Post on 05-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, telah banyak pemanfaatan tanaman obat tradisional oleh
masyarakat Indonesia untuk menanggulangi beberapa penyakit. Manfaat penggunaan
obat tradisional tersebut secara luas telah dirasakan oleh masyarakat. Hal ini juga
tercermin dengan semakin meningkatnya penggunaan obat tradisional, atau
meningkatnya produksi obat dari industri-industri obat tradisional.
Seiring dengan ada slogan “back to nature”, maupun krisis ekonomi yang
berkepanjangan sehingga mengakibatkan daya beli masyarakat terutama masyarakat
golongan menengah ke bawah, penggunaan obat tradisional menjadi alternatif
pengobatan disamping obat modern. Pemanfaatan tanaman obat tersebut meliputi
pencegahan, pengobatan maupun pemeliharaan kesehatan. Banyak tanaman obat
tradisional yang telah dipasarkan antara lain sebagai pencegahan ataupun pengobatan
suatu penyakit. Meskipun demikian, bukti ilmiah keberkhasiatan berbagai tanaman
obat terkait, belum dilaporkan.
Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang
mempunyai biodiversitas (keanekaragaman hayati). Biodiversitas tersebut meliputi :
ekosistem, jenis maupun genetik. Hal ini jelas merupakan suatu anugerah besar bagi
masyarakat Indonesia apabila dimanfaatkan secara optimal. Termasuk dalam
biodiversitas jenis adalah keanekaragaman tanaman di Indonesia yang sangat besar,
termasuk tanaman yang berpotensi sebagai obat. Mengingat fakta tersebut mestinya
upaya pemanfaatan tanaman sebagai sumber suatu obat menjadi pilihan utama saat ini
bagi para peneliti obat di Indonesia.
Proses penemuan suatu obat dari suatu tanaman merupakan sesuatu yang
tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Proses tersebut meliputi : studi
etnofarmakologi, kemotaksonomi, skrining senyawa bioaktif, kemungkinan upaya
sintesis senyawa tunggal, studi pre-klinik maupun klinik, hingga produksi skala besar
untuk tujuan medik.
1
Salah satu tanaman Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut
adalah buah manggis (G. mangostana L.), terutama pemanfaatan kulit buahnya.
Manggis merupakan buah yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Kulit buah
manggis yang dibuang, ternyata dapat dikembangkan sebagai kandidat obat. Pada
penelitian ini akan disajikan mengenai pemanfaatan kulit buah manggis
(G.mangostana L.) dalam upaya penemuan suatu obat baru.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN TANAMAN MANGGIS
1. Klasifikasi tanaman
Klasifikasi botani pohon manggis adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledoneae (biji berkeping dua)
Ordo : Guttiferanales
Famili : Guttiferae
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana L
(Anastasia dalam Rukmana,2010)
2. Deskripsi tanaman
Perawakan; pohon, selalu hijau, tinggi 6-20 m, Batang; tegak, batang pokok
jelas, kulit batang coklat, memiliki getah kuning. Daun; tunggal, duduk daun
berhadapan atau bersilang, berhadapan. Helaian; mengkilap dipermukaan,
permukaan atas hijau gelap, permukaan bawah hijau terang,bentuk elips
memanjang12-23 x 4,5-10cm. Tangkai; 5-2cm. Bunga-bunga betina 1-3 di
ujung batang,susunan mengarpu,garis tengah 5-6cm. Kelopak; 4 daun
kelopak, 2 daun kelopak yang berluar hijau kuning, 2 yang terdapat lebih
kecil, bertepi merah, melengkung kuat, tumpul. Mahkota; 4 daun mahkota,
berbentuk telur terbalik, berdaging tebal, hijau kuning, tepi merah atau hampir
semua merah. Benang sari; mandul (staminodia) biasanya dalam tukal atau
kelompok. Putik; bakal daun beruang 4-8, kepala putih berjari-jari 4-6. Buah;
3
bentuk bola tertekan, garis tengah 3,5-7 cm, ungu tua, dengan kepala putik
duduk (tetap), kelopak tetap, diding buah tebal, berdaging, ungu, dengan
getah kuning. Biji; 1-3 diselimuti oleh selaput biji yang tebal berair, putih,
dapat dimakan atau (termasuk biji yang gagal tumbuh atau sempurna).
(Sudarsono, dkk., 2002).
3. Ekologi dan Penyebaran
Manggis merupakan tanaman asli daerah tropis kawasan Asia Tenggara.
Sebagian literatur memastikan daerah asal tanaman manggis adalah
Kepulauan Sunda Besar dan Semenanjung Malaya. Selain itu juga disebutkan
terdapat di hutan-hutan belantara di Kalimamtan Timur dan Kalimantan
Tengah (Rukmana,1995).
Tumbuhan ini dapat tumbuh di Jawa pada ketinggian 1-1000 dari
permukaan laut, pada berbagai tipe tanah (pada tanah liat dan lempung yang
kaya bahan organik) (Sudarsono, dkk., 2002).
4. Syarat tumbuh
a. Iklim
1) Dalam budidaya manggis, angin berperan dalam penyerbukan bunga
untuk tumbuhnya buah. Angin yang baik tidak terlalu kencang.
2) Daerah yang cocok untuk budidaya manggis adalah daerah yang
memiliki curah hujan tahunan 1.500–2.500 mm/tahun dan merata
sepanjang tahun.
3) Temperatur udara yang ideal berada pada kisaran 22-32 derajat C.
b. Media Tanam
1) Tanah yang paling baik untuk budidaya manggis adalah tanah yang
subur, gembur, mengandung bahan organik.
2) Derajat keasaman tanah (pH tanah) ideal untuk budidaya manggis
adalah 5–7.
4
3) Untuk pertumbuhan tanaman manggis memerlukan daerah dengan
drainase baik dan tidak tergenang serta air tanah berada pada kedalaman
50–200 m.
c. Ketinggian Tempat
Pohon manggis dapat tumbuh Pohon manggis dapat tumbuh di daerah
dataran rendah sampai di ketinggian di bawah 1.000 m dpl. Pertumbuhan
terbaik dicapai pada daerah dengan ketinggian di bawah 500-600 m dpl
(Prihatman,kemal 2000).
