Post on 26-Oct-2021
KORELASI ANTARA PENYALAHGUNAAN POLIZAT DENGAN
DEFISIT KELANCARAN VERBAL
Afina Syarah Lidvihurin, Nurmiati Amir
1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia-Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jl. Salemba Raya no. 6 Jakarta Pusat 10430, Jakarta, Indonesia
E-mail: afina.syarah@gmail.com
Abstrak
Prevalensi penyalahguna narkoba di Indonesia masih tinggi. Penyalahgunaan narkoba, khususnya penyalahgunaan polizat, dapat berdampak buruk terhadap kemampuan kognitif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara penyalahgunaan polizat, khususnya jumlah zat yang disalahgunakan, dengan defisit kelancaran verbal. Uji kelancaran verbal dilakukan pada residen Balai Besar Rehabilitasi BNN, Bogor pada bulan Agustus sampai Oktober tahun 2017 melalui studi cross-sectional ini. Sebanyak 53 residen penyalahguna polizat dipilih dengan metode consecutive sampling. Data penyalahgunaan polizat diperoleh melalui wawancara dengan subjek rekam medis. Hasil pengujian kelancaran verbal menunjukkan bahwa frekuensi defisit kelancaran verbal adalah sebanyak 54,7% dari 53 orang subjek. Setelah dilakukan analisis penelitian, didapatkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah zat yang disalahgunakan dengan defisit kelancaran verbal pada subjek. Analisis data lainnya menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara usia dengan kelancaran verbal (p=0,044) dan korelasi antara usia penyalahgunaan pertama kali dengan kelancaran verbal (p=0,004). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara penyalahgunaan ekstasi dengan kelancaran verbal dan tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara durasi penyalahgunaan dengan kelancaran verbal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa defisit kelancaran verbal tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan jumlah zat yang disalahgunakan. Faktor lain yang memiliki korelasi signifikan dengan kelancaran verbal adalah usia penyalahguna dan usia penyalahgunaan pertama kali.
Correlation Between Polydrug Abuse and Verbal Fluency Deficit
Abstract
Prevalence of drug user in Indonesia is still high. Drug abuse, particularly polydrug abuse, can adversely affect cognitive abilities. This study aims to determine the correlation between polydrug abuse, specifically the amount of substances abused, with verbal fluency deficit. Phonological verbal fluency task conducted towards resident of Balai Besar Rehabilitasi BNN, Bogor in August until October 2017 in this cross-sectional study. Fifty three residents who are polydrug user were chosen by consecutive-sampling method. Polydrug abuse data was obtained through interviewing subjects and medical record. Phonological verbal fluency task’s results showed that 54.7% subjects had verbal fluency deficit. Based on the study analysis, there were no significant correlation between amount of substances abused and verbal fluency deficit. Other data showed that there is a significant correlation between age and verbal fluency (p=0,044) and correlation between onset and verbal fluency (p=0,004). There is no significant relation between ectasy group user and verbal fluency and there is no significant correlation between duration of drug abuse and verbal fluency. We concluded that verbal fluency deficit has no significant correlation with the amount of substances abused. Another factors that have significant correlation with verbal fluency are age and onset of abuse. Keywords : polydrug abuse, drugs, verbal fluency, phonological verbal fluency task
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
Pendahuluan Berdasarkan penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN), prevalensi penyalahgunaan
narkoba di Indonesia mencapai 4.098.029 orang pada tahun 2015 pada kelompok usia 10-59
tahun. Kelompok usia dengan penyalahgunaan narkoba terbanyak adalah rentang 21-35 tahun.
Pada tahun 2015, terjadi peningkatan tren tersangka kasus narkoba secara keseluruhan,
meliputi narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya.1 Pada tahun 2012, jenis narkoba
yang paling banyak disalahgunakan adalah shabu, minuman keras, ganja, obat daftar G,
ekstasi, heroin, dan benzodiazepin secara berurutan.2
Sekitar 55% responden dalam survei BNN tahun 2014 menyatakan pernah mengkonsumsi
narkoba lebih dari satu jenis. Kondisi ini disebut dengan polydrug use.3 Pada tahun 2013,
terdapat 348 dari 797 orang yang menggunakan multiple drug atau polydrug use di Balai
Besar Rehabilitasi BNN.4 Terdapat berbagai alasan seseorang menyalahgunakan polizat,
diantaranya untuk meningkatkan efek dari salah satu zat, untuk mengurangi efek samping,
untuk meredakan gejala putus obat, untuk meredakan nyeri kronik, untuk mengatasi kesulitan
tidur, untuk mengatasi gangguan mental, karena terpengaruh lingkungan, dan karena
ketersediaan.5
Dampak yang diakibatkan dapat bervariasi tergantung pada kekuatan dan jumlah zat yang
dikonsumsi. Penggunaan kombinasi zat atau polizat dapat meningkatkan efek salah satu zat.
