Post on 18-Mar-2019
i
i
KUALITAS MIKROBIOLOGIS SUSU SEGAR
SEBAGAI BAHAN BAKU KEJU
ESTER BR SEMBIRING
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
i
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Kualitas
Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju adalah karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Ester Br Sembiring
B04080046
ii
ii
ABSTRACT
ESTER BR SEMBIRING. Presence of Microbiological Quality of Fresh Milk as
the Raw Material of Cheese. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.
The aim of this study was to observe microbiological quality of fresh milk as
the raw material of cheese. There were 35 milk samples taken from six farms.
The total count of microorganisms, Staphylococcus aureus, and coliforms were
examined with plate count method (pour plate method). The result showed that
the milk samples from the third farm had the highest number of total plate count
(6 973 333.3 + 4 712 126.2 cfu/ml), the fifth farm showed the highest number of
Staphylococcus aureus (1 950.0 + 636.4 cfu/ml), and of coliform (321 139.2 +
4 177 723.8 cfu/ml). Compared to the maximum number of microbial
contamination according to the Indonesia National Standard (SNI 01-3141-2011),
all the samples (100%) from the six farms were higher than the standard. The
high number of Staphylococcus aureus and coliform contamination in milk due to
the inadequate personal hygiene practices and the poor cleanliness level of water,
cages, and equipment. This condition should be considered as a risk of food
contamination that can cause disease for the consumers.
Keyword: milk, total plate count, coliform, Staphylococcus aureus
iii
iii
RINGKASAN
ESTER BR SEMBIRING. Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan
Baku Keju. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.
Keju mengandung vitamin A, B, dan D, serta berbagai mineral penting bagi
tubuh, seperti fosfor dan kalsium. Bagi kaum vegetarian, keju dapat digunakan
sebagai pengganti daging karena kandungan proteinnya yang tinggi, yaitu 70
gram keju mengandung jumlah protein yang sama dengan 100 gram daging. Keju
secara umum dibuat dari susu sapi, namun dapat juga dibuat dari susu kambing
atau domba. Mayoritas keju dibuat dari susu sapi dengan perlakuan panas atau
susu pasteurisasi. Namun dalam proses pembuatan keju, tidak hanya proses
perlakuan panas yang mempengaruhi kualitas keju, tetapi juga susu sebagai bahan
dasar yang mengandung bermacam-macam mikroorganisme, karena susu segar
merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, bukan saja bagi manusia dan
hewan, tetapi juga mikroorganisme.
Mikroorganisme yang terdapat pada susu mempengaruhi proses pembuatan
produk olahan susu dan mempengaruhi keamanan serta kualitasnya, seperti
Staphylococcus aureus, koliform, dan Clostridium tyrobutyricum. Staphylococcus
aureus hidup di lingkungan hewan dan manusia seperti air, makanan, mukosa
hidung, dan kulit manusia atau hewan serta secara alami ada dalam susu dan
produk susu. Bakteri penyebab mastitis ini dapat menghasilkan enterotoksin yang
tahan panas dan enzim proteolitik serta sangat penting dalam kasus keracunan
makanan termasuk kualitas keju. Bakteri koliform dapat membuat perusakan
tekstur lebih dini dan rasa tidak enak pada keju dan merupakan ancaman
kesehatan masyarakat serta digunakan sebagai mikroorganisme indikator
(indicator organism) terhadap adanya kontaminasi feses.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kualitas mikrobiologis susu segar
yang dipasok sebagai bahan baku keju. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi informasi mengenai kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang,
lingkungan sekitar kandang, dan higine personal pekerja kandang sebagai
masukan dalam rangka pembinaan dan pengawasan pangan asal hewan.
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel susu segar dari enam
peternakan pemasok susu segar sebagai bahan baku keju dengan jumlah yang
berbeda dari setiap peternakan. Jumlah keseluruhan sampel susu segar yaitu 35
sampel yang kemudian diuji kualitas mikrobiologisnya terhadap total plate count,
koliform, dan Staphylococcus aureus dengan metode hitungan cawan dengan cara
tuang (pour plate method).
Hasil pengujian jumlah total mikroorganisme ditemukan bahwa peternakan
3 mememiliki jumlah rata-rata tertinggi (6 973 333.3 + 4 712 126.2 cfu/ml),
terhadap koliform peternakan 5 memiliki jumlah rata-rata tertinggi (321 139.2 +
4 177 723.8 cfu/ml), dan terhadap Staphyloccous aures (1 950.0 + 636.4 cfu/ml). Tingginya cemaran mikroorganisme tersebut terkait dengan kebersihan
lingkungan kandang dan peralatan kandang, kebersihan air yang digunakan untuk
kebutuhan peternakan, dan praktik higiene personal yang kurang baik.
Kontaminasi yang terjadi berhubungan dengan kondisi kebersihan lingkungan
kandang, peralatan kandang, kebersihan air yang digunakan untuk keperluan
iv
iv
peternakan, dan kebersihan pekerja kandang yang kurang baik. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan kualitas susu dan produk susu seperti keju yang
dihasilkan serta dapat menimbulkan penyakit bagi konsumen.
Kata kunci: susu, jumlah mikroorganisme, koliform, Staphylococcus aureus
v
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
vi
KUALITAS MIKROBIOLOGIS SUSU SEGAR
SEBAGAI BAHAN BAKU KEJU
ESTER BR SEMBIRING
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
vii
vii
Judul Skripsi : Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju
Nama : Ester Br Sembiring
NIM : B04080046
Disetujui
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi.
Ketua
Diketahui
drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
viii
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan
Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang diambil
adalah Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya
Lukman, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh
kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada almarhum Papa, Mama, dan kakak-
kakak tersayang (Rayland, Mega, dan Andryani) serta keluarga besar atas doa,
semangat, dan cinta yang selalu diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih
penulis ucapkan kepada teman seperjuangan selama penelitian (Wulan, Yuni, dan
Adik). Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Raymond atas waktu,
perhatian, dan dukungan yang selalu diberikan. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada teman-teman seangkatan Avenzoar 45 yang sama-sama
berjuang dalam menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor (FKH IPB).
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan,
untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Ester Br Sembiring
ix
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuala, Sumatera Utara pada tanggal 6 September 1990
dari ayah Sadar Sembiring (almh) dan ibu Suasana Br Purba. Penulis merupakan
putri keempat dari empat bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 040572, Kabupaten Karo
dan lulus pada tahun 2002, dilanjutkan ke SMP ASISI, Kabupaten Karo dan lulus
pada tahun 2005. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA Negeri 1
Tigabinanga, Kabupaten Karo dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan
ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor. Mayor yang dipilih penulis adalah
kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH
IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) FKH IPB serta Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (Himpro
Ruminansia) FKH IPB. Penulis juga aktif sebagai Asisten Praktikum Embriologi
dan Genetika Perkembangan, Asisten Praktikum Histologi, dan Asisten Praktikum
Radiologi.
x
x
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ………………………………………...………........... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii
PENDAHULUAN ……………………………………………………...... 1
Latar Belakang …………………………………...……………....... 1
Tujuan ……………………………………………...…………......... 3
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………........ 4
Definisi Susu ……………………………………………………….. 4
Karakteristik Susu ………………………………………………….. 4
Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme ……………………… 5
Karakteristik Koliform ……………………………………………... 7
Karakteristik Staphylococcus aureus ………………………………. 9
BAHAN DAN METODE ………………………………….......……....... 11
Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………........ 11
Pengambilan dan Jumlah Sampel ………………………………...... 11
Bahan dan Alat …………………………………………………….. 11
Pengujian Jumlah Total Mikroorganisme ………………………….. 11
Pengujian Jumlah Koliform ………………………………………... 12
Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus …………………………. 13
Analisis Data ……………………………………………………….. 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………......... 15
Jumlah Mikroorganisme .................................................................... 15
Jumlah Koliform pada Susu ………………………………………... 18
Jumlah Staphyloccus aureus pada Susu ............................................ 22
Pencegahan dan Pengendalian Staphyloccus aureus ....................... 25
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………....... 28
Simpulan ............................................................................................ 28
Saran .................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..……...... 29
LAMPIRAN ............................................................................................... 35
xi
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Syarat mutu susu segar menurut SNI 01-3141-2011 ………………... 4
2 Tipe komposisi susu (%) dari beberapa spesies ……………………... 5
3 Jumlah rataan hasil pengujian total plate count (TPC) dan persentase
cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju …… 15
4 Jumlah rataan koliform dan persentase cemaran mikroba pada sampel
susu pemasok untuk pabrik keju ……………………………………. 18
5 Jumlah rataan Staphyloccous aureus dan persentase cemaran mikroba
pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju ………………………. 22
xii
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil uji total plate count, koliform, dan Staphylococcus aureus dari
sampel susu segar ……………………………………………………. 35
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tahun 1998 Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang
menghasilkan susu segar dengan jumlah hampir 1 juta kg per hari. Tahun 2009
produksi susu peternakan sapi perah di Indonesia mencapai 19 juta liter dalam
setahun (BPSRI 2009). Namun konsumsi susu per kapita per tahun masyarakat
Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan konsumsi masyarakat
negara lainnya. Tahun 2010 konsumsi susu per kapita penduduk Indonesia hanya
mencapai 11.9 liter per tahun, sedangkan Thailand 31.7 liter, Filipina 22.1 liter,
dan India 42.8 liter (Deptan 2010).
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai manfaat susu dapat menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya konsumsi susu di Indonesia. Hal
ini mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi dan busung lapar, seperti di daerah
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Hasil survei tahun 2007
menyebutkan 5.4% anak balita di Indonesia mengalami prevalensi gizi buruk dan
kurang gizi sebesar 13%. Faktor lain yang mempengaruhi hingga saat ini
konsumsi susu menurun di Indonesia yaitu proses pengolahan susu yang kurang
optimal dalam cita rasa, karena sebagian orang tidak menyukai mengonsumsi susu
asli, serta adanya lactose intolerance pada manusia yang mengakibatkan individu
tersebut tidak dapat mengonsumsi susu yang mengandung laktosa (McSweeney
2009).
