Post on 07-Mar-2019
KONTEKS SOSIAL DAN IDEOLOGI PROLETAR
TOKOH UTAMA DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAM
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Vincentius Gitiyarko Priyatno
NIM: 134114030
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Cinta lebih nyata dalam perbuatan daripada dalam perkataan.
-Ignatius Loyola-
Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara
bintang-bintang.
-Soerkarno-
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang
di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
-Pramoedya Ananta Toer-
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Si Kecil yang akan segera datang dalam hidupku.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh proses
penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan
penyelesaian program Strata satu (S-1) Program studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Banyak pihak yang membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Dengan demikian, sewajarnya penulis mengucapkan
terima kasih terhadap seluruh pihak yang sudah membantu dan mendukung penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :
1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai pembimbing I, terima kasih atas
segala pendampingan, masukan dan waktu yang disediakan kepada penulis.
Terima kasih terutama atas rekomendasi buku-buku yang mencerahkan.
2. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. sebagai pembimbing II, terima kasih atas
segala pendampingan, masukan dan waktu yang disediakan kepada penulis,
terutama perhatian dan motivasi yang diberikan untuk menyelesaikan
skripsi ini.
3. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing
Akademik Angkatan 2013, terima kasih atas motivasi dan ilmu yang
diberikan sehingga skripsi ini selesai dalam masa studi yang disarankan.
4. Para dosen, Alm. Bapak Hery Antono, M.Hum., Prof. Dr. I. Praptomo
Baryadi, M.Hum., Bapak Dr. Ari Subagyo, M.Hum. terima kasih telah
memberikan banyak ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama kuliah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
5. Karyawan sekretariat Prodi Sastra Indonesia, Mbak Theresia Rusmiyati,
yang selalu siap sedia ketika penulis membutuhkan bantuan administrasi.
6. Teman-teman angkatan Sastra Indonesia 2013, terima kasih atas
kebersamaan selama kuliah, dalam proses di dalam maupun luar kelas.
7. Anna Elfira, teman hidupku yang mau selalu bersabar ketika penulis
menyelesaikan skripsi.
8. Keluarga penulis, Bapak, Ibu, dan adik, terima kasih atas dukungan materi
dan rohani.
9. Teman-teman kerja di Lembaga Bahasa Sanata Dharma, terima kasih atas
dukungan dan motivasi.
10. Seluruh Karyawan Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas pelayanan
dan hospitalitas selama masa studi penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas perhatian dan dukungan yang diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu,
segala saran dan kritik dari segala pihak akan penulis terima dengan besar hati.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang. Isi skripsi ini
merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Yogyakarta, 12 Juni 2017
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRAK
Priyatno, Vincentius Gitiyarko. 2017. Konteks Sosial dan Ideologi Proletar
Tokoh Utama dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya
Ananta Toer. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji konteks sosial dan ideologi proletar tokoh utama
dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan penelitian
ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan unsur intrinsik yang befokus pada
tokoh, penokohan, dan latar, mendeskripsikan konteks sosial, dan menganalisis
ideologi proletar dalam novel Bukan Pasar Malam.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan teori
Marxisme. Teori Marxisme dimulai dari munculnya Manifesto Partai Komunis
yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Penelitian ini diawali dengan
analisis unsur tokoh, penokohan dan latar, lalu deskripsi konteks sosial yang
terdapat dalam novel dan situasi Indonesia pada masa itu, kemudian analisis
ideologi proletar yang terdapat di dalam tokoh utama pada novel.
Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu metode studi pustaka. Novel ini dibaca secara mendalam kemudian data yang
diperoleh dicatat. Metode dan teknik analisis data yaitu analisis isi. Data yang sudah
diperoleh kemudian dianalisis dengan teori strukturalis dan teori Marxisme. Metode
dan teknik penyajian hasil analisis data adalah deskriptif kualitatif. Hasil analisis
akan dideskripsikan secara kualitatif, yaitu peneliti mendeskripsikan konteks sosial
dan ideologi proletar yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam.
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Terdapat tiga gradasi tokoh
dalam novel Bukan Pasar Malam, yaitu tokoh utama, tokoh utama tambahan dan
tokoh tambahan. Tokoh utama adalah Aku, tokoh utama tambahan adalah Ayah,
sementara tokoh tambahan adalah Istri Aku. Aku adalah seorang pemuda yang ikut
dalam perjuangan revolusi, sementara Ayah adalah seorang pensiunan guru yang
ikut berjuang dalam masa kemerdekaan. Istri Aku adalah orang Sunda yang
dinikahi oleh Aku. (2) Konteks sosial novel Bukan Pasar Malam adalah situasi
Indonesia ketika Revolusi. Ini bisa dilihat dari surat yang tertanggal 1949. Masa
Revolusi berlangsung dari 1945-1950. Perjuagan Revolusi di satu sisi terasa begitu
herois, tetapi di sisi lain juga muncul tindakan brutal yang dilakukan oleh pemuda.
Novel ini ditulis tahun 1951 ketika Pramoedya belum aktif di Lekra dan masih
apatis terhadap politik. (3) Ideologi proletar yang ada meliputi (a) Tidak ada
perencanaan kebutuhan di luar kebutuhan primer, (b) Borjuisme adalah musuh, (c)
Akses kesehatan adalah hal yang tidak mungkin, dan (d) Relasi dengan sesama
adalah relasi ekonomi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ideologi proletar sudah
nampak ada dalam novel Bukan Pasar Malam, meskipun Pramoedya belum
terpengaruh oleh pemikiran kiri. Ditemukannya ideologi proletar dalam novel
menunjukan bahwa Pramoedya sudah memiliki benih-benih pemikiran kiri
meskipun dia belum bersinggungan dan terpengaruh oleh pemikiran tersebut secara
formal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
ABSTRACT
Priyatno, Vincentius Gitiyarko. 2017. Social Context and Proletarian Ideology
of The Main Character in Bukan Pasar Malam a Novel by Pramoedya
Ananta Toer. Yogyakarta: Indonesian Letters Study Programme,
Department of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma
University
This study examines the social context and proletarian ideology of the main
character in the novel Bukan Pasar Malam by Pramoedya Ananta Toer. The
purpose of this research is to analyze and describe intrinsic elements that focus on
character, characterization, and setting, to describe social context, and to analyze
proletarian ideology in novel Bukan Pasar Malam. This research uses literature
sociology approach with Marxism theory. Marxist theory begins with the
emergence of the Communist Party Manifesto written by Karl Marx and Friedrich
Engels.
This research begins with the analysis of elements of character,
characterization and setting, then the description of the social context contained in
the novel and the situation of Indonesia at that time, then analysis of proletarian
ideology contained in the main character in the novel.
Methods and techniques of data collection used in this study is close reading
method. This novel is read in depth then the data obtained is written. Method and
technique of data analysis is content analysis. The data obtained then analyzed with
structuralist theory and Marxism theory. Method and technique of presentation of
result of data analysis is descriptive qualitative.
The results of the analysis will be described qualitatively, that is researchers
describe the social context and proletarian ideology that exist in the Bukan Pasar
Malam novel. The results of this study are as follows: (1) There are three gradations
of characters in Bukan Pasar Malam, namely the main character, additional main
character and additional characters. The main character is I, the main additional
character is Dad, while the additional character is The Wife of I. I was a young man
who took part in the revolutionary struggle, while Father was a retired teacher who
fought for independence. The wife is a Sundanese whom I marry. (2) The social
context of the novel is the situation of Indonesia Revolution. This can be seen from
a letter dated 1949. The Revolution period lasted from 1945-1950. The
Revolutionary battles on one side were so heroic, but on the other side also came
the brutal actions acted by the youth. The novel was written in 1951 when
Pramoedya was not active in Lekra yet and still apathetic towards politics. (3) The
ideology of the proletariat includes (a) there is no need planning beyond the primary
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
needs, (b) bourgeois is the enemy, (c) access to health facilities is impossible, and
(d) relations with others is an economic deal.
From the results of the study, the conclusion is ideology of the proletariat
already appears in the Bukan Pasar Malam novel, although Pramoedya has not been
affected by leftist thinking. The discovery of proletarian ideology in the novel
shows that Pramoedya already has the seeds of leftist thought even though he has
not been intersected and influenced by the thought formally.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA......................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN.................................................................. v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS....................................................... viii
ABSTRAK........................................................................................................ ix
ABSTRACT ...................................................................................................... xi
DAFTAR ISI.................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4
1.4 Manfaaat Hasil Penelitian ............................................................... 5
1.5 Tinjauan Pustaka ............................................................................. 5
1.6 Landasan Teori ............................................................................... 6
1.6.1 Unsur Intrinsik.................................................................. 6
1.6.2 Sosiologi Sastra................................................................
1.6.3 Ideologi............................................................................. 12
1.6.4 Marxisme.......................................................................... 13
1.7 Metodologi Penelitian...................................................................... 15
1.8 Sistematika Penyajian ..................................................................... 17
BAB II TOKOH, PENOKOHAN, DAN LATAR DALAM NOVEL
BUKAN PASAR MALAM
2.1 Tokoh dan Penokohan .................................................................... 18
2.2 Latar ............................................................................................... 30
BAB III KONTEKS SOSIAL KEPENGARANGAN PRAMOEDYA
ANANTA TOER
3.1 Konteks Sosial Indonesia................................................................ 36
3.2 Konteks Sosial dalam Novel........................................................... 41
3.3 Konteks Sosial Pramoedya Ananta Toer ........................................ 43
BAB IV IDEOLOGI PROLETAR TOKOH UTAMA DALAM NOVEL
BUKAN PASAR MALAM
4.1 Tidak Ada Perencanaan Kebutuhan di Luar Kebutuhan Primer..... 47
4.2 Borjuisme adalah Musuh................................................................. 50
4.3 Akses Kesehatan adalah Hal yang Tidak Mungkin......................... 52
4.4 Relasi dengan Sesama adalah Relasi Ekonomi................................ 54
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan...................................................................................... 58
5.2 Saran ............................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 62
BIODATA PENULIS...................................................................................... 64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra dalam bentuk apapun tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial
yang melingkupinya. Hal ini berlaku pula untuk salah satu bentuk karya sastra yaitu
novel. Peristiwa-peristiwa yang menjadi penggerak alur sebuah novel merupakan
refleksi dan representasi dari realita yang terjadi dalam bentuk masyarakat.
Penyajian ini bisa dalam bentuk yang sangat konvensional sampai yang sangat
eksperimental.
Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu pengarang yang menganut aliran
realisme sosial secara konsisten (Kurniawan, 2003:103). Realita sosial yang ada di
dalam novelnya menghadirkan apa yang terjadi dalam masyarakat tempat ia hidup.
Salah satu novelnya yang berbicara tentang masyarakat secara nyata adalah Bukan
Pasar Malam. Novel ini menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa
setelah kemerdekaan Indonesia.
Meskipun demikian, Pram bukanlah sosok penulis dengan ideologi yang
matang begitu saja. Pemikiran dan ketertarikannya dalam bidang sastra, sejarah dan
politik pun mengalami pasang surut (Farid, 2008:1). Dia dikenal sebagai sastrawan
namun juga sebagai seorang yang tertarik dengan pencatatan sejarah. Di masa awal
kemerdekaan dia mejadi orang yang cukup tegas mengkritisi revolusi. Maka dari
itu, Bukan Pasar Malam adalah salah satu karya yang bermaksud untuk tujuan
tersebut. Novel ini ditulis –diterbitkan pertama kali – pada tahun 1951 dan berbicara
tentang situasi Indonesia pada sekitar revolusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Meskipun sudah memasuki masa kemerdekaan, masa transisi dirasakan
berat oleh orang-orang pada masa itu. Kesenjangan sosial dan kemiskinan tetap
menjadi permasalahan sehari-hari yang harus dihadapai oleh orang-orang Indonesia
pada masa itu. Lebih lagi, orang-orang nasionalis pada masa itu merasa tidak cukup
mendapatkan kebahagiaan seperti yang mereka dambakan semasa perjuangan
kemerdekaan. Pramoedya memberikan konteks sosial tersebut untuk membungkus
alur cerita dan peristiwa-peristiwa yang ia hadirkan dalam novel Bukan Pasar
Malam.
Jika dibaca secara lebih mendalam, akan terlihat bagaimana Pramoedya
sebagai penulis mencurahkan ideologinya mengenai kelas sosial, terutama
proletariat dalam novel ini. Proletariat digambarkan secara detil tentang kehidupan
dan dunianya. Adanya kesenjangan ekonomi menyentuh bagian terdalam dari
sebuah kehidupan manusia, termasuk relasi antara dirinya dengan keluarganya.
Pilihan-pilihan sebuah keluarga proletar nampak bukan karena karsa mereka,
namun lebih karena memang situasi yang menjepit mereka.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa karya ini ditulis pada tahun 1951. Pada
masa itu Pramoedya Ananta Toer masih mengakui diri tidak terlibat dalam partai
dan ideologi apapun. Dia bahkan berusaha mengambil jarak dari politik (Farid,
2008). Meski demikian, benih-benih ideologi kiri sebenarnya sudah mulai tampak
seperti yang nampak dalam novel Bukan Pasar Malam.
Novel-novel yang juga sezaman dengan novel Bukan Pasar Malam di
antaranya Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Cerita dari Blora (1951),
Mereka yang Dilumpuhkan (1951). Novel-novel ini merupakan bagian dari
perjalanan Pram sebagai penulis termasuk ideologi yang dia bawa dalam setiap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
tulisan. Merujuk apa yang ditulis oleh Hilmar Farid maka novel-novel tersebut
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ketika dia belum terpengaruh oleh ideologi
kiri.
Dengan menampilkan masyakarat dan membicarakan kehidupannya,
sebuah novel mengantar pembacanya untuk berefleksi tentang masyarakatnya
sendiri. Selain itu, representasi sosial yang terdapat dalam sebuah novel bisa
memberi pemahaman lebih mendalam mengenai apa yang terjadi dalam sebuah
masyarakat dengan konteks sosial dan waktu tertentu.
Dalam penelitian sastra, sosiologi sastra menjadi teori yang digunakan
untuk meneliti hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Karl Marx, yang
kemudian dikenal teorinya sebagai Marxisme, membagi masyarakat menjadi dua
kelas sosial, yaitu kelas borjuis dengan proletar (Marx, 1948:2) Dengan teori ini
maka dapat dilihat cara kelas sosial direpresentasikan dalam sebuah novel. Secara
lebih spesifik bisa dilihat pengarang menampilkan ideologi borjuis dan proletar
dalam novelnya.
Selain membagi masyarakat ke dalam kelas borjuis dan proletar, Marx
(1848:2) juga menyebutkan dampak dari adanya kelas sosial tersebut. Dampak
tersebut terutama memengaruhi cara orang saling berelasi dalam masyarakat.
