Post on 06-Aug-2015
description
BAB I
Pendahuluan
Dewasa ini Indonesia mengalami masalah kesehatan masyarakat yang
sangat kompleks. Pola penyakit yang diderita masyarakat sebagian besar
adalah penyakit infeksi menular seperti tuberkulosis paru, Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA), malaria, diare, dan penyakit kulit. Selain itu,
Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue,
HIV/AIDS, chikungunya, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) (Pusat
Data dan Informasi, 2006).
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak negara di seluruh dunia (Djoerban dan Djauzi, 2009). HIV/AIDS
telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat di dunia, karena
disamping belum ditemukan obat maupun vaksin untuk pencegahan, penyakit
ini juga memiliki “window periode” dan fase asimtomatik yang relatif panjang
dalam perjalanan penyakitnya. Hal tersebut diatas menyebabkan pola
perkembangannya seperti fenomena gunung es (Pusat Data dan Informasi,
2006). United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), World Health
Organization (WHO) yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh dunia pada Desember 2004
adalah 35,9 – 44,3 juta orang. Saat ini ini tidak ada negara yang terbebas dari
HIV/AIDS (Djoerban dan Djauzi, 2009).
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang
mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual baik homoseksual
maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi
komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya.
Oleh karena itu, kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya
pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya serta narapidana.
Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya sebagian
besar ODHA berasal dari kelompok homoseksual, kini telah terjadi pergeseran
dimana presentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika
semakin meningkat (Djoerban dan Djauzi, 2009). Pada pasien seropositif HIV,
dengan daya tahan tubuh yang sangat rendah akan mudah terjadi infeksi
oportunistik, seperti Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8
jumlah kasus baru TB pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus Basil
Tahan Asam (BTA) positif. Indonesia masih menempati urutan ketiga di dunia
untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000
kasus baru TB dan sekitar 140.000 kasus kematian akibat TB. Di Indonesia,
TB merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan (ISPA)
pada seluruh kalangan usia (Wibisono, 2010).
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB (Amin dan Bahar, 2009).
Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung
droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk
berdarah atau berdahak yang mengandung BTA (Amin dan Bahar, 2009). TB
merupakan penyakit menahun, bahkan seumur hidup. Setelah seseorang
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, hamper 90% penderita secara klinis
tidak sakit, hanya didapatkan tes tuberkulin positif, 10% akan sakit. Penderita
yang sakit apabila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru
akan meninggal, 25% akan sehat dengan pertahanan tubuh yang baik, dan 25%
menjadi kronik dan infeksius (Wibisono, 2010).
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang
aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun
saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB
menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang
berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi (Price dan
Wilson, 2004).
B. Etiologi dan Predisposisi Tuberkulosis
Penyakit TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal
0,3-0,6/um. Berdasarkan perbedaan secara epidemiologi, yang tergolong
dalam kuman Mycobacterium tuberculosis complex adalah M. tuberculosae,
Varian Asian, Varian African I, Varian African II, M. bovis. Sebagian
dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan, dan
arabinomannan. Kandungan lipid tersebut membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam, dan
kuman tersebut juga tahan terhadap gangguan kimia dan fisis (Amin dan
Bahar, 2009).
Kuman dapat hidup pada udara kering maupun keadaan dingin (dapat
bertahan bertahun-tahun didalam lemari es), hal tersebut terjadi karena
kuman berada dalam sifat dormant dan dari sifat tersebut kuman dapat
bangkit kembali menjadikan penyakit TB aktif lagi. Di dalam jaringan,
kuman hidup sebagai parasite intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag.
Makrofag yang semula memfagisitasi malah kemudian disenanginya karena
kandungan lipid. Selain itu, kuman ini juga bersifat aerob yang berarti
kuman lebih menyenai jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.
Tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain,
sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit TB (Amin
dan Bahar, 2009).
Penyakit TB ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita
TB kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB terjadi
melalui hubungan dekat antara penderita dan orang tertular (terinfeksi),
misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama.
Penyebar penyakit TB sering tidak tahu bahwa ia menderita TB. Droplet
yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk penderita TB dapat
melayang di udara hingga kurang lebih dua jam tergantung kualitas vebtilasi
ruangan hingga akhirnya akan terhirup oleh orang lain yang akan menderita
TB (Djojodibroto, 2009).
