Latar belakang

24
BAB I LATAR BELAKANG Sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang. Para founding father bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu. Sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini menyajikan pembahasan ini sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem politik Indonesia. Walaupun tidak secara spesifik membahas mengenai sistem politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun sedikit banyaknya dapat memberi gambaran tentang pembahasan politik di Indonesia masa Orde Baru hingga Era Reformasi. Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku- saranan-tujuan dan pengambilan keputusan Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk 1

description

 

Transcript of Latar belakang

Page 1: Latar belakang

BAB I

LATAR BELAKANG

Sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa

Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa

reformasi sekarang. Para founding father bangsa telah merumuskan secara

seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini

tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu.

Sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami

perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan sistem yang

baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks.

Berdasarkan hal tersebut, makalah ini menyajikan pembahasan ini sebagai

dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem politik

Indonesia. Walaupun tidak secara spesifik membahas mengenai sistem politik

sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem

pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan

yudikatif. Namun sedikit banyaknya dapat memberi gambaran tentang

pembahasan politik di Indonesia masa Orde Baru hingga Era Reformasi.

Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi

pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari

pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa

pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan

integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan

keputusan

Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem.

Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan

dan tantangan.Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi

tantangan ini berbeda diantara para pakar politik.Ahli politik zaman klasik

seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19

melihat prestasi politik dari sudut moral.Sedangkan pada masa modern

sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu

seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar

masyarakat dan lingkungan internasional.

Sistem pemerintahan Orba di mulai pada tanggal 11 Meret 1966 sampai

dengan 21 mei 1998. Selama 32 tahun pemerintah Soeharto memimpin negara

RI, telah terjadi pemusatan kekuasaan negara di tangan presiden. Secara

1

Page 2: Latar belakang

formal memang anggota MPR di pilih melalui pemilu, namun sesungguhnya

pemilu itu hanya mengisi 40% anggota MPR. Selebihnya 60% anggota sangat

bergantung kepada presiden.Selaku panglima tertinggi ABRI presiden

mempunyai kuasa untuk menentukan utusan ABRI di DPR/MPR. Presiden pun

mempunyai kuasa untuk menentukan wakil-wakil dari berbagai kelompok

masyarakat ke dalam utusan golongan di MPR. Presiden melaui Mendagri juga

mempunyai pengaruh dalam penentuan wakil dari daerah ke dalam Utusan

Daerah di MPR. Dan para anggota DPR hasil pemilu serta anggota tambahan

untuk partai peserta pemilu di MPR, yang mayoritas berasal dari partai Golkar,

juga tidak terlepas dari pengaruh presiden selaku ketua dewan pembina Golkar.

Disini tampak bahwa pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial di

masa Orba memiliki kemiringan dengan pelaksanaan sistem ini di masa

demokrasi terpimpin. Pemabasan hak politik rakyat ( hanya boleh ada 3 parpol,

dan satu wadah tunggal bagi masing-masing keompok kepentingan).

Pemuasan kekuasaan di tangan presiden, pembentukan lembaga

ekstrakonstitusional.

Namun harus di catat pula bahwa pemerintahan Orba relatif “berhasil”

melakukan pembangunan ekonomi. Sayang bahwa prestasi dalam bidang

ekonomi itu tidak di barengi dengan prestasi politik. Merebaknya praktek KKN,

serta kesenjangan kaya miskin yang cukup terasa menyebabkan semangkin

menumpuknya ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketidakpuasan yang

berkembang di masyarakat kemudian terakumulasi dalam gerakan-gerakan

protes mahasiswa, yang mendapat momentum ketika krisis ekonomi mulai

melanda wilayah RI di tahun 1997. Perpaduan di antara dua hal itu telah

mendorong turunya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden.

Pemerintah orba yang otoriter berakhir setelah gerakan mahasiswa

berhasil mendesak Soeharto untuk mengundurkan diri  dari jabatannya sebagai

presiden. Pernyataan mengundurkan diri itu dilakukan pada tanggal 21 mei

1998 dan sekaligus mengakhiri Orba (Bambang, 2002:70).

