Post on 07-Mar-2019
Laporan Akhir
Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida & Penanganan
Pencemaran Persistent Organic Pollutant (POPs)
PUSAT TEKNOLOGI LINGKUNGAN
DEPUTI BIDANG
TEKNOLOGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA ALAM
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
TAHUN 2010
Tec
hn
ica
l D
oc
um
en
t
DAFTAR ISI
halaman
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ...............................................
RINGKASAN ...............................................................................................
PRAKATA ...................................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
Abstrak ........................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................
1.1. Latar Belakang ................................................................................
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
1.3. Tujuan dan Sasaran ........................................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................... .......................................
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT ............................................................
BAB IV. METODOLOGI .............................................................................
4.1. Metode Penelitian.............................................................................
4.2. Lingkup Penelitian ...........................................................................
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................
5.1. Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida POPs ....................
5.2. Pengembangan Teknologi Penanganan Cemaran POPs ...............
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
6.1. Kesimpulan .....................................................................................
6.2. Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
LAMPIRAN I EXECUTIVE SUMMARY
LAMPIRAN II BUKU CATATAN HARIAN PENELITI (BCHP)
LAMPIRAN III NOTULENSI RAPAT
1
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SUBSTITUSI PESTISIDA DAN PENANGANAN PENCEMARAN PERSISTENT ORGANIC POLLUTANT
(POPs)
Abstrak
Stockholm Convention yang merupakan sebuah kesepakatan internasional memuat sasaran untuk menghilangkan penggunaan bahan kimia organik serta memulihkan media tercemar bahan kimia organik yang dikelompokkan sebagai persistent organic pollutants (POPs). Dalam kesepakatan tersebut, hingga saat ini, terdapat sembilan bahan kimia dari jenis pestisida yang telah diketahui memiliki perilaku sebagai POPs. Penggunaan pestisida POPs pada lahan pertanian telah dibuktikan memasuki jalur jejaring makanan sehingga penggunaanya yang semula untuk membasmi hama pada tanah dan tanaman telah ditemukan pula dalam tubuh manusia misalnya air susu ibu. Hal ini tidak saja menurunkan mutu lahan pertanian untuk produksi tanaman pangan tetapi juga menyimpan sejumlah bahaya kesehatan lingkungan, termasuk manusia, akan pemaparan terhadap pestisida.
Substitusi pestisida berbahan aktif POPs perlu dikembangkan. Biopestida memang bukan sesuatu yang baru, namun ternyata perkembangan biopestisida tersebut belum menunjukkan perkembangan yang baik, padahal kelebihan biopestisida sangat banyak terutama dari aspek ramah lingkungan dan mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Industri pestisida belum tertarik untuk berinvestasi memproduksi biopestisida. Hal ini disebabkan ada beberapa kelemahan biopestisida yaitu efeknya tidak known down dan mudah terdegradasi (tidak tahan pada paparan ultraviolet).
Kegiatan untuk mendukung susbtitusi yang dilakukan adalah memperoleh data base tentang pestisida organik yang dikembangkan petani. Data base ini bisa digunakan untuk pengembangan pestisida nabati yang berakar dari petani itu sendiri. “Resep” ini akan lebih mudah diterima oleh petani setempat karena mereka merasa memiliki dan sudah mengetahui pengaruh pestisida tersebut pada lahan mereka. Kegiatan berikutnya adalah membuat prototipe formulasi biopestisida berbasis mikroba untuk mendukung substitusi pestisida berbahan aktif POPs. Formulasi diharapkan lebih mudah dalam aplikasi dan tahan terhadap paparan sinar matahari karena biopestisida rentan terhadap paparan sinar matahari. Kegiatan terakhir adalah membuat database tentang kajian persepsi petani terhadap peralihan penggunaan pestisida anorganik ke organik.
Pemulihan media, baik tanah maupun air, dari cemaran POPs dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama dengan mengandalkan agensia biologik untuk melakukan proses pemulihan dan yang kedua dengan mengandalkan teknik kimia fisika. Kedua pendekatan tersebut dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ. Dari segi waktu biasanya proses pemulihan pendekatan biologik lebih lama daripada teknik kimia fisika. Akan tetapi, yang terakhir ini sering kali menyebabkan perubahan tekstur media yang sedang ditangani secara signifikan. Baik teknik pemulihan secara biologik maupun kimia fisik keduanya memilki sejumlah pilihan teknologi. Contoh pemulihan menggunakan teknik secara biologik adalah landfarming, biopile, dan phytoexctraction, sedangkan contoh teknik yang mengandalkan proses kimia fisik adalah penyarian pada kondisi superkritik air maupun karbon dioksida.
Terdapat pedekatan ketiga yang disebut sebagai metoda termal, namun dikarenakan sifat teknologinya yang melepas karbon dioksida dalam jumlah besar sehingga berdampak kepada pemanasan global serta potensi terjadinya lepasan dioksin dan furan yang juga tergolong dalam POPs maka teknologi termal saat ini bukan merupakan pilihan teknologi utama dalam menyelesaikan cemaran POPs.
2
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Persistent Organic Pollutants (POPs) adalah bahan kimia organik yang bersifat
menimbun (accumulate) di lingkungan akibat sulitnya bahan tersebut untuk dirombak
secara nabati oleh jasad renik. Bahan kimia yang tergolong ke dalam golongan
POPs biasanya merupakan xenobiotics seperti fungisida, herbisida, insektisida,
bakterisida, rodentisida, serta jenis-jenis pestisida lainnya. Selain itu pestisida POPs
juga dapat dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna campuran bahan-bahan
seperti plastik. Ciri utama bahan yang dikelompokkan sebagai POPs adalah memiliki
penyulih (substituent) yang berupa atom halogen sehingga sering disebut sebagai
halogenated compounds. Contoh halogenated compounds golongan pestisida
adalah dikloro difenil trikloro etana (DDT) dan heksakloro benzena (HCB).
Sedangkan contoh yang merupakan POPs hasil pembakaran adalah dioksin dan
furan.
Kriteria yang menjadi patokan bahwa suatu bahan bersifat persistent adalah
bilamana memenuhi satu atau lebih hal berikut ini:
• Memiliki tekanan uap di bawah 1000 Pa sehingga mudah menguap dan
berpotensi untuk berpindah tempat dalam jarak jauh
• Memiliki waktu paruh di udara lebih dari dua hari, dalam air dua bulan, atau
dalam tanah dan sedimen lebih dari enam bulan
• Memiliki Faktor Pemekatan Biologik (Biological Concentration Factor)
setidaknya 5000 atau koefisien partisi etanol air (KOW) setidaknya 5
• Memperlihatkan tanda-tanda menimbulkan dampak buruk terhadap
kesehatan mahluk hidup dan lingkungan
Memperhatikan bahwa senyawa tergolong POPs berpotensi menimbulkan
dampak buruk terhadap biota dan lingkungan, maka pada tahun 2001 disepakati
sebuah perjanjian internasional yang disebut Stockholm Convention dengan tujuan
melakukan penyulihan seluruh bahan mengandung atau dibuat dari bahan POPs
dengan bahan yang bersifat ramah lingkungan serta melakukan pemulihan kualitas
lingkungan di mana pencemaran oleh POPs terjadi. Sejak perjanjian internasional
tersebut ditetapkan, terdapat 12 jenis bahan kimia yang telah disepakati untuk tidak
digunakan dan harus digantikan oleh bahan lain yang aman bagi biota dan
lingkungan hidup meski pada saat ini terdapat 9 buah bahan kimia yang
3
direncanakan untuk ditambahkan ke dalam POPs yang penggunaanya dilarang
secara internasional. Dua belas bahan kimia yang disebut sebagai dirty dozen
tersebut diperlihatkan pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Dirty dozen menurut Stockholm Convention
No Nama bahan kimia
Nama IUPAC*) Bangun molekul
1 Aldrin 1,2,3,4,10,10-Hexachloro-
1,4,4a,5,8,8a-hexahydro- 1,4:5,8-dimethanonaphthalene
2 Klordan Octachloro-4,7-
methanohydroindane
3 DDT 1,1,1-trichloro-
2,2-di(4-chlorophenyl)ethane
4 Dieldrin (1aR,2R,2aS,3S,6R,6aR,7S,7aS)-
3,4,5,6,9,9-hexachloro-1a,2,2a,3,6,6a,7,7a-octahydro-2,7:3,6-dimethanonaphtho[2,3-b]oxirene
5 Endrin (1aR,2S,2aS,3S,6R,6aR,7R,7aS)-
3,4,5,6,9,9-hexachloro-
1a,2,2a,3,6,6a,7,7a-octahydro-2,7:3,6-dimethanonaphtho[2,3-b]oxirene
6 Heptaklor 1,4,5,6,7,8,8-Heptachloro-
3a,4,7,7a-tetrahydro-4,7-methano-1H-indene
7 Heksakloro
benzena Hexachloro benzene
4
8 Mireks 1,1a,2,2,3,3a,4,5,5,5a,5b,6-dodecachlorooctahydro-1H-1,3,4-
(methanetriyl)cyclobuta[cd]pentalene
9 Toksafen -
10 PCB -
11 Dioksin -
12 Furan -
*)The International Union of Pure and Applied Chemistry Pada tahun 2009 Indonesia telah meratifikasi Stockholm Convention
sehingga mempunyai kewajiban untuk menyusun dan melaksanakan program guna
mencapai sasaran perjanjian internasional tersebut. Program tersebut dituangkan ke
dalam sebuah dokumen yang disebut National Implementation Plan (NIP) on
Elimination and Reduction of POPs. Terdapat dua hal utama dalam NIP untuk
dillaksanakan yaitu penyulihan pestisida berbahan dasar POPs serta pemulihan
kualitas lahan tercemar POPs. Laporan ini memusatkan pembahasan pada 2 hal
tersebut dengan sasaran mendapatkan informasi tentang teknologi substitusi dan
teknologi pemulihan lahan tercemar POPs.
1.2. Perumusan Masalah
Secara umum sebenarnya Indonesia telah melarang produk-produk pestisida
yang mengandung POPs dan menggantinya dengan senyawa yang mengandung zat
yang lebih cepat terurai di alam seperti carbamat, namun karena lemahnya
pengawasan, saat ini masih dijumpai pestisida yang beredar secara gelap dan juga
adanya peningkatan masalah kesehatan akibat POPs di daerah-daerah tertentu.
5
Di kalangan petani Indonesia sendiri sebenarnya telah dimengerti tentang
bahaya yang ditimbulkan oleh zat-zat berbahaya dalam pestisida kimiawi, namun
tuntutan akan produksi pertanian yang tinggi (swasembada beras) terkadang
menjadi kendala dalam mengkampanyekan arti penting pencegahan POPs ke
lingkungan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Singkat Kimiawi dan Upaya Pengendaliannya
Pembuatan atau manufaktur dan distribusi kimiawi sintetis baru
berkembang menjadi industri utama beberapa tahun setelah Perang Dunia ke-II.
Selanjutnya, tahun 1950-an, penggunaan kimiawi dalam pestisida dan pupuk
meningkat tajam dan dalam waktu singkat menjadi praktek pertanian yang
dominan; pada awalnya hanya di negara-negara maju lalu selanjutnya
dilaksanakan di hampir semua belahan dunia. Pada saat yang sama, industri
manufaktur juga mulai menggunakan dan memproduksi sejumlah besar kimiawi
sintetis dalam memproduksi produk-produk konsumen sehari-hari.
Pada tahun 1960-an, ancaman-ancaman terhadap lingkungan dikaitkan
dengan meningkatnya industri kimiawi sintetis yang meningkat tajam. Pada tahun
1962 buku Silent Spring, karya Rachel Carson, melaporkan bahwa penggunaan
DDT dan kimiawi pestisida lainnya secara luas, serta dokumentasi-
dokumentasinya menunjukkan bagaimana kegiatan tersebut memusnahkan
populasi burung-burung dan mengganggu ekosistem. Sementara Carson menyoroti
dampak pestisida terhadap ekosistem alam, buku tersebut juga menyajikan
informasi dan argumen-argumen yang menunjukkan bahwa pestisida juga
meracuni masyarakat dan berkontribusi terhadap perkembangan kanker dan
penyakit-penyakit lainnya. Saat dia menyelesaikan buku itu, Rachel Carson
menyadari, bahwa, dirinya sendiri mengidap kanker payudara dan Carson
meninggal pada tahun 1964.
Logam berat seperti mercury dan timbal diketahui sudah lebih banyak
digunakan dalam produk dibanding kimiawi sintetik. Pada tahun 1950an, penyakit
Minamata ditemukan di kampung nelayan sepanjang Teluk Minamata, Jepang.
Para pasien mengeluhkan hilangnya indra perasa mereka dan rasa kebal pada
tangan dan kaki mereka; tidak mampu berlari bahkan berjalan saja limbung;
mereka juga mengnabati gangguan penglihatan, pendengaran dan menelan.
Jumlah korban meninggal cukup tinggi.
Pada tahun 1959, penyebab penyakit resmi diakui berasal dari konsentrasi
mercury yang cukup tinggi dalam ikan, kerang dan lumpur di perairan teluk.
Sumbernya adalah pabrik yang menggunakan mercury sebagai katalis dalam
produksi acetaldehyde. Masyarakat sipil selama beberapa dekade berjuang untuk
7
menghentikan proses yang menyebabkan pencemaran dengan mercury,
sementara Pemerintah Jepang secara resmi hanya mengakui penyakit Minamata
pada tahun 1968. Sampai dengan tahun 2001, sekitar 2.265 orang korban telah
secara resmi disertifikasi, dan lebih dari 10.000 orang telah menerima
kompensasi finansial.
Peracunan oleh timbal juga memiliki sejarah panjang. Pada awal tahun
1920an, ahli-ahli kesehatan masyarakat menyampaikan kekuatiran akan dampak
kesehatan terhadap anak-anak dan pekerja yang disebabkan oleh timbal,
terutama dalam cat dalam ruangan/interior dan dalam aditif bahan bakar minyak.