Adanya kapitalisme membuat relasi menjadi sekadar relasi ekonomi. Struktur
masyarakat yang feodal dan relasi hormat menghormati bergeser menjadi relasi
terbatas pada interaksi ekonomi atau kapital, sehingga kelas-kelas dalam
masyarakat menjadi lebih sederhana namun tajam dan terbagi dalam dua kelas yaitu
borjuis dan proletariat. Dalam relasi dan singgungan antara kedua kelas ini akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
membuat tiap-tiap kelas bereaksi. Baik kelas proletar maupun borjuis pada akhirnya
akan memiliki cara pandang dan berpikir masing-masing.
Penelitian ini secara khusus akan melihat ideologi proletar dihadirkan oleh
Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bukan Pasar Malam. Novel yang mengambil
latar pasca kemerdekaan Indonesia ini secara dominan menggambarkan kehidupan
kaum proletar setelah Indonesia merdeka, khususnya di akhir masa Revolusi yaitu
akhir tahun 1949 menuju 1950 (Ricklefs, 2005:428). Dengan mengetahui
kehidupan kaum proletar pada masa itu kita bisa lebih memahami keadaan
Indonesia pada masa itu. Lebih lagi akan bisa dipahami cara kaum proletar berpikir,
merasa, dan bertindak dalam kehidupannya dalam konteks sosial tersebut. Setelah
itu, bisa direfleksikan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia pada masa ini.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah tokoh dan penokohan, serta latar novel Bukan Pasar Malam
karya Pramoedya Ananta Toer ?
2. Bagaimanakah konteks sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya
Pramoedya Ananta Toer ?
3. Bagaimanakah ideologi proletar dalam novel Bukan Pasar Malam karya
Pramoedya Ananta Toer ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1. Mendeskripsikan tokoh dan penokohan, serta latar novel Bukan Pasar
Malam karya Pramoedya Ananta Toer.
2. Mendeskripsikan konteks sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya
Pramoedya Ananta Toer.
3. Mendeskripsikan ideologi proletar dalam novel Bukan Pasar Malam karya
Pramoedya Ananta Toer.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini :
1. Manfaat teoretis, penelitian ini menerapkan pendekatan sosiologi sastra
untuk menjelaskan situasi sosial dan ideologi proletar yang ada dalam novel
Bukan Pasar Malam.
2. Manfaat praktis, penelitian ini juga memberikan sumbangan untuk
memahami situasi masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan, terutama
kaum proletas sebagai masyarakat kelas bawah. Selain itu, penelitian ini
bermanfaat untuk memberi pandangan sebuah novel menanggapi peristiwa
yang terjadi dalam masyarakat.
1.5 Kajian Pustaka
Sudah menjadi hal yang umum bahwa karya-karya Pramoedya Ananta Toer
selalu bertema sosial. Dalam buku berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra
Realisme Sosialis dipaparkan dengan sangat mendalam oleh Eka Kurniawan
tentang karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang selalu memiliki gaya realisme
sosial. Artinya kenyataan sosial hadir dalam karya-karya Pram. Namun, novel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Bukan Pasar Malam tidak dimasukkan sebagai data penelitian Eka Kurniawan
tersebut (Kurniawan, 2013).
Secara khusus novel Bukan Pasar Malam pernah diteliti dengan
pendekatan Marxisme. Misalnya “Marjinalisasi Kaum Proletar pada Novel Bukan
Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer” karya Akun Baehaki tahun 2014.
Yang diteliti di sini adalah marginalisasi yang dialami oleh kaum proletar. Namun,
ideologi proletar itu sendiri belum dibicarakan secara lebih lanjut. Fokus dari
penelitian tersebut ada pada situasi yang membuat kaum proletar menjadi kaum
yang tertindas. Sementara cara kaum proletar memandang, merasa, dan memaknai
peristiwa belum dibahas.
Selain itu, ada juga skripsi yang membahas novel Bukan Pasar Malam
dengan meneliti nilai-nilai sosial yang terkandung dalam novel ini. Penelitian
tersebut berjudul “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Prammedya
Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Satra” karya Mega Feyani tahun
2011. Skripsi ini menunjukkan adanya bela rasa dan rasa saling menghargai di
antara masyarakat kelas bawah. Pendekatan dan teori yang diambil lebih bersifat
moralis, karena yang dilihat adalah relasi antara sesama kelas bawah yang saling
berbela rasa satu sama lain.
Sejauh penulis melihat, belum ada penelitian yang secara khusus membahas
secara spesifik tentang ideologi proletar dalam novel Bukan Pasar Malam. Proletar
yang dimaksud adalah pembagian kelas sebagaimana termaktub dalam Manifesto
Komunis karangan Karl Marx dan Engels. Dengan demikian, kebaruan dari
penelitian ini adalah secara spesifik mendeskripsikan ideologi proletar dalam novel
karya Pramoedya ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.6 Landasan Teori
Ada beberapa landasan teori yang digunakan untuk mendukung penelitian
ini. Landasan teori yang digunakan yaitu :
1.6.1 Struktur Intrinsik
Tokoh dan penokohan serta latar unsur intrinsik digunakan untuk
mengetahui konteks sosial yang menjadi pembungkus cerita dalam novel yang
diteliti.
Tokoh menunjuk pada tokoh atau siapa yang ada dalam sebuah cerita.
Sementara penokohan atau karakterisasi adalah penempatan tokoh-tokoh dalam
sebuah cerita ke dalam watak-watak tertentu (Nurgiyantoro, 2010). Kemudian, latar
atau setting adalah landaran tumpu. Secara konkret latar adalah tempat, hubungan
waktu dan lingkungan sosial di mana cerita itu berlangsung (Nurgiyantoro, 2010).
Ada beberapa pembedaan tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah novel. Salah
satu yang bisa digunakan untuk mengklafisikasi tokoh dalam novel adalah tokoh
utama dan tokoh tambahan. Penjelasan dari pembagian tokoh tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Tokoh
a.1 Tokoh Utama
Tokoh utama seperti namanya adalah karakter utama yang menjadi
pusat cerita. Tokoh ini adalah tokoh yang diutamakan dalam penceritaan
sebuah novel (Nurgiantoro, 2010:177). Dalam setiap novel, tokoh utama
mendapat porsi paling banyak dalam alur cerita. Bahkan, setiap peristiwa
yang terjadi pasti berkaitan dengan tokoh utama. Dalam beberapa novel,
porsi tokoh utama sangat besar bahkan hadir dalam setiap kejadian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Dalam beberapa novel, tokoh utama tidak hadir secara langsung atau
tidak muncul dalam setiap kejadian. Namun, kejadian tersebut pada
pokoknya tetap berkaitan dengan tokoh utama. Akibat dari porsi penceritaan
yang sangat besar terhadap tokoh utama, maka tokoh ini akan selalu
berkaitan dengan tokoh-tokoh lain. Tidak hanya itu, plot cerita pasti
dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam diri tokoh utama (Nurgiyantoro,
2010:178).
a.2 Tokoh Tambahan
Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, Nurgiyantoro (2010)
menjelaskan bahwa pembagian tokoh utama dan tokoh tambahan
merupakan sebuah gradasi. Tokoh utama pun bisa saja tidak hanya satu
tokoh melainkan beberapa tokoh. Hal ini tergantung sejauh mana dominasi
penceritaan antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya.
Tokoh tambahan merupakan tokoh yang porsi penceritaannya tidak
sebanyak tokoh utama. Namun, tidak berarti kehadiran tokoh tambahan
tidak menjadi penting. Tokoh tambahan yang juga mendominasi cerita bisa
disebut sebagai tokoh utama tambahan. Maka yang paling penting adalah
melihat gradasi keutamaan penceritaan dalam novel, karena pembagian
tokoh utama dan tambahan tidak dapat dipisahkan secara gamblang
(Nurgiyantoro, 2010:178).
Pembagian tokoh dengan klasifikasi tokoh utama dan tokoh tambahan
dipilih untuk mempemudah melihat ideologi yang ada dalam tokoh. Oleh karena
itu, penelitian ini akan berfokus pada apa yang terjadi pada tokoh utama dan tokoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
utama tambahan. Reaksi tokoh utama dan tokoh utama tambahan dengan
lingkungan dan tokoh-tokoh yang lain akan dilihat untuk memahami cara mereka
berpikir dan bereaksi atas sebuah kejadian.
b. Penokohan
Penokohan adalah penggambaran tiap tokoh yang ada dalam novel
(Nurgiyantoro,2010: 185). Penokohan ini meliputi penggambaran fisik dan non-
fisik. Penggambaran fisik meliputi hal-hal fisik seperti tinggi badan, berat, usia,
asal, dst. Pada dasarnya, hal-hal fisik yang menjadi karakteristik tokoh.
Penokohan tidak hanya penggambaran secara fisik, tetapi juga berkaitan
dengan hal-hal non-fisik. Hal tersebut meliputi pikiran, perasaan, keyakinan,
kepercayaan, dan bahkan ideologi yang dimiliki masing-masing tokoh
(Nurgiyantoro, 2010:186). Kehadiran setiap tokoh dalam setiap perisitiwa dan cara
dia bereaksi akan berkaitan erat dengan penokohannya.
c. Latar
Latar merupakan unsur pembangun sebuah karya bersama tokoh dan plot.
Latar atau setting inilah yang kemudian akan membentuk fakta cerita dalam sebuah
karya sastra. Sebuah karya prosa menempatkan latar sebagai landasan cerita yang
konkret dan jelas (Nurgiyantoro,2000:217). Dalam sebuah karya, latar tidak
terbatas dalam sesuatu yang bersifat fisik, namun juga dapat berupa adat,
kepercayaan dan nilai-nilai. Latar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu latar waktu,
latar tempat dan latar sosial.
c.1 Latar Waktu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Latar waktu dikaitkan dengan soal kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
yang ada dalam sebuah karya. Setiap latar waktu dalam sebuah karya sering
dikaitkan dengan waktu faktual, yaitu waktu yang berhubungan dengan suatu
peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2000:230).
Suatu peristiwa sejarah yang sudah banyak diketahui pembaca akan
membatu pembaca memahami suasana dan keadaan yang ingin dibangun oleh
pengarang. Latar waktu digunakan pengarang untuk membangun suasana dan
situasi sebuah peristiwa. Dengan demikian, suasana dan situasi tidak diungkapkan
secara eksplisit, namun melalu latar waktu yang digunakan.
c.2 Latar Tempat
Latar tempat adalah unsur latar yang menunjukkan lokasi terjadinya
peristiwa. Dalam sebuah karya, latar tempat bisa berupa lokasi sungguh ada dalam
kenyataan (Nurgiyantoro, 2000:227). Misalnya nama kota tempat terjadinya suatu
peristiwa dapat dijumpai di dunia nyata; seperti Magelang, Bantul, Sleman,dst.
Selain dengan penyebutan nama yang jelas, latar juga bisa berupa suatu
tempat dengan sifat-sifat yang umum dipahami oleh pembaca. Latar seperti ini
biasanya di hutan, sungai, kebun atau di sebuah rumah. Dengan analogi pementasan
suatu drama, latar tempat merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa.
c.3 Latar Sosial
Latar sosial merujuk pada segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku
kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam suatu karya. Tata kehidupan
sosial ini mencakup hal-hal yang kompleks (Nurgiyantoro, 2000:233). Latar sosial
dapat diihat dari tingkah laku antartokoh dalam sebuah cerita. Hal ini juga dapat
dianalisa dari reaksi-reaksi tokoh dalam menanggapi suatu kejadian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Latar sosial berkaitan erat dengan tempat kejadian suatu peristiwa. Latar
yang mengambil daerah pedesaan akan menggambarkan pula situasi pergaulan dan
adat istiadat di daerah tersebut. Selain itu penggunaan bahasa khas daerah dan
penamaan tokoh juga berkaitan erat dengan latar sosial (Nurgiyantoro, 2000:235).
1.6.2 Sosiologi Sastra
Ada beberapa hal pokok yang bisa dipegang dalam teori sosiologi sastra.
Sapardi Djoko Damono memaparkan bahwa sosiolosi sastra bisa
mempermasalahkan ideologi pengarang tentang masyarakatnya, sosiologi sastra
yang mempermasalahkan karya itu sendiri, dan sosiologi sastra yang
memasalahkan pengaruh sosial sebuah karya sastra (Damono, 1978:34).
Secara khusus penelitian ini akan berfokus pada teks sastra itu sendiri.
Sastra adalah refleksi atau cerminan dari masyarakat (Faruk, 2014:5). Dalam
konteks ini akan dilihat sejauh mana sebuah karya satra mencerminkan masyarakat
dan juga sejauh mana sebuah karya digunakan pengarang untuk mewakili seluruh
masyarakat.
Sosiologi sastra akan menjadi pendekatan utama dalam penilitian ini.
Konteks sosial dan situasi masyarakat akan menjadi pokok pembahasan yang
dominan. Pendekatan sosiologi sastra sekaligus akan menjadi pembatasan
pembahasan penelitian. Maka konteks sosial yang menjadi setting dari novel Bukan
Pasar Malam akan menjadi acuan dalam penentuan latar.
Sosiologi sastra tidak melepaskan sebuah karya dari konteks sosial tempat
karya tersebut lahir. Dengan demikian, akan dilihat pula konteks sosial karya ini
untuk mempertajam pembahasan dan memberikan konteks yang lebih luas untuk
memahami karya ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
1.6.3 Ideologi
Jika melihat KBBI (Depdiknas, 2008:538) ada tiga definisi tentang ideologi.
Pertama, kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas. Kedua, cara berpikir
seseorang atau suatu golongan. Ketiga, paham atau teori, dan tujuan yang berpadu
merupakan suatu program sosial politik. Istilah ideologi yang menjadi landasan
teori penelitian ini adalah definisi yang kedua yaitu cara berpikir seseorang atau
suatu golongan.
Secara lebih khusus lagi ideologi merupakan cara-cara merasa, menilai,
memandang, dan memercayai yang berhubungan dengan kekuatan sosial (Eagleton,
2007:20) Dengan demikian ideologi cara berpikir, merasakan dan bertindak dari
sebuah kelas sosial. Kelas sosial yang dimaksud di sini mengikuti pembagian kelas
yang dimaksud oleh Karl Marx.
Ideologi ini dalam novel akan ditentukan oleh relasi yang terjadi di antara
kelas-kelas. Apa yang terjadi dalam interaksi yang ada mencerminkan reaksi yang
muncul dalam diri tokoh. Setiap tokoh mewakili kelas sosial tertentu. Dengan
demikian, akan bisa diteliti bagaimana cara merasa, menilai, memandang dan
memercayai sebuah kejadian. Sesuai dengan apa yang dikemukakan
Eagleton(2007:20) sebelumnya, ideologi selalu berhubungan erat dengan kekuatan
sosial dalam masyarakat.