2

Page 3: Latar belakang

BAB II ISI

A. PEMAHAMAN SEJARAH POLITIK ORDE BARU

Tidaklah mudah memahami sejarah kontemporer, khususnya masa Orde

Baru, apalagi melihatnya di tengah perkembangan politik di jamin Reformasi

sebuah era yang muncul sebagai kritik dan kekecewaan terhadap kinerja Orde

Baru. Kecenderungan untuk melihat hitam putih menjadi sulit dihindari. Banyak

ahli yang dengan mudah turut terjebak kepada problematika teoritik maupun

interes yang komplek, sehingga tidak bisa melihat sejarah politik Orde Baru

dalam kacamata yang objektif. Mereka tidak kuasa mengambil jarak (withdrawl)

dari arus besar yang berkembang pada era reformasi, dan kemudian

melihatnya secara dikotomis, bahwa reformasi adalah “buku putih,” sedangkan

Orde Baru adalah “buku hitam” dalam sejarah kepolitikan Indonesia.

Bahwa sejarah politik Orde Baru menghasilkan krisis memang tidak bisa

dibantah, tetapi Orde Baru bukanlah sebuah fenomena politik yang monolitik,

yang dijelaskan dengan menggunakan satu atau dua kata kunci saja. Orde

Baru belakangan menanpilkan cirinya yang otoritarian. Namun sebenarnya

Orde Baru juga tercatat memiliki komitmen menumbuhkan demokrasi terutama

fase awal pertumbuhan Orde yang dipimpin oleh jenderal Besar Haji

Muhammad Soeharto ini. Oleh karena itu ada sejumlah komentator yang

menyatakan bahwa Soeharto “take off” dengan benar, tetapi kemudian

“landing” dengan cara keliru.

1. Periodisasi Politik Orde Baru

Jadi politik Orde Baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari

monolitik. Dengan demikian ada manfaatnya melihat Orde Baru dengan

melakukan pentahapan seperti di lakukan oleh Andreas Vickers seorang

associate professor di Universitas Wollongong Australia. Vikers membagi

sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu

fase Honeymoon, Stalinist dan fase Keterbukaan.

Vikers tidak memasukkan secara khusus periode krisis pemerintahan

Orde Baru, terutama pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan rezim

3

Page 4: Latar belakang

soeharto. Selayaknya masa krisis ini dicatat tersendiri, sehingga genapnya

periodesiasi politik masa Orde Baru itu meliputi sebagai berikut:

a.      Periode Honeymoon

Fase pertama, mengutip pendapat Umar Kayam, Vikers menyebut

periode 1967-1974 sebagai fase Honeymoon. Pada periode ini sistem politik di

negeri ini relative terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati kebebasan pers.

Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan. Sebaliknya, militer

menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok islam dan sejumlah tokoh politik

pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat sehingga menjadi

jalinan triumvirate yang kuat dengan Adam malik yang dikenal sebagai tokoh

politik kekirian ( Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang dikenal

sebagai Soekarnois liberal.

Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari yang sertai dengan

dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain pihak

sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari tekanan lawan politik di

tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan tokoh popular, Ali

Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar di hamper semua posisi

politik dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia

untuk melakukan pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia

pada Tahun 1976.

b.      Periode Stalinist

Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai

fase Stalinist. Pada fase ini otoritarianisme menjadi cirri yang mengedepankan

dalam arena kepolitikan di Indonesia. Pemerintahan menerapkan kebijakan

Normalisasi Kehidupan Kampus, Menteri P dan K mengeluarkan SK 028/1978

dan Kopkamtib mengeluarkan Skep 02/Kopkam/1978 yang membekukan

kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia dikeluarkan SK Menteri P dan

K No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang disertai

pula dengan perangkat BKK.

4

Page 5: Latar belakang

Kebijakan normalisasi kehidupan kampus itu diterapkan dengan dalih

agar mahasiswa menjadi man of analysis dan bukan moral force atau apalagi

sebagai man political force. Dalam praktik, kebijakan itu berhasil

mendepolitisasi mahasiswa. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode ini,

kecuali gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal,

seperti gerakan protes mahasiswa terhadap pembangunan Waduk kedugombo,

penurun SPP, protes pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawancana,

protes mahasiswa Ujungpadang atas kenaikan tarif angkot.