C. Patomekanisme Tuberkulosis
1. Patogenesis
Patogenesis dan manifestasi patologi tuberkulosis paru merupakan hasil
respons imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap kuman tuberkulosis. Perjalanan
infeksi melalui 5 tahap:
a. Tahap 1
Dimulai dari masuknya kuman tuberkulosis ke alveoli. Kuman akan
difagositosis oleh makrofag alveolar dan umumnya dapat
dihancurkan. Bila daya bunuh makrofag rendah, kuman tuberkulosis
akan nerproliferasi dalam sitoplasma dan menyebabkan lisis
makrofag. Pada umumnya pada tahap ini tidak terjadi pertumbuhan
kuman.
b. Tahap 2
Tahap simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam non-
activated macrophage yang gagal mendestruksi kuman tuberkulosis
hingga makrofag hancur dan kuman tuberkulosis difagositosis oleh
makrofag lain yang masuk ke tempat radang karena faktor kemotaksis
komponen komplemen C5a dan monocyte chemoatractant protein
(MPC-1). Lama kelamaan makin banyak makrofag dan kuman
tuberkulosis yang berkumpul di tempat lesi.
c. Tahap 3
Terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman tuberkulosis menetap karena
pertumbuhannya dihambat oleh respon imun tubuh terhadap
tuberculin-like antigen. Pada tahap ini delayed type of hypersensitivity
(DTH) merupakan respon imun utama yang mampu menghancurkan
makrofag yang berisi kuman. Respon ini terbentuk 4-8 minggu dari
saat infeksi. Dalam solid caseous center yang terbentuk, kuman
ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi non-activated
macrophage, dan partly activated macrophage. Pertumbuhan kuman
TB secara logaritmik terhenti, namun respon imun DTH ini
menyebabkan perluasan caseous center dan progresivitas penyakit.
Kuman tuberkulosis masih dapat hidup dalam solid caseous necrosis
tapi tidak dapat berkembang biak karena keadaan anoksia, penurunan
pH, dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan dorman ini
metabolisme kuman minimal sehingga tidak sensitif terhadap terapi.
Caseous necrosis ini merupakan reaksi DTH yang berasal dari
limfosit T, khususnya T sitotoksis (Tc), yang melibatkan clotting
factor, sitokin TNF-alfa, antigen reaktif, nitrogen intermediate,
kompleks antigen antibodi, komplemen, dan produk-produk yang
dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler
menjadi aktif menghasilkan molekul-molekul adhesi (ICAM-1,
ELAM-1, VCAM-1), MHC kelas I dan II.
d. Tahap 4
Respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang peran utama
dimana CMI akan mengaktifkan makrofag sehingga mampu
memfagositosis dan menghancurkan kuman. Activated macrophage
menyelimuti tepi caseous necrosis untuk mencegah terlepasnya
kuman. Pada keadaan dimana CMI lemah, kemampuan makrofag
untuk menghancurkan kuman hilang sehingga kuman dapat
berkembang biak di dalamnya dan selanjutnya caseous necrosis
semakin meluas. Kuman tuberkulosis yang terlepas akan masuk ke
dalam kelenjar limfe trakheobronkhial dan menyebar ke organ lain.
e. Tahap 5
Terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya
terjadi multiplikasi kuman tuberkulosis ekstraseluler yang dapat
mencapai jumlah besar. Respon imun CMI sering tidak mampu
mengendalikannya. Dengan progresifitas penyakit terjadi perlunakan
caseous necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus.
Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan respon DTH
terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak dapat hidup
dan merupakan media pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman
tuberkulosis masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, menyebar ke
bagian paru lain dan jaringan sekitarnya (Wibisono, 2011).
Skema:
Kuman tuberkulosis
Masuk alveoli
Imun << Imun >>
Berproliferasi dalam Difagositosis oleh
sitoplasma makrofag alveoli
Kuman tumbuh dalam makrofag yang
gagal mendestruksi kuman
Lisis makrofag
Difagositosis oleh makrofag lain
Makrofag dan kuman berkumpul di tempat lesi
Nekrosis kaseosa
Jumlah kuman tidak bertambah, namun masih hidup
Respon imun DTH (Delayed Type of Hypersensitivity)
Perluasan pusat kaseosa dan progresifitas penyakit
Reaksi inflamasi
Endotel vaskuler aktif menghasilkan molekul-molekul adhesi, MHC kelas I dan II
Presentasi antigen pada sel T sitotoksik
Respon imun CMI (Cell Mediated Immunity)
Mengaktifkan makrofag
CMI << CMI >>
Kuman berkembang biak di dalamnya Memfagositosis
dan menghancurkan
Dihancurkan oleh respon imun DTH kuman
Nekrosis kaseosa meluas Kuman tuberkulosis
terlepas
Likuifikasi pusat kaseosa
Masuk ke dalam kelenjar limfe
Kuman dapat bereplikasi
Respon imun CMI tidak dapat mengendalikan Menyebar ke organ lain
Progresifitas penyakit
Perlunakkan nekrosis kaseosa, membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus
Makrofag tidak dapat hidup dan menjadi media pertumbuhan yang baik
Kuman masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, menyebar ke jaringan paru lain
dan jaringan sekitarnya.
