Post on 30-Oct-2014
description
Kelompok jawab analisis
JAWABAN DITULIS FONT : TIMES NEW ROMAN, 12, SPASI 1,5 LINESKLO BISA SELASA UDAH DIKIRIM KE EMAIL AKUMAKASIH ^_^
Kelompok 1 = Diva, veranika, randa
Kelompok 2 = Lina, kiki, dodi
Kelompok 3 = Dimas, nisrina
Kelompok 4 = Arasy, yuni, agien
Kelompok 5 = Vindy, reza
Analisis Masalah
1. Tn. B (35 tahun, BB 95 kg, TB 165 cm) mempunyai keluhan utama merasa
mudah lelah sejak 3 bulan yang lalu
a. Berapa IMT dan interpretasinya Tn. B?kel 1
b. Resiko penyakit yang bisa dialami oleh orang obesitas?Kel 2
Perempuan yang telah memasuki menopause.
Merokok.
Mengkonsumsi terlalu banyak karbohidrat.
Kurang berolah raga.
Mengkonsumsi minuman beralkohol
c. Bagaimana hubungan antara BB, jenis kelamin dan umur dengan keluhan
utama Tn. B?Kel 3
d. Bagaimana mekanisme dari mudah lelah?Kel 4
e. Bagaimana metabolisme lemak, karbohidrat dan protein pada Tn. B? (jgn
lupakan hormon!!!)Kel 5
2. Sejak 2 bulan lalu mengeluh merasa cepat haus dan lapar, serta sering buang
air pada malam hari
a. Bagaimana mekanisme dari :
i. Cepat hausKel 1
ii. Cepat laparKel 2
iii. Sering buang air pada malam hariKel 3
b. Bagaimana hubungan antara keluhan (cepat haus, lapar, buang air
malam hari) yang terjadi sejak 2 bulan lalu dengan keluhan utama
(mudah lelah)?Kel 4
c. Bagaimana dampak dari cepat haus, lapar dan sering buang air pada
malam hari dengan kondisi Tn. B?Kel 5
3. Sejak 6 bulan lalu mengeluh kesemutan dan gatal-gatal
a. Bagaimana mekanisme dari :
i. KesemutanKel 1
ii. Gatal- gatal seluruh tubuhKel 2
b. Bagaimana hubungan antara kesemutan dan gatal-gatal dengan KU?
Kel 3
4. Mempunyai riwayat hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek)
a. Bagaimana hubungan antara genetik dengan kondisi Tn. B?
(hubungkan dengan umur dan dampak)Kel 4
b. Kemungkinan yang terjadi pada anak dari ayah hipertensi dan ibu
diabetes? (dari masa kehamilan)Kel 5
5. Pemeriksaan fisik
a. Bagaimana interpretasi, mekanisme, dan pengaruhnya terhadap
keluhan dari :
i. Tekanan Darah 160/95 mmHgKel 1
ii. Achanthosis nigricansKel 2
iii. Obesitas sentral dengan lingkar perut 120 cmKel 3
6. Pemeriksaan labor
a. Bagaimana interpretasi, mekanisme, dan pengaruhnya terhadap
keluhan dari :
i. Rutin : Hb 14 g%, Ht 42%, leukosit 7600 mm3, trombosit
165.000/ mm3
ii. Gula darah puasa 277 mg/dL
iii. HbA1C 8,6%
TIDAK NORMAL, Normalnya 4,5%-6%
Mekanismenya ada pada hiperglikemi, dimana hiperglikemi ini dapat mempercepat
pembentukan produk glikosilasi nonenzimatik yang berkumpul pada protein dinding
pembuluh. Glikosilasi merupakan ikatan kovalen antara glukosa darah dengan sel darah
merah, khususnya hemoglobin (HA1c). Normalnya, hanya ada sekitar 4,5%-6% glukosa yang
terikat. Pengikatan protein yang mengandung hasil akhir glikosilasi kepada makrofag
menginduksi sintesis dan sekresi tumor necrosis factors dan IL-1. Sitokin tersebut, akan
menstimulasi sel lain untuk meningkatkan sintesis protein dan berproliferasi.