Pada fase ini militer bergandengan erat dengan Birokrasi sehingga

menjadi instrument politik penguasa Orde Baru yang sangat tangguh. Lawan-

lawan politik Soeharto dimarginalisasikan. Pemerintahan memberlakukan

indoktrinasi ideology pancasila dalam bahasa penguasa melalui penataran P4,

pengasastunggalan organisasi politik, kemasyarakatan maupun keagamaan;

pemberlakuan politik masa mengambang (floating mass) setelah penasehat

politik soeharto, Ali Moertopo pertama kali berbicara tentang konsep tersebut.

c.       Periode keterbukaan

Periode ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai

muncul kekuatan yang selama itu berseberangan dengan kekuasaan. Di

parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang

TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat-saat orang

mengucapkan “good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu

petunjuk Bapak presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintah mengeluarkan

sejumlah deregulasi, yang mempercepat arus massuknya modal asing.

Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.

Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke kecamatan-

kecamatan. Dengan modal Rp 50 juta bisa membuat bank, Bank perkreditan

Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan sejarah politik

internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan ( glasnost) dan reformasi

(perestroika) yang digulirkan oleh presiden Uni soviet, Michael Gorbachove.

5

Page 6: Latar belakang

d.      Periode krisis

Puncak dari keterbukaan yang berlangsung di Indonesia adalah masa

krisis. Dimulai dengan krisis moneter. Kurs Rupiah di mata dolar AS merosot

tajam. Ibarat kapal, negeri ini sedang dihantam ombak besar. Sejumlah petinggi

negeri ini mengatakan tidak ada masalah, karena fundamental ekonomi kita

cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa badai moneter,

kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per dolar AS.

Krisis ini disertai dengan krisis sosial politik yang tak terkendali. Kelompok kritis,

dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung” dan

gelombang demonstrasi mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim soeharto

benar-benar sedang di terpa badai, dan akhirnya menyerahkan Kekuasaan

kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim soeharto, dan

dimulailah era baru, era reformasi. Indonesia memulai lembaran baru dalam

sejarah politik, dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa ini,

mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan, separatism, hingga

penjambretan, penodong dan berbagai bentuk kriminalitas yang tak terkendali

oleh aparat.

2. Hubungan Lembaga-lembaga Politik Orde Baru

Rezim Orde Baru memiliki cara-cara tertentu untuk mempertahankan

kekuasaan. Hampir tidak ada institusi politik di negeri ini yang tidak berada

dalam kontrol presiden, terutama setelah Orde Baru memasuki periode

Stalinist. Lembaga kepresidenan begitu kuat, menjadikan cabinet berada dalam

posisi subordinatif, dan bahkan parlemen tidak berdaya menghadapi kekuasaan

eksekutif, termasuk lembaga peradilan yang tidak bisa berdiri secara

independen sehingga kesemuanya menjadi instrument kekuasaan rezim Orde

Baru. Lebih terinci, bagaimana kelembagaan itu dikendalikan presiden dapat

digambarkan sebagai berikut:

a)      Lembaga kepresidenan yang Dominan

Lembaga kepresidenan yang sebenarnya sebuah institusi yang

kompleks, bukan hanya terdiri atas presiden saja, melainkan juga Wakil

6

Page 7: Latar belakang

Presiden dan sejumlah aparat pemerintah, sebagai pelaksana kekuasaan

eksekutif seperti para menteri anggota kabinet. Dengan demikian, sampai

dengan 1998, tidak ada orang di Indonesia yang sangat kuat, selain Presiden

Soeharto. Soeharto memperoleh legitimasi sejak awal Orde Baru, terutama

disebabkan karena keberhasilannya dalam membangun ekonomi, meski

kemudian sejalan dengan krisis ekonomi, krisis pula legitimasi dan otoritas

soeharto.

Ramlan Subarki menyebut ada 5 faktor yang menyebabkan Soeharto

menjadi presiden yang powerful, yaitu karena faktor:

         Faktor konstitusi

         Faktor budaya

         Faktor pribadi

         Faktor politik

         Faktor ekonomi

  Pertama, konstitusi Indonesia, UUD 1945, menempatkan ekskutif begitu kuat.

Sejumlah pasal dari 13 pasal dalam UUD 1945 berkaitan dengan kekuasaan

yang membuat presiden menjadi powerful dan memegang kunci kekuasaan,

baik kekuasaan eksekutif, legislatif, judicial, kebijakan luar negeri dan

keamanan. Terbatas sekali prinsip check and balance dalam konstitusi di

Indonesia.