Ideologi yang dimaksud di sini bukanlah paham yang telah terstruktur dan
sudah menjadi pegangan yang mapan dalam suatu masyakarat. Ideologi yang
dimaksud dalam penelitian ini lebih mengarah pada perasaan, pemikiran dan
tindakan kaum proletar atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam hidup mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Inilah yang akan menjadi pembatasan penyebutan istilah ideologi dalam penelitian
ini.
1.6.4 Marxisme
Marxisme merupakan teori sosial yang diprakarsai oleh Karl Marx dan
Friedrich Engels. Kedua orang ini sebenarnya menyebut apa yang mereka tulis
sebagai komunisme adalah apa yang termaktub dalam Manifesto Komunis
(Barry,2010:183). Karya Marx dan Engels ini kemudian menjadi pegangan kaum-
kaum reaksinoner untuk melakukan perlawanan. Secara jelas ada dua tujuan
mengapa Manifesto Komunis ini ditulis. Pertama, kehadiran Komunis sudah mulai
diakui oleh golongan lain. Kedua, Manifesto Komunis digunakan untuk
menyampaikan kepada dunia apa yang menjadi pandangan, cita-cita, tujuan dan
aliran mereka, serta melawan cerita-cerita selama ini mengenai “hantu” komunisme
yang mulai tersiar di Eropa. (Marx, 1848:1)
Berikut bunyi Manifesto Komunis berkaitan dengan tujuannya dituliskan:
I. Komunis telah diakui oleh semua kekuasaan di Eropa
sebagai suatu kekuasaan pula.
II. Telah tiba waktunya bahwa kaum Komunis harus
dengan terang-terangan terhadap seluruh dunia menyiarkan
pandangan mereka, cita-cita mereka, tujuan mereka, aliran
mereka, dan melawan dongengan kanak-kanak tentang Hantu
Komunisme ini dengan sebuah manifesto dari partai sendiri.
(Marx,1848:1)
Dalam penelitian sastra, kritik Marxis termasuk dalam ranah sosiologi
sastra. Marxisme secara metodis meneliti kehadiran kelas sosial dalam sebuah
karya sastra. Kelas sosial menurut Marx dibagi ke dalam dua kelas utama yaitu
Borjuis dan Proletar. Borjuis adalah kelas yang mempunyai akses langsung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
terhadap alat produksi, sementara proletar tidak memiliki akses kepada alat
produksi.
Dalam Manifesto Partai Komunis (The Communist Manifesto) yang ditulis
bersama Engels pada tahun 1848, Karl Marx mengatakan bahwa sejarah masyarakat
selama ini adalah sejarah perjuangan kelas. Secara khusus Marx juga menyatakan
relasi antara kaum borjuis dengan kaum proletar. Berikut tulisan Karl Marx dan
Freiderich Engels :
Borjuasi, di dalam sejarah, telah memainkan peranan yang
sangat Revolusioner. Borjuasi, di mana saja ia telah dapat
memperoleh kekuasaan, telah mengakhiri semua hubungan
feodal patriarkal pedesaan. Ia dengan tiada kenal kasihan telah
merenggut putus pertalian-pertalian feodal yang beraneka
ragam yang mengikat manusia pada "atasannya yang wajar",
dan tidak meninggalkan ikatan lain antarmanusia dengan
manusia selain daripada kepentingan sendiri semata-mata,
selain daripada "pembayaran tunai" yang kejam. (Marx,1848:2)
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa Marx melihat efek dari kapitalisme
dan kehadiran kaum borjuis dalam masyarakat. Relasi tradisional dalam budaya
masyarakat telah berganti menjadi relasi “pembayaran tunai” yang melihat relasi
antarmanusia sebatas pada relasi ekonomi saja.
Hal yang lebih ekstrem akan muncul dalam dunia yang dipandang oleh
Marx adalah hilangnya relasi budaya yang sudah terjalin dalam masyarakat selama
ini. Rasa hormat seseorang terhadap yang lain akibat konstruksi sosial yang terjadi
selama ini akan digantikan oleh relasi ekonomi. Relasi yang terjadi antara
masyarakat semata-mata hanya karena kepentingan ekonomi belaka.
Teori kelas sosial inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk
melihat ideologi yang dimiliki oleh kelas proletar terutama dalam bingkai
pandangan mereka terhadap kelas sosial yang ada di atasnya, borjuis. Pembagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
kelas menurut Marx ini pula yang akan menjadi dasar penentuan kelas sosial setiap
tokoh yang ada di dalam novel.
Dalam kajian Marxis tentang pembagian kelas terdapat dua diksi untuk
menyebut kelas bawah yaitu proletar dan proletariat. Pembedaan istilah ini bisa
ditemukan dalam KBBI (Depdiknas,2008:1134). Ada dua definisi untuk istilah
proletariat. Defisini pertama, proletariat adalah lapisan sosial paling rendah.
Sementara definisi kedua, proletariat adalah golongan buruh yang tidak memiliki
alat produksi dan hidup dengan menjual tenaga.
Selanjutnya ada satu definisi untuk proletar. Dalam KBBI proletar
merupakan orang dari golongan proletariat (Depdiknas,2008:1134). Dalam bahasa
Indonesia dengan demikian jelas perbedaan istilah proletariat dan proletar. Dengan
demikian, dalam skripsi ini istilah proletariat akan merujuk pada golongannya,
sementara proletar merujuk pada orang dari golongan proletariat.
1.7 Metode Penelitian
Tiga metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dan
teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian
hasil analisis data.
1.7.1 Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka dengan
referensi utama adalah novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.
Novel tersebut dibaca secara mendalam dan dicatat hasilnya yang kemudian
menjadi data utama dari penelitian. Teknik catat dipakai untuk mencatat data-data
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
yang akan mendukung dalam pemecahan perumusan masalah. Teknik catat
merupakan kelanjutan dari teknik simak (Sudaryanto, 193:133)
1.7.2 Metode Analisis Data
Dalam analisis data yang digunakan adalah metode analisis isi. Dasar dari
metode analasis isi adalah analisis isi pesan (Ratna, 2010:49). Metode ini dilakukan
dengan menganalisis secara lebih mendalam data-data yang telah didapat dalam
proses pengumpulan data. Setelah itu data tersebut dilihat dengan kerangka berpikir
Marxisme mengenai kelas sosial.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Data yang telah terkumpul dengan metode pencatatan dideskripsikan
dalam bentuk narasi. Isi dari deskripsi ini adalah data mengenai unsur intrinsik
dan konteks sosial yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya
Ananta Toer. Data ini kemudian dilanjutkan dalam bagian selanjutnya untuk
diteliti bagaimana ideologi kaum proletar terdapat dalam data-data tersebut.
1.7.4 Sumber Data
Karya sastra yang menjadi objek penelitian adalah novel dengan identitas
sebagai berikut :
Judul Buku : Bukan Pasar Malam
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Tahun terbit : 1999 (terbitan ulang), cetakan kedua
Penerbit : Bara Budaya Yogyakarta
Halaman : 100 halaman
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini dibagi menjadi empat bab dengan rincian sebagai berikut :
Bab I berisi pendahuluan sebagai pengantar. Di dalam Bab I terdapat latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi deskripsi mengenai tokoh dan penokohan serta latar yang ada
dalam novel Bukan Pasar Malam.
Bab III berisi deskripsi tentang konteks sosial di Indonesia dan dalam novel
Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Deksripsi ini didapat dari
kesimpulan setelah menganalisis unsur instrinsiknya yaitu tokoh dan penokohan
serta latar.
Bab IV merupakan analisis mengenai ideologi kaum proletar yang terdapat
dalam novel ini. Hasilnya didapat dari meneliti bagaimana kaum proletar merasa,
berpikir dan bertindak dalam novel Bukan Pasar Malam.
Bab V berisi penutup yang merupakan kesimpulan dan saran dari hasil
penelitian novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
BAB II
TOKOH, PENOKOHAN, DAN LATAR DALAM NOVEL
BUKAN PASAR MALAM
Sebelum meneliti ideologi kaum proletar dalam novel Bukan Pasar Malam
karya Pramoedya Ananta Toer, akan diteliti penokohan dan latar dalam novel ini.
Hal ini penting karena dengan melihat penokohan dan latar dapat dilihat lebih jelas
bagaimana tokoh tersebut merasa dan berpikir yang kemudian mencerminkan
ideologi dirinya.
Teori yang digunakan dalam bagian ini adalah teori strukturalisme.
Sebagaimana dalam landasan teori, Nurgiyantoro (2010:178) membagi tokoh
menjadi beberapa klasifikasi. Yang akan dipakai dalam bagian ini untuk
menganalisis tokoh adalah tokoh utama dan tokoh tambahan. Tidak berhenti pada
identifikasi tokoh utama dan tokoh tambahan, analisis akan dilanjutkan sampai
dengan penokohan untuk melihat karakteristik lebih dalam dari tokoh-tokoh
tersebut.
2.1 Tokoh dan Penokohan
Dalam bagian ini akan dijelaskan tokoh dan penokohan dari tokoh-tokoh
penting yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam. Dalam novel ini tokoh-tokoh
yang hadir didominasi oleh kaum proletar. Dengan demikian, pemahaman
mengenai penokohan dalam cerita ini dapat memberikan pemahaman lebih dalam
mengenai ideologi kaum proletar pada tahap berikutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Pembagian tokoh akan dilakukan berdasarkan tokoh utama dan tokoh
tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh pusat yang ada dalam setiap peristiwa.
Alur utama dalam novel berkaitan dengan tokoh utama. Selain tokoh utama yang
akan dilihat dalam novel ini adalah tokoh utama tambahan dan tokoh tambahan.
Pembagian ini mengikuti apa yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro seperti yang
sudah dipaparkan dalam landasan teori.
Klasifikasi tokoh utama, tokoh utama tambahan, dan tokoh tambahan ini
penting dilakukan di awal untuk memahami kelompok kelas sosial tokoh-tokoh
tersebut. Dengan mengetahui gradasi tokoh utama dan tambahan, akan lebih mudah
dipahami kejadian-kejadian apa saja yang berkaitan dengan tokoh-tokoh tersebut,
dan reaksi tokoh-tokoh tersebut dalam setiap kejadian.
2.1.1 Tokoh Utama
2.1.1.1 Aku
Tokoh Aku dalam novel ini merupakan tokoh utama. Aku
merupakan tokoh yang menjadi penggerak alur. Cerita novel ini diawali
dengan cerita mengenai tokoh Aku dan diakhiri pula oleh tokoh aku.
Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama dalam seluruh novel,
Pram tidak menyebutkan siapa nama tokoh Aku ini.
2.1.1.2 Penokohan Aku
Tokoh Aku menjadi tokoh utama karena memiliki porsi penceritaan
paling banyak. Hampir dalam setiap peristiwa tokoh Aku menjadi pusat
penceritaan. Hal itu berlaku baik dalam peristiwa yang menghadirkan tokoh
Aku maupun tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Tidak dijelaskan dengan rinci berapa usia tokoh aku, namun dari
cerita dalam novel ini usianya kira-kira menjelang 30 tahun. Di usia belasan
tahun dia meninggalkan kampung halamannya, Blora dan cerita dimulai
tepat ketika dia sekitar 20 tahun sudah meninggalkan kampung halamannya.
Dia meninggalkan rumahnya ketika dia masih sangat muda.
Kala aku masuk ke dalam rumah, kepalaku tersenggol
pada palang atap. Dan aku jadi berpikir, aku jadi tinggi
sekarang. Waktu aku meninggalkan rumah ini palang
itu masih tinggi di atas kepala. (Toer, 1999:18)
Dia adalah seorang pegawai kecil dan baru saja keluar dari penjara.
Dia tinggal di Jakarta. Istrinya adalah seorang berdarah Sunda dari Jawa
Barat. Kegelisahan tiba-tiba datang ketika ada surat dari Blora. Ayahnya
meminta dia untuk menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya
karena dia sedang sakit keras. Surat itu tertanggal 17 Desember 1949. Surat
tersebut berbunyi :
Blora, 17 Desember 1949
Anakku yang kucintai!
Di dunia ini tak ada sutau kegirangan yang lebih besar
daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan
anaknya kembali, anak yang tertua, pembawa kebesaran
dan kemegahan bapak, anaknya yang dalam beberapa
waktu terasking dari masyarakat ramai, terasing dari cara
hidup manusia biasa.
Anakku, aku dapat menggambarkan kesulitan jiwamu;
aku dapat menggambarkan penderitaanmu dalam ruang
yang sangat terbatas, karena aku mengalami sendiri
ketika pemberontakan P ....(red:Pesindo), selama dua
minggu hidup dalam tiga penjara. Mulai saat itu hingga
kini setiap malam aku bermohon kepada Tuhan seru
sekalian alam akan keselamatan dan kebahagiaan
keluarga, turun temurun. Dosa kita sekeluarga moga-
moga diampuni-Nya. (Toer, 1999:1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Ada dua poin utama yang disampaikan Bapak melalui surat ini.
Pertama, dia sangat mengharapkan kehadiran anaknya untuk pulang.
Penekanan bahwa Aku adalah anak tertua juga tertulis di sana. Anak
pertama mendapat penekanan karena menurut ayahnya dia yang menjadi
pembawa kebesaran dan kemegahan bapaknya. Kedua, Ayah menunjukkan
simpati terhadap situasi yang terjadi pada Aku. Kesulitan ini lebih
cenderung dalam tataran psikis karena secara eksplisit Ayah menulis
kesulitan jiwa. Kesulitan jiwa ini merujuk pada keadaan Aku yang baru saja
keluar dari penjara. “Ya, begitulah permulaan suratnya setelah aku dua
minggu keluar dari penjara.” (Toer, 1999:2)
Surat ini penting dan oleh Pram ditempatkan di awal sebagai
penggerak alur. Hal ini dikarenakan peristiwa-peristiwa yang terjadi
berikutnya, termasuk kegelisahan tokoh Aku, bermula dari surat yang
penting ini.
Surat yang juga penting dan selalu diingat oleh Aku adalah surat dari
pamannya. Berbeda dengan surat dari Ayah, surat dari paman lebih eksplisit
dengan nada sedikit mendesak agar Aku segera pulang ke Blora.
Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau
empat hari. Ayahmu sakit. Tadinya malaria dan batuk.
Kemudian ditambah dengan ambeien. Akhirnya
ketahuan beliau ke tbc. Ayahmu ada di rumah sakit
sekarang, dan telah empat kali memuntahkan darah.
(Pram, 1999:2)
Dalam surat ini begitu jelas tekanan yang datang untuk tokoh Aku.
Kondisi Ayah yang dikabarkan sangat buruk karena TBC menjadi perhatian
utama sekaligus alasan utama tokoh Aku merasa gelisah. Gelisah karena dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
memikirkan kondisi Ayahnya. Lebih lagi dia tidak punya cukup uang untuk
ongkos pulang ke Blora.
