Post on 22-Mar-2019
STULOS 12/2 (September 2013) 277-302
KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC), KEPEMIMPINAN
INSTRUKSIONAL (IL) DAN PRESTASI SISWA (SA):
STUDI KASUS NILAI MATEMATIKA SISWA KELAS 8
DI INDONESIA1
Yanti
Abstrak: Usaha peningkatan kinerja sekolah secara cepat diukur dari
kemampuan dalam menghasilkan siswa-siswi berprestasi. Usaha ini
tidak terlepas dari berkembangnya apa yang disebut dengan PLC
(Professional Learning Communities) atau Komunitas Pembelajaran
Profesiona, beberapa dekade terakhir. Wacana tersebut berfungsi
mereformasi peran tim akademisi dalam mendukung usaha tersebut.
Dalam kerangka institusi, usaha ini tidak terlepas dari adanya pengaruh
dari peran Kepemimpinan Instruksional atau Instructional Leadership
(IL). bagaimana hubungan antara PLC yang dilaksanakan dalam
suatu institusi pendidikan dengan gaya IL yang diterapkannya,
kemudian dapat mempengaruhi prestasi siswa (Student Achievement –
SA) yang dihasilkannya?
Kata Kunci: PLC (Professional Learning Communities – Komunitas Pembelajaran
Profesional), IL (Instructional Leadership – Kepemimpinan
Instruksional), SA (Student Achievement – Prestasi Siswa).
LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam beberapa dekade terakhir, pertanyaan mengenai ‘Bagaimana
cara meningkatkan prestasi siswa di sekolah?’ telah menjadi bahan
diskusi dan penelitian utama dalam bidang pendidikan dengan melibatkan
berbagai pendekatan yang bersifat multidimensional. Hal ini tentunya
1Tulisan ini diambil dari Thesis program M.Sc. in Educational Effectiveness and
Instructional Design, University of Groningen, The Netherlands, 2010-2011.
278 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
menjadi salah satu bahasan utama dalam rangka menuju reformasi di
bidang pendidikan, salah satu hasilnya adalah Professional Learning
Communities (PLC) atau yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai
Komunitas Pembelajaran Profesional. Komunitas ini ditujukan untuk
membangun terjalinnya suatu usaha di antara tim pendidik yang bersifat
individu maupun kolektif, menuju ke tingkat profesionalisme yang lebih
tinggi serta mengembangkan pengaruhnya ke seluruh entitas pendidikan
(sekolah) dengan tujuan akhir terciptanya kegiatan pembelajaran yang
kondusif bagi peserta didik/siswa.
Dengan terlibatnya para pendidik dalam aktivitas PLC maka akan
mengarahkan pada terwujudnya suatu pemberdayaan bagi seluruh elemen
dalam suatu entitas pendidikan, terutama para tim pendidik, dalam
menciptakan proses pembelajaran yang berkesinambungan.2 Oleh karena
itu, di berbagai negara PLC telah menjadi semakin populer baik di tingkat
sekolah dasar maupun menengah. Seiring dengan pertanyaan awal
mengenai cara meningkatkan prestasi siswa dan bagaimana meningkatkan
kinerja institusi pendidikan dalam menjawab tantangan globalisasi dan
perubahan-perubahan yang ada, yang notabene berpengaruh terhadap
proses pembelajaran, PLC mungkin dapat menjadi jawaban untuk kedua
pertanyaan tersebut.
Suatu perubahan dalam institusi tidak dapat dipisahkan dari faktor
kepemimpinan, oleh karena itu keberadaan entitas PLC dalam suatu
institusi pendidikan tidak dapat mengabaikan bagaimana peran
kepemimpinan berjalan dalam insitusi tersebut. Secara khusus jenis
kepemimpinan yang menonjol dalam era akuntabilitas dan tanggung
jawab ini adalah Kepemimpinan Instruksional3 (Instructional Leadership
- IL). Berbagai usaha dan pemikiran telah dikerahkan dalam rangka
2Stoll, L. et al., “Professional Learning Communities: A Review of The Literature.”
Journal of Educational Change 7 (2006): 221. 3Graczewski, C. et al., “Instructional Leadership in Practice: What Does It Look
Like, and What Influence Does It Have?” Journal of Education for Students Placed at Risk (JESPAR) 14/1 (2009): 73.
JURNAL TEOLOGI STULOS 279
menentukan jenis kepemimpinan yang harus dimiliki oleh pemimpin
institusi pendidikan yang dinilai akan mampu berpengaruh terhadap
peningkatan prestasi siswanya, baik dari segi pengetahuan maupun
pengaruhnya terhadap pengajaran, dimana hal ini dilihat sebagai determinan
penting dalam peningkatan prestasi siswa.4
Di tengah berkembangnya konseptualisasi mengenai kepemimpinan
dalam pendidikan, muncul sebuah hipotesa bahwa IL dapat menjadi
strategi kunci untuk meningkatkan prestasi siswa. Hal ini kemudian
mengarah pada pertanyaan, bagaimana praktik jenis kepemimpinan ini
mampu mempengaruhi kualitas praktik pembelajaran dan sejauh apa
pengaruhnya?
Berdasarkan kedua penjabaran poin di atas, relasi antara PLC dan IL
menjadi hal penting untuk ditemukan, serta bagaimana mereka saling
mempengaruhi. Lebih lanjut, bagaimana relasi antar kedua variabel
tersebut mempengaruhi prestasi siswa (Student Achievement – SA) akan
menjadi tujuan akhir dari penelitian ini.
Rumusan Masalah
Penjabaran dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
ke dalam tiga pertanyaan besar yang akan dijawab melalui penelitian ini,
dengan menggunakan data guru, siswa dan kepala sekolah menengah di
Indonesia.
1. Sejauh apa keberadaan PLC dan IL nampak dalam tingkat pendidikan
menengah di Indonesia?
2. Apakah bentuk hubungan/relasi antara PLC dan IL?
3. Apakah PLC dan IL mempengaruhi prestasi siswa (SA)?
4Elmore, R. F. Building a New Structure for School Leadership (Washington, DC:
Albert Shanker Institute, 2000).
280 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
Signifikansi Penelitian
Signifikansi penelitian ini adalah untuk meneliti rumusan masalah di
atas, diterapkan dalam konteks sistem pendidikan Indonesia. Berdasarkan
data TIMSS 2007, siswa Indonesia memiliki tingkat nilai Matematika
yang cukup rendah bila dibandingkan dengan tingkat nilai siswa-siswi
dari negara lain (dalam perbandingan Nilai Matematika International).