Kuman tuberkulosis yang terlepas
2. Patofisiologi Tuberkulosis
a. Batuk Berdarah
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan
untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.
Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang
merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori
terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah
lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa
terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan
dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada
hemoptoe (Rab, 2006).
b. Berkeringat malam hari
Malam meningkatkan BMR
(Pemecahan glikogen, glukagon)
Terutama saat tidur
Mempengaruhi : cirdacian cycle
Keluarnya mediator-mediator inflamasi seperti TNF α yang
berlabihan dikarenakan ada infeksi bakteri akan menyebabkan
hipotalamus meningkatkan set point suhu tubuh sesaat, terjadilah demam.
Untuk mempertahankan panas supaya tidak keluar terjadi vasokonstriksi
PD, tubuh menahan panas dengan cara menggigil untuk menghasilkan
panas tambahan. Gigil berhenti, set point suhu tubuh kembali normal,
kemudian terjadi vasodilatasi. Hilangnya panas ke lingkungan
dikeluarkan melalui keringat (Dinarello and Bunn, 1997).
c. Nyeri dada
Netrofil di pleura kallikrein
melakukan
kininogen kompleks Klinin
permeabilitas ↑ sistem merangsang reseptor kemotaksis
kapiler komplemen nyeri di pleura parietal
Ket : adalah energi yg dibutuhkan fungsi fisiologi normal saat istirahat
SUHU SUBFEBRIS
Apabila keadaan ini terus menrus selama infeksi maka mengakibatkan BB turun
Sekresi keringat (night sweet)
Mekanisme pembersihan tidak efektif
Penggunaan otot abdomen
Reaksi Radang
Inhalasi droplet
Bakteri ke alveolus
Sekret >>>
Reflek batuk
Nafsu makan ↓
kenyang
↑hormon leptin Mual, muntah
Reflek dagai
darah Dahak
N. Splanicus pleksus brachialis, N. Interkostalis
N. Interkostalis
d. Nafsu makan
NYERI DADA
e. Berat Badan Menurun
M. tubercusosis
Inhalasi droplet
Bakteri mencapai alveolus
Basil berdistribusi (bakterimia)
Merangsang IL-1
Zat endogenpirogen
Prostaglandin
Berdistribusi ke hipotalamus
Menggeser set point anterior dari titik normal
Respon menggigil
Peningkatan suhu tubuh
Inefektif termoregulator
Peningkatan metabolisme tubuh pada penderita TB
Pemecahan cadangan makanan
Kebutuhan sel meningkat, nutrisi kurang dari tubuh
f. Suhu subfebris
BASIL TB
Hematogen
fagosit
pelepasan pirogen endogen ( mediator kimia)
keluarkan prostaglandin
meningkatkan set point di hipothalamus
Suhu tubuh diregulasi oleh suatu inti dalam hipotalamus anterior
yang berfungsi sebagai termostat yang mengendalikan keseimbangan
antara produksi dan kehilangan panas. Demam berkembang bila
termostat digeser ke set yang lebih tinggi. Untuk tubuh mencapai suatu
suhu lebih tinggi kehilangan panas melalui kulit dikurangi dengan
vasokonstriksi, sehingga dalam waktu singkat, sewaktu suhu meningkat,
kulit secara paradoks menjadi dingin. Saat pergeseran ini, secara klinis
terlihat sebagai gemetar, yang artinya suhu lingkungan mendadak
diterjemahkan sebagai dingin. IL-1, IL-6 dan TNF adalah mediator-
mediator penting dari reaksi ini. Sitokin-sitokin ini dihasilkan oleh
leukosit dan jenis sel lain dalam respon terhadap organisme infeksi atau
reaksi-reaksi imunologis dan toksik, yang dilepaskan dalam sirkulasi. IL-
1 dan IL-6 mempunyai efek yang sama dalam menghasilkan reaksi fase
akut, keduanya menghasilkan demam melalui interaksi dengan reseptor-
SUHU SUBFEBRIS
BB turun
reseptor vaskuler dalam pusat termoregulator dari hipotalamus dengan
aksi langsung dari sitokin atau lebih cenderung melalui induksi produksi
prostaglandin lokal (PGE), informasi ini kemudian ditransmisi dari
hipotalamus anterior ke posterior ke pusat vasomotor, menyebabkan
stimulasi saraf simpatis, vasokonstriksi pembuluh-pembuluh kulit,
mengurangi perspirasi dan timbul panas demam. Pirogen endogen yang
diketahui mencakup TNF, IL-1 dan IL-6. Mereka dilepaskan oleh
monosit/makrofag dan sel-sel inang yang lain dalam respons terhadap
mikroba dan stimulasi pirogen lain. Aspirin melawan demam dangan
melalui inhibisi siklooksigenasi dalam hipotalamus. TNF juga
menstimulasi pusat hipotalamus secara langsung.