Kegelisahan pertamanya adalah relasi antara dirinya dengan
ayahnya yang kurang baik. Kegelisahan kedua adalah mengenai kondisi
ekonomi. Ia tahu bahwa ia butuh biaya perjalanan ketika harus pergi ke
Blora. Selain itu, biaya hidup di sana juga harus ada. Yang dia lakukan
kemudian adalah meminjam uang dari temannya.
Mula-mula aku terkejut mendengar berita itu. Sesak di
dada. Kegugupan datang menyusul. Dalam kepalaku
terbayang : ayah. Kemudian : uang dari mana aku dapat
uang untuk ongkos pergi?” Dan ini membuatku
mengedari Jakarta – mencari kawan-kawan – dan hutang
(Toer,1999:2)
Sebagai seorang pegawai kecil dia juga harus berpikir tentang
kelanjutan pekerjaannya jika harus ditinggalkan untuk pergi ke Blora. Ia
kemudian melihat sekelilingnya. Dia berpikir tentang Jakarta yang begitu
megah termasuk dengan istana negaranya. Akan tetapi, dia hanyalah
seorang kecil yang tidak bisa menikmati kemegahan Jakarta meskipun dia
tinggal di sana.
Dia akhirnya secara eksplisit mengungkapkan pandangannya
tentang orang kaya atau yang dia sebut dengan orang yang punya. Hal ini
dapat ditemukan dalam kutipan berikut :
Ya, sekiranya aku punya mobil- sekiranya, kataku –
semua ini mungkin takkan terjadi. Di kala itu juga aku
berpendapat: bahwa orang yang punya itu banyak
menimbulkan kesusahan pada yang tak punya. Dan
mereka tak merasai ini.(Toer,1999:3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Dalam pernyataan di atas nampak bagaimana tokoh Aku memiliki
kebencian terhadap orang yang punya. Ini berkaitan dengan kondisi dan
posisi sosialnya sebagai orang yang tak punya.
Mengenai masa lalu tokoh Aku, diceritakan bahwa dia sempat
ditahan selama dua setengah tahun. Namun, tidak diberi penjelasan lebih
lanjut mengapa dia sampai dipenjara. Yang bisa dilihat adalah semasa
Revolusi kemungkinan besar dia adalah kelompok muda yang mengangkat
senjata. Aku ikut dalam perang ini bisa dilihat dari kenangannya tentang
beberapa tempat yang ia lewati dalam perjalanan menuju Blora.
Kemudian Klender pun nampaklah dari jendela kereta
itu. Bangkai-bangkai pantserwagen1, brencarrier2, truk,
bergelimpangan di ladang-ladang dan di pinggir jalan
raya – senjata Inggris yang dilumpuhkan oleh baisan
pemuda, dan juga dilumpuhkan oleh ketuaannya sendiri.
Kemudian kereta pun sampailah di Cakung. Banyak
sekali kenang-kenanganku yang terikat pada dusun kecil
itu. Cakung – dalam lingkungan kebun karet, di mana
berganti-ganti pasukan pemuda terkurung kemudia
pasukan asing.
Dan aku meneruskan kenang-kenanganku kembali.
Kranji. Tambun. Cikarang – Rangkaian pertahanan
sebelum aksi militer pertama. (Toer,1999:7)
Dari kenangan Aku tentang masa lalunya semakin jelas bahwa dia
terlibat dalam gerakan perjuangan yang dilakukan oleh pemuda. Ini menjadi
alasan yang paling kuat mengapa dia sampai dipenjara.
1 Semacam tank yang digunakan untuk perang (dalam bahasa Belanda) 2 Kendaraan perang yang bisa mengangkut orang (dalam bahasa Belanda)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Bayangan tentang situasi Ayah tak pernah luput dari benak Aku.
Apalagi dengan tanggapan yang muncul dari sekelilingnya. Seorang kawan
pun mengingatkan Aku tentang situasi tersebut.
Seorang kawan bilang : sudah lama engkau ditahan – dua
setengah tahun! Dan selama itu tentunya ayahmu
merindukan kedatanganmu. Bukan itu saja. Pasti dia
menguatirkan keadaanmu juga. (Toer, 1999:11)
Dengan uang pinjaman yang ia dapat dari rekannya, Aku akhirnya
memutuskan untuk berangkat dari Jakarta ke Blora. Sesampainya di Blora
kegelisahan tokoh aku terutama tentang keadaan ekonomi juga tak selesai.
Pertama ia harus melihat kenyataan ayahnya yang sakit tidak bisa mendapat
perawatan yang lebih baik di sanatorium karena biaya yang mahal.
Kedua, dia juga mendapat kritikan dari lingkungan rumahnya karena
membiarkan rumahnya di Blora rusak di sana-sini dan tidak pernah
diperbaiki. Kritikan itu datang dari tetangganya yang dulu- seorang tukang
potong kambing.
Aku harap ayahmu lekas sembuh oleh kedatanganmu
itu. Dan lagi – dan lagi- orang tua-tua bilang – engkau
masih ingat, bukan ? Masih ingat apa yang kukatakan
tadi? Apabila rumahnya rusak ... (...) Engkau anak
sulung, Gus, aku harap – sekalipun aku bukan keluarga
atau familimu – peliharalah rumahmu itu.”
(Toer,1999:40).
Reaksi tokoh aku mendengar nasihat dari tetangganya ini adalah
kesal. Dalam benaknya dia merasa perkataan tukang kambing itu semakin
menambah masalah yang ada di benaknya.
Rumah dan sumur itu mengisi kepalaku sekarang.
Rumah rusak, dan orangnya pun rusak. Dan di sore
harinya waktu aku berangkat ke rumah sakit dan bertemu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
dengan tukang kambing itu, dengan tak berpikir panjang
keluar saja suaraku : Pak, rumah itu akan
kuperbaiki.(Toer, 1999:40-41)
Tokoh Aku sebenarnya adalah tokoh yang punya karakter kuat,
namun keterbatasan ekonomi membuatnya menjadi manusia peragu dan
sulit untuk menghadapai dunia di sekelilingnya tanpa kegelisahan. Misalnya
ketika ia memikirkan tentang kesehatan ayahnya. Tokoh Aku sampai datang
ke dukun untuk mencari solusi. Akan tetapi tetap saja dia masih diliputi
keraguan.
Tapi aku tak menjawab. Dalam dadaku timbul
pegulatan-pergulatan yang biasa timbul bila menghadapi
kekuasaan dukun. Betul-betul bisakah seorang dukun
mengobati si sakit yang dokter sendiri tidak sanggup?
Tapi harapan melenyapkan pergulatan itu : dukun itu
bisa, mesti bisa. Dan harapan itu membuat aku percaya
padanya. (Toer,1999:45).
Sebagai tokoh utama, Aku mendapat porsi perceritaan paling besar.
Dia menjadi tokoh utama karena setiap peristiwa yang ada dalam cerita pasti
berkaitan dengan dirinya. Bahkan ketika dia tidak ada dalam sebuah
peristiwa, kejadian itu tetap akan memberi pengaruh padanya.
2.1.2 Tokoh Utama Tambahan
2.1.2.1 Ayah
Tokoh utama tambahan dalam novel Bukan Pasar Malam adalah
Ayah. Tokoh ini secara sederhana bisa dimasukkan dalam tokoh utama,
tetapi dia tidak mendapat porsi sebesar tokoh Aku. Namun demikian dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
tetap menjadi fokus penceritaan. Bahkan konflik utama yang harus dihadapi
oleh Aku adalah sakit yang diderita oleh Ayah. Pada akhirnya cerita mulai
menemui antiklimaks ketika Ayah meninggal.
2.1.2.2 Penokohan Ayah
Ayah adalah seorang nasionalis. Dia adalah orang yang begitu
berjiwa besar untuk memberikan dirinya sebagai pejuang kemerdekaan.
Dengan profesinya sebagai guru dan kemudian pengawas sekolah, dia ingin
memberikan seluruh dirinya kepada pengabdian negara. Salah satunya
adalah apa yang dikenang oleh mantan muridnya berikut ini :
Pada hari pembukaan pertama murid yang masuk tiga
kali lipat banyaknya daripada di zaman Belanda dulu.
Kami di sekolahan kurang tenaga. Dan tiga hari sesudah
pembukaan itu rumahku didatangi pasukan dari batas
kota. Kalau Bapak meneruskan pembukaan sekolahan
itu, sekolahan itu akan kubakar. ..... Sekalipun di masa
perang sekolahan harus dibuka (Toer, 1999:47)
Ada hal berbeda yang bisa dirasakan dari karakter Aku dan Ayah.
Aku dalam kepribadiannya nampak begitu radikal dengan pendiriannya
terhadap penjajah. Namun, Ayah nampak lebih kompromis dengan
lingkungan di sekitarnya. Ini nampak dari sikapnya yang tetap mau
membuka sekolah dengan biaya dari pemerintah Belanda.
Pembukaan sekolahan ini, sekalipun atas ongkos
pemerintah Belanda, akhirnya kita-kita juga yang
mengecap hasilnya. Dan pasukan itu menerima alasan
itu. Sekolah tak jadi di bakar. Ya, tak sampai dibakar
sampai sekarang (Toer, 1999:47).
Pada masa Revolusi, Ayah adalah sosok yang disegani. Dia
dihormati karena semangat nasionalisme yang tinggi. Mengenai masa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
lalunya ketika menjadi guru dan pengawas sekolah, Ayah termasuk dalam
pasukan gerilya. Penjelasan ini bisa diperoleh dari dukun yang dulu sempat
bekerja sama dengan Ayah ketika berbicara dengan Aku.
Akhirnya kelak aku tahu juga, bahwa Ayah Tuan itu
tidak lain daripada salah seorang pemimpin
pemerintahan gerilya – sekalipun jadi pengawas sekolah
angkatan Belanda (Toer,1999:47)
Dukun itu ternyata adalah juga guru. Dan sosok Ayah di matanya
adalah tokoh yang sangat kuat. Begini dukun itu melanjutkan :
Alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas delapan belas
tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah
yang mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi
guru – untuk selama-lamanya. Sedang selama itu murid-
muridnya telah jadi orang-orang besar. Tapi guru tetap
jadi guru. Dalam dinasku itu pernah juga aku kena
penyakit jantung. Kalau ayah Tuan kena penyakit paru-
paru sesudah dinas tiga puluh tahun – itu suatu tanda
kekuatan. Beliau sangat kuat (Toer, 1999:47).
Jadi meskipun kini mengidap sakit paru-paru, menurut duku itu, hal
ini menunjukkan betapa kuatnya Ayah. Menjadi guru kala itu tidak mudah.
Bahkan menurut dukun itu, dia sendiri yang 18 tahun sudah merasa berat.
Sementara Ayah menjadi guru selama 30 tahun.
Status dan posisi ini bergeser setelah kemerdekaan didapat.
Heroisme atau kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Ayah membuatnya
menjadi orang yang disegani dalam masa perjuangan. Namun, ketika
kemerdekaan sudah didapat, respek itu sudah tidak nampak lagi. Heroisme
dan semangat nasionalisme itu tak membantu Ayah bisa menikmati masa
tuanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Di masa tuanya, Ayah mengidap sakit paru-paru. Dia harus dirawat
di rumah sakit sederhana yang tidak terlalu baik perawatannya. Ayah
menghabiskan masa tuanya di tempat tidur. Kedatangan anak sulungnya
dari Jakarta membuatnya cukup senang. Meskipun tetap saja kesehatannya
tidak kunjung membaik. Setiap hari anak-anaknya, termasuk tokoh Aku,
menjenguknya ke rumah sakit dan membawakan apa-apa yang diinginkan
oleh Ayah.
Meskipun mengalami kemerdekaan, namun Ayah tidak
mendapatkan kenikmatan hidup sebagaimana yang diimpikan oleh negara
yang merdeka. Tokoh Ayah adalah tokoh yang berpendirian teguh.
Menjelang kematiannya, Ayah tetap membanggakan dirinya sebagai
seorang nasionalis. Ini terlihat dari percakapan terakhirnya dengan tokoh
Aku.
Aku tak mau jadi ulama. Aku mau jadi nasionalis.
Karena itu aku jadi guru. Membukakan pintu hati anak-
anak untuk pergi ke taman patriotisme. (....) Karena itu
aku jadi nasionalis. Sungguh berat menjadi nasionalis.
Karena tiu aku memilih menjadi guru. Tapi aku rela jadi
nasionalis. Aku rela jadi korban semua ini
(Toer,1999:82)
Dalam perkataan Ayah terebut tersirat semangat dan kebanggaannya
sebagai seorang nasionalis. Meskipun perjuangan sebagai seorang
nasionalis tidak membuatnya mendapat penghargaan yang sepadan. Namun,
bagaimana pun Ayah tetap merasa bangga sebagai seorang nasionalis yang
berjuang untuk bangsanya.
2.1.3 Tokoh Tambahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
2.1.3.1 Istri
Tokoh tambahan dalam novel ini adalah istri. Dia mendapat porsi
penceritaan lebih sedikit dibandingkan dengan Aku atau Ayah. Namun,
kehadirannya sebagai tokoh dalam novel ini memberi efek keterasingan bagi
tokoh Aku.
2.1.3.2 Penokohan Istri
Istri tokoh Aku adalah seorang perempuan berdarah Sunda. Di awal
cerita dia nampak menunjukkan resistensi ketika harus ikut suaminya ke
Blora untuk menjenguk ayahnya yang sakit. Ia juga mengatakan agar tidak
terlalu lama berada di Blora. Ketika berdiskusi dengan suaminya dia
menunjukkan minat yang kecil untuk tinggal di Blora lebih lama. Beginilah
percakapan antara istri dengan Aku :
“Jangan terlalu lama di Blora,” kata isteriku.
Kupandang isteriku itu. Aku rasai keningku jadi tebal
oleh kerut mirut. Dan aku menjawab pendek : “Kita
melihat keadaanya dulu”. Sebentar bayangan kenangan
pada ayah hilang. “Barangkali kalau terlalu lama, aku
terpaksa pulang dahulu.” (Toer, 1999:8)
Ketika sampai di Blora, beberapa kali Istri tokoh Aku menunjukkan
ketidaknyamanannya tinggal di Blora. Bahkan dalam perjalanan menuju
Blora ia menunjukkan rasa tidak antusias. Beberapa kali cerita atau
pemandangan menarik yang ditunjukkan tokoh Aku tak membuatnya
bergairah.
‘Lihatlah jurang itu. Alangkah dalam!’ Kupandang
istriku. Ia membuka tapuk matanya. Dan kemudian
tapuk mata itu turun pula dan tertutup kembali. Aku
mengeluh. Ingin aku memperkenalkan keindahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
daerahku dengan jurang dan hutannya, dengan kijang
dan monyetnya. Ya, ingin sekali (Toer, 1999:15).