Telah banyak makanan dan minuman diproduksi yang berbahan dasar susu
seperti keju, yoghurt, dan produk fermentasi susu lainnya sebagai usaha untuk
meningkatkan produksi dan konsumsi susu. Upaya tersebut dapat membantu
masyarakat yang tidak menyukai susu asli dapat memperoleh manfaat susu
dengan mengonsumsi produk olahan susu (Jakobsen et al. 2011). Di negara-
negara berkembang, program untuk meningkatkan produksi susu telah banyak
dilakukan tetapi tidak selalu disertai dengan menjaga kebersihan. Hal tersebut
dapat menurunkan kualitas susu dan juga produk-produk yang berbahan dasar
susu (Elmoslemany et al. 2010).
2
Keju mengandung vitamin A, B, dan D, serta berbagai mineral penting bagi
tubuh, seperti fosfor dan kalsium (Jay et al. 2005). Bagi kaum vegetarian, keju
dapat digunakan sebagai pengganti daging karena kandungan proteinnya yang
tinggi, yaitu 70 gram keju mengandung jumlah protein yang sama dengan 100
gram daging (Winarno dan Ivone 2007).
Keju secara umum dibuat dari susu sapi, namun dapat juga dibuat dari susu
kambing atau domba. Mayoritas keju dibuat dari susu sapi dengan perlakuan
panas atau susu pasteurisasi. Susu yang digunakan dalam pembuatan keju secara
umum dipanaskan secara pasteurisasi, yaitu 72 °C minimal selama 15 detik atau
63 °C selama 30 menit. Selain itu juga dapat digunakan susu dengan pemanasan
subpasteurisasi yaitu 57-68 °C minimal 15 detik. Jika yang digunakan susu non-
pasteurisasi, keju harus dimatangkan (dengan cara diperam) paling sedikit selama
60 hari pada suhu tidak kurang dari 4 °C untuk mengendalikan mikroorganisme
patogen (Little et al. 2008).
Dalam proses pembuatan keju, tidak hanya proses perlakuan panas yang
mempengaruhi kualitas keju, tetapi juga susu sebagai bahan dasar yang
mengandung bermacam-macam mikroorganisme. Susu segar merupakan bahan
pangan yang sangat tinggi gizinya, bukan saja bagi manusia dan hewan, tetapi
juga mikroorganisme (Rasolofo et al. 2011). Susu merupakan pangan yang
sangat mudah rusak dan mudah terkontaminasi bakteri sehingga susu menjadi
tidak dapat diolah lebih lanjut atau tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia (Jay
et al. 2005).
Secara alami pada susu ditemukan mikroorganisme, tetapi jumlah
mikroorganisme bertambah dengan adanya kontaminasi dari tangan dan baju
pemerah, kandang, peralatan dalam proses pemerahan susu (ember, lap, saringan),
dan penyakit tertentu pada hewan (Jørgensen et al. 2005). Jumlah
mikroorganisme dapat meningkat mencapai 100 kali lipat atau lebih dari jumlah
mikroorganisme awal saat susu disimpan pada suhu 25 °C dalam waktu yang
lama. Peningkatan jumlah mikroorganisme tersebut kurang dari 1 000 sel per ml
pada susu yang berasal dari ambing yang sehat (Chye et al. 2004). Kontaminasi
bakteri dimulai saat pemerahan dan dapat berkembang menjadi dua kali lipat
setiap setengah jam pada suhu 25 °C dan pH 6.0-6.5 (Millogo et al. 2010).
3
Mikroorganisme yang terdapat pada susu mempengaruhi proses pembuatan
produk olahan susu dan mempengaruhi keamanan serta kualitasnya, seperti
Staphylococcus aureus, koliform, dan Clostridium tyrobutyricum (Wron 2006).
Staphylococcus aureus hidup di lingkungan hewan dan manusia seperti air,
makanan, mukosa hidung, dan kulit manusia atau hewan (Vicosa et al. 2010).
Bakteri penyebab mastitis ini dapat menghasilkan enterotoksin yang tahan panas
dan enzim proteolitik. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang dapat
menimbulkan keracunan makanan (Forsythe 2000).
Bakteri koliform dapat merusak tekstur lebih dini dan rasa tidak enak pada
keju (Bennet 2005). Bakteri ini sering digunakan sebagai mikroorganisme
indikator (indicator organism) terhadap adanya kontaminasi feses. Keberadaan
bakteri ini menandakan adanya kemungkinan mikroorganisme enteropatogenik
atau toksigenik atau kedua-duanya yang merupakan ancaman kesehatan
masyarakat (Altalhi dan Hassan 2009). Melihat banyaknya bakteri yang dapat
mempengaruhi kualitas keju serta dapat menimbulkan masalah kesehatan pada
masyarakat khususnya bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri koliform, maka
perlu dilakukan penelitian terhadap susu segar dari peternakan yang memasok
pabrik keju.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kualitas mikrobiologis susu segar
yang dipasok sebagai bahan baku keju.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Susu
Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih,
yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya
tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapatkan perlakuan
apapun. Susu segar merupakan susu murni yang tidak mengalami perlakuan
apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (BSN
2011). Menurut Gustiani (2009), susu segar yang baik adalah susu yang
mengandung zat gizi dalam jumlah yang cukup dan seimbang, tidak mengandung
atau bersentuhan dengan barang atau sesuatu yang diharamkan, tidak mengandung
agen penyebab penyakit seperti mikroba patogen, antibiotik, logam berat, dan
pestisida serta tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apa pun. Syarat mutu susu
segar menurut SNI 01-3141-2011 tentang Susu Segar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Syarat mutu susu segar menurut SNI 01-3141-2011 tentang Susu
Segar
No Karakteristik SNI
1 Berat jenis (pada suhu 27.5 ⁰ C) minimum 1.0270 g/ml
2 Kadar lemak minimum 3.0 %
3 Kadar protein minimum 2.8 %
4 Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 7.8 %
5 Warna, bau, rasa, kekentalan tidak ada perubahan
6 Derajat keasaman 6.0-7.5 ⁰ SH
7 pH 6.3-6.8
8 Uji alkohol 70% Negatif
9 Jumlah sel somatis maksimum 4 x 105/ml
10 Residu antibiotika Negatif
11 Cemaran mikroorganime
a. Total plate count 1 x 106 cfu/ml
b. Staphyloccous aureus 1 x 102 cfu/ml
c. Enterobacteriaceae 1 x 103 cfu/ml
Karakteristik Susu
Susu adalah cairan yang disekresikan oleh kelenjar ambing, berfungsi utama
sebagai nutrisi yang kompleks untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi
5
manusia atau hewan yang baru lahir karena zat gizi yang dikandung sangat
lengkap dengan perbandingan sempurna seperti karbohidrat, lemak susu, protein
dari asam amino, mineral, dan vitamin. Komposisi susu terdiri dari air (87.20%),
protein (3.50%), lemak (3.70%), abu (0.70%), bahan kering (12.80%), dan laktosa
(4.90%) (Taylor 1995).
Karbohidrat susu sapi terdiri dari laktosa yaitu 5% dan hampir konsisten
pada semua breed sapi. Protein susu sebagian besar terdiri dari kasein yaitu 80-
85%, jika pH susu menurun menjadi 4.6 maka kasein akan berubah menjadi
lapisan endapan, bagian cairan endapan tersebut disebut whey. Kandungan lemak
pada susu yaitu 3.5-5% dan bervariasi pada setiap breed serta sebagian besar
terdiri dari trigliserida (Jay et al. 2005).
Susu antar spesies berbeda-beda tipe komposisinya yang juga dipengaruhi
oleh status nutrisi, tahap laktasi, umur, interval menyusui, dan kesehatan seperti
mastitis dan penyakit lainnya (McSweeny 2009). Tipe komposisi susu (%) dari
beberapa spesies dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Tipe komposisi susu (%) dari beberapa spesies (McSweeny 2009)
Spesies Bahan
Kering Lemak Protein Laktosa Abu
Sapi 12.7 3.7 3.4 4.8 0.7
Kambing 12.3 4.5 2.9 4.1 0.8
Domba 19.3 4.5 4.5 4.8 1.0
Kerbau 16.0 3.7 6.9 5.2 0.8
Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme
Mikroorganisme merupakan kelompok organisme mikroskopik yang sangat
beragam dapat berupa sel tunggal atau himpunan sel seperti bakteri (Sunatmo
2009). Kualitas mikrobiologi pangan dipengaruhi oleh mikroorganimse awal,
kondisi pengolahan, dan kontaminasi setelah pengolahan. Mikroorganisme dapat
ditemukan pada tanah, air, dan udara. Mikroorganisme dapat ditemukan sebagai
flora normal dalam tubuh dan dapat juga digunakan untuk menimbulkan cita rasa
dan sifat fisik pada produk olahan susu. Selain itu, mikroorganisme juga dapat
menyebabkan kerusakan produk serta pangan yang tercemar oleh mikroorganisme
6
patogen atau penghasil toksin dan dapat menjadi wahana transmisi penyakit
(Lukman 2009).
Pengujian mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
risiko yang berbahaya dalam pakan atau produk olahan yang disebabkan oleh
mikroorganisme tertentu dan untuk menilai manajemen keamanan pangan serta
mutu pangan berdasarkan hazard analysis critical control points (HACCP).
Pengujian mikrobiologi meliputi pengujian kuantitatif dengan penghitungan dan
pengujian kualitatif dengan mendeteksi ada atau tidaknya mikroorganimse pada
susu, produk olahan susu, dan bahan pangan lainnya (Jasson et al. 2010).
Salah satu cara pengujian jumlah mikroorganisme pada susu yaitu metode
hitungan cawan atau jumlah total mikroorganisme (total plate count). Selain pada
susu, pengujian ini juga dapat digunakan pada bahan pangan lainnya seperti
daging. Prinsip pengujian ini yaitu jika satu sel bakteri ditumbuhkan pada media
agar, maka akan tumbuh menjadi satu koloni yang nampak dengan mata (Lukman
2009). Penghitungan dari pengujian ini yaitu berdasarkan jumlah koloni yang
tumbuh di media agar. Pertumbuhan mikroorganisme yang membentuk koloni
dapat dianggap bahwa setiap koloni yang tumbuh berasal dari satu sel, maka
dengan menghitung jumlah koloni dapat diketahui penyebaran bakteri yang ada
pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya.
