Post on 19-Jan-2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk
eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri
baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial,
karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat
dikembangkan.
Selanjutnya manusia juga disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa
daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan
bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan
dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang diberikan
dalam membantu perkembangan tersebut pada hakikatnya diharapkan sejalan
dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi
bawaannya. Karena itu bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang
dimiliki akan berdampak negative bagi perkembangan manusia.
Perkembangan yang negative tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan
tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini terihat
dalam kaitannya dengan kegagalannya manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik
bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam
mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat terlebih dahulu
1
kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan kebutuhan
yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani akan menyebabkan
timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.
Para ahli psikologi perkembangan membagi-bagi perkembangan manusia
berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara
garis besarnya periode perkembangan itu dibagi menjadi: 1) masa prenatal; 2)
masa bayi; 3) masa kanak-kanak; 4) masa pra pubertas; 5) masa pubertas; 6)
masa dewasa; 7) masa usia lanjut, yang pada setiap tahap perkembangannya
memiliki ciri-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa keagamaan.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dari periode perkembangan
tersebut, maka dalam kaitanna dengan perkembangan jiwa keagamaan akan
dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian,
perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari tingkat usia.
Dalam makalah ini penulis akan membahas perkembangan psikologi agama
pada masa lansia (usia lanjut), dalam makalah ini kami selaku pemakalah
menyadari masih banyak terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharapkan
saran dan kritik dari para pembaca sebagai masukan dalam penulisan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Kriteria Kematangan Beragama pada Usia lanjut ?
2
2. Bagaimanakah Aplikasi kematangan Beragama pada usia Lanjut di Wek V
Padangsidimpuan?
3. Apa sajakah ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut di Wek V
padangsidimpuan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan adalah :
1. Untuk Mengetahui criteria kematangan beragama pada Usia Lanjut
2. Untuk Mengetahui Aplikasi Kematangan Beragama pada Usia Lanjut
di Wek V padangsidimpuan
3. Untuk Mengetahui ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut di Wek V
padangsidimpuan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1.Sebagai salah satu syarat tugas mata kuliah bimbingan skripsi
2.Untuk memperluas khazanah ilmu pengetahuan
3.Sebagai masukan bagi masyarakat Wek V tentang bagaimana kematangan
beragama pada usia lanjut.
4.Sebagai bahan bagi peneliti selanjutnya
3
E. Batasan Istilah
Untuk mempermudah dalam penelitian ini sehingga tidak ada
kesimpangsiuran dalam memahami istilah yang berkenaan dengan judul yaitu :
1. Kriteria artinya cirri-cirinya dalam penelitian ini cirri dari kematangan
beragama usia lanjut di wek V Psp
2. Kematngan beragama artinya Berbicara tentang kematangan beragama
akan terkait erat dengan kematangan usia manusia. Perkembangan
keagamaan seseorang untuk sampai pada tingkat kematangan beragama
dibutuhkan proses yang panjang. Proses tersebut, boleh jadi karena melalui
proses konversi agama pada diri seseorang atau karena berbarengan dengan
kematangan kepribadiannya. Kematangan atau kedewasaan seseorang
dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan
yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia
memerlukan agama dalam hidupnya.
3. Usia Lanjut artinya periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa
ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan
adanya perubahan dan bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya
adalah sebagai berikut: perubahan yang menyangkut kemampuan motorik,
perubahan kekuatan fisik, perubahan dan fungsi psikologis, perubahan
dalam sistem syaraf, perubahan penampilan.
4. Aplikasi artinya penerapannya
4
5. Wek V adalah salah satu Kelurahan yang ada di Padangsidimpuan
F. Sistematika Pembahasan
BAB I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan Batasan Istilah
BAB II Kajian teori terdiri dari Pengertian Usia lanjut, Perkembangan Agama
Pada Usia Lanjut, Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut, Kematangan Beragama
Pada Usia Lanjut, Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam, Cara Bersikap
Pada Manusia Usia Lanjut.