  Kedua, faktor budaya turut menjadi lembaga kepresidenan sangat kuat. Dalam

budaya atau tradisi jawa, presiden dipandang sebagai layaknya Raja. Dalam

berbagai kesempatan perilaku presiden lebih menggambarkan praktik budaya

monarki daripada seorang kepala Negara modern. Misalnya, presiden

cenderung “memberi petunjuk” kepada organisasi sosial politik, dan bukan

dalam rangka artikulasi kepentingan dan kebijakan. Presiden sama dengan

sabda pendito Ratu. Presiden memberikan kesempatan organisasi semacam ini

memilih pimpinan yang mereka inginkan sendiri.

  Ketiga, faktor otoritas pribadi pemangku jabatan  presiden. Seperti juga

soekarno, soeharto menduduki jabatan presiden dalam masa bakti yang cukup

lama karena keunikan kualifikasi dan sifat-sifat pribadinya. Kalau soekarno

menjadi penguasa kuat, karena ia adalah “fouding father” proklamator

7

Page 8: Latar belakang

kemerdekaan, pemersatu bangsa Indonesia, maka soeharto menjadi sangat

kuat karena posisinya sebagai pendiri Orde Baru, pemberantas kekejaman PKI

dan penyelamat bangsa, dan “Bapak Pembangunan.” Meski soekarno juga

panglima tertinggi ABRI (kini TNI), namun soeharto jauh lebih powerful dan

memiliki otoritas lebih di tubuh ABRI, karena ia adalah seorang jenderal yang

memang pernah memimpin pasukan.

  Keempat, faktor sistem politik Orde Baru yang bercorak Birokratik Otoritarian.

Sistem ini menjadikan presiden bisa memegang kekuasaan penuh dalam

bidang ekonomi maupun politik yang ada. Misalnya, presiden mengangkat sisa

MPR yang tidak diisi DPR, bersidang setiap lima tahun sekali untuk memilih

presiden dan menentukan GBHN sebanyak 100 kursi DPR disisikan bagi

perwira tentara yang di angkat. Demikian pula presiden yang mengangkat

sejumlah pimpinan departemen, badan dan lembaga seperti BPKP, DPA dan

Mahkamah Agung.

Pengaruh presiden menyebar ke seluruh aspek kehidupan politik. Sistem

pemilu, politik partai, sistem representasi kelompok kepentingan dan

pemerintah daerah memberi peluang presiden dan pejabat senior untuk

melakukan intervensi di semua sektor. Misalnya, praktik penelitian khusus

(litsus) yang dilakukan oleh birokrasi sipil dan militer terhadap pejabat pusat

dan daerah serta calon pemimpin partai menunjukkan derajat campur tangan

langsung presiden terhadap berbagai institusi dan partai politik. Di tambah lagi

institusi Bakorstanasda yang bisa mengendalikan berita macam apa dan siapa

yang boleh berbicara kepada public.

  Kelima, faktor ekonomi. Kinerja pemerintah Orde Baru dalam pembangunan

ekonomi memberikan kesempatan rakyat meningkatkan kesejahteraan.

Pemerintah Orde Baru berhasil menaikkan produksi beras, meningkatkan

angka melek huruf, pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi dan

komunikasi serta membuka kesempatan kerja di lapangan industry. Dengan

diberi predikat sebagai “Bapak pembangunan” menunjukkan presiden diakui

memiliki peran yang besar dalam mencapai prestasi pembangunan tersebut.

8

Page 9: Latar belakang

b)     Lembaga peradilan yang tidak independen

Lembaga peradilan di Indonesia selama Orde Baru, Menurut Subarki,

lebih berkaitan dengan persoalan pertumbuhan ekonomi, dilihat dari :

1)      Masalah yang sampai ke Mahkamah Agung banyak yang berkaitan dengan

sengketa tanah dan penggunaan tanah untuk tujuan pembangunan.

2)      Naiknya pajak memungkinkan untuk menaikkan gaji pejabat peradilan (gaji

hakim pernah dinaikan seratus persen).

3)      Pemerintahan mendirikan delapan PTUN lengkap dengan infrastruktur

bangunan, hakim dan staf serta berbagai fasilitas di seluruh Indonesia.