Pengujian jumlah total mikroorganisme merupakan cara yang paling sensitif
dalam menghitung jumlah total cemaran mikroorganisme, karena pada pengujian
ini hanya sel yang masih hidup yang dihitung dan dapat digunakan untuk isolasi
serta identifikasi mikroba lainnya, khususnya koloni yang tumbuh dari satu sel
mikroba dengan penampakan pertumbuhan spesifik. Menurut Widyastika (2008)
pengujian jumlah total mikroorganisme juga memiliki kelemahan, yaitu:
a. Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroorganisme yang
sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk
suatu koloni.
b. Media dan kondisi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang
berbeda.
c. Mikroorganisme yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada media padat
dan membentuk koloni yang kompak dan jelas serta tidak menyebar.
7
d. Memerlukan persiapan dan waktu inkhubasi beberapa hari atau hingga
pertumbuhan koloni dapat dihitung.
Karakteristik Koliform
Bakteri koliform adalah bakteri berbentuk batang yang memiliki sifat
anaerob fakultatif dan termasuk bakteri gram negatif. Sumber energi untuk
pertumbuhan koliform berasal dari oksidasi senyawa organik (Wron 2006).
Pertumbuhan bakteri yang bersifat heterotrof ini hanya memakan waktu yang
singkat yaitu 15 menit sampai 20 menit. Menurut Supardi dan Sukamto (1999),
selang waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah menjadi dua kali lipat
tergantung pada media, suhu, ketersedian oksigen, dan pH. Koliform termasuk
kelompok psikotrofik yang mengalami pertumbuhan minimum pada suhu -10 °C,
optimum pada suhu 20-30 °C, dan maksimum pada suhu 24 °C (Garbutt 1997).
Mekanisme untuk mendapatkan energi bakteri yang memiliki flagela
peritrikus ini terdapat dua cara, yaitu apabila ada oksigen, energi diperoleh secara
respirasi aerob dan apabila tidak ada oksigen maka energi diperoleh secara
fermentasi anaerob. Bakteri yang termasuk kelompok koliform yaitu Escherichia
coli, Edwarsiella, Citrobacter, Klebsiella, Enterobacter, Hafnia, Serratia,
Proteus, Arizona, Providentia, dan Pseudomonas. Koliform dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu koliform fekal seperti Escherichia coli dan non-fekal seperti
Enterobacter aerogenes (Garbutt 1997).
Escherichia coli memproduksi indol dan asam di dalam medium glukosa
tetapi tidak memproduksi asetoin. Bakteri yang tidak dapat menggunakan sitrat
sebagai sumber karbon ini dapat memproduksi karbondioksida dan hidrogen
dengan perbandingan 1:1. Bakteri ini berperan dalam sintesis vitamin K serta
secara normal ditemukan di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan
berdarah panas, sehingga sering terdapat dalam feses karena itu disebut bakteri
fekal (Wron 2006). Adapun klasifikasi Escherichia coli menurut Songer dan
Post (2005) yaitu:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
8
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
Enterobacter aerogenes memproduksi asam lebih sedikit, membentuk
asetoin, tetapi tidak membentuk indol. Bakteri ini memproduksi karbondioksida
dan hidrogen dengan perbandingan 2:1 dan dapat menggunakan sitrat sebagai
sumber karbon. Enterobacter aerogenes dapat ditemukan di dalam air, limbah
dan juga pada saluran pencernaan hewan berdarah panas serta dapat menginfeksi
saluran kemih (Sunatmo 2009). Bakteri ini dapat memproduksi gas lebih banyak
dari pada Escherichia coli sehingga sering menyebabkan kerusakan susu, keju,
dan makanan lainnya. Enterobacter aerogenes ditemukan pada tanaman atau
hewan yang telah mati dan sering menimbulkan lendir pada makanan (Winarno
1993).
Menurut Supardi dan Sukamto (1999), koliform termasuk bakteri yang
dapat mengubah karbohidrat melalui glikolisis. Proses yang tidak mengharuskan
adanya oksigen ini merupakan proses perombakan karbohidrat menjadi asam
piruvat yang akan diubah lagi menjadi asam laktat melalui fermentasi.
Terbentuknya asam laktat tersebut menyebabkan turunnya pH sehingga susu
menjadi asam dan menurunkan kualitas susu serta produk berbahan dasar susu.
Uji koliform dilakukan sebagai indikasi sanitasi pada proses pengolahan
bahan pangan. Adanya jumlah yang besar dari koliform dalam suatu bahan
pangan sangat tidak diinginkan dan menandakan sanitasi yang tidak baik. Jumlah
koliform dalam susu segar yang diperbolehkan menurut SNI 01-3141-2011
tentang Susu Segar adalah 20 cfu/ml.
Karakteristik Staphylococcus aureus
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri berbentuk bulat yang
terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad atau berkelompok seperti buah
anggur. Nama dari Staphylococcus sendiri berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari kata “staphyle” dan “coccos”, yang berarti seperti kelompok anggur
dan berbentuk kokus (bulat), sedangkan nama aureus berasal dari bahasa Latin
9
yaitu “gold” yang berarti bahwa bakteri ini tumbuh dalam koloni besar yang
berwarna kuning (Cook dan Cook 2005). Bakteri ini merupakan salah satu
penyebab foodborne diseases berupa keracunan makanan (Gaman dan
Sherrington 1992). Adapun klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Songer
dan Post (2005) yaitu:
Kingdom : Protista
Divisio : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
Pertumbuhan Staphylococcus aureus dipengaruhi oleh faktor dari kombinasi
lingkungan fisik seperti suhu, pH, dan air (Charlier et al. 2009), mempunyai suhu
optimum pada 37-40 °C, bahkan beberapa strain dapat tumbuh pada suhu rendah
yaitu 6-7.8 °C dan pada pH 4.5-9.3 dengan pH optimum 7.0-7.5 (Bennet 2005).
Bakteri gram positif ini menghasilkan enterotoksin yang tahan panas yang
ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya, serta dilepaskan ke dalam makanan
selama bakteri tumbuh dan memperbanyak diri dalam makanan (Jay 1996).
Karena itu, walaupun bakteri ini mudah mati dengan pemanasan suhu 66 °C
selama 10 menit, enterotoksin tersebut masih dapat bertahan pada suhu 100 °C
selama 30 menit (Cliver dan Riemann 2003).
Berdasarkan serologis enterotoksin tersebut dapat dibedakan menjadi tujuh
tipe yaitu SEA, SEB, SEC, SEC2, SEC3, SED, dan SEE (Forsythe 2000). Tipe A
dan D banyak ditemukan dalam makanan. Batas maksimum Staphylococcus
aureus dalam produk keju menurut SNI 01-3141-2011 tentang Susu Segar adalah
1 x 102 cfu/ml dengan uji toksin enterotoksin negatif.
Staphylococcus aureus umumnya disebarkan oleh para pengelola pangan,
selama pengolahan, pemasakan, dan penyiapannya. Sumber kontaminasi
Staphylococcus aureus pada susu segar dapat berasal dari lingkungan seperti air,
tanah, tanaman, tangan pemerah, kandang, puting, pakaian, peralatan pemerahan,
batuk atau bersin, dan rambut manusia (Jørgensen et al. 2005). Makanan yang
10
tercemar oleh Staphylococcus biasanya menunjukkan bahwa galur Staphylococcus
di dalam makanan yang tercemar sama dengan ada pada tubuh orang yang
menangani pangan tersebut (Pelczar dan Chan 2008). Keju yang dibuat dari susu
mentah atau kurang baik perlakuannya juga dapat menyebabkan masalah
keracunan makanan. Selama periode 5 tahun terakhir, Staphylococcus aureus
menyebabkan 5.1% wabah keracunan makanan di Eropa dan di Italia
menyebabkan 4 orang meninggal dari 233 wabah yang dilaporkan (Normanno et
al. 2005). Upaya pencegahan untuk mengurangi risiko bahaya Staphylococcus
aureus yang mencemari bahan pangan, maka pengelola pangan dan peternakan
harus memperhatikan higiene personal dengan baik (Gaman dan Sherrington
1992).
11
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan mulai 23 Februari sampai dengan 11 Maret 2011.
Sampel susu diambil di peternakan pemasok susu untuk pabrik keju. Pengujian
Mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pengambilan dan Jumlah Sampel
Sampel susu diambil di tempat penampungan yang berasal dari 6 peternakan
pemasok susu untuk pabrik keju dengan jumlah yang berbeda-beda dari setiap
peternakan. Sampel diambil dari pemerahan pagi dan sore. Peternakan 1
sebanyak 4 sampel, peternakan 2, 6 sampel, peternakan 3, 8 sampel, peternakan 4,
4 sampel, peternakan 5, 12 sampel, dan peternakan 6, 1 sampel. Jumlah
keseluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 35 sampel. Volume sampel minimal
500 ml. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian
kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel susu sapi, plate
count agar (Acumedia 7157A), Vogel Johnson agar (Oxoid CM0641), violet red
bile agar (M049S Himedia), buffered pepton water (BPW) 0.1% (Pronadisa Cat.
1402.00), dan alkohol 70%.
Alat yang digunakan adalah kantong plastik sampel steril, cool box, cawan
petri (Normax, diameter 10 cm), tabung reaksi (Iwaki Pyrex volume 15 ml),
sumbat tabung reaksi, pipet volumetrik ukuran 1 ml, 2 ml, 5 ml, dan 10 ml (Iwaki
Pyrex), kertas label, spidol marker, tissue, kain lap, gunting steril, pengocok
tabung (Vortex mixer VM-1000), pembakar bunsen, inkubator (Memmert INB
500), dan counter untuk menghitung koloni.