BAB III Metode Penelitian terdiri dari Lokasi dan waktu Penelitian, sumber
data, populasi dan sampel, Tekhnik Pengolahan data, instrument pengumpulan
data dan tekhnik analisa data
5
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Pengertian Usia Lanjut
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara
perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses
menjadi tua. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang,
yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari pada periode
terdahulu.1
Didalam “gerontology” (ilmu yang mempelajari lanjut usia) lanjut usia
dibagi menjadi dua golongan, yaitu “young old”(65-74) dan “old-old” (diatas 75
tahun). Dari kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
“well old” (mereka yang sehat dan tidak sakit apa-apa) dan “sick old” (mereka
yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris).
Kebutuhan akan kesehatan bagi kelompok “sick old” ini semakin besar, sehingga
didunia kedokteran berkembang spesialisasi yang dinamakan “geriatry” baik dari
aspek medis (fisik) maupun kejiwaan (psikiatris).2
Erik Erikson menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) berada pada
tahapan terakhir dari tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan
1 Heni, Narendrany Hidayati, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hlm. 133
2 Ibid, hlm 134.
6
sebagai konflik antara integritas (yaitu rasa puas) yang tercermin selama hidup
yang tidak berarti.
Lanjut usia sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan
kepuasan dari hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan
cucu, merasa bahagia karena telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya.
Bagi para lanjut usia hendaknya mampu mengatasi cidera “narcissism”(kecintaan
pada diri sendiri), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau
perhatian dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu
memelihara dan mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang,
cemas, takut, kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya.
Terjadi konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan
otoritasnya, serta penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang
diperoleh sebelumnya.Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
2. Perkembangan Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin
lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan
sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia
lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan
menghadapi berbagai persoalan.
Persoalan awal dapat digambarkan sebagai berikut:
7
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan fisik à aktivitas menurun à
sering mengalami gangguan kesehatan à mereka cenderung kehilangan
semangat.3
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi
agama ternyata meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sample 1.200 orang
berusia antara 60-100 tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk
menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat. Sementara pengakuan
terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah
usia 90 tahun.
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan sikap
keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:
1. Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang
keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut
pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual
sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai
sebagai satu-satunya factor yang membentuk sikap keagamaan. Pendapat ini
disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat tersebut terlalu
dilebih-lebihkan
2. Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru
terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir.
Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan
3 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 88
8
manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai
mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.
3. Dalam penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap
keagamaan di usia lanjut diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini
diantaranya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A. Cohen.4
3. Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan diusia lanjut adalah:
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara
lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar
sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya.
6. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan
abadi (akhirat).5
4 Ibid, hlm 89-905 Ibid, hlm. 90
9
4. Kematangan Beragama Pada Usia Lanjut
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya
ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap
benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam
hidupnya.6 Seseorang yang matang dalam beragama bukan hanya memegang
teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang dibarengi
dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan
beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku
keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa
tanggung jawab,bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan.
Karena tingkat kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan
individu, hal itu memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan
beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang
menyebabkan adanya hambatan:7
1. Faktor diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan
pengalaman. Kapasitas ini merupakan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-
ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan
6 Hafi Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Surabaya Usaha Nasional, 1991, hlm 94.7 Sururin, Op.Cit. hlm. 92-97
10
kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya,
akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut
dengan baik, penuh keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang harus
dilakukan itu berbeda dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat
mereka.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam
bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan
aktivitas keaagamaan. Namun, bagi mereka yang mempunyai pengalamanan
sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu
dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama
secara mantap dan stabil.
2. Faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi
lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang,
malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah
ada. Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang
diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara
turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa
oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai. Seringkali
tradisi tersebut tidak diketahui dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai
kapan ada dan bagaimana ceritanya.