iv. OGTT (puasa) 146 mg/dL; (2 jam post prandial) 246 mg/dL
v. Total protein 7,7 g/dL
vi. Albumin 4, g/dL
vii. Globulin 2,9 g/dL
viii. Ureum 22 mg/dL
ix. Kreatinin 0,6 mg/dL
x. Sodium 138 mmol/l
xi. Potasium 3,6 mmol/l
xii. Total Cholesterol 270 mg/dL
xiii. Cholesterol LDL 210 mg/dL
xiv. Cholesterol HDL
xv. Trigliserida 337 mg/dL
Kel 4 = i – iii
Kel 5 = iv – vi
Kel 1 = vii – ix
Kel 2 = x, xi, xv
Kel 3 = xii - xiv
7. Urinalisis
a. Bagaimana interpretasi, mekanisme, dan pengaruhnya terhadap
keluhan dari :
i. Urin reduksi 2+Kel 4
ii. Mikroalbuminuria (+)Kel 5
8. a. Apa differential diagnosis dan kriteria masing-masing dari kasus ini?
(dalam bentuk tabel)Kel 1
b. Apa saja komplikasi yang timbul?Kel 2
c. Apa prognosis dari kasus ini?Kel 3
d. Bagaimana penatalaksanaan terhadap Tn. B? (farmako dan
nonfarmako)Kel 4
Farmakologis :
a. Sulfonilurea
1. Menurunkan sekresi glukagon.
2. Menutup potassium channel.
3. Dapat menyebabkan hipoglikemia.
b. Biguanid
1. Gol. biguanid yang sering digunakanà metformin
2. Menurunkan glukoneogenesis
3. Memperlambat absorbsi glukosa dari GI tract
4. Stimulasi langsung glikolisis di jaringan
5. Menurunkan plasma glucagon
6. Meningkatkan pemakaian glukosa di usus
c. Glitazone
1. Agonis PPAR
2. Merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki
sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia.
3. Mempengaruhi pelepasan mediator resistensi insulin .
d. Inhibitor α-glukooksidase
1. Termasuk dlm acarbose (Precose,Glucobay) & miglitol(Glyset)
memiliki cara kerja mengurangi kadar glukosa dgn menginterfensi
penyerapan sari pati dlm usus.
2. Acarbose cenderung menurunkan kadar insulin stlh makan
3. Alpha glucosidase inhibitor ini tdk seefektif obat lain bila diguna sbg
terapi tunggal.Bila dikombinasi dgn metformin,insulin atau
sulfonylurea,bisa meningkatkan efektivitasnya.
4. Efek samping:produksi gas dlm perut & diare.Mungkin mempengaruhi
penyerapan zat besi.
e. Vildagliptin-Dipeptyl peptidase 4 inhibitor
1. Berpotensi,selektif& reversibel.Dgn ini,vidagliptin memperpanjang
waktu kerja GLP-1 sehingga terjadi peningkatan insulin &menekan
sekresi glucagon.
2. Memperbaiki sensivitas sel alfa&beta terhadap glukosa,krn
meningkatnya glucose-dependent insulin secretion & menurunkan
sekresi glukagon
f. Insulin
1. Obat utk pasien yg tdk bisa kontrol diabetes dgn diet atau pengobatan
oral ,kombinasi insulin & obat-obatan lain bisa sgt efektif.
2. Pada pasien DM 11 yg buruk,pengantian insulin total menjadi
kebutuhan. Beberapa btk insulin : NPH – insulin standar yg stimulasi
insulin scr alami, Insulin lispro&aspart-fast acting insulin
Penatalaksanaan Non Farmakologi :
a. Latihan fisik
Dengan meningkatkan aktivitas fisik terbukti dapat menurunkan kadar
lipid dan resistensi insulin didalam otot rangka.
b. Diet
Sasaran utama dari diet terhadap sindrom metabolik adalah dapat
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus.
c. Edukasi
Dengan pengetahuan yang memadai tentang bahaya dan
penatalaksanaan sindrom metabolik, maka akan membantu menurunkan
risiko penyulit dari sindrom metabolik.
e. Bagaimana upaya pencegahan terhadap kasus ini?Kel 5
f. Pada tingkat berapa kompetensi dokter umum terhadap kasus ini?Kel 3
Learning Issue
1. Resistensi Insulin Diva, veranika, randa
2. Sindroma Metabolik Lina, kiki, dodi
3. Obesitas Dimas,nisrina
4. Diabetes Melitus Arasy, yuni, agien
Diabetes mellitus atau DM yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit
kencing manis adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak faktor,
dengan simtoma berupa hiperglikemia kronis dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak
dan protein, sebagai akibat dari :
Defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya
Defisiensi transporter glukosa
Atau keduanya.