Pada tahun 1921, negara-negara yang berpartisipasi dalam Konferensi ke-3 dari
Tenaga Kerja Internasional (the Third International Labor Conference of the
League of Nations) merekomendasikan bahwa timbal dalam cat untuk
penggunaan interior harus dilarang, dan memberi waktu 6 tahun kepada masing-
masing negara untuk melaksanakannya. Pada tahun 1940, 24 negara secara
resmi menyetujuinya. Namun demikian, di banyak negara, industri dan asosiasi-
asosiasi dagang berhasil mempertahankan produk-produk dan memperluas
pemakaiannya. Cat yang mengandung timbal dan bahan bakar yang
mengandung aditif timbal terus digunakan secara luas selama beberapa tahun.
Selanjutnya, pada tahun 1970an, informasi medis terbaru tentang dampak
paparan timbal dipublikasikan. Sebelumnya, hampir semua data tentang dampak
timbal terhadap kesehatan adalah berdasarkan pemaparan dosis tinggi dan gejala-
gejala klinis yang diakibatkannya. Herbert Needleman, seorang professor ahli anak
dan kejiwaan dari Amerika, menunjukkan bahwa pemaparan timbal dalam dosis
rendah kepada anak-anak merupakan masalah yang sangat serius. Dampaknya
dapat menurunkan intelegensia anak, memperpendek daya konsentrasi anak, dan
memperlambat masa kemampuan anak berbicara.
Temuan-temuan Rachel Carson, Soren Jensen, Herbert Needleman dan
para ahli lainnya mengarah pada meningkatnya pemahaman ilmiah masyarakat
tentang bahaya pemaparan kimiawi terhadap kesehatan manusia dan ekosistem.
Hal ini kemudian diterjemahkan ke dalam tekanan publik kepada pemerintah di
banyak negara untuk mengatur dan mengontrol pestisida, kimiawi toksik dan
bentuk-bentuk pencemaran berbahaya beracun lainnya.
Menanggapi hal ini dan kekuatiran-kekuatiran lainnya, hukum lingkungan
muncul sebagai suatu sistem yang memegang peranan penting. Di banyak
negara, untuk pertama kali, dibentuk departemen-departemen dan kementerian
8
lingkungan hidup. Pada tahun 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyelenggarakan konferensi internasional pertama tentang lingkungan di
Stockholm, Swedia dan membentuk Program Lingkungan (United Nations
Environmental Program/UNEP).
Sebagian besar negara-negara industri mengadopsi hukum-hukum dan
peraturan-peraturan penghapusan dan pelarangan produksi lebih lanjut dari DDT
dan PCBs. Sebagian besar juga melarang pembuatan dan peredaran cat interior
yang mengandung timbal dan mulai menghapuskan aditif timbal dalam bahan
bakar minyak. Secara umum, banyak negara mulai mengetatkan peraturan dan
mengendalikan pemakaian pestisida dan mengeluarkan hukum serta peraturan
untuk mengendalikan senyawa-senyawa toksik, pencemaran air, udara dan
praktek-prakek pengelolaan limbah. Dalam banyak hal, negara-negara
berkembang bereaksi lebih lambat.
Generasi pertama hukum lingkungan dan pengendalian kerap kali tidak
memadai, dan penegakan hukum sangat lemah atau tidak konsisten. Perusahaan-
perusahaan yang diatur seringkali menggunakan alasan-alasan ekonomi dan
kekuatan politik untuk menghindari kepatuhan. Untuk itu dan alasan-alasan
lainnya, organisasi-organisasi masyarakat sipil seringkali dikecewakan oleh
kegagalan-kegagalan hukum baru dan lemahnya kemampuan badan-badan
terkait untuk menegakkan hukum. Pada tahun 1980an, organisasi-organisasi
masyarakat di banyak negara mulai bergerak untuk memprotes pencemaran-
pencemaran yang disebabkan oleh fasilitas-fasilitas atau pabrik-pabrik di lokasi
masing-masing. Serikat pekerja dan organisasi-organisasi lainnya yang mewakili
para pekerja/buruh, para petani, nelayan dan atau konstituen lainnya terus
menerus menekan meminta perlindungan di tempat kerja atau wilayah masing-
masing. Organisasi-organisasi advokasi lingkungan di banyak negara mulai
tumbuh dan berakar. Sebagian besar, pada waktu itu, mengidentifikasi
pencemaran akibat bahan berbahaya beracun atau toksik merupakan prioritas
utama dan menekan adanya hukum lingkungan dan penegakannya yang lebih
baik.
Pada tahun 1984, di Bhopal, India, sebuah instalasi kimia milik Union
Carbide bocor. Sekitar 40 ton gas berbahaya beracun methyl isocyanate
menyebabkan kematian 3.000 orang dalam waktu singkat dan korban-korban
jangka panjang lainnya sekitar 20.000 orang atau bahkan mungkin lebih.
Meskipun peristiwa ini dianggap yang paling mematikan dan paling nyata
9
dibandingkan bencana-bencana akibat kimiawi lainnya, ada banyak kasus lain
seperti: di Seveso, Italy; di Love Canal, the United States; dan banyak lagi.
Mobilisasi gerakan-gerakan yang berakar di masyarakat terutama tentang
pengamanan kimiawi menjadi kekuatiran yang hampir sama di semua tempat, dan
pada pertengahan tahun 1980an, gerakan-gerakan ini berkonsolidasi menjadi
kampanye regional tentang ekosistem, terutama di sekitar Great Lakes di
Amerika Utara, di North Sea, di Laut Baltic, di Laut Mediterranean dan di kawasan
Arctic. Penelitian-penelitian kesehatan lingkungan semakin meluas dan para
ilmuwan yang mempelajari ekosistem mendapati bahwa senyawa-senyawa
berbahaya beracun atau toksik yang dibuat manusia menyebabkan gangguan-
gangguan yang serius.
Populasi ikan, burung dan mahluk hidup lainnya di alam bebas dalam
ekosistem ini menurun karena menurunnya tingkat kesuburan atau fertilitas, tak
mampu berkomprominya sistem kekebalan tubuh, terjadinya penyimpangan
perilaku, terjadinya kanker dan tumor serta ketidakmampuan lainnya. Beberapa
pencemar toksik yang menyebabkan gangguan-gangguan ini masuk ke badan air
langsung dari perpipaan atau secara tidak langsung dari lepasan para petani dan
dari jalanan di kawasan perkotaan. Namun demikian, hal ini tetap menjadi
sesuatu yang mengejutkan ketika para peneliti mengetahui bahwa sebagian besar
pencemar toksik yang dikuatirkan yang masuk ke perairan ternyata berasal dari
jatuhan dari atas atau dari udara dimana beberapa berasal dari sumber-sumber
yang dekat dan beberapa berasal dari sumber yang cukup jauh.
Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa manusia sebagai penghuni
ekosistem menderita ketimpangan dan gangguan kesehatan yang sama, terutama
mereka yang diet-nya tergantung pada ikan dan hewan. Hasil studi menunjukkan
bahwa para ibu yang makan ikan dari the Great Lakes di Amerika Utara,
menurunkan pencemar-pencemar kimiawi kepada anak-anaknya, dan hal ini
berakibat pada penurunan inteligensia, menurunnya kemampuan untuk belajar
dan penyimpangan-penyimpangan perilaku. Penelitian lebih lanjut memperkuat
kesimpulan-kesimpulan ini dan juga mendapati ada banyak kaitan antara
pencemaran kimiawi dan beberapa penurunan kesehatan manusia serta penyakit-
penyakit lain yang diakibatkannya.
Tidak terganggu oleh adanya kekuatiran akibat adanya beberapa bencana
kimia di masa lalu, pencemaran industri, pestisida-pestisida toksik dan
pencemaran lingkungan akibat kontaminasi kimia semakin tersebar luas.
10
Kekuatiran tentang pemaparan kimiawi juga meningkat sebagai akibat dari
kehadiran senyawa-senyawa toksik dalam produk-produk konsumen. Telah lama
diketahui bahwa timbal dan mercury dalam produk-produk konsumen dapat
membahayakan kesehatan manusia terutama anak-anak. Baru-baru ini, para
ilmuwan dan aktivis-aktivis masyarakat sipil telah mengingatkan adanya sejumlah
kimiawi sintetik organik yang terdapat dalam produk-produk konsumen.
Kekuatiran masyarakat sipil dan para aktifis adalah bahaya-bahaya produk
tersebut terhadap kesehatan manusia yang disebabkan oleh suatu kelompok
kimiawi yang disebut phthalates yang digunakan secara luas sebagai plasticizers
dalam produk-produk yang terbuat dari plastik vinyl dan sebagai salah satu bahan
kandungan dalam produk kosmetik. Perhatian juga mulai ditujukan pada kimiawi
mengandung brominate yang digunakan secara luas sebagai flame retardants
dalam produk-produk upholstery (bahan pelapis kursi dan produk-produk interior)
serta produk-produk plastik. Bisphenol A, suatu kimiawi yang digunakan dalam
pembuatan plastik polycarbonate merupakan kimiawi lain yang menjadi perhatian
utama masyarakat sipil. Para pelobi industri kimia secara terang-terangan
mempertahankannya dan kimiawi-kimiawi lain yang sama problematiknya tetap
mereka gunakan dalam manufaktur. Namun demikian, kampanye-kampanye yang
dilakukan masyarakat sipil berhasil mendorong ditetapkannya beberapa peraturan
pemerintah dan pelarangan-pelarangan beberapa kimiawi berbahaya ini di
beberapa negara. Kampanye-kampanye ini terus berlanjut, karena, meski
peraturan-peraturan dan larangan-larangan telah dibuat, secara umum masih
belum memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
Baru pada tahun 1990an pengamanan kimiawi mulai diangkat sebagai
keprihatinan yang melebihi isu nasional atau lokal. Sebagai konsekuensi dari
peraturan-peraturan di tingkat nasional tentang pengendalian dan penanganan
limbah, biaya untuk membuang limbah berbahaya beracun ke fasilitas yang
ditetapkan meningkat tajam di banyak negara industri. Hal ini memberi insentif
pada perusahaan-perusahaan untuk meminimalkan limbah berbahaya beracun
yang mereka hasilkan, dan menurunkan limbah yang dihasilkan secara signifikan.
Namun demikian, beberapa operator berusaha melanjutkan praktek-praktek
pembuangan limbah yang melanggar peraturan yang telah dibuat. Kemudian,
ketika petugas mendapati operasi ilegal ini, beberapa perusahaan mulai mencari
opsi-opsi pembuangan yang lebih murah. Mereka mendapati bahwa ada makelar-
makelar operator pembuangan limbah yang secara ilegal bersedia menerima
11
limbah berbahaya beracun dan mengekspornya dari negara-negara industri maju
ke negara-negara berkembang dan Eropa Timur, seringkali mereka membuang
limbah di kawasan-kawasan atau di sekitar kawasan yang masyarakatnya tidak
menaruh curiga.
LSM-LSM dan kelompok-kelompok masyarakat baik di negara-negara
pengekspor maupun penerima memprotes praktek-praktek kotor ini. Mereka
menyerukan adanya perjanjian global, yang mengikat secara hukum untuk
mengontrol pergerakan limbah berbahaya beracun di perairan internasional. Hal ini
mendorong diadopsinya Konvensi Basel tentang Pengendalian Pergerakan Limbah
Berbahaya Beracun Antar-negara dan Pembuangannya (Control of
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal4, yang
selanjutnya mulai diberlakukan tahun 1992.
Pada tahun 1992 Konferensi Bumi Tingkat Tinggi Rio mengangkat isu
kimiawi toksik dalam program aksi yang diadopsi, Agenda 21. Bab 19 dari
Agenda 21 yang berjudul Pengelolaan Kimiawi Toksik yang Berwawasan
Lingkungan (Environmentally Sound Management of Toxic Chemicals)
menyatakan bahwa pencemaran kimiawi merupakan sumber yang “menyebabkan
kerusakan pada kesehatan manusia, struktur genetika dan sistem reproduksi,
serta lingkungan.” Bab 19 juga secara khusus menyatakan kebutuhan negara-
negara berkembang dan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan menyadari
bahwa di banyak negara, sistem secara nasional belum siap untuk mengatasi
resiko-resiko kimiawi, dan bahwa kebanyakan negara tidak memiliki ilmu dan
teknologi yang memadai untuk mengumpulkan bukti-bukti dari penyalahgunaan
dan menilai dampak dari kimiawi toksik pada lingkungan.
Bab 19 juga menghimbau badan-badan dunia seperti Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dan Organisasi Buruh
Internasional (International Labor Organization/ILO) untuk bergabung bersama
UNEP dalam menyelenggarakan forum global untuk mempromosikan pengamanan
kimiawi yang mengerucut pada 1994 yaitu pada pembentukan Forum Antar-
pemerintah untuk Pengamanan kimiawi (Intergovernmental Forum on Chemical
Safety/IFCS). Forum ini awalnya hanya memiliki sedikit dana dan bekerja secara
virtual tidak ada komite yang mengatur. Namun demikian, keberadaan forum ini
membuahkan kesuksesan yang tidak terduga, dan terutama sangat bermanfaat
bagi para wakil resmi dari negara-negara berkembang, Menteri-menteri
12
Lingkungan atau Menteri Kesehatan yang bertanggungjawab untuk memantau
dan mengatur program-program pengelolaan kimiawi di tingkat nasional.
Pencapaian pionir yang dilakukan IFCS adalah memperoleh kesepahaman
internasional dan dukungan-dukungan untuk memberi ruang serta mendorong
penuh keterlibatan-keterlibatan multi-sektoral dan multi-pemangku kepentingan
dalam proses-proses penyusunan kebijakan international yang mengangkat isu-
isu pengamanan kimiawi. Forum juga berhasil membentuk preseden penting
bahwa ketika kebijakan-kebijakan terkait pengamanan kimiawi yang sedang
diformulasi, wakil-wakil dari organisasi-organisasi kesehatan dan LSM-LSM
memiliki hak yang sama dengan para wakil pemerintah dan asosiasi industri untuk
dilibatkan secara penuh. Pada tahun 1996, IFCS mengadopsi rekomendasi
kepada UNEP Governing Council sebuah kerangka proposal untuk menetapkan
suatu kesepakatan global untuk melindungi kesehatan masyarakat dan
lingkungan dari Polutan-polutan Organik yang Persisten (Persistent Organic
Pollutants/POPs).
