Keperawatan Pada Lansia By Dedy

Post on 18-Oct-2015

58 views 0 download

description

Keperawatan Pada Lansia By Dedy

Transcript of Keperawatan Pada Lansia By Dedy

  • 10

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Konsep Lansia

    1. Definisi Lansia

    Dari beberapa referensi yang ada menjelaskan bahwa pengertian

    lanjut usia menurut undang-undang No. 4 tahun 1965 adalah seseorang

    yang mencapai 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari

    nafkah untuk keperluan hidupnya sehari-hari (Darmojo & Martono,

    2006). Sedangkan menurut undang-undang No. 13 tahun dinyatakan

    bahwa usia 60 tahun keatas disebut sebagai lanjut usia (Noorkasiani,

    2009).

    Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis yang

    dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan

    berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan

    dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian

    terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani, 2009).

    Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan

    manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya

    dimulai dari suatu waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan

    kehidupan. Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah, yang berarti

    seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan

    tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya

    kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut

    memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan

    semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak

    proporsional (Nugroho, 2008).

    10

  • 11

    Jadi usia lanjut dapat kita artikan sebagai seseorang yang berusia 60

    tahun keatas dimana proses menghilangnya secara perlahan-lahan

    kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

    mempertahankan fungsi normalnya.

    2. Batasan Usia Lanjut

    Batasan umur lansia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

    lanjut usia meliputi (Notoadmodjo, 2007) Usia pertengahan (middle age)

    adalah kelompok usia 45-59 tahun, Usia lanjut (elderly) adalah kelompok

    usia antara 60-70 tahun, Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara

    71-90 tahun, Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90

    tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang nomer 13 tahun 1998

    Menjelaskan tentang kesejahteraan lanjut usia yang termaktub dalam BAB

    I pasal 1 ayat 2 yaitu bahwa lanjut usia adalah seseorang yang mencapai

    umur diatas 60 tahun. Sedangkan menurut Sumiati (2000) Membagi

    periodesasi biologis perkembangan hidup manusia sebagai berikut : Umur

    40-65 tahun : masa setengah umur (prasenium), Umur 65 tahun keatas :

    masa lanjut usia (senium). Sedangkan menurut Setyonegoro (dalam

    Nugroho, 2008) Pengelompokan usia lanjut sebagai berikut : Lajut usia

    (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun, Young age yaitu umur 70-75

    tahun, Old yaitu umur 75-80 tahun, Very old yaitu umur lebih dari 80

    tahun.

    3. Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lansia

    a. Perubahan Pada Sistem Gastrointestinal

    Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam

    saluran gastrointestinal (GI) dalam beberapa derajat. Namun, karena

    luasnya persoalan fisiologis pada sistem gastrointestinal, hanya sedikit

    masalah-masalah yang berkaitan dengan usia yang dilihat dalam

    kesehatan lansia. Banyak masalah-masalah gastrointestinal yang

    dihadapi oleh lansia lebih erat dihubungkan dengan gaya hidup mereka.

  • 12

    Mitos umum dikaitkan dengan fungsi normal saluran gastrointestinal

    dan perubahan-perubahan kebutuhan nutrisi lansia (Stanley, 2007).

    1) Rongga Mulut

    Bagian rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi,

    dan lidah. Kehilangan gigi penyebab utama adanya Periodontal

    disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain

    meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk. Indera

    pengecap menurun disebabkan adanya iritasi kronis dari selaput

    lendir, atropi indera pengecap ( 80 %), hilangnya sensitivitas dari

    syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya

    sensitivitas dari syaraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit

    (Nugroho, 2008).

    2) Esofagus

    Esophagus mengalami penurunan motilitas, sedikit dilatasi

    atau pelebaran seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah

    (kardiak) kehilangan tonus. Refleks muntah pada lansia akan

    melemah, kombinasi dari faktor-faktor ini meningkatkan resiko

    terjadinya aspirasi pada lansia (Luecknotte, 2000).

    3) Lambung

    Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan

    sel chief akan menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor

    intrinsik berkurang. Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil,

    sehingga daya tampung makanan menjadi berkurang. Proses

    perubahan protein menjadi peptone terganggu. Karena sekresi asam

    lambung berkurang rangsang lapar juga berkurang (Darmojo &

    Martono, 2006). Kesulitan dalam mencerna makanan adalah akibat

    dari atrofi mukosa lambung dan penurunan motalitas lambung.

    Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari penurunan sekresi

    asam hidrogen-klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan absorpsi

    zat besi, kalsium, dan vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya

    menurun, dan melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang

  • 13

    dicerna keluar dari lambung dan terus melalui usus halus dan usus

    besar (Stanley, 2007).

    4) Usus Halus

    Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas

    permukaan berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dan sel

    epithelial berkurang. Di daerah duodenum enzim yang dihasilkan

    oleh pankreas dan empedu juga menurun, sehingga metabolisme

    karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak menjadi tidak sebaik

    sewaktu muda (Leueckenotte, 2000).

    5) Usus Besar dan Rektum

    Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk

    penurunan sekresi mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltic

    kolon yang melemah gagal mengosongkan rektum yang dapat

    menyebabkan konstipasi (Leueckenotte, 2000). Pada usus besar

    kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas

    kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi

    air dan elektrolik meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi

    makanan), feses menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang

    air besar merupakan keluhan yang sering didapat pada lansia. Proses

    defekasi yang seharusnya dibantu oleh kontraksi dinding abdomen

    juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen sudah melemah

    (Darmojo & Martono, 2006).

    6) Pankreas

    Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun

    sehingga kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga

    akan menurun. Pada lansia sering terjadi pankreatitis yang

    dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu yang menyumbat

    ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim pankreas

    oleh enzim elastase dan fosfolipase-A yang diaktifkan oleh tripsin

    dan/ atau asam empedu (Darmojo & Martono, 2006).

  • 14

    7) Hati

    Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme

    karbohidrat, protein dan lemak. Disamping juga memegang peranan

    besar dalam proses detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan vitamin,

    konjugasi billirubin dan lain sebagainya. Dengan meningkatnya usia,

    secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat atrofi

    sebagiab besar sel, berubah bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini

    akan menyebabkan penurunan fungsi hati (Darmojo & Martono,

    2006). Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa

    perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini

    memengaruhi peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahan-

    perubahan terkait usia terjadi dalam sistem empedu yang juga terjadi

    pada pasien-pasien yang obesitas (Stanley, 2007).

    b. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

    Menurut Lueckenotte (2000), tulang-tulang pada sistem skelet

    (rangka) membentuk fungsi penunjang, pelindung, gerakan tubuh dan

    penyimpanan mineral. Jaringan otot rangka melekat pada rangka dan

    bertanggung jawab untuk gerakan tubuh volunter. Persendian

    diklasifikasikan secara struktural dan fungsional. Klasifikasi struktural

    didasarkan pada ikatan materi tulang dan apakah ada rongga

    persendian. Klasifikasi fungsional didasarkan pada jumlah gerakan

    yang dimungkinkan pada persendian. Bila artikulasis di antara

    tambahan tulang, sendi menahan tulang dan memungkinkan gerakan.

    Penurunan progresif pada massa tulang total terjadi sesuai proses

    penuaan. Beberapa kemungkinan penyebab dari penurunan ini

    meliputi ketidakaktifan fisik, perubahan hormonal dan resorpsi tulang.

    Efek penurunan tulang adalah makin lemahnya tulang : vertebra lebih

    lunak dan dapat terteka dan tulang berbatang panjang kurang tahanan

    terhadap penekukan dan menjadi lebih cenderung fraktur.

  • 15

    Serat otot rangka berdegenerasi. Fibrosis terjadi saat kolagen

    menggantikan otot, mempengaruhi pencapaian suplai oksigen dan

    nutrisi. Massa, tonus, dan kekuatan otot semuanya menurun : otot

    lebih menonjol dari ekstremitas yang menjadi kecil dan lemah, dan

    tangan kurus dan tampak bertulang. Penyusupan dan sklerosis pada

    tendon dan otot mengakibatkan perlambatan respon selama tes refleks

    tendon.

    Menurut Pujiastuti (2003), perubahan muskuloskeletal antara lain

    pada jaringan penghubung, kartilago, tulag, otot dan sendi.

    1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

    Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon,

    kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi

    tidak teratur dan penurunan hubungan pada jaringan kolagen,

    merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan

    tubuh. Sel kolagen mencapai puncak mekaniknya karena penuaan,

    kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang

    merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami

    perubahan kualitas dan kuantitasnya.

    Perubahan pada kolagen ini merupakan penyebab turunnya

    fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa

    nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot,

    kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan dan

    hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Upaya fisioterapi

    untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan latihan

    untuk menjaga mobilitas.

    2) Kartilago

    Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan

    mengalami granulasi akhirnya permukaan sendi menjadi rata.

    Selanjutnya kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan

    degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan

    yang merupakan komponen dasar matrik kartilago, berkurang atau

  • 16

    hilang secara bertahap sehingga jaringan fibril pada kolagen

    kehilangan kekuatannya dan akhirnya kartilago cenderung

    mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami klasifikasi di beberapa

    tempat seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago

    menjadi tidak efektif tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi

    sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya

    kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.

    Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu

    berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami

    peradangan, kakakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya

    aktivitas sehari-hari. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dapat

    diberikan teknik perlindunga sendi.

    3) Sistem Skeletal

    Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh

    mengalami penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang

    terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua: Penurunan tinggi

    badan secara progresif karena penyempitan didkus intervertebral

    dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini

    adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan

    barrel-chest. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular

    yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi

    dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan

    terjadinya risiko fraktur (Stanley, 2007).

    4) Sistem Muskular

    Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem

    muskular akibat proses menua: Waktu untuk kontraksi dan

    relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari hal ini adalah

    perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang aktif.

    Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan

    sendi, penyusutan dan sklerosis tendon dan otot, dan perubahan

  • 17

    degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah

    peningkatan fleksi (Stanley, 2007).

    5) Sendi

    Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi

    akibat proses menua: Pecahnya komponen kapsul sendi dan

    kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri, inflamasi, penurunan

    mobilitas sendi dan deformitas. Kekakuan ligamen dan sendi.

    Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera (Stanley,

    2007).

    c. Perubahan pada Sistem Persarafan

    Sistem neurologis, terutama otak adalah suatu faktor utama

    dalam penuaan. Neuron-neuron menjadi semakin komplek dan

    tumbuh, tetapi neuron-neuron tersebut tidak dapat mengalami

    regenerasi. Perubahan struktural yang paling terlihat tejadi pada otak

    itu sendiri. Walaupun bagian lain dari sistem saraf pusat juga

    terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi oleh atrofi

    girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebal adalah

    daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron.

    Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen dapat pula

    terjadi dengan penuaan.

    Menurut Pujiastuti (2003), lanjut usia mengalami penurunan

    koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

    Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respon

    motorik pada susunan saraf pusat. Hal ini terjadi karena SSP pada

    lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia berkurang

    berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada

    otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel

    saraf banyak mengalami kematian, sedang yang hidup banyak

    mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi

    antar sel mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan

  • 18

    kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10%

    sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis

    menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif,

    koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur

    dan waktu reaksi. Hal itu dapat dicegah dengan latihan koordinasi dan

    keseimbangan.

    d. Perubahan pada Sistem Endokrin

    Kelenjar endokrin dapat mengalami kerusakan yang bersifat

    age-related cell loss, fibrosis, infiltrasi limfosit, dan sebagainya.

    Perubahan karena usia pada reseptor hormon, kerusakan permeabilitas

    sel dan sebagainya, dapat menyebabkan perubahan respon inti sel

    terhadap kompleks hormon-reseptor (Darmojo & Martono, 2006).

    Perubahan pada sistem endokrin akibat penuaan antara lain produksi

    dari hampir semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya

    tidak berubah, terjadinya pituitari yaitu pertumbuhan hormon ada

    tetapi lebih rendah dan hanya di dalam pembuluh darah; berkurang

    produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH. Menurunnya aktivitas tiroid,

    menurunnya BMR (Basal Metabolic Rate) dan menurunnya daya

    pertukaran zat. Menurunnya produksi aldosteron dan menurunnya

    sekresi hormon kelamin, misalnya progesteron, estrogen dan

    testosteron (Nugroho, 2008).

    B. Konstipasi

    1. Definisi

    Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang atau

    kesulitan pergerakan feses, feses kering (Leueckenotte, 2000). Konstipasi

    adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai dengan

    perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses (Stanley, 2007).

    Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat

    suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat

  • 19

    berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut,

    minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II),

    yaitu (Whitehead, 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2)

    mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak

    puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras

    minmal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan

    jari untuk usaha evakuasi tinja (G Lindsay McCrea, 2008).

    International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas

    memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi

    dikategorikan dalam dua golongan : 1) konstipasi fungsional, 2)

    konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid.

    Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari

    feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan

    adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan

    sumbatan pada anus.

    2. Manifestasi klinis

    Menurut Stanley (2007) :

    a. Mengejan berlebihan saat BAB

    b. Massa feses yang keras

    c. Perasaan tidak puas saat BAB

    d. Sakit pada daerah rektum saat BAB

    e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses

    3. Makanan yang menyebabkan konstipasi

    Berikut beberapa makanan umum yang dapat menyebabkan konstipasi :

    a. Makanan yang tinggi lemak

    Contoh : minyak kacang tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa,

    ayam, daging sapi, mentega, margarin, keju, susu kental manis,

    tepung susu, dan sebagainya.

  • 20

    b. Makanan yang tinggi gula

    Seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan

    (http://yankes.itb.ac.id).

    4. Makanan yang tidak menyebabkan konstipasi

    Berikut beberapa makanan yang tidak menyebabkan konstipasi :

    a. buah-buahan segar

    Contoh : alvukat, anggur, belimbing, jambu biji, jeruk bali, jeruk

    sitrun, mangga, melon, nanas, pepaya, pisang, semangka, sirsat,

    srikaya, dan sebagainya.

    b. Sayuran

    Contoh : bayam, kangkung, daun pepaya, daun singkong, sawi hijau,

    kubis, kacang panjang, buncis, dan sebagainya.

    c. makanan tinggi serat

    Contoh : tepung maizena, beras ketan, ubi merah, ubi putih, oncom

    merah, oncom putih, kacang hijau, kacang tanah, dan sebagainya.

    d. makanan yang menyediakan asam lemak Omega-3

    Terdapat dalam daun-daunan, beberapa minyak biji-bijian, termasuk

    minyak kacang kedelai, minyak biji rami, minyak biji rape, minyak

    ikan, ikan, kecambah, gandum (Almatsier, 2010).

    5. Proses Pembentukan Feses

    Setiap harinya, sekitar 750 cc chime masuk ke kolon dari ileum. Di

    kolon, chime tersebut mengalami proses absorpsi air, natrium, dan kloride.

    Absorbsi ini dibantu dengan adanya gerakan peristaltic usus. Dari 750 cc

    chime tersebut, sekitar 150-200 cc mengalami proses reabsorbsi. Chime

    yang tidak direabsorbsi menjadi bentuk semisolid yang disebut feses.

    Selain itu, dalam saluran cerna banyak terdapat bakteri. Bakteri

    tersebut mengadakan fermentasi zat makanan yang tidak dicerna. Proses

    fermentasi akan menghasilkan gas yang dikeluarkan melalui anus setiap

    harinya, yang kita kenal dengan istilah flatus. Misalnya, karbohidrat saat

  • 21

    difermentasi akan menjadi hydrogen, karbondioksida, dan gas metan.

    Apabila terjadi gangguan pencernaan karbohidrat, maka akan ada banyak

    gas yang terbentuk saat fermentasi. Akibatnya, seseorang akan merasa

    kembung. Protein, setelah mengalami proses fermentasi oleh bakteri, akan

    menghasilkan asam amino, indole, statole, dan hydrogen sulphide. Oleh

    karenanya, apabila terjadi gangguan pencernaan protein maka flatus dan

    fesesnya menjadi sangat bau (Asmadi. 2008).

    6. Akibat Konstipasi

    Menurut Darmojo&Martono (2006) akibat-akibat konstipasi antara lain:

    a. Impaksi feses

    Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya

    penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan.

    b. Volvulus daerah sigmoid

    Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan

    konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.

    c. Haemorrhoid

    Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi

    sehingga ada kemungkinan akan menimbulkan haemorrhoid.

    d. Kanker kolon

    Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang

    keras akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki

    waktu yang cukup lama untuk memproduksi karsinogen dan

    karsinogen yang diproduksi menjadi lebih konsentrat.

    e. Penyakit divertikular

    Mengedan berlebihan (peningkatan tekanan intraabdominal) pada

    penderita konstipasi dapat menyebabkan terbentuknya kantung-

    kantung pada dinding kolon, di mana kantung-kantung ini berisi sisa-

    sisa makanan. Kantung-kantung ini dapat meradang dan disebut

    dengan divertikulitis.

  • 22

    C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konstipasi pada Lansia

    Menurut Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000), kejadian

    konstipasi pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu :

    1) Asupan serat

    a. Pengertian

    Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam

    tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-bagian

    yang dapat diserap di saluran pencernaan (Almatsier, 2010).

    b. Ragam Serat makanan

    Menurut Wirakusumah (2003) ada dua istilah yang sering

    digunakan dalam kaitannya dengan serat yaitu :

    1) Dietary fiber (serat makanan) ialah semua jenis serat yang tetap

    dalam kolon setelah pencernaan, baik serat larut air maupun serat

    tidak larut air.

    2) Crude fiber (serat kasar) ialah serat tumbuhan yang tidak larut

    dalam air, misalnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Adapun

    serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, gel dan mucilages.

    c. Klasifikasi Serat

    Klasifikasi serat menurut karakteristik kelarutan dalam air,

    yaitu :

    1) Serat larut air (Soluble fibre)

    Serat larut air adalah serat yang larut dalam air kemudian

    membentuk gel dalam saluran pencernaan dengan cara menyerap

    air. Soluble fiber meliputi pectin, gum, mucilage, dan beberapa

    hemicelluloses. Bentuk lain soluble fiber/serat larut ditemukan pada

    gandum, padi dan polong. Pengaruh serat larut dalam saluran cerna

    berhubungan dengan kemampuan mereka untuk menahan air dan

    membentuk gumpalan/gel.

    2) Serat tidak larut air (Insoluble fibre )

    Serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam air

    dan juga dalam sistem pencernaan, tetapi memiliki kemampuan

  • 23

    menyerap air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja.

    Insoluble fiber terutama terdiri dari cellulose dan hemicelluloses.

    Sumber utama serat ini berada dalam padi, sereal dan biji-bijian

    (Devi, 2010).

    d. Sumber Serat

    Sumber makanan yang tinggi serat antara lain:

    1) sayur-sayuran : daun bawang, bawang prei, kecipir muda,

    kangkung, tauge, tomat, lobak, kembag kol, daun kelor, brokoli,

    buncis, kentang, kol, wortel, timun, daun singkong, daun kemangi,

    dan lain-lain.

    2) buah-buahan : jambu biji, belimbing, anggur, kedondong,.

    3) sereal : oat, gandum, rye, jagung, beras, dan beras merah.

    4) biji-bijian : sunflower seed dan sesame seed.

    5) kacang-kacangan : kacang tanah, kacang hijau, kacang merah,

    kacang tolo, kacang bogor (Kusharto, 2007).

    e. Anjuran konsumsi

    Belum ada AKG untuk serat. Namun, untuk diet 2.000 kalori

    untuk orang dewasa, paling sedikit 1.000-2.000 kalori harus berasal

    dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 20

    gram-35 gram per hari dan cukup untuk pemeliharaan tanpa efek

    negatif terhadap kesehatan (Devi, 2010).

    f. Cara menghitung serat

    Asupan serat diperoleh dari data konsumsi makanan yang

    dikumpulkan dengan metode food recall selama 24 jam. Prinsip dari

    metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah

    bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.

    Dalam metode ini responden menceritakan semua yang dimakan dan

    diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Recall 24 jam sebaiknya

    dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut.

  • 24

    Langkah-langkah pelaksanaan recall 24 jam adalah sebagai

    berikut:

    1) Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat

    semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam

    ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu.

    Kemudian petugas melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran

    berat (gram). Dalam menaksir/memperkirakan ke dalam ukuran

    berat (gram) menggunakan berbagai alat bantu seperti contoh

    ukuran rumah tangga (piring, gelas, sendok, dan lain-lain).

    2) Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan

    menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).

    3) Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan

    (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia

    (Supariasa, dkk, 2001).

    g. Keuntungan Serat

    Keuntungan-keuntungan serat antara lain:

    1) berfungsi untuk mengontrol berat badan.

    2) mencegah/meringankan risiko konstipasi, Irritable Bowel

    Syndrome, penyakit divertikular, dan haemorrhoid.

    3) mencegah kanker kolon.

    4) menurunkan kadar Low Density Lipoprotein dan kolesterol.

    5) memperlambat absorbsi glukosa (berguna untuk meregulasi kadar

    gula darah) (Devi, 2010).

    h. Asupan serat dan konstipasi

    Konsumsi serat makanan, khususnya serat tak larut (tak dapat

    dicerna dan tak larut air panas) menghasilkan kotoran yang lembek.

    Insoluble fibre bersifat menahan air pada fragmen serat sehingga

    menghasilkan tinja yang lebih banyak dan berair. Akibatnya akan

    terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat waktu transit kolon,

    peningkatan frekuensi defekasi, dan penurunan tekanan di dalam

    kolon (Wirakusumah E. , 2003).

  • 25

    2) Intake cairan

    Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia

    secara fisiologis, yang memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh,

    hampir 90% dari total berat badan tubuh. Sementara itu, sisanya

    merupakan bagian padat dari tubuh. Secara keseluruhan, kategori

    persentase cairan tubuh berdasarkan umur adalah bayi baru lahir 75% dari

    total berat badan, pria dewasa 57% dari total berat badan, wanita dewasa

    55% dari total berat badan, dan dewasa tua 45% dari total berat badan.

    Persentase cairan tubuh bervariasi, bergantung pada faktor usia, lemak

    dalam tubuh dan jenis kelamin (Alimul Hidayat, 2006).

    Di samping sumber air yang nyata berupa air dan minuman lain,

    hampir semua makanan mengandung air. Sebagian besar buah dan

    sayuran mengandung sampai 95% air, sedangkan daging, ayam, dan ikan

    sampai 70-80%. Air juga dihasilkan di dalam tubuh sebagai hasil

    metabolisme energi. Ketidakseimbangan air dapat berakibat buruk bagi

    kesehatan, seperti konstipasi dan dehidrasi.

    Konsumsi air diatur oleh rasa haus dan kenyang. Hal ini terjadi

    melalui perubahan yang dirasakan oleh mulut, hipotalamus (pusat otak

    yang mengontrol pemeliharaan keseimbangan air dan suhu tubuh) dan

    perut. Bila konsentrasi bahan-bahan di dalam darah terlalu tinggi, maka

    bahan-bahan ini akan menarik air dari kelenjar ludah. Mulut menjadi

    kering, dan timbul keinginan untuk minum guna membasahi mulut. Bila

    hipotalamus mengetahui bahwa konsentrasi darah terlalu tinggi, maka

    timbul rangangan untuk minum. Pengaturan minum dilakukan pula oleh

    saraf lambung (Almatsier, 2010).

    Pada lansia, proses penuaan normal dapat mempengaruhi

    keseimbangan cairan. Perubahan fisiologi yang terjadi antara lain respons

    haus sering menjadi tumpul, nefron (unit fungsional ginjal) menjadi

    kurang mampu menahan air, penurunan TBW (total body water) yang

    berhubungan dengan FFM (Fat Free Mass). Perubahan normal karena

    penuaan ini meningkatkan resiko dehidrasi (Audrey Berman et.al, 2009).

  • 26

    Angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun keatas menurut AKG,

    tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2 liter/hari.

    Intake cairan berpengaruh pada eliminasi fekal. Kolon

    menggunakan banyak air untuk memecah makanan padat. Bahan sisa

    metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah

    digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada

    ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme

    akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini

    bergerak di sepanjang kolon. Semakin tubuh membutuhkan air, semakin

    besar usahanya untuk menyerap kembali air yang tersedia di dalam usus.

    Proses ini memberikan tekanan besar pada sisa metabolisme agar airnya

    dapat diabsorbsi kembali oleh mukosa atau dinding selaput dari kolon.

    Dampaknya tinja menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses

    yang keras (Guyton & Hall, 1996).

    3) Aktivitas fisik

    a. Pengertian aktivitas fisik

    Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan

    oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi untuk

    mengeluarkannya, seperti berjalan, menari, mengasuh cucu, dan lain

    sebagainya (Darmojo & Martono, 2006).

    b. Aktivitas fisik lansia

    Lansia yang mengalami penuaan yang optimal akan tetap aktif

    dan tidak mengalami penyusutan dalam kehidupan sehari-hari

    (Stanley, 2007). Lansia yang masih melakukan aktivitas fisik dapat

    mempertahankan kualitas hidupnya agar tetap sehat. Adapun tipe-tipe

  • 27

    aktivitas fisik yang dapat dilakukan lansia untuk mempertahankan

    tubuh yaitu :

    1) Kemandirian (Self Efficacy)

    Kemandirian seorang lansia akan menimbulkan keberanian lansia

    dalam mobilisasi.

    2) Latihan pertahanan (Resistance training)

    Latihan pertahanan meliputi : kecepatan gerak sendi, luas lingkup

    gerak sendi (range of motion) dan jenis kekuatan yang dihasilkan

    karena pemendekan atau pemanjangan otot. Aktivitas fisik yang

    bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paru-paru, otot,

    dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat tubuh mereka

    bertenaga. Contoh berjalan, lari ringan, berkebun ataupun di sawah.

    3) Daya tahan (Endurance)

    Daya tahan akan meningkatkan kekuatan yang didapat dari latihan

    pertahanan. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat

    membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang

    diterima, tulag tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta

    membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit

    osteoporosis. Contoh membawa belanjaan, naik turun tagga, dan

    angkat berat atau beban.

    4) Kelenturan

    Kelenturan merupakan komponen yang sangat penting ketika lansia

    melakukan mobilisasi karena pada lansia banyak terjadi

    pembatasan luas lingkup gerak sendi akibat kekakuan otot dan

    tendon. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat

    membatu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh

    tetap lentur dan sendi berfungsi dengan baik. Contoh mencuci

    piring, mencuci pakaian, mencuci mobil, dan mengepel lantai.

  • 28

    5) Keseimbangan

    Keseimbangan pada lansia harus diperhatikan karena gangguan

    keseimbangan pada lansia saat mobilisasi dapat menyebabkan

    lansia mudah terjatuh (Darmojo & Martono, 2006).

    c. Kebutuhan Energi untuk Berbagai Aktivitas

    Tabel 2.1 Kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas dan berat badan

    (Almatsier, 2010) :

    Aktivitas kkal/kg/jam Aktivitas kkal/kg/jam

    Bersepeda (cepat)

    Bersepeda (sedang)

    Bertukang/kayu (berat)

    Menyulam

    Berdansa (cepat)

    Berdansa (lambat)

    Mencuci piring

    Mengganti baju

    Menyetir mobil

    Makan

    Mencuci pakaian

    Tiduran

    Mengupas kentang

    Main pingpong

    Menulis

    Mengecat kursi

    7,6

    2,5

    2,3

    0,4

    3,8

    3,0

    1,0

    0,7

    0,9

    0,4

    1,3

    0,1

    0,6

    4,4

    0,4

    1,5

    Main piano (sedang)

    Membaca keras

    Berlari

    Menjahit, tangan

    Menjahit mesin jahit tangan

    Menjahit mesin jahit motor

    Menyanyi, keras

    Duduk diam

    Berdiri tegap

    Berdiri relaks

    Menyapu lantai

    Berenang 3 km/jam

    Mengetik, cepat

    Berjalan 3 km/jam

    Berjalan 6,8 km/jam (cepat)

    Berjalan 10 km/jam (sangat

    cepat)

    1,4

    0,4

    7,0

    0,4

    0,6

    0,4

    0,8

    0,4

    0,6

    0,5

    1,4

    7,9

    1,0

    2,0

    3,4

    9,3

    Sumber : Guthrie, H.A, Introductory Nutrition, 1986, halm. 146.

    Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan

    berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik tersebut

    diperlukan untuk membakar energi dari dalam tubuh.

  • 29

    d. Manfaat aktivitas fisik

    Manfaat mobilisasi yang tepat dan benar bagi lansia :

    1) Meningkatkan kemampuan dan kemauan seksual lansia

    2) Kulit tidak cepat keriput atau menghambat proses penuaan

    3) Meningkatkan keelastisan tulang sehingga tulang tidak mudah

    patah

    4) Menghambat pengecilan otot dan mempertahankan atau

    mengurangi kecepatan penurunan kekuatan otot (Darmojo &

    Martono, 2006).

    e. Aktivitas fisik dan konstipasi

    Mempertahankan mobilisasi optimal sangat penting untuk

    kesehatan mental dan fisik semua lansia. Pada umumnya, para lansia

    akan mengalami penurunan aktifitas fisik. Salah satu faktor

    penyebabnya adalah pertambahan usia yang dapat menyebabkan

    terjadinya kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan

    membatasi aktifitas yang menuntut ketangkasan fisik. Aktivitas fisik

    juga merangsang terhadap timbulnya peristaltik. Penurunan aktivitas

    fisik dapat mengakibatkan terjadinya penurunan gerak peristaltik dan

    dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu

    lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras.

    Aktivitas fisik juga membantu seseorang untuk mempertahankan

    tonus otot. Tonus otot yang baik dari otot-otot abdominal, otot pelvis

    dan diafragma sangat penting bagi defekasi (Asmadi, 2008).

    4) Depresi

    a. Pengertian

    Depresi yaitu keadaan jiwa yang tertekan dan penurunan

    fungsi kognitif hingga berpotensi menimbulkan bergagai kendala

    (Noorkasiani, 2009).

    Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia

    baik fungsi psikis mupun fungsi fisik, yang berkaitan dengan alam

    perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada

  • 30

    pola tidur dan nafsu makan, psikomotorik, konsentrasi, anhedonia,

    kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri

    (Ilmu kedokteran jiwa darurat, 2004).

    b. Bentuk-bentuk Depresi

    Gangguan depresi dibedakan dalam dua bentuk. Pertama adalah

    bentuk gangguan depresi yang ditandai dengan episode depresi.

    Bentuk depresi ini muncul dalam gejala-gejala seperti rasa sedih, tidak

    berdaya, murung, munculnya perasaan bersalah dan berdosa, jika

    depresinya semakin berat maka akan timbul perasaan putus asa diikuti

    munculnya keinginan mati dan ide bunuh diri. Kedua berupa

    gangguan depresi bipolar yang kadang disebut juga dengan gangguan

    manic depresif, yang ditandai dengan perubahan drastis antara manic

    dan depresi (Sulistyorini, 2005).

    c. Menurut Noorkasiani (2009), faktor risiko depresi adalah :

    1) Kehilangan/meninggal orang (objek) yang dicintai

    2) Sikap pesimistik

    3) Kecenderungan berasumsi negatif terhadap suatu pengalaman yang

    mengecewakan

    4) Kehilangan integritas pribadi

    5) Berpenyakit degeneratif kronis, tanpa dukungan sosial yang

    adekuat : depresi dan penyakit kronik mungkin dapat terjadi secara

    bersamaan karena adanya perubahan fisik yang dihubungkan

    dengan penyakit yang merupakan penyebab dari depresi dan

    individu akan menunjukkan reaksi psikologis.

    d. Tingkat Depresi

    Menurut Maslim (1996) dalam bukunya PPDGJ III, Tingkat Depresi

    dapat dibedakan atas :

    1) Tingkat Depresi Ringan : harus ada 2 gejala dari kelompok 1,

    disertai minimal 2 gejala dari kelompok 2 (sedikit kesulitan dalam

    melanjutkan pekerjaan, hubungan sosial dan kegiatan sehari-hari).

  • 31

    2) Tingkat Depresi Sedang : harus ada 2 gejala dari kelompok 1,

    disertai minimal 2 dari kelompok 2 dan hambatan psikososial

    sedang dari kelompok 3.

    3) Tingkat Depresi Berat : harus ada gejala dari kelompok 1, minimal

    4 gejala dari kelompok 2 dan hambatan psikososial berat dari

    kelompok 3 (tidak dapt melanjutkan kegiatan).

    e. Tanda dan Gejala

    Depresi merupakan sindrom kompleks yang manifestasinya

    beragam, yang paling sering adalah berupa keluhan vegetatif

    (insomnia), mengurus, konstipasi, serta dibarengi dengan penurunan

    kondisi kesehatan, bahkan memikirkan ajal. Para lansia itu dapat

    terlihat sedih, menangis, cemas, sensitif, atau paranoid.

    f. Pengukuran Tingkat Depresi

    Pengukuran tingkat depresi menggunakan instrument pertanyaan

    yang dirancang oleh Yesavage, H.A. et al (1993), dikutip

    Noorkasiani, dalam bukunya Kesehatan Usia Lanjut dengan

    Pendekatan Asuhan Keperawatan. Merupakan skala pengukuran

    depresi yang dapat digunakan sebagai instrument penyaringan di

    Komunitas dan Klinik. Instrument ini terdiri dari 30 item pertanyaan,

    dengan analisa hasil: nilai 6-15 adalah depresi ringan sampai sedang,

    16-30 adalah depresi berat dan 0-5 adalah keadaan normal.

    5) Penggunaan obat-obatan

    Pengobatan kadang-kadang bertambahnya usia identik dengan

    ketergantungan obat. Pada dasarnya, pengobatan dapat memperbaiki

    kondisi kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup, tetapi di lain pihak

    pengobatan pun dapat mempengaruhi asupan kebutuhan gizi lansia. Efek

    ini timbul karena obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi proses

    penyerapan zat gizi. Tidak jarang lansia harus mengkonsumsi obat-obatan

    dalam waktu yang cukup lama. Banyak obat menyebabkan efek samping

    konstipasi. Beberapa di antaranya seperti obat-obatan antikolinergik,

  • 32

    antasida aluminium, golongan narkotik, golongan analgetik, antihipertensi

    dan diuretik.