Tokoh Aku beberapa kali mencoba untuk mencairkan hati istrinya,
namun beberapa usahanya tidak membuat situasi hati istrinya berubah. Sang
istri tetap belum menunjukkan ketertarikannya akan perjalanan itu.
Kupandang isteriku. Berkata “Lihatlah, betapa cantiknya
hutan itu.” Diam-diam isteriku menjengukkan kepalanya
ke luar jendela. Kemudian kepalanya ditariknya lagi dan
ia bersandaran di pojok bangku kereta (Toer, 1999:15).
Sesampainya di Blora dia beberapa kali membicarakan topik untuk
kembali ke Jakarta. Namun, ia akhirnya tetap tinggal di Blora sampai
akhirnya Ayah meninggal.
2.2 Latar
2.2.1 Latar Waktu
Latar waktu yang ada dalam tokoh ini adalah Indonesia pada pasca
kemerdekaan Indonesia. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945. Jika melihat surat di awal cerita tertanggal 17 Desember 1949,
itu artinya cerita ini mengambil latar waktu sekitar empat tahun sesudah Indonesia
merdeka. Dengan demikian cerita ini berlatar sekitar zaman Revolusi.
Secara lebih khusus Indonesia memasuki masa Revolusi pada tahun 1945-
1950. Itu artinya tahun 1949 yang menjadi latar novel ini berada di tahun-tahun
penghujung Revolusi. Jika lebih lanjut kita melihat perjalanan Aku ke Blora dan
kenanganannya tentang perang maka bisa disimpulkan pula latar waktu novel ini
adalah masa perjuangan Revolusi. Ricklefs (2010,428) menyebutkan bahwa ada
kelompok yang mengangkat senjata untuk mempetahankan kemerdekaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Sekilas melela kenangan lama. Dulu – empat tahun yang lalu!
Dengan tiada tersangka-sangka Belanda menghujani
pertahanan kita dari tiga penjuru dengan delapan atau sepuluh
pucuk howitser. Jumlah itu bisa dihitung oleh berkas serdadu
artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka
melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku
berteriak dengan bercorong kedua tanganku: Jangan lari!
Rebahkan badan! Tapi mereka itu terlampau banyak,
terlampau bingung (Toer,1999:8-9).
Kutipan di atas menunjukan kenangan Aku tentang masa perang. Perang ini adalah
perang revolusi antara Belanda yang kembali setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan. Perang itu pun sampai menimbulkan trauma dalam diri Aku.
Peluru meriam jatuh meledak di sekitar bondongan manusia
yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai. Dan ingatanku
melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman dan kepada
ayah (Toer, 1999:9)
Kutipan di atas semakin menguatkan bahwa latar waktu Revolusi
merupakan peristiwa yang melatari ceritera novel Bukan Pasar Malam. Situasinya
lebih banyak berupa perang dan keadaan yang mencekam.
B. Latar Tempat
Dua latar tempat utama dalam novel Bukan Pasar Malam adalah kota
Jakarta dan kota Blora. Dua kota ini sebenarnya merupakan sebuah kontras keadaan
zaman pada masa Indonesia setelah merdeka. Jakarta menjadi simbol kemajuan dan
kemegahan sebuah kota pasca-kemerdekaan. Sementara itu, Blora menjadi simbol
kemiskinan dan belum meratanya kemakmuran Indonesia sesaat setelah Indonesia
merdeka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Dari sudut pandang tokoh Aku dia melihat Jakarta sebagai tempat yang
sangat mewah. Terutama ketika dia menggambarkan Istana Negara dan
mengkontraskannya dengan keadaannya yang melarat.
Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang
merah, sepedaku meluncuri jalan kecil depan istana.
Istana itu – mandi cahaya lampu listrik. Entah beberapa
puluh ratus waatt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan
dalam persangkaanku mengatakan : listrik di istana itu
paling sedikit lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa
kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan
istana mendapat tambahan (Toer,1999:4).
Blora adalah kebalikan dari Jakarta. Orang-orang di sana masih sangat
sederhana kalau tidak ingin mengatakan masih jauh dari kemapanan. Lebih lagi,
listrik adalah hal yang masih sangat mewah di sana. Jika di Jakarta bisa dijumpai
ribuan mobil, satu mobil saja di Blora adalah hal yang sangat langka. Latar tempat
yang digunakan oleh Pram untuk membungkus cerita ini adalah situasi yang
timpang antara kota dan desa, antara pusat dan daerah pinggiran. Situasi tempat
tinggal yang tidak kunjung membaik berbanding seimbang dengan situasi ekonomi.
Aku mengangguk berat, diberati oleh perhitungan harga kayu,
semen dan paku. Dan aku lihat orang tua itu mengerti juga
beratnya anggukanku (Toer, 1999:40)
Blora merupakan latar tempat utama dalam novel Bukan Pasar Malam.
Lebih dari separuh peristiwa terjadi di Blora. Sejak kedatangan tokoh Aku dan
istrinya di Blora, seluruh peristiwa terjadi di sana. Latar sempit yang ada di Blora
adalah rumah sakit dan rumah. Rumah sakit adalah tempat Ayah dirawat.
Sementara rumah adalah rumah masa kecil tokoh Aku. Rumah menjadi tempat
Ayah dibawa pulang menjelang kematiannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Latar tempat lain yang perlu dicatat meskipun tidak menghadirkan banyak
peristiwa adalah Semarang. Tokoh Aku dan istrinya mengunjungi Semarang dalam
perjalanan dari Jakarta ke Blora. Hal ini penting untuk mengetahui bahwa pada
masa itu perjalanan naik kereta dari Jakarta ke Blora bukanlah perjalanan sekali
sampai. Penumpang harus singgah di Semarang untuk menunggu kereta berikutnya
ke Blora.
Untuk melanjutkan perjalanan, mereka berdua harus pergi ke stasiun dan
mencegat kereta yang paling pagi. Setelah dari Semarang latar tempat berfokus di
dalam kereta dengan pemandangan perjalanan mulai dari pemandangan pantai
utara.
Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun. Antre beli karcis.
Dan kereta kami berpacu dengan mobil, dan memperhatikan
tamasya itu dengan hati gemas. Debu yang ditiupkan oleh
mobil – debu yang bercapur dengan berbagai macam tahi
kuda, tahi manuisa, reaknya, ludahnya – mengepul dan
menghinggapi kulit kami. Kadang-kadang kami dapati anak-
anak kecil bersorak-sorak sambil mengulurkan topinya
mengemis. (.....) Bila orang melempar-lemparkan sisa-sisa
makanan mereka berebutan (Toer,1999:14).
Perjalanan kereta itu kemudian sampai di Rembang. Tidak banyak yang
diceritakan di tempat ini. Hanya saja, Aku ingat tentang kota kelahirannya. Dia
teringat akan kota kelahirannya dengan jalan-jalan yang sempit dan penduduknya
yang miskin.
Kereta berjalan terus dan berjalan terus. Sampai di Rembang,
dia mulai membelok ke selatan dan melintasi hutan jati dan
sawah. Kian dekat dengan kota kelahiran kian nyata
terbayang-bayang jalan-jalan yang sempit, penduduknya
yang miskin, dan ayah (Toer, 1999:14).
Latar tempat berikutnya sebelum Blora adalah batas kota Blora. Meski
sedikit ada informasi yang penting dicatat di sini Blora juga merupakan kota yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
tidak lepas dari peperangan. Dalam ingatan Aku, daerah itu merupakan tempat
berdirinya gedung-gedung. Namun, perang membuatnya tinggal tanah lapang saja.
Waktu kereta memasuki batas kota Blora, nampak olehku,
tanah lapang – dan dulu gedung-gedung yang berdiri di tanah
lapang itu. Sekaligus terpikir olehku: peperangan yang
meruntuhkan bangunan-bangunan itu (Toer, 1999:15)
Melihat bermacam-macam latar tempat yang dipakai dalam novel ini, bisa
diambil kesimpulan bahwa ada latar tempat yang merupakan tempat kejadian atau
peristiwa. Sementara, ada pula latar yang merupakan tempat tokoh Aku mengenang
kejadian lalu ketika dia di dalam kereta dalam perjalanan dari Jakarta menuju Blora.
C. Latar Sosial
Latar sosial novel Bukan Pasar Malam adalah situasi masyarakat ketika
Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Situasi sosial yang
ditonjolkan dalam novel ini adalah kesenjangan sosial antara kaum borjuis dengan
kaum proletar. Pemenuhan kebutuhan tidak merata di antara masyarakat. Hanya
segelintir orang terutama yang punya jabatan yang bisa menikmati kemewahan.
Kalau engkau bukan residen, dan juga bukan menteri,
dan engkau ingin mendapat tambahan listrik tiga puluh atau
lima puluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tiga
ratus rupiah. Ini sungguh tidak praktis (Toer, 1999:4)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan listrik belum merata di
setiap daerah. Bahkan untuk mendapat akses listrik yang memadai orang harus
punya jabatan dan posisi yang memungkinkan. Tanpa jabatan dan posisi yang
memadai orang harus mengeluarkan uang yang cukup banyak.
Kondisi masyarakat Indonesia yang baru saja merasakan kemerdekaan
masih menunjukan ketidakstabilan. Situasi yang mungkin wajar untuk sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
negara yang baru saja merdeka. Hal ini bisa dilihat dari kondisi rumah-rumah orang
yang tidak membaik tetapi malah semakin buruk.
Blora ini masih tetap seperti waktu kutinggalkan dulu.
Rumah-rumah baru banyak didirikan. Dan rumah-rumah
yang dulu sudah miring-miring. Aku menegok ke arah
rumah. Meneruskan. Dan rumah kami pun sudah begitu
rusak (Toer, 1999:38).
Peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel karya Pram ini terjadi di Jakarta
dan dalam perjalanan ke Blora, serta kota Blora. Oleh karena itu, adat dan kebiasaan
tokoh-tokohnya berasal dari Jawa. Mereka menunjukkan stereotipe orang Jawa
yang berbicara kepada orang lain dengan gaya memperhalus ucapan. Misalnya
ketika tetangga Aku yang tukang potong kambing ingin menyuruh Aku
memperbaiki rumah, dia menggunakan kata sehalus mungkin.
Kalau bisa Gus, kalau bisa – harap rumahmu itu engkau
perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini.
Dan engkau terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang
sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua-
tua dulu : Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun
rusak (Toer, 1999:38).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
BAB III
KONTEKS SOSIAL
KEPENGARANGAN PRAMOEDYA ANANTA TOER
Dalam bagian ini akan dipaparkan situasi sosial Indonesia pada sekitar
zaman Revolusi. M.C. Ricklefs (2010,428-470) mengkategorikan tahun 1945-1950
sebagai masa Revolusi. Penelitian ini melihat situasi pada masa ini karena latar
waktu novel Bukan Pasar Malam berada di sekitar zaman Revolusi. Ini bisa dilihat
dari surat dari Ayah yang ada di awal novel, yaitu tanggal 17 Desember 1949.
Agaknya, Pramoedya tidak sembarangan dengan menjadikan tahun 1949 sebagai
latar waktu. Tahun 1949 menuju 1950 adalah saat Revolusi mencapai titik akhir.
Perjuangan melawan Belanda dan antek-anteknya untuk kembali merebut
Indonesia telah usai. Kemudian, Indonesia memasuk masa yang disebut sebagai
masa percobaan demokrasi (Ricklefs, 2005:471)
Ada dua konteks sosial yang akan dipaparkan dalam bagian ini. Pertama,
konteks sosial di Indonesia yang berisi beberapa peristiwa penting dalam pejalanan
Revolusi Indonesia. Kedua, konteks sosial yang ada dalam novel Bukan Pasar
Malam. Untuk membantu pemahaman lebih dalam mengenai ideologi kaum
proletar penting untuk melihat bagaimana situasi masyarakat dalam cerita yang
ditulis oleh Pramoedya ini.
3. 1 Konteks Sosial Indonesia
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dengan
memanfaatkan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, situasi
kemerdekaan tidak secara instan membuat kondisi Indonesia menjadi lebih baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Bahkan, mendapat pengakuan kedaulatan pun butuh perjuangan lebih lanjut
(Ricklefs, 2010:428).
Revolusi pascakemerdekaan Indonesia terjadi akibat kekalahan Jepang
dalam Perang Dunia II dan niat kembalinya Belanda dibantu tentara Sekutu untuk
menduduki Indonesia kembali. Akan tetapi, bukan berarti Jepang sudah pergi dari
Indonesia. berita proklamasi belum menyebar ke seluruh daerah. Ini membuat
tentara-tentara Jepang masih berkeliaran juga di beberapa daerah di Indonesia.
Maka keberanian bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan
sebenarnya bukan tanpa risiko. Dengan kemenangan Sekutu atas Jepang, tentu
Belanda merasa lebih punya kekuatan untuk kembali menduduki Indonesia.
3.1.1 Revolusi Indonesia
Ricklefs (2010:429) dalam buku berjudul Sejarah Indonesia Modern
menyebutkan adanya kepentingan baik dari Indonesia dan Belanda dalam Revolusi
dengan tujuan yang berbeda. Belanda bertujuan untuk menghancurkan negara yang
dipimpin orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang dan memulihkan kembali
daerah jajahan yang sudah mereka bangun lebih dari tiga abad (Ricklefs, 2010:429).
Sementara itu Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan
proses penyatuan pergerakan kebangkitan nasional yang sudah dibangun sejak awal
tahun 1900-an (Ricklefs, 2010:428). Revolusi pada masa itu sudah sampai menjadi
semacam euforia. Hadirnya Belanda yang ingin menduduki kembali Indonesia
malah menjadi penyulut persatuan, karena orang-orang Indonesia dengan semangat
lebih tinggi lagi tidak rela menyerahkan tanah mereka kembali kepada Belanda.
Usaha Belanda dalam mengambil alih menjadi hal yang sangat sulit dicapai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Di dalam masyarakat Indonesia sendiri perjuangan Revolusi tidak hanya
terpusat menjadi satu pandangan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat
yang beragam di antara rakyat Indonesa sendiri. Rickefs (2010:429) menyebut
bahwa pada dasarnya situasi di awal Revolusi adalah situasi yang kacau balau. Ada
golongan yang menentang dan yang mendukung. Masyarakat pun terbagi menjadi
generasi tua dan generasi tua, kelompok kiri dan kelompok kanan, juga kekuatan-
kekuatan Islam dan kekuatan sekuler.
Perjuangan Revolusi terbagi menjadi dua arus utama. Yang pertama adalah
kelompok yang mengangkat senjata. Yang kedua, adalah kelompok yang
memperjuangkan Revolusi dengan jalan diplomatik. Akan tetapi, bagaimanapun
Revolusi ini melahirkan euforia bagi bangsa Indonesia. Api perjuangan bangsa
Indonesia benar-benar berkobar saat ini.