Semua hakim agung, termasuk para deputi diangkat oleh presiden dari

daftar calon yang diusulkan oleh DPR. Namun Mahkamah Agung tidak memiliki

otoritas yang cukup untuk menentukan apakah kebijakan pemerintah dan

tindakannya sesuai dengan konstitusi atau tidak. Sementara itu semua hakim di

daerah maupun di pengadilan tinggi adalah pegawai negeri, yang diangkat,

dipromosikan, digajikan dan diawasi oleh Departemen Kehakiman. Anggaran

mereka ditentukan oleh Seketariat Negara. Dengan demikian peradilan di

Indonesia, termasuk Mahkamah Agung disusun sebagai bagian dari pemerintah

daripada sebagai lembaga peradilan. Di kalangan pemerintah berkembang

pemahaman bahwa “ hukum harus dipakai dalam rangka pembangunan.”

Sehingga tidak berpikir pentingnya sistem peradilan yang independen yang

sebenarnya dibutuhkan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

3. Hubungan Negara dan Masyarakat

Selama masa Orde Baru Negara sangat kuat. Tidak ada perubahan

yang tidak di mulau dari Negara. Masyarakat tidak memiliki ruang partisipasi

politik. Masyarakat dimobilisasi oleh Negara. Partisipasi bukan bermakna turut

serta merencanakan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan pembangunan.

Partisipasi berubah makna menjadi turut serta member sumbangan dari proyek

pemerintah yang dibiayanya kurang.

Negara menjadi sangat kuat di mata masyarakat karena Negara

mengorganisasikan masyarakat yang memiliki beragam kepentingan secara

korporatis. Dengan di organisasikan secara korporatis, masyarakat yang plural

dapat menyalurkan kepentingan yang berbeda-beda melalui mekanisme yang

9

Page 10: Latar belakang

tidak perlu menimbulkan konflik antar kelompok atau antar kelas. Perbedaan

kepentingan kelompok dan kelas dapat diselesaikan melalui wakil-wakil mereka

dalam organisasi korporatis. Dengan demikian korporatis adalah suatu usaha

nyata untuk menekan konflik kelas atau kelompok kepentingan dengan baik

tidak menggunakan kekerasan (coersif).

Melalui pengorganisasi secara korporatis inilah Negara menaklukkan

masyarakat sendiri. Negara dengan mudah memenuhi berbagai

kepentingannya yang otonom, kepentingan eksklusif Negara yang tidak

mencerminkan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Sebagai implikasinya, maka

masyarakat mengalami depolitasasi. Masyarakat yang tersingkir, tereksploitasi,

tidak kuasa melawan tekanan-tekanan Negara. Masyarakat yang miskin seperti

kaum buruh, petani, nelayan, pegawai rendahan dan yang tersisihkan lainnya

tidak cukup memiliki kesadaran politik yang memadai untuk menghadapi

intervensi Negara. Negaranisasi terjadi hingga sampai pedesaan tang terpencil

sekalipun.

4. Peran Militer, Parpol dan dampaknya terhadap HAM

Rezim Orde Baru bisa dikatakan kemenangan militer, karena

peranannya menjadi sangat besar. ABRI ( di kemudian hari berubah menjadi

TNI ) mengitervensi politik sipil melalui doktrin dwifungsi. Dengan  doktrin ini

militer memperoleh legitimasi untuk masuk ke ranah politik sipil. Antara lain

dengan menempatkan tenaga militer yang aktif maunpun pensiunan di MPR,

DPR, DPRD, eksekutif dan staf pemerintah pusat maupun daerah. Sejumlah

lembaga Negara penting seperti Depdagri selalu dipegang ABRI. Pada tahun

1996 seperempat jabatan setingkat cabinet termasuk Menteri Agama dan

jumlah besar eselon II dipegang oleh perwira yang masih dinas atau sudah

pension. ABRI juga melakukan kontrol terhadap Golkar, mengawasi penduduk

melalui komando territorial.