12
Pengujian Jumlah Total Mikroorganimse
Pengujian jumlah total mikroorganisme menggunakan metode hitungan
cawan dengan cara tuang (pour plate method). Sebanyak 1 ml sampel
dipindahkan dari 100
ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan
pengenceran 10-1
. Dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-2
, 10-3
, 10-4
, dan
10-5
. Pengujian ini dimulai dari pengenceran 10-3
sampai 10-5
. Selanjutnya
dimasukkan sebanyak 1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke dalam cawan
Petri, kemudian dituang 10 ml sampai dengan 15 ml plate count agar yang sudah
didinginkan hingga suhu 45 °C pada masing-masing cawan. Suspensi dan plate
count agar dihomogenkan dengan cara cawan diputar ke depan dan ke belakang
atau membentuk angka delapan dan didiamkan sampai memadat. Kemudian
diinkubasikan pada suhu 37 ºC selama 24 jam dengan posisi terbalik.
Cawan Petri yang mengandung jumlah koloni 25 sampai dengan 250 dipilih
untuk penghitungan koloni. Penghitungan koloni dilanjutkan pada cawan Petri
dengan pengenceran yang lebih tinggi bila pada cawan Petri dengan pengenceran
terendah berisi < 25 koloni dan atau > 250 koloni. Namun, jika seluruh cawan
Petri memiliki jumlah kurang dari 25, dicatat jumlah sebenarnya dari tingkat
pengenceran terkecil. Semua koloni yang tumbuh dihitung dalam setiap cawan
Petri. Rumus perhitungan jumlah total mikroorganisme:
Jumlah total mikroorganisme (cfu/ml) = jumlah koloni x faktor pengenceran*
*Faktor pengenceran =
Pengujian Koliform
Pengujian koliform menggunakan metode hitungan cawan dengan cara
tuang (pour plate method). Sebanyak 1 ml sampel dari 100
dipindahkan ke dalam
larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1
. Dengan cara yang
sama dibuat pengenceran 10-2
, 10-3
, dan 10-4
. Pengujian ini dimulai dari
pengenceran 10-2
sampai 10-4
. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 1 ml suspensi
dari setiap pengenceran ke dalam cawan Petri, kemudian dituang 10 ml sampai
13
dengan 15 ml agar violet red bile. Suspensi dan agar violet red bile
dihomogenkan dengan cara cawan diputar ke depan dan ke belakang atau
membentuk angka delapan dan didiamkan sampai memadat. Setelah agar violet
red bile memadat, dituang lagi 3-4 ml agar violet red bile cair 45 ºC-48 ºC
(overlay) di atas permukaan agar yang telah memadat sebelumnya dan dibiarkan
memadat kembali. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37 ºC selama 24 jam
sampai dengan 48 jam pada posisi terbalik.
Cawan Petri yang mengandung jumlah koloni 25 sampai dengan 250 dipilih
untuk penghitungan koloni. Penghitungan koloni dilanjutkan pada cawan Petri
dengan pengenceran yang lebih tinggi bila pada cawan Petri dengan pengenceran
terendah berisi < 25 koloni dan atau > 250 koloni. Namun, jika seluruh cawan
Petri memiliki jumlah kurang dari 25, dicatat jumlah sebenarnya dari tingkat
pengenceran terkecil. Koloni berwarna merah keunguan dikelilingi oleh zona
merah dengan diameter koloni 0.5 mm. Semua koloni yang tumbuh dihitung
dalam setiap cawan Petri. Rumus perhitungan jumlah mikroba sama seperti
rumus perhitungan pengujian jumlah total mikroorganisme.
Pengujian Staphylococcus aureus
Pengujian Staphylococcus aureus menggunakan metode hitungan cawan
dengan cara tuang (pour plate method). Sebanyak 1 ml sampel dipindahkan dari
100
ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1
.
Dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-2
, 10-3
, dan 10-4
. Pengujian ini
dimulai dari pengenceran 10-2
sampai 10-4
. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 1
ml suspensi dari setiap pengenceran ke dalam cawan Petri, kemudian dituang 10
ml sampai dengan 15 ml Vogel Johnson agar. Suspensi dan Vogel Johnson agar
dihomogenkan dengan cara cawan diputar ke depan dan ke belakang atau
membentuk angka delapan dan didiamkan sampai memadat. Kemudian
diinkubasikan pada suhu 37 ºC selama 24 jam sampai dengan 48 jam pada posisi
terbalik.
Cawan Petri yang mengandung jumlah koloni 25 sampai dengan 250 dipilih
untuk penghitungan koloni. Penghitungan koloni dilanjutkan pada cawan Petri
dengan pengenceran yang lebih tinggi bila pada cawan Petri dengan pengenceran
14
terendah berisi < 25 koloni dan atau > 250 koloni. Namun, jika seluruh cawan
Petri memiliki jumlah kurang dari 25, dicatat jumlah sebenarnya dari tingkat
pengenceran terkecil. Koloni Staphylococcus aureus pada Vogel Johnson agar
mempunyai ciri khas bundar, licin dan halus, konveks, diameter 2 mm sampai
dengan 3 mm, berwarna abu-abu sampai hitam pekat, dikelilingi zona opak,
dengan atau tanpa zona luar yang terang (clear zone). Tepi koloni putih dan
dikelilingi daerah yang terang. Konsistensi koloni seperti mentega atau lemak
jika disentuh oleh ose. Galur non-lipolitik memiliki sifat koloni sama seperti di
atas, tetapi tidak dikelilingi zona opak dan zona luar yang terang. Semua koloni
yang tumbuh dihitung dalam setiap cawan Petri. Rumus perhitungan jumlah
mikroba sama seperti rumus perhitungan pengujian jumlah total mikroorganisme.
Analisis Data
Hasil pengujian laboratorium terhadap uji jumlah total mikroorganisme,
koliform, dan Staphylococcus aureus yang berupa data kualitatif dianalisis secara
deskriptif.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Total Mikroorganisme
Jumlah rata-rata mikroorganisme pada sampel susu yang diperiksa adalah
2 087 731.0 + 3 666 559.0 cfu/ml pada sampel susu pagi dan 1 928 889 + 14 559
cfu/ml pada sampel susu sore. Hal tersebut (100%) melebihi batas jumlah
mikroorganisme yang ditetapkan dalam SNI 01-3141-2011 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroorganisme (BMCM) yaitu sebesar 1 000 000 cfu/ml.
Sampel susu pagi memiliki kandungan mikroorganisme lebih besar dari sampel
susu sore. Sampel susu dari peternak 3 menunjukkan jumlah rata-rata
mikroorganisme tertinggi dibandingkan dengan sampel susu dari peternak lain.
Jumlah rata-rata mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak
secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah rataan hasil pengujian jumlah total mikroorganisme dan
persentase cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik
keju
Peternakan
Pemerahan Pagi Pemerahan Sore
Rataan + simpangan baku
(cfu/ml)
Jumlah
sampel yang
melebihi
BMCM
Rataan + simpangan baku
(cfu/gml)
Jumlah
sampel
yang
melebihi
BMCM
1 (n=2,2) 74 500.0 + 21 213.2 0 (0.%) 545 000.0 + 247 487 0 (0%)
2 (n=4,2) 850 750.0 + 777 072.8 2 (50.0%) 3 115 000.0 + 139 300.3 2 (100%)
3 (n=3,5) 6 973 333.3 + 4 712 126.2 3 (100%) 2 008 000 .0 + 1 438 912.7 4 (80.0%)
4 (n=4) 215 000.0 + 74 864.3 0 (0%) - 0
5 (n=12) 2 295 583.3 + 4 154 583.0 5 (41.7%) - 0
6 (n=1) 61 000 0 (0%) - 0
Rata-rata
(n=35) 2 087 731.0 + 3 666 559.0 9 (34.6%) 1 928 889 + 14 559 6 (66.7%)
BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor SNI 01-3141-2011 tentang batas
maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar
BMCM pada susu segar = 106 cfu/ml
Rataan nilai pengujian jumlah mikroorganisme yang tinggi pada semua
sampel susu yang diperiksa menunjukkan gambaran populasi mikroorganisme
yang tumbuh sangat tinggi. Jumlah mikroorganisme yang diperoleh hanya
16
merupakan estimasi dan terdapat kemungkinan bahwa jumlah mikroorganisme
yang diperoleh lebih banyak dari pada mikroorganisme sesunguhnya (Lukman
2009). Secara normal susu yang baru dikeluarkan dari ambing mengandung
mikroorganisme dalam jumlah yang sedikit yaitu berkisar ratusan sampai ribuan
cfu/ml. Namun jumlah mikroorganisme akan bertambah dengan adanya
kontaminasi yang berasal dari tanah, air, udara, debu, peralatan pemerahan, dan
pekerja (Magadan et al. 2010).
Rataan jumlah mikroorganisme pada sampel susu pagi lebih tinggi daripada
susu sore. Hal tersebut disebabkan oleh waktu antara pemerahan dan penerimaan
susu di pabrik keju pada pagi hari lebih lama dari pada susu sore dan susu tidak
disimpan pada suhu dingin. Kondisi tersebut mengakibatkan mikroorganisme
tumbuh secara cepat dengan melakukan pembelahan sel dari satu sel menjadi dua
sel dalam waktu tertentu yang disebut waktu generasi (Lukman et al. 2009).
Menurut Hayes dan Boor (2001), sumber kontaminasi mikroorganisme
dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lingkungan yang meliputi air, tanah,
tanaman, dan kandang, tubuh sapi, dan juga peralatan pemerahan. Sumber
kontaminasi dari hewan dapat berasal dari puting yang tidak dibersihkan sebelum
pemerahan, yaitu meningkatkan jumlah mikroorganisme pada susu mencapai 300-
400 koloni/ml (Sanjaya et al. 2007). Kontaminasi tersebut dapat berupa sedimen
susu yang merupakan debris atau reruntuhan kotoran yang bisa melewati saringan
susu dan ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan jumlah total mikroorganisme
yang tinggi. Sumber kontaminasi dari hewan juga dapat berasal dari ambing yang
sakit, kondisi tersebut dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme pada susu
mencapai 25 000 koloni/ml (Jørgensen et al. 2005). Selain itu, tingginya jumlah
mikroorganisme pada sampel susu pagi juga dapat disebabkan adanya
kontaminasi udara dalam kandang. Menurut Sanjaya et al. (2007), kontaminasi
udara di dalam kandang dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme dalam susu
sekitar 100-1 500 koloni/ml.