5. Pemanfaatan kulit manggis
Kulit manggis yang dahulu hanya dibuang saja ternyata menyimpan
sebuah harapan untuk dikembangkan sebagai kandidat obat. Kulit buah
manggis setelah diteliti ternyata mengandung beberapa senyawa dengan
aktivitas farmakologi misalnya antiinflamasi, antihistamin, pengobatan
penyakit jantung, antibakteri, antijamur bahkan untuk pengobatan atau terapi
penyakit HIV. Beberapa senyawa utama kandungan kulit buah manggis yang
dilaporkan bertanggungjawab atas beberapa aktivitas farmakologi adalah
golongan xanton. Senyawa xanton yang telah teridentifikasi, diantaranya
adalah 1,3,6-trihidroksi-7-metoksi-2,8-bis(3- metil-2-butenil)- 9H-xanten-9-
on and 1,3,6,7- tetrahidroksi-2,8-bis(3-metil-2-butenil)- 9Hxanten- 9-on.
Keduanya lebih dikenal dengan nama alfa mangostin dan gamma-mangostin.
Dilaporkan senyawa xanton yang diisolasi dari kulit buah manggis, ternyata
juga menunjukkan aktivitas farmakologi yaitu garcinon E. Lebih lanjut,
mengidentifikasi kandungan xanton dari ekstrak larut dalam diklorometana,
yaitu 2 xanton terprenilasi teroksigenasi dan 12 xanton lainnya. Dua senyawa
xanton terprenilasi teroksigenasi adalah 8-hidroksikudraksanton G, dan
mangostingon[7-metoksi- 2 - (3-metil-2-butenil) – 8 - (3-metil-2-okso-3-
butenil) - 1,3,6 - trihidroksiksanton. Sedangkan keduabelas xanton lainnya
adalah : kudraksanton G, 8- deoksigartanin, garsimangoson B, garsinon D,
5
garsinon E, gartanin, 1-isomangostin, alfamangostin, gamma-mangostin,
mangostinon, smeathxanthon A, dan tovofillin A. Struktur kimia senyawa
mangostin disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1.1 Mangostin
3,6,8-trihidroksi-2-metoksi-1, 7 -
bis (3-methylbut-2-enil) xanthen-9-satu
Properti
Molekul rumus C 24 H 26 O 6
Massa molar 410,45 g / mol
Tepat massa 410.172939
Penampilan Kuning kristal padat
Titik lebur 182 ° C, 455 K, 360 ° F
Tabel 1.1 Properti Mangostin
6. Kajian farmakologi kulit buah manggis
Pemanfaatan kulit buah manggis sebenarnya sudah dilakukan sejak
dahulu. Kulit buah manggis secara tradisional digunakan pada berbagai
pengobatan di Negara India, Myanmar Sri langka, dan Thailand. Secara luas,
masyarakat Thailand memanfaatkan kulit buah manggis untuk pengobatan
penyakit sariawan, disentri, cystitis, diare, gonorea, dan eksim. Di era modern,
6
pemanfaatan kulit buah manggis secara luas di Negara tersebut memicu minat
para ilmuwan untuk menyelidi dan mengembangkan lembih lanjut aspek
ilmiah keberkhasiatan kulit buah manggis tersebut. Banyak penelitian telah
membuktikan khasiat kulit buah manggis, dan diantaranya bahkan
menemukan senyawasenyawa yang bertanggungjawab terhadap efek-efek
tersebut. Berikut ini akan disajikan pembahasan mengenai efek farmakologi
dari kulit buah manggis.
a. Aktivitas antihistamin
Dalam reaksi alergi, komponen utama yang mengambil peran penting
adalah sel mast, beserta mediator-mediator yang dilepaskannya yaitu histamin
dan serotonin. Allergi disebabkan oleh respon imunitas terhadap suatu antigen
ataupun alergen yang berinteraksi dengan limfosit B yang dapat memproduksi
imunoglobulin E (IgE). Imunoglubulin E yang diproduksi kemudian
menempel pada reseptor FcεRI pada permukaan membran sel mast. Setelah
adanya interaksi kembali antara antigen-antibodi, akan merangsang sel mast
untuk melepaskan histamin. Berhubungan dengan reaksi alergi atau pelepasan
histamin tersebut, dilakukan pengujian ekstrak metanol kulit buah manggis
terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi yang diinduksi oleh histamine
maupun serotonin. Dari analisa komponenkomponen aktif dari fraksi lanjutan
hasil dari kromatografi gel silika, mengindikasikan bahwa senyawa aktifnya
adalah alfa dan gamma mangostin. Alfa mangostin sendiri mampu
menunjukkan aktivitas penghambatan kontraksi trakea marmut terisolasi dan
aorta torak kelinci terisolasi, yang diinduksi simetidin, antagonis reseptor
histamin H2. Namun, senyawa tersebut tidak menunjukkan aktivitas pada
kontraksi yang diinduksi karbakol, fenilefrin dan KCl. Alfa mangostin juga
mampu menghambat ikatan [3H]mepiramin terhadap sel otot polos arta tikus.
Senyawa terakhir tersebut merupakan antagonis spesifik bagi reseptor
histamin H1. Dari analisa kinetika ikatan [3H] mepiramin megnindikasikan
bahwa alfa mangostin menghambat secara kompetitif. Dari penelitian ini
7
disimpulkan bahwa alfa mangostin tersebut dikategorikan sebagai pengeblok
reseptor histaminergik khususnya H1, sedangkan gamma mangostin sebagai
pengeblok reseptor serotonergik khususnya 5-hidroksitriptamin 2A atau
5HT2A. Lebih lanjut, dilakukan penelitian ke arah mekanisme ekstrak kulit
buah manggis tersebut. Pada penelitian tersebut ekstrak kulit manggis yaitu :
etanol 100%, 70 %, 40% dan air, diuji terhadap sintesa prostaglandin E2 dan
pelepasan histamin. Ekstrak etanol 40% menunjukkan efek paling poten
dalam menghambat pelepasan histamin dari sel 2H3- RBL yang diperantarai
IgE. Semua ekstrak kulit buah manggis mampu menghambat sintesa PGE2
dari sel glioma tikus yang diinduksi Ca2+ ionophore A23187. Pada reaksi
anafilaksis kutaneus pasif, semua ekstrak kulit manggis juga menunjukkan
aktivitas penghambatan reaksi tersebut. Dari penelitian ini, ekstrak etanol 40
% buah manggis adalah paling poten dalam menghambat sintesa PGE2 dan
pelepasan histamin.