Terkadang penggunaan zat secara bersamaan dapat memberikan efek yang lebih berat
daripada yang diperkirakan.5 Dampak dari kombinasi zat yang memiliki efek fisik sama,
seperti penyalahgunaan dua atau lebih stimulan atau penyalahgunaan dua atau lebih depresan,
dapat menyebabkan efek yang berbahaya. Penyalahgunaan zat yang memiliki efek fisik sama
dapat meningkatkan dampak terhadap fungsi normal otak dan tubuh.6
Konsumsi obat-obatan psikoaktif tidak terkontrol dengan densitas tingi dan jangka waktu
pemakaian yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi pada otak. Berdasarkan penelitian
tahun 1978 oleh dr. Grant dkk., penyalahgunaan polizat secara signifikan menyebabkan hasil
yang kurang baik pada uji kelancaran verbal, uji abstraksi, dan uji pemecahan masalah.7 Akan
tetapi, masih belum diketahui apakah jumlah polizat yang disalahgunakan berkaitan dengan
defisit kelancaran verbal. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui korelasi antara
penyalahgunaan polizat dengan defisit kelancaran verbal. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor yang berperan dalam terjadinya defisit kelancaran verbal.
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
Tinjauan Teoritis Polizat
Penggunaan polizat merupakan penggunaan kombinasi dari zat yang berbeda atau kondisi
dimana seseorang mengkonsumsi satu zat saat masih berada di bawah pengaruh zat lain.
Polizat yang digunakan dapat berupa alkohol, obat-obatan yang diresepkan oleh dokter, dan
atau zat terlarang.6 Penyalahgunaan polizat dapat meningkatkan risiko intoksikasi, mabuk
berat, perilaku berisiko, kecelakaan, kekerasan, ketergantungan pada satu zat atau lebih,
masalah dengan keluarga dan lingkungan, gangguan mental, gangguan kesehatan seperti
penyakit jantung dan hepar, dan overdosis.5
Penggunaan polizat dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori berdasarkan waktu dan
kategori berdasarkan efek. Kategori berdasarkan waktu diartikan sebagai penggunaan
polizat dalam jangka waktu tertentu. Kategori ini terbagi menjadi dua, yaitu simultaneous
polydrug use (SPU) yang berarti penggunaan dua zat atau lebih dalam suatu waktu dan
concurrent polydrug use (CPU) yang berarti penggunaan zat yang berbeda dalam waktu
yang berbeda dengan jangka waktu 12 bulan. Kategori yang kedua ialah kategori
berdasarkan efek. Kategori ini diartikan sebagai penggunaan polizat berdasarkan efek dari
kombinasi zat. Sebagai contoh, kombinasi obat dikonsumsi untuk meningkatkan atau
menurunkan efek dari zat atau kombinasi obat dikonsumsi untuk membentuk efek baru.8
Berikut ini beberapa contoh kombinasi zat yang berbahaya untuk tubuh, yaitu merokok
marijuana dan konsumsi alkohol dalam kesempatan yang sama dapat menyebabkan seseorang
mengalami intoksikasi lebih berat daripada saat mengkonsumsi salah satu zat tersebut;
penyalahguna heroin sering mengkonsumsi benzodiazepin untuk meningkatkan efek depresan
dari heroin sehingga memperlambat pernapasan, terdapat risiko tinggi untuk mengalami
overdosis hingga henti napas dan meninggal akibat kekurangan oksigen; penggunaan zat
stimulan seperti amfetamin dan kokain dapat menutupi efek dari alkohol karena peminum
alkohol dapat menjadi lebih waspada sehingga menyebabkan rasa percaya diri berlebih dan
kurang baik dalam menilai sesuatu yang menyebabkan peningkatan perilaku berisiko; dan
penggunaan amfetamin dan ekstasi secara bersamaan dapat menyebabkan overstimulasi
sehingga seseorang merasa kepanasan, dehidrasi, dan kelelahan.5
Penyalahgunaan Marijuana
Penyalahgunaan marijuana jangka panjang dan konsumsi alkohol dapat menyebabkan
gangguan kognitif.7,9 Marijuana dapat mengubah waktu persepsi dan koordinasi dengan cara
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
berikatan dengan reseptor kanabinoid di ganglia basalis, korteks frontal, dan serebelum yang
merupakan area otak yang berperan dalam kontrol motorik dan memori. Marijuana juga
memiliki efek pada fungsi psikomotorik.7
Kanabinoid utama yang terdapat pada tanaman kanabis antara lain delta-9-
tetrahidrocannabinol (THC), cannabidiol (CBD), dan cannabinol (CBN). THC merupakan
komponen psikoaktif primer, sedangkan CBD merupakan komponen nonpsikoaktif yang
berperan sebagai kanabinoid sekunder. Cannabinoid yang terutama berperan pada efek
psikoaktif yang diinginkan oleh pengguna marijuana adalah THC. Umumnya, kadar THC
ditemukan lebih tinggi dibandingkan CBD. THC ditemukan pada getah yang melapisi
pucuk bunga dan daun bagian atas dari tanaman kanabis betina.7
Terdapat dua jenis reseptor kanabinoid di dalam tubuh, yaitu tipe CB1 dan CB2. Reseptor
CB1 umumnya ditemukan di otak dan terkonsentrasi di daerah yang terlibat dalam
pengaturan memori (hipokampus), respon emosi (amigdala), kognisi (korteks serebri),
motivasi (bagian depan sistem limbik), dan koordinasi motorik (serebelum). Reseptor CB2
umumnya ditemukan pada bagian tubuh yang berperan dalam regulasi sistem imun. Selain
itu, reseptor CB2 berperan dalam fungsi lainnya antara lain pada sistem gastrointestinal,
hepar, jantung, otot, kulit, dan organ reproduksi. Reseptor CB1 memiliki peran penting
dalam efek psikoaktif akibat marijuana.7
Reward pathway dopamin pada otak melibatkan reseptor CB1 dan CB2. Pada penelitian,
reseptor tersebut menghasilkan respon terhadap THC dengan meningkatkan pelepasan
dopamin sehingga menghasilkan efek euforia akibat marijuana. THC menyebabkan lebih
sedikit pelepasan dopamin dibandingkan dengan kokain atau metamfetamin, namun
pelepasan dopamin terjadi lebih cepat karena marijuana dikonsumsi dengan cara dihisap.7 Penyalahgunaan Alkohol
Penelitian sebelumnya menunjukkan orang yang mengkonsumsi alkohol lebih dari empat kali
dalam seminggu memiliki nilai kelancaran verbal fonemik yang rendah.9 Minuman alkohol
menandung etanol yang merupakan zat psikoaktif dengan relaksan dan menyebabkan efek
euforia.10 Alkohol dapat memengaruhi fungsi neurotransmiter tertentu untuk memengaruhi
perilaku. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan antara neurotransmisi eksitatorik dan
inhibitorik pada otak. Dengan adanya paparan alkohol jangka pendek, keseimbangan ini
bergeser menuju inhibisi melalui peningkatan fungsi neurotransmiter dan neuromodulator
inhibitorik seperti GABA, glisin, dan adenosin. Selain itu, keseimbangan dapat bergeser
menuju inhibisi melalui penurunan fungsi neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat dan
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
aspartat. Alkohol berperan sebagai depresan melalui peningkatan neurotransmisi inhibitorik,
penurunan neurotransmisi eksitatorik, atau melalui kombinasi keduanya.11
Alkohol juga dapat meningkatkan neurotransmisi inhibitorik melalui peningkatan aktivitas
neuromodulator inhibitorik seperti adenosin. Aktivasi sistem adenosin dapat menyebabkan
sedasi, sedangkan inhibisi dari sistem adenosin menyebabkan stimulasi. Setelah paparan
alkohol jangka panjang, otak berusaha untuk mengkompensasi efek depresan akibat alkohol
sehingga otak mengurangi neurotransmisi inhibitorik dan meningkatkan neurotransmisi
eksitatorik. Saat terjadi gejala putus obat akibat alkohol, kompensasi oleh otak tidak lagi
diimbangi dengan konsumsi alkohol. Hal ini menyebabkan keseimbangan bergeser mejadi
eksitasi berlebih.11 Konsumsi alkohol memengaruhi beberapa bagian otak terutama lobus
frontalis.12 Penyalahgunaan Opioid
Penyalahguna opiat dan heroin menunjukkan adanya defisit pada kelancaran verbal pada
penelitian sebelumnya.13,14 Penyalahgunaan opioid merupakan kondisi medis yang ditandai
dengan gangguan pola penggunaan opioid yang menyebabkan kerusakan atau kesakitan.15
Opioid bekerja pada reseptor opioid untuk menghasilkan berbagai efek terapeutik maupun
efek samping.16 Terdapat tiga jenis reseptor opioid, yaitu reseptor mu (m), delta (d), dan
kappa (k). Peptida opioid dalam tubuh, endorfin, berinteraksi dengan reseptor m, enkefalin
dengan reseptor d, dan dinorfin dengan reseptor k. Opioid dapat menghambat pelepasan
neurotransmiter dengan menghambat masuknya ion kalsium melalui peningkatan pengeluaran
ion kalium atau melalui inhibisi adenylate cyclase (AC) yang merupakan enzim konversi
adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP).17
Opioid memiliki potensi untuk menghasilkan efek analgesik, perubahan mood,
ketergantungan fisik, toleransi, dan efek penghargaan. Opioid bekerja pada sistem saraf pusat
dan perifer. Di dalam sistem saraf pusat, opioid memiliki efek di berbagai area, termasuk pada
korda spinalis. Pada sistem saraf perifer, opioid bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus
submukosa yang berperan pada efek konstipasi akibat opioid. Pada jaringan perifer seperti
sendi, opioid bekerja untuk mengurangi inflamasi.17 Penyalahgunaan Benzodiazepin
Penyalahgunaan benzodiazepin jangka pendek dapat menimbulkan efek gangguan kognitif
dan memori.9 Benzodiazepin meningkatkan efek gamma-aminobutyric acid (GABA) yang
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
merupakan neurotransmiter inhibitorik utama pada sistem saraf pusat. Benzodiazepin
berikatan dengan kompleks reseptor GABAA.18 Benzodiazepin berperan sebagai modulator
alosterik positif dengan meningkatkan konduksi ion klorida sepanjang membran sel saraf
ketika GABA sudah berikatan dengan reseptor. Hal ini meningkatkan influks ion klorida yang
menyebabkan hiperpolarisasi sehingga terjadi peningkatan perbedaan antara potensial
istirahat dan potensi ambang batas.19
Pada penggunaan benzodiazepin jangka pendek, dapat timbul efek letargi, kelelahan,
mengantuk; gangguan motorik, penurunan reaction time, dan ataksia; gangguan kognitif dan
memori; kebingungan; kelemahan otot atau hipotonus; depresi; nistagmus, vertigo; disarthria,
bicara menjadi tidak jelas; pandangan kabur, mulut kering; sakit kepala; euforia paradoks,
rasa senang berlebihan, hipomania, perilaku ekstrem yang tidak dibatasi (khususnya pada
penyalahguna dosis tinggi); dan potensiasi dari depresan sistem saraf pusat lain seperti
alkohol dan opioid dapat meningkatkan kemungkinan depresi napas.18
Efek penggunaan benzodiazepin jangka panjang serupa dengan penggunaan benzodiazepin
jangka pendek. Efek jangka panjang tersebut antara lain munculnya toleransi terhadap efek