Berbagai penyakit, sindrom dan simtoma dapat terpicu oleh diabetes mellitus, antara
lain: Alzheimer, ataxia-telangiectasia, sindrom Down, penyakit Huntington,
kelainan mitokondria, distrofi miotonis, penyakit Parkinson, sindrom Prader-Willi, sindrom
Werner, Sindrom Wolfram, leukoaraiosis, demensia, hipotiroidisme, hipertiroidisme,
hipogonadisme, dan lain-lain.
Klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus
berdasarkan perawatan dan simtoma:
1. Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di
dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan
bersifat idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas,
seperti fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada
penggolongan ini.
2. Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai
dengan sindrom resistansi insulin
3. Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT
dan gestational diabetes mellitus, GDM. dan menurut tahap klinis tanpa
pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:
4. Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
5. Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus
tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan
tambahan hormon dari luartubuh.
6. Not insulin requiring diabetes.
Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (bahasa
Inggris: insulin-dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan
anggota klasifikasi NIDDM (bahasa Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM
dan NIDDM merupakan klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature of
Diseases pada tahun 1991 dan revisi ke-10International Classification of Diseases pada
tahun 1992.
Klasifikasi Malnutrion-related diabetes mellitus, MRDM, tidak lagi digunakan oleh
karena, walaupun malnutrisi dapat memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes, hingga saat
ini belum ditemukan bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein dapat menyebabkan
diabetes. Subtipe MRDM; Protein-deficient pancreatic diabetes mellitus, PDPDM, PDPD,
PDDM, masih dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang diinduksi oleh diabetes mellitus dan
memerlukan penelitian lebih lanjut. Sedangkan subtipe lain, Fibrocalculous pancreatic
diabetes, FCPD, diklasifikasikan sebagai penyakit pankreas eksokrin pada
lintasan fibrocalculous pancreatopathy yang menginduksi diabetes mellitus.
Klasifikasi Impaired Glucose Tolerance, IGT, kini didefinisikan sebagai tahap dari
cacat regulasi glukosa, sebagaimana dapat diamati pada seluruh tipe kelainan hiperglisemis.
Namun tidak lagi dianggap sebagai diabetes.
Klasifikasi Impaired Fasting Glycaemia, IFG, diperkenalkan sebagai simtoma rasio
gula darah puasa yang lebih tinggi dari batas atas rentang normalnya, tetapi masih di bawah
rasio yang ditetapkan sebagai dasar diagnosa diabetes.
Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset
diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang
terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-
anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan
dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan
berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun
respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama
pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan
reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut
dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan
pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah.
Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah
penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma
bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya
hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga
dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian
masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan
pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan
juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan memengaruhi
aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan
kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk
pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l).
Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang
bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events". Angka
di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil
yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l)
biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat
glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan
kesadaran.
Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related
diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus
yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan
merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk
yang mengekspresikan disfungsisel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel
terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor
hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka
terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun
meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom
19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan
hormon resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan
glukoneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi
esterifikasi pada hati.
NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia, lipodistrofi, dan sindrom resistansi
insulin.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap
insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia
dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin
atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin
pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori
yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas
sentraldiketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam
kaitan dengan pengeluaran dari adipokines (nya suatu kelompok hormon) itu merusak
toleransi glukosa. Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan
diagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga,
walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak
remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2
biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya
pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar
kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,,
sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito
abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan
antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada
awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan
untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan mengatur
pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipis pembalasan
hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g.,metformin), dan pada hakekatnya menipis
pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan
hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan
glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah
direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil
kebanyakan pengobatan.
Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini
diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2.[14] Seperti zat
penghambatdipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi
perkembangan sel tumor maupun kanker.
Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah
defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria pada otot lurik. Sebaliknya,
hormon tri-iodotironinamenginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan
sintesis ATP sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada
kompleks IV, menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif,[20] sedang
hormon melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta
meningkatkan aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV.[21] Bersama
dengan insulin, ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi
oksidatif mitokondria di dalam otot lurik.[22] Di sisi lain, metalotionein yang menghambat
aktivitas GSK-3beta akan mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.
Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan
pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui sebagai
akibat dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat menentukan
apakah metoda ini dapat memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan
perubahan homeostasis glukosa.
Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin,
diketahui menyebabkan:
Peningkatan mRNA glukokinase, Peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan Peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom Peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin[28]
Penurunan ekspresi GLUT2 pada hati Penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati Penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain
dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase
Penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase
Meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan glukoneogenesis
Sedangkan naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di dalam hati.
Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada buah jenis jeruk, sedang naringin banyak ditemukan pada buah jenis anggur.
Diabetes mellitus tipe 3
Diabetes mellitus atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan
pulih setelah melahirkan, dengan keterlibataninterleukin-6 dan protein reaktif C pada
lintasan patogenesisnya. GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar
20–50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan. GDM
bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat
disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat
membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi
meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan
kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin dapat
menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan.
Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang parah,
kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari
perfusi plasenta yang buruk karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat
diindikasikan dengan menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila
ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan
makrosomia, seperti distosia bahu.
Patofisiologi
Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti
hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan yang
sedang laik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut
terkait oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.
Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada
resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan
hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan
menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam
lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap
insulin, terutama pada otot lurik. Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio
IGF-I tidak dapat menurunkan resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.
Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak
orang, tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu
komplikasi padatoleransi glukosa.
Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi
penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia
dan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi, hiperkoagulasi, dapat
meningkatkan risiko kardiovaskular.
Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-
iodotironina dengan hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.
Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang
disebabkan oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas,
feokromositoma glukagonoma dan somatostatinoma.
Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1.
Sinergi hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-α, dijumpai membawa
sinyal apoptosis bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo. Apoptosis sel beta juga terjadi
akibat mekanisme Fas-FasL, dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan
perforin, selain hiperaktivitassel T CD8- dan CD4-.
Komplikasi
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan
kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan,
serta kerusakansaraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan
risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah
buruk.
Ketoasidosis diabetikum
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang
dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar
gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan
gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak
dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa
menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum
adalah rasa haus dan sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada
anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki
keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan,
ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya
beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa
mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau
mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe
II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin
parah, maka timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi
ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya
terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami
dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu
keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.
Hipoglikemi
Diagnosis
Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).[34]
Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu:
Plasma vena <110 110 - 199 >200
Darah kapiler <90 90 - 199 >200
Kadar glukosa darah puasa:
Plasma vena <110 110 - 125 >126
Darah kapiler <90 90 - 109 >110
Simtoma klinis
Simtoma hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
Poliuria - sering buang air kecil
Polidipsia - selalu merasa haus
Polifagia - selalu merasa lapar
Penurunan berat badan, seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1 dan setelah
jangka panjang tanpa perawatan memadai, dapat memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
Gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan
Gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
Gangguan kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat
diketahui dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron
Gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot
ulcer, amputasi, charcot joint dan disfungsi seksual
Dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan hiperosmolar
non-ketotik yang dapat berakibat pada stupor dan koma.
Rentan terhadap infeksi.
Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria, atau
kencing manis, yang terjadi jika penderita tidak segera mendapatkan perawatan.
Penanganan
Pasien yang cukup terkendali dengan pengaturan makan saja tidak mengalami
kesulitan kalau berpuasa. Pasien yang cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga tidak
mengalami kesulitan untuk berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka puasa. Untuk yang
terkendali dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dosis tinggi, obat diberikan dengan dosis
sebelum berbuka lebih besar daripada dosis sahur. Untuk yang memakai insulin, dipakai
insulin jangka menengah yang diberikan saat berbuka saja. Sedangkan pasien yang harus
menggunakan insulin (DMTI) dosis ganda, dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan
Ramadhan.
7. Hipertensi Vindy,reza