b. Antiinflamasi
Penelitian mengenai aktivitas antiinflamasi dari kulit buah manggis
sampai saat ini baru dilakukan pada tahapan in vitro dan untuk tahap in vivo
baru pada penelitian dengan metode tikus terinduksi karagenen. Dari hasil
penelitian diduga bahwa senyawa yang mempunyai aktivitas anti-inflamasi
adalah gamma-mangostin. Gamma-mangostin merupakan xanton bentuk
diprenilasi tetraoksigenasi.
c. Anti oksidan
Dilaporkan bahwa ekstrak kulit buah manggis berpotensi sebagai
antioksidan. Selanjutnya, ditindak-lanjuti hasil penelitian tersebut dengan
melakukan penelitian aktivitas antioksidan beberapa ekstrak kulit buah
manggis yaitu ekstrak air, etanol 50 dan 95%, serta etil asetat. Metode yang
digunakan adalah penangkatapan radikal bebas 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ekstrak mempunyai potensi
sebagai penangkal radikal bebas, dan ekstrak air dan etanol mempunyai
8
potensi lebih besar. Berkaitan dengan aktivitas antioksidan tersebut, kedua
ekstrak tersebut juga mampu menunjukkan aktivitas neuroprotektif pada sel
NG108-15. Penelitian aktivitas antioksidan dari semua senyawa kandungan
kulit buah manggis yang disajikan pada Gambar 1-2, minus mangostingon.
Dari hasil skrining aktivitas antioksidan dari senyawasenyawa tersebut, yang
menunjukkan aktivitas poten adalah : 8-hidroksikudraxanton, gartanin, alpha-
mangostin, gamma-mangostin dan smeathxanton A.
d. Antikanker
Hingga saat ini, pengobatan kanker masih tidak memuaskan. Oleh karena
itu, penelitian penemuan obat kanker masih gencar dilakukan. Salah satu
tanaman obat yang menjadi objek kajian adalah kulit buah manggis.
Berdasarkan penelitian tersebut, senyawa garsinon E menunjukkan aktivitas
sitotoksisitas paling poten. Sementra itu, dilaporkan bahwa ekstrak metanol
kulit buah manggis menunjukka aktivitas sangat poten dalam menghambat
proliferasi sel kanker payudara SKBR3, dan menunjukkan aktivitas apoptosis.
e. Antimikroorganisme
Selain memiliki beberapa aktivitas farmakologi seperti di atas, kulit buah
manggis juga menunjukkan aktivitas antimikroorganisme. Seperti pada hasil
penelitian sebelumnya, alfa mangostin, gamma-mangostin dan garsinon B
juga menunjukkan aktivitas paling poten pada percobaan ini. Ketiga senyawa
tersebut menghambat kuat terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Hasil temuan tersebut ditindaklanjuti peneliti asal Osaka Jepang, Alfa
mangostin aktif terhadap bakteri Enterococci dan Staphylococcus aureus yang
masingmasing resisten terhadap vancomisin dan metisilin. Ini diperkuat
dengan aktivitas sinergisme dengan beberapa antibiotika (gentamisin dan
vancomisin) terhadap kedua bakteri tersebut.Hasil menunjukkan bahwa
mangostin mempunyai efek antiplasmodial level menengah, sedangkan
xanton terprenilasi yang mempunyai gugus alkilamino menghambat sangat
poten.
9
f. Aktivitas lainnya
Telah disebutkan sebelumnya bahwa alfa-mangostin memiliki aktivitas
antioksidan dan penangkal radikal bebas. Berkaitan dengan fakta tersebut,
alfa-mangostin mampu menghambat proses oksidasi lipoprotein densitas
rendah (LDL) yang sangat berperan dalam aterosklerosis. Penelitian lainnnya,
mangostin dilaporkan menghambat poten terhadap HIV-1 protease,
dilaporkan juga bahwa senyawa xanton mangostin dari kuliat buah manggis
mampu penghambat pertumbuhan jamur patogenik : Fusarium oxysporum
vasinfectum, Alternaria tenuis, dan Dreschlera oryzae.
g. Kajian toksisitas kulit buah manggis
Telah disebutkan bahwa kulit buah manggis mampu menunjukkan
berbagai aktivitas farmakologi, dan diantaranya adalah sangat poten.
Senyawa-senyawa utama yang dominan menunjukkan aktivitas
farmakologi adalah alfa-mangostin, gamma-mangostin dan garsinon-E. Di
lain pihak, perlu juga dilakukan penelitian mengenai kemungkinan efek
toksik dari penggunaan kulit buah manggis tersebut. Jujun et al. (2006)
melakukan uji toksisitas aku maupun subkronis terhadap ekstrak etanol
kulit buah manggis yang mengandung senyawa-senyawa aktif pentingnya.
Pada percobaan toksistas akut, ekstrak (10-25 %) tersebut tidak
menunjukkan efek toksis (kematian dan perubahan fisik ataupun aktivitas)
pada tikus. Secara histopatologi, juga tidak ditemukan perubahan yang
berarti pada organ-organ vital tikus (hati, jantung, paru-paru, adrenal,
ovarium, ginjal, testis). Pada percobaan toksisitas sub-kronis, pemakaian
ekstrak etanol kulit buah manggis (dosis 50-1000 mg/kg BB) selama 28
hari juga tidak menunjukkan efek toksik yang berarti, yang meiputi
pengamatan gejala efek toksis, perubahan pertumbuhan, bobot organ-
organ vital, analisa hematologi, kimia darah maupun gross
histopatologinya (Nugroho, Agung 2007).