POPs adalah keluarga kimiawi toksik yang berakumulasi di lingkungan;
mereka berakumulasi dalam ikan, hewan liar dan ternak; yang mengakibatkan
gangguan terhadap ekosistem; dan menyebabkan masalah-masalah kesehatan
yang lebih luas. Karena POPs dapat berpindah menempuh jarak yang jauh
melalui udara dan arus air, tidak ada pemerintah, yang mampu menyelesaikannya
sendiri, yang mampu melindungi masyarakatnya sendiri dan ekosistemnya sendiri
dari bahaya POPs. Hal ini memperkuat alasan perlunya menetapkan kesepakatan
global sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk mengontrol POPs. Negosiasi-
negosiasi untuk menyusun sebuah kesepakatan global untuk POPs dimulai pada
tahun 1998 dan Konvensi Stockholm tentang POPs diadopsi tahun 2001.
Kesepakatan ini bertujuan untuk mengontrol dan menghapuskan daftar awal dari
12 senyawa POPs, termasuk didalamnya DDT dan PCBs. Selanjutnya
kesepakatan ini menyediakan daftar tambahan kimiawi toksik lainnya yang
memiliki perilaku dan sifat-sifat yang hampir sama agar dapat dikendalikan dan
dihapuskan.
Kesepakatan kimiawi global lainnya, Konvensi Rotterdam tentang
Pemberitahuan Pendahulu (the Rotterdam Convention on Prior Informed
Consent) juga dinegosiasi dan diadopsi pada pertengahan tahun 1990an.
Kesepakatan ini menetapkan daftar kimiawi yang telah dilarang atau secara ketat
dibatasi peredarannya paling tidak di dua wilayah. Sebelum perusahaan yang
13
berada di negara yang menjadi Party dari konvensi mengekspor suatu kimiawi
yang ada dalam daftar tersebut ke negara berkembang, pihak negara pengirim
harus menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemerintah negara
penerima yang boleh saja menolak menerima. Pada tahun 2004, kedua konvensi,
Stockholm dan Rotterdam, mulai diberlakukan (entered into force).
Badan PBB untuk pertanian pangan atau Organisasi Pertanian Pangan
(Food Agriculture Organization/FAO) mengadopsi versi pertama dari Tata Cara
Distribusi dan Penggunaan Pestisida-pestisida (the International Code of Conduct
on the Distribution dan use of Pesticides) pada tahun 1985. Tata cara ini
kemudian secara substansial direvisi dan diperbaharui dalam Tata Cara/Code
tahun 2002 untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan utama dan untuk
menunjukkan perubahan kerangka kebijakan internasional, terutama dengan
diadopsinya Konvensi Rotterdam.
Tata Cara FAO menetapkan standar internasional untuk distribusi dan
penggunaan pestisida-pestisida, terutama untuk negara-negara dimana
perundang-undangan dan peraturan-peraturan nasionalnya belum memadai. Tata
Cara ini mendorong praktek-praktek yang akan meminimalkan efek-efek yang tak-
terpulihkan terhadap manusia dan lingkungan terkait dengan penanganan
pestisida. Pesticide Action Network (PAN) memainkan peran penting dalam
mempromosikan diadopsinya revisi Code of Conduct FAO, mendukungnya, dan
mempromosikan implementasi efektifnya.
Pada 2002, masyarakat internasional mengadopsi the Globally Harmonized
System of Classification and Labeling of Chemicals (GHS). Sistem standar
internasional ini disetujui untuk mengklasifikasikan kimiawi dan
mengkomunikasikan bahayanya. Sistem ini menetapkan pemberian label pada
kimiawi yang berbahaya-beracun termasuk standarisasi picto grams; kata-kata
sinyal; pernyataan-pernyataan bahaya; pernyataan-pernyataan peringatan dini;
cara mengidentifikasi produk; dan informasi pemasok. Selanjutnya sistem ini
menetapkan kimiawi harus diberi label dengan cara yang sama di setiap negara
dan harus tersedia dalam setiap bahasa.
Tujuan dari GHS ini adalah untuk memastikan bahwa informasi
peringatan-peringatan bahaya dan tingkat toksisitas dari kimiawi tersedia bagi
siapapun yang menangani, memindahkan dan menggunakannya. Sistem ini juga
sangat membantu banyak negara-negara berkembang dalam mengembangkan
Program-program pengamanan kimiawi nasional yang komprehensif. Para serikat
14
buruh memainkan peranan aktif dalam memformulasi dan mengadopsi GHS.
Mereka, bersama-sama dengan LSM-LSM dan organisasi-organisasi antar-
pemerintah, juga giat mempromosikan implementasinya secara penuh.
Konvensi-konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm, bersama-sama
dengan IFCS, FAO Code, GHS dan Program-program internasional pengamanan
kimiawi lainnya, telah menyediakan kerangka kerja yang penting dan
kesempatan-kesempatan untuk para pemerintah serta LSM-LSM untuk mencapai
tujuan-tujuan pengamanan kimiawi yang lebih signifikan. Masing-masing,
bagaimanapun juga, memiliki keterbatasan, dan semuanya, bila digabungkan,
tetap saja tidak akan mampu menangani isu-isu pengamanan kimiawi yang harus
dihadapi negara masing-masing. Hal ini lalu mengarah dan berkembang pada
pemahaman bahwa suatu program pengamanan kimiawi yang konsisten dan
komprehensif sangat diperlukan. dan hal ini mendorong untuk dikembangkan dan
diadopsinya SAICM.
Di beberapa negara, LSM-LSM dengan keahlian khusus dalam isu-isu
pengamanan kimiawi bermunculan pada tahun 1970an dan 80an. Pesticide
Action Network (PAN) muncul pada periode ini. Namun demikian, pada tahun
1990an — sebagian sebagai hasil merespon negosiasi dan adopsi dari ketiga
Konvensi-konvensi kimiawi dan inisiatif internasional lainnya — pengamanan
kimiawi menjadi sangat penting dan dikenal di banyak negara berkembang.
Organisasi-organisasi lingkungan internasional seperti Greenpeace dan
lain-lainnya aktif melakukan kampanye-kampanye di negara-negara berkembang
terutama untuk isu perdagangan limbah dan POPs yang menggiring negosiasi-
negosiasi di forum antar-pemerintah sehingga menghasilkan Konvensi-konvensi
Basel dan Stockholm. Dalam perjalanan melakukan hal itu, mereka menstimulasi
kesadaran dan keterlibatan dari LSM-LSM lokal yang menaruh perhatian pada
isu-isu kesehatan dan lingkungan di berbagai Negara dan memberi ruang untuk
tumbuhnya jaringan-jaringan global baru. Health Care Without Harm (HCWH);
International POPs Elimination Network (IPEN); Global Alliance for Incinerator
Alternatives (GAIA); Basel Action Network (BAN) dan lain-lainnya tumbuh dalam
konteks ini. Bersama-sama dengan PAN, jaringan-jaringan ini membantu
menyebarluaskan pengetahuan dan keahlian serta mempromosikan kegiatan-
kegiatan kepada masyarakat sipil terutama seiring dengan tujuan-tujuan
pengamanan kimiawi di Negara-negara berkembang.
15
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT
3.1. Tujuan
Maksud dari kegiatan ini adalah stimulan dalam rangka substitusi pestisida
berbahan aktif POPs serta melakukan penelusuran informasi mengenai teknologi
yang dapat digunakan untuk melakukan pemulihan kualitas lahan yang mengnabati
pencemaran oleh POPs.
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini terbagi menjadi 2 pokok, yaitu:
1. Kajian informasi yang diambil dari petani mengenai pestisida nabati sekaligus
persepsi mereka terhadap pengembangannya serta membuat prototipe/formulasi
biopestisida yang lebih ramah lingkungan dan berprospek sebagai substitusi
pestisida berbahan aktif POPs.
2. Menyampaikan hasil kajian penelusuran informasi mengenai teknologi pemulihan
kualitas lingkungan tercemar POPs sehingga dapat digunakan sebagai dasar
pemilihan teknologi yang tepat, baik ditinjau dari sudut pandang teknik maupun
ekonomi, untuk melakukan penanganan cemaran POPs.
3.2. Manfaat
a. Dampak Ekonomis Pemanfaatan Hasil
Pelaksanaan kegiatan ini diharapkan memberikan dampak efisiensi pada
kegiatan pertanian dan usaha agro industri, khususnya penghematan dalam
penggunaan pestisida kimiawi dan meningkatkan nilai jual hasil pertanian dan
agro industri melalui pendekatan konsep pertanian organik sehingga menambah
nilai ekonomis secara umum. Selain itu berkurangnya pencemaran lingkungan
akibat POPs dapat membantu mengurangi beban pemerintah pusat dan daerah
dalam upaya penanganan serta penanggulangan dampak akibat POPs.
b. Kontribusi terhadap sektor lain
Hasil pelaksanaan kegiatan ini direncanakan dapat berkontribusi bagi
beberapa sektor lain, yaitu:
1. Bagi sektor keanekaragaman hayati (bio diversity) adalah memperkaya
khazanah pengetahuan, khususnya potensi biodiversity nasional di bidang
obat-obatan anti hama dan organisme pengganggu tanaman.
16
2. Bagi sektor lingkungan hidup adalah terjadinya perbaikan kualitas lingkungan
(alam, binaan dan sosial) terkait upaya pengurangan dampak lingkungan
akibat POPs.
3. Bagi petani, pengusaha agro industri dan pemerintah daerah adalah
mengurangi ketergantungan pada pestisida kimiawi.
17
BAB IV
METODOLOGI
3.1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan substitusi dan
penanganan cemaran POPs adalah penelitian di laboratorium dan pengujian di
green house, desk study (baik diperoleh melalui media internet, textbook, journal,
research report) serta diskusi (termasuk personal communication dengan nara
sumber atau pakar yang sesuai) dan survey ke petani di beberapa lokasi,.
3.2. Lingkup Penelitian
Lingkup kegiatan ini meliputi :
1. Pengkajian pestisida nabati yang berkembang pada tataran petani, persepsi
petani terhadap peralihan penggunaan pestisida tersebut dan pembuatan
prototipe biopestisida.
2. Pengkajian sifat-sifat POPs (sifat fisik dan kimia) serta perilaku bahan tersebut
dari sudut pandang ekotoksikologi hingga pembahasan tentang teknologi
yang telah dan sedang dikembangkan dalam upaya melakukan pemulihan
kualitas lahan tercemar POPs. Diupayakan pula untuk memasukkan sudut
pandang ekonomi baik dalam mengkaji dampak cemaran POPs terhadap
lingkungan serta penerapan teknologi untuk memulihkan lahan tercemar
POPs.
18
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida POPs
5.1.1. Rancangan pecobaan dalam kegiatan pembuatan prototipe biopestisida Sudah dibuat protokoler kegiatan yang akan dilakukan guna membuat
prototype/formulasi biopestisida.
No Kegiatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Pembuatan media PDA untuk peremajaan isolate Trichoderma harzianum dan perhitungan jumlah koloni pada setiap tahapan inkubasi sebanyak 1L Peremajaan biakan T. harzianum pada agar miring dan cawan Petri Pembuatan media PDB sebanyak 2,5 L (2 L untuk media perbanyakan/ batch dan 500 mL untuk pembuatan inokulum) Pembuatan inokulum T. harzianum pada PDB sebanyak 200 mL Penanaman inokulum pada media PDB 2 L (sebagai batch perbanyakan) Perhitungan jumlah koloni pada batch perbanyakan setelah diinkubasi selama 72 jam dengan cara plating Sterilisasi onggok sebanyak 3 Kg sebagai substrat pembawa Penanaman T. harzianum dari batch 2L kedalam media onggok Inkubasi onggok selama 5 hari Pengeringan media onggok Penghancuran/penghalusan onggok Perhitungan jumlah koloni dari onggok yang telah dihaluskan Penentuan substrat pembawa pembawa T.harzianum untuk aplikasi lapangan (dekstrosa atau soluble starch) Optimasi perbandingan antara bibit T.harzianum pada onggok dengan substrat pembawa (diharapkan jumlah koloni pada hasil optimasi adalah sebanyak 108-109 CFU per gram) Pengujian semi lapang dari hasil optimasi terbaik pada tanaman yang terserang fungi pathogen (Fusarium oxysporum, Rhizoctonia atau Colletotrichum) Pengambilan kesimpulan
19
Penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur patogen sampai saat ini
masih merupakan masalah utama di bidang pertanian. Produksi pertanian secara
kualitas maupun kuantitas mengnabati penurunan yang sangat tinggi, sehingga perlu
dilakukan penanggulangan dan pengendalian yang tepat dan cermat.
Konsep yang harus dikembangkan dalam pengendalian hama dan penyakit
tanaman adalah selain memperhatikan efektivitas dan segi ekonomisnya juga harus
mempertimbangkan masalah kelestarian lingkungan. Bertitik tolak dari konsep
tersebut, maka perhatian dunia kembali pada pengendalian secara hayati, yakni
suatu cara pengendalian hama penyakit tanaman dengan memanfaatkan musuh-
musuh nabati yang bersifat antagonis.
Penggunaan Biofungisida Trichoderma harzianum merupakan salah satu
alternatif dalam mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur
patogen tular tanah. Biofungisida T. harzianum agar mudah digunakan di tingkat
petani maka perlu diformulasikan sehingga memiliki keefektifan dalam
mengendalikan penyakit tanaman dan mudah pengaplikasiannya. Bioformulasi
adalah serangkaian produksi biofungisida dengan bahan aktif berupa biomassa dan
spora jamur T. harzianum dalam bentuk serbuk.
Kegiatan yang dilakukan dalam bioformulasi T. harzianum pada kegiatan ini
adalah : perbanyakan T. harzianum pada media agar, perbanyakan T. harzianum
pada media cair, perbanyakan T. harzianum pada media padat berupa onggok,
optimasi perbandingan bibit T. harzianum dengan substrat pembawa berupa soluble
starch, dan rekomendasi aplikasi produk di lapangan.
a. Perbanyakan T. harzianum dalam media agar
Media agar yang digunakan untuk perbanyakan T. harzianum adalah Potato
Dextrosa Agar (PDA). Media PDA dibuat dengan cara melarutkan 26 gram PDA
instant kedalam 1 Liter akuades kemudian dipanaskan hingga mendidih dan semua
media larut. Setelah larut media tersebut dimasukan ke dalam Erlenmeyer dan
tabung reaksi untuk kemudian disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121oC
selama 15 menit. Setelah proses sterilisasi, media agar dituang ke dalam cawan
petri dan untuk media dalam tabung reaksi, tabung reaksi dimiringkan untuk
membuat agar miring.
Perbanyakan T. harzianum dalam media agar bertujuan untuk membuat
kultur stok dan kultur kerja. Kultur stok digunakan untuk penyimpanan dalam waktu
lama dan ditanam pada agar miring di tabung reaksi, sedangkan kultur kerja adalah
kultur T. harzianum yang akan digunakan dalam kegiatan bioformulasi.
20
Kultur kerja dibuat dengan cara menanam T. harzianum dari kultur stok yang
telah dibuat sebelumnya ke dalam PDA yang sudah dituang di cawan petri. Setelah
ditanam, T. harzianum diinkubasikan dalam suhu kamar selama 7 hari atau sampai
cendawan tersebut tumbuh merata pada permukaan agar. Apabila cendawan telah
tumbuh merata, maka cendawan tersebut siap untuk digunakan pada kegiatan
selanjutnya.
b. Perbanyakan T. harzianum dalam media cair
Media cair yang digunakan untuk perbanyakan T. harzianum adalah Potato
Dextrosa Broth (PDB). Proses pembuatan media PDB sama dengan proses
pembuatan PDA yaitu dengan dilarutkan dalam aquades kemudian dididihkan
sampai semua medianya larut. Sebelum media disterilisasi, media PDB sebanyak
100 mL dimasukan dalam Erlenmeyer 200 mL dan sebanyak 1 L dimasukan dalam
Erlenmeyer 2 L. Setelah dimasukan kedalam Erlenmeyer dan ditutup, media siap
untuk disterilisasi.
Perbanyakan dalam media cair, dilakukan secara bertahap dan bertingkat.
Hal ini selain untuk memaksimalkan pertumbuhan juga untuk mengaktivasi T.
harzianum sehingga siap untuk digunakan. Perbanyakan pertama kali dilakukan
dengan cara menanam T. harzianum yang sudah tumbuh dalam media agar ke
dalam media cair 100 mL pada Erlenmeyer 200 mL. Penanaman dilakukan dengan
memotong agar yang sudah ditumbuhi T. harzianum dengan cock bore, kemudian
memindahkan potongannya ke dalam media cair di Erlenmeyer. Penanaman
dilakukan sebanyak 5 potongan per Erlenmeyer. Pemotongan agar dan penanaman
pada media cair dilakukan secara aseptik.
Cendawan yang sudah ditanam dalam medium cair kemudian dikocok
menggunakan shaker pada kecepatan 150 rpm dan diinkubasikan pada suhu ruang.
Proses pertumbuhan jamur dalam media cair membutuhkan proses selama kurang
lebih 4 hari, dan setelah 4 hari maka cendawan siap dipanen dan dipindahkan pada
media yang lebih besar. Biakan cendawan dipindahkan seluruhnya ke dalam
Erlenmeyer 2L berisi media PDB 1 L secara aseptik kemudian dishaker pada
kecepatan 150 rpm dan diinkubasi pada suhu kamar selama kurang lebih 7 hari.
Setelah 7 hari, cendawan siap ditanam pada media perbanyakan padat berupa
onggok setelah sebelumnya dilakukan perhitungan jumlah spora/mL terlebih dahulu.
Perhitungan jumlah spora/mL menggunakan cara pengenceran cawan tuang
(serial dilution plate). Adapun teknik pengenceran yang dilakukan adalah sebagai
berikut : beberapa tabung reaksi yang telah diisi larutan NaCl fisiologis steril
21
sebanyak 9mL diinokulasikan 1mL kultur cendawan dari Erlenmeyer 2L sehingga
diperoleh pengenceran 10-1, 1mL kultur dari pengenceran 10-1 dipindahkan ke tabung
reaksi berikutnya, diperoleh pengenceran 10-2, demikian seterusnya sampai
diperoleh pengenceran sesuai dengan yang diinginkan (10-1 – 10-9). Sebanyak 1mL
dari masing-masing hasil pengenceran (10-5 – 10-9) dimasukkan ke dalam cawan
petri steril yang telah berisi PDA padat, lalu diratakan dengan batang L, diinkubasi
pada suhu kamar selama 24 jam. Setelah 24 jam, jumlah koloni T. harzianum dalam
masing-masing cawan petri dihitung dan diinterpretasikan.
Perhitungan jumlah spora dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang
terbentuk. Hal ini didasari bahwa satu spora akan tumbuh menjadi satu buah koloni,
sehingga jumlah koloni akan mewakili jumlah spora.
Hasil perhitungan jumlah spora/koloni T. harzianum yang telah diinkubasi
selama 7 hari dalam media PDB 1L adalah sebagai berikut :
Pengenceran ∑ koloni Faktor pengali (5) ∑ spora total/mL
10-3 TMTC TMTC TMTC
10-4 TMTC TMTC TMTC
10-5 120 600 6 x 107
10-6 41 205 2,05 x 108
10-7 -- -- --
Ket : TMTC : Too Many To Count Dikalikan 5 sebagai faktor pengali karena pada saat plating, tidak diambil 1
mL tetapi 0,2 mL
Berdasarkan perhitungan di atas, diketahui bahwa jumlah spora T. harzianum
dalam media PDB 1 L adalah berkisar 6 x 107 sampai 2,05 x 108 spora/mL.
Jumlah tersebut sudah mencukupi karena syarat inokulum untuk bisa ditanam
kedalam media padat (onggok) adalah mengandung spora T. harzianum minimal
≥ 1 x 106 spora/mL.
c. Perbanyakan T. harzianum dalam media padat
Media padat yang digunakan untuk perbanyakan T. harzianum pada kegiatan
ini adalah onggok. Pemilihan onggok dikarenakan onggok berupa limbah sehingga
memanfaatkan limbah untuk mengurangi sampah dan juga nisbah CN ratio yang
dimiliki oleh onggok masih mencukupi untuk pertumbuhan cendawan T. harzianum.
22
Sebelum onggok digunakan sebagai media perbanyakan, onggok harus
disterilisasi terlebih dahulu menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15
menit. Untuk 1L inokulum yang telah ditumbuhi T. harzianum dengan jumlah spora
minimal ≥ 1 x 106 spora/mL, diperlukan 2 Kg onggok sebagai media
perbanyakannya. Inokulum langsung dicampurkan ke dalam onggok kemudian
diaduk sampai merata. Setelah dicampurkan dan diaduk, onggok disimpan dalam
nampan-nampan plastik dan dimasukan ke dalam inkubator bersuhu 37oC untuk
diinkubasi selama 7 hari. Onggok setiap hari diaduk agar pertumbuhan T. harzianum
merata di semua bagian. Pertumbuhan T. harzianum ditandai dengan diselubunginya
onggok oleh cendawan berwarna hijau.
Setelah 7 hari inkubasi, onggok yang sudah ditumbuhi oleh T. harzianum
dikeluarkan dari inkubator dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60oC selama kurang
lebih 4 hari. Setelah kering, onggok yang bercampur dengan T. harzianum
dihaluskan dengan cara digrinder atau diblender dan siap dijadikan bibit untuk
dicampur dengan substrat pembawa. Sebelum dicampur dengan substrat pembawa,
bibit dihitung terlebih dahulu kandungan jumlah spora/gram-nya terlebih dahulu.
Perhitungan jumlah spora dalam bibit dilakukan dengan metode pengenceran
cawan tuang dengan tahapan yang sama dengan perhitungan jumlah spora dalam
media cair. Perbedaannya hanya 1 mL kultur cair cendawan diganti dengan 1 gram
bibit. Bibit yang baik digunakan sebagai starter adalah mengandung spora T.
harzianum minimal ≥ 1 x 106 spora/gram. Adapun hasil perhitungan jumlah spora
pada bibit adalah sebagai berikut :
Pengenceran ∑ koloni Faktor pengali (5) ∑ spora total/gram
10-2 TMTC TMTC TMTC
10-3 TMTC TMTC TMTC
10-4 274 1370 1,37 x 107
10-5 192 960 9,6 x 107
10-6 129 645 6,45 x 108
Ket : TMTC : Too Many To Count Dikalikan 5 sebagai faktor pengali karena pada saat plating, tidak diambil 1
mL tetapi 0,2 mL
23
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah spora T. harzianum dalam
bibit adalah berkisar 1,37 x 107 sampai 6,45 x 108 spora/gram. Jumlah tersebut
sudah mencukupi karena syarat bibit untuk bisa dijadikan starter adalah
mengandung spora T. harzianum minimal ≥ 1 x 106 spora/gram.
d. Optimasi perbandingan bibit dengan substrat pembawa
Substrat pembawa yang digunakan untuk memformulasikan bibit yang
mengandung T. harzianum adalah soluble starch. Alasan pemilihan soluble starch
adalah agar pengaplikasian biofungisida ini di tingkat petani tidak menyulitkan, hanya
perlu dicampurkan dengan air biasa untuk kemudian siap diaplikasikan.
Formulasi yang dilakukan pada kegiatan ini adalah menentukan
perbandingan paling optimum antara bibit dengan substrat pembawa. Perbandingan
paling optimum ditandai dengan jumlah spora yang masih cukup tinggi dalam
campuran, yaitu diharapkan ≥ 108 spora/gram, kemudian penggunaan bibit dalam
perbandingan totalnya tidak terlalu besar sehingga dapat diperoleh produksi yang
jauh lebih tinggi.
Optimasi perbandingan bibit dengan substrat pembawa dilakukan dengan 6
perlakuan yaitu 1 : 1, 1 : 2, 1 : 3, 1 : 4, 1 : 5, dan 1 : 10. Setiap perlakuan dihitung
kandungan jumlah sporanya untuk menentukan perbandingan mana yang paling
efisien untuk digunakan. Perhitungan jumlah spora sama dengan perhitungan jumlah
spora pada media perbanyakan cair dan pada bibit yaitu dengan metode
pengenceran cawan tuang. Hasil perhitungan jumlah spora dalam masing-masing
perbandingan adalah sebagai berikut :
Kode Pengencera
n
∑ spora ulangan
1
∑ spora ulangan 2
Rata-Rata
Faktor pengali (5)
∑ spora total
A
1 : 1
10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC
10-5 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC
10-6 62 42 52 260 2,6 X 108
24
B
1 : 2
10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC
10-5 182 203 192,5 962 9,62 X 107
10-6 -- 2 1 5 5 X 106
C
1 : 3
10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC
10-5 200 191 195,5 977,5 9,7 X 107
10-6 92 15 53,5 267,5 2,67 X 108
D
1 : 4
10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC
10-5 250 211 230,5 1152,5 1,15 X 108
10-6 182 172 177 885 8,85 X 108
E
1 : 5
10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC
10-5 243 198 220,5 1102,5 1,10 X 108
10-6 87 44 65,5 327,5 3,27 X 108
F
1 : 6
10-4 197 212 204,5 1022,5 1,02 X 107
10-5 48 56 52 260 2,6 X 107
10-6 6 5 5,5 27,5 2,75 X 107
Ket : TMTC : Too Many To Count Dikalikan 5 sebagai faktor pengali karena pada saat plating, tidak diambil 1
mL tetapi 0,2 mL
25
Dari hasil perhitungan jumlah spora/koloni dari setiap perbandingan bibit
dengan substrat pembawa, diketahui bahwa perbandingan yang masih
mengandung spora sebanyak ≥ 108 spora/gram adalah 1 : 1 , 1 : 3, 1 : 4 dan 1 : 5,
dengan kandungan spora berkisar antara 2,6 X 108 sampai 8,85 X 108
spora/gram. Pada perbandingan 1 : 2, jumlah spora yang dihasilkan lebih kecil
dari 108 spora/gram padahal apabila dibandingkan dengan jumlah spora pada
perbandingan 1: 3 secara logika seharusnya jumlahnya masih bisa diatas 108
spora/gram. Hal ini dapat disebabkan karena ketidakakuratan prosedur sampling
atau ketidakmerataan pencampuran antara bibit dengan substrat pembawa yang
menyebabkan spora tidak terdistribusi secara rata.
Pada perbandingan 1 : 10, kandungan spora T. harzianum yang dihasilkan
jumlahnya dibawah 108 spora/gram, yaitu berkisar antara 1,02 X 107 sampai 2,75
X 107 spora/gram. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbandingan bibit dengan
substrat pembawa sebesar 1 : 10 tidak cocok untuk dijadikan formula standar
biofungisida yang mengandung T. harzianum karena kandungan sporanya yang
tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan yaitu mengandung spora
sebanyak ≥ 108 spora/gram. Jumlah spora yang relatif lebih kecil dari 108
spora/gram pada perbandingan 1 : 10, disebabkan karena pengenceran bibit oleh
substrat pembawa terlalu tinggi sehingga jumlah sporanya menjadi lebih rendah.
Berdasarkan interpretasi terhadap hasil plating total campuran bibit dengan
substrat pembawa, diketahui bahwa perbandingan yang dapat dijadikan formula
standar biofungisida berbahan dasar T. harzianum (bibit) dengan soluble starch
(substrat pembawa) adalah 1 : 1, 1 : 3, 1 : 4, dan 1 : 5. Tetapi apabila ditinjau dari
aspek ekonomis dan efisiensi penggunaan jumlah bibit, maka perbandingan yang
paling optimum untuk dijadikan formula standar adalah perbandingan 1 : 5. Hal
tersebut didasarkan karena kandungan sporanya yang masih berjumlah ≥ 108
spora/gram, dan penggunaan bibit pada perbandingannya yang lebih kecil
dibandingkan dengan perbandingan-perbandingan lainnya.
26
Gambar 1 . Optimasi perbandingan inokulum dengan substrat pembawa
Gambar 2. Perbanyakan dalam media agar
Biakan Trichoderma harzianum
27
Gambar 3. Perbanyakan T. harzianum dalam media cair
Gambar 4. T. harzianum dalam media padat (onggok) yang sudah mengnabati proses pengeringan
Gambar 5. Biopestisida berbahan aktif T. harzianum hasil formulasi
28
e. Rekomendasi aplikasi produk biofungisida di lapangan
Produk biofungisida dalam bentuk serbuk, untuk aplikasi di lapangan
umumnya ditaburkan di tanah, sedangkan untuk perlindungan biji disalutkan pada
biji, sedangkan untuk perlindungan tanaman dimasukan pada lubang tanam saat
penanaman semaian. Biofungisida dengan bahan aktif T. harzianum mempunyai
fungsi ganda, di samping mengendalikan jamur patogen, juga dapat berfungsi
sebagai pemacu tumbuh tanaman dari senyawa aktif yang dikeluarkan.
Biofungisida dengan bahan aktif jamur T. harzianum aplikasinya mempunyai
spektrum tanaman inang yang cukup luas, dari tanaman hortikultura, palawija,
tanaman perkebunan dan kehutanan. Sebagai gambaran pada tabel di bawah ini,
aplikasi biofungisida dengan bahan aktif T. harzianum, jenis patogen dan tanaman
inang.
Mikroorganisme
Jenis Patogen/ Hama
Penyakit
Tanaman Inang
T. harzianum
Rhizoctonia solanii Jamur tular tanah (Phytium, Rhizoctonia, Verticium, Sclerotium) Busuk akar Tanaman budidaya sayuran (tomat, kentang, timun, kol), buah (strawberi, jeruk, anggur), legum, sereal, canola, tanaman hias, bibit tanaman hutan, hortikultura.
Botrytis cinerea, dll Busuk akar Tanaman hias
Armilaria sp. Botryoshaeria Busuk akar Tanaman hias, teh, kopi, cokelat
1. Tanaman tahunan
Yang dimaksud tanaman tahunan adalah tanaman keras, seperti tanaman buah,
tanaman perkebunan, tanaman kehutanan. Serangan jamur patogen biasanya
menyebabkan terjadinya busuk akar atau busuk pangkal batang.
a. Perlindungan/penyembuhan
Pada setiap tanaman yang akan diberi perlakuan, tanah di sekitar pokok batang
dibuka dengan menggali tanah seluas ± 50 cm2. Selanjutnya, bubuk biofungisida
ditaburkan di sekitar pokok batang dan pada bagian akar yang terlihat terdapat
29
jamur patogen. Kemudian lubang bukaan ditutup kembali dengan tanah dan
ditutup plastik mulsa selama 6 – 7 hari. Tujuan untuk memberikan kelembapan
tanah yang sesuai untuk pertumbuhan jamur T. harzianum di dalam tanah. Untuk
perlindungan tanaman, cukup diberikan 50 g, sedangkan yang sudah terserang
penyakit jika belum parah, dapat diberikan 100 gram tiap/tanaman.
b. Penyemaian bibit
Pemberian biofungisida dimaksudkan melindungi bibit semaian dari serangan
jamur patogen. Pada medium tanah dicampurkan biofungisida dalam bentuk
serbuk, biasanya cukup 1 sendok makan untuk 1 Kg media tanam, dicampurkan
sampai merata.
2. Tanaman semusim
Tanaman semusim adalah tanaman budi daya dengan umur pendek seperti tanaman
hortikultura, dan palawija.
a. Perlindungan tanaman
Untuk perlindungan tanaman hortikultura, diberikan bersamaan pada saat
penanaman semaian. Diberikan serbuk biofungisida cukup 1 sendok teh (5 gram)
untuk setiap lubang tanam. Ini cukup diberikan sekali sampai umur panen.
b. Penyemaian bibit
Pada prinsipnya sama yang dilakukan untuk media penyemaian tanaman tahunan,
pada tanaman semusim ini dilakukan pada media tanam tanaman hortikultura
dengan dosis 1 sendok makan untuk 1 Kg media tanaman. Sedangkan untuk
tanaman palawija, cukup dilakukan dengan penyelaputan pada biji. Biji
dibasahkan dengan air atau perekat (tepung tapioka) encer, kemudian ditaburkan
serbuk biofungisida diratakan pada tiap butir biji, baru ditanam.
Biofungisida berbahan aktif T. harzianum dapat dikatakan efektif karena
dapat menurunkan jumlah populasi jamur patogen di dalam tanah hanya dalam
beberapa hari saja. Perlakuan biofungisida mempunyai pengaruh ganda, selain
untuk menyembuhkan tanaman yang terkena penyakit, tanaman yang sudah kritis
menunjukan kondisi ke arah tanaman sehat yang ditandai dengan daun-daun yang
semula berwarna hijau-menguning berubah menjadi hijau segar.
Penggunaan biofungisida ini bila digunakan dengan tepat mempunyai
manfaat ekonomi baik secara langsung atau tidak langsung. Keuntungan tidak
langsung terkait dengan biaya kelestarian lingkungan dan kesehatan (environmental
cost). Sementara biaya langsung terkait dengan efisiensi biaya produksi.
30
Penggunaan biofungisida dapat mereduksi biaya perawatan mencapai 72%
dibandingkan dengan penggunaan fungisida kimia sintetik. Hasil uji lapang terhadap
produk biofungisida yang telah diteliti dan dikembangkan, menunjukkan produk
tersebut cukup efektif untuk pengendali jamur patogen tular tanah pada tanaman
tahunan.
5.1.2. Konsep survey Sudah ditetapkan lokasi survey yaitu Yogyakarta dan Bali. Dengan mengambil
masing-masing 10 petani sampel yang akan disurvey / diwawancara mengenai
pestisida nabati yang dikembangkan petani/ kelompok tani setempat. Untuk kajian
persepsi petani terhadap peralihan pestisida anorganik ke organik, telah dibuat
kuesioner tertutup. Dengan mengambil 30 petani sampel untuk masing-masing
petani. Petani sampel adalah petani organik dan petani biasa (yang masih
menggunakan pestisida anorganik)
5.1.3. Persepsi Petani Terhadap Peralihan Pertanian An Organik Menuju Pertanian
Organik
Pertanian organik adalah sistem budidaya pertanian yang mengandalkan
bahan-bahan nabati tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Beberapa tanaman
Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah padi,
hortikultura sayuran dan buah (contohnya: brokoli, kubis merah, jeruk, dll.), tanaman
perkebunan (kopi, teh, kelapa, dll.), dan rempah-rempah. Pengolahan pertanian
organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan.
Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan
pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah,
tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua
komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan. Pertanian organik
juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan. Pertanian organik
juga harus memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk
hidup lain di lingkungan. Untuk mencapai pertanian organik yang baik perlu
dilakukan pengelolaan yang berhati-hati dan bertanggungjawab melindungi
kesehatan dan kesejahteraan manusia baik di masa kini maupun di masa depan
(wikipedia.org) Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk
pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan
konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah
31
melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk
pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan
nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes).
Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik
dunia meningkat pesat (Deptan, 2002).
Klasifikasi sistem pertanian organik :
1. Bio dinamik; murni mengutamakan konsep alam (contoh: daerah Jati Luwih
dengan wetland concept)
2. Organik prima 1; mengutamakan konsep air dan tanah serta lingkungan
yang bersih tidak tercemar sistem pertanian terpadu.
3. Organik prima 2; hanya mengutamakan konsep tanah yang tidak tercemar
serta menggunakan sistem pertanian organik yang tidak menggunakan
pestisida serta pupuk kimia. Namun faktor lingkungan dan air menjadi
terabaikan.
4. Organik prima 3; hanya mengutamakan sistem pertanian organik. Faktor
residu pencemaran tanah dan air terabaikan.
Penggunaan pestisida POPs di lahan pertanian yang dilakukan terus
menerus terutama pada waktu revolusi hijau, sewaktu petani mendapatkan subsidi
yang cukup besar untuk aplikasi pestisida, menyebabkan terjadinya pengaruh buruk
baik terhadap manusia maupun terhadap lingkungan biotik dan abiotik. Pengaruh
yang paling buruk adalah pada manusia karena terjadi bioakumulasi sehingga akan
menimbulkan dampak diantaranya karsinogenik, mutagenik dan teratogenik.
Pemerintah sudah berusaha untuk memperkenalkan pertanian berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan dengan mengadakan sekolah lapangan bagi kelompok tani
andalan yang diharapkan mampu melakukan transfer of knowledge ke kelompok tani
yang lain. Namun dari survey yang pernah dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada
menunjukkan tingginya pemahaman terhadap pertanian berkelanjutan belum
berpengaruh pada perilaku petani bawang merah di Brebes dan Bantul. Petani masih
menganggap bahwa pestisida adalah penjamin / asuransi bagi tanaman mereka,
sehingga harus diaplikasikan pada lahan mereka, sehingga peralihan tersebut
memerlukan waktu yang panjang, koordinasi dari berbagai pihak yang kontinu dan
peran pemerintah sebagai pembuat regulasi di bidang pertanian. Salah satu
implementasi pertanian berkelanjutan yang berwawan lingkungan adalah pertanian
organik. Pertanian organik adalah pertanian tanpa masukan berbahan aktif kimiawi
32
atau secara bertahap melakukan pengurangan terhadap penggunaan bahan aktif
tersebut.
Peluang pertanian organik di Indonesia
Potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya
terbatas pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi
antara lain: 1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk
pertanian organik, 2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus
memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian
pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut. Beberapa tahun
terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem pertanian Indonesia secara
sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang memproduksi
bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah
lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik modern belum banyak
dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada
meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya
pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia,
molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang.
Tujuan dari observasi ini adalah mengetahui persepsi petani terhadap
peralihan pertanian an organik menuju pertanian organik, informasi ini diperlukan
untuk menyusun strategi dalam merekayasa dinamika sosial petani agar dapat
mudah menerima adopsi inovasi dengan orientasi pembangunan pertanian yang
berwawasan lingkungan.
Hasil observasi persepsi petani
Untuk mengetahui respon petani terhadap pertanian organik dan
pemanfaatan tanaman sebagai pestisida, dilakukan wawancara terhadap 30 orang
petani sampel yang terbagi dalam 16 orang petani konvensional dan 15 orang petani
organik di wilayah Godean,Yogyakarta dan Bedugul, Bali. Penelitian dilakukan dalam
satu wilayah untuk mengetahui apakah transfer of knowledge antar kelompok tani
dalam satu wilayah berjalan dengan baik. Petani sampel berusia antara usia 29 – 76
tahun, dengan berbagai jenjang pendidikan (Tabel. 1). Petani konvensional
cenderung berusia lebih lanjut (40 – lebih dari 70 tahun) dibanding petani organik
(20 – 60 tahun), Jenjang pendidikan rata-rata lulusan SMU baik petani konvensional
dan organik.
33
Tabel 1. Profil petani sampel tahun 2010
Kriteria Petani konvensional
(%)
Petani organik
(%)
Usia
a. 20 -30 0 6,7
b. 31 – 40 0 40
c. 41 – 50 6,25 13,3
d. 51 - 60 31,25 40
e. 61 – 70 43,75 0
f. > 70 18,75 0
Pendidikan
a. SD 37,5 6,7
b. SMP 12,5 13,3
c. SMU 37,5 73,3
d. > SMU 12,5 6,7
Keterangan : jumlah petani konvensional 16 orang dan jumlah petani organik 15 orang
a. Persepsi petani konvensional
Petani konvensional masih menggunakan pestisida kimiawi sebagai bahan
pengendali organisme pengganggu tanaman. Mereka menggunakan secara rutin
minimal satu kali dalam satu musim. Pemahaman petani terhadap pertanian
organik berkisar pada :
1. penggunaan pupuk organik untuk menggantikan pupuk kimiawi.
2. pertanian yang tidak merusak struktur tanah, unsur hara dan kualitas
produktivitas lebih baik
Mereka baru tahap memahami pertanian organik, namun belum memiliki minat
melakukannya. Ketidaktertarikan tersebut salah satunya disebabkan harga dan
kuantitas produktivitas dianggap tidak beda nyata antara pertanian organik dan
konvensional. Namun ada juga beberapa petani yang masih apatis terhadap
pertanian organik karena dianggap merepotkan dalam aplikasinya, sulit dalam
pemasaran hasilnya dan hasil dengan menggunakan input kimiawi lebih baik
dibanding dengan bahan organik. Mereka biasanya menjual seluruh hasilnya di
lahan, sehingga rasa memiliki tanaman memang menjadi cukup rendah.
34
Kebersamaan kelompok tani konvensional pun kurang terasa, karena mereka
tidak melakukan tanam serentak melainkan saling tunggu siapa yang menanam
lebih awal. Menurut pendapat mereka, siapa yang menanam awal, petani itu
tidak akan panen karena serangan hama dan penyakit.
b. Persepsi petani organik
Sebagian besar petani organik memahami bahwa pertanian organik dapat
memperbaiki struktur tanah dan ekologi. Keprihatinan mereka terhadap kondisi
tanah yang sulit diolah salah satu alasan mereka menjadi petani organik. Prinsip
sederhana yang mereka anut adalah bahwa alam sudah menyediakan bahan-
bahan di sekitar untuk memelihara tanaman pangan dan tidak boleh membunuh
sesama makhluk hidup. Selain tidak menggunakan pupuk kimia, pestisida kimia,
mereka juga melakukan rotasi varietas lokal untuk memutus siklus organisme
penganggu tanaman. Pertanian organik sudah menjadi bagian hidup mereka,
sehingga walaupun hasilnya tidak terlalu tinggi dibanding konvensional, mereka
tetap menerapkan prinsip-prinsip pertanian organik. Pengetahuan tersebut
mereka dapat dari suatu lembaga non pemerintah yang memberikan pendidikan
dan latihan tentang pertanian organik enam tahun yang lalu. Kesadaran akan
pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan membuat kelembagaan
kelompok tani makin kuat. Komunikasi inter dan antar kelompok tani mereka
lakukan. Tingkat kepercayaan petani organik terhadap pemerintah khususnya
pejabat dan petugas penyuluh sangat rendah, karena mereka merasa tidak
diperhatikan, namun hal itu tidak mengurangi semangat kebersamaan mereka,
dibuktikan dengan perolehan penghargaan Kalpataru tingkat Kabupaten dan
Provinsi. Petani organik di Yogyakarta dan Bali tidak mengnabati kesulitan dalam
memasarkan produknya karena mereka sudah memiliki jaringan pasar tersendiri.
Bahkan mereka bersedia menampung hasil produksi dari petani organik di luar
kelompok mereka.
Perbedaan tingkat pemahaman dan implementasi pertanian organik cukup
signifikan antara petani konvensional dan petani organik. Sehingga perlu ada
rekayasa dinamika sosial antar kelompok tani dan lembaga yang terkait untuk
mendukung pertanian organik yang harus dilakukan terus menerus, terpantau dan
dilakukan evaluasi.
35
Dilema yang dihadapi petani organik untuk memproduksi produk organik yang ber
label yaitu:
1. Persaingan antara produk bersertifikat melawan produk non labeling, dimana
produk non labeling berani bersaing secara harga dibandingkan produk
bersertifikat yang sudah terstandar, sehingga terjadi persaingan yang tidak
sehat.
2. Belum ada perangkat hukum yang melindungi produk organik yang berlabel.
3. Belum ada pelaksanaan sertifikasi yang berbasis dan berstandar
internasional, sementara pasar penyerap produk organik seperti kasus di Bali
adalah orang asing.
Gambar 6. Lokasi Pertanian Organik Bedugul Bali (Golden Leaf Farm)
Gambar 7. Sistem barier tanaman pengusir hama Organik Bedugul Bali (Golden Leaf Farm)
Gambar 8. green house mulsa untuk sayuran salad umur pendek
36
4. Proses sertifikasi yang cukup rumit dari Badan Sertifikasi Independen yang
terakreditasi.
5.2. Pengembangan Teknologi Penanganan Cemaran POPs
5.2.1. Toksikologi Pestisida POPs
Pestisida adalah zat kimia yang digunakan untuk membasmi hama. Karena sifat
toksiknya maka hama dapat dibinasakan. Idealnya semakin toksik suatu pestisida
semakin sedikit pula jumlah yang diperlukan untuk membinasakan sejumlah yang
sama hama. Namun semakin toksik suatu pestisida semakin berbahaya pula bagi
biota bukan sasaran. Dalam Stockholm Convention terdapat 9 buah jenis pestisida
yang telah disepakati untuk tidak boleh digunakan. Berikut dipaparkan pestisida yang
dilarang tersebut beserta informasi toksikologi terkait dengannya.
Aldrin. Pestisida ini digunakan sebagai pengendali insekta seperti rayap dan
belalang. Dalam pertanian biasanya tanaman jagung dan kentang disemprot dengan
zat kimia tersebut agar tidak diserang hama. Selain itu zat kimia ini juga banyak
digunakan dalam rumah tangga untuk membunuh rayap yang merusak bangunan
kayu rumah. Aldrin merupakan pestisida yang mudah dirombak menjadi dieldrin baik
dalam tanaman maupun hewan sehingga biasanya zat kimia tersebut ditemukan
pada aras sesepora (trace level) di dalam makanan maupun tubuh hewan. Misalnya,
studi di Mesir memperlihatkan bahwa rataan aras aldrin dalam ikan adalah 8,8 µg/kg.
Di dalam tanah aldrin terjerap kuat oleh partikel tanah sehingga tidak mudah melindi
ke dalam air tanah. Mekanisme utama menghilangnya aldrin dari dalam tanah
adalah melalui proses penguapan. Karena sifatnya yang persistent serta hidrofobik
maka aldrin dapat mengnabati pemekatan biologik (biological concentration atau
bioconcentration) terutama dalam bentuk produk konversinya.
Kajian toksikologi memperlihatkan bahwa aldrin dapat menimbulkan dampak
keracunan terhadap manusia. Dosis mematikan aldrin diperkirakan terjadi pada aras
83 mg/kg bobot orang dewasa. Akibat keracunan aldrin akan menimbulkan tanda-
tanda seperti sakit kepala, pusing, mual, muntah yang diikuti dengan kejang otot dan
sawan. Pemajanan terhadap aldrin beresiko menimbulkan kanker hati dan empedu.
Nilai Lethal Doze 50% (LD50) aldrin merentang dari 33 mg/kg bobot babi
guinea sampai 320 mg/kg bobot harmster. Gangguan terhadap reproduksi teramati
dalam percobaan menggunakan tikus bila betina yang sedang mengandung diberi
aldrin secara subcutane dengan dosis 1,0 mg/kg. Meski belum ada bukti sifat
teratogenik dari aldrin keturunan tikus yang dihasilkan memperlihatkan terjadinya
37
penurunan pada median waktu sangkil (efficient time) tumbuhnya gigi pengiris dan
peningkatan median waktu mangkus (effective time) pengerutan testis.
Terhadap hewan air aldrin menunjukkan dampak racun pada aras yang
beragam. Untuk golongan invertebrata insekta air merupakan kelompok yang paling
rentan. Aras Lethal Concentration 50% (LC50) untuk pemajanan 96 jam berada
dalam kisaran 1 – 200 µg/L bagi insekta dan 2,2 – 53 µg/L bagi ikan.
Toksisitas akut dari aldrin terhadap spesies avian bervariasi antara 6,6 mg/kg
bagi puyuh bobwhite dan 520 mg/kg bagi bebek mallard. Kasus kematian burung air
dan burung pantai di Texas Gulf Coast diduga akibat burung tersebut memakan
beras yang disemprot dengan aldrin dan juga karena memakan organisme yang
telah tercemar oleh pestisida tersebut. Sisa aldrin ditemukan pada bangkai burung,
telur, pengais, pemangsa, ikan, katak, invertebrata dan juga dalam tanah.
Rataan asupan harian aldrin di India diperkirakan 19 µg/orang sedangkan di
Vietnam 0,55 µg/orang. Pemaparan utama diduga berasal dari daging sedangkan
pemaparan lain berasal dari dairy products seperti susu dan mentega.
Klordan. Senyawa ini merupakan insektisida kontak dengan spektrum yang luas dan
banyak digunakan di pertanian. Pestisida ini juga digunakan sebagai bahan anti
rayap. Chlordane tidak larut dalam air namun larut dalam pelarut organik. Karena
sifatnya yang semi-volatile maka chlordane mudah melesap ke udara. Menimbang
koefisien partisinya yang tinggi (log KOW = 6,00) maka chlordane mudah masuk ke
dalam lipida serta sedimen. Dengan demikian dapat diduga bahwa pestisida
tersebut mudah mengnabati proses pemekatan biologik dalam organisme.
Dalam sebuah penyelidikan laboratorium dengan menggunakan hewan
diperoleh angka toksisitas oral akut 83 mg/kg untuk cis-chlordane murni yang
diberikan kepada tikus serta 1720 mg/kg untuk hamster. Pendedahan subkronik (90
hari) melalui pernafasan kepada tikus pada aras 10 mg/m3 mengakibatkan
meningkatnya jumlah cytochrome P-450 dan protein mikrosomal. Percobaan lain
dengan menggunakan mencit selama 6 generasi menunjukkan bahwa chlordane
dengan aras 100 mg/kg dalam diet mencit yang diberikan kepada generasi pertama
dan kedua ternyata menyebabkan gangguan perkembangan dan gagal keturunan
mulai generasi ketiga. Pada aras 50 mg/kg gangguan perkembangan teramati untuk
generasi ketiga dan keempat. Sedangkan pada aras 25 mg/kg tidak terdapat
pengaruh yang berarti secara statistika setelah 6 generasi. Memperhatikan hasil
studi tersebut International Agency for Research on Cancer (IARC) menetapkan
38
bahwa chlordane merupakan bahan yang dapat bersifat karsinogenik terhadap
manusia.
Toksisitas akut chlordane terhadap organisme air cukup beragam dengan
nilai LC50 96 jam untuk udang pink dapat serendah 0,4 µg/L. Nilai LD50 oral akut untuk
bebek mallard usia 4 – 5 bulan adalah 1200 mg/kg bobot badan. Sedangkan LC50
puyuh bobwhite yang diberi pakan mengandung chlordane selama 10 minggu adalah
10 mg/kg pakan.
Waktu paruh chlordane di dalam tanah adalah sekitar satu tahun. Sifatnya
yang persistent serta koefisien partisinya yang tinggi menunjukkan bahwa pestisida
tersebut mudah mengnabati pemekatan biologik dalam organisme. Hasil studi dalam
penetapan Faktor Pemekatan Biologik yang pernah dilaporkan untuk fathead minnow
adalah 37.800 sedangkan untuk sheepshead minnow adalah 16.000. Data yang
diperoleh menyarankan bahwa chlordane mengnabati proses pemekatan biologik
dengan cara mengambil langsung chlordane dari dalam air daripada proses
penimbunan biologik (biological accumulation atau bioaccumulation) dengan cara
mengambil air atau makanan dalam air yang mengandung chlordane. Karena sifat
kimianya yang tidak mudah larut dalam air, mantap, serta semi volatile menyebabkan
chlordane mudah berpindah dalam jarak yang jauh.
DDT. Pestisida ini awalnya secara luas digunakan pada masa perang dunia kedua
sebagai bahan pelindung bagi pasukan dan penduduk dari serangan penyakit
malaria, tifus, serta vector borne disease lainnya. Setelah perang dunia kedua DDT
banyak dipakai untuk kepentingan pertanian sebagai pengendali hama penyakit.
Dampak negatif terhadap lingkungan mulai mencuat sekitar tahun 1960an terutama
dengan diterbitkannya buku karya Rachel Carson berjudul Silent Spring yang isinya
menyoroti sisi buruk akibat penggunaan pestisida DDT. Di perkebunan DDT juga
banyak dipakai untuk perlindungan kapas. Menimbang dampak buruk DDT kepada
lingkungan maka sejak tahun 1972 negara maju seperti USA mulai melarang
pengggunaannya meski di banyak negara berkembang pestisida tersebut masih
digunakan sebagai pengendali malaria vector disease.
Dalam air DDT tidak mudah larut tetapi segera larut dalam bahan organik.
Sifatnya yang semi volatile menyebabkan DDT mudah menguap. Pestisida ini juga
bersifat hidrophobic sehingga menyukai media yang serupa dengan lipida. Oleh
sebab itu partisinya akan cenderung masuk ke dalam media kaya akan bahan
organik seperti jaringan lemak atau sedimen. Banyak studi menunjukkan bahwa
DDT mengnabati pemekatan biologik dan pelipatan biologik (biological magnification
39
atau biomagnification). Hasil perombakan DDT yakni DDD (1,1-dichloro-2,2-bis(4-
chlorophenyl)ethane) dan DDE (1,1-dichloro-2,2bis(4-chlorophenyl)ethylene)
ditemukan di lingkungan dan lebih bersifat persistent daripada DDT.
Sebuah kajian mengenai DDT memperlihatkan bahwa jumlah kematian akibat
cerebrovascular disease bagi pekerja dalam pabrik pembuatan DDT meningkat
selaras dengan lama pemajanan terhadap DDT. Terdapat bukti bahwa DDT
menurunkan sistem kekebalan tubuh dikarenakan tekanan terhadap humoral
immune responses. Pemberian perinatal DDT secara mingguan menghasilkan
perubahan mirip estrogen pada perkembangan reproduktif serta diduga berkaitan
dengan pengaruh gabungan DDT dan turunannya yang berisko terhadap kejadian
kanker payudara.
Nilai oral akut LD50 merentang dari 100 mg/kg bobot badan untuk tikus hingga
1.770 mg/kg untuk kelinci. Dalam suatu studi menggunakan mencit selama enam
generasi pada aras DDT 100 mg/kg menunjukkan bahwa terjadi penurunan produksi
air susu dan daya tahan hidup. Meski demikian petunjuk adanya teratogenik tidak
tampak. Dalam studi menggunakan ikan nilai LC50 96 jam berada dalam kisaran 0,4
µg/L untuk udang dan 42 µg/L untuk rainbow trout. Untuk kelas burung nilai oral akut
LD50 berada dalam rentang 595 mg/kg bobot badan puyuh hingga 1.334 mg/kg
dalam burung pegar.
Turunan DDT yang berbentuk DDE telah diketahui menyebabkan penipisan
kulit telur burung sehingga memengaruhi keberhasilan reproduksinya. Dalam tatanan
jejaring makanan burung mangsa merupakan kelompok yang paling rentan terhadap
DDE. Adanya sisa DDE dalam telur berhubungan erat dengan jumlah DDT yang
dikonsumsi dan uji secara statistik menunjukkan hubungan yang sangat berarti
dengan kejadian menipisnya cangkang telur.
Studi di wilayah pantai California selatan memperlihatkan bahwa DDT dapat
mengakibatkan terjadinya imposex pada burung camar laut Western. Hal ini
meningkatkan proses feminization serta perubahan nisbah-sex populasi burung
camar laut di daerah tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada burung camar laut
Herring yang terdapat di Great Lakes.
Senyawa DDT beserta turunannya sangat persistent di lingkungan. Waktu
paruh di tanah dapat mencapai 10 sampai 15 tahun. Sifatnya yang persistent serta
tetapan partisinya yang besar (log KOW = 4.89 – 6.91) menyebabkan DDT maupun
turunannya mudah menjalani pemekatan biologik dalam mahluk hidup. Faktor
Pemekatan Biologik sebesar 154.100 dan 51.335 telah dilaporkan untuk fathead
40
minnows dan rainbow trout. Berdasarkan hasil kajian proses yang terjadi dalam
penimbunan meningkat atas DDT pada aras trophic yang lebih tinggi adalah akibat
kecenderungan organisme untuk menimbun DDT secara langsung dari media air
daripada melalui proses pelipatan biologik.
Memperhatikan sifat kimia DDT, yaitu kelarutan rendah dalam air,
kemantapan yang tinggi, serta semi volatile maka senyawa tersebut diduga akan
mudah menyebar dalam jangkau yang jauh. Demikian pula dengan turunan
senyawa tersebut. Pada saat ini masalah DDT merupakan persolan lingkungan
global. Kajian di Ontario Kanada menunjukkan bahwa turunannya yang berupa DDE
menduduki peringkat kedua paling banyak ditemukan dalam lemak hewan dan telur
dengan aras tertinggi 0,410 mg/kg. Kajian pada daging spanyol serta produk daging
lainnya memperlihatkan bahwa setidaknya satu jenis turunan DDT ditemukan pada
aras 25 ppb. Demikian pula studi pada ikan dari Mesir menunjukkan rataan kadar
p,p'-DDE adalah 76,25 ppb. Senyawa DDT merupakan cemaran yang paling sering
dijumpai pada lemak daging dan ikan di Vietnam dengan aras 3,2 dan 2,0 µg/g.
Perkiraan asupan harian DDT beserta turunannya di Vietnam adalah 19
µg/orang/hari. Sedangkan di India aras 1,0 dan 1,1 µg/g lemak dijumpai pada daging
dan ikan dengan perkiraan asupan harian 48 µg/orang/hari. Kasus adanya cemaran
air susu ibu (ASI) oleh DDT dilaporkan oleh sejumlah negara. Di Papua New Guinea
studi yang dilakukan pada ibu menyusui memperliohatkan bahwa seluruh terok
(sample) air susu ibu yang digunakan dalam studi tercemar oleh DDT. Studi pada
wanita Mesir yang sedang menyusui menunjukkan rataan aras DDT dalam ASI
adalah 57,59 ppb serta perkiraan total asupan harian DDT pada bayi adalah 6,90
µg/kg bobot badan/hari. Kasus yang sama juga terjadi di Indonesia antara lain di
Jawa Barat, Bali, serta Tangerang. Studi di Jawa Barat menemukan cemaran DDT
dalam ASI pada aras 11,1 ppb sedangkan di Tangerang pada 0,08 ppm.
Dieldrin. Di bidang pertanian dieldrin sering kali digunakan sebagai bahan kimia
pengendali insekta tanah serta beberapa insekta pembawa penyakit. Senyawa ini
juga digunakan dalam pengendalian rayap, pembor kayu, serta hama tekstil. Dieldrin
terikat kuat dengan partikel tanah sehingga tidah mudah melindi ke dalam air tanah.
Penguapan merupakan mekanisme penting hilangnya dieldrin dari dalam tanah.
Karena dieldrin merupakan pestisida yang persistent dan bersifat hidrophobic maka
tidak heran senyawa tersebut dapat mengnabati pemekatan biologik.
Dalam sebuah studi laboratorium nilai oral akut LD50 dieldrin adalah 37 mg/kg
bobot badan untuk tikus dan 330 mg/kg bobot badan untuk harmster. Sebagaimana
41
umumnya senyawa organik tersulih halogen sasaran organ dari dieldrin adalah hati
yang dibuktikan dengan meningkatnya nisbah bobot hati/bobot badan, hypertrophy
dan perubahan histopathological. Nilai no observed adverse effect level (NOAEL)
pada tikus 0,5 mg/kg asupan yang setara dengan 0,025 mg/kg bobot badan/hari.
Meski petunjuk adanya sifat teratogenik masih belum jelas aras diledrin 6 mg/kg
dapat menyebabkan fetotoxicity pada harmster dan mencit.
Untuk golongan invertebrata akuatik yang paling peka terhadap keracunan
akut dieldrin adalah kelompok insekta dengan kisaran aras 0,2 – 40 µg/L. Untuk
katak keracunan akut pada pemajanan 96 jam menghasilkan LC50 8,7 µg/L untuk
kecebong Rana catesbeiana dan 71,3 µg/L untuk Rana pipien. Kelainan tulang
belakang pada uji embryo-larval teramati pada aras dieldrin 1.3 µg/L untuk Xenopus
laevis setelah pemajanan selama 10 hari.
Toksisitas akut dieldrin pada spesies avian terjadi pada LD50 26,6 mg/kg
untuk burung dara dan 381 mg/kg untuk bebek mallard. Bebek mallard yang
terdedah dieldrin selama 24 hari melalui pakan menujukkan angka NOAEL 0,3 µg
dieldrin/g diet. Sedangkan untuk voles (sejenis dengan hewan pengerat) LD50 akut
untuk dieldrin berada dalam rentang 100 – 200 mg/kg bobot badan. Studi perlakukan
selama 3 tahun terhadap rusa putih yang diberi pakan mengandung dieldrin
memperlihatkan bahwa turunan yang dihasilkan memiliki ukuran lebih kecil daripada
kontrol, kematian postpartum meningkat, serta penurunan perolehan bobot badan.
Blesbuck (Damaliscuc dorcas phillipsi) yang diberi pakan dengan kandungan dieldrin
lebih dari 15 mg/kg selama 90 hari menunjukkan angka kematian yang berarti dalam
waktu sekitar 24 hari.
Waktu paruh dieldrin dalam tanah adalah sekitar 5 tahun. Sifat persistent ini,
ditambah dengan kelarutannya dalam lipida yang tinggi memberi petunjuk bahwa
pestisida tersebut mudah mengnabati pemekatan biologik serta pelipatan biologik
dalam organisme. Faktor Pemekatan Biologik dieldrin untuk guppi dan sculpin
masing-masing adalah 12.500 dan 13.300. Tampaknya untuk akuatik organisme
dieldrin lebih mudah mengnabati pemekatan biologik daripada penimbunan biologik.
Karena sifatnya yang tidak mudah larut dalam air, kemantapan tinggi, dan semi
volatile menyebabkan dieldrin mudah berpindah dalam jarak yang panjang.
Runutan dieldrin telah terukur di udara, air, tanah, ikan, burung, hewan
menyusui, manusia, bahkan air susu ibu. Studi yang dilakukan di Mesir
memperkirakan bahwa bayi yang diberi ASI mendapat paparan dieldrin pada aras
sekitar 1,22 µg/kg bobot badan/hari. Di Amerika Serikat dieldrin merupakan jenis
42
pestisida dengan urutan kedua yang paling banyak ditemukan dalam produk susu
perah dengan aras sekitar 0,003 ppm. Di Kanada lemak hewan domestik serta telur
juga mengandung dieldrin hingga aras 0,05 mg/kg. Dieldrin juga terukur dalam
daging spanish dan kisaran 20 hingga 40 ppb ditemukan dalam lemak babi dan
saus. Asupan harian dieldrin di India diperkirakan 19 µg/orang, melebihi anjuran
maksimum yang ditetapkan oleh FAO/WHO yakni 6,0 µg/60 kg bobot badan. Produk
berbahan dasar susu seperti mentega serta produk ternak diperkirakan segara
sumber paparan utama. Di Vietnam paparan terhadap dieldrin melalui makanan
diperkiran terjadi pada aras 0,55 µg/orang.
5.2.2. Pestisida POPs dan dampak penggunaannya
Bergantung kepada jenis hama yang akan dibasmi maka terdapat beragam
jenis pestisida, misalnya akarisida untuk membasmi tungau, insektisida untuk
serangga seperti wereng dan belalang, nematisida untuk membasmi nematoda atau
rodentisida untuk hewan pengerat seperti tikus dan lain-lain. Pestisida dikatakan
handal apabila efikasinya tinggi. Namun efikasi yang tinggi biasanya menyaratkan
bahan aktif pestisida dapat bertahan lama di lingkungan atau dengan kata lain harus
memiliki sifat persistent. Oleh sebab itu dari sudut pandang fungsi pestisida maka
efikasi tinggi merupakan hal yang diharapkan namun dari sudut pandang lingkungan
efikasi tinggi berpotensi menimbulkan dampak negatif.
5.2.3. Teknologi penanganan cemaran POPs
Teknik pemulihan kualitas lahan tercemar oleh POPs dapat dipilah menjadi
dua kelompok utama yaitu secara biologik dan kimia fisik. Secara biologik berarti
mengandalkan kinerja biota tanaman atau jasad renik atau paduan keduanya untuk
memulihkan lahan tercemar POPs. Sedangkan secara kimis fisik artinya
penghilangan cemaran POPs dari media mengandalkan proses fisik dan kimia.
Pemilihan teknologi mana yang paling sesuai untuk menyelesaikan persoalan lahan
tercemar POPs biasanya bersifat selektif dan spesifik bergantung kepada aras
cemaran POPs, keadaan bentang lahan, serta waktu dan anggaran yang tersedia.
43
Teknologi penanganan POPs secara biologik
Penanganan cemaran POPs secara biologik dapat dikelompokkan menjadi dua
golongan utama. Jika proses biologik menggunakan jasad renik sebagai pelaku
utama pemulihan kualitas lingkungan tercemar POPs maka disebut sebagai teknik
bioremediasi. Sedangkan jika pelaku utama pemulihan kualitas lingkungan dilakukan
oleh tanaman maka disebut sebagai fitoremediasi. Terdapat bermacam-macam
teknik bioremediasi seperti landfarming, biopile, composting. Untuk fitoremediasi ada
dua golongan utama yaitu phytoextraction dan phytostabilization.
Teknologi penanganan POPs secara kimia fisik
Supercritical water oxidation
Supercritical water adalah suatu keadaan di mana air berada di atas titik kritiknya
sebagaimana diperlihatkan pada diagram di bawah ini. Pada keadaan tersebut air
menjadi sebuah zalir (fluid) dengan sifat dan keadaan yang khas dengan bobot jenis
di antara uap air dan cairan pada keadaan baku namun memperlihatkan kinetika
proses pembauran yang cepat sebagaimana sifat-sifat gas pada umumnya. Air
dalam keadaan zalir seperti itu dapat dimanfaatkan untuk merombak dan
mengoksidasi bahan berbahaya beracun (B3) seperti polychlorinated biphenyls
(PCBs), sehingga berkembang sebuah teknologi yang disebut sebagai supercritical
water oxidation (SCWO).
Gambar diagram titik kritik air
44
Pada keadaan superkritik tingkat pengkutuban (polarity) air mengnabati
pembalikan sehingga bahan organik tankutub (nonpolar) seperti hidrokarbon tersulih
halogen menjadi lebih mudah larut dan keadaaan tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai teknik untuk pemulihan media tercemar POPs. Penerapan SCWO
digolongkan sebagai teknologi hijau atau teknologi bersih.
Aras tekanan serta suhu yang diperlukan dalam operasi SCWO adalah yang
pada umumnya digunakan dalam praktek di industri seperti kilang minyak mentah
atau periptaan (synthesis) bahan kimia organik. Dalam sistem pengolahan air
dengan teknik SCWO konvensional seperti yang diperlihatkan pada gambar di
bawah, limbah organik cair ditambahkan zat pengoksidasi pada suatu suhu dan
tekanan tertentu (P > 221 bar, T > 550 0C) dalam suatu reaktor untuk waktu 10
hingga 15 detik. Pada berbagai limbah yang diujikan, kesangkilan penyisihan dapat
mencapai 99,99%.
Gambar bagan reaktor SWCO konvensional
Adapun beberapa jenis limbah dan hasil reaksinya dalam reaktor SWCO adalah
sebagai berikut
Preheater Cooler SCWO Reactor
Pump Pump
Waste/Water
Mixture
Oxidixer Liquid
Effluent
Srubber
Vapour Outlet
P = 345 bar
T = 25 oC P = 345 bar
T = 575 oC
P = 345 bar
T = 25 oC
45
LIMBAH PEREAKSI SCWO PRODUK SCWO
Selulosa C6H10O5 + 6 O2 � 6 CO2 + 5 H2O
Metana CH4 + 2 O2 � CO2 + 2 H2O
Benzena C6H6 + 7,5 O2 � 6 CO2 + 3 H2O
Dioksin (PCDD) Cl2-C6H2-O2-Cl2 + 11 O2 � 12 CO2 + 4 HCl
Kloroform CHCl3 + 0,5 O2 + H2O � CO2 + 3 HCl
TNT CH3-C6H2-(NO2)3 + 5,25 O2 � 7 CO2 + 2,5 H2O + 1,5 N2 Besi klorida FeCl2 + 0,25 O2 + H2O � 0,5 Fe2O3 + 2 HCl
Nerve Agent HD Cl-C2H4–S–C2H4-Cl + 7 O2 � 4 CO2 + 2 H2O + 2 HCl + H2SO4
Reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama proses SCWO mengikuti hukum
kekekalan massa, muatan, dan energi. Pada keadaan superkritik reaksi berlansung
mengikuti mekanisme radikal bebas fasa gas yang melibatkan pembentukan species
antara dan sejumlah reaksi rantai terkait sampai seluruh reaksi berlangsung lengkap.
Terdapat sejumlah tipe reaktor SCWO. Salah satunya adalah tipe Kurita yang
dikembangkan oleh perusahaan gabungan Jepang Kurita/Komatsu yang secara
bagan digambarkan di bawah ini. Reaktor tesebut dioperasikan pada suhu di atas
374 0C dan tekanan di atas 22 MPa. Dalam keadaan reaksi tersebut senyawa-
senyawa organik tersulih klor secara cepat teroksidasi dan terurai. Karbon dalam
senyawa organik akan diubah menjadi karbon dioksida, hidrogen menjadi air dan
atom klor menjadi ion klor.
Gambar bagan reaktor tipe Kurita
46
Secara ringkas reaktor Kurita merupakan tabung vertikal dengan sistem
injection nozzle di bagian atas dan outlet di bagian bawah. Dinding tabung bagian
dalam dilapisi dengan bahan anti korosi. Sistem pengolahan dimulai dengan
memasukkan limbah, air dan udara melalui nozzle dalam keadaan superkritik,
ditambah pemicu bahan bakar, air dan udara. Hasil uji kinerja reaktor Kurita
diperlihatkan pada tabel di bawah ini.
Supercritical carbon dioxide etraction
Karbon dioksida superkritik, seperti yang digambarkan di bawah, merujuk kepada
suatu keadaan di mana zalir yang terbentuk memiliki sifat yang tidak biasa. Karbon
dioksida berbentuk gas pada suhu dan tekanan baku (STP) dan menjadi padatan
yang disebut es kering jika dibekukan. Bila suhu dan tekanan dinaikkan di atas STP
atau di atas titik kritik, maka karbon dioksida akan memiliki sifat antara gas dan cair.
Lebih khas lagi, gas ini akan menjadi suatu zalir superkritik di atas suhu kritik
(31,10C) dan tekanan kritik (72,9 atm) sehingga akan memenuhi wadahnya
sebagaimana layaknya gas tetapi dengan kerapatan seperti dalam keadaan cair.
Karbon dioksida superkritik saat ini banyak dimanfaatkan sebagai pelarut dalam
47
industri karena daya pelarutnya yang sangkil serta rendahnya sifat toksik sehingga
bila dipakai sebagai pelarut menjadi ramah bagi lingkungan. Suhu proses yang
cukup rendah serta kemantapan CO2 memungkinkan teknik ini digunakan dalam
penyarian (extraction) dengan tingkat kerusakan dan perubahan sifat yang kecil.
Diagram fasa T-P Karbondioksida
Berikut ini adalah Gambar diagram reaktor CO2 superkritik.
REKOMENDASI TEKNOLOGI PENANGANAN CEMARAN POPS
Dalam menetapkan pilihan teknologi penanganan cemaran POPs yang sesuai
dengan keadaan lapangan di mana masalah pencemaran POPs terjadi dapat
48
digunakan sejumlah kriteria yang dapat dijadikan sebagai panduan. Kriteria tersebut
mencakup aspek biaya, waktu proses yang diperlukan untuk menyelasaikan
masalah, serta tingkat kompleksitas dan kemudahan teknologi yang digunakan.
Aspek biaya merupakan kebutuhan biaya dalam penerapan teknologi untuk
mengolah beban cemaran POPs dengan bobot 1 ton. Biaya ini dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu:
• Murah jika biaya tidak lebih dari USD 150
• Sedang jika biaya berada dalam rentang USD 150 – 300
• Mahal jika biaya lebih dari USD 300
Sedangkan dari aspek lamanya waktu proses yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
masalah cemaran 1 ton POPs juga dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
• Cepat (C) jika prosesnya tidak lebih dari 6 bulan
• Tengahan (T) jika prosesnya berada dalam kisaran 6 – 12 bulan
• Lambat (L) jika prosesnya lebih dari 12 bulan
Dengan menggunakan pengelompokkan seperti di atas maka kriteria untuk masing-
masing kelompok teknologi EPT maupun EIT diperlihatkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel kriteria pemilihan teknologi penanganan cemaran POPs golongan EPT
Teknologi proses Biaya (USD) Waktu proses Reliability dan Maintenance
Biologik
o Landfarming Murah T → L Reliability tinggi Maintenance rendah
o Biopile Murah C Rata-rata
o Composting Sedang T → L Rata-rata
o Bioventing Sedang T → L Reliability rendah Maintenance tinggi
Kimia Fisik
o Water vapor :
• Ex-situ Murah T → L Reliability tinggi Maintenance rendah
• In-situ Murah T → L Rata-rata
Tabel kriteria pemilihan teknologi penanganan cemaran POPs golongan EIT
Teknologi proses Biaya
(USD) Waktu
proses Reliability dan Maintenance
Biologik
o Phytoremediation Murah → Sedang
L Reliability rendah Maintenance tinggi
o Bioslurry Sedang C → T Rata-rata
49
Kimia Fisik
o Supercritical water oxidation
Murah →
Sedang
C Rata-rata
o Solvent extraction Sedang →
Mahal
C → T Rata-rata
Sebagai catatan kriteria yang menyangkut biaya hanya mempertimbangkan
faktor desain, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (maintenance). Sedangkan
faktor seperti biaya transportasi, kajian pendahuluan, pasca perlakuan (post-
treatment), serta sumberdaya manusia tidak diperhitungkan mengingat faktor-faktor
biaya tersebut sangat beragam.
Faktor relaibility dan maintenance merupakan ukuran tingkat kerumitan
teknologi yang digunakan serta kemudahan di dalam melakukan pemeliharaan
selama teknologi tersebut diterapkan.
Di samping kriteria yang tersebut dalam tabel di atas terdapat sejumlah
kriteria tambahan yang dapat menjadi dasar di dalam melakukan pemilihan teknologi
penanganan cemaran POPs, yaitu: kemampuan teknologi untuk mencapai aras
cemaran yang dikehendaki sesuai dengan peraturan lingkungan yang berlaku atau
pertimbangan ilmiah lainnya, diterima oleh masyarakat, sifat kepraktisan, biaya
pasca perlakuan, dampak terhadap lingkungan, serta resiko operasi.
50
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Secara umum kegiatan telah berjalan dengan baik dan tidak ada kendala
yang berarti, meskipun pada awal pelaksanaan kegiatan pernah terjadi perubahan
organisasi Sistem Tata Kerja Kerekayasaan (STKK) karena ketidaktepatan
penempatan Sumber Daya Manusia. Selain itu, telah dilakukan juga revisi Program
Manual karena berubahnya lokasi kegiatan dari Bandung dan sekitarnya ke daerah
Yogjakarta dan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena ketidaksiapan petani di daerah
Bandung sebagai responden dalam survey yang dilakukan. Tetapi hal ini tidak
menjadikan kelambatan dalam pelaksanaan kegiatan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab I bahwa Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Stockhlom tentang penghapusan pengunaan kimiawi yang bersifat POPs,
dimana sebagiannya adalah pestisida, maka mendukung dan sejalan dengan apa
yang telah digariskan dalam National Implementation Plan (NIP) telah dilakukan
aktifitas kajian teknologi substitusi pestisida berbahan POPs dengan pestisida nabati
yang bersifat ramah lingkungan dan teknologi pemulihan kualitas lingkungan
tercemar POPs. Kegiatan terdiri dari pengumpulan informasi penggunaan pestisida
nabati pada tataran petani, persepsi petani tentang peralihan penggunaan ke
pestisida nabati, formulasi biopestisida sebagai pengganti pestisida bersifat POPs
dan kajian teknologi pemulihan kualitas lahan tercemar POPs.
Bahan pengganti pestisida POPs yang bersifat nabati banyak jenisnya dan
sudah banyak digunakan petani secara sporadis. Pada umumnya petani sudah
menyadari bahwa penggunaan pestisida kimiawi dalam jangka waktu tertentu
banyak menimbulkan kerugian yang kurang diperhitungkan, misalnya gangguan
kesehatan, kerusakan lahan, meningkatnya resistensi hama, dll. Tetapi reaksi yang
cepat dari penggunaan pestisida kimiawi dalam membasmi hama dan mudah
diperolehnya pestisida kimiawi, dimana sifat-sifat ini belum dipunyai pestisida nabati,
51
menyebabkan petani terkendala untuk beralih menggunakan pestisida nabati karena
alasan perekonomian (menggunakan pestisida kimiawi masih lebih murah daripada
menggunakan pestisida nabati).
Salah satu jenis pestisida nabati adalah biopestisida. Dalam kegiatan ini juga
telah dilakukan formulasi biopestisida dimana yang dipilih adalah biofungisida
tanaman pangan berbahan aktif T. harzianum. Hal ini dilakukan karena Indonesia
merupakan Negara tropis yang lembab sehingga merupakan lingkungan baik untuk
tumbuh suburnya jamur, terutama yang tumbuh pada tanaman pangan. Maka, selain
untuk mendapatkan biopestisida sebagai pengganti pestisida kimiawi, hal ini juga
sekaligus mendukung program ketahanan pangan nasional.
Biofungisida dapat dikatakan efektif karena dapat menurunkan jumlah
populasi jamur patogen di dalam tanah hanya dalam beberapa hari saja. Perlakuan
biofungisida mempunyai pengaruh ganda, selain untuk menyembuhkan tanaman
yang terkena penyakit, tanaman yang sudah kritis menunjukan kondisi ke arah
tanaman sehat yang ditandai dengan daun-daun yang semula berwarna hijau-
menguning berubah menjadi hijau segar. Penggunaan biofungisida ini bila digunakan
dengan tepat mempunyai manfaat ekonomi baik secara langsung atau tidak
langsung. Keuntungan tidak langsung terkait dengan biaya kelestarian lingkungan
dan kesehatan (environmental cost). Sementara biaya langsung terkait dengan
efisiensi biaya produksi. Penggunaan biofungisida dapat mereduksi biaya perawatan
mencapai 72% dibandingkan dengan penggunaan fungisida kimia sintetik. Hasil uji
lapang terhadap produk biofungisida yang telah diteliti dan dikembangkan,
menunjukkan produk tersebut cukup efektif untuk pengendali jamur patogen tular
tanah pada tanaman tahunan.
Teknologi penanganan cemaran POPs sebenarnya telah tersedia (lihat Bab
5.2), tetapi bagaimanapun penerapannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian di
lapangan dengan mempertimbangkan ketersediaan dan kesesuaian teknologi di
lokasi tertentu dan biaya yang dibutuhkan.
6.2. Saran
Hasil kegiatan yang telah dilakukan kali ini, dari segi kualitatif maupun
kuantitatif telah mengacu pada, dan merupakan sebagian dari target yang
diharapkan/ dicantumkan dalam, NIP. Dalam skala nasional NIP merupakan acuan
bagi instansi maupun lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan untuk
52
melakukan kegiatan penghapusan penggunaan POPs termasuk pestisida POPs di
Indonesia. Pelaksanaan NIP dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup,
maka dianggap perlu bagi instansi yang berpartisipasi dalam melaksanakan NIP
untuk mengkoordinasikan dan menginformasikan hasil kegiatannya, terutama
kepada Kementerian Lingkungan Hidup, untuk menghindari tumpang tindih aktifitas.
Masih banyak yang perlu dan harus dilakukan di Indonesia berkaitan dengan
penghapusan penggunaan kimiawi POPs, terutama yang menyangkut masalah
pangan. Hal ini selain untuk mendukung program ketahanan pangan, juga untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Beberapa topik yang harus mendapatkan perhatian diantaranya adalah pembuatan
formulasi-formulasi baru, standarisasi produk dan pendampingan serta program
insentif bagi petani untuk beralih menggunakan pestisida nabati.
53
Tabel Pelaksanaan Kegiatan
Rencana Kegiatan Bulan Pelaksanaan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
1. Persiapan & Konsolidasi Tim
2. Survey :
- Koordinasi dgn industri dan petani mitra
- Survey data sekunder
- Observasi awal
3. Analisis
- Observasi lanjutan
- Analisa hasil
- Penyusunan hipotesis & rekomendasi
4. Penyusunan laporan
54
Tabel Realisasi Dana
KODE KEGIATAN/SUB KEG./RINCIAN JUMLAH DIAJUKAN TEREALISIR (+ PAJAK) DALAM PROSES SALDO
BELANJA DANA TGL NOMINAL % TGL NOMINAL % NOMINAL % NOMINAL %
250,000,000 50,665,340 20.3 41,893,750 16.8 40,810,000 16.3 135,721,160 54.3
Belanja uang honor 86,275,000 22,775,000 26.4 19,358,750 22.4
Belanja Bahan 18,000,000 17,886,500 99.4 14,307,000 79.5
Belanja Perjalanan 137,220,000 5,500,000 4.0 4,625,000 3.4 36,810,000 26.8 131,720,000 96.0
Lain-lain 8,505,000 4,503,840 53.0 3,603,000 42.4 4,000,000 47.0 4,001,160 47.0
Tabel Organisasi Sumberdaya Manusia
Keterangan : WBS 1. : Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida dan Penanganan Pencemaran Persistent Organic Pollutants (POPs). WP 11. : Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida POPs. WP.12. : Pengembangan Teknologi Penanganan Pencemaran POPs.
NO NAMA NIP PANGKAT / GOLONGAN JABATAN FUNGSIONAL UNIT
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Dra. Amita I Sitomurni, M.Sc 19560703 198309 2 001 Pembina Tk. I / IV b Ketua Kelompok (Group Leader), WBS 1.
PTL
2 Suryo Anggoro, ST 19750815 200312 1 004 Penata Muda Tk.I / III b Manajer Program (Program Manager)
PTL
3 Sherafina Reni C., SP.MP 19730822 200801 2 012 Penata Muda Tk.I / III b Ketua Sub Kelompok (Leader) WP 11
TAB
4 Dwindrata Aviantara, MSMC 195403031982031005 Penata Tk.I / III d Ketua Sub Kelompok (Leader) WP 12
PTL
5 Dr. Ir.Joko Prayitno S., MSc 19601114 198603 1 004 Pembina Tk. I / IV b Staf Perekayasa (Engineering Staff) WP 11
PTL
6 Adinda Arimbi S, MSi 19700328 199903 2 002 Pembina / IV a Staf Perekayasa (Engineering Staff) WP 11
PTL
7 Yuda Purwana R., MSi 19811227 200901 1 003 Penata Muda Tk.I / III b Staf Perekayasa (Engineering Staff) WP 11
TAB
7 Wahyu Purwanta, MT 197310102008101001 Pembina / IV a Staf Perekayasa (Engineering Staff) WP 12
PTL
8 Saraswati D.R.H, SE 19720624 200710 2 001 Penata Muda / III a Staf Perekayasa (Engineering Staff) WP 12
PTL
Daftar Pustaka
1. Baughn, H.M. and A.A. Meharg. 2005. “Plant Assisted Volatilization of Semi-Volatile, Persistent Organic Pollutants.” Platform Abstracts: The Eighth International In-Situ and On Site Bioremediation Symposium. Battelle Press.
2. Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants. 2005. “Ridding the World of POPs: A Guide to the Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants.” <www.pops.int/documents/guidance>.
3. World Wildlife Fund (WWF). 2005. Toxic Fact Sheets. <http://www.worldwildlife.org/toxics/ pubs.cfm>.