Sumber kontaminasi mikroorganisme pada susu juga dapat berasal dari
peralatan pemerahaan yang kontak dengan susu seperti ember, milk can, tabung
penghisap dari mesin pemerahan, milk pipelines, dan bulk tanks. Peralatan
pemerahan yang tidak dibersihkan dengan benar dapat meninggalkan residu
17
sehingga menjadi media pertumbuhan mikroorganisme mencapai > 106 koloni/ml
(Hayes dan Boor 2001). Menurut Chambers (2002), kontaminasi mikroorganisme
lainnya dapat berasal dari air yang digunakan untuk membersihkan peralatan dan
kontainer pengangkut susu. Sumber kontaminasi dapat berasal dari air sumur,
danau, dan sungai yang digunakan tanpa mendapat perlakuan terlebih dahulu.
Mikroorganisme yang dapat mengontaminasi susu karena penggunaan air yang
tercemar yaitu koliform, Clostridium, dan Streptococcus. Anderson et al. (2009)
menambahkan bahwa pakan juga dapat menjadi sumber kontaminasi potensial
karena beberapa patogen dapat bertahan beberapa bulan pada pakan yang kering
seperti Salmonella.
Susu segar dapat mengandung mikroorganisme seperti Salmonella sp.,
Escherichia coli O157, Listeria monocytogenes, Lactobacillus sp., Streptococcus
sp., Stapylococcus sp., dan Micrococcus spp. Mikroorganisme tersebut dapat
menimbulkan penyakit dan menurunkan kualitas susu yang berakibat perubahan
dan penyingkiran susu karena terjadi pengasaman dan penggumpalan susu (Chye
et al. 2004). Mikroorganisme yang mengontaminasi susu dikelompokkan menjadi
dua, yaitu mikroorganisme patogen dan mikroorganisme pembusuk.
Mikroorganisme patogen meliputi Stapylococcus aureus, Escherichia coli, dan,
Salmonella sp., sedangkan mikroorganisme pembusuk antara lain adalah
Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. (Oliver et al. 2005).
Mikroorganisme patogen dan apatogen dapat berkembang dalam susu
karena susu memiliki kandungan zat gizi yang tinggi dan lengkap.
Mikroorganisme patogen dapat menjadi sumber zoonosis dan menimbulkan
gangguan kesehatan masyarakat (foodborne illnes) bila mikroorganisme tersebut
mengontaminasi susu dan produk berbahan dasar susu. Mikroorganisme apatogen
bila mengontaminasi susu dan produk berbahan dasar susu akan menjadi cepat
rusak, bau tengik, dan kualitasnya menurun (Sanjaya et al. 2007).
Susu segar dapat menjadi sumber terjadinya foodborne illness yang terkait
dengan konsumsi susu segar atau tidak dipasteurisasi, susu yang tidak dipanaskan
dengan baik atau susu yang tercemar kembali setelah pemanasan. Tahun 1998-
2005 di Amerika Serikat terjadi 45 wabah foodborne illness dan 1007 orang sakit
yang disebabkan mengonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi atau keju yang
18
dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi. Susu yang tidak dipasteurisasi dan
produk berbahan dasar susu yang dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi dapat
menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat dan kematian, seperti Shiga toksin
yang dihasilkan oleh Escherichia coli (Omiccioli et al. 2009).
Jumlah Koliform pada Susu
Jumlah rata-rata koliform pada sampel susu yang diperiksa adalah 213 114.2
+ 419 045.3 cfu/ml pada sampel susu pagi dan 144 077.7 + 136 168.7 cfu/ml pada
sampel susu sore. Jumlah tersebut melebihi Batas Maksimum Cemaran
Mikroorganisme (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI 01-3141-2011 tentang
Batas Maksimum Cemaran Koliform pada susu segar yaitu 20 cfu/ml. Sampel
susu pagi memiliki jumlah koliform lebih besar dari sampel susu sore. Sampel
susu dari peternak 5 menunjukkan jumlah rata-rata koliform tertinggi
dibandingkan dengan sampel susu dari peternak lain. Jumlah rata-rata
mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah rataan koliform dan persentase cemaran mikroba pada sampel
susu pemasok untuk pabrik keju
Peternakan
Pemerahan Pagi Pemerahan Sore
Rataan + simpangan
baku (cfu/ml)
Jumlah
sampel yang
melebihi
BMCM
Rataan + simpangan
baku (cfu/gml)
Jumlah
sampel
yang
melebihi
BMCM
1 (n=2,2) 14 300.0 + 9 475.2 2 (100%) 87 000.0 + 25 455.8 2 (100%)
2 (n=4,2) 113 574.0 + 217 623.1 4 (100%) 148 000 0 + 16 970.0 2 (100%)
3 (n=3,5) 71 800.0 + 94 382.8 3 (100%) 165 340.0 + 186 140.1 5 (100%)
4 (n=4) 3 450.0 + 1 347.8 4 (100%) - 0
5 (n=12) 321 139.2 + 4 177 723.8 12 (100%) - 0
6 (n=1) 2 200.0 1 (100%) - 0
Rata-rata
(n=35) 213 114.2 + 419 045.3 26 (100%) 144 077.7 + 136 168.7 9 (100%)
BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor SNI 01-3141-2011 tentang batas
maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar
BMCM koliform pada susu segar = 20 cfu/ml
19
Tingginya rata-rata kontaminasi koliform pada semua sampel susu dapat
disebabkan oleh adanya kontaminasi yang berasal dari air yang digunakan dalam
peternakan dan kurangnya kebersihan di dalam kandang. Air yang terkontaminasi
koliform dapat terjadi karena air terkontaminasi dengan feses hewan atau
manusia. Menurut Manning (2010), air yang terkontaminasi koliform merupakan
sumber kontaminasi yang paling penting di sebuah peternakan karena bakteri ini
dapat bertahan hidup dalam sedimen air selama enam bulan, bahkan dapat
bertahan hidup sepanjang musim dingin. Air yang telah terkontaminasi dapat
bercampur dengan air tanah dan menjadi sumber penularan ke tanaman dan
rumput yang dimakan oleh ternak melalui sistem irigasi serta mengontaminasi
sumber air yang berada di sekitar peternakan.
Faktor lain yang menyebabkan tingginya jumlah koliform pada semua
sampel susu (100%) yaitu jarak peternakan yang dekat dengan pemukiman
penduduk, sehingga meningkatkan penyebaran dan kontaminasi pada air yang
berasal dari pembuangan dan penampungan kotoran manusia yang terlalu dekat
dengan sumur, danau atau sungai sebagai sumber air (Winarno 1993). Tingginya
jumlah koliform pada enam peternakan tersebut menunjukkan tingkat kontaminasi
fekal yang tinggi pada susu. Hal ini disebabkan karena bakteri ini merupakan
mikroflora normal yang hidup pada saluran pencernaan mahluk hidup berdarah
panas dan dapat berada di lingkungan melalui feses (Ayu et al. 2005). Kesalahan
dalam pemerahan dan penyimpanan susu yang tidak menggunakan rantai
dingin.juga dapat meningkatkan jumlah bakteri di tempat penampungan susu atau
kendaraan penampung susu (Altalhi dan Hassan 2009).
Escherichia coli sebagai salah satu anggota dari koliform akan tumbuh aktif
dalam suhu sekitar 37 °C. Organisme ini dapat menyebabkan pembusukan yang
cepat pada susu karena mampu melakukan fermentasi laktosa pada suhu sekitar
35 °C. Escherichia coli dapat mengakibatkan penurunan kualitas susu dan produk
berbahan dasar susu sebagai sumber protein karena mampu mendegradasi protein
(Donnenberg 2002). Susu atau produk olahan susu yang terkontaminasi oleh
Escherichia coli bila dikonsumsi akan menyebabkan gejala gastritis seperti
muntah, diare, dan dapat disertai demam. Escherichia coli O15:H7 merupakan
salah satu serotipe dari Escherichia coli yang menghasilkan Shiga toksin. Toksin
20
tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada lapisan usus, diare berdarah, dan
sindrom hemolitik uremik yang ditandai dengan anemia hemolitik, serta gagal
ginjal (Johnson 2002).
Escherichia coli juga dapat mengontaminasi sayur dan buah-buahan akibat
penggunaan manur sebagai pupuk (Bhunia 2008). Menurut Armstrong (2008),
saat dalam pencernaan bakteri ini akan melintasi perut dan bagian pencernaan
yang pada akhirnya akan masuk pada bagian paling bawah dari saluran
gastrointestinal terutama pada bagian hubungan antara ileum dan kolon.
Kontaminasi dan infeksi Escherichia coli juga dapat terjadi secara langsung
dari manusia ke manusia melalui kontak dengan manusia yang telah terinfeksi.
Sebuah penelitian di Bangladesh menemukan 11% dari kontak individu yang
terinfeksi dapat menimbulkan infeksi kepada individu lain khususnya anak-anak.
Sumber infeksi Escherichia coli dapat berasal dari feses. Menurut Manning
(2010), 1 gram feses mengandung 10 juta bakteri. Escherichia coli dalam jumlah
10-100 sel saja dapat menimbulkan penyakit klinis sehingga praktik kebersihan
dan kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat menjadi faktor terjadinya
penularan.
Escherichia coli dapat menimbulkan penyakit intestinal atau ekstraintestinal
dari hasil ekspresi multiplikasi faktor virulensi (VFs), yaitu adhesion, toksin,
siderophores, dan sistem ekskresi. Faktor-faktor tersebut berperan dalam
menurunkan imunitas, menimbulkan inflamasi, dan juga luka pada permukaan
saluran pencernaan tetapi tidak berperan dalam proses replikasi (Johnson 2002).
Escherichia coli dapat menyebabkan infeksi sistemik (koliseptikemia) dan infeksi
pada saluran pencernaan (kolibasilosis enterik). Bakteri ini menyerang secara
sistemik melalui aliran darah, paru-paru, dan umbilikal. Tingkat keparahan
penyakit akan sesuai dengan rendahnya tingkat gamaglobulin dalam darah.
Infeksi pada saluran pencernaan terjadi melalui oral, kemudian berkolonisasi pada
usus serta menghasilkan toksin yang dapat menimbulkan diare, gangguan absorbsi
pada usus kecil, dan pada mukosa kolon (Atlas 2006). Selain Escherichia coli,
anggota dari koliform yang menimbulkan gastritis yaitu Hafnia dan Edwardsiella
(Sides 2006).
21
Anggota koliform yang lain yang dapat mencemari susu dan menimbulkan
kerugian pada peternak yaitu seperti Serratia. Mikroorganisme tersebut dapat
menimbulkan warna merah atau merah jambu pada susu, Pseudomnas synxantum
menyebabkan susu menjadi kuning dan juga bau yang tidak enak pada lapisan
krim, dan Pseudomnas syncyanea dapat menimbulkan warna biru pada susu. Hal
ini dapat mengakibatkan penyingkiran terhadap susu (Sanjaya et al. 2007). Selain
pada susu, perubahan warna juga dapat terjadi pada produk olahan berbahan dasar
susu, karena mikroorganisme tersebut membentuk pigmen yang merubah warna
produk berbahan dasar susu seperti keju (Dwidjoseputro 1994).
Koliform dapat membuat susu berlendir, tengik, susu pecah, asam, dan
menimbulkan bau (Winarno 1993). Hal tersebut membuat susu sebagai bahan
keju tidak layak digunakan karena akan menghasilkan keju yang memiliki aroma
dan rasa yang tidak baik serta menimbulkan rekahan atau lubang pada keju. Hal
tersebut terjadi karena koliform dapat memfermentasi laktosa menjadi asam dan
gas (Ayu et al. 2005).
Kadar koliform pada air yang digunakan untuk usaha peternakan maksimal
1 cfu/ml atau dapat dilakukan klorinasi dengan konsentrasi 50 ppm bila jumlah
koliform melebihi batas tersebut (Effendi 2003). Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan
Kualitas Air, air bersih merupakan air yang digunakan untuk keperluan sehari-
hari, memenuhi syarat kesehatan, dapat diminum bila sudah dimasak, maksimal
total koliform adalah 0 MPN/100 ml, dan fekal koliform maksimal 0 MPN/100
ml.
Jumlah Staphylococcus aureus pada Susu
Jumlah rata-rata Staphylococcus aureus pada sampel susu yang diperiksa
adalah 3 009.2 + 10 240.7 cfu/ml pada sampel susu pagi dan 1 960 + 743.1 cfu/ml
pada sampel susu sore, yang berarti melebihi jumlah Batas Maksimum Cemaran
(BMCM) yang ditetapkan SNI 01-3141-2011 tentang Batas Maksimum Cemaran
Staphylococcus aureus pada susu segar yaitu 100 cfu/ml. Sampel susu pagi
memiliki jumlah Staphylococcus aureus lebih besar daripada sampel susu sore.
Sampel susu dari peternak 5 menunjukkan jumlah rata-rata Staphylococcus aureus
tertinggi dibandingkan dengan sampel susu dari peternak lain. Jumlah rata-rata
22
mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase cemaran
mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju
Peternakan
Pemerahan Pagi Pemerahan Sore
Rataan + simpangan
baku (cfu/ml)
Jumlah
sampel yang
melebihi
BMCM
Rataan +
simpangan baku
(cfu/gml)
Jumlah
sampel yang
melebihi
BMCM
1 (n=2,2) 1950.0 + 636.4 2 (100%) 2275.0 + 601.0 2 (100%)
2 (n=4,2) 1237.5 + 944.0 4 (100%) 2175.0 + 997.0 2 (100%)
3 (n=3,5) 1920.0 + 1794.7 3 (100%) 1748.0 + 797.9 5 (100%)
4 (n=4) 387.0 + 229.2 4 (100%) - 0
5 (n=12) 5165 + 15081.8 12 (100%) - 0
6 (n=1) 100 0 (0%) - 0
Rata-rata
(n=35) 3009.2 + 10240.7 25 (96.1%) 1960 + 743.1 9 (100%)
BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor SNI 01-3141-2011 tentang batas
maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar
BMCM Staphyloccus aureuspada susu segar = 102 cfu/ml
Kontaminasi Staphylococcus aureus yang tinggi pada sampel susu dapat
disebabkan adanya kontaminasi yang berasal dari pekerja, sehingga bakteri ini
bertambah jumlahnya dan menimbulkan kontaminasi pada susu. Rataan jumlah
mikroorganisme pada sampel susu pagi lebih tinggi daripada susu sore. Hal
tersebut disebabkan oleh waktu antara pemerahan dan penerimaan susu di pabrik
keju pada pagi hari lebih lama dari pada susu sore, dan susu tidak disimpan pada
suhu dingin. Kondisi tersebut mengakibatkan mikroorganisme tumbuh secara
cepat dengan melakukan pembelahan sel dari satu sel menjadi dua sel dalam
waktu tertentu yang disebut waktu generasi (Lukman et al. 2009).
Tingginya kontaminasi Staphylococcus aureus pada semua sampel susu
dapat disebabkan kurangnya higiene personal pekerja saat melakukan pemerahan,
seperti pemerah tidak mencuci tangan sebelum melakukan pemerahan atau
mencuci tangan tidak menggunakan sabun. Menurut Cretenet et al. (2011),
keberadaan Staphylococcus aureus pada susu dan produk susu menunjukkan
23
praktik higiene personal yang tidak baik dari pekerja saat pemerahan, buruknya
kebersihan lingkungan sekitar kandang, dan dikaitkan dengan penanganan yang
tidak tepat oleh pekerja.
Sumber kontaminasi pada sampel susu dapat juga berasal dari intramamari
karena Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme yang dapat
menginfeksi intramamari. Menurut James et al. (2003), kontaminasi yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus secara umum berasal dari ambing yang
mengalami mastitis klinis atau mastitis subklinis. Susu yang berasal dari ternak
yang mengalami mastitis akan mengandung Staphylococcus aureus dalam jumlah
yang tinggi. Peningkatan jumlah sel somatik pada kasus mastitis dan
Staphylococcus aureus pada susu akan mempengaruhi kualitas susu serta hasil
produk berbahan dasar susu, seperti keju. Keju mengalami perubahan rasa dan
bau. Hal tersebut disebabkan adanya peningkatan aktivitas enzim proteolitik dan
lipolitik yang dihasilkan oleh sel somatik dan Staphylococcus aureus (Arques et
al. 2005). Protein dan lemak dalam susu merupakan komponen yang membentuk
rasa dan bau susu, sehingga jika protein dan lemak dipecah oleh mikroorganisme
akan mengakibatkan susu atau produk berbahan dasar susu seperti keju menjadi
tawar dan bau tengik (Rahman et al. 1992).
Staphylococcus aureus secara normal hidup pada manusia dan hewan.
Bakteri yang hidup secara anaerobik fakultatif ini 30-50% hidup pada saluran
hidung, tenggorokan, kulit manusia serta merupakan sumber kontaminasi terbesar
ke dalam susu, produk olahan susu, dan bahan pangan lainnya (James et al. 2003).
Menurut Soriano et al. (2002), manusia merupakan salah satu pembawa utama
bakteri Staphyloccous aureus. Bakteri ini dapat bertahan hidup di lingkungan
yang hangat dan basah seperti membran hidung manusia. Oleh sebab itu,
kontaminasi Staphylococcus aureus yang terjadi pada sampel susu peternakan
sebagian besar berasal dari pekerja, baik dari saluran pernapasan, kulit, dan baju
pekerja. Kontaminasi juga dapat berasal dari udara, air, dan kotoran di
lingkungan peternakan.
Keracunan pangan atau produk olahan yang disebabkan Staphylococcus
aureus menimbulkan gejala yang cepat seperti muntah, diare, dan sakit perut
namun jarang menimbulkan kematian. Keracunan ini disebabkan oleh
24
enterotoksin yang diproduksi Staphylococcus aureus (Ses) yang tahan terhadap
pemanasan 100 °C selama 30 menit. Toksin tersebut akan menimbulkan gejala 2-
6 jam setelah mengonsumsi susu atau produk susu yang terkontaminasi (Kousta et
al. 2010). Enterotoksin merupakan eksotoksin berupa protein rantai tunggal yang
bersifat antigenik (Cretenet et al. 2011). Enterotoksin digolongkan sebagai
neurotoksin berbahaya dan dapat menstimulasi pusat muntah di otak melalui
nervus vagus dan simpatis, sehingga dapat menimbulkan respon muntah yang
diawali dengan rasa mual (Adams dan Moss 2008). Menurut Malheiros et al.
(2010), jumlah Staphylococcus aureus untuk menyebabkan keracunan pada
manusia harus sudah mencapai minimum 1 000 cfu/g atau ml. Menurut Forsythe
dan Hayes (1998), untuk menimbulkan gejala klinis pada orang dewasa
Staphylococcus aureus harus menghasilkan 1 µg enterotoksin pada orang dewasa
dan anak-anak 0.2 µg enterotoksin.
Staphylococcus aureus juga memproduksi eksoprotein lainnya seperti toxic
shock syndrome toxin 1, the exfoliative toxin, dan leukocisin, namun hanya
enterotoksin yang dapat menimbulkan penyakit (Garcia dan Heredia 2009).
Menurut Lancette dan Bennet (2001), enterotoksin pada bahan pangan yang
terkontaminasi dapat teridentifikasi apabila jumlah Staphylococcus aureus >106
sel/g. Hal ini menyebabkan identifikasi enterotoksin yang dihasilkan
Staphylococcus aureus dalam susu sulit ditemukan karena kadar enteroksin pada
bahan pangan yang terkontaminasi jumlahya sangat kecil.
Keberadaan sejumlah besar Staphylococcus aureus dalam susu dalam
jumlah yang tinggi bukan berarti bahwa enteroktosin juga dihasilkan dalam
jumlah yang tinggi pula, karena banyak faktor yang mempengaruhi produksi
enterotoksin seperti jenis makanan, nilai pH, suhu, keberadaan oksigen, dan
keberadaan mikroorganisme lain yang dapat menghambat pertumbuhan
Staphylococcus aureus dan produksi enteroktosin (Forsythe dan Hayes 1998).
Normanno et al. (2005) menambahkan bahwa hanya sekitar 30% dari galur
Staphylococcus aureus yang dapat menghasilkan enterotoksin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian keracunan makanan oleh
enterotoksin Staphylococcus aureus adalah: (1) galur Staphylococcus aureus
penghasil enterotoksin berada pada makanan selama produksi, pengolahan, atau
25
penyiapan makanan; (2) bakteri dipindahkan dari sumber ke makanan; (3)
makanan harus tercemar dengan jumlah ribuan Staphylococcus aureus per gram
atau biasanya lebih dan makanan sudah dipanaskan sebelum tercemar
Staphylococcus aureus atau makanan mengandung banyak garam atau gula; (4)
bakteri harus dapat bertahan hidup di makanan, tidak tumbuh berlebihan atau
dihambat oleh mikroorganisme lain, atau dimatikan oleh pemanasan, pH rendah,
atau kondisi yang tidak buruk sebelum Staphylococcus aureus menghasilkan
enterotoksin; (5) makanan, setelah tercemar oleh Staphyloccous aureus, kondisi
makanan mendukung pertumbuhan bakteri tersebut; (6) makanan yang tercemar
disimpan pada rentang suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perbanyakan
Staphylococcus aureus sampai menghasilkan cukup enterotoksin; (7) jumlah
enterotoksin dalam makanan yang dikonsumsi harus melebihi ambang batas
individu sehingga menghasilkan keracunan makanan (Forsythe dan Hayes 1998).
Pencegahan dan Pengendalian Staphyloccous aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat mengontaminasi susu,
produk berbahan dasar susu, dan menimbulkan keracunan pangan. Perlu
dilakukan pencegahan dan pengendalian untuk mengurangi dan menghilangkan
dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh Staphyloccous aureus, dalam
proses pemerahan dan juga dalam proses pengolahan susu segar menjadi produk
olahan.
Pencegahan terhadap Staphylococcus aureus ditujukan pada kebersihan
kandang termasuk peralatan kandang, kebersihan sapi, dan pengelolaan
peternakan secara rutin. Kandang yang selalu bersih akan mengurangi
kemungkinan kontaminasi pada susu, karena itu kepedulian peternak dan pekerja
kandang mengenai kebersihan harus ditingkatkan (Saleh 2004). Pencegahan juga
dilakukan dengan menjaga kebersihan tubuh sapi karena Staphylococcus aureus
akan selalu dapat diisolasi dari kulit sapi yang secara klinis tampak normal.
Selain itu, di kulit juga terdapat mikroorganisme patogen lain yang dapat menjadi
sumber kontaminasi. Menjaga kebersihan sapi dapat dilakukan dengan
memandikan sapi setiap hari untuk menghilangkan mikroorganisme secara
langsung.
26
Kontaminasi dapat dicegah dengan menjaga kebersihan ambing yaitu
dengan membersihkan ambing dengan kain lap bersih dan penggunaan sisi
berbeda dari kain lap untuk tiap puting (Handayani et al. 2010). Pencegahan
kontaminasi Staphylococcus aureus juga dapat dilakukan menjaga kebersihan
pada peralatan kandang yang digunakan, peralatan harus mudah dibersihkan, dan
semua bahan yang kontak dengan susu tidak bersifat toksik serta tidak
menimbulkan perubahan bau.
Higiene personal merupakan salah satu cara yang penting dalam pencegahan
terhadap kontaminasi Staphylococcus aureus yaitu pemerah mencuci tangan
dengan sabun dan air yang bersih sebelum pemerahan. Mencuci tangan dengan
cara yang benar dapat mengurangi dan menghilangkan penyebaran
mikroorganisme melalui tangan. Oleh karena itu, metode mencuci tangan yang
benar sangat penting agar cuci tangan tidak menjadi sia-sia. Higiene personal
juga dapat dilakukan dengan tidak memperkenankan pekerja yang sakit kontak
dengan sapi, susu, peralatan, dan fasilitas kandang karena manusia merupakan
sumber penyakit yang dapat menjadi sumber kontaminasi pada susu melalui
napas, rambut, dan keringat (Marriott 1999).
Cara lain yang dapat dilakukan untuk pencegahan terhadap kontaminasi
Staphylococcus aureus yaitu dengan pemberian pakan dilakukan setelah
pemerahan, karena Staphylococcus aureus dapat berasal dari tanaman yang
digunakan sebagai pakan ternak (Jørgensen et al. 2005).
Pengendalian terhadap Staphylococcus aureus dapat dilakukan dengan
melakukan pemeliharan kebersihan selama perjalanan dan saat pendistribusian
susu, pemanasan susu yang optimal sebelum dikonsumsi, dan penerapan rantai
dingin pada susu (Shekhar et al. 2010). Gustiani (2009) menambahkan bahwa
pengendalian Staphylococcus aureus dapat dilakukan melalui penerapan sistem
keamanan pangan pada setiap proses produksi melalui penerapan good farming
practices (GFP), good handling practices (GHP), dan good manufacturing
practices (GMP). Pengendalian juga dapat dilakukan dengan meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, dan kepedulian masyarakat tentang akibat cemaran
Staphylococcus aureus sehingga dapat mengurangi dan menghilangkan dampak
yang ditimbulkan oleh Staphylococcus aureus pada susu.
27
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, sampel susu segar yang
diperoleh dari semua peternakan yang dipasok sebagai bahan baku keju
melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroorganisme (BMCM) yang
ditetapkan dalam SNI 01-3141-2011 tentang Batas Maksimum Cemaran
Mikroorganisme dalam Susu Segar.
2. Rataan jumlah total mikroorganisme dalam susu segar dari enam peternakan
2 046 886 + 3 223 165.3 cfu/ml, koliform 167 562 + 283 724.0 cfu/ml, dan
Staphylococcus aures 2 739 + 8 801.1 cfu/ml. Tingginya rata-rata cemaran
mikroorganisme tersebut terkait dengan kurangnya kebersihan lingkungan
kandang dan peralatan kandang, kebersihan air yang digunakan untuk
kebutuhan peternakan, dan praktik higiene personal yang kurang baik.
Saran
1. Diharapkan dapat dilakukan penelitian keberadaan koliform,
Staphylococcus aures, dan bakteri patogen lainnya pada susu segar dengan
sampel yang memadai yang dilengkapi dengan wawancara dan observasi
menggunakan kuesioner agar diperoleh faktor-faktor risikonya.
2. Pemerintah dan perusahaan diharapkan melakukan studi knowledge,
attitude, and practices (KAP) tentang higiene dan keamanan susu segar
pada kepada peternak untuk dapat dirancang program pembinaan dalam
rangka mewujudkan produk hewan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).
3. Peternak diharapkan dapat meningkatkan praktik higiene yang baik selama
pemerahan dan menggunakan rantai dingin selama pendistribusian susu,
serta memperhatikan kesehatan hewan ternak untuk memproleh kualitas
susu segar yang baik.
4. Dinas yang membidangi kesehatan masyarakat veteriner diharapkan
melakukan program monitoring dan survei terhadap kualitas susu segar
lebih lanjut dan secara teratur serta pemberian informasi serta edukasi
tentang pentingnya menjaga sanitasi kepada peternak.
28
DAFTAR PUSTAKA
Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology. Ed ke-3. Cambridge: RSC
Pub.
Altalhi AD, Hassan SA. 2009. Bacterial quality of raw milk investigated by
Escherichia coli and isolated analysis for spesific virulence-gene markers.
Food Control 20:913-917.
Anderson RC, Ricke SC, Lungu B, Johnson MG, Oliver C, Horrocks SM, Nisbet
DJ. 2009. Food Safety Issue and Microbiology of Beef. Di dalam:
Heredia N, Wesley I, Garcia S, editor. Microbiologically Safe Food. New
Jersey: John Wiley and Sons.
Armstrong GD. 2008. Pathogenic Mechanism of the Enterohemorragic
Escherichia coli Some New Insights. Di dalam: Wilson CL, editor.
Microbial Food Contamination. New York: CRC Pr.
Arques JL, Rodriguez G, Gaya M, Medina M. 2005. In-activation of
Staphylococcus aureus in raw milk chese by combinations of high-
pressure treatments and bacteriocin producing lactic acid bacteria. Journal
of Applied Microbiology 98:254-260.
Atlas RM. 2006. Microbiological Media for the Examination of Food. New
York: CRC Pr.
Ayu RDS, Indrawani YM, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi Escherichia
coli O157:H7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya.
Makara Kesehatan 9(1):23-28.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Susu Segar. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
[BPSRI] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2009. Produksi Susu
Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia.
Bennet RW. 2005. Staphylococcus aureus. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker
TC, Gould GW, editor, The Microbiological Safety and Quality of Food.
Maryland: Marcel Dekker.
Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and
Pathogenesis. New York: Springer.
Chambers JV. 2002. The Microbiology of Raw Milk. Di dalam: Robinson RK,
editor. Dairy Microbiology Handbook. Ed ke-3. New York: John Wiley
and Sons.
29
Charlier C, Cretenet M, Even S, Le Loir Y. 2009. Interactions between
Staphylococcus aureus and lactic acid bacteria an old story with new
persepective. International Journal of Food Microbiology 131:30-39.
Chye FY, Abdullah A, Ayob MK. 2004. Bacteriological quality and safety of
raw milk in Malaysia. Food Microbiology 21:535-541.
Cliver DO, Riemann HP. 2003. Foodborne Diseases. Ed ke-2. New York:
Academic Pr.
Cook LF, Cook KF. 2005. Deadly Disease and Epidemics Staphylococcus
aureus Infection. Philadelphia: Chelsea House Pub.
Cretenet M, Even S, Loir YL. 2011. Unveiling Staphylococcus aureus
enterotoxin production in dairy product: a review of recent advances to
face a new challenges. Dairy Science and Technology 91:127-150.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan RI No
416/Menkes/Per/IX/1990. Jakarta: Departemen Kesehatan.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2010. Total milk consumption.
http://pphp.deptan.go.id [26 Juni 2012].
Donnenberg M. 2002. Escherichia coli: Virulence Mechanism of Multipurpose
Pathogen. San Diego: Academic Pr.
Dwidjoseputro D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Ed ke-2. Jakarta:
Djambatan.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Ed ke-5. Yogyakarta: Kanisius.