10
B. SIMPLISIA
Simplisia adalah bentuk jamak dari kata simpleks yang berasal dari kata
simple yang berarti satu atau sederhana. Istilah simplisia dipakai untuk
menyebutkan bahan-bahan obat alam yang masih berada dalam wujud aslinya atau
mengalami perubahan bentuk. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan
sebagai bahan obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali
dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Gunawan & Mulyani,
2004).
Simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu :
1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman, eksudat tanaman atau gabungan ketiganya. Eksudat tanaman adalah
isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu
sengaja dikeluarkan dari selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau
bahan-bahan nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan atau diisolasi
dari tanamannya.
2. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni.
3. Simplisia pelikan atau mineral
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah atau setelah diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa bahan kimia murni (Gunawan & Mulyani, 2004).
Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut
dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-
lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan
ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Struktur
kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa
tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, derajat keasaman. Dengan
11
diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi (Anonim, 2000).
Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh
pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus.
Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, kulit akar yang susah diserap oleh
pelarut perlu diserbuk sampai halus (Anonim, 2000)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas simplisia :
1. Bahan baku simplisia
Berdasarkan bahan bakunya simplisia bisa diperoleh dari tanaman liar atau
tanaman yang dibudidayakan. Jika simplisia diambil dari tanaman budidaya
maka keseragaman umur, masa panen dan asal usul tanaman dapat dipantau.
Sementara jika diambil dari tanaman liar banyak kendala dan variabilitas yang
tidak bisa dikendalikan, seperti asal tanaman, umur dan tempat tumbuh.
2. Proses pembuatan simplisia
Dasar pembuatan simplisia ada beberapa tahapan yaitu :
a. Pengumpulan bahan baku
Tahapan pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan
baku. Pengambilan bahan baku tanaman dapat dilakukan sebagai berikut.
1) Biji
Pengambilan biji dapat dilakukan pada saat mulai mengeringnya buah
atau sebelum semuanya pecah.
2) Buah
Pengambilan buah tergantung tujuan dan pemanfaatan kandungan
aktifnya. Panen buah bisa dilakukan saat menjelang masak, setelah
benar-benar masak atau dengan melihat perubahan warna atau bentuk
dari buah.
3) Bunga
Panen dapat dilakukan pada saat menjelang penyerbukan, saat bunga
masih kuncup atau pada saat bunga sudah mulai mekar.
12
4) Daun atau herba
Panen dapat dilakukan saat proses fotosintesis berlangsung maksimal,
yaitu ditandai dengan saat tanaman mulai berbunga atau buah mulai
masak. Untuk pengambilan pucuk daun, dianjurkan pada saat warna
pucuk daun berubah menjadi daun tua.
5) Kulit batang
Pemanenan hanya dapat dilakukan pada tanaman yang sudah cukup
umur. Panen yang paling baik adalah awal musim kemarau.
6) Rimpang
Panen dilakukan saat awal musim kemarau.
7) Umbi lapis
Panen dilakukan pada saat akhir pertumbuhan.
8) Akar
Panen dilakukan pada saat proses pertumbuhan berhenti atau tanaman
sudah cukup umur.
b. Sortasi basah
Sotasi basah adalah pemilahan hasil panen ketika tanaman masih segar.
Sortasi dilakukan terhadap tanah atau kerikil, rumput-rumputan, tanaman
yang tidak digunakan dan bagian tanaman yang rusak.
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat, terutama
bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan-bahan yang
tercemar pestisida.
d. Pengubahan bentuk
Pada dasarnya tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk
memperluas permukaan bahan baku. Proses pengubahan bentuk meliputi :
1) Perajangan untuk rimpang, daun dan herba
13
2) Pengupasan untuk buah, kayu, kulit kayu, dan biji-bijian yang
ukurannya besar
3) Pemotongan untuk akar, batang kayu, kulit kayu dan ranting.
4) Penyerutan untuk kayu
e. Pengeringan
Proses pengeringan bertujuan untuk :
1) Menurunkan kadar air sehingga bahan tidak mudah ditumbuhi kapang
dan bakteri
2) Menghilangkan aktifitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut
kandungan zat aktif
3) Memudahkan pengelolaan proses selanjutnya
Cara pengeringan bahan-bahan yaitu sebagai berikut.
1) Untuk tanaman rendah, seperti lumut, jamur, agar-agar dikeringkan
dengan cara dijemur dibawah sinar matahari.
2) Untuk bahan berupa akar, pengeringan dilakukan dengan cara dirajang
kemudian dijemur langsung di bawah sinar matahari.
3) Untuk bahan berupa buah bisa dibelah terlebih dahulu baru dijemur. Jika
menggunakan oven panasnya tidak boleh lebih dari 60˚ C.
4) Untuk bahan berupa bunga hanya diangin-anginkan di tempat yang
teduh atau dengan menggunakan oven pada suhu sekitar 25-35˚C.
5) Untuk daun atau bunga yang ingin diambil minyak atsirinya maka cara
pengeringan yang dianjurkan adalah menghindari penguapan terlalu
cepat dan proses oksidasi udara.
f. Sortasi kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses
pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu
gosong, bahan yang yang rusak akibat terlindas roda kendaraan (misalnya
dikeringkan di tepi jalan raya) atau dibersihkan dari kotoran hewan.
14
g. Pengepakan dan penyimpanan
Setelah proses pengeringan telah selesai, maka simplisia perlu ditempatkan
dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisia
yang satu dengan yang lain (Gunawan & Mulyani, 2004).
C. Parameter mutu simplisia
Suatu simplisia harus memenuhi persyaratan pemerian makroskopik dan
mikroskopik, penetapan kadar abu, kadar abu tidak larut asam, kadar abu larut air,
penetapan kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, penetapan kadar air dan susut
pengeringan
D. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Anonim,
2000). Ekstraksi juga merupakan penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan
mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang
diinginkan larut. Bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau
hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan dan dikeringkan.
Bahan-bahan dalam tanaman terdiri dari campuran zat yang heterogen, beberapa
mempunyai efek farmakologi dan oleh karena itu dianggap sebagai zat yang
dibutuhkan dan zat lain yang tidak aktif secara farmakologi dianggap sebagai zat
inert (Ansel, 2005).
Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang
terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa
komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada
lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Anonim, 2009).
Secara umum, terdapat empat situasi dalam menentukan tujuan ekstraksi :
1. Senyawa kimia telah diketahui identitasnya untuk diekstraksi dari organisme.
Dalam kasus ini, prosedur yang telah dipublikasikan dapat diikuti dan dibuat
15
modifikasi yang sesuai untuk mengembangkan proses atau menyesuaikan
dengan kebutuhan pemakai.
2. Bahan diperiksa untuk menemukan kelompok senyawa kimia tertentu, misalnya
alkaloid, flavanoid atau saponin, meskipun struktur kimia sebetulnya dari
senyawa ini bahkan keberadaannya belum diketahui.
3. Organisme (tanaman atau hewan) digunakan dalam pengobatan tradisional, dan
biasanya dibuat dengan cara, misalnya Traditional Chinese Medicine (TCM)
seringkali membutuhkan herba yang dididihkan dalam air dan dekok dalam air
untuk diberikan sebagai obat (Anonim, 2009).
Suatu tahap ekstraksi biasanya melibatkan tahap-tahap berikut:
a) Mencampur bahan ekstraksi dengan pelarut dan membiarkannya saling
berkontak. Dalam hal ini terjadi pemindahan massa dengan cara difusi pada
bidang antarmuka bahan ekstraksi dan pelarut. Dengan demikian terjadi
ekstraksi yang sebenarnya, yaitu pelarutan ekstrak
b) Memisahkan larutan ekstrak dari rafinat, kebanyakan dengan cara penjernihan
atau filtrasi
c) Mengisolasi ekstrak dari larutan ekstrak dan mendapatkan kembali pelarut,
umumnya dilakukan dengan menguapkan pelarut. Dalam hal-hal tertentu,
larutan ekstrak dapat langsung diolah lebih lanjut atau diolah setelah
dipekatkan (Bernasconi et al., 1995).
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi
dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati
sempurna. Sifat dari bahan mentah obat merupakan faktor utama yang harus
dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi (Ansel, 2005).
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut terbagi menjadi 2 yaitu dengan
cara dingin dan dengan cara panas (Anonim, 2000).
1.Cara dingin
a) Maserasi
16
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan.
b) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
2.Cara panas
a) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3- 5 kali sehingga termasuk proses ekstraksi
sempurna.
b) Soxlet
Soxlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada
temperatur yang lebih tinggi dari ruangan kamar yaitu 40- 50 ˚ C.
d) Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air,
temperatur terukur 96-98˚ C selama waktu tertentu (15-20 menit).
e) Dekok
Dekok adalah infus pada waktu lebih lama ( ≥ 30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air (Anonim, 2000).
Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya
“merendam” merupakan proses paling cepat dimana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan
17
susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Maserasi digunakan
untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam
cairan penyari dan tidak mudah mengembang dalam cairan penyari. Simplisia
yang akan diekstraksi ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar
bersama larutan penyari yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat kemudian
dikocok berulang- ulang lamanya biasa sekitar 2-14 hari sehingga memungkinkan
pelarut masuk ke seluruh permukaan simplisia.
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-
lain. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air, etanol atau
pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya
kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian
(Anonim, 1986).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah di usahakan. Kerugian maserasi
adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna.
Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara : 10 bagian simplisia
dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi
dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari diserkai, ampas diperas.
Ampas ditambahkan cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai sehingga
diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan ditempat
sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari, kemudian endapan dipisahkan.
Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan.
Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk
simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat
perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan
larutan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama
18
waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak
diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut
dalam cairan penyari (Anonim, 1986).
Lamanya waktu maserasi berbeda-beda tergantung pada sifat atau ciri
campuran obat dan pelarut. Lamanya harus cukup supaya dapat memasuki semua
rongga dari struktur obat dan melarutkan semua zat yang mudah larut. Lamanya
maserasi bisa memerlukan waktu beberapa jam atau beberapa hari untuk ekstraksi
yang optimum. Waktu maserasi pada umumnya dilakukan pada temperatur 15°C -
20°C dalam waktu selama 3 hari, setelah waktu tersebut keseimbangan antara
bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai.
Dengan pengocokan dijamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi lebih
cepat dalam cairan (Ansel, 2005).
E. Ekstrak
Menurut Farmakope edisi III, ekstrak adalah sediaan kering, kental atau
cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok
di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak juga merupakan sediaan pekat
yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995).
Ekstrak merupakan sediaan poten, biasanya potensinya 2 sampai 6 kali
berat bahan mentah obat yang dipakai sebagai bahan pada permulaan pembuatan.
Kandungannya terutama dari bahan mentah obat, dengan bagian terbesar adalah
zat yang tidak aktif dan zat inert dihilangkan (Ansel, 2005). Proses awal
pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering. Dari
simplisia itu dibuat serbuk simplisia dengan peralatan tertentu sampai derajat
halus.
19
Proses yang dapat mempengaruhi mutu ekstrak adalah :
1. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif dan efesien,
tetapi makin halus serbuk maka kehalusan tertentu akan menbuat semakin
rumit teknologi peralatan yang digunakan untuk filtrasi.
2. Selama penggunaan peralatan penyerbukkan dimana ada gerakan dan
interaksi dengan benda keras ( logam dll ) maka akan timbul panas yang dapat
mempengaruhi senyawa kandungan. Namun hal ini dapat dikompensasi
dengan penggunaan nitrogen cair (Anomim, 2000).
Ditinjau dari asalnya senyawa kimia dalam ekstrak dapat dibedakan menjadi
empat kelompok yaitu :
1. Senyawa kandungan asli dari tumbuhan asal
Senyawa asli sebenarnya berarti senyawa yang memang sudah ada sejak masa
tumbuhan itu hidup. Jika proses preparasi simplisia dan ekstraksi dijamin
tidak menyebabkan perubahan kimia, maka hasil analisis kimia terhadap
ekstrak mencerminkan komposisi senyawa kandungan asli.