Dalam hal ini, sangat mungkin bahwa PLC dan IL dapat menjadi acuan
strategi yang tepat untuk menolong guru-guru di Indonesia dalam
mengatasi permasalahan kualitas akademik tersebut, dengan spesifik
mencari cara untuk meningkatkan prestasi siswa, melalui peningkatan
kualitas pengajaran yang niscaya akan mampu memajukan kualitas
pendidikan Indonesia.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kuantitatif
dengan menggunakan metode perhitungan statistik SPSS (Statistical
Package for Social Science). Data yang digunakan adalah data sekunder
yang diambil dari data temuan sebuah badan internasional yang secara
rutin mengumpulkan survey untuk penelitian pendidikan (TIMMS -
Trends in International Mathematics and Science Study). Data diambil
dari TIMMS 2007, untuk nilai Matematika tingkat SMP, kelas 2 (atau
kelas 8) di Indonesia. Penelitian ini bersifat korelasional dalam artian
yang diteliti adalah hubungan antar variabel, tanpa adanya usaha untuk
JURNAL TEOLOGI STULOS 281
memanipulasi variabel-variabel tersebut5. Variabel independen adalah
PLC dan IL, variable dependen adalah SA.
Sampel diambil dengan menggunakan teknik acak berstrata, yang
terdiri dari 149 sekolah menengah pertama di Indonesia yang mencakup
seluruh wilayah (kecuali Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam) dengan
partisipan: 149 guru, 149 kepala sekolah dan 4.203 siswa dari seluruh
Indonesia6. Setiap guru dan siswa mewakili setiap sekolah yang menjadi
sampel, oleh karena itu sampel yang digunakan dinilai mewakili seluruh
populasi. Instrumen penelitian menggunakan beberapa kuesioner berbeda
yang disebarkan pada tiga kelompok sampel tadi (guru, kepala sekolah
dan siswa) dan nilai Matematika para siswa.
Data analisis dilakukan dengan beberapa variasi teknik analisa data
dalam statistik dengan menggunakan SPSS, antara lain: Analisa
Deskriptif, Analisa Reliabilitas, Analisa Korelasi, T-test, Anova dan
Analisa Regresi yang berguna untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan dependen.
Kerangka Teori
Komunitas Pembelajaran Profesional (PLC)
Langkah pertama untuk memahami apa itu PLC adalah dengan
menerima fakta bahwa definisinya bersifat kontekstual, tidak universal
dan didasarkan pada interpretasi yang bergantung pada konteks pendidikan
tertentu.7 Konsensus internasional merumuskan definisinya secara global,
PLC diidentifikasikan sebagai kelompok pengajar yang saling berbagi
dan memeriksa praktik pengajaran mereka satu sama lain secara kritis,
dimana di dalamnya terdapat unsur kontinuitas, refleksi, kolaborasi,
5Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E., How to Design and Evaluate Research in Education, 7th ed. (Singapore: McGraw-Hill International, 2010), 328.
6Olson, J. F. et al. (eds.), TIMSS 2007 Technical Report (Lynch School of Education, Boston College: TIMSS and PIRLS International Study Center, 2008), 393.
7Stoll, L. et al., “Professional Learning Communities: A Review of The Literature.” Journal of Educational Change 7 (2006): 222-223.
282 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
keterbukaan, berorientasi pada terciptanya pembelajaran dan kemajuan
atau adanya peningkatan/pertumbuhan,8 serta beraktivitas bersama secara
kolektif.9 Secara ringkas, Hord merumuskan bahwa PLC merupakan
komunitas dimana di dalamnya para pengajar di sekolah dan jajaran
administrasi secara berkesinambungan, mencari dan saling membagikan
pembelajaran serta menindaklanjutinya. Tujuan akhir dari aktivitas ini
adalah untuk meningkatkan efektivitas mereka secara professional bagi
keuntungan siswa, maka dari itu aktivitas ini juga dipahami sebagai
komunitas yang mengutamakan peninjauan yang terus menerus dan
memprioritaskan kemajuan10
.
Penelitian yang dilakukan oleh Lomos, Hofman dan Bosker
merumuskan bahwa PLC didefinisikan oleh 5 (lima) karakteristik yang
menjadi ciri utamanya: dialog yang reflektif, deprivatisasi dari praktek
pengajaran, aktivitas yang kolaboratif, saling berbagi nilai dan prinsip,
serta berfokus pada terciptanya proses pembelajaran siswa.11
Dialog yang reflektif dimengerti sebagai dialog yang terjalin antara
tim akademisi dimana pembahasan yang dilakukan di dalamnya
mencakup isu-isu yang spesifik mengenai praktek pengajaran.
Deprivatisasi dari praktek pengajaran lebih mengarah kepada
seberapa jauh keterbukaan masing-masing tim akademisi untuk
membiarkan praktek pengajarannya disupervisi dan dinilai oleh sesama
rekan dalam tim, dengan adanya umpan balik dari tindakan supervisi atau
pengawasan tadi. Aktivitas yang kolaboratif, menuju kepada kemungkinan
adanya kolaborasi dalam proses pengajaran, sebagai contoh misalnya tim
8Mitchel, C. & Sackney, L., Profound Improvement: Building Capacity for a
Learning Community (Lisse, The Netherlands: Swets & Zeitlinger, 2000). 9King, M. B. & Newmann, F. M., “Building School Capacity through Professional
Development: Conceptual and Empirical Considerations.” International Journal of Educational Management 15/2 (2001): 86.
10Astuto, T. A. et al., Challenges to Dominant Assumptions Controlling Educational Reform (Andover, MA: Regional Laboratory for the Educational Improvement of the Northeast and Islands, 1993).
11 Lomos, C. et al., “The Relationship between Departments as Professional Communities and Student Achievement in Secondary Schools.” Teaching and Teacher Education 27 (2011) a: 723.
JURNAL TEOLOGI STULOS 283
akademisi dikelompokkan ke dalam spesialisasi masing-masing sehingga
subjek pengajaran tidak hanya dikuasai pengajar tertentu tapi
memungkinkan adanya kolaborasi beberapa pengajar dalam tiap subjek.
Saling berbagi nilai dan prinsip terwujud dalam hal terciptanya
konsensus antara tim akademisi dan jajaran manajemen yang memiliki
tujuan yang sama, dimana nilai dan tujuan ini tercermin dalam kegiatan
dan tindakan yang diambil sehari-hari baik oleh tim akademisi maupun
jajaran manajemen.
Fokus pada terciptanya proses pembelajaran bagi siswa, proses
pembelajaran difokuskan pada terciptanya proses yang tertuju pada
peserta didik/siswa, dalam artian peserta didik diberikan kesempatan
untuk menikmati proses pembelajaran yang memungkinkan mereka
mencapai prestasi terbaik mereka.