Situasi ini membuat Jepang akhirnya perlahan mundur dari pusat kota ke
daerah pinggiran (Ricklefs, 2005:433). Kesempatan ini digunakan oleh para
pemuda untuk menduduki tempat-tempat penting seperti stasiun kereta api, sistem
trem listrtik, dan stasiun pemancar radio. Aksi ini dikhawatirkan oleh para generasi
tua akan memicu konfrontasi.
Peristiwa penting saat ini adalah diadakannya Medan Merdeka, yaitu rapat
besar yang dihadiri hampir 200.000 orang (Ricklefs,2005:433). Pertemuan ini
hampir memicu konfrontasi dengan pihak Jepang. Namun, Soekarno berhasil
membujuk orang-orang Indonesia untuk bubar dengan tertib tanpa menganggu
Jepang.
Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid 2
mempunyai BAB khusus yang membahas tentang Revolusi Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Penggambarannya tidak herois seperti yang dilakukan oleh Ricklefs. Bahkan judul
yang dia tulis adalah “Revolusi belum Selesai”. Situasi yang pelik pada masa
Revolusi disebut oleh Pram sebagai krisis revolusioner (Toer, 2000:175)
Krisis revolusioner ini menjadi titik puncak situasi sosial, ekonomi dan
politik. Masyarakat Indonesia pada masa itu mengalami kekacauan, kemiskinan
yang bahkan membuat orang mendekat ke kuburan. Yang dikritisi oleh Pram adalah
Revolusi hadir karena situasi alam atas kekosongan kekuasaan kolonial (Toer,
2000:175).
3.1.2 Semangat Revolusi dalam Sastra
Revolusi yang terjadi di Indonesia memang mempunyai pengaruh yang
cukup masif dalam kehidupan rakyat Indonesia pada waktu itu. Dalam bidang
sastra, semangat Revolusi juga terlihat dalam seni dan sastra. Inilah yang membuat
suatu generasi sastra dinamakan Angkatan ’45. Daya kreatif sastrawan angakatan
ini memuncak pada masa Revolusi. Tokoh-tokoh sastrawan yang terkenal pada
masa ini di antaranya adalah Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan Mochtar
Lubis (Ricklefs: 2010:433).
Sastra sebagai salah satu bentuk seni dipercaya dapat ikut ambil bagian
dalam perjuangan Revolusi. Pada masa ini pula akhirnya muncul majalah-majalah
dan surat-surat kabar Republik. Media ini beredar terutama di wilayah Jakarta,
Yogyakarta, dan Surakarta. Surat-surat kabar tersebut misalnya Asia Raya di
Jakarta, Tjahaja di Bandung, Sinar Baroe di Semarang, Sinar Matahari di
Yogyakarta, dan Soeara Asia di Surabaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Seni yang juga bergairah pada masa Revolusi adalah seni rupa. Lukisan-
lukisan modern karya Affandi dan Sudjojono juga semakin menemukan
bentuknya(Ricklefs,2005:445). Dukungan mereka yang paling nampak tidak hanya
menuangkan semangat Revolusi dalam lukisan, tetapi bahkan membuat poster-
poster anti-Belanda.
3.1.3 Pemuda dan Revolusi
Dalam novel Bukan Pasar Malam diceritakan beberapa masa lalu tokoh
Aku yang sempat dipenjara. Memang di dalam novel tidak dapat ditemukan secara
eksplisit apa yang membuatnya dipenjara. Namun, ingatannya tentang perang tentu
mengindikasikan dia adaah bagian dari kelompok pemuda yang ikut berperang pada
zaman Revolusi.
Penjelasan Ricklefs (2010,428-430) mengenai kaitan erat antara perang
Revolusi dan orang muda akan membantu untuk melihat apa yang terjadi. Pemuda-
pemuda di daerah banyak yang diperbolehkan untuk memegang senjata. Ini
membuat pemuda dapat mengambil alih beberapa tempat penting. Misalnya,
pemuda Indonesia mengambill alih stasiun kereta api dan pemancar radio dari
tangan Jepang.
Gairah dan euforia Revolusi pada masa itu menggerakkan semangat pemuda
untuk melibatkan diri secara langsung dalam pemerintahan. Tan Malaka bahkan
mengatakan Revolusi bagaimana pun juga harus dipegang oleh Pemuda. Pandangan
yang cukup bertentangan dengan apa yang dipikirkan oleh Soekarno dan Hatta.
Keduanya berpandangan bahwa sistem pemerintahan harus dipersiapkan dengan
matang dan harus dilalui dengan proses diplomasi (Vicker, 2005:98).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pemuda memilih
untuk mengangkat senjata untuk berperang dan berkonfrontasi. Sementara itu
generasi tua memilih jalan-jalan diplomatik. Jika dikaitkan dengan tokoh Aku
dalam novel Bukan Pasar Malam, sebagai pemuda dia mengangkat senjata. Inilah
penjelasan mengapa dia sampai dipenjara. Lebih lagi, memori tentang peperangan
dengan bangsa penjajah dia kenang dalam perjalannya ke Blora.
Sampai di sini perjuangan pemuda nampak sangat heroik dengan semangat
yang berkobar-kobar. Akan tetapi, kisah yang berbeda muncul dalam novel
Soerabaja karya Idrus. Novel ini memberi gambaran yang kontradiktif dengan
kisah brutal yang dilakukan oleh pemuda di Surabaya. Pemuda digambarkan
dengan revolver terselip di pinggang dan berjalan dengan angkuh serta menembak
ke segala arah tanpa tujuan yang jelas (Brotoseno, 2014:2)
Bahkan tindakan brutal itu sampai pada perbuatan kriminal dengan
pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang Tionghoa dan Indo yang dianggap
sebagai mata-mata (Brotoseno, 2014:2). Ini berarti perjuangan revolusi dan peran
pemuda yang begitu herois tidak mutlak menjadi satu kisah utama. Ada kekacauan
yang juga diciptakan oleh pemuda dalam masa Revolusi ini.
3.2 Konteks Sosial dalam Novel
Konteks sosial merupakan situasi sosial atau masyarakat yang melingkupi
dan membungkus sebuah karya. Setelah menganalisis tokoh dan penokohan serta
latar yang menjadi unsur instrinsik dalam novel ini, menjadi lebih jelas bagaimana
konteks sosial novel Bukan Pasar Malam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Pertama, adalah konteks Indonesia sekitar empat tahun pasca kemerdekaan.
Kemerdekaan merupakan sesuatu yang diperjuangkan oleh negara yang terjajah.
Perjuangan ini terus dilakukan untuk melepaskan diri dari penjajah. Tujuannya
adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebuah negara.
Namun, nyatanya dalam jangka waktu empat tahun setelah merdeka
Indonesia belum bisa mencapai kesejahteraan secara menyeluruh di wilayah
Indonesia. Penggambaran tentang situasi Blora pada saat Aku sampai bisa memberi
penjelasan, kemerdekaan tak membawa perubahan ke arah kemajuan secara cepat.
Kami jinjing bawaan kami. Dan dokar yang membawa kami
ke rumah yang sudah kutinggalkan selama ini berjalan ayem
seperti dulu juga. Dan pak kusir tak henti-hentinya
menghalau-halaukan kudanya dengan cambuk dan
perkataan. Banyak gedung runtuh di sepanjang jalan. Dan
gedung PTT yang jadi kebanggan penduduk kota Blora yang
kecil itu kini tinggal beton-beton tiangnya yang bersusun-
tindih seperti bantal dan guling. Aku menarik nafas panjang.
Tugu peringatan empat puluh tahun pemerintahan
Wilhelmina masih berdiri. Tapi keindahannya yang dahulu
lenyap. Dan tugu itu kini dicat merah muda. Aku tak
mengerti mengapa. Mungkin pasukan merah yang
mengecatnya waktu menduduki kota kami (Toer,1999:17).
Jika melihat apa yang terjadi di dalam novel, situasi masyarakat saat itu
cukup gamang. Terutama nasib para pejuang nasionalisme seperti Ayah tidaklah
menyenangkan. Ayah dapat menjadi representasi para pejuang nasionalis yang
nasibnya tidak membaik setelah kemerdekaan.
Konteks sosial berikutnya adalah keberadaan kaum proletar yang masih
melihat kesejahteraan sebagai sesuatu yang jauh dari mereka. Bahkan, tokoh Aku
malah menghujat kesejahteraan negaranya karena ia tidak bisa ikut menikmati
kesejahteraan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Penting untuk dicatat pula bagaimana kehidupan kaum nasionalis yang
memperjuangkan kemerdekaan. Ayah, sebagai pejuang kemerdekaan, tidak bisa
menikmati kemerdekaan yang telah diperjuangkan. Sekalipun ia tetap bangga
menjadi seorang nasionalis sampai akhir hidupnya, namun kenyataannya ia tetap
mati dalam ketidaksejahteraan. Konteks sosial inilah yang menjadi bungkus cerita
novel Bukan Pasar Malam.
3.3 Konteks Sosial Pramoedya Ananta Toer
Seperti yang telah disebutkan dalam bagian pendahuluan, Pramoedya
Ananta Toer bukanlah sosok stagnan yang berhenti pada suatu ideologi. Sebagai
seorang penulis, ideologi dan pemikirannya pun bergerak, berubah serta
berkembang. Ada pendapat yang mengelompokkan karya Pram menjadi dua bagian
besar. Pertama karya Pram sebagai mahakarya dengan kritik sosial yang kental.
Kedua, karya Pram yang cenderung seperti pamflet yang digunakan untuk
menyerang lawannya (Farid, 2008:1).
Latar sosial Pram adalah seorang penulis yang tidak terlibat dalam
organisasi atau partai tertentu. Hilmar Farid memberikan istilah unattached
intelectual untuk sikap seperti ini. Itu artinya seorang intelektual yang tidak terkait
dengan partai atau organisasi massa tertentu. Tidak hanya tidak terlibat, Pram
bahkan bersikap sedikit menjauhi politik (Farid, 2008:1)
Pada tahun 1950 Pram pernah bekerja di penerbit Balai Pustaka. Dia juga
membuka kantor agen sastra dan fitur bernama “Duta” yang bertahan sampai sekitar
tahun 1954 (Farid, 2008:1). Dengan demikian, ideologi kiri yang selama ini begitu
melekat pada Pram –hingga buku-bukunya dilarang – bukanlah sebuah produk yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
sekali jadi. Pramoedya sebagai penulis mengalami proses yang cukup panjang.
Bahkan Farid juga menyatakan bahwa apa yang ditulis oleh Pram pada tahun 1950-
an bernada sama seperti penulis pada itu yang menunjukkan reaksi atas revolusi.
Karya-karyanya dari zaman ini seperti kebanyakan penulis
sezamannya adalah potret dari keadaan Indonesia segera
sesudah perang yang sarat dengan kritik sosial, ungkapan
kekecewaan terhadap revolusi dan patriotisme yang kadang
tergelincir menjadi angkuh dan sewenang-wenang (Farid, 2008
dalam Pramoedya Ananta Toer dan Historiografi
Indonesia;Pramoedya dan Blok Intelektual Kiri).
Kebenaran bahwa Pramoedya mengalami proses pembentukan pemikiran
kiri dikonfirmasi oleh dirinya sendiri dalam sebuah wawancara. Hal ini termasuk
juga keterlibatannya dalam PKI dan LEKRA. Pram mengatakan bahwa ia tidak
pernah belajar Marxisme secara formal, bahkan dia tidak pernah dalam acara resmi
PKI. Alasannya, dia tidak punya bahan untuk berbicara.
Pernah datang ke acara PKI ? Nggak. Nggak punya materi,
nggak pernah belajar. Cuma sepotong-sepotong dari koran
aja. Ya, saya pernah mencoba membaca dalam bahasa
Belanda (Sirait,2011:42).
Dari jawaban Pramoedya tersebut nampak sekali dia bukanlah penganut
Marxis radikal. Ini membuktikan bahwa citra yang dibangun selama ini bahwa dia
penganut komunis dengan pemikiran kiri yang kuat tidak dapat dibenarkan
sepenuhnya. Lebih lanjut, gagasan kiri baru memberi pengaruh pada Pram ketika
dia ikut beberapa kali dalam kegiatan LEKRA. Itu pun terjadi pada tahun 1958 atau
1959 ketika dia diundang oleh LEKRA dalam sebuah pertemuan di Solo.
Tahun berapa tuh.. ‘58 atau ’59. Waktu ada kongres Lekra di
Solo saya diundang. Sambil jalan-jalan saya datang aja.
Sampai di sana saya diminta memberi sambutan. Saya kasih
sambutan. Sudah itu saya tidur aja di hotel. Di Akhir kongres
ternyata saya diangkat sebagai anggota pleno. Nggak pernah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
merangkak dari bawah tahu-tahu langsung nangkring, he...
he.... (Sirait,2011:51)
Poin yang disampaikan Pram adalah bahwa dia tidak secara sukarela
bergabung dengan Lekra – apalagi berambisi untuk itu. Dia bergabung dengan
Lekra karena diundang dan diangkat menjadi anggota Pleno. Bukti ini memperkuat
bahwa gagasan dan ideologi kiri belum kuat dalam diri Pram sebelum tahun 1958
atau 1959. Berkaitan dengan novel Bukan Pasar Malam yang terbit 1951, Pram
mungkin belum terpengaruh gagasan kiri. Namun, benih pemikiran kiri bisa
ditemukan dalam karya ini.
Khusus mengenai Bukan Pasar Malam, A. Teeuw dalam penilaiannya sama
sekali tidak menyinggung ideologi kiri. Novel ini menurutnya ditulis tidak lama
setelah perjalanan Pram ke Blora sekita Mei 1950 (Teeuw, 1980:234). Teeuw juga
menambahkan bahwa yang membuatnya kagum adalah cara Pramoedya
menampilkan situasi yang suram dan suasana yang kacau yang menjadi tempat
hidup masyarakat zaman itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
BAB IV
IDEOLOGI PROLETAR TOKOH UTAMA DALAM NOVEL
BUKAN PASAR MALAM
Dalam bagian sebelumnya telah dianalisa tokoh, penokohan serta latar.
Dengan memahami unsur intrinsik tersebut, akan lebih mudah dipahami dan
ditemukan ideologi proletar muncul. Ideologi tersebut akan ditemukan dari analisa
pikiran, perasaan dan reaksi tokoh. Kurang lebih hal ini sudah mulai nampak dalam
penokohan.
Sastra, jika ditempatkan dalam kerangka berpikir Marxis, adalah
superstuktur yang menjadi kekuatan reproduksi dari struktur sosial. Struktur sosial
ini didasarkan pada pembagian kelas sosial dalam relasi ekonomi. (Faruk, 2014:53)
Dengan demikian, dapat dilihat bagaimana ideologi kelas diwujudkan dalam
sebuah karya sastra.