    Obat antikolinergik mengurangi sekresi asam lambung dengan

    menghambat aktivitas nervus vagus. Ini berakibat penurunan motilitas

    gastrointestinal (efek antispasmodik). Obat antikolinergik yang umum

    dipakai, misalnya Robinul, Pamine, Tyrimide, Monodral, Pro-Banthine.

    Antasida dipakai untuk mengobati ulkus ventrikuli, ulkus duodeni,

    dispepsia dan esofagitis. Garam aluminium dapat mengakibatkan

    konstipasi. Contoh obat antasida aluminium yang umum dipakai seperti

    Mylanta, Gastrogel, Aludox, Simeco, dan lain-lain.

    Analgesik lemah mempengaruhi produksi substansi penyebab nyeri

    pada tempat luka, dan meliputi aspirin dan salisilat, paracetamol, NSAID

    (non-steroidal anti-inflammatory drugs), dan opiat lemah (kodein dan

    dekstropropoksifen). Obat analgesik non-narkotika memberikan beberapa

    efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping yang paling umum

    terjadi adalah pada saluran pencernaan yaitu menghambat aktivitas

    kontraktil dan melambatkan pengosongan lambung. NSAID yang umum

    dipakai seperti Asam mefenamat (Ponstan, Mefic, Stanza), ibuprofen,

    aspirin, naproksen, piroksikam, indometasin, dan lain sebagainya

    (Tambayong, 2001).

    Keburukan narkotik adalah depresi pernapasan, konstipasi,

    toleransi dan ketergantungan bila sering digunakan. Alkaloid yang berasal

    dari opium adalah morfin, codein, papaverine dan noscapin. Obat

    golongan ini merangsang otot polos, berakibat spasme otot

    gastrointestinal, saluran biliaris, dan saluran kemih. Selain itu mengurangi

    motilitas usus dan mengakibatkan konstipasi. Pengobatan diuretik akan

    mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga

    mempengaruhi proses absorpsi di usus. Obat diuretik yang umum dipakai

    misalnya Furosemide, Torsemide, Metolazone, Hydroflumethiazide,

    Bendroflumethazide, dan lain sebagainya (Katzung, 2001).

  • 33

    6) Gangguan metabolik

    Hiperkalsemia mengacu pada kelebihan kalsium dalam plasma.

    Secara umum, gejala-gejala hiperkalsemia adalah sebanding dengan

    tingkat kenaikan kadar kalsium serum. Hiperkalsemia mengurangi

    eksitabilitas neuromuskular karena hal ini menekan aktivitas pertemuan

    mioneural. Gejala-gejala seperti kelemahan muskular, inkoordinasi,

    anoreksia, dan konstipasi dapat karena penurunan tonus pada otot lurik

    dan polos. Hipotiroid yaitu dimana produksi hormon pada kelenjar tiroid

    mengalami penurunan sehingga kecepatan metabolisme tubuh terganggu,

    sehingga ketika proses metabolisme makanan dalam tubuh terhambat

    maka proses pengeluarannya pun juga lebih lambat (Smeltzer & Bare,

    2001).

    7) Kurang privasi untuk BAB

    Kurang privasi untuk BAB, mengabaikan dorongan BAB dapat

    menjadi stimulus psikologis bagi individu untuk menahan buang air besar

    dan dapat menyebabkan konstipasi (Darmojo&Martono, 2006).

    8) Obstruksi mekanik

    Kanker kolon adalah tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon.

    Kanker yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan

    pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan,

    mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang

    cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi (Darmojo&Martono,

    2006).

  • 34

    D. Kerangka Teori

    Skema 2.1. Kerangka Teori

    Sumber : Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000)

    Lansia

    Perubahan fisiologis

    Perubahan sistem

    gastrointestinal

    Penurunan

    peristaltik kolon

    Konstipasi

    Kurangnya privasi untuk BAB

    Penggunaan obat-obatan

    Depresi

    Aktivitas fisik

    Intake cairan

    Asupan serat Gangguan metabolik

    (hiperkalsemia, hipotiroid)

    Obstruksi mekanik (Ca)

  • 35

    E. Kerangka Konsep

    Variabel Independent

    Variabel Dependent

    Skema 2.2 . Kerangka Konsep

    F. Variabel Penelitian

    1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah asupan serat,

    intake cairan, aktivitas fisik, depresi.

    2. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah kejadian

    konstipasi pada lansia

    G. Hipotesis penelitian

    Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

    1. Ada hubungan asupan serat dengan kejadian konstipasi pada lansia di

    RW II Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur Semarang.

    2. Ada hubungan intake cairan dengan kejadian konstipasi pada lansia di

    RW II Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur Semarang.

    Kejadian konstipasi

    pada lansia

    2. Intake cairan

    3. Aktivitas fisik

    4. Depresi

    1. Asupan serat

  • 36

    3. Ada hubungan aktivitas fisik dengan kejadian konstipasi pada lansia di

    RW II Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur Semarang.

    4. Ada hubungan depresi dengan kejadian konstipasi pada lansia di RW II

    Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur Semarang.