11
Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu dikembangkan dan
dilestarikan. Namun pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang perlu
penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan kontradiktif pada sementara
orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan kenyataan yang berlainan di
pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil telah dicekam oleh tradisi yang
kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi
terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh
sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang menghasilkan
kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kehidupan beragama seseorang, biasanya
akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang lebih sempurna. Namun,
jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang lembaga berikutnya tidak
terlalu banyak mengarahkan kearah yang lebih baik dan sempurna, hal itu akan
menjadi hambatan pada masa berikutnya.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana
dipaparkan kembali oleh William james, mengemukakan dua buah faktor yang
mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
1. Faktor intern, terdiri dari :
a. Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan
penting dalam sikap beragama seseorang. Seseorang yang melankolis, misalnya,
akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan
12
pandangannya terhadap agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi
seseorang dalam kematangan beragama.
b. Gangguan Jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap
dan tingkah lakunya.Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan
seseorang yang ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka
rasakan.
c. Konflik dan Keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseoarng terhadap
agama, seperti taat, fanatic, agnotis, maupun ateis.
d. Jauh dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan
kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama
sebagai berikut:
a. Pesimis
b. Introvert
c. Menyenangi paham yang ortodoks
d. Mengalami proses keagamaan secara graduasi
2. Faktor Ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak
adalah:
a. Musibah
13
Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan
seseorang,dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran,
khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan
dari Tuhan.
b. Kejahatan
Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami guncangan
batin dan rasa berdosa.Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan
kompensif, seperti meluapakan dengan berfoya-foya dan sebagainya.Dapat pula
orang tersebut melampiaskannya dengan tindakan brutal.pemarah dan
sebagainya. Sering pula perasaan yang fitri menghantui dirinya,yang kemudian
membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi
penganut agama yang taat dan fanatik.
Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara
lain:
1. Optimisme dan gembira
2. Ekstrovert dan tidak mendalam
3. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung:
a. Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
b. Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c. Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d. Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara soial.
14
e. Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f. Bersifat liberal dalammenafsirkan pengertian ajaran agama.
g. Selalu berpandangan positif.
h. Berkembang secara graduasi.
5. Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita L Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut
(usia 70-79th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih
menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka
memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah
baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila
sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka
pada peralihan ke usia ini, perhatian mereka tertuju kepada upaya menemukan
ketenangan bathin. Sejalan dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang
berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantaranya disebabakan oleh psikologis. Disatu
pihak kemampuan fisik pada usia lanjut sedang mengalami penurunan.
Sebaliknya dipiahak lain memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan
mereka dimasa lalu yang pernah diperoleh sedang tidak lagi memperoleh
perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini
menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan bathin.
15
Apabila gejolak-gejolak tidak dapat dibendung lagi maka muncul gangguan
kejiwaan, seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan
sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam kasus-kasus seperti ini umumnya dapat
difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran
pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung.
Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat diakhir-
akhir ini. Sebagai dalam memberi perlakuan yang baik pada kedua orang tua
Allah menyatakan dalam surat (QS 17-23) yang artinya: jika seorang diantara
keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemiliharaanmu, maka
jangan sekali-sekali kamu mengatakan pada keduanya perkataan ah dan jangan
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
6. Cara Bersikap Pada Manusia Usia Lanjut
Dalam lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan
manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan
mereka dipanti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat
perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena
kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk
memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut
tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka ke
panti jompo merupakan cerminan dari kasih saying anak kepada orang tua.
16
Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan
keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan terhadap
manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan
terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan
kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang
tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan
pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan
memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang.
Adapun dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits berkenaan dengan perlakuan
kepada orang tua diantaranya sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada orang
tua, Allah menyatakan:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
2. Selanjutnya Al-Qur’an melukiskan perlakuan terhadap kedua orang tua:
Dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan mendidikku waktu kecil” (QS. 17:24).
3. Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana seharusnya perilaku anak kepada orang tua, dalam pernyataan Aisyah r.a. yakni dalam dialog rasulullah Saw. Kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu? Orang itu menjawab: “ayahku”. Beliau berkata: “jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan
17
jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”. (Thoha Abdullah Al-Afifi: 1987:51)
4. Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai
kewajiban agama. Menurut Ibnu Abbas, Rasulullah pernah mengatakan:
“Barang siapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu syurga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah-satu diantaranya maka akan terbuka satu pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika membuat marah salah-satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987:53).8
Bahkan ketika mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya
hingga sampai hati mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya,
maka rasul pun bersabda: “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”. (Thoha
Abdullah Al-Afifi, 1987, 54-55).
Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia
usia lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang
bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus
dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan
kepada siapa pun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka.
Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai
kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut
menurut islam merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan
8 Jalaluddin, PsikologI Agama, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010)hlm. 117-121
18
orang tua dipanti jompo merupakan tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang
anak.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Wek V Padangsidimpuan, waktu penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan Mei sampai Juli 2014
Penelitian ini adalah jenis penelitian literer, yakni penelitian yang
menjadikan literatur (buku-buku) sebagai bahan rujukannya. Adapun metode
yang dipakai adalah :
1. Metode Induktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya
khusus menuju hal-hal yang bersifat umum.
2. Metode deduktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya umum
menuju ke hal-hal yang khusus.
3. Metode Korelasi
Metode ini menggunaka cara-cara berpikir dengan mencari korelasi
(hubungan) antara sesuatu hal dengan hal yang lain.
B. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research). Sifat
penelitihan ini adalah kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang
penyajian datanya berupa angka-angka dan menggunakan analisa statistik biasanya
20
bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara variabel, menguji teori dan
mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediksi.9
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subjek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi merupakan jumlah
yang ada pada obyek atau subyek yang dipelajari yang meliputi seluruh
karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh obyek atau subyek itu.10
Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah berusia lanjut yang
berjumlah 20 orang.
Sampel merupakan sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Dalam ketentuan pengambilan sampel menurut Suharsimi
Arikunto yaitu jika subyeknya kurang dari 100 sebaiknya diambil semua sehingga
penelitiannya disebut penelitian populasi, namun jika jumlah subyeknya besar
dapat diambil antara 10%-15% atau 20%-25% atau lebih.11 Sampel yang akan
diambil dalam penelitian ini adalah 15% dari seluruh populasi yang berjumlah 5
orang.
9 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Bandung, Alfa Beta, 2007, hlm. 255
10 Ibid, hlm. 25511 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta. 1991,hlm, 71
21
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris.12
Hipotesis dalam hal ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan
kita untuk mendapatkan jawaban yang sebenarnya.
Berdasarkan pernyataan di atas maka penulis mengajukan hipotesis
sebagai berikut: ”Ada aplikasi kematangan beragama pada usia lanjut di Wek V
Psp”.
E. Teknik Pengumpulan Data
Beberapa teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan pencatatan dan pengamatan yang
disengaja dan sistematik tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-
gejala yang muncul pada objek penelitian. Observasi yang penulis
gunakan dalam penelitian ini adalah observasi sistematis (berkerangka)
mulai dari metode yang digunakan dalam observasi sampai cara-cara
pencatatannya, dilengkapi dengan format/blangko pengamatan sebagai
instrumen yang berisi item-item tentang kejadian yang digambarkan akan
12 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 75
22
terjadi, sehingga penulis tinggal memberikan tanda terhadap kejadian yang
muncul.13
Observasi digunakan penulis untuk memperoleh data tentang
aplikasi kematangan beragama di wek V dengan cara mengamati dan
mencatat seluruh indikator yang akan diteliti.
b. Wawancara atau Interview
Wawancara adalah metode pengumpulan data yang digunakan
penulis untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui proses
tanya jawab antara Information Hunter dengan Information Supplyer
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data-data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasati, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.14
F. Metode Analisis Data
a. Pengujian Persyaratan Analisis
Sesuai dengan jenis penelitian ini, maka sebelum teknik statistik
yang digunakan untuk menguji hipotesis diterapkan, terlebih dahulu data
dideskripsikan dengan mengungkapkan mean, median, modus, dan standar
deviasi, juga disajikan daftar distribusi frekuensi dan histogram. Sebelum
dilakukan pengujian hipotesis.
13 Ibid, hlm. 18514 Ibid, hlm. 206
23
b. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis ini menggunakan teknik Analisys of Variance
Test – ANOVA Test atau Pengujian Analisis Varian. ANOVA tes dibentuk
atas dasar cuplikan-cuplikan acak sederhana yang ditarik secara bebas
dari setiap populasi. Pengujian itu beranggapan bahwa pupulasi-populasi
disebarkan secara normal dan memiliki varian-varian yang sama.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta. 1991.
Hafi Anshari. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Surabaya : Usaha Nasional, , 1991.
Heni, Narendrany Hidayati. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.
Jalaluddin. PsikologI Agama. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Bandung, Alfa Beta, 2007.
Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995.
25