Kelas sosial proletar secara dominan menjadi perhatian utama Pramoedya
Ananta Toer dalam novel Bukan Pasar Malam dalam membangun penokohan.
Dalam bagian ini akan dibahas secara lebih mendalam bagaimana ideologi proletar
itu hadir dalam novel ini terutama pada tokoh. Ideologi proletar penting untuk
dilihat karena akan memberi pemahaman lebih dalam bagaimana kondisi
masyarakat terutama masyakarat miskin pada masa Indonesia setelah kemerdekaan.
Ideologi proletar dalam bagian ini ditemukan dari bagaimana tokoh utama
merasa, memandang, dan mempercayai sesuatu ketika ia berhadapan dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh Aku sebagaimana dijelaskan pada bagian
tokoh dan penokohan mengalami kegelisahan terutama dalam soal ekonomi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Selain itu jika berpegang pada apa yang dikatakan Marx tentang kelas
proletariat, tokoh aku temasuk dalam kelas tersebut. Hal ini dikarenakan Aku tidak
mendapat akses langsung terhadap alat produksi. Dia adalah pekerja atau buruh
yang setiap harinya bergulat dengan kebutuhan dasarnya.
Selain tokoh utama, beberapa reaksi dari Ayah sebagai tokoh utama
tambahan dan beberapa dari tokoh tambahan akan dianalisis untuk melihat
bagaimana kaum proletar berpikir dan memandang sekelilingnya.
4.1 Tidak Ada Perencanaan Kebutuhan di Luar Kebutuhan Primer
Dalam kehidupan manusia memiliki kebutuhan primer dan kebutuhan
sekunder. Kebutuhan primer berkaitan dengan sandang, pangan dan papan. Bagi
masyarakat proletar tentunya kebutuhan primer ini akan selalu menghantui karena
akses mereka terhadap alat produksi sangat terbatas. Hal ini semakin menyesakkan
ketika mereka harus berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan di luar kebutuhan
primer.
Kaum proletar adalah kelas sosial bawah yang lemah secara ekonomi.
Dalam Marxisme yang menentukan kelas sosial adalah alat produksi. Kaum borjuis
atau kelas atas adalah mereka yang mempunyai akses langsung terhadap alat
produksi. Tidak hanya itu mereka adalah pemilik alat produksi. Ini sangat berbeda
dengan kaum proletar atau kelas bawah. Kaum proletar tidak punya akses terhadap
alat produksi. Bahkan yang paling ekstrem bisa dikatakan mereka adalah bagian
dari alat produksi.
Karl Marx dalam Manifesto Komunis menulis demikian :
Borjuasi senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan terpencar-
pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik. Ia telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah
mengkonsentrasi milik ke dalam beberapa tangan. (Marx, 1848: 3)
Berdasarkan apa yang dimaksud Karl Marx di atas semakin jelas bahwa
yang menciptakan jurang yang dalam antara borjuis dengan proletariat adalah
keberadaan alat produksi. Dengan berbagai cara alat-alat produksi itu telah menjadi
milik beberapa tangan saja.
Karena tidak memiliki akses terhadap alat produksi, maka kaum proletar
hanya bisa menggantungkan hidup dengan bekerja sesuai dengan apa yang telah
diatur oleh masyarakat kapitalis. Lebih lagi, hasil kerja dan keringat kaum proletar
kembali lebih banyak dinikmati oleh kaum borjuis. Sementara itu, kaum proletar
hanya menikmati sebagian kecil saja.
Keterbatasan akses terhadap alat produksi ini pula yang membuat mereka
akan selalu di bawah secara ekonomi. Kaum proletar menghabiskan hidupnya untuk
bekerja dan mendapatkan kebutuhan ekonomi primer seperti makanan, tempat
tinggal dan pakaian. Namun, pada kenyataannya ada kebutuhan ekonomi di luar
kebutuhan primer.
Dalam novel Bukan Pasar Malam, Aku sebagai bagian kaum proletar harus
mengalami kebingungan ketika ia ingin pergi ke kampung halamannya. Dia tinggal
di Jakarta sementara ia mendapat surat bahwa Ayahnya sakit dan memintanya untuk
pulang ke Blora. Kebutuhan yang muncul dalam situasi ini adalah kebutuhan
transportasi.
Kebutuhan transportasi menjadi kebutuhan yang tidak termasuk dalam
agenda sehari-hari tokoh Aku. Oleh karena itu, tidak aneh jika Aku menjadi
bingung dan terkejut. Demikian ungkapan kegelisahan dan kebingungannya :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Mula-mula aku terkejut. Sesak di dada. Kegugupan datang
menyusul. Dalam kepalaku terbayang: ayah. Kemudian:
uang. Dari mana aku dapat uang untuk ongkos pergi? Dan ini
membuat aku mengedari Jakarta – mencari kawan-kawan –
dan hutang (Toer, 1999:2).
Soal uang memang disebutkan belakangan, namun hampir seluruh pikiran
Aku kemudian dicurahkan untuk mencari uang. Terlihat bagaimana Aku tidak
punya sisa uang selain untuk makan dan kebutuhan hidup. Dari sini juga bisa dilihat
bagaimana kebutuhan ekonomi membuat dia sangat gelisah. Tokoh Aku
mengekspresikannya dengan kata-kata seperti terkejut, sesak di dada, dan
kegugupan.
Kebutuhan transportasi tidak pernah masuk dalam agenda pengeluaran Aku
sebagai bagian dari kaum proletar. Dalam situasi seperti itu tidak lain pilihan yang
ia ambil adalah mencari hutang. Ini memberikan situasi yang ironis karena
berhutang di saat tidak punya uang sama seperti menggali lubang tanpa punya tanah
lagi untuk menutupnya. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain.
Reaksi tokoh Aku yang gugup dan sesak di dada menambah bukti bahwa
kegelisahan kaum proletar terhadap kebutuhan ekonomi mencapai tataran biologis.
Efek dari kegagalannya memenuhi kebutuhan ekonomi ini adalah hujatan terhadap
kaum borjuis. Wajar saja jika kemudian Aku menghujat kaum borjuis.
Perjalanan dari Jakarta ke Blora tidak selesai dalam satu waktu kala itu.
Perjalanan dengan kereta harus berhenti di Semarang untuk transit. Tokoh Aku dan
istrinya menghabiskan malam di Semarang untuk menunggu kereta ke Blora
keesokan harinya. Dan mereka sebagai kaum proletar menginap di hotel yang kotor.
Aku sempat mengeluh namun bisa tetap tidur dengan senang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Kereta jalan terus. Jalan terus. Jalan terus - - Semarang.
Kami menginap di hotel. Dan hotel itu bukan main
kotornya. Tapi kami bisa beristirahat dengan senang. (Toer,
1999: 13)
Ideologi proletar yang nampak dari paparan di atas adalah kaum proletar
yang merasa gelisah ketika ada kebutuhan ekonomi -di luar kebutuhan primer -
yang muncul di luar agenda mereka. Kegelisahan itu membuat kaum proletar
kesulitan, namun pada akhirnya mereka tetap bisa menikmati kesusahan itu.
Mereka bisa tetap tidur dengan senang di hotel yang sangat kotor.
Kaum proletar yang hanya sibuk untuk memenuhi kebutuhan primer sulit
untuk memiliki tenaga dan biaya untuk membangun rumah lebih bagus. Kebutuhan
tinggal tentunya hanya secukupnya saja. Artinya memiliki rumah yang penting bisa
ditinggali. Blora menunjukkan kebutuhan membangun rumah berada di luar
kemampuan mereka.
Blora ini masih tetap seperti waktu kutinggalkan dulu. Rumah-
rumah baru banyak didirikan. Dan rumah-rumah yang dulu
sudah miring-miring. Aku menengok ke arah rumah.
Meneruskan, “Dan rumah kami pun sudah begitu rusak.”
(Toer, 1999:38)
4.2 Borjuisme adalah Musuh
Dalam novel ini kelas borjuis digambarkan secara masif melalui kota
Jakarta. Tokoh Aku melihat Jakarta sebagai tempat yang dipenuhi dengan banyak
mobil dan polusi. Selain itu, ada istana negara yang menjadi simbol kemegahan di
Jakarta.
Pertama-tama tokoh Aku memandang Jakarta dengan sedikit rasa kagum
dan berandai-andai bahwa ia juga bisa punya mobil. Dalam permenungannya Aku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
tahu bahwa dengan menjadi orang kaya ia tak perlu bersusah payah untuk mencari
pinjaman uang demi bisa kembali ke kampung halamannya.
Akan tetapi, tokoh Aku kemudian memandang borjuisme sebagai
musuhnya. Dia pun akhirnya mengumpat terhadap kaum borjuis. Secara eksplisit
dia mengatakan:
Ya, sekiranya aku punya mobil – sekiranya, kataku – semua
ini mungkin takkan terjadi. Di kala itu juga aku berpendapat:
bahwa orang yang punya itu menimbulkan kesusahan pada
yang tidak punya. Dan mereka tidak merasai ini (Pram,
1999:3).
Tidak hanya berhenti di sana, tokoh Aku juga melanjutkan dengan nada
satire menghadapi keberadaan kaum borjuis. Demikian dia berkata dalam hati :
Istana itu – mandi dalam cahaya lampu listrik. Entah beberapa
puluh ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam
persangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit
lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik,
orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat
tambahan (Pram, 1999:4).
Pemikiran tokoh Aku melihat kenyataan hidup mewah yang ada di istana
negara ini bisa tentu menjadi perbandingan yang sangat timpang antara hidup di
bawah dan hidup di atas. Para penghuni istana negara adalah golongan borju yang
hidup dalam segala kenikmatan dan kemudahannya.
Presiden memang orang praktis – tidak seperti mereka yang
memperjuangkan hidupnyaa di pinggir jalan berhari-harian.
Kalau engkau bukan presiden, dan juga bukan menteri, dan
engkau ingin mendapat tambahan listrik tiga puluh atau lima
puluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tiga ratus
rupiah. Ini sungguh tidak praktis. Dan kalau isi istana itu mau
berangkat ke A atau ke B, semua sudah sedia – pesawat
udaranya, mobilnya, rokoknya, dan uangnya. Dan untuk ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Blora ini, aku harus mengedari Jakarta dulu dan mendapatkan
hutang. Sungguh tidak praktis kehidupan seperti itu.” (Toer,
1999:4).
Aku secara eksplisit menyebut kalau selain presiden dan menteri tidak
mungkin bisa mendapatkan listrik dengan mudah. Pernyataan ini menempatkan
orang yang punya jabatan tinggi sebagai lawan yang tidak seimbang. Lebih lagi,
orang-orang yang punya kuasa untuk memberikan listrik bukanlah orang yang
mudah memberikan perhatian. Ini dikarenakan agar bisa menambah tiga puluh atau
lima puluh watt peru menyogok dua atau tiga ratus rupiah.
4.3 Akses Kesehatan adalah Hal yang Tidak Mungkin
Konflik utama yang menggerakkan alur cerita novel ini adalah Ayah tokoh
Aku sakit keras. Ayah yang merupakan tokoh nasionalis tetap tidak bisa
menghindarkan diri dari kemiskinan dengan nasionalisme. Keadaan sakit yang
ditambah dengan kondisi ekonomi melarat menjadikan masalah menjadi lebih
rumit.
Tokoh Aku sesampainya di Blora melihat kondisi Ayahnya yang
memprihatinkan. Ayahnya memang berada di rumah sakit yang lebih tepat disebut
sebagai sebuah tempat perawatan sederhana. Rumah sakit itu terletak di pelosok
dengan fasilitas kesehatan yang tidak terlalu memadai.
Ayah terserang penyakit TBC yang semestinya ia harus dirawat di
sanatorium. Tokoh Aku dan adik-adiknya tahu akan keberadaan sanatorium ini,
namun tidak mungkin untuk mendapat akses ke sana. Sanatorium bisa memberikan
fasilitas yang lebih lengkap untuk merawat penyakit TBC. Penyebab Ayah tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
dirawat di sana adalah satu : mahal. Orang-orang menjawab demikian ketika orang
sakit paru-paru tidak dirawat di sanatorium.
Kalau ada orang menjawab, jawabannya hanya begini:
“Ongkos di sanatorium mahal sekarang” dan kalau tidak
begitu jawabannya ialah: “sanatorium? Sanatorium sudah
penuh oleh pedagan. Kalau engkau jadi pegawai, kalau
bukan pegawai tinggi, jangan sekali-kali berani
mengharapkan mendapat tempat di sanatiorium.” (Toer,
1999:60)
Tokoh Ayah memang sempat mendapat tawaran untuk menjadi anggota
perwakilan daerah. Dengan menjadi anggota DPD tentu uang Ayah akan lebih
banyak dan bisa untuk mengakses fasilitas di sanatorium. Akan tetapi, idealisme
Ayah membuatnya menolak tawaran itu. Begini salah satu adik Aku menceritakan
jawaban Ayah :
Aku tidak tahu. Hanya saja ayah bilang begini, “Perwakilan
rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan
aku tidak suka menjadi badut – sekalipun badut besar.” Dan
ayah tetap menolak. Ayah pun pernah mendapat tawaran jadi
koordinator pengajaran untuk mengatur pengajaran untuk
seluruh daerah Pati. Tapi ayah menolak juga dan bilang,
“tempatku bukan di kantor. Tempatku ada di sekolahan.” Ya,
barangkali pendirian seperti itu juga menyebabkan ayah tak
mau meneruskan jadi pengawas sekolah, dan kembali menjadi
guru (Toer, 1999:61).
Sebagai bagian dari kaum proletar tentu idealisme Ayah ini membuatnya
harus berhadapan dengan risiko keterbatasan ekonomi. Dan itulah yang
membuatnya tidak bisa mendapat akses penuh terhadap layanan kesehatan. Ayah
yang sakit dengan ekonomi di bawah menjadi masalah yang semakin
menggelisahkan tokoh Aku. Kesehatan yang menjadi modal dasar kesejahteraan
tidak dapat diakses dengan mudah oleh tokoh Aku.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Akses kesehatan zaman itu tidak bisa dibandingkan seperti sekarang. Guru
yang berstatus sebagai PNS punya asuransi kesehatan yang lebih mudah sekarang.
Ayah sebagai guru tidak punya akses semacam itu. Bahkan, gajinya yang belum
dibayar pun terungkap ketika suatu pagi perawat datang untuk meminta gaji.