g. Suara ronkhi basah halus
Nekrotik
jaringan membentuk pengejuan akibat O2
rendah, pH turun dan nutrisi yang
berkurang.
imun tidak adekuat
tidak sukses mengontrol infeksi
liquefaksi dan dinding fibrous kehilangan struktur-struktur
fibrous lepas
Necrotic Semiliqiud + Mukus
Suara tambahan berupa Ronki Basah
Crackles (bunyi gemereletak) halus atau ronki basah halus,
disebabkan oleh terbukanya alveoli yang tertutup waktu ekspirasi
sebelumnya secara tiba-tiba, mungkin disebabkan tekanan antara jalan
nafas yang terbuka dengan yang menutup dengan cepat menjadi sama
sehingga jalan nafas perifer mendadak terbuka. Bunyi ini terjadi saat
inspirasi, yang dapat terjadi saat jalan nafas perifer mendadak terbuka
pada waktu daerah-daerah kolaps (atelektasis) terinflasi. Bising ini terjadi
pada kelainan paru restriktif dan atau menunjukkan berkurangnya
volume paru, seperti pada pneumonia, bronkitis, atau atelektasis. Bising
ini juga dapat terdengar pada bronkiolitis dan asma bronkiale. Ronki
basah halus yang terdengar pada daerah basal paru menunjukkan adanya
edema paru. Pada pneumonia lebih spesifik bila bunyi gemereletak ini
didapatkan pada akhir inspirasi (atau yang disebut krepitasi).
h. Suara amforik
Didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya perifer dan
berhubungan terbuka dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam
botol kosong.
D. Klasifikasi TB Paru
Klasifikasi TB Paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,
yaitu:
1. TB paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, dibagi menjadi:
1. Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah minum kurang dari 1 bulan
2. Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
1. Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
2. Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
3. Lain-lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
4. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami
kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat
jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan),
radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik. (Permenkes RI, 2009)
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesa
Pada saat anamnesis ditemukan keluhan-keluhan berupa:
a. Gejala Respiratorik
1) Batuk lebih dari 2 minggu
2) Batuk darah
3) Sesak nafas
4) Nyeri dada
b. Gejala Sistemik
1) Demam
2) Malaise
3) Keringat malam
4) Anoreksia
5) Berat badan menurun
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberculosis paru, kelainan tergantung luass kelainan
struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit, umumnya sulit
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2),
serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani juga
dapat ditemukan suara nafas bronkial, amforik, nafas lemah, ronki basah,
tanda-tanda kenaikan paru, diafragma dan mediastinum. Pada pleuritis
tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan
di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara
nafas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat
cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering daerah leher, terkadang di ketiak.
3. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakeriologik merupakan salah satu hal yang penting dalam
penegakan diagnosis tuberculosis. Bahan untuk pemeriksaan ini dapat
menggunakan dahak, cairan pleura,dan bilasan bronkus. Cara
pengambilandahakdilakukan 3 kali (SPS) :
a. Sewaktu
b. Pagi
c. Sewaktu
4. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang standar adalah foto thorax PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi antara lain foto lateral, CT-Scan.
Gambaran radiologic yang dicurigaisebagailesi TB aktif :
a. Bayangan berawan atau nodular di segmen apical dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak millier.
d. Efusi pleura unilateral atau bilateral.
Gambaranradiologik yang dicurigaisebagailesi tuberculosis yang inaktif :
a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Penebalan pleura
5. Pemeriksaan Lain
a. Analisis cairan pleura
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberculosis
adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat serta pada cairan
pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa darah.
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan jaringan pada pemeriksaan ini diambil melalui biopsi.Biopsi
bisa dilakukan dengan jarum halus pada kelenjar getah bening,
melalui pleura dengan torakoskopi, biopsy jaringan paru dengan
bronkoskopi, dan transthorakal biopsi.
c. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukan adanya infeksi tuberculosis.
Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversibula. Pada
malnutrisi dan infeksi HIV, uji tuberkulin dapat memberikan hasil
negatif (PDPI, 2002).
F. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan
1. Tahap Intensif
Diberikan tiap hari dengan pengawasan yang sangat ketat untuk
mencegah adanya kekebalan obat
2. Tahap lanjutan
Diberikan setiap 3x/minggu untuk membunuh kuman agar tidak
kambuh
Berdasarkan penggunaanya OAT dibedakan menjadi dua :
1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,
Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas
yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan
dengan obat-obat ini.
2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin.
Dosis Obat :
Regimen OAT menurut WHO :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum
obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan).
Diberikan kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada:
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung
aktif.
Pengobatan TBC pada anak :
Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan,
yaitu:
1. 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama,
kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7
bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap
INH).
2. 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2
bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali
seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada
resistensi terhadap INH). Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH
dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10
mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb.
3. Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus:
a. TB tidak berat
INH : 5 mg/kgbb/hari, Rifampisin : 10 mg/kgbb/hari
b. TB berat (milier dan meningitis TBC)
INH : 10 mg/kgbb/hari, Rifampisin : 15 mg/kgbb/hari, prednison :
1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg).
Pengobatan TB pada HIV :
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah
sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama
efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip
pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV
sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus
memperhatikan Prinsip prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan
Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan
secara terintegrasi dalam satu sarana pelayanan kesehatan untuk menjaga
kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi
terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary
Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
G. Komplikasi :
1. Hemoptisis
2. Pneumotoraks
3. Bronkiektasis
4. Fibrosis
5. Pleuritis
6. Efusi pleura
7. TB ekstra paru
H. Prognosis
1. Advitam : ad bonam
Prognosis ad bonam pada keadaan kondisi yang tidak berat dan bukan
pada kondisi yang menyebabkan kematian. Prognosis akan menjadi
admalam apabila pada pemeriksaan lebih lanjut, pasien didapatkan
terdiagnosis HIV.
2. Adsanationam : dubia admalam
Kemungkinan terjadinya infeksi TB berulang cukup tinggi. Bisa
disebabkan pengobatan yang tidak tuntas dan bisa membuat kuman TB
menjadi resisten.
3. Adfungsionam : dubia ad malam
Penyakit TB paru biasanya meninggalkan kalsifikasi dan jaringan
fibrosis pada jaringan parenkim paru yang telah terinfeksi. Jaringan
yang sudah terkalsifikasi dan berubah menjadi jaringan fibrosis bersifat
irreversbible sehingga tidak akan sepenuhnya kembali berfungsi normal
(Hasan, 2010).
Resiko kematian HIV 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan TB tanpa
HIV dan tergantung nilai CD4. Prognosis tergantung derajat imunosupresi.
BAB III
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB).
2. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang aerobik dan tahan asam,
merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk
organisme MTB adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka
terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara,
melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil
tuberkel dari seseorang yang terinfeksi.
3. Pada pasien dengan HIV/AIDS, sistem imunnya tersupresi karena virus.
Resiko kematian HIV 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan TB tanpa
HIV dan tergantung nilai CD4. Prognosis tergantung derajat
imunosupresi.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press. pp. 301-5
Amin, Z., Bahar, A. 2009. Tuberkulosis Paru: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Depkes RI
Djoerban, Z., Djauzi, S. 2009. HIV/AIDS di Indonesia: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing
Djojodibroto, R. D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC
Hasan, Helmia. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University.
Iseman MD. 2006. Mycobacterial Diseases of the Lungs, In : Hanley ME, Welsh
CH, editors. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine,
International edition. Denver: The McGraw-Hill Companies. 301-369
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Available
at :http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf
Price. A,Wilson. L. 2004. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC
Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. 2006. Situasi HIV/AIDS di
Indonesia Tahun 1987-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Wibisono, J., Winariani., Hariadi, S. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR-RSUD Dr.
Soetomo.
World Health Organisation. 2009. Global Tuberculosis Control – Epidemiology,
Strategy, Financing. Geneva : WHO
.