Louise Stoll et al. dalam karyanya Professional Learning
Communities: A Review of The Literature12 memberikan konsep teori
PLC yang efektif yang memiliki kapasitas untuk mempromosikan dan
memelihara keberlangsunan suatu proses pembelajaran yang melibatkan
semua pihak terkait dalam komunitas suatu institusi pendidikan, dengan
tujuan kolektif meningkatkan proses pembelajaran siswa.
Peran PLC dalam meningkatkan prestasi siswa tidak dapat
diwujudkan tanpa adanya peran kepemimpinan yang kuat dalam suatu
institusi pendidikan, dalam hal ini sekolah. PLC sebagai bagian dari
manajemen sekolah dikendalikan dan didorong oleh fungsi seorang
pemimpin sekolah dalam hal Kepemimpinan Instruksional (IL). Pada
bagian berikutnya, konsep IL akan dibahas bersama-sama dengan faktor
pendukungnya.
Kepemimpinan Instruksional (IL)
Istilah IL mulai populer pada era 1980an, yang dibahas dalam
penelitian-penelitian mengenai sekolah yang efektif. Dalam periode
12Stoll, L. et al., “Professional Learning Communities: A Review of The Literature.”
Journal of Educational Change 7 (2006): 223.
284 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
tersebut, IL didefinisikan sebagai pola kepemimpinan yang kuat, langsung,
berfokus pada kurikulum dan pengajaran, menjadi karakteristik dari
sekolah dasar yang dianggap efektif dalam mengajar anak-anak kota yang
berasal dari komunitas kalangan bawah.13
Pendapat ini didukung oleh fakta
bahwa penelitian sekolah yang efektif, yang berfokus pada
sekolah-sekolah miskin perkotaan yang kekurangan perubahan substansial,
justru sangat diperlukan. Pada waktu itu pemimpin instruksional
digambarkan dengan karakteristik yang kuat, tujuan direktif, berorientasi
dan terfokus pada peningkatan hasil akademik mahasiswa serta
pembangun budaya.
Kepemimpinan disini hanya dilihat sebagai pemegang peran tunggal
yaitu sebagai Kepala Sekolah. IL menjadi kombinasi keahlian dan
karisma seorang pemimpin di mana mereka dipandang sebagai
pengendali kualitas yang menuntut ekspektasi dan standar yang tinggi
terhadap siswa maupun guru14
.
IL dewasa ini menjadi lebih dilihat sebagai konteks kepemimpinan
yang multi dimensional, melibatkan berbagai praktik kepemimpinan. IL
merupakan salah satu dari 6 (enam) tipe kepemimpinan pendidikan yang
diangkat oleh Moos dan Huber dalam karya Townsend.15
Konsep
kepemimpinan ini menekankan pada aspek tindakan dan keputusan yang
diambil seorang pemimpin sekolah yang mencakup hal-hal kemajuan
belajar siswa, kegiatan pengelolaan dan kepemimpinan yang berorientasi
pada aplikasi yang relevan berkaitan dengan penyediaan sumber daya
untuk pengajaran, kesepakatan bersama tentang tujuan, mempromosikan
13Edmonds, 1979; Leithwood & Montgomery, 1982 dalam Hallinger, P., “Leading
Educational Change: Reflections on The Practice of Instructional and Transformational Leadership.” Cambridge Journal of Education 33/3 (2003): 329.
14Hallinger, P., “Leading Educational Change: Reflections on The Practice of Instructional and Transformational Leadership.” Cambridge Journal of Education 33/3 (2003): 331-332.
15Moos, L. & Huber, S., “School Leadership, School Effectiveness and School Improvement: Democratic and Integrative Leadership.” dalam T. Townsend (ed.), International Handbook of School Effectiveness and Improvement, part two (Dordrecht, The Netherlands: Springer Publishers, 2007).
JURNAL TEOLOGI STULOS 285
terciptanya kerjasama antara staf dan evaluasinya serta konseling dalam
tim pengajar.
Ciri khas tipe kepemimpinan IL adalah adanya efisiensi dalam
praktik kepemimpinan dalam menyelaraskan tugas-tugas pendidikan dan
administrasi. Dari sudut pandang ini, seorang pemimpin memiliki
setidaknya empat peran. Pertama, seorang pemimpin sekolah harus
mampu mengatur alokasi waktu untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawab: mengajar, kegiatan manajerial, tugas administrasi, menjaga relasi
dengan orang tua serta waktu untuk pengembangan diri secara profesional.
Dengan demikian, seorang pemimpin sekolah juga mengambil peran
sebagai pengontrol proses pembelajaran, dengan mengalokasikan waktu
untuk mengawasi kemajuan siswa dan memulai program konsultasi
individual. Selain itu, berdasarkan hasil pengawasan, pemimpin
kemudian menetapkan prioritas pengajaran, mengusulkan modifikasi
terhadap kurikulum dan metode pengajaran (apabila diperlukan), serta
mengadaptasikan metode pengajaran dan pengelompokan siswa
berdasarkan tingkat kemampuan mereka16
.
Kedua, tipe pemimpin ini memiliki peran sebagai penasihat dan
pengontrol kualitas tim pengajar, dimana peran ini dijalankan dengan cara
supervisi terhadap tim pengajar. Dalam konteks kelas, seorang pemimpin
sekolah juga harus memelihara dan menciptakan hubungan yang kondusif
dengan tim pengajar, memberikan dukungan, penghargaan, nasihat, dan
menawarkan umpan balik kepada mereka17
. Selain itu, sejalan dengan
tindakan pengawasan terhadap tim pengajar, seorang pemimpin harus
mendorong mereka mengeksplorasi bakat mereka melalui pemantauan
yang bersifat rutin terhadap hasil kerja mereka, membantu untuk
meningkatkan keahlian profesional mereka. Pengawasan terhadap tim
pengajar merupakan aspek penting dari IL yang meliputi pembimbingan
dan konseling bagi pengajar, membahas kelebihan dan kekurangan,
16Scheerens, J. & Bosker, R. J., The Foundations of Educational Effectiveness (UK:
British Library, Pergamon, 1997). 17Ibid.
286 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
memberikan saran untuk mengoptimalkan pengajaran dalam kelas,
menemukan contoh nyata pengajar yang sukses yang dijadikan teladan
bagi seluruh tim dan mendorong pengembangan lebih lanjut bagi seluruh
pengajar. Sebagai bagian dari tugas pengajaran, seorang pemimpin
sekolah juga dapat memodifikasi strategi mengajar, mendorong para
pengajar dengan memberikan umpan balik dan pengakuan serta
memelihara tingkat komunikasi yang intens dengan tim.
Peran ketiga seorang pemimpin dalam perspektif IL adalah sebagai
fasilitator dari tim yang berorientasi pada pekerjaan.18
Pemimpin sekolah
akan mendorong staf untuk bekerja sebagai sebuah tim, mengusulkan
penetapan pembagian tugas yang jelas di antara staf dengan mengikuti
pembagian keahlian khusus dalam tim pengajar, memantau orientasi
umum dalam area berbagai subyek serta mengontrol secara
berkesinambungan pencapaian tujuan pendidikan yang diraih dari waktu
ke waktu. Lebih lanjut, seorang pemimpin harus terbuka terhadap inisiatif
peningkatan kualitas pendidikan dan mengambil tindakan yang tepat
ketika aspek-aspek tertentu dalam pendidikan dan organisasi tidak
terpenuhi sesuai dengan yang direncanakan.
Yang terakhir adalah peran inisiator dan fasilitator dalam program
profesionalisasi staf.19
Pemimpin sekolah menekankan pentingnya
pengembangan tim pengajar dalam hal pendidikan lanjut; seorang
pemimpin sekolah mencoba untuk menambah pengetahuannya dengan
cara mengikuti program-program seperti kursus dan penelitian ilmiah,
kemudian juga mendorong ditempuhnya pendidikan lanjut bagi para
pengajar dalam kerangka, cara yang selektif serta memiliki target,
mengatur kebijakan yang eksplisit bagi pendidikan lanjutan untuk
pengajar dan mendorong mereka untuk ambil bagian dalam program yang
bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme mereka sendiri.
Selain itu, aspek yang terkait adalah bahwa konsep IL berfokus juga
18Ibid. 19Ibid.
JURNAL TEOLOGI STULOS 287
pada aspek-aspek tindakan kepemimpinan sekolah yang memberikan
perhatian terhadap kemajuan belajar siswa. Kegiatan-kegiatan tersebut
berorientasi untuk mendukung pembelajaran siswa dengan fokus pada
aplikasi yang sesuai dengan sumber daya untuk mengajar, kesepakatan
bersama tentang tujuan, promosi hubungan kerjasama antara staf dan
evaluasinya serta konseling antara tim pengajar selama proses pengajaran
melalui pengamatan kelas, umpan balik terstruktur dan pembinaan
(coaching).20
Leithwood kemudian memperkenalkan suatu model IL yang telah
teruji, yang dibangun bersama rekannya Hallinger dan tim. Model ini
menyatakan bahwa IL mengandung setidaknya tiga kategori besar:
mendefinisikan dan merumuskan misi sekolah, mengatur praktik program
pengajaran dan merencanakan serta menciptakan iklim kondusif bagi
proses pembelajaran dalam sekolah.21
Untuk menyimpulkan, IL
didefinisikan sebagai jenis kepemimpinan yang berfokus terutama pada
peran kepala sekolah dalam melakukan tugas koordinasi, pengendalian,
pengawasan dan mengembangkan kurikulum serta pengajaran dalam
sekolah.22
Berdasarkan berbagai peran IL yang dibahas di atas, maka dapat
diasumsikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara IL dan PLC. Pada
bagian berikutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai hubungan kedua
variabel ini, berdasarkan studi-studi yang sudah dilakukan.
Komunitas Pembelajaran Profesional (PLC) dan Kepemimpinan
Instruksional (IL)
20 L. Moos, & S. Huber, “School Leadership, School Effectiveness and School
Improvement: Democratic and Integrative Leadership.” dalam T. Townsend (ed.), International Handbook of School Effectiveness and Improvement, part two (Dordrecht, The Netherlands: Springer Publishers, 2007).
21Southworth, G., “Instructional Leadership in Schools: Reflections and Empirical Evidence.” School Leadership and Management 22/1 (2002): 77.
22Hallinger, P. & Murphy, J. “Assessing The Instructional Leadership Behavior of Principals.” Dalam Elementary School Journal 86/2 (1985).
288 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
Penelitian yang dilakukan oleh Wahlstrom & Louis23
menemukan
bahwa hubungan antara pengalaman pengajar dengan kepemimpinan
kepala sekolah. Ditunjukkan bahwa ketika para pengajar mulai berbagi ide
tentang praktek pengajaran, mendiskusikannya atau mempresentasikannya
bersama-sama secara teratur, mereka kemudian akan mengalami penurunan
tingkat ketergantungan terharap pemimpin mereka secara bertahap, yang
pada awalnya justru menjadi sumber pengetahuan bagi mereka. Dengan
kata lain, mungkin hanya dalam kondisi dimana tingkat keberadaan PLC
yang lemah, tim pengajar akan sangat bergantung kepada pemimpin
mereka untuk memperoleh dukungan pembelajaran secara langsung.
Namun, temuan ini tidak mencoba mengatakan bahwa peran pimpinan
tidak penting, tetapi kepemimpinan dapat dilihat sebagai dukungan secara
tidak langsung, bukan yang sifatnya sangat jelas atau tindakan yang
eksplisit. Dengan kata lain, tingkat ketergantungan tim pelaksana PLC
terhadap IL, sangat bergantung pada tingkat keahlian yang dimiliki,
kemampuan bekerjasama dan tingkat kekompakan yang ada di dalam tim
PLC itu sendiri.
Komunitas Pembelajar Profesional (PLC), Kepemimpinan Instruksional
(IL) dan Prestasi Siswa (SA)
Membahas tentang pengaruh kepemimpinan terhadap pembelajaran
siswa, kita bisa merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh
Leithwood, et al.24
. Para penulis menyimpulkan bahwa kepemimpinan
yang sukses dapat menghasilkan peran yang sangat signifikan (meskipun
sering diremehkan) dalam meningkatkan pembelajaran siswa. Untuk
lebih detail, temuan dari penelitian terhadap ukuran dan sifat yang
23 Wahlstrom, K. L. & Louis, K. S., “How Teachers Experience Principal
Leadership: The Roles of Professional Community, Trust, Efficacy, and Shared Responsibility.” Educational Administration Quarterly 44/4 (2008): 458-459.
24Leithwood, K. et al., How Leadership Influences Student Learning (Center for Applied Research and Educational Improvement: University of Minnesota, Ontario Institute for Studies in Education: University of Toronto, The Wallace Foundation, 2004), 5-6.
JURNAL TEOLOGI STULOS 289
dihasilkan oleh efek kepemimpinan yang sukses mempengaruhi
pembelajaran siswa, membawa klaim bahwa: dari antara semua faktor
terkait yang berkontribusi terhadap pembelajaran siswa di sekolah,
kepemimpinan merupakan faktor kedua yang berpengaruh, mengikuti
pengajaran dalam kelas sebagai faktor pertama. Sementara bukti
mengenai efek kepemimpinan terhadap pembelajaran siswa sangat sulit
untuk ditafsirkan, banyak penelitian yang ada justru meremehkan
pengaruh tersebut dengan tidak mengukur efek tidak langsungnya secara
spesifik. Namun, tetap dapat disimpulkan bahwa efek total (langsung dan
tidak langsung) kepemimpinan terhadap pembelajaran siswa mengambil
seperempat bagian dari pengaruh faktor sekolah secara total25
. Bukti ini
mendukung kepentingan luas yang timbul dalam upaya meningkatkan
kepemimpinan sebagai kunci keberhasilan program reformasi sekolah.
Lebih jauh lagi, efek kepemimpinan dituntut untuk menunjukkan
pengaruhnya pada waktu dan tempat yand tepat, ketika sangat dibutuhkan.
Di sini kita mengacu pada peran pemimpin dalam bidang administratif
formal, dimana semakin besar tantangan dari situasi tersebut, maka akan
semakin besar dampak dari tindakan mereka terhadap proses pembelajaran.
Walaupun bukti menunjukkan adanya efek kecil yang cukup signifikan
yang diberikan oleh tindakan kepemimpinan terhadap pembelajaran
siswa, dalam perspektif sekolah, penelitian lain menunjukkan bahwa efek
kepemimpinan yang sukses jauh lebih besar atau jauh lebih dirasakan di
sekolah atau institusi pendidikan yang tengah mengalami situasi yang
sulit atau dalam masalah serius. Bahkan faktanya, hampir tidak ada
sekolah bermasalah yang bisa mengalami perubahan atau perbaikan tanpa
adanya intervensi dari seorang pemimpin yang kuat, dimana dalam hal ini
kepemimpinan dipandang sebagai katalisator bagi perubahan.26
25Ibid. 26Ibid.
290 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
Saat meneliti hubungan antara PLC, IL dan SA, Louis, et al.27
dalam
penelitian mereka tentang bagaimana kepemimpinan mempengaruhi
prestasi belajar siswa, telah menguraikan dengan jelas bahwa IL
diasumsikan memiliki efek langsung dan tidak langsung terhadap
pengajaran. Selain itu, model penelitian mereka menunjukkan bahwa IL
memberikan efek yang signifikan pada hubungan kerja yang terjalin di
antara tim pengajar dalam PLC, meskipun efek IL terhadap pengajaran
sifatnya terbatas. PLC memiliki efek tidak langsung yang signifikan
terhadap SA berdasarkan hubungannya yang kuat dengan pengajaran
yang berfokus28
. Analisa mereka menggunakan suatu tes empiris yang
relatif dan komprehensif dengan mengusung gagasan bahwa sejumlah
variabel kepemimpinan (termasuk IL), ketika mereka dipertimbangkan
secara bersama-sama, ternyata akan saling berhubungan secara positif
ketika dikaitkan dengan pembelajaran siswa. Lebih lanjut, mereka
menemukan bahwa IL memberikan pengaruh secara tidak langsung
terhadap SA, melalui PLC yang berfokus pada pengajaran. Pada akhir
penelitian mereka, Louis dan tim menyarankan bahwa dalam rangka
meningkatkan pengaruh kepemimpinan terhadap SA, harus ada
kombinasi dari beberapa tindakan kepemimpinan (seperti Il dengan tipe
kepemimpinan distributif) disertai dengan kehadiran PLC yang kuat29
.
Pada titik ini, sangat jelas untuk menyatakan bahwa berdasarkan
studi terbaru (dalam kondisi tertentu), ada hubungan korelasi yang positif
antara PLC dan IL, yang pada akhirnya akan berpengaruh secara positif
terhadap prestasi siswa (SA). Menariknya, penelitian ini dilakukan untuk
menyelidiki apakah temuan yang sama akan dihasilkan dalam kasus
sekolah menengah di Indonesia.
27Louis, K. S. et al., “How Does Leadership Affect Student Achievement? Results
from a National US Survey.” School Effectiveness and Improvement 21/3 (2010): 317. 28Ibid., 330-331. 29Ibid., 330.
JURNAL TEOLOGI STULOS 291
PLC di Indonesia
Sampai baru-baru ini, studi mengenai PLC di Indonesia masih
terhitung sedikit. Namun, setidaknya ada satu studi yang penting yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Saidah30
. Penulis menyelidiki hubungan
antara PLC, ekspektasi pengajar (teacher’s expectations) dan bagaimana
kedua variabel tersebut mempengaruhi SA. Peneliti juga menggunakan
data sekunder yang diambil dari kuesioner TIMMS tahun 2007. Survei ini
berfokus pada faktor pengajar dan siswa yang dihubungkan dengan mata
pelajaran matematika, di kelas delapan, sekolah menengah di Indonesia.
Temuan penting dari penelitian Saidah adalah efek signifikan PLC
yang berkontribusi terhadap kinerja siswa dalam konteks Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bahwa PLC tidak memiliki hubungan dengan SA.
Namun, penulis menemukan beberapa prediktor yang signifikan yang
berpengaruh pada SA, seperti faktor karakteristik siswa: usia dan tingkat
pendidikan terakhir orang tua, dimana faktor-faktor ini ternyata memberikan
kontribusi signifikan terhadap SA. Variabel penting lainnya adalah faktor
latar belakang pengajar, seperti gender dan lama pengalaman mengajar
juga ternyata memberikan kontribusi yang signifikan terhadap SA.
Studi ini bisa dilihat sebagai kelanjutan dari penelitian Saidah,
dengan melihat hubungan yang mungkin antara PLC, IL dan SA yang
dibahas dalam penelitian ini secara komprehensif sambil menyelidiki
masalah yang serupa, serta pencarian variabel pengontrol yang relevan
dalam meningkatkan SA dalam konteks Indonesia.
Analisis Data
Karena keterbatasan penjabaran dan penyajian data, bagian ini akan
difokuskan pada presentasi data yang berguna untuk menjawab rumusan
masalah yang disebutkan di bagian awal.
30 Saidah, U. H., Professional Community, Teacher Expectation and Student
Achievement (A Secondary Analysis of TIMMS in Indonesia). Master Thesis, University of Groningen, Netherlands 2010, 32-33.
292 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
1. Sejauh apa keberadaan PLC dan IL nampak dalam tingkat
pendidikan menengah di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, analisis deskriptif telah
dilakukan dengan hasil seperti yang dijelaskan dalam Tabel 1 di bawah
ini. Dalam beberapa variabel terjadi kekurangan jumlah responden dari
yang seharusnya, dimana jumlah guru yang berpartisipasi dalam survei
ini awalnya 149, masing-masing untuk tim guru dan kepala sekolah.
Harap merujuk pada kolom N untuk angka aktual jumlah responden yang
berpartisipasi.
Tabel 1. Analisis Deskriptif untuk Variabel Independen
Rata-rata
(SD)
N
Frekuensi
Total (hampi
r) tidak
pernah
2-3 kali
per bulan
1-3 kali
per bulan
(hampi
r)
setiap
hari
Variabel
PLC
Dialog yang
Reflektif
2.52 (.82) 146 6.7% 47% 30.9% 13.4% 98%
Aktivitas yang
Kolaboratif
3.05 (.94) 146 6% 22.1% 30.9% 38.9% 97.9%
Deprivatisasi
Pengajaran 1
1.63 (.83) 145 53% 32.9% 6% 5.4% 97.3%
Deprivatisasi
Pengajaran 2
1.55 (.74) 143 53.7% 34.9% 4% 3.4% 96%
Frekuensi
Sangat
rendah
Rendah Medium Tinggi Sangat
Tinggi
Total
Saling bagi
nilai dan
prinsip
2.39 (.72)
146 0% 5.4% 35.6% 49% 8.1% 98.1%
Fokus pada
pembelajaran
siswa
1.58 (.71)
146 1.3% 0% 4.7% 42.3% 49.7% 98%
Variabel
IL
25.39
(9.5)
142 95.3%
Angka frekuensi PLC menunjukkan bahwa sebagian besar guru di
Indonesia (47%) melakukan aktivitas dialog reflektif sebanyak 2-3 kali
per bulan, sedangkan untuk aktivitas kolaboratif, sebagian besar
melakukannya hampir setiap hari (39%). Di sisi lain, untuk deprivatisasi
JURNAL TEOLOGI STULOS 293
praktek pengajaran (kedua item), terlihat bahwa para guru pada umumnya
tidak melakukan hal ini di antara mereka sendiri (53% dan 54% guru
menyatakan bahwa mereka tidak pernah atau hampir tidak pernah
melakukan kegiatan ini). Selanjutnya, saling berbagi nilai dan prinsip,
dapat dilihat bahwa sebagian besar guru melakukan kegiatan ini pada
frekuensi yang tinggi (49%). Terakhir, dari analisis juga dijelaskan bahwa
guru sudah memiliki kesadaran yang baik dalam hal berfokus pada
pembelajaran siswa, di mana sebagian besar dari mereka (50%)
mendukung siswa mereka belajar dengan frekuensi yang sangat tinggi.
Untuk IL, Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sebagian besar kepala
sekolah di Indonesia (95%) menjalankan tipe ini dalam aktivitas
kepemimpinan mereka. Dengan persentase rata-rata 25,4, diasumsikan
bahwa sebagian besar kepala sekolah menghabiskan ¼ (seperempat)
bagian dari kegiatan mereka untuk melakukan praktik IL.
2. Apakah bentuk hubungan/relasi antara PLC dan IL?
Tabel 2. Hasil Analisa Korelasi untuk PLC dan IL
Pearson Correlation IL
N r p value
PLC 136 -.117 .176
Berdasarkan hasil dari tabel, korelasi antara PLC dan IL adalah
korelasi negatif yang lemah, dengan kata lain korelasi yang dimiliki
lemah dan tidak signifikan sehingga dapat diabaikan.
Berkaitan dengan adanya berbagai variabel pengontrol (prediktor)
yang mungkin mempengaruhi variabel independen dan dependen, berikut
merupakan ringkasan dari hasil analisa yang dilakukan terhadap beberapa
variabel pengontrol yang berpotensi:
Tabel 3. Ringkasan Hasil Tes untuk Variabel Pengontrol
294 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
Variabel pengontrol untuk PLC terdiri atas setidaknya dua variabel
yang dianggap berpotensi. Gender guru, berdasarkan hasil T-test, tidak
terlihat bahwa perbedaan gender guru memberikan efek yang berbeda
terhadap sejauh mana mereka menjalankan praktik PLC. Variabel kedua,
lama pengalaman mengajar guru, berdasarkan hasil analisa korelasi,
terlihat bahwa lama pengalaman mengajar guru tidak menentukan
intensitas mereka dalam menjalankan praktik PLC, ditandai dengan hasil
korelasi yang tidak signifikan.
Untuk variabel pengontrol yang berpotensi mempengaruhi prestasi
siswa antara lain: umur siswa dan tingkat pendidikan orangtua siswa.
Berdasarkan hasil analisa korelasi yang ditempuh untuk melihat
hubungan umur siswa dengan prestasinya, ditemukan adanya tendensi
bahwa siswa yang usianya di atas rata-rata teman sekelasnya, akan
memiliki prestasi yang lebih rendah. Hal ini ditandai dengan adanya
korelasi yang bersifat medium dan negatif antara umur siswa dan
prestasinya. Kemudian berdasarkan hasil test ANOVA yang ditempuh
untuk melihat hubungan tingkat pendidikan orangtua (ayah dan ibu),
kedua tes menunjukkan bahwa variabel pengontrol ini memiliki korelasi
dengan efek yang signifikan terhadap prestasi siswa, dalam artian
semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, akan mampu mempengaruhi
secara positif terhadap prestasi anaknya di sekolah.
Variabel Pengontrol Jenis Tes Hasil Analisa
PLC
Gender Guru T-test Tidak ada efek
Lama Pengalaman Mengajar Guru
Analisa Korelasi Tidak signifikan
SA
Umur siswa Analisa Korelasi Efek yang medium
Tingkat pendidikan orangtua (Ibu)
ANOVA Efek signifikan
Tingkat pendidikan orangtua (Ayah)
ANOVA Efek signifikan
JURNAL TEOLOGI STULOS 295
3. Apakah PLC dan IL Mempengaruhi Prestasi Siswa (SA)?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga, beberapa analisa
regresi dilakukan. Dengan demikian, hubungan dari semua variabel
(variabel independen dan kontrol) dengan prestasi siswa (variabel
dependen) dapat dieksplorasi. Ada 3 model analisa berbeda yang
disajikan sebagai hasilnya. Pertama adalah model regresi dilakukan
untuk melihat apakah PLC berkaitan dengan prestasi siswa, dalam rangka
mengendalikan variabel pengontrol yang signifikan. Kedua, IL diteliti
secara tersendiri dalam rangka untuk melihat apakah IL berhubungan
dengan SA, kembali setelah mengontrol variabel pengontrol yang
relevan. Dan terakhir, model regresi gabungan dibangun dalam rangka
untuk melihat apakah PLC dan IL, bersama-sama dalam model yang
sama, berhubungan dengan prestasi siswa dan untuk menemukan variabel
pengontrol terkuat yang mempengaruhi prestasi siswa. Hasil analisis
regresi gabungan akhir disajikan pada Tabel 4, yang akan dibahas secara
lebih komprehensif melibatkan variabel pengontrol.
Tabel 4. Gabungan Hasil Akhir Tes Regresi (3x) PLC, IL terhadap SA,
melibatkan variabel pengontrol
Regresi B SE (B)
Β p value
Hasil
Tes Model/Item
1st PLC terhadap SA .886 .303 .051 .003 Tidak ada relasi
2nd IL terhadap SA -.039 .019 .019 .043 Tidak ada relasi
3rd PLC, IL dan Variabel Pengontrol terhadap SA
Umur Siswa -1.815 .231 -.136 .000 Relasi lemah negatif
Tingkat Pendidikan Terakhir (Ibu)
.807 .170 .113 .000 Relasi lemah positif
Tingkat Pendidikan Terakhir (Ayah)
.979 .155 .149 .000 Relasi lemah positif
Tipe Masyarakat
-.101 .132 -.013 .443 Tidak ada relasi
Latar belakang -1.966 .213 -.177 .000 Relasi lemah
296 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
ekonomi siswa (kekurangan)
negatif
Gender Guru -2.524 .371 -.122 .000 Relasi lemah negatif
Lama Pengalaman Mengajar
.057 .024
.043 .017 Tidak ada relasi
PLC
.809 .306 .047 .008 Tidak ada relasi
IL -.030 .020 -.026 .131 Tidak ada relasi
Pada tes regresi pertama dilihat hubungan antara PLC dan SA yang
menghasilkan tidak adanya relasi karena pertimbangan besarnya jumlah
siswa yang diteliti, hasil yang sama juga diperoleh ketika IL dan SA
diteliti hubungannya pada tes kedua. Tes regresi ketiga dilaksanakan
dengan menggabungkan seluruh variabel independen bersama dengan
variabel pengontrol untuk melihat relasinya dengan SA. Sebagai strategi
terakhir, menanggapi fakta bahwa analisis regresi terpisah dari PLC dan
IL masing-masing menunjukkan hubungan yang sangat lemah terhadap
prestasi siswa, langkah terakhir dari analisa regresi ini menekankan pada
variabel independen mana yang lebih berpengaruh terhadap SA.
Ditemukan bahwa PLC dan IL bersama dengan semua variabel
pengontrol sekolah, guru dan siswa, menjelaskan 20,2% dari varian untuk
prestasi siswa. PLC terbukti memiliki relasi dengan SA secara signifikan,
akan tetapi dengan nilai beta sangat kecil 0,047. Bahkan, dapat
disimpulkan bahwa hampir tidak ada hubungan di antara PLC dan SA.
Lebih lanjut, IL juga tidak memiliki relasi signifikan dengan SA.
JURNAL TEOLOGI STULOS 297
KESIMPULAN
Keberadaan PLC dan IL
Mengenai pertanyaan pertama, analisis deskriptif terhadap variabel
PLC menunjukkan bahwa 47% dari guru melakukan kegiatan dialog
reflektif dengan membahas tentang bagaimana cara mengajarkan konsep
tertentu, selama 2-3 kali per bulan. Sedangkan untuk aktivitas kolaboratif,
39% dari guru bekerja sama dalam mempersiapkan bahan ajar mereka
hampir setiap hari. Namun, guru pada umumnya tidak melakukan
deprivatisasi pengajaran di antara mereka, dengan kata lain guru
mungkin tidak menyadari pentingnya praktek ini atau kurangnya
kesadaran mengenai akuntabilitas dimana 53% mengatakan bahwa
mereka tidak pernah mengunjungi ruang kelas rekan-rekan mereka untuk
mengamati gaya pengajaran dan 54% dari mereka menyatakan bahwa
mereka tidak pernah membiarkan rekan-rekan mereka mengunjungi kelas
mereka untuk pengamatan. Selanjutnya, saling berbagi nilai dan prinsip,
49% dari guru melakukan kegiatan ini dengan frekuensi yang tinggi,
yaitu dengan menyelaraskan pemahaman mereka mengenai tujuan
kurikulum sekolah. Terakhir, 50% dari guru sudah memiliki kesadaran
yang baik dalam hal berfokus pada pembelajaran siswa, di mana mereka
mendukung siswa dengan memiliki harapan yang tinggi pada tingkat
prestasinya, dengan frekuensi yang sangat tinggi. Untuk meringkas,
kegiatan PLC seperti dialog reflektif dan aktivitas kolaboratif adalah
praktek-praktek yang secara teratur dilakukan oleh para guru sekolah
menengah di Indonesia.
Untuk IL, ditemukan bahwa 95% dari kepala sekolah menjawab
bahwa mereka mempraktekkan IL dalam kegiatan rutin mereka, seperti
pengembangan kurikulum dan pedagogi. Dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar kepala sekolah di sekolah menengah Indonesia,
menghabiskan sekitar 25% dari waktu mereka untuk aktivitas yang
berhubungan dengan IL.
298 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
Relasi antara PLC dan IL
Mengenai pertanyaan kedua, hasil analisa korelasi antara PLC dan
IL menunjukkan bahwa PLC dan IL tidak terkait secara signifikan. Fakta
ini mengarah pada kesimpulan bahwa baik PLC dan IL masing-masing
memiliki peran tersendiri dalam praktik pendidikan. Hasil ini dapat
dilihat sebagai mendukung hasil penelitian dari studi sebelumnya oleh
Wahlstrom dan Louis,31
di mana dinyatakan bahwa tingkat ketergantungan
PLC terhadap IL bergantung pada tingkat keahlian, kemampuan
bekerjasama, dan kekompakan yang ada di dalam tim PLC. Dengan kata
lain, keberadaan IL akan sangat bergantung pada tingkat independensi PLC.
Pengaruh dari PLC, IL dan Variabel Pengontrol terhadap SA di Indonesia
Pertanyaan penelitian terakhir ini berkaitan dengan kontribusi PLC
dan IL untuk SA, setelah mengontrol variabel guru, sekolah dan siswa.