Pagi itu seorang juru rawat yang semalam kena dinas jaga
malam datang ke rumah kamu dan menyerahkan selembar
kwitansi – minta voorschot3 gaji untuk bulan Maret! Bulan itu
adalah bulan Mei. Kwitansi itu adalah dari Ayah. Aku tak
mengeri mengapa voorschot untuk bulan Maret yang
dipintanya. Dan di kala hal ini kutanyakan pada paman, ia
mengatakan : “Sejak kita merdeka, guru belum dibayar. Hampir
setengah tahun ini.” (Toer, 1999:69)
Kesulitan akses ini karena memang tidak adanya uang. Uang yang
digantungkan dari gaji, sementara hampir setengah tahun gaji guru belum
dibayarkan. Dengan demikian, meskipun Ayah adalah guru -pekerjaan yang
dianggap mulia- itu tak menjamin ia mendapat akses kesehatan yang lebih baik.
Marx mengatakan bahwa yang menentukan posisi kelas adalah akses terhadap
alat produksi. Dalam hal ini, alat produksi tidak hanya terbatas pada mesin produksi
saja tetapi juga fasilitas kesehatan. Inilah mengapa akses kesehatan menjadi hal
yang tidak mungkin bagi kaum proletar. Hal ini disebabkan akses kesehatan
merupakan alat produksi yang sangat sulit diakses oleh kaum proletar.
4.4 Relasi dengan Sesama adalah Relasi Ekonomi
Selain mengamati bagaimana relasi antara kaum proletar dengan kaum
borjuis, menarik juga untuk dilihat bagaimana relasi antar kaum proletar itu sendiri.
3 Istilah dalam Belanda untuk menyebut uang muka atau pembayaran di depan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Pertama bisa dilihat bagaimana relasi antara Ayah dan perawat di rumah sakit.
Perawat sekalipun bagian dari rumah sakit adalah bagian dari rakyat pekerja. Dia
merupakan bagian dari kaum proletar.
Dalam novel ini, perawat bekerja hanya karena motif ekonomi. Merawat
orang sakit yang miskin tentu tidak akan memberikan keuntungan ekonomi yang
terlalu tinggi. Maka dalam novel ini, perawat merawat Ayah dengan perhatian
secukupnya saja.
Ketika ayah menghendaki untuk pulang, ia menitipkan sebuah pesan
dalam kwitansi yang akan diserahkan perawat kepada tokoh Aku. Namun, pesan itu
tidak disampaikan dan yang penting hanyalah mereka bisa segera mendapat uang.
Ayah kecewa dengan itu semua. Ayah menunjukkan kekecewaannya kepada
perawat yang dititipinya pesan itu.
“Allah. Allah.” Matanya tertutup lagi. “Jadi orang tadi tak
bilang apa-apa padamu?” “Dia hanya menyerahkan kwitansi
dan minta uang sepuluh rupiah.” “Allah.Allah.” Ayah
menyebut lagi. Dan pada matanya yang tertutup itu terbayang
kesedihan, kekesalan dan kasihan pada segala-galanya.
Sekaligus datang saja suara dalam hatiku. Orang tadi pagi itu
telah menipu engkau (Toer, 1999:70)
Padahal di balik kwitansi itu sebenarnya ada pesan dari Ayah untuk anaknya
supaya ia dibawa pulang saja. Namun, pesan itu tidak tersampaikan. Pesan itu
berbunyi demikian :
Anakku!
Aku sudah tak tahan tinggal di rumah sakit ini. Dan karena
para famili telah kumpul, lebih baik aku bawa saja pulang.
Datanglah ke rumah sakit secepatnya.
Bapakmu. (Toer, 1999: 71)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Kesedihan Ayah memuncak karena ia sudah membangun niat untuk
pulang dan berharap pesan itu bisa sampai kepada anaknya. Namun, pesan itu tidak
sampai. Di hari ketika berharap akan pulang. Anak-anaknya datang seperti ketika
menjenguk di hari-hari sebelumnya.
Apa yang terjadi di atas menunjukkan bela rasa antar kaum proletar tidak
ada. Yang penting bagi kaum proletar adalah mendapat uang karena itulah yang
menjadi agenda hidup mereka sehari-hari. Bukan karena mereka ingin menumpuk
uang, tetapi memang kebutuhan utama mereka perlu uang yang didapat dengan
susah payah.
Seorang tukang potong kambing yang merupakan tetangga Ayah juga
menunjukkan bagaimana sindirannya terhadap rumah reyot yang ada di Blora. Dia
menyarankan agar tokoh Aku untuk merenovasi rumah itu. Meskipun demikian,
saran ini lebih terasa sebagai sebuah ejekan.
Kalau bisa Gus, kalau bisa – harap rumahmu itu engkau
perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat
ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergauk dengan
orang-orang di sini. Karena itu, barangkali ada baiknya
kuulangi kata orang tua-tua dulu: Apabila rumah itu rusak,
yang menempatinya pun rusak (Toer,1999:38).
Komentar dari tetangganya ini membuat tokoh aku bertambah merasa
susah. Yang membuatnya bertambah susah adalah komentar itu membuatnya
berpikir tentang kebutuhan ekonomi lebih dalam. Padahal, di satu sisi dia sudah
merasa bingung dengan situasi kesehatan Ayah yang semakin parah.
Tukang potong kambing sebenarnya adalah wakil dari sesama kaum
proletar. Pada masa perjuangan kemerdekaan posisi Ayah sebagai seorang
nasionalis dan guru akan membuat status sosialnya berada di atas. Namun, dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
perkembangan zaman, kapitalisme membuat status sosial berkaitan erat dengan
situasi ekonomi. Meskipun seorang pejuang kemerdekaan, tetapi status sosial Ayah
dianggap setara oleh Tukang potong kambing karena kondisi ekonomi Ayah dan
Aku yang lemah.
Dari paparan di atas nampak bagaimana relasi kaum proletar bukanlah
relasi yang harmonis. Relasi itu lebih banyak dipengaruhi oleh motif ekonomi
semata. Posisi seseorang ditentukan oleh tingkat ekonominya. Meski Aku
merupakan anak dari Ayah yang seorang nasionalis dan punya jasa besar sebagai
guru, namun tetap saja dengan mudah tentangganya memberikan sindiran karena
rumahnya yang jelek. Ejekan pun muncul dari sesama kaum proletar, padahal
belum tentu situasi yang mengejek lebih baik daripada yang diejek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini mengkaji novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta
Toer dengan pendekatan sosilogi sastra. Sementara teori yang digunakan untuk
menganalisis adalah Marxisme. Salah satu analisis sosilogi sastra adalah melihat
karya sastra sebagai sebuah cerminan masyarakat. Di sini konteks sosial menjadi
sesuatu yang penting untuk diketahui sebelumnya. Sementara Marxisme meneliti
bagaimana kelas sosial beserta ideologinya muncul dalam karya sastra.
Tokoh dan penokohan novel ini dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh
utama tambahan, dan tokoh tambahan. Tokoh utama novel ini adalah tokoh Aku
yang menjadi pusat semua cerita. Aku berada dalam semua kejadian yang ada
dalam novel. Semua peristiwa dan kejadian tidak pernah lepas dari tokoh Aku.
Tokoh utama tambahan adalah Ayah. Ayah menjadi tokoh utama tambahan
karena mendapat porsi penceritaan yang banyak, tetapi tidak sebanyak Aku.
Konflik dan alur cerita berdinamika lebih banyak dipengaruhi relasi antara tokoh
Aku dan ayah. Kemudian, tokoh tambahan yang ada dalam novel adalah isteri Aku.
Selain itu juga ada adik-adik, perawat dan tukang potong kambing.
Latar waktu novel ini adalah penghujung masa Revolusi yang bisa dilihat
dari surat Ayah kepada Aku. Surat itu tertanggal tahun 1949. Pada masa ini
perjuangan mempertahankan menguras tenaga sangat banyak. Perjuangan
mengangkat senjata dan perjuangan diplomatis dilakukan oleh masyarakat
Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja didapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Latar tempat utama novel Bukan Pasar Malam adalah Jakarta dan Blora.
Jakarta merupakan tempat tinggal Aku setelah keluar dari penjara. Jakarta adalah
simbol kemajuan dan kemegahan kehidupan setelah kemerdekaan. Gambaran ini
terutama terlihat dari gemerlapnya istana negara.
Blora merupakan kampung halaman tokoh ini. Kota ini adalah tujuan Aku
dan istrinya untuk menjenguk Ayah yang sakit TBC. Blora menjadi simbol belum
meratanya pembangunan. Di kota ini jalan-jalan masih sempit dan rumah-rumah
sudah sangat tua dan hampir roboh. Hampir separuh lebih cerita ini berada di Blora,
tepatnya di rumah sakit tempat Ayah dirawat.
Latar tempat yang juga menyertai cerita adalah di dalam kereta api dan kota-
kota serta daerah-daerah yang dilalui oleh kereta itu dalam perjalanan dari Jakarta
menuju Blora. Kota-kota itu antara lain Cakung, Lemah Abang, Semarang,
Rembang dan batas Kota Blora. Di daerah-daerah itu Aku mengingat kembali
perang yang dialaminya.
Konteks sosial novel Bukan Pasar Malam adalah Indonesia pada zaman
pasca-kemerdekaan. Masyarakat pada masa itu sejatinya mengalami kegamangan
akan masa depan terutama akan kebutuhan hidupnya. Pejuang nasionalis yang
dalam novel ini ini diwakili oleh Ayah dan Aku mengalami nasib yang buruk. Ayah
harus menghabiskan masa tua dengan sakit di rumah sakit yang tidak begitu bagus.
Sementara Aku kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setelah keluar
dari penjara. Euforia kemerdekaan belum menyentuh sendi kehidupan rakyat
sehari-hari.
Situasi masyarakat pada masa itu juga sudah meninggalkan relasi
feodalisme dan bergerak ke arah kapitalisme. Situasi seperti ini oleh Marx (1848)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
disebut sebagai efek dari borjuasi yang menghilangkan segala relasi budaya yang
sudah dibangun begitu lama dan digantikan dengan relasi ekonomis yang lebih
bersifat jual beli.
Ideologi proletar dapat dirumuskan sebagai berikut : a) Kebutuhan di luar
kebutuhan primer sangat menggelisahkan; b) Borjuis adalah musuh; c) Akses
kesehatan mapan adalah hal yang mustahil; d) Relasi kehidupan adalah relasi
ekonomi.
Ideologi proletar memang tidak sangat kuat ada dalam novel Bukan Pasar
Malam. Hal ini disebabkan Pramoedya Ananta Toer belum terpengaruh secara kuat
oleh ideologi kiri. Akan tetapi, temuan ideologi proletar dalam novel ini
menunjukkan bahwa benih-benih ideologi kiri sudah mulai ditunjukkan oleh Pram.
Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer ingin
mengambarkan secara lengkap bagaimana kehidupan orang Indonesia di masa
Revolusi. Novel ini memberi penjelasan bahwa kehidupan waktu itu tidak mudah
dan para pejuang nasionalis tidak dapat menikmati hidup dengan bahagia setelah
kemerdekaan. Novel karya Pram ini juga memberikan bagaimana ideologi proletar
tercermin – yaitu bagaimana kaum proletar berpikir, merasakan dan bertindak.
5.2 Saran
Untuk penelitian lebih mendalam novel Bukan Pasar Malam bisa diteliti
bersama dengan novel-novel sezamannya sebelum Pram terpengaruh oleh ideologi
kiri, sepeti di antaranya Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Cerita dari
Blora (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951). Dengan demikian bisa dilihat
pola dan tema besar karya-karya Pram sebelum tahun 1958 ketika dia sudah aktif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
di LEKRA. Hasil penelitian tersebut nantinya bisa menjadi bagian dari periodisasi
karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer juga belum
pernah diteliti dengan pendekatan psikologi sastra dan historis. Dengan psikologi
sastra menarik untuk dilihat bagaimana pergulatan batin tokoh Aku dan Ayah dalam
relasi kekeluargaan mereka. Sementara untuk pendekatan historis bisa diteliti
keotentikan sejarah dan kesetiaan sejarah yang ada dalam novel ini. Alasannya,
Pram menyebut beberapa kota dan peristiwa yang menjadi latar novel ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
DAFTAR PUSTAKA
Baehaki, Akun. 2014. Marjinalisasi Kaum Proletar pada Novel Bukan Pasar Malam
Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo.
Barry, Peter. 2010. Beginning Theory; Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan
Budaya. Yogyakarta: Jala Sutra.
Brotoseno, Iman. 2014. Soerabaja. Stable URL:
http://blog.imanbrotoseno.com/soerabaja/ Diakses 1/6/2017, 14.00
Bennet, Tony. 1979. New Accents: Formalism and Marxism. London: Methuen &
Co Ltd.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:Pusat Bahasa.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:
Jalasutra.
Eagleton, Terry. 2006. Marxism and Literary Criticsm.London: Taylor & Francis
e-Library.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Farid, Hilmar. 2008. Pramoedya dan Historiografi Indonesia. Stable URL:
http://hilmarfarid.com/wp/342/ Diakses 1/6/2017, 13.00
Fiyani, Mega. 2011. Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya
Prammedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Satra. Skripsi.
Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidaytullah.
Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.
Yogyakarta: Jendela.
Marx, Karl dan Engels, Friedrich. 1964. The Communist Manifesto. New York: A
Washington Square Press Publication.
Marx, Karl dan Engels, Friedrich. 1848. Manifesto Partai Komunis. Stable URL:
https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/
Diakses: 14/12/2016, 14:00.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustidaka Pelajar.
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Ryan, Michael. 2011. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Praktis. Yogyakarta:
Jalasutra.
Sirait, Hasudungan, dkk. 2011.Pram Melawan; Dari Perkara Sex, Lekra, PKI
sampai Proses Kreatif. Jakarta: Penerbit Nalar.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta
Wacana University Press.
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende: Nusa Indah.
Toer, Pramoedya Ananta. 1999. Bukan Pasar Malam. Yogyakarta: Bara Budaya
Yogyakarta.
Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid 2. Jakarta: Hastra
Mistra.
Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge
University Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
BIODATA PENULIS
Penulis bernama Vincentius Gitiyarko Priyatno. Lahir di
Karanganyar pada tanggal 5 Juni 1992 dari pasangan
Ferdinandus Giyatno dan Maria Agnes Sri Hartanti. Istri
penulis bernama Anna Elfira Prabandari Assa. Penulis
menyelesaikan pendidikan SD di SD Kanisius
Karangbangun. Pendidikan SMP ditempuh di SMP Negeri 1
Jumapolo. Laki-laki yang hobi membaca ini melanjutkan pendidikannya ke SMA
Negeri Jumapolo dan lulus pada tahun 2009. Tahun 2013, penulis memasuki
jenjang perguruan tinggi dan masuk di Program Studi Sastra Indonesia Universitas
Sanata Dharma. Selama berkuliah, penulis aktif dalam kegiatan Bengkel Sastra,
selain menjadi panitia kompetisi Wikipedia Jawa tahun 2015-2016. Penulis juga
merupakan instruktur BIPA di Lembaga Bahasa Sanata Dharma sejak tahun 2015.
Cita-citanya adalah selalu membuat orang-orang di sekitarnya merasa bahagia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI