketua dewan pembina Golkar.
Disini tampak bahwa pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial di
masa Orba memiliki kemiringan dengan pelaksanaan sistem ini di masa
demokrasi terpimpin. Pemabasan hak politik rakyat ( hanya boleh ada 3 parpol,
dan satu wadah tunggal bagi masing-masing keompok kepentingan).
Pemuasan kekuasaan di tangan presiden, pembentukan lembaga
ekstrakonstitusional.
Namun harus di catat pula bahwa pemerintahan Orba relatif “berhasil”
melakukan pembangunan ekonomi. Sayang bahwa prestasi dalam bidang
ekonomi itu tidak di barengi dengan prestasi politik. Merebaknya praktek KKN,
serta kesenjangan kaya miskin yang cukup terasa menyebabkan semangkin
menumpuknya ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketidakpuasan yang
berkembang di masyarakat kemudian terakumulasi dalam gerakan-gerakan
protes mahasiswa, yang mendapat momentum ketika krisis ekonomi mulai
melanda wilayah RI di tahun 1997. Perpaduan di antara dua hal itu telah
mendorong turunya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden.
Pemerintah orba yang otoriter berakhir setelah gerakan mahasiswa
berhasil mendesak Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
presiden. Pernyataan mengundurkan diri itu dilakukan pada tanggal 21 mei
1998 dan sekaligus mengakhiri Orba (Bambang, 2002:70).
2
BAB II ISI
A. PEMAHAMAN SEJARAH POLITIK ORDE BARU
Tidaklah mudah memahami sejarah kontemporer, khususnya masa Orde
Baru, apalagi melihatnya di tengah perkembangan politik di jamin Reformasi
sebuah era yang muncul sebagai kritik dan kekecewaan terhadap kinerja Orde
Baru. Kecenderungan untuk melihat hitam putih menjadi sulit dihindari. Banyak
ahli yang dengan mudah turut terjebak kepada problematika teoritik maupun
interes yang komplek, sehingga tidak bisa melihat sejarah politik Orde Baru
dalam kacamata yang objektif. Mereka tidak kuasa mengambil jarak (withdrawl)
dari arus besar yang berkembang pada era reformasi, dan kemudian
melihatnya secara dikotomis, bahwa reformasi adalah “buku putih,” sedangkan
Orde Baru adalah “buku hitam” dalam sejarah kepolitikan Indonesia.
Bahwa sejarah politik Orde Baru menghasilkan krisis memang tidak bisa
dibantah, tetapi Orde Baru bukanlah sebuah fenomena politik yang monolitik,
yang dijelaskan dengan menggunakan satu atau dua kata kunci saja. Orde
Baru belakangan menanpilkan cirinya yang otoritarian. Namun sebenarnya
Orde Baru juga tercatat memiliki komitmen menumbuhkan demokrasi terutama
fase awal pertumbuhan Orde yang dipimpin oleh jenderal Besar Haji
Muhammad Soeharto ini. Oleh karena itu ada sejumlah komentator yang
menyatakan bahwa Soeharto “take off” dengan benar, tetapi kemudian
“landing” dengan cara keliru.
1. Periodisasi Politik Orde Baru
Jadi politik Orde Baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari
monolitik. Dengan demikian ada manfaatnya melihat Orde Baru dengan
melakukan pentahapan seperti di lakukan oleh Andreas Vickers seorang
associate professor di Universitas Wollongong Australia. Vikers membagi
sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu
fase Honeymoon, Stalinist dan fase Keterbukaan.
Vikers tidak memasukkan secara khusus periode krisis pemerintahan
Orde Baru, terutama pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan rezim
3
soeharto. Selayaknya masa krisis ini dicatat tersendiri, sehingga genapnya
periodesiasi politik masa Orde Baru itu meliputi sebagai berikut:
a. Periode Honeymoon
Fase pertama, mengutip pendapat Umar Kayam, Vikers menyebut
periode 1967-1974 sebagai fase Honeymoon. Pada periode ini sistem politik di
negeri ini relative terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati kebebasan pers.
Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan. Sebaliknya, militer
menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok islam dan sejumlah tokoh politik
pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat sehingga menjadi
jalinan triumvirate yang kuat dengan Adam malik yang dikenal sebagai tokoh
politik kekirian ( Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang dikenal
sebagai Soekarnois liberal.
Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari yang sertai dengan
dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain pihak
sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari tekanan lawan politik di
tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan tokoh popular, Ali
Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar di hamper semua posisi
politik dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia
untuk melakukan pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia
pada Tahun 1976.
b. Periode Stalinist
Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai
fase Stalinist. Pada fase ini otoritarianisme menjadi cirri yang mengedepankan
dalam arena kepolitikan di Indonesia. Pemerintahan menerapkan kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus, Menteri P dan K mengeluarkan SK 028/1978
dan Kopkamtib mengeluarkan Skep 02/Kopkam/1978 yang membekukan
kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia dikeluarkan SK Menteri P dan
K No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang disertai
pula dengan perangkat BKK.
4
Kebijakan normalisasi kehidupan kampus itu diterapkan dengan dalih
agar mahasiswa menjadi man of analysis dan bukan moral force atau apalagi
sebagai man political force. Dalam praktik, kebijakan itu berhasil
mendepolitisasi mahasiswa. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode ini,
kecuali gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal,
seperti gerakan protes mahasiswa terhadap pembangunan Waduk kedugombo,
penurun SPP, protes pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawancana,
protes mahasiswa Ujungpadang atas kenaikan tarif angkot.
Pada fase ini militer bergandengan erat dengan Birokrasi sehingga
menjadi instrument politik penguasa Orde Baru yang sangat tangguh. Lawan-
lawan politik Soeharto dimarginalisasikan. Pemerintahan memberlakukan
indoktrinasi ideology pancasila dalam bahasa penguasa melalui penataran P4,
pengasastunggalan organisasi politik, kemasyarakatan maupun keagamaan;
pemberlakuan politik masa mengambang (floating mass) setelah penasehat
politik soeharto, Ali Moertopo pertama kali berbicara tentang konsep tersebut.
c. Periode keterbukaan
Periode ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai
muncul kekuatan yang selama itu berseberangan dengan kekuasaan. Di
parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang
TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat-saat orang
mengucapkan “good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu
petunjuk Bapak presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintah mengeluarkan
sejumlah deregulasi, yang mempercepat arus massuknya modal asing.
Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.
Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke kecamatan-
kecamatan. Dengan modal Rp 50 juta bisa membuat bank, Bank perkreditan
Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan sejarah politik
internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan ( glasnost) dan reformasi
(perestroika) yang digulirkan oleh presiden Uni soviet, Michael Gorbachove.
5
d. Periode krisis
Puncak dari keterbukaan yang berlangsung di Indonesia adalah masa
krisis. Dimulai dengan krisis moneter. Kurs Rupiah di mata dolar AS merosot
tajam. Ibarat kapal, negeri ini sedang dihantam ombak besar. Sejumlah petinggi
negeri ini mengatakan tidak ada masalah, karena fundamental ekonomi kita
cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa badai moneter,
kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per dolar AS.
Krisis ini disertai dengan krisis sosial politik yang tak terkendali. Kelompok kritis,
dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung” dan
gelombang demonstrasi mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim soeharto
benar-benar sedang di terpa badai, dan akhirnya menyerahkan Kekuasaan
kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim soeharto, dan
dimulailah era baru, era reformasi. Indonesia memulai lembaran baru dalam
sejarah politik, dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa ini,
mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan, separatism, hingga
penjambretan, penodong dan berbagai bentuk kriminalitas yang tak terkendali
oleh aparat.
2. Hubungan Lembaga-lembaga Politik Orde Baru
Rezim Orde Baru memiliki cara-cara tertentu untuk mempertahankan
kekuasaan. Hampir tidak ada institusi politik di negeri ini yang tidak berada
dalam kontrol presiden, terutama setelah Orde Baru memasuki periode
Stalinist. Lembaga kepresidenan begitu kuat, menjadikan cabinet berada dalam
posisi subordinatif, dan bahkan parlemen tidak berdaya menghadapi kekuasaan
eksekutif, termasuk lembaga peradilan yang tidak bisa berdiri secara
independen sehingga kesemuanya menjadi instrument kekuasaan rezim Orde
Baru. Lebih terinci, bagaimana kelembagaan itu dikendalikan presiden dapat
digambarkan sebagai berikut:
a) Lembaga kepresidenan yang Dominan
Lembaga kepresidenan yang sebenarnya sebuah institusi yang
kompleks, bukan hanya terdiri atas presiden saja, melainkan juga Wakil
6
Presiden dan sejumlah aparat pemerintah, sebagai pelaksana kekuasaan
eksekutif seperti para menteri anggota kabinet. Dengan demikian, sampai
dengan 1998, tidak ada orang di Indonesia yang sangat kuat, selain Presiden
Soeharto. Soeharto memperoleh legitimasi sejak awal Orde Baru, terutama
disebabkan karena keberhasilannya dalam membangun ekonomi, meski
kemudian sejalan dengan krisis ekonomi, krisis pula legitimasi dan otoritas
soeharto.
Ramlan Subarki menyebut ada 5 faktor yang menyebabkan Soeharto
menjadi presiden yang powerful, yaitu karena faktor:
Faktor konstitusi
Faktor budaya
Faktor pribadi
Faktor politik
Faktor ekonomi
Pertama, konstitusi Indonesia, UUD 1945, menempatkan ekskutif begitu kuat.
Sejumlah pasal dari 13 pasal dalam UUD 1945 berkaitan dengan kekuasaan
yang membuat presiden menjadi powerful dan memegang kunci kekuasaan,
baik kekuasaan eksekutif, legislatif, judicial, kebijakan luar negeri dan
keamanan. Terbatas sekali prinsip check and balance dalam konstitusi di
Indonesia.
Kedua, faktor budaya turut menjadi lembaga kepresidenan sangat kuat. Dalam
budaya atau tradisi jawa, presiden dipandang sebagai layaknya Raja. Dalam
berbagai kesempatan perilaku presiden lebih menggambarkan praktik budaya
monarki daripada seorang kepala Negara modern. Misalnya, presiden
cenderung “memberi petunjuk” kepada organisasi sosial politik, dan bukan
dalam rangka artikulasi kepentingan dan kebijakan. Presiden sama dengan
sabda pendito Ratu. Presiden memberikan kesempatan organisasi semacam ini
memilih pimpinan yang mereka inginkan sendiri.
Ketiga, faktor otoritas pribadi pemangku jabatan presiden. Seperti juga
soekarno, soeharto menduduki jabatan presiden dalam masa bakti yang cukup
lama karena keunikan kualifikasi dan sifat-sifat pribadinya. Kalau soekarno
menjadi penguasa kuat, karena ia adalah “fouding father” proklamator
7
kemerdekaan, pemersatu bangsa Indonesia, maka soeharto menjadi sangat
kuat karena posisinya sebagai pendiri Orde Baru, pemberantas kekejaman PKI
dan penyelamat bangsa, dan “Bapak Pembangunan.” Meski soekarno juga
panglima tertinggi ABRI (kini TNI), namun soeharto jauh lebih powerful dan
memiliki otoritas lebih di tubuh ABRI, karena ia adalah seorang jenderal yang
memang pernah memimpin pasukan.
Keempat, faktor sistem politik Orde Baru yang bercorak Birokratik Otoritarian.
Sistem ini menjadikan presiden bisa memegang kekuasaan penuh dalam
bidang ekonomi maupun politik yang ada. Misalnya, presiden mengangkat sisa
MPR yang tidak diisi DPR, bersidang setiap lima tahun sekali untuk memilih
presiden dan menentukan GBHN sebanyak 100 kursi DPR disisikan bagi
perwira tentara yang di angkat. Demikian pula presiden yang mengangkat
sejumlah pimpinan departemen, badan dan lembaga seperti BPKP, DPA dan
Mahkamah Agung.
Pengaruh presiden menyebar ke seluruh aspek kehidupan politik. Sistem
pemilu, politik partai, sistem representasi kelompok kepentingan dan
pemerintah daerah memberi peluang presiden dan pejabat senior untuk
melakukan intervensi di semua sektor. Misalnya, praktik penelitian khusus
(litsus) yang dilakukan oleh birokrasi sipil dan militer terhadap pejabat pusat
dan daerah serta calon pemimpin partai menunjukkan derajat campur tangan
langsung presiden terhadap berbagai institusi dan partai politik. Di tambah lagi
institusi Bakorstanasda yang bisa mengendalikan berita macam apa dan siapa
yang boleh berbicara kepada public.
Kelima, faktor ekonomi. Kinerja pemerintah Orde Baru dalam pembangunan
ekonomi memberikan kesempatan rakyat meningkatkan kesejahteraan.
Pemerintah Orde Baru berhasil menaikkan produksi beras, meningkatkan
angka melek huruf, pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi dan
komunikasi serta membuka kesempatan kerja di lapangan industry. Dengan
diberi predikat sebagai “Bapak pembangunan” menunjukkan presiden diakui
memiliki peran yang besar dalam mencapai prestasi pembangunan tersebut.
8
b) Lembaga peradilan yang tidak independen
Lembaga peradilan di Indonesia selama Orde Baru, Menurut Subarki,
lebih berkaitan dengan persoalan pertumbuhan ekonomi, dilihat dari :
1) Masalah yang sampai ke Mahkamah Agung banyak yang berkaitan dengan
sengketa tanah dan penggunaan tanah untuk tujuan pembangunan.
2) Naiknya pajak memungkinkan untuk menaikkan gaji pejabat peradilan (gaji
hakim pernah dinaikan seratus persen).
3) Pemerintahan mendirikan delapan PTUN lengkap dengan infrastruktur
bangunan, hakim dan staf serta berbagai fasilitas di seluruh Indonesia.
Semua hakim agung, termasuk para deputi diangkat oleh presiden dari
daftar calon yang diusulkan oleh DPR. Namun Mahkamah Agung tidak memiliki
otoritas yang cukup untuk menentukan apakah kebijakan pemerintah dan
tindakannya sesuai dengan konstitusi atau tidak. Sementara itu semua hakim di
daerah maupun di pengadilan tinggi adalah pegawai negeri, yang diangkat,
dipromosikan, digajikan dan diawasi oleh Departemen Kehakiman. Anggaran
mereka ditentukan oleh Seketariat Negara. Dengan demikian peradilan di
Indonesia, termasuk Mahkamah Agung disusun sebagai bagian dari pemerintah
daripada sebagai lembaga peradilan. Di kalangan pemerintah berkembang
pemahaman bahwa “ hukum harus dipakai dalam rangka pembangunan.”
Sehingga tidak berpikir pentingnya sistem peradilan yang independen yang
sebenarnya dibutuhkan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
3. Hubungan Negara dan Masyarakat
Selama masa Orde Baru Negara sangat kuat. Tidak ada perubahan
yang tidak di mulau dari Negara. Masyarakat tidak memiliki ruang partisipasi
politik. Masyarakat dimobilisasi oleh Negara. Partisipasi bukan bermakna turut
serta merencanakan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan pembangunan.
Partisipasi berubah makna menjadi turut serta member sumbangan dari proyek
pemerintah yang dibiayanya kurang.
Negara menjadi sangat kuat di mata masyarakat karena Negara
mengorganisasikan masyarakat yang memiliki beragam kepentingan secara
korporatis. Dengan di organisasikan secara korporatis, masyarakat yang plural
dapat menyalurkan kepentingan yang berbeda-beda melalui mekanisme yang
9
tidak perlu menimbulkan konflik antar kelompok atau antar kelas. Perbedaan
kepentingan kelompok dan kelas dapat diselesaikan melalui wakil-wakil mereka
dalam organisasi korporatis. Dengan demikian korporatis adalah suatu usaha
nyata untuk menekan konflik kelas atau kelompok kepentingan dengan baik
tidak menggunakan kekerasan (coersif).
Melalui pengorganisasi secara korporatis inilah Negara menaklukkan
masyarakat sendiri. Negara dengan mudah memenuhi berbagai
kepentingannya yang otonom, kepentingan eksklusif Negara yang tidak
mencerminkan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Sebagai implikasinya, maka
masyarakat mengalami depolitasasi. Masyarakat yang tersingkir, tereksploitasi,
tidak kuasa melawan tekanan-tekanan Negara. Masyarakat yang miskin seperti
kaum buruh, petani, nelayan, pegawai rendahan dan yang tersisihkan lainnya
tidak cukup memiliki kesadaran politik yang memadai untuk menghadapi
intervensi Negara. Negaranisasi terjadi hingga sampai pedesaan tang terpencil
sekalipun.
4. Peran Militer, Parpol dan dampaknya terhadap HAM
Rezim Orde Baru bisa dikatakan kemenangan militer, karena
peranannya menjadi sangat besar. ABRI ( di kemudian hari berubah menjadi
TNI ) mengitervensi politik sipil melalui doktrin dwifungsi. Dengan doktrin ini
militer memperoleh legitimasi untuk masuk ke ranah politik sipil. Antara lain
dengan menempatkan tenaga militer yang aktif maunpun pensiunan di MPR,
DPR, DPRD, eksekutif dan staf pemerintah pusat maupun daerah. Sejumlah
lembaga Negara penting seperti Depdagri selalu dipegang ABRI. Pada tahun
1996 seperempat jabatan setingkat cabinet termasuk Menteri Agama dan
jumlah besar eselon II dipegang oleh perwira yang masih dinas atau sudah
pension. ABRI juga melakukan kontrol terhadap Golkar, mengawasi penduduk
melalui komando territorial.
Dalam konteks ini, sejalan dengan semakin tinggi tingkat kesadaran
politik masyarakat, sehubungan dengan meluasnya masyarakat yang terdidik,
maka semakin menyebar kekuatan kritis di masyarakat. Namun semakin kritis
masyarakat, ternyata militer cenderung semakin represif. Semakin represif
10
militer, maka semakin banyak pelanggaran HAM dan semakin sering muncul
yang disebut dengan the state violence sejak dari kasus Tanjung Priok,
Lampung Haor Koneng dan beberapa kasus lainnya. Kasus pelanggaran HAM
yang cukup menggempar dan membuat posisi militer semakin tersudut adalah
kasus penyiksaan tokoh buruh wanita, Marsinah, di jawa Timur tahun 1993.
Para majikan Marsinah di tangkap, tetapi perwira di komando militer setempat.
5. Kebijakan Politik Aliran
Kemenangan Orde Baru, ada yang menafsirkan sebagai kemenangan
“orang jawa” karena Orde Baru didominasi militer yang memerintah sejak 1966
secara prinsip tidak dekat dengan Islam. Banyak elit Orde Baru dibesarkan
dalam lingkungan Hindu-jawa sehingga menjadikan mereka lebih kuat dari yang
lain. Sikap permusuhan elit penguasa Islam telah mendorong pemerintah untuk
melarang kembalinya masyumi tahun 1966, termasuk memangkas partai Islam
dan menfusikannya kedalam PPP pada tahun 1973. Elit Orde Baru lebih
cenderung berkoalisi dengan orang-orang Cina Katolik, sosial bekas anggota
PSI dan sejumlah perwira militer anti Islam sengan Ali murtopo pendiri CSIS
sebagai otak di belakang semua kebijakan Orde Baru. Pada SU-MPR 1973, ia
“menampak umat islam” dengan mengusulkan aliran kepercayaan berstatus
sebagai Agama.
NB; (Perspektif Islam politik memandang hubungan Islam dan politik sebagai bersifat organic. Masalah politik, hukum maupun ekonomi diimajinasikan sebagai terkait secara structural dari sistem religious Islam yang dipahami secara skriptualistik, legistik dan formalistic. Lihat Bahtiar Efendy, Islam dan Negara : tranformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 48-58)
B. ERA REFORMASI
Sistem Politik Pada Era Reformasi
Sistem politik pada era reformasi biasa diuraikan sebagai berikut :
a) Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
b) Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
c) Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
d) Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
11
e) Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
f) Gaya politik – pragmatic
g) Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
h) Partisipasi massa – tinggi
i) Keterlibatan militer – dibatasi
j) Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
k) Stabilitas – instabil
Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia dimulai pada
pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri
pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas
pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter
Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan
ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol
pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI
Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi
pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh
suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-
pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan
Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa yang di
pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%.
Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai
presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun.
Wahid membentuk kabinet pertamanya yaitu Kabinet Persatuan Nasional pada
awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan
perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping
ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga
menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku,
dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang
tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan
12
Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan
sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang
kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang
meluap-luap.
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid
memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001 , ribuan
demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri
dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari
MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam
pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan
kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati
mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo
Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru
ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan
besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang
meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal
2005 yang mengguncang Sumatra. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan
bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di
wilayah Aceh.
C. PERGESERAN POLITIK ERA REFORMASI
Memasuki 1998, bangsa Indonesia kemudia berhasil melakukan
reformasi, melengserkan rezim monolitik. Negara lalu bukan saja mengalami
delegitimasi, tetapi juga demoralisasi dimata masyarakat. Sejak itu posisi
burgaining masyarakat meningkat, sehingga suara mereka jauh lebih ber “daya”
sekurang-kurangnya disbanding dengan era sebelumnya. Bangsa Indonesia
lalu memulai era baru dengan semagat membangun sistem yang demokratis.
Era ini Nampak lebih menjanjikan ruang partisipasi bagi semua elemen
masyarakat dalam berbagai kehidupan ekonomi, sosial maupun politik.
BAB III
13
PENUTUP
Menurut saya keadaan dewasa sudah demokrasi yang telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulimya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik, penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan yang berlebihan tersebut bersifat kontekstual dan polanya tidak melembaga, cenderung mengarah pola tindakan anarkis.
Demikian pula dengan potensi kemajemukan masyarakat Indonesia yang didalammya mengandung benih konflik sosial dan sara. Kasus-kasus pemilihan pimpinan daerah sampai pemilihan Kepala Desa memunculkan pertengkaran warga diberbagai daerah menjadi ancaman bagi keutuhan persatuan serta kesatuan masyarakat. Kondisi ini merupakan tantangan yang perlu mendapat perhatian dan ditindaklanjub dengan cepat, tepat serta menyentuh substansi permasalahannya. Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik yang stabil transparan dan aemokratis. Banyaknya kasus yang lebih mengedepankan kepentingan politik daripada penegakan supremasi hukum dan penghargaan atas hak asasi manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan contoh betapa kerasnya usaha yang harus diperjuangkan dalam mempercepat proses penegakkan demokrasi yang benar.
Oleh karena itu diperlukan karakter budaya politik dan tingkat pendidikan politik yang representatif dapat menjadi faktor penting terwujudnya kehidupan demokrasi yang bermartabat.Strategi Kebijakan Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi kebijakan pembangunan politik yang ditetapkan adalah
a) fasilitasi penyelenggaraan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif;
b) peningkatan partisipasi politik masyarakat, dengan meningkatkan keikutsertaan rakyat dalam proses penentuan keputusan oan kebijakan daerah;
c) peningkatan peran dan fungsi lembaga legislatif, sehingga lebih mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsinya;
14
d) mendukung pelaksanaan/ penyelenggaraan Pemiiu yang lebih demokratis, jujur dan adil dalam rangka penegakan kedaulatan rakyat di segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tujuan dan Sasaran Tujuan pembangunan politik adalah menciptakan stabilitas politik yang kondusif bagi terselenggaranya pembangunan di segala bidang, dengan menciptakan kehidupan politik yang dinamis dan mampu mengakomodasikan setiap perubahan kepentingan serta aspirasi rakyat dan perkembangan lingkungan strategis regional maupun nasional.
Program Pembangunan Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik Rakyat dan Pengembangan Sistem Politik Program ini bertujuan menfasilitasi penyelenggaraan pendidikan politik rakyat dan pengembangan Sistem politik yang dapat meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban politiknya dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kegiatannya meliputi :
a) fasilitasi bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk melakukan
sosialisasi dan pembinaan terhadap kader-kadernya;
b) fasilitasi pendidikan politik dan pengembangan budaya politik;
c) fasilitasi terhadap pembenahan secara sistematik ketembagaan, tata kerja,
personil, dan proses yang terjadi baik di tingkat suprastruktur politik
maupun di tingkat infrastruktur politik;
d) pengembangan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui
penegakan hukum secara adil dan konsisten sebagai cermin
pengembangan etika politik dan budaya politik yang positif – konstruktif.
Peningkatan Peran Lembaga Legislatif Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran lembaga legislatif sebagai institusi politik yang mampu menjabarkan aspirasi rakyat, terciptanya mekanisme kontrol yang efektif, mendorong proses demokratisasi serta menciptakan iklim yang mendukung terwujudnya sikap keterbukaan dan tanggungjawab.
Program ini meliputi kegiatan : (1) peningkatan peran lembaga legislatif secara proporsional dan lebih
peka, inovatif, aspiratif terhadap keinginan masyarakat; dan (2) peningkatan peran lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi kontrol.
15
Fasilitasi/Dukungan Penyelenggaraan Pemilu 2004 dan Sosialisasi Sistem Pemilu Program ini bertujuan untuk mendukung peningkatan Penyelenggaraan pemilihan umum dengan memberikan peran yang ebih efektif kepada organisasi peserta pemilihan umum, baik dalam perencanaan. pelaksanaan maupun pengawasan di daerah, serta sosialisasi sistem Pemilu yang telah disepakati kepada masyarakat.
Program ini meliputi kegiatan: (1) Penyelenggaraan pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan
prinsip jujur , adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia; (2) peningkatan sarana dan prasarana pemilihan umum yang
representatif; (3) peningkatan infrastruktur komunikasi dalam mendukung kualitas
Penyelenggaraan pemilihan umum.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Menurut saya, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara. Sistem politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng.
16