Dalam konteks ini, sejalan dengan semakin tinggi tingkat kesadaran

politik masyarakat, sehubungan dengan meluasnya masyarakat yang terdidik,

maka semakin menyebar kekuatan kritis di masyarakat. Namun semakin kritis

masyarakat, ternyata militer cenderung semakin represif. Semakin represif

10

Page 11: Latar belakang

militer, maka semakin banyak pelanggaran HAM dan semakin sering muncul

yang disebut dengan the state violence sejak dari kasus Tanjung Priok,

Lampung Haor Koneng dan beberapa kasus lainnya. Kasus pelanggaran HAM

yang cukup menggempar dan membuat posisi militer semakin tersudut adalah

kasus penyiksaan tokoh buruh wanita, Marsinah, di jawa Timur tahun 1993.

Para majikan Marsinah di tangkap, tetapi perwira di komando militer setempat.

5. Kebijakan Politik Aliran

Kemenangan Orde Baru, ada yang menafsirkan sebagai kemenangan

“orang jawa” karena Orde Baru didominasi militer yang memerintah sejak 1966

secara prinsip tidak dekat dengan Islam. Banyak elit Orde Baru dibesarkan

dalam lingkungan Hindu-jawa sehingga menjadikan mereka lebih kuat dari yang

lain. Sikap permusuhan elit penguasa Islam telah mendorong pemerintah untuk

melarang kembalinya masyumi tahun 1966, termasuk memangkas partai Islam

dan menfusikannya kedalam PPP pada tahun 1973. Elit Orde Baru lebih

cenderung berkoalisi dengan orang-orang Cina Katolik, sosial bekas anggota

PSI dan sejumlah perwira militer anti Islam sengan Ali murtopo pendiri CSIS

sebagai otak di belakang semua kebijakan Orde Baru. Pada SU-MPR 1973, ia

“menampak umat islam” dengan mengusulkan aliran kepercayaan berstatus

sebagai Agama.

NB; (Perspektif Islam politik memandang hubungan Islam dan politik sebagai bersifat organic. Masalah politik, hukum maupun ekonomi diimajinasikan sebagai terkait secara structural dari sistem religious Islam yang dipahami secara skriptualistik, legistik dan formalistic. Lihat Bahtiar Efendy, Islam dan Negara : tranformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 48-58)

B. ERA REFORMASI

Sistem Politik Pada Era Reformasi

Sistem politik pada era reformasi biasa diuraikan sebagai berikut :

a) Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi

b) Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi

c) Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah

d) Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas

11

Page 12: Latar belakang

e) Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)

f) Gaya politik – pragmatic

g) Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi

h) Partisipasi massa – tinggi

i) Keterlibatan militer – dibatasi

j) Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah

k) Stabilitas – instabil

Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia dimulai pada

pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri

pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.

Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas

pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter

Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan

ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol

pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI

Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi

pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh

suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-

pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan

Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa yang di

pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%.

Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai

presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun.

Wahid membentuk kabinet pertamanya yaitu Kabinet Persatuan Nasional pada

awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.

Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan

perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping

ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga

menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku,

dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang

tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan

12

Page 13: Latar belakang

Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan

sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang

kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang

meluap-luap.

Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid

memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001 , ribuan

demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri

dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari

MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam

pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan

kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati

mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.

Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo

Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru

ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan

besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang

meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal

2005 yang mengguncang Sumatra. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan

bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh

Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di

wilayah Aceh.

C. PERGESERAN POLITIK ERA REFORMASI

Memasuki 1998, bangsa Indonesia kemudia berhasil melakukan

reformasi, melengserkan rezim monolitik. Negara lalu bukan saja mengalami

delegitimasi, tetapi juga demoralisasi dimata masyarakat. Sejak itu posisi

burgaining masyarakat meningkat, sehingga suara mereka jauh lebih ber “daya”

sekurang-kurangnya disbanding dengan era sebelumnya. Bangsa Indonesia

lalu memulai era baru dengan semagat membangun sistem yang demokratis.

Era ini Nampak lebih menjanjikan ruang partisipasi bagi semua elemen

masyarakat dalam berbagai kehidupan ekonomi, sosial maupun politik.

BAB III

13

Page 14: Latar belakang

PENUTUP

Menurut saya keadaan dewasa sudah demokrasi yang telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulimya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik, penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan yang berlebihan tersebut bersifat kontekstual dan polanya tidak melembaga, cenderung mengarah pola tindakan anarkis.