2. Senyawa asli perubahan dari senyawa asli
Dari kajian dan riset memang sudah dapat diprediksi terjadi perubahan kimia
senyawa asli karena memang sifat fisikokimia senyawa asli dan proses
penstabilan yang sulit.
3. Senyawa kontaminasi
Senyawa kontaminasi merupakan senyawa eksogen yang tercampur pada
ekstrak, baik polusi yang tidak terhindari atau sebagai sisa (residu) proses.
Senyawa hasil interaksi kontaminasi dengan senyawa asli atau senyawa
perubahan (Anonim, 2000)
F. Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstraksi adalah pelarut yang baik
untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang akif, dengan demikian
senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan atau senyawa kandungan lainnya,
20
serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang
diinginkan (Anonim, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut yaitu sebagai berikut :
1. Selektifitas
Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan komponen-
komponen lain dari bahan ekstraksi. Misalnya pada ekstraksi bahan-bahan
alami sering juga bahan lain ( lemak, resin ) ikut dibebaskan bersama-sama
dengan ekstrak yang diinginkan.
2. Kelarutan
Pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan ekstrak yang besar (kebutuhan
pelarut lebih sedikit).
3. Kemampuan tidak saling bercampur
Pada ekstraksi cair-cair pelarut tidak boleh atau hanya secara terbatas larut
dalam bahan ekstraksi.
4. Kerapatan
Terutama pada ekstrak cair-cair, sedapat mungkin terdapat perbedaan
kerapatan yang besar antara pelarut dan bahan ekstraksi. Hal ini dimaksudkan
agar kedua fase dapat dengan mudah dipisahkan kembali setelah
pencampuran.
5. Reaktivitas
Pada umumnya perlarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia
pada komponen bahan ekstraksi.
6. Titik didih
Karena ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara penguapan
atau destilasi maka titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat.
7. Kriteria yang lain
Pelarut sedapat mungkin harus:
a) Murah
b) Tersedia dalam jumlah besar
21
c) Tidak beracun
d) Tidak dapat terbakar
e) Tidak korosif
f) Tidak menyebabkan terbentuknya emulsi
g) Memiliki viskositas yang rendah ( Bernasconi et al., 1995)
G. Pemisahan
Menurut Rony, pemisahan adalah kondisi hipotetik dimana setiap komponen
kimia terisolasi sempurna dalam daerah makroskopik yang terpisah. Sedangkan
menurut Karger, pemisahan adalah cara kerja yang membagi suatu campuran
menjadi sekurang-kurangnya dua fraksi yang berbeda susunannya. Pemilahan
teknik kromatografi pada pemisahan sebagian besar tergantung dari sifat kelarutan
dari sifat keatsirian senyawa yang akan dipisahkan. Teknik pemisahan yang sering
dilakukan adalah ekstraksi cair-cair, kromatografi cair vakum, kromatografi
kolom, kromatografi lapis tipis, dan kromatografi kertas
Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi adalah metode fisika untuk pemisahan dalam mana
komponen-komponen yang akan dipisahkan didistribusikan antara dua fase, salah
satunya merupakan lapisan stasioner dengan permukaan yang luas, dan fase yang
lain berupa zat alir (fluid) yang mengalir lambat (perkolasi) menembus atau
sepanjang lapisan stasioner itu. Dalam semua teknik kromatografi, zat terlarut
yang akan dipisahkan bermigrasi sepanjang suatu kolom (atau seperti dalam
kromatografi kertas atau lapisan tipis, padanan fisika dari suatu kolom)
(Day danUnderwood, 1999).
Pada dasarnya kromatografi lapis tipis sama dengan kromatografi kertas,
terutama pada cara melakukannya, perbedaan nyata terlihat pada media
pemisahnya, yakni digunakannya lapisan tipis adsorben halus yang tersangga pada
papan kaca, aluminium atau plastik sebagai pengganti kertas. Lapisan tipis
adsorben ini pada proses pemisahan berlaku sebagai fasa diam (Soebagio,2005).
22
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia. Lapisan tipis
yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada
penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang
akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), kemudian
pelat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang
yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan lapiler
(pengembang) dan selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan
Deteksi noda KLT terkadang lebih mudah dibandingkan kromatografi kertas
karena dapat digunakan teknik-teknik umum yang lebih banyak. Noda yang tidak
berwarna atau tidak berpendar jika dikenai sinar ultra violet dapat ditampakkan
dengan cara mendedahkan papan pengembang pada uap iod. Pada tahap
identifikasi atau penampakan noda, jika noda sudah berwarna dapat langsung
diperiksa dan ditentukan harga Rf-nya. Besaran Rf ini menyatakan derajat retensi
suatu komponen dalam fasa diam. Rf juga disebut faktor retardasi atau faktor
retensi. Harga Rf dihitung sebagai jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi
dengan jarak yang ditempuh eluen (fasa gerak)
(Soebagio, dkk,2005):
Rf = Jarak yang ditempuh eluen
Jarak yang ditempuh komponen
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Praktikum dilaksanakan pada bulan april 2012 di Laboratorium Fitokimia
STFB (Sekolah Farmasi Bandung). Bahan yang digunakan adalah kulit buah manggis
(Garcinia mangostana L).
Tahap-tahap yang dilakukan meliputi penyiapan simplisia, karakterisasi
simplisia, penapisan fitokimia, ekstraksi, pemantauan ekstrak, fraksinasi, pemantauan
fraksi, dan pemurnian.
ALAT DAN BAHAN
1. Alat-alat yang digunakan :
Alumunium foil, Kromatografi colom vacum, Kromatografi lapis tipis, Pisau, Rotary
evaporator, Seperangkat peralat maserasi, Spektrofotometri UV, Timbangan
analitik
2. Bahan yang digunakan :
Amoniak, Aquadest, Asam klorida 2N, Asam klorida pekat, Asam sulfat pekat,
Asam Sulfat 1%, Kulit buah manggis (sampel), Pereaksi Dragendorff, Pereaksi
besi (III) klorida 1%, Pereaksi Mayer, Pelarut n-heksan, Serbuk magnesium
24
BAB IV
RANCANGAN KERJA
A. Penyiapan simplisia meliputi :
1. Pengumpulan bahan tanaman
2. Determinasi tanaman
3. Pembuatan simplisia
Buah yang digunakan saat menjelang masak, benar-benar masak atau dengan
melihat perubahan warna atau bentuk dari buah lalu kulit buah dicuci dengan
air mengalir, dipotong kecil-kecil lalu diblender hingga berbentuk serbuk, lalu
dikeringan pada suhu kamar. Jika menggunakan oven panasnya tidak boleh
lebih dari 60˚ C selama 3 hari.