Variabel signifikan pertama dari siswa adalah umur siswa dan
tingkat pendidikan terakhir orangtua. Umur siswa mempengaruhi SA
dengan efek negatif kecil (beta - .14), yang berarti bahwa semakin tinggi
umur siswa, maka akan semakin rendah nilai matematikanya,
dibandingkan dengan siswa yang lebih muda. Untuk tingkat pendidikan
orangtua, ditemukan bahwa variabel ini mempengaruhi SA dengan efek
positif kecil (β .11 untuk ibu dan ayah .15), yang menunjukkan bahwa
jika tingkat pendidikan ayah atau ibunya tinggi, ada kecenderungan
bahwa tingkat SA dari siswa tersebut juga tinggi.
Variabel penting berikutnya adalah sekolah, diwakili oleh faktor latar
belakang sosial ekonomi siswa dan tipe masyarakat. Untuk latar belakang
sosial ekonomi, ditemukan efek yang signifikan dengan nilai β -.18 yang
31Wahlstrom, K. L. & Louis, K. S., “How Teachers Experience Principal Leadership:
The Roles of Professional Community, Trust, Efficacy, and Shared Responsibility.” Educational Administration Quarterly 44/4 (2008): 459.
JURNAL TEOLOGI STULOS 299
menunjukkan bahwa variabel ini memiliki hubungan negatif kecil dengan
SA. Dengan kata lain, sekolah dengan jumlah siswa lebih banyak berasal
dari latar belakang ekonomi kurang beruntung, kecenderungannya adalah
siswa memiliki tingkat SA yang lebih rendah. Di sisi lain, tipe masyarakat
ditemukan tidak terkait secara signifikan dengan prestasi siswa.
Variabel guru juga memberikan kontribusi yang signifikan. Gender
guru ditemukan memiliki hubungan negatif kecil dengan SA (β -.12). Ini
berarti bahwa guru perempuan berkontribusi menghasilkan tingkat SA
yang lebih tinggi daripada guru laki-laki. Sementara itu, untuk lama
pengalaman mengajar, hubungannya dengan SA hampir tidak ada. Selain
itu, jenis kelamin guru ditemukan tidak berhubungan dengan tingkat
intensitas kegiatan PLC. Sejalan dengan itu, variabel lama pengalaman
mengajar juga tidak memiliki kaitan dengan praktik PLC yang dilakukan
para guru di sekolah mereka.
Terakhir, mengenai pertanyaan penelitian ketiga, hasil analisis
regresi menunjukkan bahwa PLC secara signifikan berhubungan dengan
prestasi siswa, namun hubungan ini sangat lemah. Sebuah situasi yang
berbeda muncul dimana IL tidak memiliki hubungan yang signifikan
dengan SA. Selain itu, dapat diasumsikan bahwa hasil signifikansi PLC
timbul dikarenakan jumlah sampel yang besar. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada atau hanya ada hubungan positif yang
sangat lemah antara PLC dan SA. Temuan ini berbeda dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Louis et al.32
yang menunjukkan PLC
memiliki efek tidak langsung signifikan terhadap SA dari hubungannya
yang kuat dengan berfokus pada kualitas pengajaran. Dari sini terlihat
bahwa praktek PLC yang dilakukan oleh guru, dan IL oleh kepala
sekolah, keduanya tidak berhubungan atau tidak berpengaruh terhadap
prestasi siswa sekolah di Indonesia, khususnya nilai Matematika. Lebih
mendalam penelitian dengan menggunakan observasi dan wawancara
32Louis, K. S. et al., “How Does Leadership Affect Student Achievement? Results
from a National US Survey.” School Effectiveness and Improvement 21/3 (2010): 317.
300 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
mungkin akan lebih memperjelas bagaimana PLC dan IL di sekolah
menengah di Indonesia. Pengetahuan lebih lanjut tentang faktor yang
dapat meningkatkan prestasi siswa sekolah menengah Indonesia sangat
penting berkaitan dengan hasil Matematika yang tidak memuaskan di
tahun 2007. Hanya 22% siswa Indonesia mencapai standar internasional
menengah, sementara 52% ditempatkan pada standar bawah33
. Sebuah
penjelasan yang mungkin untuk kondisi ini, mungkin dikarenakan situasi
pendidikan Indonesia yang tengah mengalami kekurangan guru
berkualitas di luar Pulau Jawa, terutama daerah pedesaan.
33Mullis, I. V. S. et al., TIMMS 2007 International Mathematics Report: Findings from
IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at Fourth and Eight Grades (Lynch School of Education, Boston College: TIMMS & PIRLS International Study Center, 2008).
JURNAL TEOLOGI STULOS 301
DAFTAR PUSTAKA
Astuto, T. A., Clark, D. L., Read, A. M., McGree, K., & de Fernandez, L.
K. P. Challenges to Dominant Assumptions Controlling Educational
Reform. Andover, MA: Regional Laboratory for the Educational
Improvement of the Northeast and Islands, 1993.
Elmore, R. F. Building a New Structure for School Leadership. Washington,
DC: Albert Shanker Institute, 2000.
Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E. How to Design and Evaluate Research in
Education, 7th ed. Singapore: McGraw-Hill International, 2010.
C. Lomos, R. H. Hofman, & R. J. Bosker. The concept of Professional
Community and Its Relationship with Successful Schools and Student
Performance. Groningen: GION – Institute for Educational
Research, 2011b.
Leithwood, K., Louis, K. S., Anderson, S., & Wahlstrom, K. How
Leadership Influences Student Learning. Center for Applied Research
and Educational Improvement: University of Minnesota, Ontario
Institute for Studies in Education: University of Toronto, The
Wallace Foundation, 2004.
Mitchel, C. & Sackney, L. Profound Improvement: Building Capacity for
A Learning Community. Lisse, The Netherlands: Swets & Zeitlinger,
2000.
T. Townsend. (Ed.). International Handbook of School Effectiveness and
Improvement, part two. Dordrecht, The Netherlands: Springer
Publishers, 2007.
Mullis, I. V. S., Martin, M. O., & Foy, P. (Eds). International
Mathematics Report: Findings from IEA’s Trends in International
Mathematics and Science Study at Fourth and Eight Grades. Lynch
302 KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN
PROFESIONAL (PLC)
School of Education. TIMMS 2007. Boston College: TIMMS &
PIRLS International Study Center, 2008.
Saidah, U. H. Professional Community, Teacher Expectation and Student
Achievement (A Secondary Analysis of TIMMS in Indonesia). Master
Thesis. Groningen, The Netherlands: University of Groningen, 2010.
Scheerens, J. & Bosker, R. J. The Foundations of Educational
Effectiveness. Pergamon UK: British Library, 1997.
K. Leithwood & P. Hallinger (eds.). Second International Handbook of
Educational Leadership and Administration. Dordrecht, The
Netherlands: Kluwer Publishers, 2002.