Demikian pula dengan potensi kemajemukan masyarakat Indonesia yang didalammya mengandung benih konflik sosial dan sara. Kasus-kasus pemilihan pimpinan daerah sampai pemilihan Kepala Desa memunculkan pertengkaran warga diberbagai daerah menjadi ancaman bagi keutuhan persatuan serta kesatuan masyarakat. Kondisi ini merupakan tantangan yang perlu mendapat perhatian dan ditindaklanjub dengan cepat, tepat serta menyentuh substansi permasalahannya. Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik yang stabil transparan dan aemokratis. Banyaknya kasus yang lebih mengedepankan kepentingan politik daripada penegakan supremasi hukum dan penghargaan atas hak asasi manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan contoh betapa kerasnya usaha yang harus diperjuangkan dalam mempercepat proses penegakkan demokrasi yang benar.

Oleh karena itu diperlukan karakter budaya politik dan tingkat pendidikan politik yang representatif dapat menjadi faktor penting terwujudnya kehidupan demokrasi yang bermartabat.Strategi Kebijakan Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi kebijakan pembangunan politik yang ditetapkan adalah

a) fasilitasi penyelenggaraan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif;

b) peningkatan partisipasi politik masyarakat, dengan meningkatkan keikutsertaan rakyat dalam proses penentuan keputusan oan kebijakan daerah;

c) peningkatan peran dan fungsi lembaga legislatif, sehingga lebih mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsinya;

14

Page 15: Latar belakang

d) mendukung pelaksanaan/ penyelenggaraan Pemiiu yang lebih demokratis, jujur dan adil dalam rangka penegakan kedaulatan rakyat di segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tujuan dan Sasaran Tujuan pembangunan politik adalah menciptakan stabilitas politik yang kondusif bagi terselenggaranya pembangunan di segala bidang, dengan menciptakan kehidupan politik yang dinamis dan mampu mengakomodasikan setiap perubahan kepentingan serta aspirasi rakyat dan perkembangan lingkungan strategis regional maupun nasional.

Program Pembangunan Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik Rakyat dan Pengembangan Sistem Politik Program ini bertujuan menfasilitasi penyelenggaraan pendidikan politik rakyat dan pengembangan Sistem politik yang dapat meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban politiknya dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kegiatannya meliputi :

a) fasilitasi bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk melakukan

sosialisasi dan pembinaan terhadap kader-kadernya;

b) fasilitasi pendidikan politik dan pengembangan budaya politik;

c) fasilitasi terhadap pembenahan secara sistematik ketembagaan, tata kerja,

personil, dan proses yang terjadi baik di tingkat suprastruktur politik

maupun di tingkat infrastruktur politik;

d) pengembangan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui

penegakan hukum secara adil dan konsisten sebagai cermin

pengembangan etika politik dan budaya politik yang positif – konstruktif.

Peningkatan Peran Lembaga Legislatif Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran lembaga legislatif sebagai institusi politik yang mampu menjabarkan aspirasi rakyat, terciptanya mekanisme kontrol yang efektif, mendorong proses demokratisasi serta menciptakan iklim yang mendukung terwujudnya sikap keterbukaan dan tanggungjawab.

Program ini meliputi kegiatan : (1) peningkatan peran lembaga legislatif secara proporsional dan lebih

peka, inovatif, aspiratif terhadap keinginan masyarakat; dan (2) peningkatan peran lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi kontrol.

15

Page 16: Latar belakang

Fasilitasi/Dukungan Penyelenggaraan Pemilu 2004 dan Sosialisasi Sistem Pemilu Program ini bertujuan untuk mendukung peningkatan Penyelenggaraan pemilihan umum dengan memberikan peran yang ebih efektif kepada organisasi peserta pemilihan umum, baik dalam perencanaan. pelaksanaan maupun pengawasan di daerah, serta sosialisasi sistem Pemilu yang telah disepakati kepada masyarakat.

Program ini meliputi kegiatan: (1) Penyelenggaraan pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan

prinsip jujur , adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia; (2) peningkatan sarana dan prasarana pemilihan umum yang

representatif; (3) peningkatan infrastruktur komunikasi dalam mendukung kualitas

Penyelenggaraan pemilihan umum.

Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Menurut saya, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara. Sistem politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng.

16