B. Karakterisasi simplisia meliputi:
1. Pemeriksaan Makroskopik meliputi bentuk buah, permukaan buah, warna
buah, diameter buah, bentuk biji, warna dan ukuran biji, serta ciri
simplisia.
2. Pemeriksaan Mikroskopik dilakukan terhadap penampang melintang kulit
buah manggis.
3. Parameter mutu simplisia
1.) Penetapan kadar abu total
Timbang seksama 2 gram sampel yang telah diserbuk, masukkan
dalam krus silica yang telah dipijar dan ditara, ratakan
Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, ditimbang
Jika arang tidak dapat dihilangkan tambahkan air panas, saring
melalui kertas saring bebas abu
Pijarkan sisa dan kertas dalam krus yang sama
Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot
tetap, timbang
Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara
25
2.) Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, dididihkan
dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit
Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, saring melalui
kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas,
pijarkan hingga bobot tetap, timbang
Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan
yang telah dikeringkan diudara
3.) Penetapan kadar abu yang larut dalam air
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, dididihkan
dengan 25 ml air selama 5 menit
Kumpulkan bagian yang tidak larut, saring dengan kertas saring
yang bebas abu, cuci dengan air panas dan pijarkan selama 5
menit pada suhu tidak lebih dari 450°C hingga bobot tetap,
timbang
Hitung kadar abu yang larut dlam air terhadap bahan yang
dikeringkan di udara.
4.) Penetapan kadar sari larut air
Sejumlah 5,0 g serbuk (4/18) yang telah dikeringkan di udara,
dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform
menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6
jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam lalu disaring. Filtrat
sebanyak 20 mL diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah ditara kemudian sisanya dipanaskan pada
26
suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut air dihitung
terhadap bobot bahan yang telah dikeringkan diudara.
5.) Penetapan kadar sari larut etanol
Sejumlah 5,0 g serbuk (4/18) yang telah dikeringkan di udara,
dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL etanol 95 %menggunakan
labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama enam jam
pertama kemudian didiamkan selama 18 jam lalu disaring dengan
cepat untuk menghindarkan penguapan etanol 95 % dan 20 mL.
Filtrat diuapkan hingga kering kedalam cawan dangkal yang berdasar
rata yang telah ditara kemudian sisanya dipanaskan pada suhu 105oC
hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut etanol 95 % dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan.
6.) Penetapan susut pengeringan
Sejumlah 1-2 g simplisia ditimbang dalam bobot timbang
dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu
penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Jika zat berupa hablur
besar, sebelum ditimbang digerus dengan cepat hingga ukuran
butiran lebih kurang 2 mm. Zat dalam botol timbang diratakan
hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm,
dimasukan kedalam ruang pengering, tutup botol dibuka dikeringkan
pada suhu pengeringan hingga bobot tetap. Sebelum setiap
penimbangan, bobot dibiarkan dalam keadaan tertutup mendingin
dalam eksikator hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat dibawah
suhu leburnya selama satu jam sampai dua jam, kemudian pada suhu
penetapan selam waktu yang telah ditentukan atau hingga bobot yang
tetap.
27
7.) Penetapan Kadar Air
Tabung penerima dan kondensor dibersihkan seksama dan
dibilas dengan air lalu dikeringkan. Sejumlah 200 ml toluene dan 2
ml air dimasukkan ke dalam labu destilasi. Labu dipanaskan hingga
larutan mendidih selama dua jam, kemudian didinginkan selama 30
menit dan volume air dibaca pada skala dengan ketelitian 0,05 mL.
Hasil yang diperoleh disebut volume destilasi pertama.
Sejumlah zat uji yang diperkirakan mengandung 2-4 mL air
ditimbang seksama dan dimasukkan ke dalam labu destilasi,
dimasukkan juga beberapa potongan batu didih. Labu dipanaskan
perlahan selama 15 menit. Saat larutan mulai mendidih, penyulingan
dimulai dengan kecepatan dua tetes per detik hingga sebagian besar
air tersuling, kemudian kecepatan dinaikkan menjadi empat tetes per
detik. Setelah air tersuling seluruhnya, bagian dalam kondensor
dibilas dengan toluene. Destilasi dilanjutkan selama kurang lebih
lima menit lalu pemanasan dihentikan. Tabung penerima didinginkan
pada suhu kamar. Air yang masih menempel pada dinding tabung
penerima dilepaskan dengan mengetuk-mengetuk tabung. Lapisan air
dan toluene dibiarkan memisah dan volume yang terbaca disebut
volume destilasi kedua.
Kadar air dinyatakan dalam % menurut rumus :
Kadar air = 100 (n1-n)
W
Dengan W= berat zat uji (gram), n = volume destilasi pertama (mL),
dan n1= volume destilasi kedua (mL).
28
C. Penapisan fitokimia
a. Uji Senyawa Alkaloid
1. Sampel ditambah 10ml kloroform-amoniak, lalu disaring dengan
menggunakan tabung reaksi.