sedatif dan psikomotor, ketidakmampuan untuk menunjukkan emosi, gangguan menstruasi
dan pembesaran payudara, serta terjadinya ketergantungan setelah konsumsi lebih dari 3-6
minggu.18 Penyalahgunaan Ekstasi
Penyalahgunaan ekstasi jangka panjang maupun rekreasional berasosiasi dengan defisit
kelancaran verbal.14 MDMA bekerja dengan meningkatkan konsentrasi serotonin ekstrasel di
otak, namun kemudian konsentrasi serotonin mengalami penurunan. MDMA juga memicu
peningkatan dopamin. Serotonin berperan dalam regulasi perilaku agresif, mood, aktivitas
seksual, pola tidur, sensitivitas terhadap nyeri, memori, dan temperatur tubuh. Dopamin
berperan dalam kontrol pergerakan, kognisi, motivasi, dan sistem penghargaan.18
Penyalahgunaan kokain dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif seperti fungsi
eksekutif, pengambilan keputusan, konsentrasi, gangguan persepsi visual, peningkatan
impulsifitas, gangguan kecepatan psikomotor, gangguan ketangkasan, dan penurunan aspek
verbal dan memori. Gangguan pada fungsi kognitif dapat dikaitkan dengan gangguan korteks
prefrontal.20
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
Penyalahgunaan Kokain
Kokain bekerja dengan menurunkan permeabilitas saraf terhadap natrium sehingga
menimbulkan efek anestesi topikal. Hal ini membuat membran saraf menjadi stabil sehingga
terjadi peningkatan ambang batas eksitasi elektrik dan inhibisi depolarisasi. Kokain memiliki
dapat menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap nyeri dan sentuhan. Selain itu, kokain
dapat menghilangkan sensasi rasa dan bau pada hidung dan mulut. Kokain memicu pelepasan
norepinefrin presinaps dan menghambat reuptake norepinefrin, dopamin, dan serotonin pada
saraf presinaps sistem saraf pusat. Pada sistem saraf tepi, kokain menstimulasi pelepasan
norepinefrin di saraf presinaps dan menghambat reuptake epinefrin dan norepinefrin. Hal ini
menyebabkan efek euforia, meningkatkan rangsangan seksual, meningkatkan keinginan untuk
bicara, dan meningkatkan aktivitas sosial.21
Kelancaran Verbal
Kelancaran verbal merupakan kemampuan untuk membentuk dan menyampaikan kata dengan
kriteria tertentu. Defisit kelancaran verbal dapat berbentuk perseverasi verbal atau
pembentukan kata yang tidak sesuai dengan kategori tertentu. Nilai normal kelancaran verbal
penting untuk komunikasi optimal sehingga dapat berfungsi normal dalam pekerjaan dan
hubungan sosial. Uji kelancaran verbal merupakan uji yang diterima dan digunakan secara
luas untuk menilai kelancaran verbal.22 Pengukuran kelancaran verbal digunakan untuk
menilai kompetensi tertentu dan/atau defisiensi kognitif termasuk fungsi eksekutif,
kecerdasan verbal, bahasa dan ukuran kosakata, kecepatan memproses, kecepatan psikomotor,
dan struktur memori semantik. Responden diminta untuk menyebutkan kata sebanyak-
banyaknya dan menyesuaikan dengan kategori yang ditentukan. Responden menyebutkan
kata-kata dengan batas waktu tertentu, umumnya dalam 60 detik atau 3 menit, dengan
penilaian kelancaran melalui pengukuran total jumlah kata-kata yang benar per kategori.23
Terdapat dua jenis kelancaran yang dinilai, yaitu kelancaran fonemik (letter fluency) dan
kelancaran semantik (category fluency).22-25 Kelancaran fonemik merujuk pada pembentukan
kata-kata yang didahului oleh huruf tertentu. Uji kelancaran semantik dilakukan dengan
menyebutkan kata-kata dalam kategori semantik yang spesifik, seperti kategori hewan, buah-
buahan, dan lain-lain.23 Walaupun uji kelancaran fonemik dan semantik terlihat serupa,
terdapat perbedaan penting di antara keduanya. Kelancaran semantik menggambarkan
pekerjaan yang dilakukan sehari-hari, seperti menyusun daftar belanja sehingga responden
dapat menghubungkan antarkata sesuai dengan kelompoknya. Sebaliknya pada kelancaran
fonemik, kata-kata dibentuk berdasarkan kategori fonemik yang jarang dilakukan saat
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
berbicara sehari-hari sehingga responden harus menekan aktivitas semantik dan membentuk
strategi baru.24 Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi performa uji kelancaran
verbal. Faktor yang cukup penting adalah pengaruh budaya dan latar belakang linguistik.25
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross-sectional yang dilakukan
di Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), Bogor pada bulan Agustus
sampai Oktober tahun 2017. Sampel meliputi pasien rehabilitasi yang pernah menjadi
penyalahguna polizat di BNN tahun 2017 yang sesuai dengan kriteria inklusi dan lolos
kriteria eksklusi. Kriteria inklusi dari penelitian ini antara lain, subjek merupakan pasien di
Balai Besar Rehabilitasi BNN, Bogor; subjek tergolong sebagai penyalahguna polizat; subjek
pernah menyalahgunakan polizat minimal selama 1 tahun; subjek tidak mengkonsumsi obat
dalam 2 jam terakhir sebelum pengambilan data. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah
apabila subjek tidak bersedia diwawancara. Jumlah subyek yang diperlukan dalam penelitian
adalah 47 orang. Untuk menentukan subyek, peneliti melakukan teknik consecutive sampling.
Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian antara lain kuesioner uji kelancaran verbal
tervalidasi dan rekam medis. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan uji kelancaran
fonemik. Data kelancaran fonemik diambil melalui penghitungan jumlah kata yang diawali
dengan huruf S, N, dan A yang dapat disebutkan subjek dalam 1 menit untuk setiap huruf.
Rekam medis dan wawancara digunakan untuk mengetahui jumlah zat yang pernah
disalahgunakan oleh pasien.
Variabel independen yang diukur adalah penyalahgunaan polizat, khususnya jumlah polizat
yang disalahgunakan, yang diperoleh melalui wawancara dengan subjek. Variabel independen
lainnya yang diukur adalah jenis zat yang disalahgunakan, durasi penyalahgunaan, usia
penyalahguna, dan usia penyalahgunaan pertama kali (onset) yang diperoleh melalui rekam
medis. Variabel dependen yang diukur adalah kelancaran verbal yang diperoleh dengan uji
kelancaran verbal. Variabel perancu yang ditemukan adalah kekuatan zat yang dikonsumsi
oleh subjek sebelumnya, meliputi frekuensi dan dosis zat.
Data primer yang diperoleh akan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20. Data
kelancaran verbal yang diolah adalah jumlah kata yang benar disebutkan oleh subjek, lalu
dikonversi secara manual sebagai defisit kelancaran verbal. Data yang telah diperoleh
dianalisis dalam bentuk analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat digunakan
untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian, mengetahui distribusi frekuensi variabel
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
yang diteliti, dan normalitas data. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui korelasi
antara variabel dependen dan independen. Jika distribusi data normal, peneliti menggunakan
uji Pearson. Akan tetapi, peneliti akan menggunakan uji Spearman jika distribusi data tidak
normal.
Hasil Penelitian Karakteristik Subjek
Subjek yang didapatkan pada penelitian ini adalah 53 orang penyalahguna polizat yang
merupakan pasien rehabilitasi di Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, Bogor.
Karakteristik subjek dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1. Gambaran Demografis Sampel
Karakteristik Jumlah (n = 53) % Jenis Kelamin
Laki-laki 42 79,2 Perempuan 11 20,8
Usia (tahun) <20 9 17
20 – 29 23 43,4 30 – 39 19 35,8 ≥40 2 3,8
Pendidikan terakhir SD dan sederajat 2 3,8
SMP dan sederajat 4 7,5 SMA dan sederajat 40 75,5
Universitas/Akademi 7 13,2 Durasi Penyalahgunaan
(tahun)
1 – 5 11 20,7 5 – 9 25 47,2
10 – 14 3 5,7 15 – 19 8 15,1 ≥20 6 11,3
Jumlah Polizat 2 13 24,5 3 17 32,1 4 12 22,6 5 5 9,4 6 4 7,6 7 1 1,9 8 1 1,9
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
Uji Kelancaran Verbal
Uji kelancaran verbal digunakan untuk menentukan adanya defisit kelancaran verbal pada
sampel. Batas nilai normal terendah dari uji kelancaran verbal yang ditentukan peneliti adalah
12 kata untuk huruf S, 6 kata untuk huruf N, 10 kata untuk huruf A, dan 27 kata untuk total
ketiga huruf. Sampel dengan skor di bawah batas skor normal dianggap mengalami defisit
kelancaran verbal. Hasil uji kelancaran verbal pada sampel digambarkan dalam tabel 2. Tabel 2. Gambaran Hasil Uji Kelancaran Verbal
Uji Kelancaran Verbal
Jumlah (n = 53) % Defisit Normal Defisit Normal
S 27 26 50,9 49,1 N 31 22 58,5 41,5 A 29 24 54,7 45,3
S, N, A 29 24 54,7 45,3 Korelasi Antara Penyalahgunaan Polizat dengan Kelancaran Verbal
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS Statistics 20.0. Tahap
pertama yang peneliti lakukan adalah menguji normalitas data pada variabel yang diteliti.
Berdasarkan uji normalitas ini, data kelancaran verbal memiliki distribusi data yang normal,
sedangkan data jumlah polizat yang disalahgunakan memilki distribusi data tidak normal.
Suatu data dikatakan normal jika signifikansi yang diperoleh pada uji normalitas >0,05.
Peneliti melakukan uji transformasi berupa logaritma pada data jumlah polizat, namun
distribusi data tetap tidak normal. Karena salah satu data memiliki distribusi tidak normal,
pengujian hipotesis dilakukan dengan uji nonparametrik Spearman. Hasil analisis korelasi
antara jumlah polizat dengan kelancaran verbal dapat dilihat pada tabel 3. Tidak ditemukan
korelasi yang signifikan antara kedua variabel tersebut (p=0,433). Tabel 3. Uji Korelasi Spearman: Jumlah Polizat dan Kelancaran Verbal
Jumlah Polizat Berdasarkan Jenis
Jumlah Kata Benar Huruf S,N,A
Jumlah Polizat Berdasarkan Jenis
Koefisien Korelasi 1,000 ,110
Sig. (2-tailed) ,433 N 53 53 Jumlah Kata Benar Huruf S,N,A
Koefisien Korelasi ,110 1,000
Sig. (2-tailed) ,433 N 53 53
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
Hubungan Penyalahgunaan Ekstasi dengan Kelancaran Verbal
Peneliti melakukan uji t independen untuk mengetahui hubungan penyalahgunaan ekstasi
dengan kelancaran verbal pada penyalahguna polizat. Tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara kelompok penyalahguna ekstasi dengan defisit kelancaran verbal (p=0,21).
Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pula terhadap jumlah kata error yang
disebutkan responden saat pengujian (p=0,148). Korelasi Usia dengan Kelancaran Verbal
Faktor lain yang dapat memengaruhi kelancaran verbal adalah usia responden. Berdasarkan
analisis menggunakan uji korelasi nonparametrik Spearman, terdapat korelasi yang signifikan
antara usia dengan kelancaran verbal (p=0,044) dan korelasi yang terbentuk bersifat positif
sangat lemah (r=0,278) yang berarti semakin tua seseorang maka semakin baik kelancaran
verbal yang dimiliki. Tabel 4.6 Uji Korelasi Spearman: Usia Responden dan Kelancaran Verbal Jumlah Kata
Benar Huruf S,N,A
Usia Responden
Jumlah Kata Benar Huruf S,N,A
Koefisien Korelasi 1,000 ,278*
Sig. (2-tailed) . ,044 N 53 53 Usia Responden Koefisien Korelasi ,278* 1,000 Sig. (2-tailed) ,044 N 53 53 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Korelasi Usia Penyalahgunaan Pertama Kali (Onset) dengan Kelancaran Verbal
Setelah dilakukan analisis menggunakan uji korelasi nonparametrik Spearman,
korelasi antara usia penyalahgunaan pertama kali dengan kelancaran verbal menunjukkan
adanya korelasi yang signifikan (p=0,004). Hubungan korelasi antara keduanya bersifat
positif sangat lemah (r=0,389) yang menandakan semakin muda seseorang menyalahgunakan
zat untuk pertama kali, maka defisit kelancaran verbal semakin berat. Tabel 4.7 Uji korelasi Spearman: usia pertama kali dan kelancaran verbal Jumlah Kata
Benar Huruf S,N,A
Usia Pertama Kali
Jumlah Kata Benar Koefisien Korelasi 1,000 ,389**
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
Huruf S,N,A Sig. (2-tailed) ,004 N 53 53 Usia Pertama Kali Koefisien Korelasi ,389** 1,000 Sig. (2-tailed) ,004 N 53 53 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Korelasi Durasi Penyalahgunaan dengan Kelancaran Verbal
Analisis korelasi durasi penyalahgunaan dengan kelancaran verbal menggunakan uji korelasi
nonparametrik Spearman menunjukkan korelasi yang tidak signifikan (p=0,641). Tabel 4.8 Uji Korelasi Spearman: Durasi Penyalahgunaan dan Kelancaran Verbal Jumlah Kata
Benar Huruf S,N,A
Durasi Penyalahgunaan
Jumlah Kata Benar Huruf S,N,A
Koefisien Korelasi 1,000 -0,66
Sig. (2-tailed) . ,641 N 53 53 Durasi Penyalahgunaan Koefisien Korelasi -0,66 1,000 Sig. (2-tailed) ,641 . N 53 53
Pembahasan
Korelasi Antara Jumlah Polizat yang Disalahgunakan dengan Kelancaran Verbal
Pada penelitian ini, peneliti melakukan pengujian kelancaran verbal pada residen Balai Besar
Rehabilitasi BNN Bogor. Berdasarkan hasil penelitian, tidak terdapat korelasi yang signifikan
antara jumlah polizat yang disalahgunakan dengan kelancaran verbal. Hasil penelitian ini
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Pada penyalahguna zat, efek yang diberikan oleh zat tertentu terhadap kelancaran verbal
seseorang dapat berbeda-beda. Durasi dan jenis zat yang disalahgunakan menjadi determinan
dari penurunan fungsi serebral akibat obat-obatan. Penyalahguna alkohol dan marijuana
(ganja) tidak menunjukkan adanya gangguan pada uji kelancaran verbal dibandingkan dengan
penyalahguna zat lain, namun pada penelitian lainnya ditemukan bahwa penggunaan
marijuana jangka pendek memengaruhi fungsi kognitif, salah satunya kelancaran verbal.14,26
Penelitian lainnya menunjukkan tidak adanya gangguan kognitif pada memori kerja dan
kelancaran verbal pada pengguna marijuana yang tidak mengkonsumsi marijuana selama 5
minggu.14
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
Pada penyalahguna opiat, ditemukan bahwa subjek menghasilkan skor yang lebih rendah pada
kelancaran verbal dibandingkan dengan kontrol. Pada penyalahguna ekstasi, setelah dua tahun
penggunaan rutin terdapat defisit terus menerus pada kelancaran verbal. Pengguna ekstasi
rekreasional di Hong Kong juga menunjukkan defisit kelancaran verbal.14 Faktor Lain yang Memengaruhi Kelancaran Verbal
Peneliti melakukan analisis faktor lainnya yang dapat memengaruhi kelancaran verbal.
Berdasarkan analisis tersebut, terdapat korelasi yang signifikan antara kelancaran verbal
dengan usia responden dan usia penyalahgunaan pertama kali. Kelancaran verbal dapat
dipengaruhi oleh usia dan pendidikan berdasarkan penelitian oleh Zimmermann dkk.27 Akan
tetapi, pada penelitian yang dilakukan oleh Donny Hendrawan, latar belakang akademik dan
gender mahasiswa di Indonesia tidak memiliki efek signifikan pada uji kelancaran verbal.
Kelancaran verbal berasosiasi secara signifikan dengan kecerdasan dan aspek kelancaran dari
kreativitas.25
Pada penelitian yang dilakukan oleh Elgamal dkk., subjek dengan kelompok usia lebih tua
memiliki kelancaran verbal lebih baik dibandingkan kelompok subjek yang lebih muda jika
faktor kecepatan memproses dikontrol. Hal ini menandakan kelompok usia lebih tua dengan
pengetahuan superior terhadap karakteristik fonemik kata memiliki keuntungan lebih besar
terhadap uji kelancaran jenis ini.28 Penelitian yang dilakukan oleh Konstantopoulos dkk.
menunjukkan bahwa kelancaran verbal pada anak bergantung pada usia dan tidak dipengaruhi
oleh gender.29 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tidak memiliki penelitian pendahulu sehingga belum terdapat penelitian sejenis
sebelumnya dan merupakan penelitian cross-sectional. Adanya faktor perancu yang tidak
dapat dikontrol dapat memengaruhi hasil penelitian ini. Faktor tersebut adalah kekuatan zat
yang meliputi dosis dan frekuensi penyalahgunaan zat. Interaksi antar jenis zat tidak dinilai
dalam penelitian ini yang dapat menjadi faktor perancu. Selain itu, saat pengambilan data
cukup sulit untuk melakukan pengujian di ruang yang tenang. Peneliti sulit menghindari hal-
hal yang dapat mengganggu fokus responden. KESIMPULAN
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
Berdasarkan penelitian ini, tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara jumlah zat yang
disalahgunakan dengan defisit kelancaran verbal. Ditemukan sebanyak 54,7% subjek
mengalami defisit kelancaran verbal. Jenis zat yang paling banyak disalahgunakan subjek
adalah metamfetamin (ekstasi), namun tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan
antara penyalahgunaan ekstasi dengan kelancaran verbal pada penyalahguna polizat. Pada
penelitian ini, ditemukan korelasi yang signifikan antara usia dan onset (usia penyalahgunaan
pertama kali) dengan defisit kelancaran verbal, namun tidak ditemukan adanya korelasi yang
signifikan antara durasi penyalahgunaan dengan defisit kelancaran verbal.
SARAN Peneliti menyarankan agar penelitian selanjutnya menilai fungsi eksekutif lain seperti
kemampuan perencanaan, fleksibilitas, dan kemampuan mencapai tujuan pada penyalahguna
polizat dengan menggunakan alat ukur lain, seperti Battery Test. Selain itu, sebaiknya
penelitian selanjutnya mempertimbangkan durasi abstinence karena beberapa zat yang
disalahgunakan menyebabkan dampak yang reversibel. Perlu dilakukan kontrol terhadap
faktor perancu yang dapat ditemukan. Peneliti juga menyarankan agar penelitian selanjutnya
melakukan analisis interaksi zat pada penyalahgunaan polizat. Hal ini disebabkan mekanisme
interaksi antar zat yang disalahgunakan masih belum banyak diketahui sehingga perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.
DAFTAR REFERENSI
1. BNN. Jurnal data pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
(P4GN) tahun 2015. 2016:4. 2. Kementerian Kesehatan RI. Buletin jendela data dan informasi kesehatan. 2014:13. 3. Utomo B, Prasetyo S, Nadjib M, Sucahya PK. Laporan akhir survei nasional perkembangan
penyalahguna narkoba tahun anggaran 2014. Jakarta : BNN; 2015. p. 22. 4. BNN. Jurnal data pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
(P4GN) tahun 2013. 2014:65. 5. NCETA. Resource kit for GP trainers on illegal drug issues. Canberra: Department of Health and
Ageing; 2004. p.238-41. 6. Black E. Polydrug use: what you need to know about mixing drugs. [Place unknown]: National Drug
and Alcohol Research Centre; 2014. p.1. 7. WHO. The health and social effects of nonmedical cannabis use. Geneva: WHO; 2016. p.2-28. 8. Ives R, Ghelani P. Polydrug use (the use of drugs in combination): a brief review. Drugs: Educ Prev
Polic. 2006;13(3):225-42. 9. Allsop S, Baigent M, Baker A, Batey B, Brady M, Copeland J, et al. Alcohol and other drugs: a
handbook for health professionals. Canberra: Commonwealth of Australia; 2004. p.31-6,95-7,119-22, 147-9.
10. Oscar-Berman M, Marinkovic K. Alcohol: effects on neurobehavioral functions and the brain. Neuropsychol Rev. 2007;17(3):239-57.
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017
11. Valenzuela CF. Alcohol and neurotransmitter interactions. Alcohol Health Res World. 1997;21(2):144-8.
12. Allsop S, Baigent M, Baker A, Batey B, Brady M, Copeland J, et al. Alcohol and other drugs: a handbook for health professionals. Canberra: Commonwealth of Australia; 2004. p.31-6,95-7,119-22, 147-9.
13. Rapeli P, Kivisaari R, Autti T, Kahkonen S, Puuskari V, Jokela O, et al. Cognitive function during early abstinence from opioid dependence: a comparison to age, gender, and verbal intelligence matched controls. BMC Psychiatry. 2006;6(1).
14. van Holst RJ, Schilt T. Drug-related decrease in neuropsychological functions of abstinent drug users. Curr Drug Abuse Rev. 2011 Mar;4(1):42-56.
15. CDC. Opioid overdose [Internet]. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention; 2016 Dec 14 [cited 2017 Aug 11]. Available from: https://www.cdc.gov/drugoverdose/opioids/
16. NIDA. Opioids [Internet]. [Place unknown]: National Institute on Drug Abuse; [cited 2017 Aug 10]. Available from: https://www.drugabuse.gov/drugs-abuse/opioids
17. Chahl L. Experimental and clinical pharmacology: opioids – mechanism of action. Aust Prescr. 1996;19:63-5.
18. Allsop S, Baigent M, Baker A, Batey B, Brady M, Copeland J, et al. Alcohol and other drugs: a handbook for health professionals. Canberra: Commonwealth of Australia; 2004. p.31-6,95-7,119-22, 147-9.
19. Rudolph U, Mohler H. GABA-based therapeutic approaches: GABAA receptor subtype functions. Curr Opin Pharmacol. 2006;6(1):18-23.
20. Aronson JK. Meyler’s side effect of drugs. 16th ed. USA: Elsevier; 2016. p.492-542. 21. Drug Monograph. Cocaine. Drug Information; 2014. 22. Wysokinski A, Zboralski K, Orzechowska A, Galecki P, Florkowski A, Talarowska M. Normalization
of the verbal fluency test on the basis of results for health subjects, patients with schizophrenia, patients with organic lesions of the chronic nervous system and patients with type 1 and 2 diabetes. Arch Med Sci. 2010 Jun 30;6(3):438-46.
23. Batty R, Francis A, Thomas N, Hopwood M, Ponsford J, Johnston L et al. Verbal fluency, clustering, and switching in patients with psychosis following traumatic brain injury (PFTBI). Psychiatry Res. 2015;227(2-3):152-9.
24. Shao Z, Janse E, Visser K, Meyer A. What do verbal fluency tasks measure? Predictors of verbal fluency performance in older adults. Front Psychol. 2014;5.
25. Hendrawan D, Hatta T. Evaluation of stimuli for development of the Indonesian version of verbal fluency task using ranking method. Psychologia. 2010;53(1):14-26.
26. Coullaut-Valera R, Arabaiza-Diaz Del Rio I, de Arrue-Ruiloba R, Coullaut-Valera J, Bajo-Breton R. Cognitive deterioration associated with the use of different psychoactive substances. Actas Esp Psiquatr. 2011;39(3):168-73.
27. Zimmermann N, Parente M, Joanette Y, Fronseca RP. Unconstrained, phonemic and semantic verbal fluency: age and education effects, norms and discrepancies. Psicol Reflex Crit. 2014;27(1).
28. Elgamal SA, Roy EA, Sharratt MT. Age and verbal fluency: the mediating effect of speed of processing. Can Geriatr J. 2011;14(3):66-71.
29. Kontantopoulos K, Vogazianos P, Vayanos E. The predictive nature of age and gender in the verbal fluency test in the Greek Cypriot children: normative data. Commun Disord Deaf Stud Hearing Aids. 2014;2:118.
Korelasi antara ..., Afina Syarah Lidvihurin, FK UI, 2017