Elmoslemany AM, Keefe GP, Dohoo IR,Wichtel JJ, Stryhn H, Dingwell RT.
2010. The association between bulk tank milk analysis for raw milk
quality and on farm management practices. Preventive Veterinary
Medicine 95:32-40.
Forsythe SJ, Hayes PR. 1998. Food Hygiene, Microbiology, and HACCP. Ed
ke-3. Maryland: Aspen Pub.
Forsythe SJ. 2000. The Microbiology of Safe Food. London: Blackwell Science.
Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi, dan Mikrobiologi. Gardjito M, penerjemah; Kasmidjo RB editor.
Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: The Science of
Food, an Introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology.
Garbutt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. London: Arnold Pr.
Garcia S, Heredia N. 2009. Foodborne Pathogens and Toxins: an Overview. Di
dalam: Heredia N, Wesley I, Garcia S, editor. Microbiologically Safe
Food. New Jersey: John Wiley and Sons.
30
Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak
(daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 28:96-100.
Handayani, Baiq R, Werdiningsih, Wiharyani. 2010. Kondisi Sanitasi dan
Keracunan Makanan. Nusa Tenggara Barat: Fakultas Agroteknologi dan
Sosial, Universitas Mataram.
Hayes MC, Boor K. 2001. Raw Milk and Fluid Milk Products. Di dalam: Mart
EH, Steele JL, editor. Applied Dairy Microbiology. Ed ke-2. New York:
Marcel Dekker.
Jakobsen RA, Heggebø R, Sunde EB, Skjervheim M. 2011. Staphylococcus
aureus and Listeria monocytogenes in Norwegian raw milk cheese
production. Food Microbiology 28:492-496.
James PS, Daifas DP, El-Khoury W, Austin JW. 2003. Microbial Safety of
Bakery Product. Di dalam: Novak JS, Sapers GM, Juneja VK, editor.
Microbial Safety of Minimally Processed Foods. New York: CRC Pr.
Jasson V, Jacxsens L, Luning P, Rajkovic A, Uyttendaela M. 2010. Alternative
microbial methods: an overview and selection criteria. Food Microbiology
27:710-730.
Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. Ed ke-5. California: Apac Pub.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology. Ed ke-7.
California: Business Media.
Johnson JR. 2002. Evolution of Pathogenic Escherichia coli. Di dalam:
Donnenberg M, editor. Virulence Mechanisms of a Versatile Pathogen.
San Diego: Academic Pr.
Jørgensen HJ, Mørk T, Rørvik LM. 2005. The occurrence of Staphylococcus
aureus on a farm with small scale production of raw milk cheese. Journal
of Dairy Science 88:3810-3817.
Kousta M, Mataragas M, Panagiotis S, Eleftherios H, Drasinos. 2010. Prevalance
and source of chese contamination with pathogens at farm and processing
levels. Food Control 21:805-815.
Lancette GA, Bennet RW. 2001. Staphylococcus aureus and Staphylococcal
Enterotoxins. Di dalam: Downes FP, Ito K, editor. Compendium of
Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed ke-4.
Washington: American Public Health Association.
Little CL, Rhoades JR, Sagoo SK, Harissa J, Greenwood M, Mithani V, Granta K,
McLauchlin J. 2008. Microbiological quality of retail cheeses made from
raw, thermized or pasteurized milk in the UK. International Journal of
Food Microbiology 25:304-312.
31
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR. 2009. Mikrobiologi Susu. Di dalam: Pisestyani H, editor. Higiene
Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Lukman DW. 2009. Penghitungan Jumlah Mikroorganisme dengan Metode
Hitungan Cawan. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor.
Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Magadan AH, Ladero V, Martinez N, Roi BD, Martin MC, Alvarez MA. 2010.
Detection of Microbial Spoilage of Milk and Dairy Products. Di dalam:
Nollet LML, Toldra, editor. Handbook of Dairy Foods Analysis. New
York: CRC Pr.
Malheiros PDS, Passos CTD, Casarin LS, Serraglio L, Tondo FC. 2010.
Evaluation of growth and transfer of Staphylococcus aureus from poultry
meat to surfaces of stainless steel and polyethylene and their disinfection.
Food Control 21:298-301.
Manning SD. 2010. Escherichia coli Infections. America: Chelsea House Pr.
Marriott NG. 1999. Principles of Food Sanitation. Ed ke-4. Maryland: An
Aspel Pub.
McSweeny PLH. 2009. Cheese Problems Soved. New York: CRC Pr.
Millogo V, Sjaunja KS, Ouedraogo GA, Agenas S. 2010. Raw milk hygiene at
farms, processing units, and local markets in Burkina Faso. Food Control
21:1070-1074.
Normanno G, Firinu A, Virgilio S, Mula G, Dambrosio A, Poggiu A, Decastelli
L, Mioni R, Scuota S, Bolzoni G, Giannatale E, Salinetti AP, La Salandra
G, Bartoli M, Zuccon F, Pirino T, Sias S, Parisi A, Quaglia NC, Celano
GV. 2005. Coagulase-positive staphylococci and Staphylococcus aureus
in food products marketed in Italy. International Journal of Food
Microbiology 98:73–79.
Oliver SP, Jayarao BM, Almeida RA. 2005. Foodborne pathogens in milk and
dairy farm environtment: food safety and public health implications.
Foodborne Pathogens and Disease 2:115-129.
Omiccioli E, Amagliani G, Brandi G, Magnani M. 2009. A new platform for real
time PCR detection of Salmonella sp., Listeria monocytogenes, and
Escherichia coli O157 in milk. Food Microbiology 26:615-622.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Ed ke-1.
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta:
UI Pr. Terjemahan dari Elements of Microbiology.
32
Rahman A, Farrdiaz S, Rahayu WP, Suliantari. 1992. Teknologi Fermentasi
Susu. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Insititut Pertanian
Bogor.
Rasolofo EA, St-Gelais D, Lapointe G, Roy D. 2011. Molecular analysis of
bacterial population structure and dynamics during cold storage of
untreated and treated milk. International Journal of Food Microbiology
28:465-471.
Saleh E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Medan:
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, Lukman DW,
Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Shekhar C, Motina E, Kumar S. 2010. Microbiological quality of raw milk and
its public health significance. Journal of Dairying, Foods, and Home
Sciences 29 (1):15-18.
Sides JJ. 2006. Analisis koliform susu segar sebagai paramater.
www.doh.wa.goy/ehp/dw/program/coliform.htm [24 Juli 2012].
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2011. N0. SNI 01–3141–2011. Susu Segar.
Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal
Agent of Animal Disease. Maryland: Elsevier.
Sunatmo TI. 2009. Mikrobiologi Esensial. Jakarta: Ardy Agency.
Soriano JM, Font G, Moltó JC, Manes J. 2002. Enterotoxigenic staphylococci
and their toxins in restaurant foods. Trends in Food Science and
Technology 13: 60-67.
Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Taylor SL. 1995. The Structure of Milk Implication for Sampling and Storage.
Di dalam: Jensen RG, editor. Handbook of Milk Composition. New York:
Academic Pr.
Vicosa GN, Moraes PM, Yamazi AK, Nero LA. 2010. Enumeration of coagulase
and thermonuclease positive Staphylococcus sp. in raw milk and fresh soft
cheese: an evaluation of Baird-Parker agar, rabbit plasma fibrinogen agar
and the Petrifilm Staphylococcus sp. express count system. Food
Microbiology 27:447-452.
Widyastika DM. 2008. Deteksi bakteri gram negatif (Salmonella sp., E.coli, dan
koliform) pada susu bubuk skim impor [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
33
Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Winarno FG, Ivone E. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. Bogor: M-BRIO
Pr.
Wron B. 2006. Microbiological Risk Assessment for Emerging Pathogens. Di
dalam: Motarjemi M, Adams M, editor. Emerging Foodborne Pathogens.
New York: CRC Pr.
34
LAMPIRAN
35
No
Kode Sampel
TPC Koliform S. aureus
Kesesuaian Hasil Berdasarkan
SNI 01-3141-2011 (cfu/ml)
TPC Koliform S. aureus
1x106 20 1x10
2
Pemerahan Pagi
1 SRN 001 760 000 7 600 2 400
2 SRN 002 730 000 21 000 1 500
3 AKN 001 31 000 2 800 1 100
4 AKN 002 1 360 000 4 600 2 600
5 AKN 003 73 000 6 900 470
6 AKN 004 1 660 000 44 000 780
7 ARI 001 2 020 000 6 400 400
8 ARI 002 7 500 000 29 000 3 900
9 ARI 003 11 400
000 180 000 1 460
10 GND 001 213 000 3 000 270
11 GND 002 320 000 5 300 730
12 GND 003 148 000 2 100 300
13 GND 004 179 000 3 400 250
14 BBC 001 61 000 2 200 100
15 GMR 001 260 000 98 000 310
16 GMR 002 44 000 6 300 1 070
17 GMR 003 104 000 46 000 170
18 GMR 004 2 000 000 591 000 320
19 GMR 005 1 610 000 1 610 000 970
20 GMR 006 2 900 000 181 000 310
21 GMR 007 830 000 488 000 1 110
22 GMR 008 890 000 147 000 330
23 GMR 009 79 000 370 300
24 GMR 010 15 100
000 1 440 000 1 340
36
SNI 01-3141-2011 tentang Susu Segar
25 GMR 011 980 000 103 000 2 750
26 GMR 012 2 750 000 116 000 53 000
Rata-rata 2 087 731 213 114.2 3 009.2
Stdev 3 666 559 419 045.4 10 240.8
Pemerahan Sore
1 AKN 005 4 100 000 160 000 1 470
2 AKN 006 2 130 000 136 000 2 880
3 SRN 003 370 000 69 000 1 850
4 SRN 004 720 000 105 000 2 700
5 ARI 004 660 000 84 000 410
6 ARI 005 1 210 000 9 700 1 910
7 ARI 006 1 690 000 73 000 1 720
8 ARI 007 2 080 000 180 000 2 400
9 ARI 008 4 400 000 480 000 2 300
Rata-rata 1 928 889 144 077.8 1 960
Stdev 1 455 974 136 168.8 743.1
Persentase sesuai SNI 01-3141-2011 0.5 0 0.03
50.0 0 3.0