2. Filtrat ditambahkan dengan beberapa tetes asam sulfat 2N dan dikocok
sehingga terbentuk dua lapisan, lapisan asam (lapisan bagian atas) dipipet
kedalam tabung reaksi lain
3. Ditambahkan pereaksi mayer terbentuknya endapan putih memberi
indikasi adanya alkaloid
4. Ditambahkan pereaksi dragendorff terbentuknya endapan jingga sampai
merah cokelat memberi indikasi adanya alkaloid
b. Uji Senyawa Fenolik
1. Sempel dimasukan kedalam tabung reaksi
2. Ditambahkan beberapa tetes FeCl3 1% dalam air
3. Bila terbentuk warna hijau,merah,ungu, biru atau hitam pekat memberi
indikasi adanya senyawa fenolik
c. Uji Senyawa Flavonoid
1. Sempel dimasukkan kedalam tabung reaksi
2. Ditambahkan 2 mg serbuk Magnesium
3. Ditambahkan HCl pekat 3 tetes lalu dipanaskan
4. Disaring dan ditambahkan amil alkohol
29
5. Dikocok, bila terbentuk warna kuning-coklat memberi indikasi adanya
flavonoid
d. Uji Senyawa Saponin
1. Sempel dimasukan kedalam tabung reaksi
2. Ditambahkan 10 ml air panas, kemudian didinginkan
3. Dikocok kuat-kuat selama 10 detik
4. Jika terbentuk buih mantap kurang lebih 10 menit dengan tinggi buih 1
cm sampai 10 cm dan tidak hilang jika ditambahkan 1 tetes HCl 2N
memberikan indikasi adanya saponin
e. Uji Senyawa Kuinon
1. Sempel dimasukkan dalam tabung reaksi
2. Ditambahkan 3 tetes KOH5%
3. Bila terbentuk warna kuning memberikan indikasi adanya kuinon
f. Uji Senyawa Tanin
1. Sempel dimasukkan kedalam tabung reaksi
2. Ditambahkan dua tetes larutan ferri klorida 1 %
3. Bila terbentuk warna biru tua atau hijau kehitaman memberikan indikasi
adanya tannin (Harborne,1987)
D. Ekstraksi
Dengan cara maserasi yakni Sebanyak 3 kg serbuk halus kulit Garcinia
mangostana dimaserasi dengan n-heksan selama 7 hari pada suhu kamar.
Maserasi pertama direndam dengan n–heksana. Setelah itu, keseluruhan ekstrak
30
n-heksana diuapkan pelarutnya dengan Rotary Evaporator sehingga diperoleh
ekstrak padat n-heksana.
E. Pemantauan ekstrak
Ekstrak yang diperoleh dipantau secara KLT menggunakan sillika gel GF 254
sebagai adsorban dengan berbagai pengembang.
Keseluruhan ekstrak padat yang diperoleh dimonitoring KLT menggunakan
eluen kloroform: metanol (9,8 : 0,2), noda dideteksi dengan lampu UV kemudian
disemprot penampak noda 1,5% serium sulfat dalam H2SO4 2 N dan
dipanaskan dalam oven.
F. Fraksinasi dan pemantauan fraksi
Fraksi n-heksana yang diperoleh difraksinasi menggunakan kromatografi cair
vakum menggunakan eluen n-heksana : diklorometana yang ditingkatkan
kepolarannya. Pengelompokan fraksi dilakukan pada fraksi – fraksi yang
memiliki kemiripan Rf dan pola noda pada KLT. Fraksi gabungan dari fraksinasi
I menghasilkan beberapa fraksi.
Fraksi gabungan tersebut dimonitoring KLT dengan menggunakan eluen
kloroform: metanol (9,9 : 0,1), noda dideteksi dengan lampu UV kemudian
disemprot menggunakan penampak noda 1,5 % serium sulfat dalam H2SO4 2 N
dan dipanaskan dalam oven
G. Pemurnian
Dengan rekristalisasi yaitu dilarutkan dalam metanol hangat dan
direkristalisasi dengan menambahkan aquades dengan perbandingan 20:1 dari
metanol dan dilanjutkan dengan pendinginan hingga terbentuk padatan berupa
kristal
31
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,1986.Sediaan Galenik.Jakarta;Departemen Kesehatan RI
Anonim,1979.Farmakope Indonesia.Edisi III.Jakarta;Departemen Kesehatan RI
Anonim,1995.Farmakope Indonesia.Edisi IV.Jakarta;Departemen Kesehatan RI
Anonim,2000.Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.Cetakan Pertama;Jakarta;Departemen Kesehatan RI
Ansel,C.Howard.2005.Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Edisi IV.Jakarta;Universitas Indonesia
Anastasia,novia.2010. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA ALFA MANGOSTIN KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP Propionibacterium acne dan Staphylococcus aureus MULTIRESISTEN.skripsi,jurusan farmasi universitas muhammadiah surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id/10089/1/K100060121.pdf
Bernasconi.G.et al.1995.Teknologi Kimia.Edisi II.Jakarta;PT.Pradnya Paramita
Day,R. A., dan Underwood, A. L., 1999, Analisis Kimia Kuantitatif (Penerjemah Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, Ph. D.), Penerbit Erlangga, Jakarta,hal: 491
Gunawan,Didik &Mulyani. 2002.Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jakarta:Swadaya
Harborne,J.B.1978.Metode Fitokimia.Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan.Terbitan Kedua.Penerbit ITB;Bandung
Nugroho agung 2007. Skripsi. Manggis (Garcinia mangostana L.) : DARI KULIT BUAH YANG TERBUANG HINGGA MENJADI KANDIDAT SUATU OBAT. Jurusan Farmasi, UNIVERSITAS GADJAH MADA; Yogyakarta
Prihatman, kemal 2000. Budidaya Pertanian Manggis. Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS : Jakartahttp://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/manggis.pdf
Rahmat Rukmana, Ir. 1995. Budidaya Manggis. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Rahmawati, Winasih, 2004. Telaah Fitokimia dan Uji aktivitas antibakteri terhadap
bakteri staphylococcus aureus dan escherchia coli dan ekstrak etanol, Fraksi
N-heksan, Fraksi etil asetat dan fraksi air dari buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa scheff) Boerl). Sekolah Tinggi Farmasi Bandung, Bandung.
32
Soebagio, Budiasih, E., Ibnu, M.S., Widarti, H.R., dan Munzil, 2005, KimiaAnalitik II, Penerbit Universitas Negeri Malang, Malang, Hal: 88-91.
Sudarsono, Phil Nat. dkk, 2002. Tumbuhan Obat II. Pusat Studi Obat Tradisional. Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta.
33
LAMPIRAN
BAGAN ALIR ISOLASI
Karakterisasi simplisiaSkrining simplisia
Ekstraksi
Fraksinasi
Isolasi
34
Simplisia
Ekstrak
Fraksi
Isolat